Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri, Sarcopenia, dan Frailty

Pembimbing:

dr. Rahmah Safitri, Sp.PD

Disusun oleh:

Desi Ayu Rahmadiani (41201396100004)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu’alaikum, Wr. Wb.

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah, rahmat, dan
kemudahan yang telah diberikan sehingga saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul
Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri, Sarcopenia, dan Frailty ini. Shalawat serta salam
tak lupa saya sampaikan kehadirat Nabi Besar, Rasulullah Muhammad SAW semoga kita
senantiasa mendapat syafa’atnya hingga di hari akhir nanti.

Ucapan terima kasih tidak lupa saya sampaikan pula kepada dr. Rahmah Safitri,
Sp.PD yang telah membimbing saya dalam proses pengerjaan referat ini dan juga kepada
semua teman-teman yang telah mendukung saya untuk menyelesaikan laporan ini.

Referat ini saya buat dalam rangka menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam RSUP Fatmawati. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini
masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun agar dapat saya jadikan pembelajaran demi kesempurnaan penyusunan
referat ini.
Demikian referat ini saya susun, semoga dapat bermanfaat bagi saya sebagai penulis
khususnya serta sejawat FK UIN 2017 dan masyarakat luas pada umumnya.
Wassalamu’alaikum, Wr. Wb.
Tangerang Selatan, 29 Mei 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................... 2

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 3

BAB 1

PENDAHULUAN ................................................................................................................ 4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................ 6

BAB 3

KESIMPULAN ................................................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 30

3
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Geriatri adalah cabang disiplin ilmu kedokteran yang mempelajari aspek kesehatan
dan kedokteran pada warga Lanjut Usia (Usia 60 tahun keatas). Aspek kesehatan tersebut
juga meliputi pelayanan kesehatan kepada Lanjut Usia dengan mengkaji semua aspek
kesehatan berupa promosi, pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan rehabilitasi.1 Sementara
itu, Pasien Geriatri sendiri didefinisikan sebagai pasien Lanjut Usia dengan multi penyakit
dan/atau gangguan akibat penurunan fungsi organ, psikologi, sosial, ekonomi dan lingkungan
yang membutuhkan pelayanan kesehatan secara terpadu dengan pendekatan Multidisiplin. 1
Salah satu karakteristik pasien geriatri adalah gejala dan tanda penyakit yang dialami pasien
tidak khas. Tampilan gejala yang tidak khas tersebut seringkali mengaburkan penyakit yang
diderita pasien sehingga sulit untuk didiagnosis secara pasti pada awal pemeriksaan. 2

Prevalensi usia lanjut meningkat lebih cepat dibandingkan populasi kelompok umur
lainnya karena peningkatan angka harapan hidup dan penurunan angka kelahiran. Data
demografi dunia menunjukkan peningkatan populasi usia lanjut meningkat tiga kali lipat
dalam waktu 50 tahun; dari 600 juta pada tahun 2000 menjadi lebih dari 2 miliar pada tahun
2050. Di Indonesia, jumlah penduduk usia lanjut mencapai peringkat lima besar terbanyak di
dunia, yakni 18,1 juta pada tahun 2010 dan akan meningkat dua kali lipat menjadi 36 juta
pada tahun 2025. Angka harapan hidup penduduk Indonesia mencapai 67,8 tahun pada tahun
2000-2005 dan menjadi 73,6 tahun pada tahun 2020-2025. Proporsi usia lanjut meningkat 6%
pada tahun 1950-1990 dan menjadi 8% saat ini. Proporsi tersebut diperkirakan naik menjadi
13% pada tahun 2025 dan menjadi 25% pada tahun 2050. Saat ini, seperduabelas dari seluruh
penduduk di Indonesia merupakan penduduk usia lanjut, jumlah ini akan terus naik hingga
pada tahun 2050 seperempat penduduk Indonesia akan menjadi penduduk usia lanjut.3

Salah satu kondisi yang dapat terjadi pada geriatri adalah sarkopenia. Sarkopenia
merupakan sindrom yang ditandai dengan berkurangnya massa otot rangka serta kekuatan
otot secara progresif dan menyeluruh. Sarkopenia umumnya diiringi inaktivitas fisik,
penurunan mobilitas, cara berjalan yang lambat, dan enduransi fisik yang rendah. Sarkopenia
memiliki peran penting pada patogenesis dan etiologi sindrom frailty. Frailty merupakan

4
sindrom klinis yang disebabkan akumulasi proses menua, inaktivitas fisik akibat tirah baring
lama, turunnya berat badan, nutrisi yang buruk, gaya hidup serta lingkungan yang tidak sehat,
penyakit penyerta, polifarmasi serta genetik, dan dipengaruhi jenis kelamin terutama
perempuan. Faktor tersebut saling berkaitan membentuk siklus dan menyebabkan malnutrisi
4
kronis disertai disregulasi hormonal, inflamasi dan faktor koagulasi.

Karakteristik khusus pasien geriatri yang berbeda dengan pasien pada umumnya serta
peningkatan populasi usia lanjut membuat kajian tentang rencana strategis perawatan
kesehatan usia lanjut menjadi penting untuk dibahas. Pengkajian paripurna pada pasien
geriatri berjutuan untuk meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien geriatri
itu sendiri. Dengan pendekatan tersebut, diharapkan perawatan pada pasien geriatri akan
lebih efektif dan lebih efisien.5

5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Geriatri dan Pasien Geriatri

Geriatri adalah cabang disiplin ilmu kedokteran yang mempelajari aspek kesehatan
dan kedokteran pada warga Lanjut Usia (Usia 60 tahun keatas).1 Sementara itu, Pasien
Geriatri sendiri didefinisikan sebagai pasien Lanjut Usia dengan multi penyakit dan/atau
gangguan akibat penurunan fungsi organ, psikologi, sosial, ekonomi dan lingkungan yang
membutuhkan pelayanan kesehatan secara terpadu dengan pendekatan Multidisiplin. 1

Pasien geriatri memiliki karakteristik yang berbeda dengan pasien-pasien lain.


