Anda di halaman 1dari 41

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Visi pembangunan kesehatan sebagaimana dirumuskan dalam visi

Indonesia sehat 2015 adalah masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai

oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, memiliki

kemampuan untuk menjangku pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil

dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di

seluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes RI, 2010).

Menurut WHO 2006 tingkat pertambahan penduduk sangat

dipengaruhi angka kelahiran dan angka kematian, setiap tahunya

pertambahan penduduk mengalami peningkatan 5% dari jumlah sebelumnya.

Indikator kesehatan masyarakat salah satunya adalah angka kematian bayi,

sedangkan angka kematian seluruh dunia setiap tahunya mencapai 4 juta jiwa,

termasuk didalamnya angka kematian bayi. Angka kematian bayi

dipengaruhi juga oleh masalah-masalah kejadian perinatal seperti berat bayi

lahir rendah dan penyakit- penyakit lainya (Perinasia, 2007).

Menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF) terdapat 1,8%

kematian bayi yang disebabkan oleh hiperbilirubin dari seluruh kasus

perinatal yang terjadi didunia (Sutrisno, 2008). Kejadian ini pun terjadi di

Indonesia, dimana angka kematian bayi tergolong tinggi yaitu 52 per 1000

dari kelahiran hidup, angka ini jauh dibandingkan sesama negara ASEAN

(Thailand 32 per kelahiran hidup, Malaysia 12 per kelahiran hidup,

1
2

Singapura). Hiperbilirubin menjadi penyebab kematian yaitu sekitar 4% dari

jumlah kematian seluruh Indonesia (Depkes RI, 2009).

Kematian bayi di provinsi Lampung cukup tinggi yaitu 55 per 1000

kelahiran hidup penyebabnya adalah gangguan perinatal. Salah satunya

disebabkan oleh hiperbilirubin yaitu sekitar 1,2% dari jumlah keseluruhan

gangguan perinatal dilampung. Data cacatan medik di RSUD Abdul Moeloek

Provinsi Lampung 2011 terdapat 266 kematian bayi yang terjadi pada ruang

Perinatologi yang disebabkan oleh gangguan perinatal seperti kejadian

BBLR, asfixia, hiperbilirubin, sepsis, kelainan kongenital. Kejadian

Hiperbilirubin di ruang Perinatologi pada bulan Januari sampai Desember

2011 terdapat 77 bayi.

Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah.

Sekitar 60% bayi yang lahir normal menjadi ikterik pada minggu pertama

kelahiran. Hiperbilirubin yang tak terkonjugasi terjadi sebagai hasil dari

pembekuan bilirubin yang berlebih karena hati neonatus belum dapat

membersihkan bilirubin cukup cepat dari darah. Walaupun sebagian besar

bayi baru lahir dengan ikterik normal, tetapi mereka butuh pengawasan

karena bilirubin memiliki potensi meracuni system saraf pusat. Kadar

bilirubin yang cukup tinggi dapat menyebabkan bilirubin encepalopati yang

kemudian menjadi kernikterus yang menyebabkan terjadinya kelainan

neorologi menetap (Maisels & Mcdonagh, 2008).

Ikterus pada bayi dikatakan meningkat jika kadar bilirubin dalam

darah melebihi ambang batas normal. Batas normal bayi baru lahir cukup

bulan adalah 12,5 mg/dl, sedangkan bayi yang baru lahir kurang bulan adalah
3

10 mg/dl. Jika melebihi angka-angka tersebut, maka dikategorikan

hiperbilirubin (Murniati, 2008).

Salah satu penyebab terjadinya hiperbilirubin adalah inkompabilitas

ABO atau ketidakcocokan golongan darah antara ibu dan bayi. Kejadian ini

ditemukan pada ibu dengan golongan darah O yang melahirkan bayi dengan

golongan darah A dan B (Sukadi, 2009).

Kondisi ini terjadi pada perkawinan inkompatibel dimana darah ibu

dan bayi yang mengakibatkan zat anti dari serum darah ibu bertemu antigen

dari eritrosit bayi dalam kandungan. Sehingga tidak jarang embrio hilang

pada saat awal secara misterius, sebelum ibu menyadari kalau dia hamil.

