Anda di halaman 1dari 41

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2021


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

BRONKIEKTASIS

DIsusu Oleh :
Andi Nurul Fadillah
111 2020 1003

Pembimbing :
dr. Edward Pandu Wiriansya, Sp.P(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama : Andi Nurul Fadillah
NIM : 111 2020 1003
Judul Referat : Bronkiektasis

Adalah benar telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik berjudul


Bronkiektasis dan telah disetujui serta telah dibacakan dihadapan Dokter
Pembimbing Klinik dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, September 2021


Menyetujui,
Dokter Pembimbing Klinik Mahasiswa

dr. Edward Pandu Wiriansya, Sp.P(K) Andi Nurul Fadillah

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat, berkah, dan rahmat Allah
SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan refarat dengan judul
“Bronkiektasis” yang merupakan salah satu syarat serta tugas dalam
kepaniteraan klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia.

Keberhasilan penyusunan refarat ini adalah berkat bimbingan, bantuan moril


dan materil dari berbagai pihak yang telah diterima oleh penulis, sehingga
segala kesulitan yang dihadapi dalam penyusunan refarat ini dapat
terselesaikan dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan setingg-


tingginya secara tulus kepada yang terhormat dr. Indah Lestari, Sp. PD,
selaku pembimbing selama penulis berada di Bagian Ilmu Penyakit Dalam.

Sebagai manusia biasa, penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan


dalam berbagai hal, sehingga rearat ini masih jauh dari ksemepurnaan.
Saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan
dalam penyempurnaan refarat ini. Penulis berharap agar refarat ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dan bernilai amal ibadah bagi kita semua.

Makassar, September 2021

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN......................................................................2

KATA PENGANTAR................................................................................3

DAFTAR ISI.............................................................................................4

DAFTAR TABEL......................................................................................5

DAFTAR GAMBAR..................................................................................6

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................7

1.1 Latar Belakang...................................................................................7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................9

2.1 Definisi...............................................................................................9

2.2 Epidemiologi......................................................................................9

2.3 Etiologi.............................................................................................10

2.4 Patofisiologi.....................................................................................12

2.5. Klasifikasi........................................................................................15

2.6 Manifestasi Klinis……...…. .............................................................16

2.7 Diagnosis…………………. .............................................................17

2.8 Diagnosis Banding………………………………...............................28

2.9 Evaluasi Keparahan……………………………….............................30

2.10 Penatalaksanaan………………………………...............................32

2.11 Prognosis....……………………………….......................................37

2.12 Komplikasi....………………………………......................................38

BAB III KESIMPULAN.........................................................................39

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................40

4
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kondisi yang berhubungan dengan bronkiektasis .......................11

Tabel 2. Skor FACED ................................................................................31

Tabel 3. Bronchiectasis Severity Index (BSI) ........................……………..32

Tabel 4. Organisme yang sering dihubungkan dengan Bronkiektasis


Eksaserasi Akut dan Antibiotik yang
direkomendasikan.......................................................................................35
Tabel 5. Antibiotik Intravena yang dapat digunakan untuk Terapi Eksaserbasi
Bronkiektasis...............................................................................................35
Tabel 6. Pengobatan Antibiotik jangka panjang........................................ .36

5
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Hipotesis lingkaran setan bronkiektasis ..................................15

Gambar 2. Klasifikasi Bronkiektasis. Tiga tipe bronkiektasis: silindris atau


tubuler, varikosa, dan sakular atau kistik................................................ …15

Gambar 3. Foto Thorax Bronkiektasis ..................... .................................22

Gambar 4. Gambaran HRCT bronkiektasis menunjukkan signet ring sign


(garis panah pendek) dan terlihatnya saluran napas perifer pada jarak 1 dari
permukaan pleura (garis panah panjang)................................................... 22

Gambar 5. Gambaran nontapering bronchi pada bronkiektasis..................22

Gambar 6. Bronkiektasis dengan penebalan dinding bronkus (tanda bintang)


dan mucous plugging (tanda panah) di lobus media paru kanan.................23

Gambar 7. . Gambaran HRCT bronkiektasis..................... …………………24

6
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bronkiektasis berasal dari bahasa Yunani yaitu “bronkhos” yang berarti

pipa atau tabung dan “ektasis” yang berarti melebar atau meluas.

Bronkiektasis pertama kali dijelaskan oleh Laennec pada tahun 1819 sebagai

penyakit paru supuratif dengan gambaran fenotip yang heterogen. 1

Bronkiektasis ditandai dengan adanya dilatasi, atau ektasis dari saluran

bronkus. Manifestasi klinis primer dari bronkiektasis biasanya terjadi infeksi

yang rekuren dan bersifat kronik. Gejala sisa dari bronkiektasis termasuk

hemoptysis, obstruksi saluran napas kronik, dan gangguan bernapas yang

progresif.2

Patofisiologi bronkiektasis belum diketahui pasti, namun diduga

melibatkan infeksi bakteri persisten, gangguan respons imun, dan gangguan

klirens mukosiliar, namun demikian penyebab tersering dari bronkiektasis

adalah idiopatik. Prevalensi bronkiektasis dilaporkan semakin meningkat di

Amerika Serikat. Seitz dkk melaporkan prevalensi bronkiektasis meningkat

setiap tahun mulai dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 dengan

kenaikan sebesar 8,74%, dengan puncaknya usia 80-84 tahun, lebih banyak

7
dijumpai pada wanita, dan ras asia. Penurunan angka FEV 1, skor gejala

sesak lanjut, hasil kultur positif Pseudomonas, indeks metabolisme basal

yang rendah, laki-laki, usia lanjut, dan PPOK telah diidentifikasi sebagai

faktor risiko untuk mortalitas. Dalam referat ini akan dibahas berbagai aspek

bronkiektasis meliputi etiologi, patogenesis, penegakan diagnosis, dan

penatalaksanaannya.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

8
2.1 Definisi

Bronkiektasis adalah penyakit paru-paru kronis yang ditandai dengan

pelebaran saluran napas bronkial yang persisten dan seumur hidup serta

melemahnya fungsi mekanisme transportasi mukosiliar akibat infeksi

berulang yang berkontribusi terhadap invasi bakteri dan pengumpulan lendir

di seluruh cabang bronkus. Bronkiektasis merupakan kelainan kronik yang

ditandai dengan dilatasi bronkus secara permanen, disertai proses inflamasi

pada dinding bronkus dan parenkim paru sekitarnya. Bronkiektasis

bertanggung jawab atas hilangnya fungsi paru secara signifikan dan dapat

mengakibatkan morbiditas yang cukup besar dan bahkan kematian dini. 3,4

2.2 Epidemiologi

Stataitik global menujukkan kejadian bronkiektasis meningkat dari

tahun ke tahun, dimana penyakit ini dapat muncul diberbagai kelompok usia.

