Anda di halaman 1dari 13

Gejala dan Penatalaksanaan Difteri pada Anak

Ricko
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510. No. Telp (021) 5694-2061
eveline.2014fk174@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Masa anak merupakan salah satu masa yang rentan terhadap penyakit. Salah satu
penyakit yang dapat terjadi pada anak adalah difteri. Difteri merupakan penyakit menular
yang disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae yang ditandai dengan
terbentuknya pseudomembran. Infeksi pada saluran nafas atas akan menimbulkan gejala
seperti demam, nyeri tenggorokan, dan pembentukkan pseudomembran. Penyakit ini sering
dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu,
menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Selain dengan menjaga kebersihan, pemberian vaksinasi juga berperan penting untuk
mencegah timbulnya difteri.

Kata Kunci : Difteri, Infeksi anak, Vaksin DPT, Pengobatan difteri

Abstract
Childhood is one of the most vulnerable time to diseases. One of the diseases that
often occurs in children are diphtheria. Diphtheria is an infectious disease caused by
Corynebacterium diphtheriae and is characterized by the formation of pseudomembranous.
Infection on the upper respiratory tract will cause symptoms such as fever, sore throat, and
pseudomembrane formation. The disease is often found in densely populated areas with low
sanitation levels. Therefore, maintaining cleanliness is important, because of their role in
supporting our health. In addition to maintain cleanliness, vaccination is also important to
prevent diphtheria.

Keywords : Diphtheria, Childs infection, DPT vaccine, Diphtherias treatment

1
Pendahuluan
Masa anak merupakan salah satu masa yang rentan terhadap penyakit. Salah satu
penyakit yang dapat terjadi pada anak adalah difteri. Difteri merupakan penyakit menular
yang disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae yang ditandai dengan
terbentuknya pseudomembran pada mukosa dan kulit. Bakteri ini menginfeksi saluran nafas
atas manusia (laring, faring, hidung) dan juga dapat menginfeksi bagian lain seperti kulit,
vulva, konjungtiva, umbilikus, dan telinga. Infeksi pada saluran nafas atas akan menimbulkan
gejala seperti demam, nyeri tenggorokan, dan pembentukkan pseudomembran pada tonsil,
faring, dan rongga hidung.1
Penderita difteri umumnya adalah anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun. Pada
awal abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum kematian bayi dan anakanak. 2,3 Oleh
karena itu, difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosis dan diterapi dengan segera.
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh
karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
kesehatan kita. Selain dengan menjaga kebersihan, pemberian vaksinasi juga berperan
penting untuk mencegah timbulnya difteri.1,2
Kajian pustaka ini dibuat dengan tujuan agar mahasiswa:
1. Mengetahui dan memahami gambaran klinis difteri.
2. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan yang tepat untuk difteri.
3. Dapat membedakan difteri dari penyakit lainnya.
Dalam proses penyusunan kajian pustaka ini, penulis mengalami kesulitan karena waktu dan
sumber yang tersedia terbatas.

Skenario
Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dibawa ibunya ke IGD RS karena sesak nafas sejak 1
hari yang lalu.

Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau
dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (alloanamnesis). Pada setiap anamnesis
selalu ditanyakan identitas pasien terlebih dahulu yang meliputi nama, tanggal lahir, umur,
suku, agama, alamat, pendidikan dan pekerjaan. Setelah itu, dapat ditanyakan pada pasien apa
keluhan utama yang membuat pasien datang berobat.

