Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PENATALAKSANAAN AWAL DAN RUJUKAN


LIMFADENOPATI
BLOK HEMATOIMUNOLOGI

M. Hadriyan Akbar Arief

1658011034

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, saya
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang
‘Penatalaksanaan Awal dan Rujukan Limfadenopati' ini tepat pada waktunya.

Makalah ini telah saya susun sedemikian rupa dan telah mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat selesai dengan lancar. Untuk itu saya menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi isi, susunan kalimat maupun tata bahasa itu sendiri. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka, saya menerima segala saran dan kritik yang sifatnya membangun dari
pembaca agar kedepan saya bisa membuat makalah yang lebih baik lagi dari sebelumnya.

Akhir kata saya berharap semoga makalah mengenai ‘Penatalaksanaan Awal dan
Rujukan Limfadenopati’ ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap seluruh
pembaca.

Bandar Lampung, 1 Juli 2018

M. Hadriyan Akbar Arief

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ 2
DAFTAR ISI.................................................................................................... 3
PENDAHULUAN............................................................................................ 4
Latar Belakang...................................................................................... 4
Rumusan Masalah.................................................................................. 5
Tujuan.................................................................................................. 5
PEMBAHASAN.............................................................................................. 6
Definisi................................................................................................ 6
Klasifikasi............................................................................................ 6
Tatalaksana........................................................................................... 6
Penyakit Kimura Parotis.............................................................. 6
Tatalaksana Awal............................................................ 7
Tatalaksana Lanjut.......................................................... 7
Penyakit Antraks........................................................................ 8
Tatalaksana Awal............................................................ 8
Tatalaksana Lanjut.......................................................... 9
Infeksi HIV Bersamaan Dengan Systemic Lupus Erythematosus......10
Tatalaksana..................................................................... 10
Kriteria Rujukan Limfadenopati............................................................. 11
PENUTUP...................................................................................................... 12
Kesimpulan.......................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 13

3
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kelenjar getah bening merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh kita. Tubuh
memiliki kurang lebih 600 kelenjar getah bening, namun pada orang sehat yang normal hanya
teraba di daerah submandibula, aksila, atau inguinal. Sekitar 55% pembesaran kelenjar getah
bening terjadi pada daerah kepala dan leher. Organ ini sangat penting untuk fungsi sistem
kekebalan tubuh, dimana tugasnya adalah menyerang infeksi dan menyaring cairan getah
bening. Sebagian besar kelenjar getah bening ada di daerah tertentu, misalnya mulut, leher,
lengan bawah, ketiak, dan kunci paha.

Limfadenopati adalah pembesaran kelenjar getah bening sebagai respons terhadap


proliferasi limfosit T atau limfosit B. Limfadenopati biasanya terjadi setelah infeksi suatu
mikroorganisme. Beberapa penyebab limfadenopati adalah CMV (Cytomegalovirus), HIV
(Human Immunodeficiency Virus), tuberkulosis, filariasis, dan lain-lain.

Angka kejadian limfadenopati di Amerika Serikat belum diketahui, tetapi


diperkirakan limfadenopati pada anak-anak berkisar 38-45%. Dari studi di Belanda terdapat
2.556 kasus limfadenopati yang tidak dapat dijelaskan dan 10% dirujuk kepada subspesialis,
3,2% membutuhkan biopsi dan 1,1% mengalami keganasan. Studi kedokteran keluarga di
Amerika Serikat tidak ada dari 80 pasien dengan limfadenopati yang tidak dapat dijelaskan
yang mengalami keganasan dan tiga dari 238 pasien yang mengalami keganasan dari
limfadenopati yang tidak dapat dijelaskan. Pasien usia >40tahun dengan limfadenopati yang
tidak dapat dijelaskan memiliki risiko keganasan 4% dibanding risiko keganasan 0,4% bila
ditemukan pada pasien <40tahun.

Kasus limfadenopati membutuhkan penanganan yang seksama. Hal ini dikarenakan


oleh banyaknya kondisi yang mendasari terjadinya limfadenopati, seperti keganasan, infeksi,
kelainan autoimun, dan lain-lain.

4
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang
menjadi masalah adalah :
‘Bagaimanakah penatalaksanaan serta rujukan dari limfadenopati ?’

