Anda di halaman 1dari 10

REFLEKSI PRAKTIK JURNAL

STASE KEPERAWATAN ANAK

DI RSUD KABUPATEN TEMANGGUNG

OLEH :

MITA PRATIWI

P1337420921078

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

JURUSAN KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

2022
LOGBOOK STASE KEPERAWATAN ANAK DI BANGSAL NICU RSUD
KABUPATEN TEMANGGUNG
Hari ke-1 (NICU)
Kamis, 3 Februari 2022
Bayi dengan Hiperbilirubinemia
Praktek klinik Keperawatan Anak dilaksanakan pada tanggal 3 Februari –
12 Februari 2022 di Ruang Melati (NICU) RSUD Temanggung. Pada hari Kamis
3 Februari 2022 saya melakukan pengkajian pada bayi dengan
Hiperbilirubinemia. Saya mengkaji seorang bayi dengan diagnosa medis
Hiperbilirubinemia pada By. Ny. M. Keadaan umum composmentis, nangis
lemah, gerak aktif dan banyak tidur. Klien mendapatkan minum 30 cc / 3 jam ASI
atau susu formula. Output klien BAK (+) dan BAB (+) sebanyak 4,6 gram.
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir pada minggu pertama terjadi pada
60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan. Hal ini adalah keadaan yang
fisiologis. Walaupun demikian, sebagian bayi akan mengalami hiperbilirubinemia
sehingga memerlukan pemeriksaan dan tata laksana yang benar untuk mencegah
kesakitan dan kematian. 1 Hiperbilirubinemia tidak berbahaya jika kadar bilirubin
tidak tinggi tetapi berbahaya bagi otak jika kadar bilirubin terlalu tinggi, karena
meningkatnya toksisitas bilirubin tak terkonjugasi di otak. Diagnosis dan
pengobatan dari neonatal dengan hiperbilirubinemia sangat penting untuk
mencegah komplikasi berbahaya. 2 Faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia
antara lain sefalhematoma atau memar, usia kehamilan dini, tidak optimal dalam
pemberian ASI (terutama menyusui tidak berhasil dan atau penurunan berat badan
>8%), isoimmune atau anemia hemolitik dan keturunan riwayat jaundice.3 Ada
hubungan yang jelas antara frekuensi menyusui dengan penurunan insidensi
hiperbilirubinemia. Pemberian ASI yang sering akan meningkatkan peristaltik
usus dan frekuensi defekasi sehingga peredaran enterohepatik bilirubin berkurang.
Selain pemberian ASI dapat menurunkan kadar bilirubin, bisa juga
ditangani dengan pemberian terapi pijat pada bayi dengan hiperbilirubinemia yang
menerima fototerapi. Ilmu kesehatan modern telah membuktikan secara ilmiah
bahwa terapi pijat pada bayi mempunyai banyak manfaat. Terapai pijat juga
memiliki efek biokimia dan dampak klinis yang positif, sehingga dapat
merangsang fungsi pencernaan dan dapat merangsang metabolisme sehingga
racun dalam tubuh dapat dengan mudah terurai dan di keluarkan melalui fases dan
urin.
Sesuai dengan keadaan klien, klien mendapatkan program fototerapi untuk
menurunkan kadar bilirubin.

Hari ke-2 (NICU)

Jumat, 4 Februari 2022

Saya melakukan intervensi sesuai yang sudah saya tuliskan pada asuhan
keperawatan yang sudah saya susun.
Hari ke-3 (NICU)

Sabtu, 5 Februari 2022

Saya melakukan intervensi sesuai yang sudah saya tuliskan pada asuhan
keperawatan yang sudah saya susun.

