Anda di halaman 1dari 10

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK Telaah Jurnal

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2021


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

Incidence of Neonatal Hyperbilirubinemia Based


on Their Characteristics at Dr. Hasan Sadikin
General Hospital Bandung Indonesia

DISUSUN OLEH:
Muh. Hamzah Rizal Kunu
111 2020 1012

PEMBIMBING:
Dr. dr. Ema Alisry, Sp.A(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Muh. Hamzah Rizal Kunu

NIM : 111 2020 1012

Jurnal : Incidence of Neonatal Hyperbilirubinemia Based on


Their Characteristics at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung
Indonesia

Telah menyelesaikan tugas Telaah Jurnal dan telah disetujui serta telah
dibacakan dihadapan supervisor pembimbing dalam rangka kepaniteraan
klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Muslim Indonesia.

Menyetujui, Makassar, Maret 2021

Dokter Pendidik Klinik, Penulis,

Dr. dr. Ema Alasiry, Sp.A(K) Muh. Hamzah Rizal Kunu


Abstrak

Latar Belakang: Hiperbilirubinemia adalah kondisi klinis yang paling sering

terjadi pada neonatus yang ditandai dengan perubahan warna kuning pada

kulit dan jaringan lain. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin

akibat peningkatan pemecahan sel darah merah, gangguan konjugasi

bilirubin indirek, dan ekskresi bilirubin yang tidak tuntas. Penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui karakteristik neonatus dengan

hiperbilirubinemia.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang

mengambil data retrospektif dari rekam medis neonatus hiperbilirubinemia

tahun 2014. Populasi penelitian ini adalah neonatus yang lahir di bagian

perinatologi RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Variabel yang dikumpulkan

adalah jenis kelamin, usia kehamilan, berat badan lahir, kondisi umum dan

pilihan pengobatan. Data yang terkumpul kemudian ditabulasi dan disajikan

dalam bentuk persentase dan dalam bentuk tabel.

Hasil: Seratus tujuh puluh empat dari 230 rekam medis neonatus

hiperbilirubinemia dikumpulkan berdasarkan kriteria inklusi. Hasil penelitian

menunjukkan 8,04% dari 2.531 neonatus yang lahir di RSUP Dr. Hasan

Sadikin tahun 2014 mengalami hiperbilirubinemia. Laki-laki (56,9%) lebih

tinggi daripada perempuan untuk mengalami hiperbilirubinemia. Neonatus


yang lahir pada usia kehamilan cukup bulan (55,2%) lebih cenderung

mengalami hiperbilirubinemia dengan kategori BBLR (51,7%), kondisi umum

sehat (60,4%). Pilihan pengobatan terbanyak adalah fototerapi (54,6%).

Kesimpulan: Pada anak CLD, 50% mengalami MHE. Ada yang signifikan

korelasi positif antara penanda hiperamonemia, peradangan dan edema otak

dan ini berkorelasi negatif dengan tes neuropsikologis. MD di DTI dapat

diandalkan alat untuk mendiagnosis MHE.

Kesimpulan : Sebagian besar neonatus dengan hiperbilirubinemia adalah

laki-laki yang lahir pada usia kehamilan aterm, dengan berat badan lahir

rendah. Sebagian besar neonatus dalam kondisi umum sehat dan

penanganan yang paling umum diberikan pada neonatus adalah fototerapi.


PENDAHULUAN

Hiperbilirubinemia adalah istilah peningkatan kadar bilirubin serum

berdasarkan pemeriksaan laboratorium. Setiap tahun, 65% dari 4 juta

neonatus di Amerika Serikat menderita hiperbilirubinemia pada minggu

pertama kehidupannya. Di Malaysia, 75% dari neonatus menderita

hiperbilirubinemia pada tahun 1998. Di Indonesia, pada tahun 2007 kejadian

hiperbilirubinemia neonatal bervariasi antara beberapa rumah sakit

pendidikan di RSU Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta melaporkan bahwa

terdapat 58% kasus hiperbilirubinemia dari seluruh neonatus. RSUP Dr.

Sardjito, Yogyakarta, Jawa Tengah mengungkapkan bahwa 38% neonatus

yang baru lahir menderita hiperbilirubinemia. RSUP Dr. Kariadi Semarang

dengan 22,8% neonatus menderita hiperbillirubinemia dan RSUP Dr. Sutomo

Surabaya dengan 33% neonatus menderita Hiperbilirubinemia.

Sebagian besar neonatus mengalami peningkatan kadar bilirubin pada

hari-hari pertama kehidupan karena proses fisiologis. Proses ini dipengaruhi

oleh jumlah eritrosit yang tinggi, usia eritrosit yang pendek (80–90 hari), dan

perkembangan hati yang belum matang selama periode neonatal.

Peningkatan kadar bilirubin indirek pada neonatus menyebabkan kerusakan

sel otak dan menyebabkan kematian. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa faktor risiko hiperbilirubinemia adalah usia kehamilan ibu, jenis

kelamin, dan penyakit komorbid termasuk sepsis dan asfiksia.


Hiperbilirubinemia membahayakan kondisi neonatal dan menyebabkan

komplikasi jika tidak diobati. Fototerapi, transfusi tukar, dan terapi

farmakologis adalah pengobatan untuk neonatus dengan hiperbilirubinemia.