3. Tujuan
Mengetahui tatalaksana terhadap pasien yang mengalami limfadenopati, baik itu
tatalaksana awal maupun lanjut/rujukan. Serta mengetahui apa saja kriteria rujukan dalam
kasus limfadenopati.

5
PEMBAHASAN

Definisi
Limfadenopati merupakan pembesaran kelenjar getah bening dengan ukuran lebih
besar dari 1 cm. Kepustakaan lain mendefinisikan limfadenopati sebagai abnormalitas ukuran
atau karakter kelenjar getah bening. Terabanya kelenjar getah bening supraklavikula, iliaka,
atau poplitea dengan ukuran berapa pun dan terabanya kelenjar epitroklear dengan ukuran
lebih besar dari 5 mm merupakan keadaan abnormal.

Klasifikasi
Berdasarkan luas limfadenopati:
 Generalisata : Limfadenopati pada 2 atau lebih regio anatomi yang berbeda.
 Lokalisata : Limfadenopati pada 1 regio.
Dari semua kasus pasien yang berobat ke sarana layanan kesehatan primer, sekitar 3/4
penderita datang dengan limfadenopati lokalisata dan 1/4 sisanya datang dengan
limfadenopati generalisata.

Tatalaksana
1. Penyakit Kimura Parotis
Penyakit kimura adalah suatu keadaan penyakit inflamasi kronik lokal yang ditandai
dengan benjolan atau nodul jaringan lunak subkutan yang disertai dengan adanya
limfadenopati pada 30- 40% kasus, biasanya asimetris, dan paling sering mengenai daerah
kepala dan leher, terutama pre- aurikula, submandibula, kavum oris, laring, dan kelenjar
parotis.

Penyakit kimura ditandai oleh gambaran hipereosinofilia dan peningkatan serum


imunoglobulin-E (IgE).

Gambaran klinis yang khas adalah adanya massa yang membesar secara perlahan dan
biasanya disertai rasa gatal pada permukaan kulit.

6
a. Tatalaksana Awal
Terapi konservatif seperti pemberian steroid secara oral, pernah dilaporkan
memberikan efek, tetapi sering terjadi rekurensi. Angka kesuksesan terapi didapatkan pada
pemberian konstan steroid dengan dosis rendah, tetapi harus dipikirkan pada pasien yang
memiliki insufisiensi renal. Cetirizin dilaporkan membantu terjadinya remisi pada kasus
ketergantungan steroid, bahkan sampai 6 bulan setelah penghentian steroid.

Siklosporin dengan dosis 5 mg/KgBB/hari dan pentoksifilin oral pernah dilaporkan


memberikan efek pengecilan massa, akan tetapi terjadi rekurensi ketika pemberian
dihentikan. Imunoglobulin intravena pernah dilaporkan memiliki angka bebas massa tumor
selama lebih dari 6 tahun. Trans asam retinoat dikombinasikan dengan prednison oral pernah
dilaporkan memiliki angka bebas massa tumor selama 1 tahun. Imatinib dilaporkan pernah
menjadi salah satu modalitas terapi pada penyakit kimura, terutama yang disertai dengan
sindroma hipereosinofilik.

b. Tatalaksana Lanjut
Pembedahan masih merupakan pilihan terapi utama, sedangkan radioterapi juga
memberikan hasil yang baik.

Radioterapi merupakan terapi yang rutin pada penyakit kimura, baik kasus primer,
rekurensi, dan persisten. Hareyama melaporkan pemberian dosis radioterapi sebesar 26-30 Gy
memiliki respons sebesar 90%, bahkan tanpa terapi pembedahan sekalipun. Pada studi lain
menyebutkan bahwa radioterapi dengan dosis 20-45 Gy, lebih efektif jika dibandingkan
dengan eksisi lokal atau terapi steroid dengan perbandingan respons 64,2% : 22,2%. Tidak
ada efek samping yang terdeteksi pada selama observasi 65 bulan.

Pada salah satu laporan kasus, pembedahan dan radioterapi merupakan terapi yang
dipilih untuk mencapai remisi komplit serta mencegah rekurensi. Parotidektomi superfisial
yang dilanjutkan dengan radioterapi dengan dosis 30 Gy, memberikan hasil berupa remisi
komplit dan tidak ditemukannya rekurensi dalam rentang waktu kontrol satu tahun.