2
Berdasarkan anamnesis yang baik, dokter dapat menentukan beberapa hal, yaitu
penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien (kemungkinan
diagnosis), penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya
keluhan pasien (diagnosis banding), faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan
terjadinya penyakit tersebut (faktor predisposisi dan faktor risiko), kemungkinan penyebab
penyakit (kausa/etiologi), faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk
keluhan pasien (faktor prognostik, termasuk upaya pengobatan), pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk menentukan diagnosisnya
Data-data yang perlu kita tanyakan pada anamnesis diantaranya:
1. Identitas pasien :
Nama lengkap dan nama panggilan, umur, jenis kelamin, nama orangtua, alamat, data
orangtua (umur, pendidikan dan pekerjaan), agama dan suku bangsa.
2. Keluhan utama
Menanyakan keluhan yang dirasakan pasien sehingga pasien tersebut pergi ke dokter.
Selain itu, keluhan utama harus disertai dengan indikator waktu, berapa lama pasien
mengalami hal tersebut. Pada skenario, keluhan utama anak tersebut adalah sesak nafas
sejak 1 hari yang lalu.
3. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan riwayat perjalanan penyakit (lamanya keluhan berlangsung dan
bagaimana sifat terjadinya gejala). Selain itu juga dapat ditanyakan apakan pasien
memiliki keluhan lain yang menyertakan keluhan utama seperti demam, nyeri
tenggorokan, nafsu makan berkurang, dan sebagainya.
4. Riwayat penyakit dahulu
Merupakan riwayat penyakit yang pernah dialami, baik penyakit yang didapat
(acquired) maupun yang diturunkan (kongenital). Selain itu, juga ditanya apakah pasien
memiliki alergi.
5. Riwayat penyakit keluarga
Merupakan riwayat penyakit anggota keluarga pasien. Hal ini diperlukan karena dapat
mempengaruhi dan menjadi faktor pencetus dari penyakit yang diderita pasien.
6. Riwayat sosial ekonomi
Merupakan kondisi kehidupannya sehari-hari, yang meliputi tempat tinggal,
pekerjaan, pola makan, dan sebagainya.
Berdasarkan skenario, didapatkan informasi bahwa pasien seorang anak laki-laki
berumur 3 tahun dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari yang lalu. Menurut ibunya, anak
tersebut demam dan batuk pilek sejak 1 minggu yang lalu, dengan dahak berwarna kuning.
Selain itu, anak tersebut juga rewel, nafsu makannya turun, dan berat badannya 12 kg.

3
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik atau pemeriksaan klinis adalah sebuah proses memeriksa tubuh
pasien untuk menemukan tanda klinis penyakit yang dilakukan oleh seorang ahli medis.
Pemeriksaan fisik yang pertama harus kita lakukan adalah melihat keadaan umum, kesadaran,
dan Tanda-Tanda Vital (TTV) pasien. Pemeriksaan fisik yang biasanya dilakukan pada
tersangka difteri adalah sebagai berikut :
Pemeriksaan TTV
Suhu, denyut nadi, frekuensi nafas, tekanan darah, kesadaran, berat badan, dan
tinggi badan.
Inspeksi
Pada pemeriksaan ini, perlu diperhatikan bentuk toraks, pergerakan dada, keadaan
sela iga, frekuensi nafas, sifat pernafasan, ritme nafas, dan ada atau tidaknya suara
tambahan (mengi, stridor, hoarsness, dan sebagainya).
Palpasi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya rasa nyeri tekan,
massa atau benjolan, dan tanda-tanda peradangan dengan menekan beberapa
bagian toraks.
Perkusi
Perkusi merupakan aktivitas mengetuk bagian tubuh tertentu untuk mengetahui
apakah ada bunyi yang abnormal yang menandakan adanya kelainan.
Auskultasi
Pada auskultasi, kita dapat mendengarkan suara nafas, baik yang normal dan
abnormal untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu penyakit.
Berdasarkan lokasinya, akan didapatkan hasil pemeriksaan fisik yang berbeda untuk
penyakit difteri. Pada difteri tonsil-faring, didapatkan hasil pemeriksaan fisiknya yaitu
malaise, pseudomembran berwarna putih kelabu yang menutupi tonsil dan dinding faring,
suhu <38,9 oC , dan bull neck (pembesaran leher yang teraba keras karena pembengkakan
kelenjar limfe).1,2 Pada difteri laring, didapatkan hasil pemeriksaan fisiknya yaitu stridor,
suara serak, batuk kering, dan retraksi supra sternal, sub costal, dan supra clavicular pada
obstruksi laring yang berat. Pada difteri hidung, didapatkan hasil pemeriksaan fisiknya yaitu
pilek ringan, sekret mukopurulen, membran putih pada septum nasi, dan lecet pada daerah
sekitar hidung.
Dari skenario, didapatkan pada pemeriksaan fisik toraks tampak leher membesar dan
mengeras, stridor, pembesaran tonsil, dan terbentuknya pseudomembran berwarna putih
keabuan sampai ke laring. Selain itu, didapatkan Keadaan umumnya tampak sakit berat,
kesadarannya compos mentis, frekuensi nafasnya 50 kali per menit, denyut nadi 130 kali per