Namun, secara umum juga dapat menyerang usia anak-anak di era

preantibiotik. Data terbaru menunjukkan bahwa bronkiektasis lebih

mempengaruhi pada usi lebih tua dan kelompok wanita. Di Amerika Serikat,

penyakit ini termasuk penyakit yang jarang, namun diduga prevalensinya

lebih tinggi di populasi sosioekonomik rendah. Menurut European Respiratory

Society, prevalensi bronkiektasis di seluruh dunia bervariasi, dengan kisaran

53-566 kasus per 100.000 populasi. Epidemiologi bronkiektasis secara

nasional di Indonesia belum diketahui pasti.. Prevalensi akan semakin tinggi

9
seiring pertambahan usia dan pada jenis kelamin wanita. Sebuah studi

menunjukkan bahwa age-adjusted mortality rate bronkiektasis adalah

sebesar 1437,7 per 100.000. Sampai sekarang, belum terdapat data

prevalensi bronkiektasis di Indonesia. Namun, dilaporkan bahwa prevalensi

bronkiektasis di Asia lebih tinggi dibandingkan di benua lainnya. 4,5

2.3 Etiologi

Penyebab pasti bronkiektasis sulit ditentukan dengan pemeriksaan

klinis yang menyeluruh, pemeriksaan laboratorium dan patologik., 50-80%

kasus bronkiektasis masih idiopatik. Beberapa literatur menyebutkan bahwa

penyebab yang paling umum dari bronkiektasis adalah infeksi, namun

penelitian yang dilakukan oleh Pasteur dkk di Inggris pada tahun 2000

mendapatkan data dari 150 kasus bronkiektasis, 53% kasus tidak dapat

diidentifikasi kausa spesifiknya. Pada anak-anak penyebab tersering

bronkiektasis adalah fibrosis kstik, namun prevalesni bronkiektasis non-

fibrosis kistik pada anak-anak terus meningkat terutama di Negara

berkembang. Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit

bronkiektasis non-fibrosis kistik antara lain pasca-infeksi paru, COPD

(Chronic Obstructive Pulmonary Disease), disfungsi imun, penyakit

inflamasi/reumatologi, defisiensi alfa-1 antitripsin, klirens mukosilier,

malnutrisi atau gizi buruk, dan peningkatan usia. Haemophillus influenza

10
adalah kuman yang paling banyak didapatkan dari sputum pasien.

Pseudomonas aeruginosa berhubungan dengan peningkatan produksi

sputum, eksaserbasi, lama rawat inap, dan penurunan kualitas hidup. Infeksi

Nontuberculous mycobacterial (NTM) juga berperan penting pada penyakit

bronkiektasis, namun prevalensi hanya sekitar 2-10%. 1,3

2.4 Patofisiologi

11
Patofisiologi bronkiektasis belum diketahui secara pasti, namun diduga

melibatkan infeksi bronkial kronik, peradangan, gangguan klirens mukosiliar,

dan kerusakan struktural paru. Literatur lain mengatakan bahwa ada 3

mekanisme penting yang berkontribusi menyebabkan bronkiektasis yaitu

infeksi yang rekuren, obstruksi jalan napas, dan fibrosis peribronchial. Pada

bronkiektasis didapatkan dilatasi dan penebalan bronkus proksimal karena

inflamasi kronik sebagai respons imun terhadap mikroorganisme yang

berkolonisasi di saluran napas. Pada area tersebut kemudian terjadi inflamasi

dan edema yang disertai dengan peningkatan produksi mukus. Sitokin,

protease, dan reactive oxygen mediators akan dikeluarkan oleh sel-sel

inflamasi, seperti neutrofil dan limfosit T, yang menyebabkan kerusakan

saluran napas progresif. Komponen muskular dan elastik pada dinding

bronkial akan mengalami kerusakan. Klirens mukosiliar pada cabang bronkial

juga akan terganggu dan menyebabkan kolonisasi bakteri lebih mudah

terjadi. Hal ini kemudian terus berulang seperti sebuah siklus yang akan

memperparah kondisi pasien.4,6

Ada beberapa jalur yang menerangkan terjadinya bronkiektasis. Udara

inspirasi sering terkontaminasi dengan gas toksik, partikel, dan mikroba. Lini

pertama pertahanan paru dibentuk oleh bentuk kompleks saluran napas atas

dan bawah yang sedemikian sehingga membentuk aliran udara dengan

turbulensi tinggi. Bentuk saluran napas yang khas tersebut memungkinkan

impaksi, sedimentasi, dan deposisi partikel dan mikroorganisme ke mukosa

12
saluran napas. Partikel dan mikroorganisme yang terdeposisi pada mukosa

selanjutnya akan dibuang melalui mekanisme gerakan mukosilier atau

langsung keluarkan dari saluran napas melalui mekanisme bersin, batuk,

atau penelanan. Saluran napas dilapisi atas epitel bersilia, di mana stuktur

dan fungsi dari silia ini telah banyak dipelajari. Fungsi silia dan gerakan

mukosilier juga bergantung pada viskositas yang rendah dari lapisan cairan

perisilier, lapisan cairan yang terhidrasi cukup memungkinkan separasi yang

baik antara epitel dan lapisan viscous-mucous yang melapisi silia. Apabila

lapisan perisilier tidak merata (seperti pada fibrosis kistik), lapisan perisilier

