Anda di halaman 1dari 37

BAGIAN RADIOLOGI

REFARAT
FAKULTAS KEDOKTERAN JULI,2021

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

BRONCHIECTASIS

Oleh :

Ahmad Yogendra Baebudi,S.ked

Pembimbing :

dr. Andi Hendra Yusa, Sp.Rad, M.kes

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Radiologi)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2021
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa:

Nama : AHMAD YOGENDRA BAEBUDI


Judul Referat : BRONCHIECTASIS

Telah menyelesaikan dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian


Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Juli 2021 Pembimbing,

dr. Andi Hendra Yusa, Sp.Rad, M.kes

i
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Wr. Wb.


Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga referat dengan judul
“Bronchiectasis” ini dapat terselesaikan. Salam dan shalawat senantiasa tercurah
kepada baginda Rasulullah SAW, sang pembelajar sejati yang memberikan
pedoman hidup yang sesungguhnya.
Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing dr. Andi Hendra
Yusa, Sp.Rad, M.kes yang telah memberikan petunjuk, arahan dan nasehat yang
sangat berharga dalam penyusunan sampai dengan selesainya Referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dengan niat dan kesungguhan yang
penuh serta usaha yang maksimal dalam menyusun Referat ini, masih banyak
celah yang dapat diisi untuk menyempurnakan Referat ini, baik dari isi maupun
penulisannya. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis
harapkan.
Demikian, semoga Referat ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan
penulis secara khususnya.

Wassalamu Alaikum WR.WB.

Makassar, Juli 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING......................................................i


KATA PENGANTAR........................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................iv
PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 3
Definisi ................................................................................................... 3
Anatomi .................................................................................................. 4
Epidemiologi .......................................................................................... 6
Etiologi.................................................................................................... 6
Patogenesis.............................................................................................. 9
Klasifikasi............................................................................................... 10
Gambaran klinis...................................................................................... 12
Gambaran Radiologi............................................................................... 15
Diagnosa banding secara radiologis........................................................ 20
Terapi...................................................................................................... 24
Prognosis................................................................................................. 27

KESIMPULAN .................................................................................................. 28

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 29

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.............................................................................................................4
Gambar 2.............................................................................................................5
Gambar 3.............................................................................................................10
Gambar 4.............................................................................................................15
Gambar 5.............................................................................................................16
Gambar 6.............................................................................................................16
Gambar 7.............................................................................................................17
Gambar 8.............................................................................................................18
Gambar 9.............................................................................................................19
Gambar 10...........................................................................................................21
Gambar 11...........................................................................................................21
Gambar 12...........................................................................................................22
Gambar 13...........................................................................................................22
Gambar 14...........................................................................................................23

iv
PENDAHULUAN

Bronchiectasis berasal dari bahasa Yunani “bronkhos” yang

berarti pipa atau tabung dan “ektasis” yang berarti melebar atau meluas.

Bronchiectasis pertama kali dijelaskan oleh Laennec pada tahun 1819

sebagai penyakit paru supuratif dengan gambaran fenotip yang

heterogen.1,2 Bronchiectasis merupakan kelainan kronik yang ditandai

dengan dilatasi bronkus secara permanen, disertai proses inflamasi pada

dinding bronkus dan parenkim paru sekitarnya. Manifestasi klinis

primer bronchiectasis adalah terjadinya infeksi yang berulang, kronis, atau

refrakter, dengan gejala sisa yang terjadi adalah batuk darah, obstruksi

saluran napas kronis, dan gangguan bernapas secara progresif.3

Bronchiectasis menyebabkan infeksi paru dan penurunan fungsi paru yang

mengakibatkan morbiditas kronis, penurunan kualitas hidup, dan kematian

dini.1 

Prevalensi bronchiectasis sulit diketahui secara pasti. Berbagai

penelitian epidemiologi menunjukkan prevalensi bronchiectasis 1,3 - 17,8

penderita per 1000 penduduk.2 Prevalensi bronchiectasis di Amerika Serikat

pada tahun 2000-2007 meningkat 8,74% setiap tahun sesuai usia dan

puncaknya terjadi pada usia 80-84 tahun. Prevalensi lebih tinggi terjadi

pada perempuan dengan populasi Asia namun tidak dapat disimpulkan

apakah peningkatan ini merupakan peningkatan jumlah pasien

bronchiectasis yang sebenarnya atau peningkatan identifikasi berdasarkan

1
semakin seringnya penggunaan high resolution computed tomography

(HRCT)  scan. Angka kematian berkisar antara 10 sampai 16% yang

disebabkan oleh primer bronchiectasis atau berkaitan dengan gagal

napas.4  Di Indonesia belum ada laporan angka pasti mengenai penyakit

ini, namun cukup sering ditemukan di klinik atau rumah sakit.5  Diagnosis

bronchiectasis dapat dilakukan dengan pemeriksaan bronkografi

sebagai gold standar , tetapi akhir-akhir ini pemeriksaan bronkografi jarang

dilakukan dan digantikan dengan pemeriksaan berdasarkan dari gambaran

High Resoluted Computed Tomography (HRCT). Bronchiectasis sering

dikategorikan penyakit infeksi saluran pernapasan dengan diagnosis

bronchiectasis terinfeksi. Bronchiectasis harus diduga pada pasien dengan

batuk kronis dan produksi sputum atau infeksi pernapasan yang berulang.