Hari ke-4 (NICU)

Minggu, 6 Februari 2022

Asfiksia neonatorum merupakan suatu kondisi bayi tidak dapat segera


bernapas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan. Penyebab dari hal ini
adalah terjadinya hipoksia pada janin di dalam uterus. Hipoksia ini berhubungan
dengan faktor yang timbul saat persalinan, atau segera setelah bayi lahir,
(Prawirohardjo, 2006). Asfiksia bayi baru lahir merupakan satu diantara penyebab
kematian bayi baru lahir di negara sedang berkembang. Diperkirakan 130 juta
bayi baru lahir tiap tahunnya di seluruh dunia, 4 juta pada usia 28 hari pertama
kehidupan, ¾ bayi meninggal pada minggu pertama dan ¼ bayi meninggal pada
usia 24 jam pertama kehidupan (Hassan dan Alatas, 2005).
Hari ke-5 (NICU)

Senin, 7 Februari 2022

Pada hari inisaya membuat Literature Review tentang bayi dengan tentang
penatalaksanaan metode kanguru untuk mengatasi hipotermi pada bayi dengan
BBLR. Bayi Ny. K lahir dengan BB sangat rendah 1200 gram dengan suhu tubuh
36,2⁰C.
Metode kanguru (MK) ditemukan pada tahun 1983 oleh dua orang ahli
neonatologi dari Bogota, Colombia untuk mengatasi keterbatasan jumlah
inkubator. Setelah dilakukan berbagai penelitian, ternyata MK tidak hanya
sekedar menggantikan peran inkubator, namun juga memberi banyak keuntungan
yang tidak bisa diberikan oleh inkubator. Metode kanguru mampu memenuhi
kebutuhan asasi BBLR dengan menyediakan situasi dan kondisi yang mirip
dengan rahim sehingga memberi peluang BBLR untuk beradaptasi dengan baik di
dunia luar. Metode kanguru dapat meningkatkan hubungan emosi ibu-bayi,
menstabilkan suhu tubuh, laju denyut jantung dan pernapasan bayi, meningkatkan
pertumbuhan dan berat badan bayi dengan lebih baik, mengurangi stres pada ibu
dan bayi, mengurangi lama menangis pada bayi, memperbaiki keadaan emosi ibu
dan bayi, meningkatkan produksi ASI, menurunkan kejadian infeksi nosokomial,
dan mempersingkat masa rawat di rumah sakit (Sari,2000).
Pengalaman saya dalam melihat metode kanguru secara langsung, belum
pernah saya alami, sehingga saya tertarik mempelajari metode kanguru melalui
studi literature dengan judul penelitian “Hubungan Pelaksanaan Perawatan
Metode Kanguru (PMK) dengan Kejadian Hipotermi pada Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR)” olehHj. Nurlaila, Rahmawati Shoufiah, Sri Hazanah tahun
2015. Dalam studi literature tersebut peneliti menggunakan 30 responden, dan
didapatkan hasil 11 responden melakukan metode kanguru dengan baik dan 19
responden tidak menggunakan metode kanguru dengan baik. Dari hasil penelitian
menunjukan kelompok ibu yang melaksanakan PMK dengan baik memiliki
rentang nilai yang kecil dilihat dari nilai minimum dan maksimum yaitu 36,8–
37,5 sementara pada kelompok ibu yang melaksanakan PMK tidak baik memiliki
rentang nilai yang lebih lebar dilihat dari nilai minimum dan maksimum yaitu
34,5– 37,5, artinya pada kelompok ibu yang melaksanakan PMK dengan baik
suhu tubuh bayi lebih stabil dibandingkan dengan suhu tubuh bayi pada kelompok
ibu yang melaksanakan PMK tidak baik. Hasil penelitian ini memberikan
gambaran pentingnya dukungan ibu dalam melaksanakan PMK sesuai dengan
tahapan-tahapan pelaksanaan PMK sehingga bayi BBLR terhindar dari hipotermi
yang dapat berdampak pada kesakitan atau kematian bayi (Hj. Nurlaila,
Rahmawati Shoufiah, 2015).
Hari ke-6 (NICU)