Karakteristik pasien geriatri yang pertama adalah multipatologi, yaitu adanya lebih dari satu
penyakit kronis degeneratif. Karakteristik kedua adalah menurunnya fungsi organ akibat
proses menua. Karakteristik yang ketiga adalah gejala dan tanda penyakit yang tidak khas.
Karakteristik berikutnya adalah penurunan status fungsional yang merupakan kemampuan
seseorang untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Karakteristik yang terakhir merupakan
karakteristik khusus pasien geriatri yang sering dijumpai di Indonesia yaitu malnutrisi.4

Menurut Kemenkes, pelayanan geriatri diberikan kepada pasien Lanjut Usia dengan
kriteria:

a. Memiliki lebih dari 1 (satu) penyakit fisik dan/atau psikis; atau

b. Memiliki 1 (satu) penyakit dan mengalami gangguan akibat penurunan fungsi


organ, psikologi, sosial, ekonomi dan lingkungan yang membutuhkan pelayanan
kesehatan.

Selain itu, pelayanan Geriatri juga diberikan kepada pasien dengan usia 70 (tujuh
puluh) tahun ke atas yang memiliki1 (satu) penyakit fisik dan/atau psikis. 1

2.2. Sindrom Geriatri

Sindrom geriatri adalah Masalah yang sering dijumpai pada pasien geriatri yang
meliputi: imobilisasi, instabilitas, inkontinensia, insomnia, depresi, infeksi, defisiensi imun,
gangguan pendengaran dan penglihatan, gangguan intelektual, kolon irritable, impecunity,
dan impotensi.4

6
a. Imobility (Imobilisasi)

Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau


lebih, diiringi gerak anatomis tubuh yang menhilang akibat perubahan fungsi
fisiologis. Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan
imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri,
lemah, menurunnya kekuatan otot, ketidaksembangan dan masalah psikologis.

b. Instability (Instabilitas dan jatuh)

Gangguan keseimbangan (instabilitas) akan memudahkan pasien geriatri


terjatuh dan dapat mengalami patah tulang. Terdapat banyak faktor yang berperan
untuk terjadinya instabilitas dan jatuh pada orang usia lanjut. Berbagai faktor tersebut
dapat diklasifikasikan sebagai faktor instrinsik (faktor risiko yang ada pada pasien)
dan faktor risiko ekstrinsik (faktor yang terdapat di lingkungan).

c. Intelektual Impairment (Gangguan Kognitif)

Keadaan utama yang menyebabkan gangguan intelektual pada pasien lanjut


usia adalah delirium dan demensia. Demensia adalah gangguan fungsi intelektual
dan memori yang dapat disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan
tingkat kesadaran. Demensia tidak hanya masalah pada memori namun mencakup
berkurangnya kemampuan untuk mengenal, berpikir, menyimpan atau mengingat
pengalaman yang lalu dan juga kehilangan pola sentuh, pasien menjadi perasa
(sensitif) dan terganggunya aktivitas sehari-hari.

d. Incontinence (Inkontinensia Urin dan Alvi)

WHO mendefinisikan Faecal Incontinence sebagai keluarnya feses cair atau


padat secara tidak sadar. Definisi lain menyatakan inkontinensia alvi/fekal sebagai
perjalanan spontan atau ketidakmampuan untuk mengendalikan pembuangan feses
melalui anus. Kejadian inkontinensia alvi/fekal lebih jarang dibandingkan
inkontinensia urin.

Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali


pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,
sehingga mengakibatkan masalah sosial dan higienis.

7
e. Isolation (Depresi)

Gangguan depresi pada usia lanjut kurang dipahami sehngga banyak kasus
tidak dikenali. Gejala depresi pada usia lanjut sering kali dianggap sebagai bagian dari
proses menua. Faktor yang memeperberat depresi adalah kehilangan orang yang
dicintai, kehilangan rasa aman, serta taraf kesehatan menurun.

f. Impotence (impotensi)

50% pria pada umur 65 tahun dan 75 % pria pada usia 80 tahun mengalami
impotensi. 25 % terjadi akibat mengkonsumsi obat-obatan seperti: anti hipertensi, anti
psikosa, anti depressant, litium (mood stabilizer). Selain karena mengkonsumsi obat-
obatan, impotensi dapat terjadi akibat menurunnya kadar hormon.

g. Immunodeficiency (penurunan imunitas)

Perubahan yang dapat terjadi dari proses menua adalah: berkurangnya


imunitas yang dimediasi oleh sel, rendahnya afinitas produksi antibodi, meningkatnya
autoantibodi, terganggunya fungsi makrofag, berkurangnya hipersensitivitas tipe
lambat, atrofi timus, hilangnya hormon timus, berkurangnya produksi sel B oleh sel-
sel sumsum tulang

h. Infection (Infeksi)

Infeksi sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi sistem imun pada usia
lanjut. Infeksi yang sering dijumpai adalah infeksi saluran kemih, pneumonia, sepsis
dan meningitis. Kondisi lain seperti kurang gizi, multipatologi, dan faktor lingkungan
memudahkan usia lanjut terkenaa infeksi.

i. Inanitation (Malnutrisi)

Etiologi malnutrisi yaitu: malnutrisi primer terjadi sebab kurangnya intake


makanan tanpa disebabkan penyakit apapun. Sementara itu, malnutrsi sekunder atau
bersayarat terjadi karena ada suatu kondisi yang mendasari.

j. Impaction (Konstipasi)

Konstipasi adalah konsistensi feses keras, mengejan dengan keras saat BAB,
rasa tidak tuntas saat BAB yang terjadi sekurang-kurangnya dalamn 3 bulan terakhir.