7
2. Penyakit Antraks
Antraks merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis
dan termasuk salah satu penyakit zoonosis. Antraks disebut juga Radang Lympha, Malignant
Pustule, Malignant edema, Woolsorter disease, Rag pickers disease, Charbon. Penyakit
antraks dapat menginfeksi dari hewan ke manusia melalui kontak dengan lesi, ingesti/makan
daging hewan terkontaminasi dan inhalasi dari spora B. Anthraci.

Pada antraks kutaneus akan terbentuk papula yang kemudian menjadi vesikel dengan
ulkus tanpa nyeri disertai dengan karakteristik “central black eschar”. Gejala sistemik ringan
berupa malaise dan demam sub- febrile. Pada antraks intestinal terdapat 2 bentuk yaitu: (1)
antraks abdominal dengan gejala mual, muntah, demam, nyeri perut, hematemesis, diare
berdarah dan asites massif ; (2) orofaringeal anthrax dengan gejala sakit tenggorokan, disfagia,
demam, suara serak dan bengkak pada leher (limfadenopati). Pada antraks inhalasi gejalanya
berupa demam, menggigil, malaise, batuk yang tidak produktif dan nyeri dada ringan.

a. Tatalaksana Awal
Terapi dari penyakit antraks yaitu dengan mengonsumsi antibiotik, yaitu penisilin.
Untuk kasus kutaneus antraks, pengobatan dengan Procain penisilin 2 x 1,2 juta IU diberikan
secara IM selama 5 - 7 hari atau dapat juga dengan menggunakan benzil penicillin 2500 IU secara
IM setiap 6 jam. Antibiotic lain yang dapat digunakan yaitu ciprofloxacillin (500 mg dua kali
sehari), doxycyklin (100 mg dua kali sehari), atau amoksisilin (500 mg tiga kali sehari). Dalam
konteks serangan bioteroris, pengobatan harus dilanjutkan selama 60 hari dibandingkan dengan
tujuh sampai 10 hari untuk penyakit yang didapat secara alami.

Pada antraks intestinal dapat diberikan Penisilin G 18 - 24 juta IU/hari, IVFD


(Intravenous Fluid Drop) ditambah dengan streptomisin 1-2 gram untuk tipe pulmonal, dan
untuk tipe gastrointestinal tetrasiklin 1 gram/ hari. Terapi supportif dan simptomatis perlu
diberikan, biasanya plasma ekspander dan regiment vasopresor bila diperlukan. Pada antraks
intestinal dapat pula menggunakan chloramphenicol 6 gram/hari selama 5 hari, kemudian
diteruskan 4 gram/hari selama 18 hari, diteruskan dengan eritromisin 4 gram/ hari untuk
menghindari supresi pada sumsum tulang.

8
Pengobatan antraks inhalasi yaitu dengan pengobatan intravena (IV) pada dewasa dengan
Ciprofloxacin 400 mg IV bd (dua kali sehari) atau doksisiklin 100 mg IV bd ditambah 1 atau 2
antibiotik lainnya lalu beralih ke pengobatan oral bila sesuai secara klinis, ciprofloxacin 500
mg bd atau doksisiklin 100 mg bd untuk melengkapi 60 hari. Pada anak yaitu dengan
pemberian Ciprofloxacin 10-15 mg IV bd dan Doksisiklin> 8 tahun> 45 kg: 100 mg IV bd 8
tahun <45 kg atau <8 tahun: 2,2 mg / kg bd +1 atau 2 antibiotik lainnya lalu beralih ke antibiotik
oral bila sesuai secara klinis. Ciprofloxacin 10-15 mg / kg bb atau doksisiklin (rejimen dosis yang
sama) sampai selesai 60 hari.

b. Tatalaksana Lanjut
Begitu pasien telah stabil secara klinis, perawatan IV dapat beralih ke oral dan
monoterapi dapat digunakan untuk menyelesaikan pengobatan 60 hari. Antibiotik lain yang
aktif secara in vitro melawan strain B. anthracis adalah: ampisilin, penisilin, klindamisin,
klaritromisin, imipenem/ meropenem, vankomisin, rifampisin, dan kloramfenikol. Wanita
hamil dan pasien immunocompromised harus menerima pengobatan yang sama dan perlu
mempertimbangkan steroid dengan edema berat atau meningitis satu obat bisa digunakan saat
pasien sudah stabil.