yang tipis dapat menyebabkan silia terjerat pada lapisan mukus, sehingga

menyebabkan gerakan mendorong mukus terganggu. 3

Patogenesis yang terjadi berkaitan kombinasi inflamasi berulang

dinding bronkus dan fibrosis parenkim, menghasilkan dinding bronkus yang

lemah dan berlanjut menjadi dilatasi yang irreversibel. Tipe sel inflamasi yang

banyak ditemukan pada bronkiektasis adalah neutrofil pada lumen saluran

napas yang menyebabkan purulensi sputum, dan makrofag, sel dendritik,

serta limfosit pada dinding saluran napas. Sel makrofag, sel dendritik, dan

limfosit khas terlihat pada pasien dengan tubuler bronkiektasis dan menjadi

penyebab utama obstruksi pada saluran napas kecil. 3

Respon inflamasi yang melibatkan neutrophil, limfosit, dan makrofag,

serta produk inflamasi yang dikeluarkan oleh mikroorganisme dan

13
pertahanan tubuh (protease, kolagenase, dan radikal bebas) akan membuat

dinding bronmus menjadi lemah karena kehilangan elemen muskuler dan

elemen elastisitasnya. Neutrophil elastase (NE) menurunkan kecepatan

klirens mukosilier dan meningkatkan sekresi mucus, sehingga menimbulkan

stasis mucus. Stasis mucus dan penurunan kemampuan fagositosis dari

neutrophil akan menyebabkan kolonisasi bakteri di sinobronchial tree.2

Penurunan kemampuan opsnofagositosis terjadi pada beberapa

tingkat, yakni pemecahan opsonin melalui permukaan luar baktero dan

pemecahan reseptor neutrophil. Pengeluaran alpha defensing dari granula

neutrophil juga mensupresi fagositosis. Mekanisme disfungsi imun lain yang

berpengaruh adalah penurunan klirens apoptosis dan infiltrasi sel T. Hasil

akhir proses di atas adalah terbentuknya kolonisasi bakteri yang

menyebabkan inflamasi kronis dan menjadi lingkaran setan kembali menjadi

progresif sehinggam makin merusak paru. 1

Model yang secara luas diterima dalam menjelaskan evolusi

bronkiektasis adalah model Cole’s vicious circle. Model ini menjelaskan

individu yang memiliki predisposisi terjadi respons inflamasi hebat terhadap

infeksi paru atau jejas terhadap jaringan. Inflamasi yang terjadi sebagian

bertanggungjawab terhadap kerusakan struktural saluran napas.

Abnormalitas stasis dari mukus yang semakin memperberat infeksi kronis

dan lingkaran setan infeksi (vicious circle) (dapat dilihat pada gambar 1) terus

14
berlangsung. Pada bronkiektasis sering terjadi retensi sputum, mucous plug,

obstruksi saluran napas, obliterasi dan kerusakan dinding bronkhial lebih

lanjut.3

Gambar 1. Hipotesis lingkaran setan bronkiektasis

2.5 Klasifikasi

Bronkiektasi diklasifikasikan berdasarkan gambaran patologik atau

radiografi menjadi 3 , yaitu:7

1. Bronkiektasis silindris atau tubular, yang ditandai dengan adanya

dilatasi bronkus saja, dimana bronkus memiliki garis lurus dan teratur

yang normal. Dapat dilihat sebagai efek residual dari pneumonia dan

merupakan bentuk penyakit yang paling ringan

2. Bronkiektasis varikosa, d itandai dengan penampilan yang mirip

dengan varises (vena varikosa) dengan area konstriksi fokal di antara

15
segmen bronkial yang melebar. Bronkiektasis varikosa terkait dengan

gejala yang lebih parah.

3. Bronkiektasis sakular atau kistik, ditandai dengan dilatasi progresif

saluran napas yang berakhir pada kista ukuran besar, sakula, atau

gambaran grape-like clusters (gambaran ini adalah gambaran

bronkiektasis yang paling berat)

Gambar 2. Klasifikasi Bronkiektasis. Tiga tipe bronkiektasis: silindris atau tubuler, varikosa, dan sakular atau kistik.

2.6 Manifestasi Klinis

Bronkiektasis sebaiknya dicurigai pada individu dengan keluhan batuk

produktif kornis dengan sputum mukopurulen yang banyak (umumnya 200

mL dalam 24 jam). Namun, batuk kering tanpa dahak dapat juga merupakan

gejala bronkiektasis. Keluhan biasanya kronis progresif yakni memberat dari

16
tahun ke tahun. Keluhan lain adalah sesak, batuk darah/hemoptoe, dan

gejala nonspesifik seperti mudah lelah dan penurunan berat badan. Nyeri

dada pleuritic terkadang juga ditemukan. Temuan fisik pada pemeriksaan

pasien bronkiektasis tidak spesifik, ronkhi dan wheezing pada auskultasi paru

sering ditemukan pada lobus paru bagian bawah dan clubbing finger pada

jari.1

2.7 Diagnosis

Diagnosis bronkiektasis dapat ditegakkan melalui manifestasi klinis

dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang. Pasien bronkiektasis

sering kali datang dengan keluhan batuk kronik, sputum mukopurulen, dan

infeksi bronkial. Pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan radiologi

dan fungsi paru.

