Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

LEPTOSPIROSIS

Disusun oleh :

BETTY RIA STEVANI


(P27220017 132)
4B D-IV

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA

JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN 2021
A. Pengertian Leptospirosis

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh

patogen spirochaeta, genus leptospira. Spirochaeta ini pertama kali

diisolasi di Jepang oleh Inada setelah sebelumnya digambarkan oleh Adolf

Weil tahun 1886. Weil menemukan penyakit ini dapat menyerang manusia

dengan gejala yang ditimbulkan seperti deman, ikterus, pembesaran hati

dan limpa, serta kerusakan ginjal. Organ lain yang dapat pula terkena

adalah jantung, paru, dan susunan syaraf pusat. Penyakit ini disebut juga

dengan Weil disease (Rampengan, 2016).

Di Indonesia, gambaran klinis leptospirosis dilaporkan pertama

kali oleh Van der Scheer di Jakarta pada tahun 1892, sedang isolasinya

dilakukan oleh Vervoot pada tahun 1922(Widjajanti, 2020).

Leptospirosis adalah penyakit zoonosa yang disebabkan oleh

infeksi bakteri berbentuk spiral dari genus Leptospira yang pathogen, yang

ditularkan secara langsung dan tidak langsung dari hewan ke manusia.

Definisi penyakit zoonosa (zoonosis) adalah penyakit yang secara alami

dapat ditularkan dari hewan vertebrata ke manusia atau sebaliknya.

Leptospirosis merupakan zoonosis yang diduga paling luas penyebarannya

di dunia, di beberapa negara dikenal dengan istilah “demam urin tikus”.

Leptospirosis dapat menyerang manusia melalui paparan air atau tanah

yang telah terkontaminasi urine hewan pembawa bakteri leptospira.

Penyakit infeksi bakteri ini banyak terjadi di daerah yang terkena banjir.
Leptospirosis juga rentan menyerang orang-orang yang biasa kontak

dengan hewan tersebut (Kesehatan et al., 2017)

B. Klasifikasi

Menurut (Rusmini, 2011),leptospirosis dibagi menjadi ringan (non-

ikterik) dan berat (ikterik). Ikterik merupakan indikator utama dari

leptospirosis berat.

1. Leptospirosis Ringan (Non-ikterik) 

Sebagian besar manifestasi klinik leptospirosis adalah anikterik, dan ini

diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus leptospirosis di

masyarakat. Gejala leptospirosis timbul mendadak ditandai dengan

viral- like illness, yaitu demam, nyeri kepala, dan mialgia. Nyeri kepala

bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro

orbital dan fotofobia. Nyeri otot diduga terjadi karena adanya kerusakan

otot sehingga kreatinin fosfokinase (CPK) pada sebagian besar kasus

meningkat, dan pemeriksaan CPK ini dapat membantu penegakan

diagnosis klinik leptospirosis. Dapat juga ditemukan nyeri perut, diare,

anoreksia, limfadenopati, splenomegali, rash makulopapular, kelainan

mata (uveitis, iridosiklitis), meningitis aseptik dan conjunctival

suffusion. Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion

dan nyeri tekan di daerah betis. Gambaran klinik terpenting

leptospirosis nonnikterik adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik

sehingga sering terlewatkan diagnosisnya. Sebanyak 80-90% penderita


leptospirosis 14 anikterik akan mengalami pleositosis pada cairan

serebrospinal selama minggu ke-2 penyakit dan 50% diantaranya akan

menunjukkan tanda klinis meningitis. Pasien dengan leptospirosis non-

ikterik pada umumnya tidak berobat karena keluhan bisa sangat ringan.

Pada sebagian pasien, penyakit ini bisa sembuh sendiri (self-limited)

dan biasanya gejala kliniknya menghilang dalam waktu 2 sampai 3

minggu.

