Anda di halaman 1dari 21

“Terapi Kloramfenikol dan Terapi Zidovudin

Pada Bayi Baru Lahir, Infant dan Balita”

Kelompok
Dila Andani (1601011046)

Lanna Sari Tambunan (1601011100)

Silvia Gustiani (1601011199)

Winda Sagita Manurung (160101223)


Pengertian
Pediatric berasal dari bahasa Yunani, yaitu Pedos yang
berarti anak dan Iatrica yang berarti pengobatan. Arti dari
bahasa Indonesia adalah ilmu pengobatan anak dan
pengertian ini lebih tepat daripada ilmu penyakit anak yang
ternyata masih sering dipakai. Pediatric telah berkembang
pesat sekali terutama dalam 20 tahun terakhir ini. Di luar
negeri, seperti pula yang dianjurkan oleh WHO timbul
kecenderungan mengubah nama pediatric menjadi Child
Health. Di Indonesia sejak 1963 telah diubah menjadi ilmu
kesehatan anak, yaitu karena pediatric sekarang tidak hanya
mengobati anak sakit, tetapi juga mencakup hal – hal yang
lebih luas.
Pediatrik adalah cabang ilmu kedokteran yang
berhubungan dengan perawatan medis bayi (infant),
anak-anak (children), dan remaja (aldosents)
(Anonima, 2012). Menurut American Academy of
Pediatrics (AAP), pediatrik adalah spesialisasi ilmu
kedokteran yang berkaitan dengan fisik, mental dan
sosial kesehatan anak sejak lahir sampai dewasa muda.
Pediatrik juga merupakan disiplin ilmu yang
berhubungan dengan pengaruh biologis, sosial,
lingkungan dan dampak penyakit pada perkembangan
anak. Anak-anak berbeda dari orang dewasa secara
anatomis, fisiologis, imunologis, psikologis,
perkembangan dan metabolisme
1. Pediatric dan Neonatus
Dengan perkembangan ilmu kesehatan anak yang ada
saat ini, maka kajian pediatri umumnya memiliki 3
(tiga) cakupan kajian (American Academy of
Pediatrics, 2001), yang secara garis besar dapat
digambarkan sebagai berikut:
Pada umumnya pediatri (ilmu kesehatan anak) dibagi
menjadi 3 bagian:
1. Pediatri Klinik (Clinical Pediatrics)
2. Pediatri Sosial (Social Pediatrics)
3. Pediatri Pencegahan (Preventive Pediatrics)
Pertama kali, yang ada hanyalah
Pediatri Klinik saja. Tapi kemudian
disadari bahwa dengan hanya
mempelajari pediatri klinik tidak akan
bisa menyelesaikan semua
permasalahan dalam menangani
penyakit pada anak.

Kemudian timbul hasrat untuk mengadakan


pencegahan dan melenyapkan penyakit
tersebut. Timbullah pediatri pencegahan.
Namun demikian setelah penyakit dapat
disembuhkan dan dicegah ternyata penyakitnya
kadang akan dengan mudah kambuh kembali,
karena tanpa mempertimbangkan peran unsur
sosial dan lingkungan anak. Oleh karena itu
terpikirlah untuk melahirkan pediatri sosial
Neonatus adalah bayi baru lahir sampai usia 28 hari (0 –
28 hari). Periode neonatal adalah periode yang paling
rentan untuk bayi yang sedang menyempurnakan
penyesuaian fisiologis yang dibutuhkan pada kehidupan
ekstrauterin.

Transisi kehidupan bayi dari intrauterin ke ekstrauterin memerlukan


banyak perubahan biokimia dan fisiologis. Banyak masalah pada bayi
baru lahir yang berhubungan dengan kegagalan penyesuaian yang
disebabkan Asfiksia, Prematuritas, kelainan kongenital yang serius,
infeksi penyakit, atau pengaruh dari persalinan.
2. Terapi Obat Berkaitan dengan Karakteristik Pasien
Pediatri
Terapi obat pada pediatri berbeda dengan terapi obat
pada orang dewasa karena perbedaan karakteristik.
Perbedaan karakteristik ini akan mempengaruhi
farmakokinetika – farmakodinamika obat yang pada
akhirnya akan mempengaruhi efikasi dan/ atau toksisitas
obat.