8
Faktor resiko yang menyebabkan konstipasi adalah: obat-obatan (narkotik golongan
NSAID, antasid aluminium, diuretik, analgetik), kondisi neurologis, gangguan
metabolik, psikologis, penyakit saluran cerna, lain-lain (diet rendah serat, kurang
olahraga, kurang cairan).

k. Insomnia (Gangguan tidur)

Merupakan gangguan tidur yang sering dijumpai pada pasien geriatri.


Umumnya mereka mengeluh bahwa tidurnya tidak memuaskan dan sulit
mempertahankan kondisi tidur. Sekitar 57% orang lanjut usia di komunitas
mengalami insomnia kronis, 30% pasien usia lanjut mengeluh tetap terjaga sepanjang
malam, 19% mengeluh bangun terlalu pagi, dan 19% lainnya mengalami kesulitan
untuk tertidur. Faktor yang menyebabkan insomnia: perubahan irama sirkadian,
gangguan tidur primer, penyakit fiisik (hipertiroid, arteritis), penyakit jiwa,
pengobatan polifarmasi, dan demensia.

l. Latrogenik disorder (Gangguan latrogenik)

Karakteristik yang khas dari pasien geriatri yaitu multipatologik, sering kali
menyebabkan pasien mengkonsumsi obat yang tidak sedikit jumlahnya. Pemberian
obat pada lansia harus sangat hati-hati dan rasional karena obat akan dimetabolisme di
hati dan diekskresikan melalui ginjal, sedangkan pada lansia terjadi penurunan faal
hati juga terjadi penurunan faal ginjal (jumlah glomerulus berkurang), sehingga pada
lansia sisa metabolisme obat tidak dapat dikeluarkan dengan baik dan dapat berefek
toksik.

m. Gangguan Pendengaran, Penglihatan dan Penciuman

Gangguan penglihatan dan pendengaran juga sering dianggap sebagai hal yang
biasa akibat proses menua. Prevalensi gangguan penglihatan pada pasien geriatri yang
diarawat di Indonesia mencapai 24%. Gangguan pengelihatan dan pendengaran akan
menyebabkan penurunan kualitas hidup, meningkatkan disabilitas fisik,
4
ketidakseimbangan, jatuh, fraktur panggul dan mortalitas.

2.3. Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri (P3G)

Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri adalah suatu proses diagnostik interdisiplin


untuk menentukan masalah yang dialami, kemampuan fungsional, psikososial dan

9
lingkungan bagi pasien lanjut usia. Karakteristik dan sindrom pada pasien geriatri berbeda-
beda, oleh karena itu diperlukan pendekatan khusus yang berorientasi bio-psiko-sosial kepada
setiap pasien lanjut usia agar penatalaksanaannya paripurna dan holistik.5

Tujuan Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri (P3G) adalah untuk merencanakan


penanganan yang komprehensif serta tindak lanjut jangka panjang bagi pasien geriatri.
Sedangkan manfaat dari P3G adalah mendapatkan keterpaduan dalam tatalaksana geriatri
sehingga tatalaksana menjadi efektif dan efisien sehingga dapat penghematan biaya
pengobatan.5

2.4. Pengkajian Multidimensional pada P3G

Pengkajian multidimensional pada pasien geriatri dapat dilakukan dengan berbagai


instrumen. Pemeriksaan yang perlu dilakukan antara lain: 5

2.4.1. Status Fisik (Pemeriksaan Fisik Head-to-Toe)

Pada pemeriksaan keadaan umum sangat dianjurkan untuk benar-benar


memperhatikan derajat penurunan atau perubahan kesadaran. Pemeriksaan tekanan
darah dan frekuensi denyut jantung harus dilakukan pada posisi berbaring dan duduk
serta berdiri (bila memungkinkan); hipotensi ortostatik lebih sering muncul pada
pasien Lanjut Usia dan geriatri. Pemeriksaan jasmani dilakukan menurut sistematika
sistem organ mulai dari sistem kardiovaskular, sistem pernapasan, sistem
gastrointestinal, sistem genitourinarius, sistem muskuloskeletal, sistem hematologi,
sistem metabolikendokrinologi dan pemeriksaan neurologik. 5

2.4.2 Status Fungsional

Menunjukkan derajat kemandirian pasien yang bertujuan meningkatkan


kualitas hidup pada pasien geriatri. Penilaian status fungsional dapat dilakukan
dengan menggunakan instrumen penilaian:

a. Instrumen aktivitas hidup sehari-hari/activity daliy living (ADL)


dengan Instrumen Indeks Barthel Modifikasi

Kuesioner ini digunakan untuk menilai tingkat kemandirian dalam


aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS)/Activity of Daily Living (ADL) dan
dapat digunakan untuk melihat kemajuan pasien penyakit kronis sebelum dan

10
setelah terapi, serta untuk menentukan berapa besar bantuan perawatan yang
dibutuhkan pasien. Kuesioner dalam bentuk skala angka, ditanyakan langsung
kepada pasien ataupun keluarga terkait kemandirian fungsi dalam mengurus
diri sendiri dan mobilitas.

Cara pemeriksaannya adalah pemeriksa menanyakan 10 kegiatan


sehari-hari yang tercantum di kuesioner dan memberi skala angka (seperti
yang tertera berikut ini). Selanjutnya dilakukan penjumlahan skor hasil akhir
pemeriksaan.