Bronchiectasis yang terinfeksi ditandai dengan peningkatan sputum

(volume, kekentalan, dan purulensi), peningkatan batuk, mengi, sesak

napas, batuk darah, dan penurunan faal paru. Penatalaksanaan

bronchiectasis meliputi penatalaksanaan infeksi yaitu dengan antibiotik

yang adekuat, serta penatalaksanaan sepsis dan gagal napas sebagai

komplikasi yang ditimbulkan. 5

2
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Bronchiectasis merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan

adanya dilatasi bronkus yang bersifat patologis dan berlangsung kronik.

Dilatasi tersebut menyebabkan berkurangnya aliran udara dari dan ke paru-

paru. Bronchiectasis digolongkan dalam penyakit paru obstruktif kronik,

yang bermanifestasi sebagai peradangan saluran pernafasan dan mudah

kolaps, lalu menyebabkan obstruksi aliran udara dan menimbulkan sesak,

gangguan pembersihan mukus yang biasanya disertai dengan batuk dan

hemoptisis.5

Bronchiectasis adalah diagnosis radiologis atau patologis

yang ditandai dengan dilatasi bronkus yang abnormal dan ireversibel

akibat inflamasi bronkus kronis. Bronkus yang mengalami dilatasi

adalah bronkus dengan diameter > 2 mm. Bronchiectasis dapat

bersifat lokal atau difus dan umumnya dibagi menjadi

bronchiectasis non-fibrosis kistik yang mengenai populasi yang

heterogen dengan banyak penyebab, dan bronchiectasis akibat

fibrosis kistik.3

Bronchiectasis bukan merupakan penyakit primer, tetapi lebih

merupakan akibat obstruksi atau infeksi persisten yang ditimbulkan oleh

berbagai penyebab. Jika sudah terbentuk, bronchiectasis akan menimbulkan

kompleks gejala yang didominasi oleh batuk dan pengeluaran sputum purulen

dalam jumlah yang besar. 7

3
ANATOMI

Paru-paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40

M2 untuk pertukaran udara. Tiap paru memiliki bentuk yang menyerupai

kerucut, memiliki puncak yang tumpul yang berbatasan bagian bawah dari

kosta pertama, memiliki dasar cekung yang mengikuti bentuk otot

diafragma, memiliki permukaan kostovertebra yang luas dan mengikut

bentuk dari dinding thoraks, serta permukaan mediastinal cekung

yangmenyokong perikardium.8,9

Terdapat suatu struktur berupa membran pembungkus yang

mengelilingi paru paru disebut pleura. Pleura terdiri dari dua lapisan yaitu

pleura viseralis dan pleura parietalis. Pleura viseralis melekat pada paru

sedangkan pleura parietalis membatasi aspek terdalam dalam dinding dada,

diafragma, serta sisi perikardium dan mediastinum.8,9

Di antara kedua membran ini terdapat rongga yang disebut sebagai

kavum pleura yang berisi cairan pleura. Cairan pleura berfungsi sebagai

pelumas untuk mengurangi gesekan antara kedua pleura Paru-paru kanan

berukuran sedikit lebih besar dari paru-paru kiri.8,9

4
Gambar 1. Struktur Sistem Respirasi

Paru-paru kanan dibagi menjadi 3 lobus –atas, tengah, dan bawah, oleh

fisura oblikus dan fisura horizontal . Sedangkan paru-paru kiri hanya

memiliki fisura oblikus yang membagi paru menjadi 2 lobus, atas dan

bawah.10

Gambar 2. Lobus Paru dilihat dari depan

Bronki dan jaringan parenkim paru-paru mendapat pasokan darah dari


a.bronkialis

–cabang-cabang dari aorta torakalis desendens. v. bronkialis yang juga

berhubungan dengan v. pulmonalis, mengalirkan darah ke v.azigos dan v.

hemiazigos. Alveoli mendapat darah deoksigenasi dari cabang-cabang

terminal a. pulmonalis dan darah yang teroksigenasi mengalir kembali

melalui cabang-cabang v. pulmonalis. Dua v. pulmonalis mengalirkan darah

kembali dari tiap paru ke atrium kiri jantung. Aliran limfe dari paru-paru

mengalir kembali dar perifer menuju kelompok kelenjar getah bening

trakeobronkial hilar dan dari sini menuju trunkus limfatikus mediastinal.10

Pleksus pulmonalis berasal dari serabut saraf simpatis (dari trunkus

simpatikus) dan serabut parasimpatis (dari N. vagus). Aliran eferen

5
mempersarafi muskulus bronchial dan menerima aliran aferen dari

membranmukosa bronkiolus dan alveolus.10

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi bronchiectasis sulit diketahui secara pasti. Berbagai