2.7.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis pasien bronkiektasis sangat bervariasi. Beberapa pasien

dapat bersifat asimtomatis, atau memiliki gejala yang lebih intens saat

eksaserbasi. Keluhan paling sering muncul adalah batuk kronik disertai

produksi sputum mukopurulen, mukoid, dan kental. Gambaran sputum 3 lapis

yang meliputi lapisan atas yang berbusa, lapisan tengah mucus, dan lapisan

bawah purulent merupakan gambaran patognomonik, namun tidak selalu

dapat dijumpai. Batuk dengan bercak darah dapat disebabkan erosi saluran

17
napas terkait infeksi akut. Sesak dan wheezing juga bisa ditemukan pada

75% pasien bronkiektasis. Keluhan lain yang dapat muncul di fase

eksaserbasi adalah anoreksia, myalgia, malaise, dan kelelahan. Nyeri dada

pleuritik ditemukan pada beberapa pasien dan menunjukkan proses

peregangan saluran napas perifer atau pneumonitis distal yang berdekatan

dengan pleura visceral.3,7

Riwayat penyakit pasien juga harus ditanyakan. Anamnesis mengenai

riwayat penyakit pasien dapat membantu klinisi dalam mencari etiologi

bronkiektasis. Riwayat penyakit yang relevan dengan bronkiektasis adalah

riwayat infeksi paru, penyakit imunodefisiensi, penyakit jaringan ikat, dan

penyakit gangguan klirens mukosilier. 8

Pada pemeriksaan fisik, tanda klinis klinis pada pasien bronkiektasis

sangat beragam. Demam dapat ditemukan pada fase eksaserbasi.

Eksaserbasi terjadi bila didapatkan gejala berikut: Batuk dengan peningkatan

dahak, sesak bertambah, peningkatan suhu badan > 38 C


̊ , peningkatan

wheezing, penurunan kemampuan fisik, fatigue, penurunan fungsi paru, dan

terdapat tanda-tanda infeksi akut secara radiologis, Auskultasi thoraks pada

pasien bronkiektasis dapat menunjukan adanya crackles dan ronkhi,

terutama pada pasien dengan infeksi akut dan eksaserbasi akut. Selain itu,

terdengarnya wheezing pada pasien bronkiektasis umumnya menunjukkan

adanya obstruksi jalan napas dari sekresi atau kolaps saluran pernapasan

18
akibat kerusakan bronkus. Pada sebagian kecil pasien bronkiektasis dapat

ditemukan clubbing fingers, sianosis dan plethora, dan tanda cor

pulmonale (edema perifer, hepatomegali, hipoksia).3,7,8

2.7.2 Pemeriksaan Penunjang

2.7.2.1 Pemeriksaan Darah

Pemeriksaan darah rutin, walaupun tidak spesifik, sangat penting

untuk memonitor masing-masing individu. Kadar hemoglobin dapat rendah

sehubungan dengan anemia dari hipoksia kronik. Peningkatan sel darah

putih mengindikasikan keberadaan infeksi akut. Keadaan limfopenia

merupakan awal kecurgiaan untuk pemeriksaan defisiensi imun. Eosinofilia

dapat ditemukan pada (walaupun tidak spesifik) allergic bronchopulmonary

aspergillosis. CRP adalah protein fase akut yang sering diperiksakan pada

penderita penyakit saluran napas yang mengalami eksaserbasi akut untuk

menentukan ada tidaknya respon inflamasi sistemik. Pada pasien

bronkiektasis stabil didapatkan kadar CRP diatas nilai normal. Pada

beberapa penelitian kadar CRP berhubungan dengan penuruan fungsi paru

dan tingkat keparahan penyakit.3

2.7.2.2 Pemeriksaan Radiologis

Diagnosis bronkiektasis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan

radiologis, dengan gold standard menggunakan HRCT . Pada foto toraks

bronkiektasis dapat terlihat dengan adanya gambaran tram track, densitas

19
garis paralel, densitas berbentuk ring, dan gambaran struktur tubuler;

gambaran-gambaran tersebut mencerminkan dinding bronkial yang

mengalami penebalan dan dilatasi abnormal. Gambaran ring shadow dapat

samar-samar berukuran 5 mm sampai dengan bentukan cysts yang jelas.

Gambaran opasitas tubuler yang membentuk percabangan sesuai dengan

bentuk percabangan bronkial dapat terlihat sebagai akibat dari bronkus yang

terisi cairan mucous. Gambaran vaskuler dapat kurang terlihat sebagai akibat

terjadinya fibrosis peribronkial. Tanda-tanda eksaserbasi/ komplikasi seperti

bercak densitas terkait impaksi mucoid dan konsolidasi, volume loss terkait

obstruksi bronkus oleh sekret atau sikatrisasi kronik juga sering terlihat.

Semakin difus gambaran bronkiektasis akan tampak gambaran hiperinflasi

dan oligemia sejalan dengan obstruksi saluran napas kecil yang berat. Foto

toraks berperan dalam kecurigaan awal bronkiektasis, follow up dalam

penatalaksanaan bronkiektasis, dan penanganan pada saat eksaserbasi. 3

Dilatasi bronkus, yang merupakan tanda kardinal bronkiektasis, pada

HRCT dapat diidentifikasi dengan adanya rasio bronkoarterial > 1 (BAR > 1),

kurangnya bronchial tapering, dan terlihatnya saluran napas sampai dengan

1 cm dari permukaan pleura atau berdekatan dengan permukaan pleura

mediastinal. Rasio bronkoarterial adalah perbandingan antara diameter

bronkial dengan diameter arteri yang berdampingan, rasio > 1 adalah

abnormal dan dikenal dengan istilah signet ring sign.3

20
Kurangnya bronchial tapering atau tram like appearance adalah

gambaran bronkiektasis yang sering dijumpai pada lapangan tengah paru.

Terlihatnya saluran napas perifer juga merupakan tanda langsung adanya

bronkiektasis pada penderita. High resolution chest computed

tomography (HRCT) adalah pemeriksaan standar untuk menegakkan

diagnosis bronkiektasis. HRCT memberikan informasi morfologi paru yang

lebih jelas; bronkiektasis ditandai dengan bronkus yang tidak meruncing ke

arah perifer, bronkus terlihat pada jarak 1-2 cm dari perifer paru, dan

peningkatan rasio bronkoarterial (diameter internal bronkus lebih besar

daripada pembuluh darah yang menyertainya) yang disebut signet- ring sign.