Tabel 2.1 Penilaian Activity Of Daily Living (ADL) Dengan Instrumen Indeks Barthel Modifikasi

 Skor Barthel Index (Nilai AKS / ADL)

19 : Mandiri (A)

12 –18 : Ketergantungan ringan (B)

11
9 – 11 : Ketergantungan sedang (B)

5 – 8 : Ketergantungan berat (C)

0 – 4 : Ketergantungan total (C)

b. Instrumental Activities of Daily Living (IADL) Lawton

Pemeriksa menanyakan 8 kegiatan sehari-hari yang tercantum di


kuesioner dengan tulisan dibold dan melingkari skor angka sesuai jawaban
yang disampaikan pasien. Selanjutnya dilakukan penjumlahan skor hasil akhir
pemeriksaan, dan dilakukan interpretasi sebagai berikut:

12
Tabel 2.2 Penilaian Tingkat Kemandirian Dengan Instrumental Activities Of Daily Living(IADL) Lawton

c. Instrumen Penilaian Risiko Jatuh pada Pasien Lanjut Usia untuk


menilai instabilitas pada lansia.

Jatuh didefinisikan sebagai perpindahan tubuh ke bawah, ke tanah atau


benda lain, secara tiba-tiba, tidak terkendali, dan tidak disengaja. Nyaris
jatuh adalah kehilangan keseimbangan secara tiba-tiba yang tidak
mengakibatkan jatuh atau cedera lainnya. Hal ini dapat mencakup orang
yang tergelincir atau tersandung tetapi mampu mendapatkan kembali kontrol
sebelum jatuh. Kejadian jatuh pada lansia sangat sering terjadi. Oleh karena
itu perlu dilakukan upaya pencegahan dengan melakukan penilaian risiko
jatuh pada pasien lanjut usia dengan menggunakan kuesioner Penilaian
Risiko Jatuh Pasien Lanjut Usia. Tenaga medis perlu mengidentifikasi
gejala/kriteria seperti yang disebutkan dalam kuesioner. Jika pada pasien
dijumpai gejala/kriteria tersebut, maka pasien mendapat skor sesuai dengan
skala yang tercantum. Jika tidak, maka pasien mendapat nilai 0.

13
Tabel 2.3 Penilaian Risiko Jatuh Pasien Lanjut Usia

 Pasien dengan risiko jatuh tinggi harus diberikan program pencegahan jatuh
berupa:

1. Identifikasi dengan pemberian gelang/pita kuning risiko jatuh saat berada


di fasilitas kesehatan umum.

2. Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai cara untuk mencegah pasien
geriatri terjatuh. Informasi yang diberikan seperti dalam brosur terlampir.

3. Pasien dengan risiko jatuh tinggi harus dirujuk ke dokter terlatih tentang
geriatri untuk tata laksana lebih lanjut.

 Tatalaksana yang dapat diberikan adalah dengan mengatasi faktor risiko


yang ditemukan meliputi :

• Pusing diatasi: dimana ini disebabkan oleh hipertensi sehingga


hipertensi perlu dikontrol lebih teratur.

• Gangguan penglihatan (katarak) diatasi dengan dirujuk ke dokter


mata untuk dilakukan operasi katarak.

• Memperkuat kekuatan otot dengan diberikan pelatihan penggunaan


otot pada kegiatan sehari-hari.

2.4.3. Status Mental dan Kognitif

Kondisi mental dan kognitif pada pasien geriatri cenderung memburuk dari
waktu ke waktu. Kondisi yang paling sering dialami adalah demensia dan depresi.
Demensia adalah kondisi penurunan fungsi mental progresif yang terus menerus,
makin lama makin buruk, meliputi penurunan daya ingat akan hal yang baru saja
terjadi, kemunduran kemahiran berbahasa, kemunduran intelektual (daya pikir), yang
mengganggu aktivitas sehari–hari dan umumnya disertai perubahan perilaku maupun
kepribadian. Dua jenis demensia yang tersering terjadi adalah demensia tipe
Alzheimer dan demensia vaskuler (pasca Stroke). Sementara itu, depresi adalah
perasaan sedih dan tertekan yang menetap selama lebih dari dua minggu.
Perasaan tertekan sedemikian beratnya sehingga yang bersangkutan tak dapat
melaksanakan fungsi sehari–hari. Lanjut Usia sering menderita depresi karena banyak

14
mengalami kehilangan seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan kemampuan fisik,
kehilangan harga diri, kematian atau kehilangan pasangan hidup/kerabat/ keluarga
dekat dan kepergian anak–anak.

Pemerikaan ini bertujuan untuk menilai adanya penurunan fungsi kognitif dan
depresi. Status kognitif dapat dinilai dengan instrument dibawah ini:

a. Mini Cog dan clock drawing test

- Cara Pemeriksaan:

1. Mintalah pasien untuk mendengarkan dengan cermat, mengingat, dan


kemudian mengulangi menyebutkan tiga kata yang tidak berhubungan
(contoh: bola, melati, kursi) yang disebutkan oleh pemeriksa.

2. Instruksikan pasien untuk menggambar jam pada selembar kertas kosong


atau berikan pasien kertas dengan lingkaran yang telah digambar pada kertas
tersebut.

3. Pasien diminta untuk menggambar jam yang menunjukkan pukul sebelas


lewat sepuluh menit (pukul 11.10).

4. Minta pasien untuk menyebutkan kembali tiga kata yang telah disebutkan di
awal pemeriksaan.

5. Bila pasien tidak mampu menyebutkan kata-kata pada awal pemeriksaan,


maka tidak perlu ditanyakan kembali. Karena hal tersebut telah menunjukkan
hendaya kognitif.