Farmakokinetika – Farmakodinamika
Kinetika obat dalam tubuh anak-anak berbeda dengan
dewasa sesuai dengan pertambahan usianya. Beberapa
perubahan farmakokinetika terjadi selama periode
perkembangan dari masa anak-anak sampai masa
dewasa yangmenjadi pertimbangan dalam penetapan
dosis untuk pediatri
a. Absorpsi
Pada bayi dan anak sekresi asam lambung belum sebanyak
pada dewasa, sehingga pH lambung menjadi lebih alkalis.
Hal tersebut akan menurunkan absorbsi obat – obat yang
bersifat asam lemah seperti fenobarbital dan fenitoin,
sebaliknya akan meningkatkan absorbsi obat – obat yang
bersifat basa lemah seperti penisilin dan eritromisin.

Waktu pengosongan dan pH lambung akan mencapai tahap normal


pada usia sekitar tiga tahun. Waktu pengosongan lambung pada
bayi baru lahir yaitu 6-8 jam sedangkan dewasa 3-4 jam. Oleh
karena itu harus diperhatikan pada pemberian obat yang di
absorbsi di lambung
b. Distribusi
Distribusi obat pada bayi dan anak
berbeda dengan orang dewasa, karena
adanya perbedaan volume cairan
ekstraselluler, total air tubuh, komposisi
jaringan lemak, dan ikatan protein

Volume cairan ekstraselular relatif lebih tinggi dibandingkan orang


orang dewasa, volume ini akan terus menurun seiring bertambahnya
usia; pada neonatus 50%, pada bayi berusia 4-6 bulan 35%, pada usia
satu tahun 25% sedangkan pada orang dewasa sebanyak 20-25% dari
total berat badan. Hal lain yang lebih penting adalah total cairan dalam
tubuh akan lebih tinggi pada bayi yang dilahirkan secara prematur (80-
85% dari total berat badan) dibandingkan pada bayi normal (75% dari
total berat badan) dan pada bayi usia 3 bulan 60% dan pada orang
dewasa (55% dari total berat badan).
c. Metabolisme
Rendahnya metabolisme obat di hati pada neonatus disebabkan oleh
rendahnya aliran darah ke hati, asupan obat oleh sel hati, kapasitas enzim
hati dan ekskresi empedu. Sistem enzim di hati pada neonatus dan bayi
belum sempurna, terutama pada proses oksidasi dan glukoronidase,
sebaliknya pada jalur konjugasi dengan asam sulfat berlangsung
sempurna.

metabolisme asetaminofen melalui jalur glukoronidase pada anak masih


belum sempurna dibandingkan pada orang dewasa, sebagian kecil dari
bagian ini dikompensasi melalui jalur konjugasi dengan asam sulfat. Jalur
metabolisme ini mungkin berhubungan langsung dengan usia dan
mungkin memerlukan waktu selama beberapa bulan sampai satu tahun
agar berkembang sempurna. Hal ini terlihat dari peningkatan klirens pada
usia setelah satu tahun.
3. Pelayanan Kefarmasian untuk Pasien Pediatri
Pasien pediatri sesuai dengan kondisi penyakitnya dapat
diberikan pelayanan

a. Pelayanan Rawat
c. Pelayanan
Jalan untuk
b. Pelayanan Rawat Inap untuk
pencegahan penyakit,
Rawat Darurat penanganan pasien
pencegahan
untuk penanganan dengan kondisi
keracunan dan
pasien dengan penyakit atau
imunisasi serta
kondisi emergensi gangguan yang
penanganan penyakit
yang memerlukan memerlukan
ringan atau penyakit
penanganan cepat perawatan,
yang berat yang
dan mengancam pengobatan dan
sudah dalam fase
jiwa. pemantauan yang
pemeliharaan atau
khusus.
penyakit kronis.
Jadual
4. Terapi Kloramfenikol pada Bayi Baru Lahir, Infant
dan Balita

Dosis dan aturan pakai :


Anak : 50-75 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiap 6 jam.
Bayi < 2 minggu : 25 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis terbagi tiap
6 jam. Berikan dosis lebih tinggi untuk infeksi lebih berat.
Setelah umur 2 minggu bayi dapat menerima dosis sampai 50
mg/kgBB/ hari dalam 4 dosis tiap 6 jam.