Berdasarkan gambaran HRCT, bronkiektasis dapat diklasifikasikan menjadi

bentuk silindrik, varikose, dan sakuler atau kistik. Teknik HRCT terkini dapat

memberikan visualisasi saluran napas sampai dengan diameter 2 mm dan

ketebalan dinding saluran napas hingga 0,2 mm. Tanda-tanda lain yang

ditemukan pada bronkiektasi termasuk penebalan dinding bronkial, impaksi

mukoid, dan air trapping. Minor volume loss dapat terlihat pada fase awal

bronkiektasis, sedang area kolaps yang lebih besar sebagai akibat dari

mucous plugging pada penyakit yang lebih lanjut. Bercak konsolidasi kadang

ditemukan pada infeksi sekunder. Penebalan dinding bronkus dapat

disebabkan oleh inflamasi saluran napas, hipertrofi otot polos, dan proliferasi

fibroblastik.3

21
Gambar 3. (a) Foto Toraks menunjukkan multiple kistik, (b) Gambaran pada HRCT (a &b pasien yang sama) ;

(c) Bronkiektasis silndris dengan gambaran tram track line

Gambar 4. Gambaran HRCT bronkiektasis menunjukkan signet ring sign (garis panah pendek) dan terlihatnya saluran napas perifer

pada jarak 1 dari permukaan pleura (garis panah panjang)

Gambar 5. Gambaran nontapering bronchi pada bronkiektasis

22
Gambar 6. Bronkiektasis dengan penebalan dinding bronkus (tanda bintang) dan mucous plugging (tanda panah) di lobus media paru

kanan

Berdasarkan klasifikasi Reid, tampakan bronkiektasis pada

pemeriksaan HRCT sebagai berikut :8

1. Bronkiektasis silindris : merupakan bentuk bronkiektasis yang paling ringan.

Pada HRCT bisa didapatkan tanda tram track lines yang menunjukkan

adanya dilatasi bronkus dengan atau tanpa penebalan saluran pernapasan.

Selain itu, tanda signet ring dapat ditemukan yang menunjukkan adanya

dilatasi bronkus yang lebih lebar dibandingkan arteri pulmonari sekitarnya.

2. Bronkiektasis varikosa : pada bronkiektasis varikosa, terjadi dilatasi segmen

bronkus yang disertai dengan konstriksi pada area lainnya. Hal ini ditandai

dengan penampakan bronkus beaded.

3. Bronkiektasis kistik : merupakan tipe bronkiektasis yang paling berat dan

lebih sering ditemukan pada masa sebelum era antibiotik. Bronkiektasis kistik

memiliki penampakan honeycomb, yaitu bronkus berbentuk kistik besar

dengan air fluid level.

23
Gambar 7. Gambaran HRCT bronkiektasis: A) Bronkus normal; B) Bronkietasis silindrik (panah); C) Bronkiektasis varikose dengan
gambaran string of pearls (panah); D) Bronkiektasis kistik (panah).

2.7.2.3 Pemeriksaan Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi sputum adalah pemeriksaan yang sangat

penting dalam penanganan bronkiektasis. Penelitian yang dilakukan di 4

pusat kesehatan dengan spesialisasi bronkiektasis (di Hongkong; Tyler,

Texas; Barcelona, Spanyol; dan Cambridge, Inggris) mendapatkan data

bahwa H influenzae adalah patogen yang paling sering terisolasi (yaitu 29%

sampai dengan 42% kasus). Patogen lain yang sering teridentifikasi antara

lain Staphylococcus aureus, Moraxella catarrhalis,dan Pseudomonas

aeruginosa. Patogen-patogen tersebut mempunyai kemampuan menghambat

bersihan mukosilier, merusak epitel respirasi, dan membentuk biofilm yang

dapat mempermudah infeksi persisten melalui mekanisme inhibisi imunitas

innate serta meningkatkan resistensi antibiotic. 3

2.7.2.4 Tes Fungsi Paru

24
Pemeriksaan spirometri direkomendasikan untuk dilakukan pada

pasien bronkiektasis. Penggunaan spirometri pada pasien bronkiektasis

dapat membantu mengetahui etiologi dan progresi penyakit.

Penurunan forced expiratory volume (FEV1) atau rasio FEV1/forced vital

capacity (FVC) menunjukkan adanya penyakit obstruktif saluran napas.

Peningkatan residual volume (RV) atau total lung capacity (TLC) dapat

menunjukkan adanya trappingudara dalam paru. Penurunan FEV1

berhubungan dengan adanya infeksi dan progresi bronkiektasis. 9

2.7.2.5 Pemeriksaan Spesifik

Pemeriksaan spesifik dilakukan untuk mendiagnosis kelainan spesifik tertentu

sesuai dengan gambaran klinis yang mendukung. Beberapa pemeriksaan

tersebut antara lain: (1) Pada kecurigaan fibrosis kistik dilakukan

pemeriksaan kadar konsentrasi ion klorida (Cl -) dengan menggunakan

pilocarpine ionthophoresis. Kadar ion klorida > 60 mM menegakkan diagnosis

fibrosis kistik. (2) Penderita dengan kelainan imunitas humoral dapat

diperiksa kadar Imunoglobulin dalam darah, meliputi IgM, IgG, IGE dan IgA.

Tingkat yang menunjukkan defisiensi imunoglobulin sebagai penyebab

bronkiektasis jika : kadar IgM <30 mg/dL, IgA <5 mg/dL, IgG <30 mg/dL.