2. Leptospirosis Berat (Ikterik) 

Bentuk leptospirosis yang berat ini pada mulanya dikatakan sebagai

leptospira ichterohaemorrhagiae, tetapi ternyata dapat terlihat pada

setiap serotipe leptospira yang lain. Manifestasi leptospirosis yang berat

memiliki angka mortilitas sebesar 5-15%. Leptospirosis ikterik disebut

juga dengan nama Sindrom Weil. Tanda khas dari sindrom Weil yaitu

jaundice atau ikterik, azotemia, gagal ginjal, serta perdarahan yang

timbul dalam waktu 4-6 hari 15 setelah onset gejala dan dapat

mengalami perburukan dalam minggu ke-2. Ikterus umumnya dianggap

sebagai indikator utama leptospirosis berat. Pada leptospirosis ikterik,

demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau

nampak overlapping dengan fase leptospiremia.


C. Etiologi Leptospirosis

Genus Leptospira berasal dari famili Leprospiraceae Ordo

Spirochaetales. Genus Leptospira secara garis besar dibagi dalam dua

spesies, L. interrogans bersifat pathogen (yaitu memiliki potensi untuk

menyebabkan penyakit pada hewan dan manusia) dan L. biflexa yang non-

patogen (yaitu hidup bebas dan umumnya dianggap tidak menyebabkan

penyakit). Kedua spesies tersebut dibagi menjadi beberapa serogrup dan

serovars. Leptospira dapat menyebabkan infeksi pada berbagai jenis

banyak mamalia, seperti tikus, anjing, kucing, domba, babi, tupai, rakun,

dan lain-lain. Binatang pejamu untuk spesies dan serogrup tertentu

berbeda pada tiap daerah, satu mamalia dapat menampung beberapa

serovars. Leptospira ditularkan melalui urin yang terinfeksi, melalui invasi

mukosa atau kulit yang tidak utuh. Infeksi dapat terjadi dengan kontak

langsung atau melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar. Pada

keadaan ideal, leptospira dapat bertahan selama 16 hari di air dan 24 hari

di tanah.

Petani, pegawai kebersihan (pembuang samapah), pemelihara

binatang, orang yang berolah raga air, dan nelayan merupakan kelompok

risiko tinggi terkena leptospirosis (Rampengan, 2016)


D. Penularan Leptospirosis

Risiko manusia terinfeksi tergantung pada paparan terhadap faktor

risiko. Beberapa manusia memiliki risiko tinggi terpapar Leptospirosis

karena pekerjaannya, lingkungan dimana mereka tinggal atau gaya hidup.

Kelompok pekerjaan utama yang berisiko yaitu petani atau pekerja

perkebunan, petugas pet shop, peternak, petugas pembersih, saluran air,

pekerja pemotongan hewan, pengolah daging, dan militer. Kelompok lain

yang memiliki risiko tinggi terinfeksi Leptospirosis yaitu bencana alam

seperti banjir dan peningkatan jumlah manusia yang melakukan olahraga

rekreasi air. Manusia dapat terinfeksi Leptospirosis karena kontak secara

lansung atau tidak langsung dengan urin hewan yang terinfeksi Leptospira.

Petunjuk Teknis Pengendalian Leptospirosis (Kesehatan et al., 2017).

1. Penularan Langsung :

a. Melalui darah, Urin atau cairan tubuh lain yang mengandung

kuman Leptospira masuk kedalam tubuh pejamu

b. Dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan,

terjadi pada orang yang merawat hewan atau menangani organ

tubuh hewan misalnya pekerja potong hewan, atau seseorang yang

tertular dari hewan peliharaanya

c. Dari manusia ke manusia meskipun jarang dapat terjadi melalui

hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita

Leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu.


2. Penularan tidak langsung

Terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan

lumpur yang tercemar urin hewan.

E. Manifestasi Klinis Leptospirosis

Masa inkubasi Leptospirosis antara 2-30 hari biasanya rata-rata 7-10

hari (Kesehatan et al., 2017). Untuk pendekatan klinis dalam tatalaksana

kasus Leptospirosis dibagi dalam 2 sindrom klinis yaitu:

1. Leptospirosis ringan (sering disebut Leptospirosis anikterik)

2. Leptospirosis berat. Kasus suspek dan kasus probabel yang disertai

gejala/tanda klinis meliputi ikterus, manifestasi perdarahan,

anuria/oliguria, sesak nafas, atau aritmia jantung.