Namun bila janin dilahirkan hidup, maka terjadi ikterus yang mengarah pada

ikterus patologik atau hiperbilirubinimia. Apabila hal ini tidak ditangani

secara tepat dapat mengakibatkan kematian atau kelainan perkembanganya

seperti gangguan perkembangan mental, tuli, lambat bicara dan lain-lain

(Gomella, 2004).

Adapun data yang didapat dari penelitian lain dari RSIA Siti Fatimah

Makasar tahun 2006 adalah 74 kasus hiperbilirubin dari 1552 pasien, didapat

45 bayi yang golongan darahnya tidak sama dengan ibunya (Rusmanto,

2010).

Berdasarkan hasil pra survey yang dilakukan oleh peneliti di ruang

RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung pada bulan Januari sampai

Maret 2012 terdapat 27 bayi yang menderita hiperbiliruibin. Dari jumlah

tersebut 17 bayi merupakan bayi rujukan atau partus di luar RSUD Dr. A.

Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung sehingga tidak ada pelaporan


4

pemeriksaan golongan darah ibu, sedangkan 10 lainnya partus di RSUD Dr.

A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung, didapatkan hasil 6 bayi (60%) yang

berbeda golongan darah bayi dengan ibunya dan 4 bayi (40%) yang sama

dengan ibunya.

Dari fenomena inilah maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian yang berdasarkan pada salah satu penyebab kejadian hiperbilirubin

yang diuraikan diatas peneliti menguji kebenaranya dengan cara melakukan

penelitian tentang hubungan inkompatibilitas golongan darah Ibu dan Bayi

dengan kejadian bayi Hiperbilirubinemia diruang Perinatologi RSUD Dr. A.

Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung

B. Rumusan Masalah

1. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah ada

hubungan inkompatibilitas golongan darah Ibu dan Bayi dengan kejadian

bayi hiperbilirubinemia di ruang Perinatologi RSUD Dr. A. Dadi

Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2012?

2. Permasalahan

a. Bagaimanakah gambaran kejadian bayi hiperbilirubinemia di ruang

Perinatologi RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun

2012?

b. Bagaimanakah golongan darah Ibu dan Bayi di ruang Perinatologi

RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2012?


5

c. Bagaimanakah hubungan inkompatibilitas golongan darah Ibu dan

Bayi dengan kejadian bayi hiperbilirubinemia di ruang Perinatologi

RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2012?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahui hubungan inkompatibilitas golongan darah Ibu dan Bayi

dengan kejadian bayi hiperbilirubinemia di ruang Perinatologi RSUD Dr.

A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2012.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui kejadian bayi hiperbilirubinemia di ruang Perinatologi

RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2012

b. Diketahui golongan darah Ibu dan Bayi di ruang Perinatologi RSUD

Dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2012

c. Diketahui hubungan inkompatibilitas golongan darah Ibu dan Bayi

dengan kejadian bayi hiperbilirubinemia di ruang Perinatologi RSUD

Dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2012

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Aplikatif

a. Bagi Rumah Sakit

Sebagai masukan bagi rumah sakit (RS) khususnya ruang

perinatologi dari hasil penilitian dapat memberikan masukan atau


6

tambahan ilmu pengetahuan membuat penatalaksanaan yang tepat

terhadap kejadian hiperbilirubin akibat Inkompabilitas ABO.

b. Bagi Bidan

Sebagai masukan atau tambahan ilmu dengan mengetahui

penyebab terjadinya kejadian hiperbilirubin dengan hubungan

inkompatibilitas golongan darah ibu dan bayi. Dengan begitu bidan

bertambah pengetahuan dari hasil penelitian

2. Manfaat Teoritik

a. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai informasi mengenai hubungan inkompatibilitas golongan

darah ibu dan Bayi dengan kejadian bayi hiperbilirubinemia Program

DIV Kebidanan klinik Poltekes Tanjung Karang dan diharapkan dapat

bermanfaat sebagai salah satu acuan dan pertimbangan bagi peneliti

yang akan datang.

E. Ruang lingkup penelitian

Jenis penelitian adalah korelasi tentang hubungan inkompatibilitas

golongan darah ibu dan Bayi dengan kejadian bayi hiperbilirubinemia pada

ibu dan bayi di ruang perinatologi RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar

Lampung, penelitian dilakukan di RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar

Lampung karena rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit rujukan Kota

Bandar Lampung dengan kasus hiperbilirubin yang cukup tinggi, penelitian

akan dilakukan pada bulan April sampai Juli Tahun 2012.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Golongan Darah

1. Pengertian

Golongan darah adalah ciri khusus darah dari suatu individu

karena adanya perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada

permukaan membran sel darah merah. Dua jenis penggolongan darah

yang paling penting adalah penggolongan ABO dan Rhesus (faktor

Rh). Di dunia ini sebenarnya dikenal sekitar 46 jenis antigen selain

antigen ABO dan Rh, hanya saja lebih jarang dijumpai (Walles,

2010).