penelitian epidemiologi menunjukkan prevalensi bronchiectasis 1,3 -

17,8 penderita per 1000 penduduk. Di Amerika Serikat, dari tahun

2000 sampai tahun 2007 prevalensi bronchiectasis meningkat

8,74% setiap tahun sesuai usia dan memuncak pada usia 80 - 84

tahun. Prevalensi lebih tinggi terjadi pada perempuan dengan

populasi Asia, tetapi tidak dapat disimpulkan apakah peningkatan ini

merupakan peningkatan jumlah pasien bronchiectasis yang

sebenarnya atau peningkatan identifikasi berdasarkan semakin

seringnya penggunaan high resolution computed tomography

(HRCT). Angka kematian berkisar antara 10 sampai 16% yang

disebabkan oleh primer bronchiectasis atau berkaitan dengan gagal

napas.1,4

Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang

pasti mengenai penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini cukup sering

ditemukan dan diderita oleh laki laki maupun wanita. Penyakit ini

dapat diderita mulai sejak anak bahkan dapat berupa kelainan

kongenital. 8 

6
ETIOLOGI

Bronchiectasis sampai sekarang masih belum jelas.

Namun diduga bronchiectasis dapat timbul secara kongenital

maupun didapat.6

1. Kelainan kongenital 

Bronchiectasis terjadi sejak individu masih dalam

kandungan. Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan

perkembangan memegang peranan penting. Bronchiectasis

yang timbul kongenital biasanya mengenai hampir

seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua bronkus. Selain

itu, bronchiectasis kongenital biasanya menyertai penyakit-

penyakit kongenital seperti Fibrosis kistik, Kertagener

Syndrome, William Campbell syndrome, Mounier Kuhn

Syndrome,dll.6,11

2. Kelainan didapat 

Bronkietasis yang didapat sering berkaitan dengan obstruksi

bronkus. Dilatasi bronkus mungkin disebabkan karena kelainan

didapat dan kebanyakan merupakan akibat dari proses

berikut:6,11

a. Infeksi

Bronchiectasis sering terjadi sesudah seorang anak menderita

pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia

7
merupakan komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita

semasa anak, tuberkulosis paru, dan sebagainya. Kehadiran

Staphylococcus aureus dikaitkan dengan fibrosiskistik atau

aspergillosis bronkopulmonalis alergi. Aspergillus fumigatus merupakan

organisme komensal. Aspergillosis bronkopulmonalis alergi adalah suatu

keadaan yang mempengaruhi pasien asma dan melibatkan kerusakan

saluran napas yang disebabkan oleh beberapa faktor. Bronchiectasis pada

pasien dengan aspergillosis bronkopulmonalis alergi ini disebabkan oleh

reaksi imun pada aspergillus, kerja dari mikotoksin, elastase dan

interleukin-4 dan interleukin-5 dan pada tahap kemudian terjadi invasi

jamur secara langsung pada saluran napas. Sebuah laporan baru-baru ini

menunjukkan peningkatan dan penurunan fungsi paru dengan

penggunaan kortikosteroid setelah terapi itrakonazol menunjukkan

organisme Aspergillus juga mungkin menginfeksi. Tidak mengherankan

bahwa bronchiectasis dapat digambarkan pada pasien dengan Acquired

Immunodeficiency Syndrome (AIDS), menyebabkan terjadinya infeksi

saluran pernapasan berulang dan merusak respons host. Kebanyakan

pasien memiliki jumlah CD4 yang rendah, sebelumnya ada infeksi

piogenik, pneumocystic, dan infeksi mikobakteri, dan pneumonia

interstisial limfositik (pada anak).6

b.  Obstruksi bronkus

Obstruksi bronkus dapat disebabkan oleh berbagai


macam sebab seperti korpus alienum, karsinoma bronkus atau
tekanan dari luar lainnya terhadap bronkus. Menurut penelitian

8
para ahli diketahui bahwa infeksi ataupun obstruksi bronkus
tidak selalu nyata (automatis) menimbulkan bronchiectasis.6

9
PATOGENESIS
Berdasarkan defenisinya, bronchiectasis menggambarkan

suatu keadaan dimana terjadi dilatasi bronkus yang ireversibel (> 2

mm dalam diameter) yangmerupakan akibat dari destruksi

komponen muskular dan elastis pada dinding bronkus.

Rusaknya kedua komponen tersebut adalah akibat dari suatu

prosesinfeksi, dan juga oleh pengaruh cytokine inflamasi, nitrit

okside dan netrophilic protease yang dilepaskan oleh system imun

tubuh sebagai respon terhadap antigen.12

Bronchiectasis dapat terjadi pada kerusakan secara

langsung dari dinding bronkus atau secara tidak langsung dari

intervensi pada pertahanan normal jalan nafas. Pertahanan jalan

nafas terdiri dari silia yang berukuran kecil pada jalan nafas. Silia

tersebut bergerak berulang-ulang, memindahkan cairan berupa

mukus yang normal melapisi jalan nafas. Partikel yang

berbahaya dan bakteri yang terperangkap pada lapisan mukus

tersebut akan dipindahkan naik ke tenggorokandan kemudian

batukkan keluar atau tertelan.5

Terlepas dari apakah kerusakan tersebut diakibatkan

secara langsung atau tidak langsung, daerah dinding bronkus

mengalami kerusakan dan menjadiinflamasi yang kronik.