Profilaksis post-exposure (pasca-pajanan) tidak dianjurkan untuk penderita asimptomatik,


kecuali otoritas kesehatan atau polisi setempat dan mereka telah terpapar ancaman spora antraks
yang bisa dipercaya. Profilaksis diperlukan dalam jangka panjang (60 hari) karena masa laten
yang bisa lenyap sebelum spora yang terhirup mengalami germinasi. Ciprofloxacin
profilaksis pilihan utama yaitu dengan dosis oral dewasa 500 mg bd dan anak- anak 20–30 mg/kg
BB perhari, dibagi atas dosis (1) 10 kg: 125 mg bd; (2) 20 kg: 250 mg bd; (3) 30 kg: 375 mg bd;
(4) 40 kg: 500 mg bd.

Pencegahan lain yaitu dengan menghindari mengonsumsi daging ternak yang


kurang matang dan pada peternak untuk melakukan pengecekan berkala kepada hewan ternak.
Obati hewan yang terkontaminasi menggunakan penisilin, tetrasiklin, dan preparat sulfa. Apabila
pengaruh obat sudah hilang, lakukan vaksinasi sebab pengobatan dapat mematikan endospora
yang terkandung dalam vaksin. Selain itu untuk memutus rantai penularan, bangkai ternak
tersangka anthrax dan semua material yang diduga tercemar misalnya karena pernah
bersinggungan dengan hewan penderita harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur
dalam-dalam serta bagian atas dari lubang kubur dilapisi batu kapur secukupnya. Area penguburan

9
hendaknya diberi tanda supaya semua pengembalaan hewan di area sekitar menjauhi lokasi
penguburan.

3. Infeksi HIV bersamaan dengan Systemic Lupus Erythematosus


Munculnya Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Human Immuno Deficiency Virus (HIV) yang
terjadi secara bersamaan merupakan hal yang eksklusif. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan infeksi
HIV mempunyai banyak manifestasi klinis, yang meliputi myalgia, athralgia/arthritis, ruam kulit, dan
limfadenopati, serta keterlibatan organ, seperti ginjal, jantung, paru-paru, dan sistem saraf pusat.

Tatalaksana
Pasien mendapat terapi antiretroviral duviral (lamivudine + zidovudine ) dan neviral
(nevirapine) untuk tatalaksana HIV, methylprednisolone 8 mg-0-0, chloroquine 1 x 250 mg
untuk tatalaksana SLE. Hasil dari terapi tersebut menunjukkan perbaikan secara klinis dan
laboratorium. Pemberian obat antimalaria, seperti chloroquine terbukti menurunkan viral load
HIV. Namun sebaliknya, immunosupresan dengan cyclophosphamide memperlihatkan
peningkatan viral load HIV. Perlu diperhatikan bahwa terapi infeksi HIV pada SLE
sebaiknya secara individual untuk mencapai keseimbangan antara kontrol infeksi virus dan
aktivitas SLE. Douvas dan kawan-kawan menemukan bahwa serum dari 5 (56%) dari 9
pasien dengan penyakit jaringan ikat dan antibodi anti-RNP mampu menetralkan infektivitas
strain HIV sebesar 70-99%. Alonso dan Lozada melaporkan pasien SLE dengan antibodi
anti-RNP yang terinfeksi HIV dengan viral load tidak terdeteksi. Pengobatan flare SLE yang
berulang dengan intravena (IV) cyclophosphamide (CYC) menghasilkan peningkatan viral
load sebesar 135.720 kopi/ml. Viral load tidak terdeteksi lagi ketika CYC dihentikan.
Hazarika dan kawan-kawan melaporkan munculnya infeksi HIV mengikuti 3 dosis IV CYC
yang digunakan untuk menekan lupus nephritis. Autoantibodi dengan terapi imunosupresif
menghasilkan perburukan kondisi atau munculnya infeksi HIV baru. Pada salah satu pasien
yang menerima 3 dosis IV CYC, HIV didiagnosis setahun kemudian ketika ia dirujuk ke
rumah sakit dengan flare lupus.