Golongan darah manusia ditentukan berdasarkan jenis antigen

dan antibodi yang terkandung dalam darahnya sebagai berikut (Walles,

2010):

a. Individu dengan golongan darah A memiliki sel darah merah

dengan antigen A di permukaan membran selnya dan

menghasilkan antibodi terhadap antigen B dalam serum darahnya.

Sehingga, orang dengan golongan darah A-negatif hanya dapat

menerima darah dari orang dengan golongan darah A-negatif atau

O-negatif.

b. Individu dengan golongan darah B memiliki antigen B pada

permukaan sel darah merahnya dan menghasilkan antibodi

terhadap antigen A dalam serum darahnya. Sehingga, orang dengan

7
8

golongan darah B-negatif hanya dapat menerima darah dari

golongan darah B-negatif atau O-negatif.

c. Individu dengan golongan darah AB memiliki sel darah merah

dengan antigen A dan B serta tidak menghasilkan antibodi

terhadap antigen A maupun B. Sehingga, orang dengan golongan

darah AB-positif dapat menerima darah dari orang dengan

golongan darah ABO apapun dan disebut Resisten Universal.

Namun, orang dengan golongan darah AB-positif tidak dapat

mendonorkan darah kecuali pada sesama AB-positif.

d. Individu dengan golongan darah O memiliki sel darah tanpa

antigen, tapi memproduksi antibodi terhadap antigen A dan B.

Sehingga, orang dengan golongan darah O-negatif dapat

mendonorkan darahnya kepada orang dengan golongan darah ABO

apapun dan disebut donor universal. Namun, orang dengan

golongan darah O-negatif hanya dapat menerima darah dari sesama

O-negatif.

2. Pewarisan

Tabel 1. Tabel pewarisan golongan darah kepada anak

Ibu/Ayah O A B AB
O O O,A O,B A,B
A O,A O,A O,A,B,AB A,B,AB
B O,B O,A,B,AB O,B A,B,AB
AB A,B A,B,AB A,B,AB A,B,AB
9

B. Inkompatibilitas ABO

1. Pengertian

Inkompatibilitas ABO adalah ketidakcocokan golongan darah.

Kejadian ini ditemukan pada ibu dengan golongan darah O yang

melahirkan bayi bergolongan darah A atau B, sekitar 20-40% dari seluruh

kehamilan (Noortiningsih, 2003).

Kondisi ini terjadi pada perkawinan yang inkompatibel dimana

darah ibu dan bayi yang mengakibatkan zat anti dari serum darah ibu

bertemu dengan antigen dari eritrosit bayi dalam kandungan. Sehingga

tidak jarang embrio hilang pada sangat awal secara misterius, sebelum ibu

menyadari bahwa ia hamil. Namun apabila janin yang dilahirkan hidup,

maka dapat terjadi ikterus yang dapat mengarah pada ikterus patologis

atau hiperbilirubinemia. Apabila hal ini tidak ditangani secara tepat dapat

menimbulkan kematian atau kelainan perkembangannya seperti gangguan

perkembangan mental, tuli, lambat bicara dan lain-lain (Suryo, 2005).

2. Kejadian

Faktor resiko dari ketidaknormalan ABO terjadi antara 12-15%

dari kehamilan, namun kenyataannya kepekaan janin (pemeriksaan comb’s

yang positif) terjadi hanya 3-4%. Gejala penyakit ABO hemolitik terjadi <

1% dari seluruh kelahiran tapi kurang lebih 2 dari 3 kasus yang diamati

dari penyakit hemolitik pada bayi baru lahir (Gomella, 2004).