Bronkus yang mengalami inflamasi akan kehilangan

keelastisannya, sehingga bronkus akan menjadi lebar dan lembek

10
serta membentuk kantung atau saccus yang menyerupai balon yang

kecil. Inflamasi juga meningkatkan sekresi mukus. Karena sel yang

bersilia mengalami kerusakan,sekret yang dihasilkan akan

menumpuk dan memenuhi jalan nafas dan menjaditempat

berkembangnya bakteri. Yang pada akhirnya bakteri-bakteri tersebut

akanmerusak dinding bronkus, sehingga menjadi lingkaran setan

antara infeksi dankerusakan jalan nafas.5

Gambar 3. Gambaran bronchiectasis

KLASIFIKASI

Berdasarkan kelainan anatomis bronchiectasis, dibagi 3 variasi:

1. Bronchiectasis tabung (tubular, silindris, fusiformis), merupakan

bronchiectasis yang paling ringan dan sering ditemukan pada

bronchiectasis yang menyertai bronchitis kronik.

2. Bronchiectasis varicose merupakan bentuk diantara bentuk tabung

dan kantung. Istilah ini digunakan karena perubahan bentuk

bronkus menyerupai varises pembuluh vena

3. Bronchiectasis kantong ( saccular ) merupakan bentuk

11
bronchiectasis yang klasik, ditandai dengan adanya dilatasi dan

penyempitan bronkus yang bersifat irregular. Bentuk ini

kadang –k  adang berbentuk kista (cystic bronchiectasis).17

GAMBARAN KLINIS

Manifestasi klasik dari bronchiectasis adalah batuk dan

produksi sputum harian yang mukopurulen sering berlangsung

bulanan sampai tahunan. Sputum yang bercampur darah atau

hemoptisis dapat menjadi akibat dari kerusakan jalan nafas dengan

infeksi akut. Variasi yang jarang dari bronchiectasis kering yakni

hemoptisis episodik dengan sedikit atau tanpa produksi sputum.

Bronchiectasis kering biasanya merupakan sekuele gejala sisa dari

tuberkulosis dan biasanya ditemukan pada lobus atas. Gejala

spesifik yang jarang ditemukan antara lain dyspnea, nyeri dada

pleuritik, wheezing, demam, mudah lelah dan berat badan menurun.

Pasien relatif mengalami episode berulang dari bronkitis atau infeksi

paru, yang merupakan eksaserbasi dari bronchiectasis dan sering

membutuhkan antibiotik. Infeksi bakteri yang akut ini sering

diperberat dengan onsetnya oleh peningkatan produksi sputum yang

berlebihan, peningkatan kekentalan sputum, dan kadang-kadang

disertai dengan sputum yang berbau.6

Batuk kronik yang produktif merupakan gejala yang

menonjol. Terjadi hampir 90% pasien. Beberapa pasien hanya

menghasilkan sputum dengan infeksi saluran pernafasan atas

12
yang akut. Tetapi sebaliknya, pasien-pasien itu mengalami infeksi

yang diam. Sputum yang dihasilkan dapat berbagai macam,

tergantung berat ringannya penyakit dan ada tidaknya infeksi

sekunder. Sputum dapat berupa mukoid, mukopurulen, kental dan

purulen. Jika terjadi infeksi berulang, sputum menjadi purulen

dengan bau yang tidak sedap. Dahulu, jumlah total sputum harian

digunakan untuk membagi karakteristik berat ringannya

bronchiectasis.6

Sputum yang kurang dari 10 ml digolongkan sebagai

bronchiectasis ringan sputum dengan jumlah 10-150 ml

perhari digolongkan sebagai bronchiectasis moderat dan sputum

lebih dari 150 ml digolongkan sebagai bronchiectasis berat.

Namun sekarang, berat ringannya bronchiectasis dikalsifikasikan

berdasarkan temuan radiologis. Pada pasien fibrosis kistik, volume

sputum pada umumnya lebih banyak dibanding penyakit penyebab

bronchiectasis lainnya.6

Hemoptisis terjadi pada 56-92% pasien dengan

bronchiectasis. Hemoptisis mungkin terjadi masif dan berbahaya bila

terjadi perdarahan pada arteri bronkial. Hemoptisis biasanya terjadi

pada bronchiectasis kering, walaupun angka kejadian dari

bronchiectasis tipe ini jarang ditemukan6.

Dyspnea terjadi pada kurang lebih 72% pasien

13
bronchiectasis tapi bukan merupakan temuan yang universal.