4
menit, dan suhunya 38,5 oC. Untuk menunjang diagnosis, selain dilakukan pemeriksaan fisik,
juga diperlukan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu menentukan
diagnosis, diantaranya:
Pemeriksaan mikroskopik
Untuk melakukan pemeriksaan ini, spesimen diambil dari swab tenggorokan
atau sputum. Pewarnaan yang digunakan merupakan pewarnaan differensial yaitu
Neisser. Bila pasien tersebut menderita difteri, maka akan didapatkan adanya
bakteri Corynebacterium diphtheriae. Morfologi bakteri ini yaitu bakteri batang
pleomorfik gram positif yang tidak berspora, tidak bergerak, dan memiliki
beberapa granula metakromatik pada badannya, seperti yang terlihat di gambar
1.1,2 Pada pewarnaan Neisser, bakteri ini akan berwarna kuning tua atau tengguli
dengan granula metakromatik berwarna ungu tua.

Gambar 1: Corynebacterium Diphteriae1


Isolasi bakteri
Kultur bakteri Corynebacterium diphtheriae dilakukan dengan menggunakan
medium selektif agar darah telurit dan serum koagulasi Loeffler. Pada agar darah
telurit, koloni yang terbentuk berwarna hitam karena adanya reduksi natrium
tellurium. Sedangkan pada medium Loeffler, koloni kecil-kecil, berwarna putih,
dengan batas yang tidak teratur.1 Kultur bakteri membutuhkan waktu selama 18
jam.
Uji biokimia
Pada uji biokimia dapat ditentukan spesies Corynebacterium berdasarkan
sifatnya, seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini.
Glukosa Maltosa Sakharosa Red Gerak

5
Nitrat
Corynebacterium + + - + -
diphteriae
Corynebacterium - - - + -
pseudodiphtericu
m
Corynebacterium + + + + -
xerosis
PCR (Polimerase Chain Reaction)
PCR dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi
Corynebacterium diphteriae. Metode pemeriksaan ini dapat membedakan mana
bakteri yang bersifat toksigenik dan non-toksigenik dengan mendeteksi gen
targetnya yaitu gen tox dan gen dtxR.3 Namun, kelemahan dari pemeriksaan ini
yaitu tidak dapat mendeteksi jenis Corynebacterium lainnya seperti
Corynebacterium ulcerans dan Corynebacterium pseudotuberculosis yang angka
kejadiannya juga meningkat di Indonesia. Selain itu, PCR juga tidak dapat
membedakan Corynebacterium diphtheriae strain toksigenik dan non-toxigenic
tox-gene bearing (NTTX), yaitu kuman difteri yang memiliki gen tox namun tidak
terekspresi.3

Diagnosis
1. Diagnosis Kerja
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada
skenario, maka diagnosis kerja yang paling tepat adalah difteri. Difteri merupakan penyakit
infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium dyphtheriae yang dapat
menyerang saluran nafas atas, kulit, konjungtiva, dan vulva. 1,2,3 Penyakit ini dapat menyerang
semua lapisan usia, namun paling sering terjadi pada anak-anak, terutama anak yang belum
mendapatkan vaksinasi terhadap difteri atau memiliki daya tahan tubuh yang rendah. 4 Difteri
juga merupakan salah satu penyakit yang sering menimbulkan kematian pada anak. Dimana
pada tahun 2000, diseluruh dunia, didapatkan 30.000 kasus difteri dengan 3000 kasus
diantaranya mengakibatkan kematian.2 Penyebab kematian paling sering adalah obstruksi
saluran nafas.
Cara penularan difteri melalui droplet dan kontak tangan ke mulut. Seorang penderita
difteri dapat menularkan penyakit sejak hari pertama sampai 4 minggu atau sampai bakteri
difteri tidak lagi ditemukan.3 Sedangkan, seorang karier dapat menularkan penyakit sampai 6