3. Menifestasi Leptospirosis

a. Manifestasi klinis perdarahan pada Leptospirosis berat bervariasi

mulai ptekiae, Ekimosis, epistakis sampai hemoptisis/hematemesis;

b. Aritmania jantung sering bermanifestasi sebagai atrium fibrilasi,

AV-block dan Ekstrasistol

c. Pada Leptospirosis berat dapat terjadi gambaran klinis SIRS/ sepsis

berat, ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)

komplikasi/gagal multi-organ, dan syok (hipovolemik, septik, atau

kardiogenik).
F. Patofisiologi Leptospirosis

Transmisi infeksi leptospirake manusia dapat melalui berbagai

cara, yang tersering adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang

tercemar bakteri leptospira. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit

yang lecet atau luka dan mukosa bahkan dalam literatur disebutkan bahwa

penularan penyakit ini dapat melalui kontak dengan kulit sehat (intak)

terutama bila kontak lama dengan air. Selain melalui kulit atau mukosa,

infeksi leptospira bisa juga masuk melalui konjungtiva. Bakteri leptospira

yang berhasil masuk ke dalam tubuh tidak menimbulkan lesi pada tempat

masuk bakteri. Hialuronidase dan atau gerak yang menggangsir

(burrowing motility) telah diajukan sebagai mekanisme masuknya

leptospira ke dalam tubuh Selanjutnya bakteri leptospira virulen akan

mengalami multiplikasi di darah dan jaringan. Sementara leptospira yang

tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem

kekebalan tubuh setelah 1 atau 2 hari infeksi. Leptospira virulen

mempunyai kemampuan motilitas yang tinggi, lesi primer adalah

kerusakan dinding endotel pembuluh darah dan menimbulkan vaskulitis

serta merusak organ. Vaskulitis yang timbul dapat disertai dengan

kebocoran dan ekstravasasi sel (Rusmini, 2011).


Sumber : (Nurarif, 2016)
G. Penatalaksanaan

Kasus Leptospirosis Pengobatan dengan antibiotika yang sesuai

dilakukan sejak kasus suspek ditegakkan secara klinis (Kesehatan et al.,

2017).

1. Terapi untuk khusus Leptospirosis ringan :

a. Pilihan : Doksisiklin 2X100 mg selama 7 (tujuh) hari kecuali pada

anak, ibu hamil, atau bila ada kontraindikasi Doksisiklin.

b. Alternatif ( Bila tidak dapat diberikan doksisiklin)

1. Amoksisilin 3X500mg/hari pada orang dewasa;

2. Atau 10-20mg/kgBB per8 jam pada anak selama 7 hari;

3. Bila alergi Amoksisilin dapat diberikan Makrolid.

c. Terapi Kasus Leptospirosis berat :

1. Ceftriaxon 1-2 gram iv selama 7 (tujuh) hari

2. Penisilin Prokalin 1.5 juta unit im per 6 jam selama 7 (tujuh)

hari; Petunjuk Teknis Pengendalian Leptospirosis

3. Ampisilin 4 X 1 gram iv per hari selama 7 (tujuh) hari;

4. Terapi suportif dibutuhkan bila ada komplikasi seperti gagal

ginjal, pendarahan organ (paru, saluran cerna, saluran kemih,

serebral) syok dan gangguan neorologi.


H. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan darah

Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai leukositosis, normal ataupun

menurun, hitung jenis leukosit, terdapat peningkatan jumlah netfofil.

Leukositosis dapat mencapai 26.000 per mm3 pada keadaan anikterik.

2. Pemeriksaan fungsi ginjal

3. Pemeriksaan fungsi hati

4. Pemeriksaan laboratorium klinis

a. Pemeriksaan mikroskopik dan immunostaining

b. Pemeriksaan molekuler

c. Biakan

d. Inokulasi hewan percobaan (Nurarif, 2016)

I. Pencegahan

Berdasarkan saran WHO, upaya pencegahan leptospirosis dapat

dilakukan dalam tiga cara, yaitu pada hewan sebagai sumber infeksi, jalur

penularan dan manusia (Widjajanti, 2020).