Kadar IgE <0,35 atau paling tidak melebihi 1000 IU adalah suatu marker

yang spesifik untuk Allergic bronchopumonary aspergillosis (3) Diagnosis

Primary cilliary diskinesia (PCD) berdasarkan pada kadar nitric oxide udara

25
ekshalasi dan pemeriksaan spesimen biopsi nasal dengan menggunakan

mikroskop elektron. Kadar nitric oxide yang rendah memiliki nilai diagnostik

untuk PCD, dan diagnosis ditegakkan dengan terlihatnya defek pada dynein

arms silia pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron. (5)Pemeriksaan

kadar serum α1-antitrypsin dan pemeriksaan genetik untuk mendiagnosis

bronkiektasis defisiensi α1-2antitrypsin.3 Kultur sputum digunakan untuk

mencari organisme penyebab infeksi dan membantu klinisi dalam pemilihan

terapi antibiotik. Kultur bakteri, fungi, dan basil tahan asam (BTA)

direkomendasikan pada seluruh pasien bronkiektasis. Pewarnaan gram juga

dapat dilakukan untuk mengetahui tipe bakteri. Jumlah eosinophil sputum

0,43 x 109/mL atau lebih mengatah kepada bronchopulmonary aspergillosis

sebagai penyebab dari bronkiektasis.7

Alur untuk menegakkan diagnosis bronkiektasis dapat dilakukan sebagai

berikut:7

1. Harus didapatkan riwayat batuk produktif berulang atau kronis atau

infeksi saluran pernapasan yang sering, bersamaan dengan

pemeriksaan fisik dan temuan radiografik pada CT dada resolusi tinggi

(HRCT)

2. Dapatkan kultur sputum untuk mengidentifikasi bakteri yang

mendominasi kolonisasi pada semua pasien dan memandu terapi

antimikroba.

26
3. Lakukan tingkat keparahan obstruksi jalan napas dengan tes fungsi

paru.

4. Dapatkan tes tambahan untuk mengidentifikasi penyebab penyakit

berdasarkan presentasi klinis individu seperti tes nitrat oksida, kadar

immunoglobulin, tes alpha-1 antitripsin, dan tes lainnya seperti

bronkoskopi, aspirasi, serologi HIV atau HTLV1, atau ekokardiogradi.

Walaupun tidak rutin tetapi dapat diindikasikan untuk menetapkan

penyebab atau mengevaluasi komplikasi (misalnya, hipertensi

pulmonal) dalam keadaan tertentu.

5. Bronkoskopi tidak memiliki peran dalam pemeriksaan rutin

bronkiektasis, tetapi dapat diindikasikan untuk hal-hal berikut:

- Untuk menyingkirkan benda asing atau obstruksi proksimal ketika

bronkiektasis terlokalisasi

- Untuk pengambilan sampel bronkoskopi dari sekresi saluran

pernapasan bagian bawah, jika kultur sputum negatif, dicurigai

adanya infeksi mikobakteri atipikal, atau kondisi refrakter terhadap

terapi empiris.

2.8 Diagnosis Banding

27
Bronkiektasis sering kali salah didiagnosis sebagai penyakit paru

lainnya, seperti PPOK, Asma, Pneumonia, Bronchitis Akut, dan

Tuberculosis.7,8

2.8.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Pasien PPOK umumnya memiliki gejala utama yang hampir sama dengan

bronkiektasis, yaitu batuk kronik dengan sputum produktif. Akan tetapi, pada

pemeriksaan fisik pasien PPOK ditemukan penurunan suara napas. Pada

pasien bronkiektasis juga dapat ditemukan ronkhi seperti pada PPOK, namun

disertai juga dengan crackles dan inspiratory squeaks. Pada pemeriksaan CT

scan toraks pasien PPOK, umumnya ditemukan normal atau terdapat

emfisema. Berbeda dengan bronkiektasis yang menunjukkan kelainan

berupa pelebaran saluran napas.

2.8.2 Asthma

Hampir mirip dengan bronkiektasis, pasien dengan asma juga mengalami

wheezing, batuk, sesak napas, hingga nyeri dada. Namun tidak seperti

bronkiektasis, asma muncul dengan high-pitched dan whistling sound. Pada

pemeriksaan auskultasi paru pasien asthma tidak ditemukan

adanya crackle dan inspiratory squeaks. Pada pemeriksaan CT toraks pada

asthma bisa didapatkan penebalan saluran napas sama seperti

bronkiektasis, namun tidak disertai dengan pelebaran saluran napas

(tanda signet ring). Obstruksi jalan napas pada asthma bersifat reversibel.

28
2.8.3 Pneumonia

Pasien pneumonia dapat datang dengan keluhan sesak napas, batuk, dan

demam. Pada pemeriksaan fisik juga dapat ditemukan ronkhi, wheezing,

dan crackles. Penemuan ini serupa dengan tanda dan gejala bronkiektasis.

Namun, pada pasien pneumonia, durasi penyakit adalah akut (7-10 hari),

sedangkan pada bronkiektasis penyakit bersifat kronik atau menahun. Pada

pemeriksaan CT toraks, pada pasien pneumonia tidak ditemukan adanya

dilatasi bronkus. 

2.8.4 Bronkhitis Akut

Mirip dengan bronkiektasis, pasien datang dengan batuk dan produksi

sputum; bronkitis akut dapat meniru eksaserbasi akut bronkiektasis. Tidak

seperti bronkiektasis, pasien dengan bronkitis dapat hadir dengan sakit

kepala, demam ringan, menggigil, dan sakit tenggorokan.

2.8.5 Tuberculosis

Pada tuberculosis, infeksi bakteri biasanya disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Mirip dengan bronkiektasis, pasien datang

dengan batuk kronis dan produksi sputum. Namun, tidak seperti

bronkiektasis, tuberkulosis sering dikaitkan dengan demam, keringat malam,

dan penurunan berat badan

2.9 Evaluasi Keparahan

Evaluasi tingkat keparahan bronkiektasis non- fibrosis kistik

29
berdasarkan klinis, spirometri, dan gambaran radiologis; dilakukan untuk

menilai prognosis. Dua kelompok penelitian pada tahun 2014 secara

bersamaan menerbitkan sistem penilaian bronkiektasis, yaitu FACED score

dan bronchiectasis severity index (BSI). Kedua penilaian tersebut mampu

memprediksi mortalitas 4-5 tahun sejak diagnosis bronkiektasis ditegakkan.

