Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gastroesophageal reflux disease (GERD)


2.1.1 Definisi Gastroesophageal reflux disease (GERD)
Gastroesophageal reflux disease adalah suatu keadaan patologis sebagai
akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala
yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas. Telah
diketahui bahwa refluks kandungan lambung ke esofagus dapat menimbulkan
berbagai gejala di esofagus maupun ekstraesofagus, dan dapat menyebabkan
komplikasi yang berat bahkan adenokarsinoma di kardia dan esofagus.
Istilah Esofagistis Refluks berarti kerusakan mukosa esofagus akibat
refluks cairan lambung seperti erosi dan ulserasi epitel esofagus. Pada kondisi
terdapat gejala refluks tanpa kelainan mukosa esofagus pad pemeriksaan
endoskopi disebut Asymtomatic Gastro-Esophageal Reflux atau Non-Erosiv
Reflux Disease (NERD). Kelainan ini timbul akibat hipersensitivitas mukosa
esofagus terhadap asam yang dihubungkan dengan peningkatan persepsi nyeri. (9)

2.1.2 Epidemiologi
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) ini umum ditemukan pada
populasi di Negara – Negara Barat, namun dilaporkan relatif rendah insidennya di
Negara – Negara Asia – Afrika. Di amerika dilaporkan bahwa satu dari lima orang
dewasa mengalami gejala relfuks (heartburn dan / atau regurgitasi) sekali dalam
seminggu serta lebih 40% mengalami gejala tersebut sekali dalam sebulan.
Prevalensi esofagitis di Amerika Serikat mendekati 7%, sementara di Negara –
Negara non – Western prevalensinya lebih rendah (1,5 di China dan 2,7% di
Korea).(9)
Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah
dibandingkan dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada
populasi umum yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan
peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 % - 8,5 %

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
(tahun 2005-2010), Asia Tenggara juga mengalami fenomena yang sama; di
Singapura prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat
dari 2,7% (1991 - 1992) menjadi 9% (2000 - 2001), sementara belum ada data
epidemiologi di Indonesia.(10) (11)
Sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia melaporkan bahwa
prevalensi Gastoesophageal Reflux Disease (GERD) dapat diprediksi sebagai
hampir 3% dari keseluruhan pupolasi Indonesia, dengan meningkatnya angka dari
5,7% pada tahun 1997 menjadi 25,18% pada tahun 2002 di rumah sakit
Ciptomangunkusumo.(3)

2.1.3 Etiologi dan patogenesis


Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat
terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila: 1). Terjadi kontak
dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus,
2). Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu
kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup lama.
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high
pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES).
pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat
terjadinya aliran antegrade yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran
balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak
ada atau sangat rendah (< 3 mmHg).

Refluks gatroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme:


1). Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat,
2). Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah
menelan,
3). Meningkatnya tekanan intra abdomen.

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif
dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya
gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks
fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed
gastric emptying.(12)

2.1.4 Faktor Faktor yang Mempengaruhi GERD

2.1.4.1. Kondisi Gastroesofagus


A. Faktor Mekanik

Mekanisme antirefluks Lower esophageal Sphincter (LES), Pada ujung


bawah esofagus, meluas ke atas sekitar 3 cm diatas perbatasan dengan lambung,
otot sirkular esofagus berfungsi sebagai sfingter esofagus bawah yang lebar atau
disebut juga sfingter gastroesofageal. Normalnya, sfingter ini tetap berkonstriksi
secara tonik dengan tekanan intraluminal pada titik ini di esofagus sekitar 30
mmHg, berbeda dengan bagian tengah esofagus yang normalnya tetap berelaksasi.
Sewaktu gelombang peristaltic penelanan melewati esofagus, terdapat “relaksasi
reseptif” dari sfingter esofagus bagian bawah yang mendahului gelombang
peristaltic, yang mempermudah pendorongan makanan yang ditelan ke dalam
lambung. Sekresi lambung bersifat sangat asam dan mengandung banyak enzim
proteolitik. Mukosa esofagus, kecuali pada seperdelapan bagian bawah esofagus,
tidak mampu berlama – lama menahan aksi pencernaan dari sekresi lambung.
Untungnya, konstriksi tonik sfingter gastroesofageal membantu mencegah refluks
yang bermakna dari isi lambung ke dalam esofagus kecuali pada keadaan
abnormal. Dan peningkatan tekanan intraabdomen akan mendesak esofagus ke
dalam pada titik ini. Jadi, sfingter gastroesofageal ini membantu mencegah
tekanan intraabdomen yang tinggi yang berasal dari desakan isi lambung kembali
ke esofagus.(12)
Pemisah antirefluks juga berpengaruh dalam kejadian GERD. Pemeran
terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan
tekanan intra abdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus
LES yang normal. Faktor – faktor yang dapat menurunkan tonus LES antara lain :
1). Adanya hiatus hernia, 2). Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah
tonusnya), 3). Obat – obatan seperti antikolinergik, beta adrenergic, theofilin,
opiate dan lain – lain, 4). Faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar
progesterone dapat menurunkan tonus LES.
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih
kontroversional. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi
ditemukan haitus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD
yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan
untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus LES.(9)

B. Faktor Non - Mekanik

1. Bersihan asam dari lumen esofagus.


Faktor – faktor yang berperan dalam bersihan asam esofagus adalah: 1).
Gravitasi, 2). Peristaltik, 3). Sekresi air liur dan, 4). Produksi bikarbonat esofagus.
Setelah terjadinya relfuks, sebagian bahan refluksat akan kembali ke
lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsan oleh proses menelan.
Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan
kelenjar esofagus. Mekanisme ini sangat sangat penting, karena makin lama
kontak dengan bahan refluksat dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin
besar kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD ternyata
memiliki waktu transit esofagus yang normal sehingga kelainan yang timbul
disebabkan karena peristaltic esofagus yang minimal. Refluks malam hari
(noctural reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan esofagus karena
selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif. (9)

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
2. Ketahanan Epitelial Esofagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan
mucus yang melindungi mukosa esofagus. Mekanisme ketahanan esofagus terdiri
dari:
 Membran sel
 Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke
jaringan esofagus.
 Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2.
 Sel – sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H + dan
Bikarbonat ekstraselular.

Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat terdiri


dari: 1). HCL, 2).Pepsin, 3).Garam, 4).Empedu, 5). Enzim pangkreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang
dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada pH <2,
atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang
memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam. Faktor – faktor lain yang
turut berperan dalam timbulnya GERD adalah kelainan di lambung yang
meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain : dilatasi lambung atau
Gastric outlet dan Delayed gastic emptying.(9)

3. Infeksi Helicobacter pylori


Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil
dan kurang didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap
GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap
sekresi asam lambung.(9)
Tingginya angka infeksi H. pylori di Asia dengan rendahnya sekresi asam
sebagai konsekuensinya telah dipostulasikan sebagai salah satu alasan mengapa
prevalensi GERD di Asia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Barat.
Hal tersebut sesuai dengan yang ditunjukkan pada satu studi di Jepang yang
dilakukan oleh Shirota dkk. Studi yang lain juga membuktikan adanya hubungan

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
terbalik antara derajat keparahan esofagitis refluks dengan infeksi H. pylori.
Sebuah penelitian menunjukkan insiden esofagitis refluks yang tinggi setelah
eradikasi H.pylori, khususnya pada pasien gastritis korpus dan mempunyai
predisposisi terhadap refluks hiatus hernia.(13)

2.1.4.2 Faktor Lingkungan


A. Merokok
Orang yang merokok dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terhadap
kejadian GERD karena mengalami heartburn setiap minggunya, merokok juga
dapat meningkatkan asam lambung, dan juga salah satu bahan yang terkandung
dalam rokok seperti Nikotin dapat berkontribusi dalam kejadian GERD dengan
merelaksasikan sfingter esophagus bagian bawah (LES)(14)

B. Faktor Stress
Stress emosional dapat merangsang saraf parasipatis sehingga dapat
mempengaruhi terbentuknya bahan – bahan refluksat Gaster yaitu salah satunya
HCL dan Stress juga berpengaruh terhadap hipersentivitas dari esophagus
sehingga dapat mempengaruhi kondisi dari sfingter esophagus bagian bawah
(LES) hingga dapat menyebabkan regurgitasi bahan refluksat dari lambung ke
esofagus.(9)

2.1.4.3 Faktor Sosiodemografi


Usia dan juga Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi terjadinya GERD, pada penelitian yang dilakukan oleh Suzanna
dkk, dijelaskan pada penelitian tersebut bahwa pasien yang berusia ≥ 40 tahun
memiliki resiko tinggi terjadinya GERD dan juga pasien – pasien dengan Jenis
kelamin Laki – laki lebih sering mengalami kejadian GERD dibandingan
dengan Perempuan.(15)

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
2.1.4.4 Faktor Individu
A. Faktor Genetik
Kejadian GERD dipengaruhi juga oleh faktor genetik, terdapat beberapa
penelitian menunjukan hubungan antara genetik dengan kejadian GERD dimana
didapatkan kejadian GERD yang terjadi dalam satu keluarga pada penelitian
tersebut dijelaskan terdapat kelainan kromosom 13q pada anak dengan penyakit
refluks gastroesofageal.(16)
B. Faktor Status Gizi
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa kenaikan indeks massa tubuh
(IMT) berkaitan dengan GERD. Obesitas adalah salah satu faktor penting dalam
terjadinya GERD, semakin tinggi nilai IMT seseorang dapat meningkatkan
tekanan intraabdomen yang dapat mempengruhi fungsi LES. Fungsi LES secara
langsung tergantung pada tekanan intrinsik (normal 10–24 mmHg), Secara tidak
langsung, fungsi LES dipengaruhi oleh gradien tekanan antara lingkungan
intragastrik dan intraesofageal sehingga peningkatan IMT dapat mempengaruhi
kejadian GERD.(17)

2.1.5 Klasifikasi Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)


Konsensus Montreal tahun 2006 mengelompokan GERD menjadi dua
kelompok (lihat gambar 1).

Gambar 1. Klasifikasi dari Gastroesophageal Reflux Disease (GERD).(18)

10

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
Sindrom simtomatik adalah refluks esofageal tanpa adanya lesi struktural,
atau pemeriksaan lebih lanjut untuk menilai kerusakan struktural belum
dilakukan. Pasien dengan sindrom refluks tipikal memiliki dua keluhan klasik,
yaitu heartburn dan atau regurgitasi. Pasien dengan sindrom nyeri dada non
kardiak yang dominan tanpa adanya gejala refluks tipikal.
Sindrom dengan lesi esofagus terdiri atas esofagitis refluks, striktur,
esofagitis Barret, dan adenokarsinoma esofagus. Esofagitis ditemukan pada
kurang dari 50% pasien dengan refluks esofagus sementara striktur terjadi pada
<5% pasien. Esofagus Barret adalah keadaan ketika epitel skuamosa esofagus
digantikan oleh metaplasia kolumnar. Prevalensi Esofagus Barret 8 – 15%, namun
di Asia lebih rendah yaitu 0,9 – 2%. Esofagus Barret merupakan faktor resiko
utama adenokarsinoma esofagus. Risiko adenokarsinoma meningkat 20x lipat bila
ditemukan Esofagus Barret.
Refluks gastroesofageal dalam jangka lama dapat menyebabkan keluhan
ekstra-esofageal, baik yang telah dapat dijelaskan hubungan sebab-akibatnya,
maupun yang belum dapat dijelaskan secara pasti. Pajanan asam lambung pada
esofagus, laring, dan mulut menyebabkan batuk, laryngitis, asma, dan erosi
dental. Baik melalui kontak langsung atau refleks neural.(18)