Obat antiretroviral memperbaiki gejala klinis HIV yang berhubungan dengan


penyakit rematik. Beberapa obat digunakan pada terapi penyakit rematik (indomethacin,
hydroxychloroquin) juga memiliki efek antiretroviral. Penggunaan terapi kombinasi yang
direkomendasikan untuk infeksi HIV dapat meningkatkan CD4+ dan secara signifikan

10
menurunkan viral load pasien. Pada manajemen kasus ini yang perlu diperhatikan adalah
peningkatan CD4+ dan timbulnya kembali manifestasi SLE.

Untuk mengurangi gejala muskuloskeletal, nonsteroidal anti-inflammatory drugs


(NSAID ) dapat digunakan sesuai dengan pedoman pada pasien HIV-negatif. Menariknya,
indometasin telah terbukti dapat menghambat replikasi HIV in vitro, dengan dosis 50 mg
indometasin dapat menghambat 50% replikasi virus. Karena efek dari indometasin tersebut,
NSAID dapat dipertimbangkan sebagai pilihan pada pasien dengan HIV(13). Pada pasien
dengan riwayat hipertensi tidak diberikan NSAID mengingat NSAID sendiri dapat
memperberat hipertensi. Adapun obat antinyeri dapat digantikan dengan parasetamol.

Kriteria Rujukan Limfadenopati


 Limfadenopati dengan ukuran >1 cm yang sudah ada selama >6 minggu, dengan
etiologi yang tidak dapat diketahui
 Limfadenopati selama <6 minggu, dengan :
- B symptoms (Penurunan berat badan >10 %, keringat basah, demam yang
idiopatik)
- Pembesaran hepar atau splen
- Pembesaran nodul yang cepat
- Pembesaran nodul yang menyebar luas
- Anemia/leukopenia/trombositopenia
- Hiperkalsemia

*Nodul pada ketiak atau selangkangan harus dirujuk untuk dilakukan tindakan bedah

11
PENUTUP

Kesimpulan

Limfadenopati merupakan pembesaran kelenjar getah bening dengan ukuran lebih besar dari
1 cm. Adapun klasifikasinya berdasarkan luas limfadenopati :

 Generalisata : Limfadenopati pada 2 atau lebih regio anatomi yang berbeda.


 Lokalisata : Limfadenopati pada 1 regio.

Limfadenopati bukan suatu penyakit, melainkan gejala yang mendasari suatu penyakit
(Penyakit Kimura Parotis, Penyakit Antraks, dan Infeksi HIV bersamaan dengan Systemic
Lupus Erythematosus (SLE). Penyakit ini masing-masing ditatalaksana berdasarkan
etiologinya. Tatalaksana bisa berupa tatalaksana awal maupun tatalaksana lanjut/rujukan.
Sebelum ditatalaksana lanjut/rujukan, perlu diketahui kriteria rujukan apa saja yang
mendasarinya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abhange, R.S., Jadhav, R.P. and Jain, N.K., 2018. Kimura Disease: A Rare Case Report.
Annals of Pathology and Laboratory Medicine, 5(3), pp.C53-55.

Clarasinta, Claudia; Soleha, Tri Umiana. 2017. Penyakit Antraks : Ancaman Untuk Petani
dan Peternak. Lampung : Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Harsarapama, Pandu Putra; Dewi, Yussy Afriani; dkk. 2016. Penyakit Kimura Parotis.
Bandung : Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Sariningsih, Fajar; Suryana, BP Putra; Ismanoe, Gatoet. 2017. Infeksi HIV Bersamaan
Dengan Systemic Lupus Erythematosus. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya

Zanni, M.V., Toribio, M., Robbins, G.K., Burdo, T.H., Lu, M.T., Ishai, A.E., Feldpausch,
M.N., Martin, A., Melbourne, K., Triant, V.A. and Suchindran, S., 2016. Effects of
antiretroviral therapy on immune function and arterial inflammation in treatment-naive
patients with human immunodeficiency virus infection. JAMA cardiology, 1(4), pp.474-480.

13

Anda mungkin juga menyukai