Selasa, 8 Februari 2022

Asfiksia neonatrum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat
bernapas spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan oksigen dan semakin
meningkatkan kadar karbondioksida yang dapat menimbulkan akibat buruk
dalam kehidupan lebih lanjut.Peneliti berpendapat bahwa kebutuhan oksigen bayi
tidak terpenuhi dikarenakan pada usia kehamilan yang prematur mengakibatkan
bayi lahir dengan system organ tubuh yang belum sempurna salah satunya adalah
system organ pernafasan yakni paru-paru yang imatur. Usia kehamilan juga
mempunyai pengaruh dengan tingkat saturasi oksigen Pada saat baru lahir bayi
mengalami proses transisi yakni bayi bernafas dengan udara menggunakan paru-
parunya untuk mendapatkan oksigen. Hal ini sesuai dengan penelitian (Health
Study, 2008), Bayi prematur setelah lahir tetap melanjutkan untuk perkembangan
paru.
Terapi oksigen merupakan salah satu dari terapi pernafasan dalam
mempertahankan oksigenasi yang adekuat. pemberian terapi oksigen yang
bertujuan untuk stabilisasi sistem saturasi bayi, mengatasi keadaan hipoksia, dan
menurunkan kerja pernafasan. Meskipun secara umum terapi oksigen
memberikan manfaat yang bermakna pada kasus hipoksia dan anemi
hipoksemia. Efek samping atau komplikasi yang sering dikhawatirkan adalah
keracunan oksigen, pemberian oksigen dalam jangka panjang dapat
meningkatkan risiko retinopati pada prematur, mengakibatkan retrolental
fibroplasias atau kebutaan, dan bila tekanan oksigen tinggi yang diberikan ke
paru akan memperberat kondisi paru dan dapat menyebabkan eksaserbasi injuri
paru, atau periode ketika otak atau organ lain tidak menerima oksigen dengan
cukup (Cloherty et al, 2008).
Hari ke-7 (NICU)

Rabu, 9 februari 2022

Hari ke-8 (NICU)

Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir pada minggu pertama terjadi pada
60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan. Hal ini adalah keadaan yang
fisiologis. Walaupun demikian, sebagian bayi akan mengalami hiperbilirubinemia
sehingga memerlukan pemeriksaan dan tata laksana yang benar untuk mencegah
kesakitan dan kematian. 1 Hiperbilirubinemia tidak berbahaya jika kadar bilirubin
tidak tinggi tetapi berbahaya bagi otak jika kadar bilirubin terlalu tinggi, karena
meningkatnya toksisitas bilirubin tak terkonjugasi di otak. Diagnosis dan
pengobatan dari neonatal dengan hiperbilirubinemia sangat penting untuk
mencegah komplikasi berbahaya. 2 Faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia
antara lain sefalhematoma atau memar, usia kehamilan dini, tidak optimal dalam
pemberian ASI (terutama menyusui tidak berhasil dan atau penurunan berat badan
>8%), isoimmune atau anemia hemolitik dan keturunan riwayat jaundice.3 Ada
hubungan yang jelas antara frekuensi menyusui dengan penurunan insidensi
hiperbilirubinemia. Pemberian ASI yang sering akan meningkatkan peristaltik
usus dan frekuensi defekasi sehingga peredaran enterohepatik bilirubin berkurang.
Selain pemberian ASI dapat menurunkan kadar bilirubin, bisa juga
ditangani dengan pemberian terapi pijat pada bayi dengan hiperbilirubinemia yang
menerima fototerapi. Ilmu kesehatan modern telah membuktikan secara ilmiah
bahwa terapi pijat pada bayi mempunyai banyak manfaat. Terapai pijat juga
memiliki efek biokimia dan dampak klinis yang positif, sehingga dapat
merangsang fungsi pencernaan dan dapat merangsang metabolisme sehingga
racun dalam tubuh dapat dengan mudah terurai dan di keluarkan melalui fases dan
urin.
Sesuai dengan keadaan klien, klien mendapatkan program fototerapi untuk
menurunkan kadar bilirubin.

Kamis, 10 Februari 2022

Pada hari Kamis, 10 Februari 2022 saya turun jaga setelah jaga malam.