Penilaian membagi tingkat keparahan menjadi tiga, yaitu: ringan, sedang,

dan berat.9 FACED score lebih sederhana dengan hanya menilai 5 variabel

dan 10 item penilaian, namun tetap memerlukan validasi eksterna l. BSI lebih

kompleks (terdiri dari 9 variabel dan 26 item penilaian), namun telah

divalidasi di beberapa negara Eropa.1

Skor FACED

Skor FACED berdasarkan nilai FEV1, umur, kolonisasi kuman Pseudomonas

aeruginosa, gambaran radiologis luas penyakit, dan derajat keparahan sesak

napas .

30
Tabel 2. SKor FACED

Bronchiectasis Severity Index (BSI)

Bronchiectasis severity index (BSI) adalah alat prognostik yang sama, namun

menambahkan penilaian kekerapan eksaserbasi/frekuensi rawat inap di

rumah sakit, adanya kolonisasi kuman selain Pseudomonas aeruginosa, dan

indeks massa tubuh

31
Tabel 3. Bronchiectasis Severity Index (BSI)

2.10 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan bronkiektasis adalah untuk mencegah

eksaserbasi, menurunkan gejala klinis, meningkatkan kualitas hidup, dan

menghambat progresi penyakit. Pendekatan terapi yang dilakukan adalah

memperkuat sistem klirens mukosilier, mengurangi inflamasi saluran napas,

dan eradikasi infeksi bakteri.10

Penatalaksanaan bronkiektasis meliputi : identifikasi keadaan

eksaserbasi akut dan penggunaan antibiotik, mengendalikan pertumbuhan

mikroba, terapi terhadap kondisi yang mendasarinya, mengurangi respon

inflamasi yang berlebihan, peningkatan higienitas bronkial, mengontrol

32
perdarahan bronkial, terapi bedah untuk menghilangkan segmen paru atau

lobus paru yang mengalami kerusakan hebat yang dapat menjadi sumber

infeksi atau perdarahan.3

Identifikasi dan Mengobati Penyebab Utama

Tujuan tatalaksana adalah untuk menangani penyebab yang terbukti

mendasari. BTS merekomendasikan skrining penyebab bronkiektasis antara

lain penghitungan imunoglobulin (IgA, IgE, IgM, IgG), pemeriksaan untuk

mengeksklusi allergic bronchopulmonary Aspergilosis (ABPA) yaitu IgE dan

IgG spesifik PA dan hitung eosinofil, antibodi spesifik pneumococcus dan

haemophillus, kultur sputum untuk eksklusi mikobakterium non-tuberkulosis,

pemeriksaan fibrosis kistik, pemeriksaan tambahan pada keadaan tertentu

(bronkoskopi, alpha-1 antitripsin, dan tes fungsi silier).1

Vaksinasi

Peranan vaksin influenzae dan pneumococcal dalam tatalaksana penyakit

saluran napas kronik telah terbukti. 7 Namun, belum ada studi pengaruh

pemberian vaksin dalam penatalaksanaan bronkiektasis non-fibrosis kistik. 2

Antibiotik

Antibiotik memiliki peranan krusial dalam penatalaksanaan

bronkiektasis. Antibiotik dapat menghambat proses lingkaran setan infeksi,

inflamasi, dan kerusakan epitel saluran napas. Penggunaan antibiotic

33
diperlukan sebagai terapi saat eksaserbasi maupun sebagai terapi jangka

panjang. Penggunaan antibiotic lebih awal pada eksaserbasi dapat

membatasi “vicious circle”. Antibiotik dilaporkan dapat menurunkan kadar

CRP, sel inflamasi pada sputum, volume sputum, purulensi sputum, dan

densitas bakteri. Penderita dengan sputum purulent setelah pemberian

antibiotic lebih pendek waktu ekaserbasi berikutnya dibandingkan dengan

penderita dengan sputum mukoid. Lama pemberian terapi antibiotic sampai

saat ini masih menjadi perdebatan, namun demikian British Thoracic Society

Guideline for non-CF Bronchiectasisi menyebutkan pada kondisi eksaserbasi

antibiotic diberikan selama 14 hari.3

Pada saat eksaserbasi, antibiotik dapat diberikan secara oral maupun

intravena sesuai dengan derajat klinis penderita. Antibiotik oral yang

digunakan, bila memungkinkan, sebaiknya berdasarkan hasil pemeriksaan

kultur sputum (Tabel 1). Pada tabel 1 memperlihatkan rekomendasi

antibiotik lini pertama dan alternatifnya untuk bakteri patogen yang umum

ditemukan pada eksaserbasi. Antibiotik dapat disesuaikan apabila tidak ada

perbaikan klinis dan berdasarkan hasil sensitivitas antibiotik terbaru.

Antibiotik intravena dipertimbangkan pada penderita dengan keadaan

umum kurang baik, terinfeksi organisme resisten, atau gagal dengan

antibiotik oral (hal tersebut terutama terjadi pada penderita dengan

Pseudomonas aeruginosa). Pada tabel 2 menunjukkan regimen antibiotik

intravena yang dapat digunakan pada eksaserbasi akut. 3

34
Tabel 4. Organisme yang sering dihubungkan dengan Bronkiektasis Eksaserasi Akut
dan Antibiotik yang direkomendasikan

Tabel 5. Antibiotik Intravena yang dapat digunakan untuk Terapi Eksaserbasi

Bronkiektasis

Antibiotik jangka panjang dapat diberikan pada penderita dengan

eksasebasi lebih dari 3 kali per tahun atau penderita dengan eksaserbasi

lebih jarang namun terjadi morbiditas yang signifikan. Dosis tinggi tidak

35
dianjurkan untuk meminimalkan efek samping. Regimen antibiotik

ditentukan oleh kultur sputum pada saat kondisi stabil (tabel 3 ).