Dikatakan curiga fungsi kognitifnya menurun apabila tidak dapat


mengingat satu atau lebih kata yang diberikan sebelumnya dan/atau tidak
mampu menggambar jam dengan sempurna. Tetapi apabila dapat mengingat
tiga kata yang diberikan sebelumnya dan/atau mampu menggambar jam
dengan sempurna kemungkinan fungsi kognitif dalam batas normal.

15
Tabel 2.4 Pemeriksaan Mini Cog dan Clock Drawing Test
b. Mini Mental State Examination (MMSE)

Tabel 2.5 Penilaian Dengan mini Mental State Examination (MMSE)

 Interpretasi :

Dalam melakukan interpretasi hasil penilaian MMSE maka perlu


mempertimbangkan tingkat pendidikan dan kesadaran pasien. Secara umum

16
(sederhana) pengelompokkan fungsi kognitif global dengan instrumen MMSE
dapat dikelompokkan sebagai berikut:

 Skor 0-10 : fungsi kognitif global buruk


 Skor 11-20: fungsi kognitif global sedang
 Skor 21 – 30: fungsi kognitif global masih relatif baik

c. Geriatric Depression Scale (GDS)

Pengisian GDS dilakukan dengan menjelaskan pada pasien bahwa


pemeriksa akan menanyakan keadaan perasaannya dalam dua minggu terakhir,
tidak ada jawaban benar salah, jawablah ya atau tidak sesuai dengan perasaan
yang paling tepat akhir-akhir ini. Setelah semua pertanyaan dijawab, hitunglah
jumlah jawaban yang bercetak tebal. Setiap jawaban (ya/tidak) yang bercetak
tebal diberi nilai satu. Jumlah skor diantara 0-5 menunjukkan kemungkinan
besar tidak ada gangguan depresi, jumlah skor diantara 5-9 menunjukkan
kemungkinan besar ada gangguan depresi sedangkan jumlah skor 10 atau
lebih menunjukkan ada gangguan depresi.

Tabel 2.6 Penilaian Depresi Pasien Lanjut Usia Dengan Instrumen Geriatric Depression Scale
(GDS)

17
2.4.4 Status Nutrisi

Untuk mengetahui status nutrisi pasien geriatri dapat menggunakan Instrumen


Mini Nutritional Assessment (MNA). Instrumen ini bermanfaat untuk mendeteksi
adanya risiko malnutrisi atau adanya malnutrisi pada pasien lanjut usia.

Pemeriksaan dengan Instrumen MNA terdiri dari dua tahap, yaitu tahap
pertama (penapisan/skrining) dan tahap kedua (penilaian). Apabila skor pada tahap
pertama <11, maka akan dilanjutkan ke tahap kedua. Selanjutnya, seseorang
diklasifikasikan :

- Malnutrisi apabila jumlah total skor <17

- Berisiko malnutrisi apabila total skor antara 17–23,5.

18
19
Tabel 2.7 Penilaian Risiko Malnutrisi Pasien Lanjut Usia dengan Mini Nutritional assessment (MNA)

2.4.5 Status Sosial dan Ekonomi

Faktor sosial-ekonomi pasien meliputi kondisi dalam keluarga, lingkungan


fisik, masyarakat sekitar, ekonomi dan aspek hukum yang dapat terkait dengan pasien
lanjut usia. Status sosial yang baik menunjukkan status fungsional dan status kognitif
yang masih baik. Dengan mengenali lingkungan sosial sekitarnya akan mengetahui
potensi yang dapat membantu meningkatkan kualitas hidup lanjut usia.5

20
2.5 Sarcopenia

2.5.1. Definisi Sarcopenia

Sarkopenia merupakan sindrom yang ditandai dengan berkurangnya massa


otot rangka serta kekuatan otot secara progresif dan menyeluruh. Sarkopenia
umumnya diiringi inaktivitas fisik, penurunan mobilitas, cara berjalan yang lambat,
dan enduransi fisik yang rendah.

Sarkopenia merupakan kondisi yang dapat terjadi pada usia lanjut yang sehat.
Walaupun sarkopenia terutama terjadi pada usia lanjut, terdapat kondisi lain yang
dapat menyebabkan sarkopenia pada dewasa muda, seperti malnutrisi, gaya hidup
sedenter, keganasan, dan cachexia.6

2.5.2. Prevalensi Sarcopenia

Sarkopenia dimulai saat usia 40-50 tahun dan melaju sekitar 0,6% setiap tahun
berikutnya. Penurunan massa otot dengan laju tersebut biasanya belum memiliki
dampak buruk, namun ketika otot tidak digunakan seperti pada kondisi sakit
penurunan massa otot memberikan dampak buruk. Di Asia, prevalensi sarkopenia
8%-22% pada perempuan dan 6%-23% pada laki-laki. Setiati et al, melaporkan
jumlah pasien dengan kekuatan genggam tangan yang rendah sebesar 8% dan
mobilitas terbatas sebesar 2,8% dari 251 pasien geriatri rawat jalan.7

2.5.3. Etiopatogenesis Sarcopenia

Sarkopenia merupakan fenomena kompleks dengan etiologi multifaktorial.