2.1.6 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan
gejala atipikal (ekstraesofagus). Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri /
rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri
dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur
dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan
rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn
ternyata tidak selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang - kadang
timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan angina pektoris. Disfagia
yang timbul saat makan makanan yang padat mungkin terjadi karena striktur atau
keganasan yang berkembang dari Barret’s esophagus. Odinofagia bisa muncul
jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat.(9)

11

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang
atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non – kardiak (non – cardiac
chest pain / NCCP), suara serak, laryngitis, batuk karena aspirasi sampai
timbulnya bronkiektasis atau asma. Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat
menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya GERD karena timbulnya perubahan
anatomis di daerah gastroesophageal high pressures zone akibat penggunaan obat
– obatan yang menurunkan tonus LES
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan – lahan, sangat jarang terjadi
episode akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu,
umumnya pasien dengan GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik.(23)
GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena gejala-
gejalanya sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan tidur,
penurunan produktivitas di tempat kerja dan di rumah, gangguan aktivitas sosial.
Health Survey, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan populasi umum, pasien
GERD memiliki kualitas hidup yang menurun, serta dampak pada aktivitas sehari-
hari yang sebanding dengan pasien penyakit kronik lainnya seperti penyakit
jantung kongestif dan artritis kronik.(19)
Karena pentingnya gejala klinis ini guna mendukung atau bahkan dapat
menegakkan diagnosa maka berikut ini akan dipaparkan beberapa gejala khas dari
Gastroesophageal reflux disease (GERD):

1). Heart Burn


Heart burn adalah sensasi rasa nyeri esofagus yang sifatnya panas
membakar atau mengiris dan umumnya timbul dibelakang bawah ujung sternum.
Penjalaran umumnya keatas hingga kerahang bawah dan ke epigastrium,
punggung belakang dan bahkan kelengan kiri yang menyerupai keluhan angina
pektoris. Timbulnya keluhan ini akibat rangsangan kemoreseptor pada mukosa.
Rasa terbakar tersebut disertai dengan sendawa, mulut terasa masam dan pahit
serta merasa cepat kenyang. Heartburn merupakan gejala khas dari Refluks
Gastroesofageal (RGE) yang paling sering dikeluhkan oleh penderita Bila simtom

12

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
heartburn dan regurgitasi yang paling dominan dikeluhkan penderita maka
diagnosa GERD memiliki sensitifitas yang tinggi yaitu 89-95%.(20)
Walaupun telah disampaikan bahwa heartburn merupakan gejala klasik
dan utama dari GERD, namun situasinya sedikit berbeda di Asia. Di dunia Barat,
kata ‘‘heartburn” mudah dimengerti oleh pasien, sementara tidak ada padanan
kata yang sesuai untuk heartburn dalam mayoritas bahasa-bahasa di Asia,
termasuk bahasa Cina, Jepang, Melayu. Dokter lebih baik menjelaskan dalam
susunan kata-kata tentang apa yang mereka maksud dengan heartburn dan
regurgitasi daripada mengasumsikan bahwa pasien memahami arti kata tersebut.
Sebagai contoh, di Malaysia, banyak pasien etnis Cina dan Melayu mengeluhkan
”angin” yang merujuk pada dispepsia dan gejala refluks. Sebagai akibatnya,
seperti yang terjadi di Cina, banyak pasien GERD yang salah didiagnosis sebagai
penderita non cardiac chest pain atau dyspepsia.(18)

2). Regurgitasi
Regurgitasi merupakan manifestasi klinis yang bermakna pada kejadian
Gastroesophageal reflux disease (GERD), regurgitasi menyebabkan pasien
merasakan sensasi asam atau pahit di dalam mulut. Refluks yang sangat kuat
dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan yang terkandung dari esofagus
atau lambung yang sampai kerongga mulut. Obstruksi dari esofagus bagian distal
dan keadan stasis seperti pada akalasia atau divertikulitis dapat sebagai
penyebabnya.
Bahan regurgitasi yang terasa asam atau sengit dimulut merupakan
gambaran sudah terjadinya GERD yang berat dan dihubungkan dengan
inkompetensi sfingter bagian atas dan LES. Regurgitasi dapat mengakibatkan
aspirasi laryngeal, batuk yang terus menerus, keadaan tercekik waktu bangun dari
tidur dan aspirasi pnemonia. Peningkatan tekanan intra abdominal yang timbul
karena posisi membungkuk, cekukan dan bergerak cepat dapat memprovokasi
terjadinya regurgitasi. Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala
berupa serangan tercekik, batuk kering, mengi, suara serak, mulut bau pada pagi

13

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
hari, sesak nafas, karies gigi dan aspirasi hidung. Selain itu pasien juga sering
merasa kembung, mual cepat kenyang, bersendawa, dan hipersalivasi. (21)(22)