6
bulan. Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 2-6 hari. Gejala yang ditimbulkan berbeda
sesuai dengan lokasi infeksi bakterinya. Namun, umumnya pada infeksi saluran nafas,
gambaran klinis awal bersifat tidak spesifik, biasanya menyerupai radang tenggorokan
(laringitis dan faringitis), yaitu demam ringan sampai sedang, sakit tenggorokan, suara serak,
batuk, pembengkakan kelenjar limfe di daerah leher, mual muntah, dan sakit kepala. Gejala
lebih lanjut yang timbul lebih spesifik, yaitu pembentukkan pseudomembran, susah menelan,
sulit bernafas, pembengkakan leher (bull neck), badan lemas, dan pucat. Pseudomembran
yang terbentuk merupakan lapisan abu-abu padat yang terdiri dari campuran sel-sel mati,
fibrin, sel darah merah, leukosit, dan organisme.4 Penglepasan pseudomembran ini dapat
menyebabkan perdarahan dan edema mukosa. Gejala-gejala ini timbul karena dihasilkannya
toksin oleh Corynebacterium diphtheriae.
Berdasarkan lokasinya, difteri pada saluran nafas atas dibedakan menjadi tiga,
diantaranya :
Difteri hidung
Gejala yang timbul pada difteri hidung umumnya berupa gejala influensa biasa.
Selain itu juga dapat ditemukan adanya sekret hidung mukopurulen dan membran
putih pada daerah septum nasi. Pada difteri ini, absorpsi toksin berlangsung lambat,
oleh karena itu gejala yang ditimbulkan umumnya tidak khas dan menyebabkan
penyakit ini sulit di diagnosis.
Difteri tonsil-faring
Difteri tonsil-faring merupakan infeksi akut pada mukosa faring-tonsil. Difteri ini
merupakan difteri yang sering dijumpai (75%). Gejala klinis yang dapat ditemukan
yaitu tonsil dan faring hiperemis dan adanya pseudomembran pada tonsil yang
meluas hingga ke daerah faring. Pseudomembran yang terbentuk dapat
menyebabkan obstruksi saluran nafas, sehingga anak juga dapat merasa sesak.
Selain itu, juga terlihat pembengkakan pada leher (bull neck) akibat peradangan dan
pembesaran kelenjar limfe yang terletak di bagian anterior leher dan angulus
mandibula.5 Pada pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar hemoglobin dan
leukositosis polimorfonuklear , penurunan jumlah eritrosit dan albumin. Sedangkan
pada pemeriksaan urin dapat ditemukan albuminuria ringan.
Difteri laring
Difteri laring biasanya terjadi akibat perluasan dari difteri faring, namun juga bisa
akibat infeksi pada laring secara langsung (difteri laring primer). Difteri laring
primer biasanya memiliki gejala yang ringan, karena daya absorpsi toksin pada
laring rendah. Gejala yang timbul diantaranya suara serak, stridor, batuk kering,

7
laring tampak hiperemis dan terbentuknya pseudomembran. Apabila
pseudomembran terlepas, dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas hingga
kematian. Retraksi supra sternal, sub costal, dan supra clavicular dapat dijumpai
pada obstruksi laring yang berat.

2. Diagnosis Banding
Tonsilitis Folikularis
Tonsilitis folikularis merupakan tonsilitis akut (infeksi tonsil akut yang
menimbulkan demam, lemah, nyeri tenggorokan, dan gangguan menelan) dengan
detritus yang jelas. Penyakit ini juga membentuk membran pada mukosa berupa
bintikbintik putih. Anak Gejala klinis pada tonsilitis folikularis biasanya berupa
panas tinggi, anak tampak tidak terlalu lemah, faring dan tonsil tampak hiperemis
dengan membran putih kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah dan
hanya terdapat pada tonsil saja.6
Abses retrofaring
Abses retrofaring merupakan suatu penimbunan nanah pada kelenjar getah
bening di bagian belakang tenggorokan. Abses ini terbentuk akibat infeksi bakteri
pada saluran nafas seperti influenza, faringitis akut, morbili, dan sebagainya.
Karena kelenjar getah bening pada bagian belakang tenggorokan menghilang
setelah masa kanak-kanak (kira-kira usia 5 tahun), maka abses retrofaringeal lebih
sering terjadi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa. Gambaran klinis
yang dapat terlihat pada abses retrofaring ialah nyeri tenggorokan, gangguan
menelan, stridor, demam tinggi, pembesaran kelenjar getah bening di leher, suara
serak, dan hipersalivasi.5
Abses peritonsiler
Abses peritonsiler merupakan radang di jaringan ikat peritonsil, yang
mengakibatkan pembentukan nanah. Abses ini biasanya disebabkan oleh
staphylococcus atau streptococcus. Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai
komplikasi dari tonsilitis. Penyakit ini umumnya terjadi pada orang dewasa dan
jarang terjadi pada anak-anak. Abses yang terbentuk kebanyakan bersifat unilateral.
Penderita biasanya demam, merasa sangat nyeri terutama saat menelan dan
membuka mulut, disertai trismus, tonsil membengkak dan merah, sakit kepala, sakit
pada telinga, hipersalivasi, suara serak, dan bau mulut. Abses peritonsil yang tidak
diobati untuk waktu yang lama bisa menyebabkan komplikasi serius, misalnya