Proses terjadinya sarkopenia melibatkan interaksi sistem saraf tepi dan sentral,
hormonal, status nutrisi, imunologis, dan aktifitas fisik yang kurang. Pada tingkat
molekular, sarkopenia disebabkan penurunan kecepatan sintesis protein otot dan/atau
peningkatan pemecahan protein otot yang tidak proporsional. Proses neuropati paling
berpengaruh karena bertanggungjawab pada degenerasi saraf motor alfa yang
mensarafi serabut otot dan menyebabkan kehilangan motor unit. 6

2.5.4. Diagnosis Sarcopenia

Menurut The European Working Group on Sarcopenia in Older People


(EWGSOP), diagnosis sarkopenia dapat ditegakkan bila didapatkan setidaknya dua

21
dari tiga kriteria berikut: massa otot rendah, kekuatan otot buruk, dan performa fisik
yang kurang. Penurunan massa otot adalah massa otot kurang dari 2 kali standar
deviasi referensi populasi laki-laki atau perempuan dewasa muda yang sehat di daerah
tersebut. Kriteria diagnosis tersebut sulit diterapkan di Indonesia karena belum ada
data normatif besaran massa otot pada populasi dewasa muda serta data referensi
kekuatan otot pada berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Selain itu, hingga kini
belum ada standar teknik pengukuran besaran massa otot untuk usia lanjut.

Teknik yang dianggap sebagai baku emas adalah pemeriksaan dual-energy X-


ray absorptiometry (DEXA). Teknik lainnya adalah bioelectric impedans, computed
tomography, magnetic resonance imaging, serta pengukuran ekskresi kreatinin urin,
pengukuran antropometri dan aktivasi netron. Pengukuran kekuatan otot yang
direkomendasikan oleh EWGSOP adalah mengukur kekuatan genggam tangan
sedangkan performa fisik dapat diukur dengan skoring short physical performance
battery (SPPB) yang merupakan penjumlahan skor dari 3 tes: kecepatan berjalan biasa
4 menit, keseimbangan, dan tes duduk berdiri. Alternatif pengukuran lainnya adalah
tes berjalan 6 menit, tes timed go-up and go, dan tes kekuatan menaiki tangga. Salah
satu cara deteksi dini sarkopenia adalah penurunan kecepatan berjalan yakni kurang
dari 0,8 meter/detik pada tes jalan 4 menit. 8

2.6 Frailty

2.6.1. Definisi Frailty

Frailty merupakan sindrom klinis yang disebabkan akumulasi proses menua,


inaktivitas fisik akibat tirah baring lama dan turunnya berat badan, nutrisi yang buruk,
gaya hidup serta lingkungan yang tidak sehat, penyakit penyerta, polifarmasi serta
genetik dan jenis kelamin perempuan. Faktor tersebut saling berkaitan membentuk
siklus dan menyebabkan malnutrisi kronis disertai disregulasi hormonal, inflamasi
dan faktor koagulasi.4

2.6.2. Prevalensi Frailty

Prevalensi frailty menurut The Cardiovascular Health Study mencapai 7%


pada usia lanjut di masyarakat berusia 65 tahun ke atas dan mencapai 30% pada usia
lanjut 80 tahun atau lebih. Prevalensi pada perempuan dengan hendaya berusia 65
tahun menurut The Women’s Health and Aging Study mencapai 28%. Setiati et al,23

22
mendapatkan prevalensi sindrom frailty pada 270 pasien usia lanjut rawat jalan yakni
kondisi pre-frail sebesar 71,1 % sedangkan frailty sebesar 27,4%.4

2.6.3. Patofisiologi Frailty

Kondisi Frailty dikaitkan dengan penurunan fungsi organ tubuh secara


menyeluruh. Individu frail memiliki kadar kortisol yang lebih tinggi dibandingkan
individu non-frail; dan variasi diurnal kortisol tersebut cenderung lebih datar pada
dini hari. Sebagaimana diketahui, kadar kortisol tubuh akan meningkat tajam pada
subuh hari (saat bangun pagi). Adanya peningkatan kronis kadar kortisol pada
individu frail menunjukkan keterlibatan penyakit kronis (terutama inflamasi kronis)
serta menurunnya kemampuan umpan balik negatif ke hipotalamus dan pituitari.

Temuan lain ialah adanya kadar glukosa yang lebih tinggi pada individu
frail setelah uji tolerasi glukosa oral. Hal tersebut membuktikan adanya kerentanan
dan penurunan mekanisme kompensasi faali pada individu frail setelah diberi stres,
dalam hal ini beban glukosa oral. Selain contoh di atas, frailty juga telah dihubungkan
sistem organ lainnya seperti otak dan sistem saraf pusat (the frail brain),
penurunan sistem imunitas (the frail immune system), otot skeletal (the frail
skeletal muscle atau sarkopenia), dan sistem endokrin lainnya (the frail endocrine
system). Proses menua pada otak membuat sel-sel rnikroglia (sel imunitas pada sistem
saraf pusat) menjadi hiper-responsif terhadap stimulus kecil sehingga mempercepat
proses kematian neuron.

Inflamasi juga berperan penting dalam patofisiologi frailty melalui respon


inflamasi kronis derajat rendah (disebut juga inflammaging), bersifat abnormal, dan
hiper-responsif terhadap stimulus ringan. Beberapa sitokin inflamatorik ditemukan
pada individu dengan keadaan frail, antara lain IL-6, CRP, TNFa, dan kemokin CXC.
Sitokin pro-inflamasi dapat menyebabkan anoreksia, meningkatkan katabolisme
otot skeletal dan adiposit sehingga memperburuk status nutrisi, kelemahan otot,
dan penurunan berat yang merupakan tanda dari frailty.9

2.6.4. Diagnosis Frailty

Kriteria diagnosis sindrom frailty menurut The Frailty Task Force dari
American Geriatric Society adalah bila terdapat tiga dari lima gejala berikut:
penurunan berat badan yang tidak diinginkan (4-5 kg dalam 1 tahun); kelelahan yang