Gray-baby syndrome : terjadi pada bayi yang lahir premature


dan pada bayi umur < 2 minggu (neonates) dengan gangguan
hepar dan ginjal. Klorafenikol terakumulasi dalam darah pada
bayi khususnya ketika pemberian dalam dosis tinggi ini yang
menyebabkan Gray-baby syndrome.
5. Terapi Zidovudin pada Bayi Baru Lahir, Infant dan
Balita
Zidovudine harus mulai digunakan segera setelah lahir, sebaiknya
dalam waktu 6 sampai 12 jam setelah kelahiran, dan harus terus
sampai usia 6 minggu. IV Zidovudine dapat diberikan untuk
neonatus yang tidak dapat mentoleransi obat oral.
Dosis dan aturan pakai :
 Neonatus prematur (kurang dari 35 minggu kehamilan):
Oral: 2 mg / kg secara oral setiap 12 jam
IV: 1,5 mg / kg IV (diinfuskan selama 30 menit) setiap 12 jam

Frekuensi dosis harus meningkat setiap 8 jam pada usia 4 minggu,


neonatus kurang dari 30 minggu saat kehamilan lahir dan pada usia
2 minggu pada neonatus, 30 sampai kurang dari 35 minggu
kehamilan saat lahir.

 Neonatus jangka penuh dan bayi kurang dari 6 minggu:


Oral: 2 mg / kg secara oral setiap 6 jam
IV: 1,5 mg / kg IV (diinfuskan selama 30 menit) setiap 6 jam
Dosis Anak-anak untuk Pengurangan Perinatal Penularan
HIV:
Neonatus:
Oral: 2 mg / kg secara oral setiap 6 jam
IV: 1,5 mg / kg IV (diinfuskan selama 30 menit) setiap 6
jam

Dosis neonatal harus dimulai dalam waktu 12 jam setelah lahir


dan terus hingga usia 6 minggu. IV zidovudine dapat diberikan
untuk neonatus yang tidak dapat menerima dosis oral.

Neonatus jangka penuh dan bayi kurang dari 6 minggu:


Oral: 2 mg / kg secara oral setiap 6 jam
IV: 1,5 mg / kg IV (diinfuskan selama 30 menit) setiap 6
jam
Studi kasus:
Pada penelitian sesuai dengan yang dikemukakan oleh Klaarje 4
bahwa penderita dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak (18
pasien) dari pada perempuan (13 pasien). Namun di berbagai
penelitian sebelumnya dikemukakan belum ditemukan hubungan
antara jenis kelamin dan insiden demam tifoid.

Dari 31 pasien yang diteliti ditemukan kejadian demam tifoid


terbanyak usia 6-10 tahun (14 dari 31), diikuti usia 1 – 5 tahun (10
dari 31). Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Klaartje bahwa angka
kejadian tertinggi adalah pada anak usia 5-9 tahun. Pada anak usia 6-
10 tahun merupakan masa anak mulai mengenal lingkungan dan
bersosialisasi dengan teman-temannya, mereka mulai mengkonsumsi
makanan dan minuman yang tidak diketahui dengan jelas kebersihan
dari makanan dan minuman tersebut.
Sedangkan Bhan dan Bhatnagar menyatakan di daerah endemis kasus
demam tifoid tersering adalah usia 5 – 19 tahun, diikuti dengan usia 1 – 5
tahun. Pada penelitian kami angka terendah pada anak usia < 1 tahun
disebabkan karena pola makan yang masih diatur oleh ibu
merekasehingga kemungkinan terjangkitnya lebih kecil. Anak > 10 tahun
sudah lebih memahami akan pentingnya kebersihan terutama pada
makanan dan minuman yang mereka konsumsi sehingga angka kejadian
tidak terlalu tinggi. Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan bagi
mereka untuk terjangkit demam tifoid.