Biasanya terjadi pada pasien dengan bronchiectasis luas yang

terlihat pada gambaran radiologisnya. Wheezing sering dilaporkan

dan mungkin akibat obstruksi jalan nafas yang diikuti oleh destruksi

dari cabang bronkus. Seperti dyspnea, ini juga mungkin merupakan

kondisi yang mengiringi, seperti asma. 6

Nyeri dada pleuritik kadang-kadang ditemukan, terjadi

pada 46% pasien pada sekali observasi. Paling sering merupakan

akibat sekunder pada batuk kronik, tetapi juga terjadi pada

eksaserbasi akut. 6

Penurunan berat badan sering terjadi pada pasien

dengan bronkiektasi yang berat. Hal ini terjadi sekunder akibat

peningkatan kebutuhan kalori berkaitan dengan peningkatan

kerja pada batuk dan pembersihan sekret pada jalan nafas.

Namun, pada umumnya semua penyakit kronik disertai dengan

penurunan berat badan. Demam biasanya terjadi akibat infeksi yang

berulang.6

14
GAMBARAN RADIOLOGI

Foto Thorax

Dengan pemeriksaan foto thoraks, maka pada bronchiectasis dapat

ditemukan gambaran seperti dibawah ini:

1. Ring shadow

Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran (dapat

mencapai diameter 1 cm). Dengan jumlah satu atau lebih bayangan

cincin sehingga membentuk gambaran “bounches of grapes”.

Bayangan cincin tersebut menunjukkan kelainan yang terjadi pada

bronkus.13

15
Gambar 4. Tampak Ring Shadow pada bagian bawah paru yang
menandakan adanya dilatasi bronku

Gambar 5. Tampak dilatasi bronkus yang ditunjukkan oleh anak panah

16
Gambar 6. Tampak ring shadow yang menandakan dilatasi bronkus

2. Tramline shadow

Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru-paru. Bayangan

ini terlihat terdiri atas dua garis paralel yang putih dan tebal yang

dipisahkan oleh daerah berwarna hitam. Gambaran seperti ini sebenarnya

normal ditemukan pada daerah parahilus. Tramline shadow yang

13
sebenarnya terlihat lebih tebal dan bukan pada daerah parahilus.

17
Gambar 7. Tramline shadow terlihat diantara bayangan jantung

3. Tubular shadow

Ini merupakan bayangan yang putih dan tebal. Lebarnya dapat mencapai

8 mm. Gambaran ini sebenarnya menunjukkan bronkus yang penuh dengan

sekret. Gambaran ini jarang ditemukan, namun gambaran ini khas untuk

13
bronchiectasis.

4. Glove finger shadow

Gambaran ini menunjukkan bayangan sekelompok tubulus yang terlihat

seperti jari-jari pada sarung tangan.13

Bronkografi

Bronkografi merupakan pemeriksaan foto dengan

18
pengisian media kontras ke dalam sistem saluran bronkus pada

berbagai posisi AP, lateral, oblik.Pemeriksaan ini selain dapat

menentukan adanya bronchiectasis, juga dapat menentukan

bentuk-bentuk bronchiectasis yang dibedakan dalam bentuk

silindris (tubulus, fusiformis), sakuler (kistik) dan varikosis.

Pemeriksaan bronkografi juga dilakukan pada penderita

bronchiectasis yang akan di lakukan pembedahan pengangkatan

untuk menentukan luasnya paru yang mengalami bronchiectasis

yang akan diangkat.13

Gambar 8. Bronkografi: Memperlihatkan diameter bronkus

tampak melebar

CT Scan Thorax

Gambar 9. CT scan menunjukkan adanya dilatasi bronkus pada lobus


inferior kiri.

19
CT Scan dengan resolusi tinggi menjadi pemeriksaan

penunjang terbaik untuk mendiagnosis bronchiectasis,

mengklarifikasi temuan dari foto thorax dan melihat letak

kelainan jalan nafas yang tidak dapat terlihat pada foto polos

thorax.13

CT Scan resolusi tinggi mempunyai sensitivitas sebesar 97% dan

spesifisitas sebesar 93%. CT Scan resolusi tinggi akan

memperlihatkan dilatasi bronkus dan penebalan dinding bronkus.

Modalitas ini juga mampu mengetahui lobus mana yang terkena, terutama

penting untuk menentukan apakah diperlukan pembedahan.13

DIAGNOSA BANDING SECARA RADIOLOGIS

1. Bronkitis Kronik

Penyakit bronkitis kronik tidak selalu memperlihatkan gambaran khas pada foto

thoraks. Gambaran radiologi bronkitis hanya memperlihatkan perubahan yang

minimal dan biasanya tidak spesifik. Bronkitis kronik secara radiologik dibagi

menjadi 3 golongan

a) Ringan : gambaran corakan paru yang ramai di basal paru.

b) Sedang : gambaran corakan paru yang ramai di basal paru disertai

gambaran emfisema, dan kadang disertai bronchiectasis di parakardial

kanan & kiri.