8
penyebaran infeksi ke daerah rahang bawah, leher, atau dada, bahkan terkadang
sampai ke paru-paru dan menyebabkan terjadinya pneumonia.5

Epidemiologi
Pada awal tahun 1990, WHO melaporkan endemik difteri di beberapa bagian dunia,
termasuk Indonesia. Angka kematian karena difteri adalah 20% pada anak-anak dengan usia
kurang dari 5 tahun.4 Sebagian kematian terjadi pada hari ke 3-4 karena asfiksia akibat infeksi
membrane faring atau karena miokarditis. Pada keadaan sepsis, angka mortalitas mencapai
30-40%. Peningkatan kasus difteri di Indonesia terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Data
surveilans difteri tahun 2014 dari Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa kasus difteri
menyebar hampir ke seluruh provinsi di Indonesia dengan kasus terbanyak dilaporkan pada
Jawa Timur, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Banten, dan Sumatera Barat. 2 Tingginya angka
kematian difteri di Indonesia terutama disebabkan karena keterlambatan diagnosis dan terapi.

Etiologi
Difteri merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheriae. Kuman ini merupakan kuman batang pleomorfik gram positif yang tersusun
berpasangan (palisade), tidak bergerak, tidak berspora, aerob, dan dapat menghasilkan
eksotoksin.1,4 Morfologi dari kuman ini dapat dilihat pada gambar 1.
Faktor virulensi utama dari bakteri ini adalah eksotoksin yang dapat menyebabkan
munculnya gejala dan komplikasi sistemik pada difteri. 2 Toksin difteri merupakan protein
dengan berat molekul 58.350 dalton yang tersusun sebagai rantai tunggal polipeptida yang
mengandung 535 residu asam amino.1 Produksi toksin ini diatur oleh gen tox yang terletak
pada kromosom profaga.4 Faktor yang mempengaruhi peningkatan produksi toksin difteri
adalah defisiensi besi dan adanya profaga lisogenik pada kromosom bakteri. Gen yang
mengkode produksi toksin difteri ini akan dibawa oleh bakteriofaga yang pindah dan masuk
ke kromosom bakteri yang non toksigenik dan non virulen dan mengubahnya menjadi
toksigenik dan sangat virulen.1 Jadi, hanya bakteri yang terinfeksi secara lisogenik oleh
bakteriofaga yang dapat menghasilkan toksin.
Berdasarkan kemampuannya dalam menghasilkan toksin difteri, bakteri dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu toksigenik dan non toksigenik. 2 Sebagian bakteri non toksigenik
memiliki gen tox yang tidak terekspresi, yang disebut juga dengan non-toxigenic tox-gene
bearing (NTTB).

9
Berdasarkan morfologi koloni dan reaksi kimia, Corynebacterium diphtheriae
dibedakan menjadi 3, yaitu gravis, mitis, dan intermediate.2,4 Tipe gravis memiliki koloni
yang besar, kasar, ireguler, berwarna abu-abu, dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit.
Tipe mittis memiliki koloni yang kecil, halus, berwarna hitam, konveks, dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit. Sedangkan tipe intermediate memiliki koloni yang kecil,
halus, berbintik hitam ditengahnya, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit. Semua jenis
bakteri ini dapat memproduksi eksotoksin, hanya virulensinya yang berbeda. Tipe gravis dan
intermediate lebih virulen dibandingkan tipe mitis.4