Hari ke-9 (NICU)

Jumat, 11 Februari 2022

Respiratory distress syndrome (RDS)/ sindrom gawat nafas merupakan


suatu sindrom yang sering ditemukan pada neonatus. RDS disebut juga sebagai
penyakit membran hialin (hyalin membrane disease, (HMD)) atau penyakit paru
akibat difisiensi surfaktan (surfactant deficient lung disease (SDLD)), gangguan
pernapasan paling umum yang mengenai bayi preterm (kurang bulan), serta
penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi preterm (Lissauer, 2008).
RDS menimbulkan defisiensi oksigen (hipoksia) dalam tubuh bayi, sehingga bayi
mengaktifkan metabolisme anaerob. Metabolisme anaerob akan menghasilkan
produk sampingan berupa asam laktat. Metabolisme anaerob yang terjadi dalam
waktu lama akan menyebabkan kerusakan otak dan berbagai komplikasi pada
organ tubuh. Komplikasi utama mencakup kebocoran udara (emfisema interstisial
pulmonal), perdarahan pulmonal, duktus arteriosus paten, infeksi/kolaps paru,
perdarahan intraventikular, yang berujung pada peningkatan morbiditas dan
mortalitas neonatus. RDS sering menjangkit bayi dengan berat lahir rendah
dikarenakan imaturitas fungsi organ tubuh. Hal ini ditegaskan pula dalam (Sacco,
2015) bahwa, berat bayi lahir ekstrem rendah memiliki paru dengan struktur dan
fungsi yang imatur, sehingga menyebabkan lebih mudah terserang RDS akibat
defisiensi surfaktan.
Hal ini adalah kali pertama saya mengetahui mengenai Tingkat Kejadian
Respiratory Distress Syndrome (Rds) Antara Bblr Preterm Dan Bblr Dismatur.
Jurnal ini pastinya akan sangat bermanfaat bagi ahli kesehatan dalam
meningkatkan pengetahuan.
Pada penelitian tentang perbedaan tingkat kejadian RDS antara BBLR
preterm dan BBLR dismatur di RSUD Kanjuruhan disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan tingkat kejadian Respiratory Distress Syndrom (RDS) antara BBLR
preterm dan BBLR dismatur di RSUD Kanjuruhan.
Petugas kesehatan atau instansi terkait secara rutin/berkala sebaiknya
memberikan penyuluhan kepada masyarakat, khususnya ibu hamil tentang
pemeriksaan kehamilan secara rutin, pencegahan BBLR baik preterm maupun
dismatur selama hamil, serta bahaya penyakit RDS pada BBLR preterm dan
BBLR dismatur.
Sabtu, 12 Februari 2022

Hari ke-10 (NICU)