2.1.7 Diagnosis
Pengambilan anamnesis secara seksama adalah metode utama untuk
menegakkan diagnosis GERD. Gejala spesifik GERD adalah heartburn dan atau
regurgitasi yang terjadi setelah makan. Namun, harus ditekankan bahwa sebagian
besar studi diagnostik gejala heartburn dan regurgitasi dilakukan pada populasi
Kaukasia. Di Asia, heartburn dan regurgitasi bukan ciri khas untuk GERD.
Namun, para ahli telah sepakat bahwa kedua gejala adalah karakteristik untuk
GERD.
Di rumah sakit rujukan tersier, sebelum melakukan pemeriksaan
endoskopi untuk menegakkan diagnosis GERD, pemeriksaan lebih lanjut lainnya
(laboratorium, EKG, USG, rontgen dada dan penyelidikan lainnya sesuai dengan
indikasi) harus juga dilakukan untuk menyingkirkan penyakit dengan gejala mirip
dengan GERD. Para ahli Asia-Pasifik telah menyatakan dengan aklamasi bahwa
strategi regional GERD diagnostik harus mempertimbangkan kemungkinan
GERD ada dengan komorbiditas lain seperti kanker lambung dan ulkus peptikum.
Namun, mengenai tes H. pylori untuk mengecualikan infeksi pada pasien dengan
gejala GERD di daerah dengan prevalensi tinggi kanker lambung dan ulkus
peptikum, ada pendapat kontroversial dari para ahli. Namun demikian, tes ini
masih direkomendasikan dengan mempertimbangkan faktor risiko termasuk
komorbiditas, usia, profil histologis lambung, riwayat keluarga dan preferensi
pasien.(23)
Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease yang dikeluarkan oleh American College of
Gastroenterology tahun 1995 dan direvisi pada tahun 2013, diagnosis GERD
dapat ditegakan berdasarkan:
1. Empirical Therapy
2. Use of Endoscopy
3. Ambulatory Reflux Monitoring

14

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
4. Esophageal Manometry (lebih direkomendasikan untuk evaluasi preoperasi
untuk ekslusi kelainan motilitas yang jarang seperti achalasia atau
aperistaltik yang berhubungan dengan suatu kelainan, misalnya scleroderma)
American Gastroenterological Association (AGA) menerbitkan American
Gastroenterological Association Medical Position Statement on the Management
of Gastroesophageal Reflux Disease yang berisi 12 pernyataan, di mana pada poin
ke-4 dijelaskan tentang peran dan urutan prioritas uji diagnostik GERD pada
dalam mengevaluasi pasien dengan sangkaan GERD sebagai berikut :(24)
1. Endoskopi dengan biopsi dilakukan untuk pasien yang mengalami gejala
esofagus dari GERD dengan disfagia yang mengganggu. Biopsi harus
mencakup area yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau dalam hal
tidak dijumpainya kelainan secara visual, mukosa yang normal (minimal 5
sampel untuk esofagitis eosinofilik.)
2. Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami gejala
esofagus dari GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI
2 kali sehari. Biopsi harus mencakup area yang diduga mengalami
metaplasia, displasia, atau malignansi.
3. Manometri dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala
GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari
dan gambaran endoskopinya normal.
4. Pemantauan dengan ambulatory impedance-pH, catheter-pH, atau wireless-
pH dilakukan (terapi PPI dihentikan selama 7 hari) untuk mengevaluasi
pasien dengan dugaan gejala GERD yang tidak berespon terhadap terapi
Pemeriksaan Endoskopi dan oesophageal pemantauan pH 24-jam pada
awalnya diusulkan sebagai gold standards untuk diagnosis GERD. Namun,
diperkirakan bahwa hingga sekitar 70% pasien dengan gejala khas GERD
memiliki mukosa oesophageal normal pada endoskopi bagian atas (non-erosive
reflux disease) atau penyakit refluks endoskopi-negatif.(25)
Pemantauan pH rawat jalan 24 jam yang dilakukan esofagus tidak cukup
sensitif untuk dijadikan sebagai kriteria diagnostik. Sebuah kelompok studi
GERD Cina menemukan bahwa hanya 63 dari 102 pasien GERD yang positif

15

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
endoskopi dan hanya 84 dari 115 pasien memiliki hasil tes pH positif. (36) Oleh
karena itu, sekitar 25% pasien tidak dapat didiagnosis dengan menggunakan
metode ini. Selanjutnya, pemeriksaan endoskopi dan juga tes pH mahal dan tidak
tersedia di rumah sakit atau klinik kecil. Oleh karena itu penilaian gejala yang
valid sangatlah penting.(37) Meskipun kombinasi skor gejala dan endoskopi telah
ditunjukkan untuk mendiagnosis GERD dengan spesifisitas tinggi, semakin
diterima bahwa manajemen GERD dalam perawatan primer sebaiknya ditangani
berdasarkan laporan pasien tentang gejala-gejalanya.(27)
Beberapa alat komunikasi digunakan untuk membantu dokter membuat
keputusan manajemen yang tepat. Pada tahun 2001, penelitan dari Shaw et al.
mengembangkan kuesioner singkat 12-item yang disebut Reflux Disease
Questionnaire (RDQ), yang dapat direproduksi dan dapat diandalkan untuk
diagnosis GERD. Meskipun spesifitasnya rendah (50%), RDQ memiliki
sensitivitas tinggi (94,12%), sifat psikometrik yang baik, responsif terhadap
perubahan dalam kesehatan, dan sangat cocok untuk digunakan di kedua
pengaturan perawatan primer dan studi epidemiologi.
Pada penelitian dari Jones dkk. Mengembangkan dan menguji GERD
Impact Scale (GIS), kuesioner singkat untuk membantu komunikasi pasien-
dokter. SIG adalah kuesioner 1 halaman yang menanyakan pasien GERD tentang
gejala mereka dan bagaimana hal ini mempengaruhi kehidupan sehari-hari
mereka.Ini telah divalidasi dalam penelitian yang melibatkan 205 pasien
perawatan primer dengan diagnosis GERD baru atau yang sudah ada. GIS
menunjukkan sifat psikometrik yang baik pada pasien GERD yang baru
didiagnosis dan mereka yang sudah menerima pengobatan. Alat komunikasi
sederhana ini adalah bantuan yang berguna untuk mengelola pasien perawatan
primer dengan GERD.(27)
Orang Indonesia memiliki banyak suku dan bahasa, sehingga sangat sulit
untuk menerjemahkan gejala GERD secara seragam karena variasi ekspresi.
Sehingga Instrumen pemantauan GERD saat ini tidak tepat karena mereka tidak
menilai gejala harian, tidak cukup responsif terhadap perubahan jangka pendek
dalam status kesehatan, atau belum divalidasi. Untuk mengatasi masalah ini,