23
disadari sendiri; kelemahan (kekuatan genggam tangan <20% pada tangan dominan);
kecepatan berjalan yang kurang; dan penurunan aktivitas fisik (<20% pengeluaran
kalori).10,11 Deteksi awal kondisi frailty dapat dilakukan dengan model presentasi
frailty. Saat ini frailty dikenal dalam dua model utama, yaitu model fenotip dan
model akumulasi defisit. Kedua model tersebut saling melengkapi dan masih terus
dikembangkan dan diperbaiki hingga kini. Model presentasi frailty yang ideal
haruslah mampu memprediksi perjalanan alamiah serta mengukur respon terhadap
intervensi terapi yang akan diberikan. 9

a. Model Fenotip

Adanya frailty menurut model ini ditentukan oleh 5 variabel:


kehilangan berat badan, kelelahan, aktivitas fisis rendah, kecepatan berjalan
lambat, dan kekuatan genggam tangan yang lemah.9

Tabel 2.8 Model Fenotip Frailty

b. Model Akumulasi Defisit pada Frailty

Model akumulasi defisit mengacu pada konsep bahwa frailty


merupakan suatu bentuk risiko yang bersifat multidimensional pada individu.
Semakin banyak defisit yang terakumulasi, maka semakin renta individu

24
tersebut. Defisit yang dimaksud dalam model ini dapat berupa gejala, tanda,
penyakit, disabilitas, maupun kelainan hasil laboratoris yang akan
terakumulasi seiring penambahan usia.9

25
Tabel 2.9 Model Akumulasi Defisit pada Frailty

2.7 Upaya Memertahankan Kualitas Hidup Usia Lanjut dan Geriatri

Pencegahan dan tatalaksana yang tepat terhadap sarkopenia dan frailty merupakan
salah satu upaya untuk memertahankan dan memerbaiki kualitas hidup usia lanjut.
Mekanisme sarkopenia yang multifaktorial menyebabkan tatalaksana sarkopenia juga harus
dilakukan secara holistik. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah asupan diet
protein, vitamin & mineral yang cukup, serta olah raga teratur. Perlu pemantauan rutin
kemampuan dasar seperti berjalan, keseimbangan, fungsi kognitif, pencegahan infeksi dengan
vaksin, serta antisipasi kejadian yang dapat menimbulkan stres misalnya pembedahan elektif

26
dan reconditioning cepat setelah mengalami stres dengan renutrisi dan fisioterapi
individual.12

Nutrisi yang berperan pada sarkopenia adalah protein, vitamin D, antioksidan,


selenium, vitamin E, dan C. Protein merupakan nutrisi utama yang berperan pada sarkopenia.
Asupan protein yang dianjurkan untuk orang dewasa adalah 0,8 g/kg berat badan/hari.
Kualitas protein perlu diperhatikan, protein sebaiknya mengandung asam amino esensial.
Leusin adalah asam amino esensial dengan kemampuan anabolisme protein tertinggi
sehingga dapat mencegah sarkopenia. Leusin dikonversi menjadi hydroxy-methyl-butyrate
(HMB). Suplementasi HMB meningkatkan sintesis protein dan mencegah proteolisis.13

Nutrisi kedua yang berperan penting pada sarkopenia dan kekuatan massa otot adalah
vitamin D. Orang usia lanjut berisiko mengalami defisiensi vitamin D. Rendahnya kadar
vitamin D memiliki risiko 4 kali lipat untuk menjadi frailty. Suplementasi vitamin D pada
usia lanjut dengan defisiensi vitamin D bermanfaat untuk mencegah sarkopenia, penurunan
status fungsional, dan risiko jatuh. Sumber vitamin D banyak didapatkan pada ikan salmon,
tuna, dan makarel. Pajanan sinar matahari juga merupakan salah satu sumber vitamin D,
namun letak geografis, waktu berjemur, kandungan melanin dalam kulit, dan penggunaan
tabir surya dapat memengaruhi kandungan vitamin D. Salah satu bentuk vitamin D adalah
alfacalcidol yang merupakan analog vitamin D non-endogen. Alfacalcidol bermanfaat untuk
mencegah jatuh, meningkatkan keseimbangan, fungsi dan kekuatan otot.14,15

Faktor lain yang berperan penting pada sarkopenia adalah aktivitas fisik. Aktivitas
fisik dapat menghambat penurunan massa dan fungsi otot dengan memicu peningkatan massa
dan kapasitas metabolik otot sehingga memengaruhi energy expenditure, metabolise glukosa,
dan cadangan protein tubuh. Resistance training merupakan bentuk latihan yang paling
efektif untuk mencegah sarkopenia dan dapat ditoleransi dengan baik pada orang tua.
Program resistance training dilakukan selama 30 menit setiap sesi, 2 kali seminggu. Untuk
mencegah sarkopenia juga diperlukan asupan protein yang adekuat.16

Kedua intervensi tersebut harus berjalan beriringan, karena pemberian nutrisi tanpa
aktivitas fisik dapat menyebabkan overfeeding, yang akan dikonversi menjadi lemak,
sehingga justru membahayakan. Aktivitas fisik tanpa asupan nutrisi yang adekuat
menyebabkan keseimbangan protein negatif dan menyebabkan degradasi otot. Kombinasi
resistance training dengan intervensi nutrisi berupa asupan protein yang cukup dengan
kandungan leusin, khususnya HMB yang adekuat, merupakan intervensi terbaik untuk

27
memelihara kesehatan otot orang usia lanjut. Hal terpenting yang perlu digarisbawahi adalah
sarkopenia merupakan faktor kunci dalam patogenesis frailty pada usia lanjut serta
merupakan kondisi yang dapat dimodifikasi. Oleh karena itu peran nutrisi dan aktivitas fisik
menjadi modalitas utama dalam pencegahan serta tatalaksana sarkopenia dan frailty.16,17

28
BAB 3

KESIMPULAN

1. Geriatri adalah cabang disiplin ilmu kedokteran yang mempelajari aspek kesehatan dan

kedokteran pada warga Lanjut Usia (Usia 60 tahun keatas).