Sepsis pada neonatus memerlukan penanganan dan penegakan diagnosis


yang tepat agar dapat menurunkan angka kematian. Pemeriksaan kultur darah
merupakan baku emas diagnosis sepsis neonatus, akan tetapi hasil pemeriksaan
baru dapat diketahui setelah 3-5 hari. Kultur darah dilakukan untuk mengetahui
bakteri penyebab sekaligus melakukan uji kepekaan antibiotik. Berdasarkan hasil
biakan darah (hematogen) bakteri yang paling sering menjadi penyebab infeksi
yaitu Staphylococcus sp, Pseudomonas sp dan Enterobacter sp. Bakteri-bakteri
tersebut masih sensitif terhadap vancomycin, amikacin dan meropenem, dimana
vancomycin khusus digunakan untuk terapi antimikroba bakteri Gram positif.
Vancomycin menjadi antibiotik yang paling paling sensitif (khusus bakteri Gram
positif) pada tahun 2008 dan 2009. Sedangkan amikacin merupakan antibiotik
yang paling sensitif pada tahun 2010. Semua bayi yang memiliki gejala klinis
sepsis dapat diberikan antibiotik empiris, seperti gabungan ampicillin dan
gentamycin atau gabungan gentamycin dan cefotaxim sampai hasil kultur
diperoleh. Pemberian terapi empiris ini dilakukan setelah pengambilan sampel
darah. Perbedaan pola kuman ini akan mempengaruhi pemilihan antibiotik yang
akan digunakan pada pasien, serta juga akan mempengaruhi prognosis dan
kemungkinan komplikasi jangka panjang yang mungkin diderita pasien (Karina &
Oyong, 2015).
Pengalaman saya dalam melihat pola risestensi antibiotik pada sepsis
neonatus secara langsung, belum pernah saya alami, sehingga saya tertarik
mempelajari hal tersebut melalui studi literature dengan judul penelitian “Pola
Resistensi Staphylococcus Koagulase Negatif Terhadap Antibiotik yang diisolasi
dari Kultur Darah Neonatus tersangka Sepsis di Instalasi Perawatan Neonatus
RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Periode 01 Januari-31 Desember 2014” oleh
Karina, Dewi Anggraini dan Nazardi Oyong tahun 2015. Dalam studi literature
tersebut didapatkan bahwa Staphylococcus koagulase negatif paling sensitif
terhadap vancomycin dan linezolid masing-masing sebesar 100% dan paling tidak
sensitif terhadap amoxicillin sebesar 3,5%, serta meropenem, piperacillin/
tazobactam, ceftazidim, ceftriaxone, cefepime dan ertapenem masingmasing
sebesar 19,29%. Staphlococcus koagulase negatif merupakan flora normal di
kulit, saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Bakteri ini dilaporkan sebagai
penyebab sepsis awitan lambat tersering meskipun angka mortalitas nya rendah.
Staphylococcus koagulase negatif merupakan penyebab terbanyak bakteremia
yang berhubungan dengan penggunaan indwelling devices. Tindakan-tindakan
invasif tersebut dapat menjadi jalan masuknya kuman ini ke dalam tubuh.
Staphylococcus koagulase negatif merupakan flora normal di kulit, oleh karena itu
dibutuhkan pemeriksaan di beberapa tempat untuk mengetahui apakah bakteri ini
hanya kontaminasi atau merupakan penyebab patogen. Pada penelitian ini
Staplycoccus koagulase negatif yang ditemukan tidak dapat dibedakan antara
kontaminasi atau merupakan penyebab patogen karena di Instalasi Perawatan
Neonatus RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau hanya dilakukan satu kali
pemeriksaan dengan pengambilan sampel darah di satu tempat sebanyak satu
botol (Karina & Oyong, 2015).
Rencana selanjutnya yang dapat dilakukan adalah pengambilan sampel
darah pada beberapa tempat untuk dapat membedakan patogen ataupun
kontaminan dari hasil kultur yang dilakukan pada pasien yang dirawat di Instalasi
Perawatan Neonatus. Kemudian, perlunya peningkatan upaya pencegahan
transmisi infeksi bakteri pada pasien Instalasi Perawatan Neonatus untuk
meminimalisir terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik pada pasien.
SUMBER :
Karina, D. A., & Oyong, N. (2015). Pola Resistensi Staphylococcus Koagulase
Negatif Terhadap Antibiotik Yang Diisolasi Dari Kultur Darah Neonatus
Tersangka Sepsis Di Instalasi Perawatan Neonatus Rsud Arifin Achmad
Provinsi Riau Periode 01 Januari-31 Desember 2014. Journal of Chemical
Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

Sabtu, 12 Februari 2022

Pada hari Sabtu, 12 Februari 2022 saya melakukan pengkajian pada bayi
dengan Asfiksia Neonatorum. Saya mengkaji seorang bayi dengan diagnosa medis
Asfiksia Neonatorum pada By. Ny. I dengan berat badan sekarang 2940 gram.
Keadaan umum composmentis, nangis kuat, gerak aktif dan banyak tidur. Klien
mendapat injeksi sesuai program. Klien mendapatkan minum 40 cc / 3 jam ASI
atau susu formula. Output klien BAK (+) dan BAB (+) sebanyak 3,4 gram.
Asfiksia neonatorum merupakan suatu kondisi bayi tidak dapat segera
bernapas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan. Penyebab dari hal ini
adalah terjadinya hipoksia pada janin di dalam uterus. Hipoksia ini berhubungan
dengan faktor yang timbul saat persalinan, atau segera setelah bayi lahir,
(Prawirohardjo, 2006). Asfiksia bayi baru lahir merupakan satu diantara penyebab
kematian bayi baru lahir di negara sedang berkembang. Diperkirakan 130 juta
bayi baru lahir tiap tahunnya di seluruh dunia, 4 juta pada usia 28 hari pertama
kehidupan, ¾ bayi meninggal pada minggu pertama dan ¼ bayi meninggal pada
usia 24 jam pertama kehidupan (Hassan dan Alatas, 2005).

Anda mungkin juga menyukai