Patofisiologi
Kepadatan penduduk, kurangnya higiene dan sanitasi, imunisasi yang tidak lengkap,
dan pasien immunocompromised merupakan faktor resiko terjadinya difteri. Pasien yang
terinfeksi dan karier dapat menularkan kuman difteri melalui droplet pernapasan, sekret
nasofaring, dan secara tidak langsung melalui debu, baju, atau benda yang terkontaminasi.
Bakteri akan masuk ke tubuh melalui saluran pernapasan bagian atas. Kuman ini
memiliki vili untuk menempel pada epitel pernapasan dan kemudian berkembang biak. Selain
bereplikasi, bakteri ini juga menghasilkan eksotoksin, sehingga menyebabkan reaksi
inflamasi lokal yang diikuti dengan kerusakan jaringan dan nekrosis. Toksin difteri terdiri
dari dua fragmen protein pembentuk, yaitu fragmen A dan B. Fragmen B berfungsi untuk
berikatan dengan reseptor di sel epitel pernapasan dan memotong lapisan membran lipid agar
fragmen A dapat masuk ke dalam sel epitel penjamu. 4 Selanjutnya akan terjadi peradangan,
dekstruksi sel, dan nekrosis. Pada keadaan yang lebih lanjut, toksin yang dihasilkan menjadi
lebih banyak, sehingga daerah yang nekrosis semakin luas dan dalam sehingga terbentuk
eksudat fibrosa (pseudo membran) yang terdiri atas jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel
leukosit, dan sel eritrosit.4 Pseudo membran memiliki karakteristik berwarna kelabu-biru atau
putih. Penyebaran membran ini dapat menyebabkan obstruksi saluran pernapasan dan
dispneu. Respon terhadap inflamasi akan menyebabkan terjadinya pembengkakan kelenjar
limfe di sekitar leher (bull neck).1
Selain itu, kerusakan jaringan lokal menyebabkan toksin menyebar melalui aliran
limfe dan hematogen ke organ lain. Toksin difteri dapat menyerang jantung, ginjal, dan saraf
perifer karena memiliki reseptor yang banyak terhadap toksin difteri. 2 Pada jantung, akan
terjadi pembesaran karena miokarditis. Pada ginjal, akan terjadi pembengkakan karena
perubahan jaringan intersisial. Sedangkan, pada saraf perifer akan terjadi perubahan
degeneratif lemak dan disintegrasi selubung meduler. Selain tiga organ diatas, toksin juga

10
dapat menyerang otak dan menyebabkan perdarahan, meningitis, dan ensefalitis. Penyebab
kematian pada infeksi difteri terutama disebabkan karena obstruksi pernafasan oleh pseudo
membran atau efek toksin terhadap jantung.2,4

Penatalaksanaan
Pengobatan difteri harus segera dimulai meskipun uji konfirmasi belum selesai karena
tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Tujuan pengobatan penderita difteri adalah
menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, meminimalisasi kerusakan yang terjadi,
mengeliminasi Corynebacterium diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati
infeksi penyerta bila ditemukan.
Penatalaksanaan yang diberikan, diantaranya :
Pengobatan umum
Pengobatan umum yang dapat dilakukan yaitu mengisolasi pasien difteri untuk
mencegah resiko penularan, istirahat di tempat tidur minimal selama 2-3 minggu,
dan pemberian makanan lunak atau cair tergantung dengan keadaan penderita dan
kebersihan jalan napas.4 Isolasi biasanya dilakukan selama 2-3 minggu.
Pemeriksaan EKG 2-3 kali seminggu selama 46 minggu dapat dilakukan untuk
mendiagnosis miokarditis secara dini. Dan bila terjadi paralisis, maka dapat
dilakukan fisioterapi pasif yang diikuti dengan fisioterapi aktif ketika keadaan
mulai membaik.
Pengobatan khusus
Pengobatan khusus dilakukan dengan tujuan untuk menetralisir toksin yang
dihasilkan dan membunuh kuman difteri. Pada pengobatan ini, dapat diberikan anti
toksin sedini mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Anti toksin yang diberikan
disebut ADS (Anti Difteri Serum) dan terbuat dari serum kuda. Dosis yang
diberikan bervariasi tergantung jenis difterinya. Pada difteri ringan, dosis yang
diberikan berkisar antara 20.000-40.000 U.4 Sedangkan untuk difteri berat, dosis
yang diberikan berkisar antara 80.000-120.000 U.4 Pemberian ADS dilakukan
secara intra vena.
Selain pemberian antitoksin, juga dapat diberikan antibiotik. Antibiotik
diberikan bukan sebagai pengganti anti toksin, melainkan untuk membantu
membunuh bakteri dan menetralisir toksin. Antibiotik yang dapat diberikan untuk
penderita difteri, diantaranya penisilin procain, eritromisin, amoksisilin, rifampisin,
dan klindamisin.4