16

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
persyaratan konseptual dan psikometrik untuk kuesioner penilaian gejala GERD
diidentifikasi digunakan untuk membuat Kuesioner GERD (GERD-Q).(28)

A. Sistem Skala Gejala GERD berdasarkan Kuesioner GERD-Q


GERD-Q dibuat dari 3 kuesioner tervalidasi yang berbeda dievaluasi
dalam studi DIAMOND. The GERD-Q adalah sederhana alat komunikasi yang
dikembangkan untuk dokter untuk mengidentifikasi dan mengelola pasien dengan
GERD. Tujuan dari survei ini adalah untuk menguji apakah GERD-Q efektif
dalam mendiagnosis GERD, untuk memvalidasi GERD-Q yang ditulis dalam
Bahasa Indonesia, dan untuk mengevaluasi keandalannya ketika digunakan
dengan pasien GERD berbahasa Indonesia (Virginia study = divalidasi Survei
GERD-Q di Indonesia).(29)
GERD-Q merupakan sebuah kuesioner yang terdiri dari 6 pertanyaan
mengenai gejala klasik GERD, pengaruh GERD pada kualitas hidup penderita
serta efek penggunaan obat-obatan terhadap gejala dalam 7 hari terakhir.
Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor > 8 maka pasien tersebut memiliki
kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih
lanjut. Selain untuk menegakan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan untuk
memantau respon terapi.
Analisis pada lebih dari 300 pasien di layanan perawatan kesehatan primer
menunjukkan bahwa GERD-Q dapat memberikan sensitivitas dan spesifisitas
65% dan 71%, yang mirip dengan hasil yang diperoleh oleh Gastroenterologists.
Selain itu, GERD-Q juga menunjukkan kapasitas untuk mengevaluasi dampak
relatif GERD pada kehidupan pasien dan untuk memberikan bantuan dalam
memilih terapi.(30)
Untuk setiap pertanyaan pada GERD-Q, responden harus mengisi sesuai
dengan frekuensi gejala yang mereka alami dalam seminggu terakhir. Skor 8 atau
lebih adalah titik cut-off yang direkomendasikan untuk mendeteksi individu
dengan kecenderungan tinggi untuk memiliki GERD dan kuesioner GERD-Q
telah divalidasi di Indonesia.(24)

17

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
B. Endoskopi saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan
ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks). Dengan melakukan
pemeriksaan endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa
esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan muscosal break pada
pemeriksaan endoskopi pasien GERD dengan gejala yang khas, keadaan ini
disebut non-erosive reflux disease (NERD). Ditemukannya kelainan esofagitis
pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikandengan pemeriksaan histopatologi,
dapat mengonfirmasi bahwa gejala heartburn atau regurgutasi memang karena
GERD.
Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi
pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles. Klasifikasi los Angeles.(9)

Tabel 1. Klasifikasi Los Angeles


Dejarat kerusakan Gambaran Endoskopi
A Erosi kecil – kecil pada mukosa esofagus dengan diameter < 5
mm.
B Erosi pada mukosa atau lipatan mukosa dengan diameter > 5
mm tanpa saling berhubungan.
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau mengelilingi
seluruh lumen
D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen esofagus)

Sementara hingga saat ini, tidak ada gold standart untuk diagnosis NERD.
Kriteria berikut digunakan sebagai pedoman untuk menetapkan diagnosis
NERD:(31)
 Tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi
 Hasil positif pada tes pH esofagus
 Terapi empiris dua kali sehari dengan PPI memberi respon positif.

18

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
Endoskopi untuk GERD tidak selalu dilakukan pada kunjungan pertama
karena diagnosis GERD dapat dibuat berdasarkan gejala dan atau terapi empiris.
Peran endoskopi gastrointestinal atas dalam menegakkan diagnosis GERD adalah:
 Mengonfirmasi keberadaan dan ketiadaan kerusakan esofagus termasuk erosi,
ulserasi, striktur, esophagus Barret atau keganasan, selain untuk mengeluarkan
kelainan gastrointestinal atas lainnya.
 Mengevaluasi keparahan dari mocusal break menggunakan modifikasi
klasifikasi Los Angeles atau klasifikasi Savarry-Miller.
 Spesimen biopsi diambil ketika ada kecurigaan esophagus Barret atau
keganasan.