Antibiotik jangka panjang dapat berisiko resistensi pada pasien dan antibiotik

alternatif dapat digunakan sesuai dengan hasil sensitivitas. 3

Tabel 6. Pengobatan Antibiotik jangka panjang

Higienitas Bronkopulmoner

Penatalaksanaan bronkiektasis juga melibatkan usaha-usaha untuk

menghilangkan secret saluran napas. Usaha yang dapat dilakukan antara

lain latihan batuk efektif, postural drainase, fisioterapi dada, mengencerkan

secret saluran napas, serta pemberian bronkodilator dan kortikosteroid

inhalasi pada saat eksaserbasi akut. Penderita dengan secret kental dan

mucous plugging dapat dibantu dengan nebulisasi salin dan tetap

mempertahankan hidrasi sistemik yang mencukupi. 3

Penatalaksaan Bedah

Reseksi bedah pada bronkiektasis hanya dilakukan dengan

pertimbangan khusus, diantaranya pada pasien dengan kelainan

terlokalisasi yang gagal dengan terapi medis dan menderita gejala klinis

36
yang memperburuk kualitas hidup pasien.Konsep dasar tindakan bedah

pada bronkiektasis adalah menghilangkan area parenkim paru yang rusak

yang menyebabkan penetrasi antibiotik tidak dapat berjalan dengan baik.

Jaringan paru yang rusak menjadi area reservoir bakteri yang menyebabkan

infeksi berulang. Beberapa hal yang memengaruhi suksesnya tindakan

bedah antara lain: reseksi komplit area yang terlibat, intervensi awal untuk

mencegah terjadinya perkembangan mikroba resisten dan penyebaran ke

segmen paru yang berdekatan, terapi antibiotik preoperasi sesuai dengan

kultur dan sensitivitas, terapi antibiotik tetap dilanjutkan setelah operasi,

perbaikan suplementasi nutrisi preoperasi sesuai indikasi, antisipasi

terhadap komplikasi yang mungkin terjadi.3

2.11 Prognosis

Bronkiektasis adalah kondisi kronis yang membutuhkan manajemen

berkelanjutan Prognosis bronkiektasis tergantung penyebab penyakit yang

mendasari. Bronkiektasis yang terkait dengan cystic fibrosis memiliki

prognosis yang lebih buruk . Faktor lain yang terkait dengan risiko kematian

yang lebih besar termasuk usia lanjut, FEV rendah, BMI rendah, rawat inap

sebelumnya untuk eksaserbasi, dan 3 atau lebih eksaserbasi dalam satu

tahun terakhir. Dengan penatalaksanaan yang tepat kebanyakan pasien

bronkiektasis ringan dan sedang dapat menjalani hidup normal tanpa

disabilitas yang berarti.1,7

37
2.12 Komplikasi

Komplikasi bronkiektasis antara lain pneumonia berulang, abses paru,

empiema, batuk darah, pneumothorax, kor pulmonale, dan infeksi intrakranial

(abses serebral atau ventrikulitis). Bronkiektasis yang lama dan luas dapat

menyebabkan amyloidosis. Selain itu, bronkiektasis dapat menyebabkan

gagal napas.1,

38
BAB III

KESIMPULAN

Bronkiektasis adalah dilatasi atau ectasia dari saluran napas atau

bronkus secara permanen. Bronkiektasis dapat terjadi terkait dengan

kondisi dasar konstitusional genetik penderita atau episode insidental

yang tidak berhubungan dengan kondisi dasar intrinsik pertahanan tubuh

penderita. Patogenesis yang terjadi berkaitan kombinasi inflamasi

berulang dinding bronkus dan fibrosis parenkim, menghasilkan dinding

bronkus yang lemah dan berlanjut menjadi dilatasi yang irreversibel.

Pemeriksaan spesifik dilakukan untuk mendiagnosis kelainan spesifik

tertentu sesuai dengan gambaran klinis yang mendukung diagnosis

bronkiektasis. Strategi yang digunakan pada penatalaksanaan

bronkiektasis antara lain identifikasi keadaan eksaserbasi akut dan

penggunaan antibiotik, mengendalikan pertumbuhan mikroba, terapi

terhadap kondisi yang mendasarinya, mengurangi respons inflamasi yang

berlebihan, peningkatan higienitas bronkial dan pertimbangan terapi bedah

pada kasus tertentu.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Nugroho, Nur P. Bronkiektasis. 2018. [Disitasi 20 September 2021].

Tersedia di

https://www.researchgate.net/publication/342707387_Bronkiektasis

2. Edward D, et al. Bronchiectasis. 2018. [Disitasi 20 September 2021].

Tersedia di http://forlabinfeksi.or.id/wp-content/uploads/2018/07/3-

s2.0-B9781455733835000488.pdf

3. Hariyanto, Wahyuni, dkk. Bronkiektasis. Jurnal Respirasi Departemen

Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. 2016;2(2):52-59

4. Bird, Kim, et al. Bronchiectasis. [Disitasi 20 September 2021].

Tersedia di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430810/

5. Chandrasekaran R, Mac Aogáin M, Chalmers JD, Elborn SJ,

Chotirmall SH. Geographic variation in the aetiology, epidemiology and

microbiology of bronchiectasis. BMC Pulm Med. 2018;18(1):1–14.

6. Boyton RJ, Altmann DM. Bronchiectasis: Current Concepts in

Pathogenesis, Immunology, and Microbiology. Vol. 11, Annual Review

of Pathology: Mechanisms of Disease. 2016. 523-554.

7. ClinicalKey. Bronchiectasis : Clinical Overview. Elsevier Point of Care.

April, 2021. [Disitasi 20 September 2021]. Tersedia di

https://www.clinicalkey.com/#!/content/clinical_overview/67-s2.0-

5bccb85d-9046-4807-9335-5f510eec8377

40
8. Smith MP. Diagnosis and management of bronchiectasis. Cmaj.

2017;189(24):E828–35. 

9. Chalmers JD, Chang AB, Chotirmall SH, Dhar R, Mcshane PJ.

Bronchiectasis. Dis Prim. 2018;4(45):1–18. 

41

Anda mungkin juga menyukai