11
Komplikasi
Penyebaran toksin secara sistemik dapat menyebabkan timbulnya komplikasi pada
berbagai organ. Timbulnya komplikasi dipengaruhi oleh faktor virulensi, luas
pseudomembran yang terbentuk, jumlah toksin yang diproduksi, dan waktu antara timbulnya
penyakit sampai pemberian anti toksin. Komplikasi yang dapat timbul, diantaranya :4
1. Sistem pernapasan : kegagalan pernapasan dan pneumonia bakterial sekunder
2. Sistem kardiovaskular : miokarditis, endokarditis, dilatasi jantung, blok jantung dan
kegagalan jantung
3. Sistem saraf : disfungsi saraf kranial, neuropati perifer dan kelumpuhan total
4. Septikemia dan syok (jarang)
5. Sendi dan tulang : atritis septik dan osteomielitis
6. Kematian

Pencegahan
Pencegahan penularan difteri dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi lengkap,
baik pada anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Vaksin yang diberikan disebut DTP (Difteri
Tetanus Pertusis) yang bertujuan untuk memberi kekebalan aktif pada penyakit difteri,
tetanus, dan pertusis.3 Vaksin ini mengandung kuman difteri (Corynebacterium diphteriae),
kuman tetanus (Clostridium tetanus), dan kuman pertusis (Bordetella pertusis) yang telah
dilemahkan. Vaksin DTP diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Frekuensi pemberian
vaksin DTP dilakukan 3 kali pada usia 2, 4, dan 6 bulan, sesuai yang tertera pada gambar 2.
Ada dua macam vaksin DTP, yaitu DTaP (Difteri Tetanus acellular Pertusis) dan DTwP
(Difteri Tetanus whole-cell Pertusis). Imunisasi diberikan secara intramuskular atau subkutan
dengan dosis 0,5 ml. Untuk anak umur 7 tahun keatas, diberikan vaksin Td dengan booster
setiap 10 tahun.

12
Gambar 2: Jadwal Imunisasi pada Anak7
Selain pemberian imunisasi, pencegahan penularan penyakit difteri dapat dilakukan
dengan melakukan pengobatan yang benar dan tepat pada penderita difteri dan karier. Perlu
juga dilakukan isolasi bagi penderita difteri sehingga tidak menularkan ke orang lain.

Prognosis4
Prognosis tergantung pada virulensi kuman difteri, lokasi dan luas pseudomembran
yang terbentuk, status kekebalan penderita, cepat lambatnya pengobatan, dan terapi yang
diberikan. Pada difteri dengan keterlibatan jantung, prognosisnya sangat buruk, terutama bila
terjadi blok jantung. Tingkat kematian yang tinggi terjadi pada infeksi oleh kuman difteri tipe
gravis yang lebih cepat menyebabkan obstruksi saluran napas.

Kesimpulan
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman
corynebacterium diphtheria yang ditandai dengan pembentukkan pseudomembran. Gejala
yang timbul disebabkan karena produksi eksotoksin oleh kuman difteri. Perlu dilakukan
diagnosis dan pengobatan yang cepat dan tepat untuk mencegah timbulnya komplikasi dan
menurunkan angka kematian akibat difteri.

Daftar Pustaka
1. Putranto RH, Sariadji K, Sunarno, Roselinda. Corynebacterium diphteriae diagnosis
laboratorium bakteriologi. Jakarta: Obor; 2014. h. 3-11.
2. Sunarno, Pracoyo NE, Sariadji K, Putranto RH. Metode diagnostik cepat laboratorium
untuk identifikasi penyebab difteri. Jakarta: Obor; 2015. h. 16-25.
3. Cahyono SB. Vaksinasi. Yogyakarta: Kansius; 2010. h. 60-5.
4. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Difteri.
Dalam: Buku ajar penyakit dalam. Edisi 1. Jakarta: Interna Publishing; 2015. h. 643-
50.
5. Herawati S, Rukmini S. Ilmu penyakit telinga, hidung, tenggorok. Jakarta: EGC;
2009. h. 52-3.
6. Hasan R, Alatas H. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Vol.2. Jakarta: infomedika;
2007. h. 551-6.
7. IDAI. Jadwal imunisasi anak umur 0-18 tahun. Diunduh dari https://idai.or.id, 1 Juli
2016.

13

Anda mungkin juga menyukai