C. Esofagografi dengan Barium


Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan sering
kali tidak menunjukan kelainan terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada
keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan
lipatan mukosa, ulkus atau penyempitan lumen. Pada beberapa kasus,
pemeriksaan memiliki nilai lebih dari endoskopi, misal pada stenosis esofagus dan
hiatus henia.(9)

D. Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH padabagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus
distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. Ph dibawah 4 pada
jarak 5 cm diatas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal. (9)

E. Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal
dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu
kurang dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap dari pemantauan ph 24 jam pada
pasien dengan gejala yang tidak khas. Tes ini dianggap positif bila larutan ini

19

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
menimbulkan rasa nyeri dada pada pasien, sedangkan larutan NaCl tidak
menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak menutup kemungkinan adanya gangguan
pada esofagus.(9)

F. Pemeriksaan manometri
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan gejala
nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan
endoskopi yang normal.(9)

G.Scintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan
menggunakan cairan atau makanan yang dilabel dengan Radioisotop (biasanya
technetium) dan bersifat noninvasif. Selanjutnya sebuah penghitung Gamma
eksternal akan memonitor transit dari cairan atau makanan yang dilabel tersebut.
Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.(9)

2.1.8 Tatalaksana
Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian mengingat
kemungkinan timbulnya komplikasi jangka panjang maka penanganan pada
penyakit ini mendapat penatalaksanaan yang adekuat. Pada prinsipnya
penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa,
terapi bedah, serta akhir – akhir ini dilakukan terapi endoskopik.

2.1.8.1. Penatalaksanaan Nonfarmakologi


Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan
GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Hal – hal yang perlu
dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut :(9)
1. Meninggikan posisi kepala saat tidur, serta menghindari makan sebelum tidur
dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta
mencegah refluks asam dari lambung ke esofagus

20

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
2. Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena dapat menurunkan tonus
LES sehingga secara langsung dapat mempengaruhi sel – sel epitel.
3. Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang
dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung
4. Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian
ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen
5. Menghindari makanan atau minuman seperti coklat, pepper mint, kopi dan
minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam
6. Jika memungkinkan menghindari obat – obat yang dapat menurunkan tonus
LES seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium,
antagonis beta adrenergic, progesterone.

2.1.8.2 Penatalaksanaan Farmakologi


Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan
step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat – obat yang
tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau
golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam
yang lebih kuat dalam menekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi
lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step
down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan
dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau
antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.
Dari berbagai studi dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down
ternyata lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien) dibandingkan
dengan pendekatan terapi step up. Menurut Genval statement (1999) serta
konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati
bahwa terapi lini Pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan
pendekatan terapi step down.
Ada obat yang telah diketahui memiliki kapasitas untuk mengatasi gejala
GERD, yang termasuk antasid, prokinetik, antagonis reseptor-H 2, Proton Pump
Inhibitor (PPI) dan Baclofen. Dari semua obat yang disebutkan, PPI adalah obat

21

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
yang paling efektif dalam memberantas gejala dan memulihkan lesi esofagitis
pada GERD. PPI telah terbukti memberikan pemulihan lebih cepat pada lesi
esofagitis serta memberantas gejala GERD dibandingkan dengan antagonis
reseptor H2 dan prokinetik. Jika PPI tidak tersedia, H2RA dapat digunakan.

2.1.8 Komplikasi
Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi
pada GERD. Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis,
Striktura esofagus dan esofagus Barret.(9)

Esofagitis
 Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari
50% pasien GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara
lambung dan esofagus.(32)

Striktura Esofagus
 Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat refluks.
Hal ini ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada gastroesophageal
junction. Striktur timbul pada 10-15% pasien esofagitis yang bermanifestasi
sulit menelan atau disfagia pada makanan padat. Sering kali keluhan
heartburn berkurang oleh karena striktura berperan sebagai barrier refluks.
Biasanya striktur terjadi dengan diameter kurang dari 13 mm. Komplikasi ini
dapat diatasi dengan dilakukan dilatasi bougie, bila gagal dapat dilakukan
operasi.(32) (9)

Barrett’s Esophagus
 Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti menjadi
epitel kolumn ar metaplastik. Keadaan ini merupakan prekursor
Adenokarsinoma esofagus.(27) Esofagus Barrett ini terjadi pada 10% pasien
GERD dan adenokarsinoma timbul pada 10% pasien dengan esofagus Barrett.
Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan

22

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
regurgutasi. Pada 1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal ini
diduga karena sensitivitasepitel Barrett terhadap asam yang menurun. Pada
endoskopi kelainan ini dapat dikenal dengan mudah dengan tampaknya
segmen yang panjang dari epitel kolumnar yang berwarna kemerahan meluas
ke proksimal melampaui “gastroesophageal junction” dan tampak kontras
sekali dengan epitel skuamosa yang pucat dan mengkilat dari esofagus.
Penyakit ini dapat ditatalaksana dengan medikamentosa. (9)

2.2 Indeks Massa Tubuh


2.2.1 Definisi Indeks massa tubuh
Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan alat
atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya
yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. (33) (IMT) ini
ditemukan oleh Quetelet ahli statistik Belgia dari perhitungan secara konvensional
yaitu dengan membagi berat badan (dalam kilogram) dengan kuadrat dari tinggi
badan (dalam meter).(34)
IMT juga dapat diterapkan untuk anak dan remaja, dengan cara yang sama
menghitung nilai IMT seperti pada orang dewasa, kemudian nilai tersebut di-plot-
kan ke grafik CDC IMT-berdasarkan umur.(35)
Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa yang berusia 18
tahun ke atas. Pengukuran dan penilaian menggunakan IMT berhubungan dengan
kekurangan dan kelebihan status gizi. Gizi kurang dapat meningkatkan risiko
terhadap penyakit infeksi dan gizi lebih dengan akumulasi lemak tubuh berlebihan
meningkatkan risiko menderita penyakit degeneratif.(36)
Penggunaan IMT sebagai parameter dalam menentukan total lemak tubuh
seseorang memiliki beberapa keuntungan dan kekurangan dibanding cara yang
lain. Pengukuran IMT dapat memperkirakan total lemak tubuh dengan
perhitungan yang sederhana, cepat, dan murah dalam populasi tertentu.
Pengukuran IMT rutin dilakukan dan sering digunakan dalam studi-studi
epidemiologi. Namun kelemahannya, IMT tidak dapat menjelaskan tentang
distribusi lemak dalam tubuh seperti pada obesitas sentral maupun obesitas