1. Pada hewan sebagai sumber infeksi, pencegahan dilakukan dengan

memberikan vaksin kepada hewan yang berpotensi tertular

leptospirosis. Selain itu kebersihan kandang hewan peliharaan juga

perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya leptospirosis pada

hewan.
2. Pada jalur penularan, pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan

memutus jalur penularan. Jalur penularan adalah lingkungan yang bisa

menjadi tempat berkembang biak dan hidup bakteri Leptospira.

Lingkungan dengan kondisi sanitasi yang buruk menjadi faktor risiko

terjadinya leptospirosis. Kegiatan yang dapat dilakukan untuk

mencegah leptospirosis adalah dengan menjaga kebersihan lingkungan

sekitar tempat tinggal, supaya tidak menjadi sarang tikus, termasuk

tempat penyimpanan air, penanganan sampah yang benar sehingga

tidak menjadi sarang tikus.

3. Pada manusia, pencegahan yang bisa dilakukan dengan menjaga

kebersihan individu setelah beraktivitas di lokasi yang berisiko

terpapar leptospirosis; pendidikan kesehatan untuk menggunakan alat

pelindung diri bagi pekerja yang bekerja di lingkungan yang berisiko

leptospirosis; menjaga kebersihan kandang hewan peliharaan;

membersihkan habitat sarang tikus; pemberantasan hewan pengerat

bila kondisi memungkinkan dan pemberian kaporit atau sodium

hipoklorit pada air tampungan yang akan digunakan oleh masyarakat.

Selain itu perlu juga dilakukan peningkatan kesadaran masyarakat

akan bahaya penyakit ini, terlebih bagi kelompok masyarakat yang

memiliki risiko tinggi dan juga penyedia pelayanan kesehatan.


KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Identitas

Keadaan umum klien seperti umur dan imunisasi., laki dan perempuan

tingkat kejadiannya sama.

2. Keluhan utama

Demam yang mendadak Timbul gejala demam yang disertai sakit

kepala, mialgia dan nyeri tekan (frontal) mata merah, fotofobia,

keluahan gastrointestinal. Demam disertai mual, muntah, diare, batuk,

sakit dada, hemoptosis, penurunan kesadaran dan injeksi konjunctiva.

Demam ini berlangsung 1-3 hari.

3. Riwayat keperawatan

a. Imunisasi, riwayat imunisasi perlu untuk peningkatan daya tahan

tubuh

b. Riwayat penyakit, influenza, hapatitis, bruselosis, pneuma atipik,

DBD, penyakit susunan saraf akut, fever of unknown origin.

c. Riwayat pekerjaan klien apakah termasuk kelompok orang resiko

tinggi seperti bepergian di hutan belantara, rawa, sungai atau

petani.

4. Pemeriksaan dan observasi

a. Pemeriksaan fisik

Keadaan umum, penurunan kesadaran, lemah, aktvivitas menurun

1) Sistem pernafasan
Epitaksis, penumonitis hemoragik di paru, batuk, sakit dada

2) Sistem cardiovaskuler

Perdarahan, anemia, demam, bradikardia.

3) Sistem persyarafan

Penuruanan kesadaran, sakit kepala terutama dibagian

frontalmata merah.fotofobia, injeksi konjunctiva,iridosiklitis

4) Sistem perkemihan

Oligoria, azometmia,perdarahan adernal

5) Sistem pencernaan

Hepatomegali, splenomegali, hemoptosis, melenana

6) Sistem muskoloskletal

Kulit dengan ruam berbentuk makular/makulopapular/urtikaria

yang teresebar pada badan. Pretibial.

b. Laboratorium

1) Leukositosis normal, sedikit menurun,

2) Neurtrofilia dan laju endap darah (LED) yang meninggiu

3) Proteinuria, leukositoria

4) Sedimen sel torak

5) BUN, ureum dan kreatinin meningkat

6) SGOT meninggi tetapi tidak melebihi 5 x normal

7) Bilirubin meninggi samapai 40 %

8) Trombositopenia

9) Hiporptrombinemia
10) Leukosit dalam cairan serebrospinal 10-100/mm3

11) Glukosa dalam CSS Normal atau menurun

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan

2. Hipertermia b.d proses penyakit

3. Defisit nutrisi b.d ketidak mampuan menelan makanan

4. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis

5. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan

6. Risiko hipovelmia b.d kekurangan intake cairan

7. Risiko perdarahan b.d gangguan koagulasi

C. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa Standar Luaran Standar Intervensi