10

3. Patofisiologi

Pertukaran antar placenta pada Isoantibodi ibu hamil

mengakibatkan reaksi imun antara antigen A atau B dalam eritrosit jenin,

dengan karakteristik prosedur microspherocyt. Pada proses ini akhirnya

menyebabkan hemolisis yang terus menerus dapat diseimbangkan oleh

pengantian retikulolis dan pemendekan dari waktu pertukaran sel. Jadi

seluruh pemeliharaan dari eritrosit dalam batas fisiologis. Kekurangan dari

antigen A atau B pada janin (sangat berlawanan pada dewasa) eritrosit dan

kemampuan mengikat antibodi yang banyak dibagian antigen atau jaringan

lain dapat dijelaskan sebagai proses hemolitik ringan yang sedang terjadi

dan biasanya tidak ada pada penyakit progresif dengan kehamilan

berikutnya (Gomella, 2004).

Anemia hemolitik isoimun dapat terjadi saat ada ketidakcocokan

ABO antara ibu dan bayi baru lahir. Kelainan ini paling sering terjadi pada

golongan darah A dan B pada bayi baru lahir dengan ibu bergolongan

darah O-. Proses hemolitik dimulai dari dalam kandungan dan dari hasil

transport plasenta aktif dari isoantibody ibu hamil, pada ibu dengan

golongan darah O. Isoantibodi adalah sebagian besar dari 7S-IgG

(Imunoglobulin G) dan hal ini dapat masuk melalui membran plasenta

karena ukurannya lebih besar (Gomella, 2004).

Biasanya isoantibodi 19S-IgM (Immunoglobulin M) yang terdapat

pada ibu dengan golongan darah A atau B tidak dapat bercampur. Gejala-

gejala klinis dari penyakit ini biasanya tidak tampak sampai bayi lahir,

yang biasanya ditandai dengan anemia hemolitik ringan dengan


11

retikulositosis, micropherositiosis, dan diawali dengan hiperbilirubin tidak

terkonjugasi (Gomella, 2004).

4. Faktor Resiko

a. A1 antigen dari bayi.

Dari antigen golongan darah yang utama antigen A1 memiliki antigen

terbesar dan termasuk juga dalam resiko terbesar dari gejala penyakit.

b. Peningkatan isohemoglutinin

Parasit saluran pencernaan saat antepartum atau imunisasi pada

trimester 3 taitu tetanus toxoid, vaksin pneumokokus dapat

menstimulasi titer isoantibodi pada antigen A atau B.

(Gomella, 2004).

5. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala dari inkompatibiltas adalah (Gomella, 2004):

a. Kuning

Ikterus sering menjadi tanda fisik dari ketidakcocokkan ABO

dengan tingkatan klinis hemolisis yang signifikan. Kejadian ini terjadi

pada 24 jam pertama kehidupan. Jaundice biasanya meningkat lebih

cepat pada periode awal neonatus dibandingkan dengan pola jaundice

fisiologis non hemolitik

b. Anemia

Disebabkan karena keefektifan dan penggantian retikulosit sebagai

respon terus menerus dari proses hemolitik ringan. Eritrosit diusahakan

selalu dalam batas fisiologis yang normal sebagai tanda bayi sesuai
12

dengan usia gestasi. Tanda tambahan dari penyakit tersebut

(hepatosplenomegali atau hidrosefalus) adalah sangat berlebihan

namun dapat dilihat dari banyaknya proses hemolitik yang progresif.

C. Hiperbilirubinemia

1. Pengertian Hiperbilirubinemia

Hiperbilirubinemia adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam

darah yang kadar nilainya lebih dari normal (Suriadi &Yuliani, 2001).

Untuk bayi yang lahir cukup bulan, batas normal bilirubin adalah 12,5

mg/dl. Sedangkan bayi yang lahir kurang bulan, batas normal bilirubinnya

adalah 10 mg/dl. Jika melebihi angka-angka tersebut, maka dikategorikan

hiperbilirubin (Abdoerachman et al, 2002).

Bilirubin merupakan hasil pemecahan hemoglobin yang

terkandung di dalam sel darah merah. Pada keadaan normal, sel darah

merah (eritrosit) memiliki umur tertentu dan sel yang telah tua akan

mengalami pemecahan sehingga hemoglobin yang terkandung di

dalamnya keluar dan terurai menjadi zat yang di sebut heme dan globin.

Heme akan diubah menjadi biliverdin dan melalui proses selanjutnya

diubah menjadi bilirubin bebas atau indirek (Surjadi, 2007).