23

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
abdominal maupun menggambarkan jaringan lemak viseral. Nilai IMT berbeda
dalam ras/etnis tertentu dan tidak membedakan antara laki-laki maupun
perempuan. Nilai IMT yang tinggi belum tentu karena jaringan lemak tapi dapat
juga karena jaringan otot.(37)

2.2.2 Cara Mengukur Indeks Massa Tubuh


Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut :(33)
Berat Badan (Kg)
IMT= -------------------------------------------------------
Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)
Kemudian interpretasikan hasil IMT yang didapat ke dalam tabel klasifikasi
IMT menurut Asia Pasifik.

2.2.3. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh

Klasifikasi IMT untuk daerah Asia berbeda. Beberapa penelitian


menunjukkan bahwa populasi di Asia memiliki deposit lemak lebih banyak pada
IMT yang lebih rendah.(38) Berikut adalah klasifikasi IMT untuk daerah Asia pada
orang dewasa.

Tabel 2. Klasifikasi IMT untuk orang dewasa.(38),(39)


Klasifikasi IMT (kg/m2)
Berat badan rendah <18,5

Berat badan normal 18,5 -22,9

Berat badan resiko berlebih 23 -24,9

Obesitas kelas I 25 – 29,9

Obesitas kelas II ≥30

24

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
Dapat dilihat klasifikasi Berat Badan yang diusulkan berdasarkan IMT
(39)
pada orang Eropa menurut WHO pada tahun 2000 , orang Asia menurut
(34)
International Obesity Task Force (IOTF) dan WHO , dan Indonesia menurut
Depkes RI. (40)

Nilai dari IMT pada orang dewasa tidak bergantung pada umur maupun
jenis kelamin. Tetapi, IMT mungkin tidak berkorespondensi untuk derajat
kegemukan pada populasi yang berbeda, dikarenakan perbedaan proporsi tubuh
pada mereka.(41) Penggunaan IMT sebagai parameter dalam menentukan total
lemak tubuh seseorang memiliki beberapa keuntungan dan kekurangan dibanding
cara yang lain. Pengukuran IMT dapat memperkirakan total lemak tubuh dengan
perhitungan yang sederhana, cepat, dan murah dalam populasi tertentu.
Pengukuran IMT rutin. Dilakukan dan sering juga digunakan dalam studi-studi
epidemiologi. Namun kelemahannya, IMT tidak dapat menjelaskan tentang
distribusi lemak dalam tubuh seperti pada obesitas sentral maupun obesitas
abdominal maupun menggambarkan jaringan lemak viseral. Nilai IMT berbeda
dalam ras/etnis tertentu dan tidak membedakan antara laki-laki maupun
perempuan. Nilai IMT yang tinggi belum tentu karena jaringan lemak tapi dapat
juga karena jaringan otot.(37)

2.2.4. Komponen Indeks Massa Tubuh


2.2.4.1 Tinggi badan

Tinggi badan adalah jarak maksimum dari verteks ke telapak kaki. Tinggi
badan diukur dengan keadaan berdiri tegak lurus, tanpa menggunakan alas kaki,
kedua tangan merapat ke badan, punggung dan bokong menempel pada dinding
serta pandangan di arahkan ke depan. Kedua lengan tergantung relaks di samping
badan. Bagian pengukur yang dapat bergerak disejajarkan dengan bagian teratas
kepala (vertex) dan harus diperkuat pada rambut kepala yang tebal. (36)

2.2.4.2 Berat badan


Penimbangan berat badan terbaik dilakukan pada pagi hari bangun tidur
sebelum makan pagi, sesudah 10-12 jam pengosongan lambung. Timbangan

25

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
badan perlu dikalibrasi pada angka nol sebagai permulaan dan memiliki ketelitian
0,1 kg. Berat badan dapat dijadikan sebagai ukuran yang reliabel dengan
mengkombinasikan dan mempertimbangkannya terhadap parameter lain seperti
tinggi badan, dimensi kerangka tubuh, proporsi lemak, otot, tulang dan komponen
berat patologis (seperti edema dan splenomegali). (36)
2.2.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Indeks Massa Tubuh
2.2.5.1.Usia
Pada penelitian yang dilakukan oleh Lamon-Fava S. et al dalam Mawi
menunjukkan bahwa IMT berhubungan erat dengan usia. Pada usia ≤ 50 tahun
IMT akan menurun dan kemudian mendatar pada usia sekitar 50 tahun, sedangkan
pada usia > 50 tahun IMT akan semakin meningkat dengan meningkatnya usia
responden. Hal ini dapat terjadi mengingat pada usia > 50 tahun pola hidup
masyarakat umumnya lebih santai dan secara ekonomi lebih stabil. (42)