Keperawatan Keperawatan Indonesia Keperawatan Indonesia


1 Bersihan jalan Setelah dilakukan Manajemen jalan napas

napas tidak tindakan Observasi

efektif keperawatan ... x ... - Monitor pola napas

b.d sekresi yang jam, maka diharapkan (frekuensi, kedalaman,


usaha napas)
tertahan kemampuan
- Monitor bunyi napas
membersihkan sekret tambahan (mis. Gurgling,

atau obstruksi jalan mengi, wheezing)


- Monitor sputum (jumlah,
napas untuk
warna, aroma)
mempertahankan jalan Terapeutik

napas tetap paten - Pertahankan kepatenan


meningkat, dengan jalan nafas
- Posisikan semi fowler
kriteria hasil :
- Lakukan pengisapan
1. Produksi sputum
lendir kurang dari 15
menurun detik
- Lakukan hiperoksigenasi
2. Dispneu menurun
sebelum penghisapan
3. Frekuensi napas
endotrakeal
membaik - Berikan oksigen jika
perlu
Edukasi

- Anjurkan asupan cairan

2000ml/hari jika tidak

kontraindikasi

- Anjurkan teknik batuk

efektif

Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian

bronkodilator,

ekspetoran, mukolitik

jika perlu
2 Hipertermia Setelah dilakukan Observasi

b.d proses tindakan - Identifikasi penyebab

penyakit keperawatan ... x ... hipertermia (mis.

jam, maka diharapkan Dehidrasi, terpapar

pengaturan suhu tubuh lingkungan panas,


pasien agar tetap penggunaan inkubator)

berada pada rentang - Monitor suhu tubuh

normal, dengan kriteria - Monitor kadar elektrolit

hasil : - Monitor haluaran urine

2. Menggigil - Monitor komplikasi

menurun akibat hipertermia

3. Suhu tubuh Terapeutik

membaik - Sediakan lingkungan yang

4. Tekanan darah dingin

membaik - Longgarkan atau lepaskan

pakaian

- Basahi dan kipasi

permukaan tubuh

- Berikan cairan oral

- Ganti linen setiap hari

lebih sering jika

mengalami hiperhidrosis

(keringat berlebih)

- Hindari pemberian

antipiretik atau aspirin

- Berikan oksigen jika perlu

Edukasi

- Anjurkan tirah baring


Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian

cairan dan elektrolit

intravena jika perlu


3 Defisit nutrisi b.d Setelah dilakukan Observasi

ketidak tindakan - Identifikasi status nutrisi

mampuan keperawatan ... x ... - Identifikasi alergi dan

menelan jam, maka diharapkan intoleransi makanan

makanan keadekuatan asupan - Identifikasi makanan

nutrisi untuk yang disukai

memenuhi kebutuhan - Identifikasi kebutuhan

metabolisme membaik kalori dan jenis nutrien

dengan kriteria hasil : - Identifikasi perlunya

1. Kekuatan otot penggunaan selang

menelan nassogastrik

membaik - Monitor aspuan

2. Frekuensi makan makanan

cukup - Monitor berat badan

3. Membran mukosa - Monitor hasil

membaik pemeriksaan

laboratorium

Terapeutik

- Lakukan oral hygiene

sebelum makan, jika


perlu

- Fasilitasi menentukan

pedoman diet (mis.