Uji sensitifitas terhadap antibiotik dilakukan pada seluruh isolat


S. typhi dalam penelitian ini, > 90% menunjukkan sensitif
terhadap seluruh antibiotik yang diujicoba. Lebih dari 90% strain
S. typhi yang diisolasi dari pasien demam tifoid sejak tahun 1993
hingga 2004 di RSAB Harapan Kita ternyata juga masih sensitif
terhadap chloramphenicol.
Hasil biakan darah dengan metoda Bac-tect positif Salmonella
typhi dijumpai pada 16% pasien (31 pasien dari 248 penderita
demam tifoid anak pada tahun 2004). Hal ini dapat disebabkan
oleh syarat pengambilan spesimen untuk Salmonella typhi yang
kurang tepat. Sangat penting pengambilan spesimen darah
sebanyak minimal 1-2 ml pada usia anak untuk mendapatkan
angka positif sesuai 1 ml cairan sumsum tulang pada spesimen
biakan. Biakan sumsum tulang berguna dalam evaluasi lama sakit
dan keberhasilan terapi antibiotik. Apabila menggunakan standar
agar untuk kultur, maka salmonela dapat diisolasi pada 30-90%
kasus demam tifoid. Kegagalan kultur dapat disebabkan oleh
gagalnya mempertahankan suhu antara 15-40ºC selama
transportasi spesimen, metoda laboratorium yang tidak adekuat
dan pemberian spesimen darah sebanyak minimal 1-2 ml pada
usia anak untuk mendapatkan angka positif sesuai 1 ml cairan
sumsum tulang pada spesimen biakan. Biakan sumsum tulang
berguna dalam evaluasi lama sakit dan keberhasilan terapi
antibiotik.
Apabila menggunakan standar agar untuk kultur, maka salmonela dapat
diisolasi pada 30-90% kasus demam tifoid. Kegagalan kultur dapat
disebabkan oleh gagalnya mempertahankan suhu antara 15-40ºC selama
transportasi spesimen, metoda laboratorium yang tidak adekuat dan
pemberian spesimen darah sebanyak minimal 1-2 ml pada usia anak untuk
mendapatkan angka positif sesuai 1 ml cairan sumsum tulang pada
spesimen biakan. Biakan sumsum tulang berguna dalam evaluasi lama
sakit dan keberhasilan terapi antibiotik. Apabila menggunakan standar
agar untuk kultur, maka salmonela dapat diisolasi pada 30-90% kasus
demam tifoid. Kegagalan kultur dapat disebabkan oleh gagalnya
mempertahankan suhu antara 15-40ºC selama transportasi spesimen,
metoda laboratorium yang tidak adekuat dan pemberian antibiotik
sebelumnya.
Sebagian besar pasien sudah mendapatkan antibiotik per oral sebelum
perawatan di rumah sakit, tetapi hanya 6 dari 31 yang diduga demam
tifoid pada saat kunjungan ke dokter beberapa hari sebelum masuk rumah
sakit dan mendapat antibiotik per oral yang biasa dipakai untuk terapi
demam tifoid. Lebih dari 90% pasien demam tifoid mendapat pengobatan
antibiotik per oral di rumah, istirahat cukup dan kontrol ke dokter. Pasien
dengan gejala muntah yang berkepanjangan, diare berat atau kembung
yang berlebihan membutuhkan perawatan di rumah sakit serta pemberian
antibiotik intravena.

Jenis antibiotik yang terbanyak digunakan dalam penelitian ini


adalah ceftriaxone (18 kasus), diikuti oleh chloramphenicol (16
kasus), sisanya adalah cefotaxime, meropenem dan ceftazidime,
masing-masing 1 kasus. Pada 7 kasus terjadi penggantian antibiotik
chloramphenicol dan ceftriaxone, atau sebaliknya. Oleh karena itu
peneliti lebih menekankan pembahasan tentang antibiotik yang pada
pemberian dua antibiotik yang terbanyak digunakan.

Anda mungkin juga menyukai