2. Pasien Geriatri didefinisikan sebagai pasien Lanjut Usia dengan multi penyakit dan/atau
gangguan akibat penurunan fungsi organ, psikologi, sosial, ekonomi dan lingkungan yang
membutuhkan pelayanan kesehatan secara terpadu dengan pendekatan Multidisiplin.
3. Masalah yang sering dijumpai pada pasien geriatri adalah sindrom geriatri yang meliputi:
imobilisasi, instabilitas, inkontinensia, insomnia, depresi, infeksi, defisiensi imun,
gangguan pendengaran dan penglihatan, gangguan intelektual, kolon irritable,
impecunity, dan impotensi.
4. Pasien geriatri memiliki karakteristik yang berbeda dengan pasien-pasien lain, yaitu
multipatologi, menurunnya fungsi organ, gejala dan tanda penyakit yang tidak khas,
penurunan status fungsional, dan malnutrisi.
5. Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri adalah suatu proses diagnostik interdisiplin untuk
menentukan masalah yang dialami, kemampuan fungsional, psikososial dan lingkungan
bagi pasien lanjut usia. P3G meliputi status fisik, fungsional, mental dan kognitif, sosial
dan ekonomi, serta nutrisi.
6. Sarkopenia merupakan sindrom yang ditandai dengan berkurangnya massa otot rangka
serta kekuatan otot secara progresif dan menyeluruh. Sedangkan Frailty merupakan
sindrom klinis yang disebabkan akumulasi proses menua.
7. Deteksi kondisi frailty dapat dilakukan dengan dua model yaitu model fenotip dan model
akumulasi deficit.
8. Upaya Memertahankan Kualitas Hidup Usia Lanjut dan Geriatri dilakukan denga
intervensi gizi yang adekuat serta olahraga.

29
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan RI. Juknis Instrumen Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri (P3G).
2017.
2. Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R, Sari W, Verdinawati T. Prevalensi geriatric
giant dan kualitas hidup pada pasien usia lanjut yang dirawat di Indonesia: penelitian
multisenter. In Rizka A (editor). Comprehensive prevention & management for the
elderly: interprofessional geriatric care. Jakarta: Perhimpunan Gerontologi Medik
Indonesia; 2013:183.
3. Abikusno N. Older population in Indonesia: trends, issues and policy responses.
Bangkok: YNFPA Indonesia, 2007.
4. Siti Setiati. Geriatric Medicine, Sarkopenia, Frailty dan Kualitas Hidup Pasien Usia
Lanjut: Tantangan Masa Depan Pendidikan, Penelitian dan Pelayanan Kedokteran di
Indonesia. 2013.
5. Soejono CH. Pengkajian Paripurna Pada Pasien Geriatri dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi VI. Jilid III. Jakarta: Interna Publishing. 2014.
6. Narici M, Mafulli N. Sarcopenia: characteristics, mechanism, and functional significance.
British Med Bulletin. 2010;95:139-59.
7. Setiati S, Seto E, Sumantri S. A pilot study of sarcopenia in elderly outpatient Cipto
Mangunkusumo Hospital Jakarta. In press. 2013.
8. Morley HE. Sarcopenia: diagnosis and treatment. J Nutr Health Aging. 2008;12:452-6.
9. Pramantara DP, Wahyudi RE, Harimurti K, dkk. Management of frailty as a new Geriatric
Giant: How to deal with dilernrnatic health problems in elderly patient. Jakarta:
Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia. 2015.
10. Rockwood K, Hogan DB, MacKnight C. Conceptualisation and measurement of frailty in
elderly people. Drugs Aging. 2000;17:295-302.
11. Topinková E. Aging, disability, and frailty. Ann Nutr Metab. 2008;52(Suppl 1):6-11.
12. Setiati S, Rizka A. Sarkopenia dan frailty: sindrom geriatri baru. Dalam: Setiati S,
Dwimartutie N, Harimurti K, Dewiasty E (editor). Chronic degenerative disease in
elderly: update in diagnostic & management. Jakarta; Perhimpunan Gerontologi Medik
Indonesia; 2011:69-75.
13. Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R, Yudho MN, Purwoko Y, et al. Profile of
nutrient intake in urban metropolitan and urban non-metropolitan Indonesia elderly
population and factors associated with energy intake: multi-centre study. In press. 2013.

30
14. Setiati S, Oemardi M, Sutrisna B, Supartondo. The role of ultraviolet-B from sun
exposure on 25(OH)D and parathyroid hormone level in elderly women in Indonesia.
Asian J Gerontol Geriatr. 2007;2:15-22.
15. Richy F. Dukas L, Schacht E. Differential effects of D-hormone analogs and native
vitamin D on the risk of falls: a comparative meta-analysis. Calcif Tissue Int. 2008;82:02-
107.
16. Waters DL, Baumgartner RN, Garry PJ, Vellas B. Advantages of dietary, exercise-
related, and therapeutic interventions to prevent and treat sarkopenia in adult patients: an
update. Clinical Interventions in Aging. 2010(5):259-70.
17. 30. Sullivan DH, Johnson LE. Nutrition and aging. In: Halter JB, Ouslander JG. Tinetti
ME. Studenski S, High KP, Astana S (editors). Hazzard’s geriatric medicine and
gerontology. 6th ed. New York: Mc Graw Hill; 2009.p.439-57.

31

Anda mungkin juga menyukai