Bilirubin indirek ini dalam kadar tingi bersifat racun, sukar larut

dalam air tetapi larut dalam lemak, sulit dibuang serta mudah melewati

plasenta maupun membran pelindung otak. Oleh karena itu, organ hati

harus memproses bilirubin indirek menjadi bilirubin direk yang larut

dalam air dan melalui saluran empedu selanjutnya dibuang melalui usus

besar dan bercampur dengan feses dan kotoran. Tinggi rendahnya kadar
13

bilirubin tergantung pada kemampuan hati dalam memproses dan

mengeluarkan zat tersebut (Surjadi, 2007).

Setelah lahir, bayi harus mengolah sendiri bilirubin indirek di

hatinya. Tapi karena fungsi hatinya belum sempurna lantaran belum

matang, proses penghancuran dan pembuangan bilirubin jadi lambat,

sehingga bilirubin indireknya tetap tinggi. Fungsi tersebut baru bisa

berlangsung normal bila organ hatinya sudah matang, yakni sekitar 3-4

hari setelah lahir. Saat itu hati sudah mampu mengubah bilirubin indirek

menjadi bilirubin direk, sekaligus membuangnya (Purnamawati, 2007).

Bilirubin normalnya dibersihkan dari tubuh dengan konjugasi

hepatik dengan asam glukoronat dan dihilangkan dalam empedu dalam

bentuk bilirubin glukoronat. Ikterik neonatus berkembang dari konjugasi

defisiensi sementara (eksaserbasi pada bayi preterm) digabung dengan

pemecahan sel darah merah. Kondisi patologik yang dapat meningkatkan

produksi bilirubin meliputi isoimunisasi, kelainan hemolitik diturunkan

dan ekstravasasi darah (misalnya dari memar dan cephalhematoma).

Kelainan genetik konjugasi bilirubin, khususnya sindrom Gillbert yang

berkontribusi pada hiperbilirubinemia neonatus. Sebagian besar bayi sehat

yang beresiko terjadi hiperbilirubinemia adalah bayi kurang bulan dan

yang tidak disusui ASI baik. Penyusuan ASI dan asupan kalori yang buruk

dipikirkan dapat menyebabkan peningkatan sirkulasi bilirubin

enterohepatik (Maisels & McDonagh, 2008).


14

2. Patofisiologi

Gambar 2.1 Patofisiologi

Hemoglobin

Globin Heme

Biliverdin Fe.Co

Peningkatan destruksi eritrosit (gangguan konjugasi bilirubin/ganguan transpor


bilirubin/peningkatan siklus enterohepatik), Hb dan eritrosit abnormal

Pemecahan bilirubin berlebih/bilirubin yang tidak berikatan dengan albumin


meningkat

Suplai bilirubin melebihi kemampuan hati

Hati tidak mampu melakukan konjugasi

Sebagian besar masuk kembali ke siklus enterohepatik

Peningkatan bilirubin tak terkonjugasi dalam darah

Ikterus pada sklera, leher, badan, pengeluaran mekonium


peningkatan bilirubin >12 mg/dl terlambat/obstruksi usus

Gangguan integritas kulit Tinja berwarna pucat

Indikasi fototerapi

Sinar dengan intensitas tinggi

Resti injuri Gangguan temperatur tubuh


15

3. Klasifikasi Hiperbilirubin

Menurut Murniati (2007) hiperbilirubin dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Hiperbilirubin Fisiologis.

Merupakan gejala normal dan sering dialami bayi baru lahir.

Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi lahir dan akan sembuh pada hari ke 7.

Penyebabnya organ hati yang belum matang dalam memproses bilirubin.

b. Hiperbilirubin Patologis

Hiperbilirubin yang dikarenakan faktor penyakit atau infeksi.

Misalnya akibat virus hepatitis, toksoplasma, sifilis, malaria,

penyakit/kelainan di saluran empedu, ketidakcocokan golongan darah dan

rhesus. Hiperbilirubin ini biasanya disertai suhu badan yang tinggi dan

berat badan (BB) tidak bertambah. Biasanya ditandai dengan tingginya

kadar bilirubun walau bayi sudah berusia 14 hari.