20
c) Berat : ditemkan hal tersebut seperti diatas disertai cor pulmonale

sebagai komplikasi dari bronkitis kronik. 16

Gambaran radiologi yang mendukung adanya bronchitis kronik adalah

dengan ditemukannya gambaran dirty chest   hal ini ditandai dengan

terlihatnya corakan

 bronkovaskular yang ramai. Gambaran opasitas yang kecil mungkin akan terlihat

pada semua tempat di seluruh lapangan paru namum penilaian gambaran ini

bersifat subjektif. Terdapat beberapa korelasi antara bronchitis kronik dengan

adanya edema perivascular dan peribronkial, inflamasi kronik dan fibrosis. Jika

gambaran ini terlihat jelas, dengan beberapa bayangan linear dan opasitas nodular

yang berat maka gambarannya akan mirip dengan fibrosis interstisial, limfangitis

karsinom, maupun bronchiectasis.16

Gambar 10. Dirty chest yang menunjukkan adanya corakan bronkuvaskular

yang ramai hingga menuju percabangan perifer di paru.

21
Gambar 11. Foto thoraks laki-laki yang memilki riwayat merokok lama.
Terlihat adanya corakan bronkovaskular ramai disertai emfisema. Volume
paru tampak membesar, sela iga melebar, dan difragma mendatar.

Gambar 12. Gambaran berupa tramline shadow berupa garis parallel akibat


penebalan dinding bronkus yang juga menjadi gambaran khas
bronchiectasis.

22
Gambar 13. Adanya gambaran tubular shadow pada bronkitis kronik

2. Asma Bronkhial

Proses airway remodelling yang terjadi pada pasien asma

dapat bervariasi, mulai dari penebalan dinding  saluran napas yang

ringan sampai dengan bronchiectasis yang jelas. Penelitian Kohort

yang dilakukan Grenier dkk mendapatkan data bahwa 40% penderita

asma mengalami bronchiectasis. Penelitian tersebut juga

mendapatkan data hasil pemeriksaan HRCT pasien asma didapatkan

penebalan dinding bronkus pada 82% pasien, tingginya angka

tersebut menunjukkan tingginya risiko terjadinya bronchiectasis pada

pasien asma.16

23
Gambar 14. Gambaran asma bronkhial pada foto thoraks saat serangan

terdapat gambaran hiperinflasi yakni radiolusen yang bertambah dan

diafragma yang menurun.

TERAPI

Tujuan pengobatan bronchiectasis adalah untuk mencegah

eksaserbasi, mengurangi keluhan, meningkatkan kualitas hidup pasien, dan

menghentikan perburukan penyakit. Beberapa guidelines nasional di Eropa

tentang bronchiectasis telah dipublikasikan antara lain Spanish Society of

24
Pneumology and Thoracic surgery (SEPAR) pada tahun 2008,  British

Thoracic Society  (BTS) pada tahun 2010, dan European Respiratory

Society (ERS) pada tahun 2017.15 

Target utama tatalaksana adalah penurunan kejadian eksaserbasi;