2.2.5.2.Jenis Kelamin
Menurut beberapa penelitian menyatakan bahwa lebih banyak pria
termasuk kategori kelebihan berat badan (overweight) dibandingkan wanita.
Distribusi lemak tubuh juga berbeda berdasarkan jenis kelamin. Pria cenderung
mengalami obesitas visceral (abdominal) dibandingkan wanita. Proses-proses
fisiologis dipercaya dapat berkontribusi terhadap meningkatnya simpanan lemak
pada perempuan.(43)

2.2.5.3.Aktivitas fisik
Asupan energi yang berlebih dan tidak diimbangi dengan pengeluaran
energi yang seimbang (dengan kurang melakukan aktivitas fisik) akan
menyebabkan terjadinya penambahan berat badan.(44)
Penelitian yang dilakukan pada PNS usia 30-49 tahun mengatakan semakin
berat aktivitas fisik, semakin kecil risiko obesitas. Pekerja yang beraktivitas fisik
sedang berisiko 0,4 kali lebih kecil untuk mengalami obesitas dibandingkan
dengan yang beraktivitas fisik ringan. Pekerja yang beraktivitas fisik berat

26

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
berisiko 0,6 kali lebih kecil untukmengalami obesitas daripada yang beraktivitas
fisik ringan.(45)

2.3 Hubungan antara Indeks Massa Tubuh dengan GERD


Kejadian GERD dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Banyak
penelitian telah menunjukkan bahwa obesitas, berat badan, dan kenaikan indeks
massa tubuh (IMT) berkaitan dengan GERD.(46) Obesitas adalah faktor penting,
yang kejadiannya juga semakin lazim pada populasi dunia. Pada tahun 2013,
prevalensi obesitas penduduk laki- laki dewasa di Indonesia sebanyak 19,7% dan
pada penduduk perempuan dewasa adalah 32,9%.(7)

Dasar terjadinya GERD adalah kegagalan barier anti refluks, LES. Fungsi LES
secara langsung tergantung pada tekanan intrinsik LES (normal 10–24 mmHg),
panjang total LES, frekuensi dan durasi relaksasi LES sementara. Secara tidak
langsung, fungsi LES dipengaruhi oleh gradien tekanan antara lingkungan
intragastrik dan intraesofageal.(47)
Terdapat penelitan menyatakan bahwa peningkatan visceral adiposa
seseorang, dapat dihubungkan dengan peningkatan lingkar perut perut, yang dapat
dikaitkan pula dengan peningkatan tekanan intraabdominal sehingga akan
meningkatkan kejadian GERD yaitu akibat dari meningkatnya tekanan
intragastrik (IGP). Pada orang obesitas, terjadi peningkatan tekanan
intraabdomen. Hal ini terjadi karena akumulasi lemak di jaringan adiposa perut.
Peningkatan tekanan intraabdomen ini meregangkan LES sehingga
memungkinkan terjadinya refluks esofagus yang menyebabkan mukosa esofagus
terekspos oleh isi lambung.(47) Pemantauan pH 24 jam dan pH-impedance
monitoring pada orang obesitas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan episode
refluks, terutama periode post-pandrial, seiring dengan peningkatan IMT.(49)

27

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
2.4 Ringkasan Pustaka
Tabel 3. Ringkasan Pustaka

Lokasi dan Lama


No. Peneliti Studi desain Subjek studi Variable Hasil
waktu studi
1. Jung HS, Rumah Retrospective Yang menjalani pemantauan Variabel terikat: 7 Tahun Indeks massa tubuh berkorelasi
Choi MG, Sakit Seoul pH 24 jam rawat jalan dan gerd 4 Bulan positif dengan parameter refluks.
Baeg MK, St. Mary’s manometri esofagus di Gradien tekanan gastroesofageal
Variabel bebas:
Lim CH, August Rumah Sakit Seoul St. meningkat ketika indeks massa
obesitas
Kim JS, 2001 - Mary’s tubuh meningkat (P <0,05).
Cho YK, et December
al.(49) 2008

28

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
Lokasi dan Lama
No. Peneliti Studi desain Subjek studi Variable Hasil
waktu studi
2. Fujiwara M, Rumah Retrospective Pasien yang datang ke Variabel terikat: 1 Tahun Obesitas dievaluasi oleh BMI
Eguchi Sakit Hos- and cross- Rumah Sakit Eguchi Hos- gerd adalah faktor risiko yang
Y,Fukumori pital, Saga, sectional pital, Saga, Jepang, Variabel bebas: signifikan untuk eksaserbasi
N, Eguchi, Jepang, Indeks Massa gejala GERD.
Tomonaga , Tubuh
April 2009 -
YoshiokaT,
Maret 2010
et al.(50)

3. Mostaghi A, Iran Cross- 748 subjek berusia 25 tahun Variabel terikat: 5 Bulan Indeks massa tubuh dan status
Mehrabani sectional atau lebih dan dari kedua prevalensi gerd perkawinan tidak terkait dengan
Mei sampai
D, Hosseini, jenis kelamin. GERD. Hubungan Indeks Massa
dengan Variabel bebas:
Masoumi S Tubuh dan GERD tidaklah
Oktober, Indeks Massa
J, Moradi F, konsisten
2006. Tubuh
Zare N.(51)

29

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran
2.5 Kerangka Teori

Gastroesophageal
Reflux Disease
(GERD)

Faktor Kondisi
Faktor Lingkungan Faktor Individu
sosiodemografi Gastroesofagus

Status Faktor Mekanik Non - Mekanik


Faktor Gizi Genetik
Merokok Jenis
Stress Usia
Kelamin

Gambar 2. Faktor –faktor yang menyebabkan GERD

30

Hubungan indeks massa tubuh dengan kejadian gastroesophageal reflux disease pada karyawan X
Ammar Amran

Anda mungkin juga menyukai