4. Penyebab Hiperbilirubin

Menurut Sartika (2008) hiperbilirubin disebabkan oleh :

a. Peningkatan Produksi

1) Hemolisis. Misalnya pada inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat

ketidak sesuaian golongan darah dan rhesus

2) Perdarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran

3) Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik

yang terdapat pada bayi hipoksia dan asidosis

4) Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase)

5) Kurangnya enzim glukoronil transferase, sehingga kadar bilirubin

indirek meningkat, misalnya pada BBLR


16

6) Kelainan kongenital misalnya obstruksi duktus koledukus dan duktus

hepatikus.

b. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya

hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya

sulfadiazine.

c. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme

atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah

seperti infeksi, toksoplasmasis, syphilis.

d. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra hepatik.

e. Peningkatan sirkulasi enterohepatik, misalnya pada ileus obstruktif.

Mekonium mengandung bilirubin 1 md/dl dan dapat turut menyebabkan

ikterus melalui sirkulasi enterohepatik sesudah dekonjungasi oleh

glukuronidase usus.

5. Manifestasi Klinis

Menurut Surasmi dalam Sartika (2008) gejala hiperbilirubinemia

dikelompokkan menjadi :

a. Gejala Akut. Gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada

neonatus adalah letargi, tidak mau minum, dan hipotoni.

b. Gejala Kronik. Tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi

hipertonus dan opisthotonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala

sisa berupa paralisis serebral dengan atetosis, gangguan pendengaran,

paralisis sebagian otot mata, dan displasia dentalis).


17

Sedangkan menurut Handoko dalam Sartika (2008) gejalanya adalah

warna kuning (ikterik) pada kulit, membran mukosa dan bagian putih (sklera)

mata terlihat ikterik saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 μmol/l.

Penilaian ikterik menurut Kramer adalah ikterus dimulai dari kepala,

leher dan seterusnya. Dan membagi tubuh bayi baru lahir dalam lima. Cara

pemeriksaannya adalah dengan menekan jari telunjuk ditempat yang

tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut, dan lain-lain.

Kemudian penilaian kadar bilirubin dari tiap-tiap nomor disesuikan dengan

angka rata-rata didalam gambar dibawah ini.

Tabel 2.
Hubungan kadar bilirubin dengan ikterus

Perkiraan kadar bilirubin (rata-


Derajat
Daerah Ikterus rata)
Ikterus
Aterm Prematur
1 Kepala sampai leher 5,4 -
2 Kepala, badan sampai umbilikus 8,9 9,4
3 Kepala, badan, paha sampai lutut 11,8 11,4
Kepala, badan, ekstremitas
4 15,8 13,3
sampai tangan dan kaki
Kepala, badan, semua
5 - -
ekstremitas sampai ujung jari

6. Komplikasi

Menurut Sartika (2008) komplikasi dari hiperbilirubin adalah kernikterus

yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak. Pada

kernikterus gejala klinik antara lain : bayi tidak mau menghisap, letargi, mata

berputar-putar, gerakan tidak menentu, kejang tonus otot meninggi, leher

kaku, dan akhirnya opisthotonus.


18

7. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Sartika (2008) pemeriksaan penunjang untuk bayi dengan

hiperbilirubin antara lain :

a. Pemeriksaan bilirubin serum

b. Ultrasound untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu

c. Radioisotop scan dapat digunakan untuk membantu membedakan hepatitis

dari atresia biliary

d. Pemeriksaan golongan darah ibu pada saat kehamilan dan bayi pada saat

kelahiran

8. Penatalaksanaan

Menurut Murniati (2007), jika tiga sampai empat hari kelebihan masih

terjadi, maka bayi harus segera mendapatkan terapi. Bentuk terapi ini

bermacam-macam, disesuaikan dengan kadar bilirubin yang ada. Adapun

macam terapi untuk bayi dengan hiperbilirubin yaitu :

a. Terapi sinar (fototerapi)

b. Terapi tranfusi tukar

c. Terapi obat-obatan

d. Menyusui bayi dengan ASI

e. Terapi sinar matahari

C. Fototerapi

Fototerapi menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin indirek yang

lebih mudah larut dalam plasma dan lebih mudah dieksresi oleh hati ke dalam

empedu. Meningkatnya fotobilirubin di dalam empedu menyebabkan


19

bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga peristaltik

usus meningkat dan bilirubin akan cepat meninggalkan usus (McDonagh

dalam Abdoerachman et al, 2002).