eksaserbasi menghabiskan biaya pengobatan yang paling banyak. Data ERS

menunjukkan 50% pasien bronchiectasis di Eropa mengalami eksaserbasi

lebih dari dua kali dalam setahun dan sepertiganya membutuhkan rawat

inap di rumah sakit. Terapi saat ini merujuk pada hipotesis lingkaran setan

dari Cole. Terapi diharapkan bisa memotong alur lingkaran setan, yakni

inflamasi saluran napas, penurunan klirens mukus, kerusakan struktur

saluran napas, dan kolonisasi bakteri.15 

Pembersihan saluran napas dengan fisioterapi dada adalah salah

satu teknik pengeluaran sekret paru secara nonfarmakologis, namun belum

ada bukti adekuat meningkatkan kualitas hidup pasien dan menurunkan

kejadian eksaserbasi. Terapi rehabilitasi paru direkomendasikan untuk

semua pasien bronchiectasis, pada derajat ringan hanya diberikan saat

eksaserbasi saja. Penelitian pada 111 pasien bronchiectasis non-fibrosis

kistik dan sesak saat aktivitas, latihan fisik berjalan kaki 2 kali seminggu,

bersepeda dan latihan penguatan menghasilkan perbaikan signifikan pada

tes jalan 6 menit dan skor kualitas hidup.2 

1. Terapi Jangka Pendek

Antimikroba Pedoman BTS dan ERS merekomendasikan pemberian

antibiotik oral selama 14 hari untuk bronchiectasis akut ataupun

25
eksaserbasi. Definisi eksaserbasi adalah perburukan gejala lokal (batuk,

peningkatan jumlah atau kekentalan sputum, peningkatan purulensi sputum

dengan / atau tanpa wheezing, sesak, dan hemoptoe) dan gejala sistemik. 16 

Pemilihan antibiotik dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain

tingkat keparahan penyakit, hasil kultur dahak, uji sensitivitas obat. Jika

kultur dahak tidak tersedia atau pada kasus risiko tinggi kolonisasi kuman

Pseudomonas aeruginosa (PA), lebih baik digunakan obat anti-

pseudomonas (misalnya fluorokuinolon). Terapi eradikasi kuman PA yang

dianjurkan adalah pemberian siprofloksasin oral 750 mg dua kali per hari

selama 14 hari. Terapi empiris antibiotik oral lini pertama adalah

amoksisilin 500 mg oral setiap 8 jam selama 14 hari. Cakupan antibiotik

amoksisilin meliputi  Haemophilus influenzae  yang paling sering

ditemukan di saluran napas bagian bawah pasien bronchiectasis pasca-

infeksi. Pasien alergi amoksisilin dapat diberi klaritromisin 500 mg setiap

12 jam untuk 14 hari.16 Pada bakteri yang memproduksi enzim beta

lactamase seperti kuman  M. Catharralis  dapat diberikan amoksisilin-

klavulanat 625 mg setiap 8 jam selama 14 hari.16 

2. Terapi Jangka Panjang

Terapi mukoaktif dapat diberikan pada pasien eksaserbasi ataupun

pasien kronik. Terapi dapat diberikan baik secara oral, inhalasi, maupun

nebulasi. Mukoaktif dapat menurunkan kekentalan dahak dan membantu

pengeluaran dahak yang secara rasional dapat mengurangi gejala dan

26
menurunkan eksaserbasi. Berbagai agen nebulasi seperti cairan saline

hipertonis, manitol, dan agen mukolitik telah terbukti membantu

pembersihan sekret jalan napas. Obat oral mukoaktif seperti carbocysteine

dan N-acetylcysteine sering diberikan sebagai terapi bronchiectasis di

Inggris, namun belum ada penelitian RCT tentang keduanya. Agen

mukoaktif yang direkomendasikan saat ini adalah bromheksin. ESR

merekomendasikan terapi mukoaktif jangka panjang >3 bulan pada pasien

yang sulit mengeluarkan dahak dan sudah diberi fisioterapi, namun tidak

dapat meningkatkan kualitas hidup. Pemilihan terapi sebaiknya disesuaikan

berdasarkan profil gejala, tes toleransi agen mukoaktif dan agonis beta-2

sebagai premedikasi. 15

Agen anti-inflamasi mencakup kortikosteroid, non-steroidal anti

inflammatory drugs (NSAID), dan leukotriene receptor antagonist (LTRA).

Konstan, dkk. (1995)  dan penelitian di Kanada (2011) menyarankan

ibuprofen dosis tinggi untuk bronchiectasis fibrosis kistik ringan, namun

belum ada studi yang mendukung pemberian rutin pada bronchiectasis non-

fibrosis kistik.15 

3. Penatalaksanaan Bedah 

Reseksi bedah pada bronchiectasis hanya dilakukan dengan

pertimbangan khusus, diantaranya pada pasien dengan kelainan terlokalisasi

yang gagal dengan terapi medis dan menderita gejala klinis yang

memperburuk kualitas hidup pasien. Konsep dasar tindakan bedah pada

27
bronchiectasis adalah menghilangkan area parenkim paru yang rusak

yang menyebabkan penetrasi antibiotik tidak dapat berjalan dengan baik.

Jaringan paru yang rusak menjadi area reservoir  bakteri yang menyebabkan

infeksi berulang. Beberapa hal yang memengaruhi suksesnya tindakan

bedah antara lain: reseksi komplit area yang terlibat, intervensi awal untuk

mencegah terjadinya perkembangan mikroba resisten dan penyebaran ke

segmen paru yang berdekatan, terapi antibiotik preoperasi sesuai dengan

kultur dan sensitivitas, terapi antibiotik tetap dilanjutkan setelah operasi,

perbaikan suplementasi nutrisi preoperasi sesuai indikasi, antisipasi

terhadap komplikasi yang mungkin terjadi.15

PROGNOSIS

a. Kelangsungan Hidup
Prognosis pasien bronchiectasis tergantung pada berat-ringannya
serta luasnya penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan
pengobatan secara tepat (konservatif atau pembedahan) dapat
memperbaiki prognosis penyakit.12
Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek,
survivalnya tidak akan lebih dari 5-15 tahun. Kematian pasien tersebut
biasanya karena pneumonia, empiema, payah jantung kanan,
hemoptisis dan lain-lain. Pada kasus-kasus tanpa komplikasi bronkitis
kronik berat dan difus biasanya disabilitasnya ringan. 12
b. Kelangsungan Organ
Kelainan pada bronchiectasis biasanya mengenai bronkus dengan
ukuran sedang. Adanya peradangan dapat menyebabkan destruksi

28
lapisan muscular dan elastic dari bronkus serta dapat pula menyebabkan
kerusakan daerah peri bronchial. Kerusakan ini biasanya akan
menyebabkan timbulnya daerah fibrosis terutama pada daerah
peribronkial. 12

29
KESIMPULAN

1. Bronchiectasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya

dilatasibronkus yang bersifat patologis dan berlangsung kronik. Dilatasi

tersebut menyebabkan berkurangnya aliran udara dari dan ke paru-paru.