Piramida makaanan)

- Sajikan makanan secara

menarik dan suhu yang

sesuai

- Berikan makanan tinggi

serat untuk mencegah

konstipasi

- Berikan makanan tinggi

kalori dan tinggi protein

- Berikan suplemen

makanan, jika perlu

- Hentikan pemnberian

makanan melalui selang

nasogastrik jika asupan

oral dapat ditoleransi

Edukasi

- Anjurkan posisi duduk

jika mampu

- Ajarkan diet yang

diprogramkan
Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian

medikasi sebelum

makan (mis.pereda

nyeri, antiemetik), jika

perlu

- Kolaborasi dengan ahli

gizi untuk menentukan

jumlah kalori dan jenis

nutrien yang dibutuhkan

jika perlu
4 Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Observasi

agen pencedera tindakan - Identifikasi lokasi,

fisiologis keperawatan ... x ... karakteristik, durasi,

jam, maka diharapkan frekuensi, kualitas,

tingkat nyeri menurun intensitas nyeri

dengan kriteria hasil : - Identifikasi skala nyeri

- Keluhan nyeri - Identifikasi respon nyeri

menurun non verbal

- Frekuensi nadi - Identifikasi faktor yang

membaik memperberat dan

- Tekanan darah memperingan nyeri

membaik - Identifikasi pengetahuan

dan keyakinan tentang


nyeri

- Identifikasi pengaruh

budaya tentang respon

nyeri

- Identifikasi pengaruh

nyeri terhadap kualitas

hidup

- Monitor keberhasilan

terapi komplementer

yang sudah diberikan

- Monitor efek samping

penggunaan analgetik

Terapeutik

- Berikan teknik

nonfarmakologis untuk

mengurangi rasa nyeri

(mis. TENS, hipnosis,

akupresur, terapi musik,

biofeedback, terapi pijat,

aroma terapi, teknik

imajinasi terbimbing,

kompres hangat/ dingin,

terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang

memperberat rasa nyeri

(mis. Suhu ruangan,

pencahayaan ,

kebisingan)

- Fasilitasi istirahat dan

tidur

- Pertimbangkan jenis dan

sumber nyeri dalam

pemilihan strategi

meredakan nyeri

Edukasi

- Jelaskan penyabab,

periode dan pemicu

nyeri

- Jelaskan strategi

meredakan nyeri

- Anjurkan memonitor

nyeri secara mandiri

- Anjurkan menggunakan

analgetik secara tepat

- Ajarkan teknik

nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian

analgetik jika perlu


5 Intoleransi Setelah dilakukan Manajemen energi

aktivitas b.d tindakan Observasi

kelemahan keperawatan ... x ... - Identifikasi gangguan

jam, maka diharapkan fungsi tubuh yang

respon fisiologis mengakibatkan

terhadap aktivitas yang kelelahan

membutuhkan tenaga - Monitor kelelahan fisik

meningkat, dengan dan emosional

kriteria hasil : - Monitor pola dan jam

- Frekuensi nadi tidur

cukup - Monitor lokasi dan

- Perasaan lemah ketidaknyamanan

menurun selama melakukan

- Tekanan darah aktivitas

mebaik Terapeutik

- Sediakan lingkungan

nyaman dan rendah

stimulus (mis. Cahaya,

suara, kunjungan)

- Lakukan latihan rentang


gerak pasid dan atau

aktif

- Berikan aktifitas

distraksi yang

menyenangkan

- Fasilitasi duduk di sisi

tempat tidur jika tidak

dapat berpindah atau

berjalan

Edukasi

- Anjurkan tirah baring

- Anjurkan melakukan

aktivitas secara bertahap

- Anjurkan menghubungi

perawat jika tanda dan

gejala kelelahan tidak

berkurang

- Anjurkan strategi koping

untuk mengurangi

kelelahan

Kolaborasi

- Kolaborasi dengan ahli

gizi tentang cara


meningkatkan asupan

makanan
6 Risiko Setelah dilakukan Manajemen Hipovolemia

hipovelmia b.d tindakan Observasi

kekurangan keperawatan ... x ... - Periksa tanda dan gejala

intake cairan jam, maka diharapkan hipovolemia (mis.

status cairan membaik Frekuensi nadi

dengan kriteria hasil : meningkat, nadi teraba

- Turgor kulit lemah, tekanan darah

meningkat menurun, tekanan nadi

- Output urin cukup menyempit, turgor kulit

- Dispneu menurun menurun, membran

- Suara napas mukosa kering, volume

tambahan menurun urin menurun,

- Kadar hb hematokrit meningkat,

meningkat haus, lemah)

- Tekanan darah - Monitor intake dan

meningkat output cairan

Terapeutik

- Hitung kebutuhan cairan

- Berikan posisi modified

trendelenburg

- Berikan asupan cairan

oral
Edukasi

- Ajarkan memperbanyak

asupan oral

- Anjurkan menghindari

perubahan posisi

mendadak

Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian

cairan IV isotonis (mis.