Penanganan ditentukan berdasarkan usia kehamilan ibu namun terdapat

beberapa pedoman penanganan hiperbilirubinemia dengan

mempertimbangkan pengobatan sejak lahir dengan berat badan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proporsi dan

karakteristik neonatus hiperbilirubinemia di RSUP Dr. Hasan Sadikin

Bandung sebagai Rumah Sakit Pendidikan dan Rujukan Utama Jawa Barat.

Metode dan bahan

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dan dilaksanakan

pada bulan Oktober 2015. Data neonatus hiperbilirubinemia diperoleh melalui

rekam medis secara retrospektif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

neonatus dengan hiperbilirubinemia yang dirawat inap di Bagian Perinatologi

Departemen Kesehatan Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin periode Januari

sampai Desember 2014. Penelitian ini menggunakan metode total sampling.

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah semua neonatus hiperbilirubinemia

dengan kadar bilirubin> 5 mg / dl, lahir> 32 minggu, dan memiliki data rekam

medis yang lengkap. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah pasien dengan

data rekam medis yang tidak lengkap. Variabel dalam penelitian ini adalah
neonatus yang memiliki kadar bilirubin> 5 mg / dl, jenis kelamin, usia

kehamilan, berat badan lahir, kondisi umum, dan pilihan pengobatan.

Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan RSUD

Dr. Hasan Sadikin Bandung dengan nomor LB.04.01 / A05 / EC / 283 / VII /

2015. Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk persentase dan dalam

bentuk tabel.

Hasil

Populasi dalam penelitian ini adalah 230 neonatus, dimana 174

neonatus memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini. Proporsi neonatus

dengan hiperbilirubinemia di Departemen Kesehatan Anak RSU Dr. Hasan

Sadikin tahun 2014 sebesar 8,04% pada periode Januari 2014 sampai

dengan Desember 2014. Karakteristik neonatus dengan hiperbilirubinemia

disajikan pada Tabel.

Studi ini menemukan bahwa sebagian besar pasien adalah laki-laki.

Berdasarkan usia kehamilan, 55,2% nenonata berada pada usia kehamilan

normal, namun dengan berat badan lahir rendah. Sebagian besar pasien

dalam kondisi sehat. Mengenai pengobatan, sebagian besar pasien

menjalani fototerapi.
Diskusi

Jumlah anomali kongenital tertinggi Proporsi neonatus

hiperbilirubinemia di RSUD Dr. Hasan Sadikin tahun 2014 sebesar 8,04%.

Proporsi ini lebih rendah dibandingkan tahun 2010. Penurunan jumlah

hiperbilirubinemia neonatal diduga karena penerapan pencegahan

hiperbilirubinemia yang baik, seperti metode pemberian ASI untuk semua

neonatus dan skrining neonatus dengan risiko hiperbilirubinemia sesuai

dengan pedoman yang diterbitkan oleh American Akademi Pediatri (AAP).


Hasil penelitian menunjukkan bahwa neonatus laki-laki lebih dominan

daripada neonatus perempuan. Jenis kelamin merupakan salah satu faktor

risiko terjadinya hiperbillirubinemia neonatal. Hasil ini relevan dengan

penelitian yang dilakukan bu Onwuanaku CA et al. di Negiria. Sebuah

penelitian di united kingdom oleh Tiosecp et al., Menyatakan bahwa

kromosom Y meningkatkan risiko gangguan metabolisme bilirubin dan

kerusakan enzim yang berperan dalam pembentukan bilirubin.

Usia kehamilan merupakan salah satu faktor risiko yang

mempengaruhi angka hipebilirubinemia pada neonatus, oleh karena itu

penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian hiperbilirubinemia neonatus

paling banyak ditemukan pada bayi lahir dengan usia gestasi aterm. Sebuah

studi oleh Bhutani dkk. pada tahun 2014 menyebutkan bahwa bayi baru lahir

dengan usia kehamilan preterm menderita hiperbilirubinemi dibandingkan

dengan neonatus yang memiliki usia kehamilan cukup bulan. Situasi

kontradiktif ini dapat dijelaskan bahwa timbulnya hiperbilirubinemia pada bayi

baru lahir prematur lebih lambat dibandingkan dengan neonatus aterm. . Bayi

prematur tersebut sudah dibawa pulang oleh orang tuanya dan tidak

menjalani pemeriksaan pada saat pemeriksaan rutin di rumah sakit tempat

bayi lahir tersebut.

Berat badan lahir merupakan salah satu ciri yang mempengaruhi

hiperbilirubinemia. Dalam penelitian ini, neonatus dengan berat badan lahir

rendah menempati proporsi tertinggi dibandingkan kelompok lain. Temuan ini


sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ben dkk. Penelitian tersebut

menyebutkan bahwa neonatus yang lahir dengan berat badan kurang dari

2.500 gram kemungkinan memiliki kadar bilirubin yang lebih tinggi karena

organ hati belum cukup matang dan enzim metabolik belum bekerja dengan

baik sehingga kadar bilirubinnya akan meningkat.

Kondisi umum neonatus hiperbilirubinemia pada penelitian ini dalam

keadaan sehat. Hasil penelitian ini relevan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Han et al. di Cina pada tahun 2015. Ditemukan bahwa 80% neonatus

dengan hiperbilirubinemia tidak memiliki penyakit penyerta.

Anda mungkin juga menyukai