2. Bronchiectasis adalah penyakit saluran napas kronik yang sering tidak

terdiagnosis. Penyakit ini dapat mengakibatkan gangguan respirasi seperti

batuk lama, dahak menahun, batuk darah, dan menurunkan kualitas hidup

penderitanya.

3. Secara morfologi penyakit ini terdiri dari tiga bentuk, yaitu silindris, varikosa,

dan sakular (kistik) dimana setiap kelainan morfologi menunjukkan tipe

dilatasi dari bronkus yang terkena.

4. Patogenesis yang terjadi berkaitan kombinasi inflamasi berulang dinding

bronkus dan fibrosis parenkim, menghasilkan dinding bronkus yang lemah dan

berlanjut menjadi dilatasi yang irreversibel.

5. CT Scan resolusi tinggi adalah pemeriksaan penunjang terbaik untuk

menegakkan diagnosis bronchiectasis karena memberikan informasi morfologi

paru yang lebih jelas. CT Scan resolusi tinggi mempunyai sensitivitas sebesar

97% dan spesifitas sebesar 93%.

6. Strategi yang digunakan pada penatalaksanaan bronchiectasis antara lain

identifikasi keadaan eksaserbasi akut dan penggunaan antibiotik,

mengendalikan pertumbuhan mikroba, terapi terhadap kondisi yang

mendasarinya, mengurangi respons inflamasi yang berlebihan, peningkatan

higienitas bronkial dan pertimbangan terapi bedah pada kasus tertentu.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. McShane PJ, Naureckas ET, Tino G, Strek ME. Non-cystic fibrosis

bronhiectasis. AM J Respir Crit Care Med. 2013;188(6):647-56.

2. Fatmawati F, Rasmin M. Bronchiectasis dengan sepsis dan gagal napas. J

Respir Indon. 2017;37(2):165-76.

3. Pamela J, McShane I, Edward T, Naureckas I, Gregory T, Mary E.

Non – Cystic Fibrosis Bronchiectasis. American Journal Of Respiratory And

Critical Care Medicine 2013; 188: 647 – 656.

4. Lohani S. Review paper on bronchiectasis. JAIM. 2012;1:39-42.

5. Rahmatullah P. Bronchiectasis. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi V.

Jakarta: Interlectna Publishing; 2009 .p. 2297-304.

6. O’Regan AW, Berman JS. Baum’s Textbook of Pulmonary Disease 7th

Edition. Editor        James D. Crapo, MD. Lippincott Williams & Walkins.

Philadelphia. 2004. hal 255-274.Maitra A, Kumar V. 2007. Paru dan Saluran

Napas Atas. Dalam: Kumar V, Cotran RS, Robbins SL (eds). Buku Ajar

Patologi Robbins. Diterjemahkan oleh: Pendit BU. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

7. Luhulima JW. Trachea dan Bronchus. Diktat Anatomi Systema Respiratorius.

Bagian Anatomi FKUH. Makassar. 2004. hal 13-14.

8. Gregory Tino, Steven E. Weinberger.Bronchiectasis dalam buku

Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition Volume II.Fauci,

Braunwald, Kasper, Hauser Longo, Jameson, Loscalzo.Mc Graw

31
Hill.2008.Page: 1629.

9. Neves PC, Guerra M, Ponce P, Miranda J, Vouga L.State-of-theart –

Pulmonary Non-cystic fibrosis bronchiectasis. Interactive CardioVascular and

Thoracic Surgery 2011;13: 619 –6  25.

10. Wilson LM. Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit) Edisi enam. Editor

Hartanto Huriawati,  dkk. EGC. Jakarta 2006. hal 737-740

11. Goeminne PC, Scheers H, Decraene A , Seys S, and Dupont LJ. Risk factors

for morbidity and death in non-cystic fibrosis bronchiectasis: a retrospective

crosssectional analysis of CT diagnosed bronchiectatic patients. Respiratory

Research. 2012;13:21.

12. Alsagaff H, Mukty A. Bronchiectasis, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru,


Airlangga University        Press. Surabaya. 2006. hal 256-261
13. Patel PR. Lecture Notes Radiologi Edisi Ketiga. Hoboken City. Jakarta. 2010.

14. Eva P, Pieter CG, Melissa JM, Stefano A, Sara EM, Michael RL. European

Respiratory Society guidelines for the management of adult bronchiectasis.

Eur Respir J.2017;50:1700629.

15. Al-Jahdali H, Alshimemeri A, Mobeireek A, Albanna AS, Al Shirawi NN,

Wali S, et al. The Saudi Thoracic Society guidelines for diagnosis and

management of noncystic fibrosis bronchiectasis. Ann Thorac Med.

2017;12:135-61

16. Ghazali, Rusdy, 2008, Radiologi Diagnostik, Pustaka Cendikia Press :

Yogyakarta

17. Wahyuni H, Helmia H, Bronchiectasis, Jurnal Respirasi, 2016

32

Anda mungkin juga menyukai