NaCl, RL)

- Kolaborasi pemberian

cairan IV hipotonis (mis.

Glukosa 2,5%, NaCl

0,4%)

- Kolaborasi pemberian

cairan koloid (mis.

Albumin, plasmanate)

- Kolaborasi pemberian

produk darah
7 Risiko Setelah dilakukan Pencegahan perdarahan

perdarahan b.d tindakan Observasi

gangguan keperawatan ... x ... - Monitor tanda dan gejala

koagulasi jam, maka diharapkan perdarahan

resiko perdarahan - Monitor nilai hematokrit


menurun dengan / hemoglobin sebelum

kriteria hasil : dan sesudah kehilangan

- Kelembapan darah

membran mukosa - Monitor tanda-tanda

meningkat vital ortostatik

- Kelembapan kulit - Monitor koagulasi

meningkat Terapeutik

- Hemoglobin - Pertahankan bed rest

meningkat selama perdarahan

- Hematokrit - Batasi tindakan invasif

meningkat jika perlu

- Suhu tubuh - Gunakan kasur pencegah

menurun dekubitus

- Hindari pengukuran

suhu rektal

Edukasi

- Jelaskan tanda dan

gejala perdarahan

- Anjurkan menggunakan

kaus kaki sat ambulasi

- Anjurkan meningkatkan

asupan cairan untuk

menghindari konstipasi
- Anjurkan menghindari

aspirin dan antikoagulan

- Anjurkan meningkatkan

asupan makanan dan

vitamin K

- Anjurkan segera

melapor jika terjadi

perdarahan

Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian

obat pengontrol

perdarahan jika perlu

- Kolaborasi pemberian

produk darah jika perlu

- Kolaborasi pemberian

pelunak tinja jika perlu

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Implementasi keperawatan biasanya disesuaikan dengan rencana tindakan

keperawatan. Tujuan dari pelaksanaan adalah mencapai tujuan yang telah

ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,

pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping (Nursalam, 2015).

E. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan

yang menandakan seberapa jumlah diagnosa keperawatan, rencana tindakan,

dan penatalaksanaannya sudah berhasil dicapai. Meskipun tahap evaluasi

diletakkan pada akhir proses keperawatan, evaluasi merupakan bagian

integral pada setiap tahap proses keperawatan. Tujuan evaluasi adalah untuk

melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan (Nursalam, 2015)

DAFTAR PUSTAKA

Kesehatan, K., Indonesia, R., Jenderal, D., Dan, P., & Penyakit, P. (2017).
Petunjuk teknis pengendalian leptospirosis. https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKE
wi9ypChxcrvAhVr73MBHe_lAVUQFjADegQIAhAD&url=https%3A%2F
%2Finfeksiemerging.kemkes.go.id%2Fdownload
%2FBuku_Petunjuk_Teknis_Pengendalian_Leptospirosis.pdf&usg=AOvVa
w14KULcU5XbzI8QTPeL7eKq
Nurarif. (2016). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
NANDA NIC-NOC. media action.
Nursalam. (2015). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan Edisi 2. In Salemba Medika
Rampengan, novie. (2016). Leptospirosis. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 8 N,
hlm. 143-150.
Rusmini. (2011). Bahaya Leptospirosis dan Cara Pencegahannya. Gosyen
Publishing.
Widjajanti, W. (2020). Epidemiologi, diagnosis, dan pencegahan Leptospirosis.
Journal of Health Epidemiology and Communicable Diseases, 5(2), 62–68.
https://doi.org/10.22435/jhecds.v5i2.174

Anda mungkin juga menyukai