Pada bayi cukup bulan dan lewat bulan, fototerapi secara khas digunakan

menurut petunjuk yang di terbitkan oleh The American Academy of Pediatrics

di tahun 2004. Pertimbangan petunjuk ini tidak hanya melihat tingkat total

bilirubin serum tetapi juga umur kelahiran bayi, umur bayi pada jam-jam sejak

kelahiran, dan ada atau tidaknya faktor resiko seperti penyakit hemolitik

isoimun, kekurangan enzim G6PD, asfiksia, letargi, ketidakstabilan

temperatur, sepsis, asidosis, dan hipoalbuminemia. Pada bayi prematur,

fototerapi digunakan pada tingkatan yang lebih rendah dari total bilirubin

serum, dan dalam beberapa unit digunakan sebagai profilaksis pada semua

bayi dengan berat kelahiran lebih rendah dari 1000 gram (Maisels &

McDonagh, 2008).

Kemanjuran fototerapi tergantung pada pemancaran (keluaran energi)

sumber cahaya. The American Academy of Pediatrics menggambarkan

fototerapi intensif sebagai iridians spektral sedikitnya 30 μW per centimeter

persegi per nanometer dari luas bidang yang sama yang dikirimkan ke area

permukaan tubuh bayi. Hal ini dicapai dengan penggunaan sumber cahaya

yang ditempatkan diatas dan dibawah bayi. Ada suatu hubungan langsung

antara penggunaan pemancaran dan tingkat di mana level total bilirubin serum

merosot (Maisels & McDonagh, 2008).

Dosis dan kemanjuran fototerapi dipengaruhi oleh jenis sumber cahaya.

Unit fototerapi yang biasa digunakan berisi tabung fluoresent sinar terang,
20

putih, atau biru. The American Academy of Pediatrics sekarang ini

menganjurkan lampu fluoresent biru spesial atau lampu light emiting diode

(LED) yang telah diketahui lebih efektif untuk fototerapi pada studi klinis.

Lampu halogen dan penyaring digabungkan dengan lampu LED biasanya

digunakan (Maisels & McDonagh, 2008).

Dosis dan kemanjuran dari fototerapi biasanya dipengaruhi oleh jarak

antara lampu dan permukaan kulit yang terkena cahaya, karena itu dibutuhkan

sumber cahaya di bawah bayi pada fototerapi intensif. Walaupun uji coba

telah menunjukkan bahwa semakin luas permukaan kulit yang terkena,

semakin berkurang pula jumlah total bilirubin serum, walaupun bayi tetap

menggunakan popok. Jika jumlah total bilirubin serum tetap meningkat

walaupun diterapi, popok harus dibuka sampai bilirubin turun secara

signifikan. Kertas alumunium atau kain berwarna putih diletakkan pada mata

bayi untuk memantulkan cahaya yang akan mempengaruhi kemanjuran

fototerapi dan cahayanya dapat menyebabkan efek toksik pada retina yang

belum matang (Maisels & McDonagh, 2008).

Berikut tabel yang menggambarkan kapan bayi perlu menjalani

fototerapi dan penanganan medis lainnya, sesuai anjuran The American

Academy of Peditrics tahun 1994 (Surjadi, 2007).


21

Tabel 3.
Fototerapi pada bayi lahir cukup bulan

Tranfusi tukar Tranfusi tukar


Pertimbangkan
Terapi sinar bila terpi sinar dan terapi sinar
Usia bayi (jam) terapi sinar
gagal intensif
Kadar bilirubin indirek serum (mg/dl)
<24
25-48 >9 >12 >20 >25
49-72 >12 >15 >25 >30
>72 >15 >17 >25 >30

Kebutuhan cairan pada tiap-tiap bayi untuk mencapai kenaikan berat

badan yang optimal berbeda-beda. Pada umumnya cairan yang diberikan pada

hari pertama sebanyak 60 ml/kgBB/hari dan setiap hari di tambah (seperti

pada tabel 4). Dalam hari-hari pertama berat badan akan turun karena

pengeluaran mekonium dan masuknya cairan belum mencukupi. Turunnya

berat badan tidak lebih dari 10%, lalu berat badan akan kembali naik pada hari

ke 4 sampai hari ke 10 dan seterusnya (Abdoerachman, 2002).

1. Komplikasi Fototerapi

Komplikasi fototerapi pada bayi meliputi tinja lembek, ruam makular

eritematosa, kepanasan, dehidrasi (peningkatan Insensible Water Loss, diare),

menggigil karena pemajanan, perubahan warna kulit yang coklat keabu-abuan

dan gelap (Behrman et al, 2000).

2. Cara kerja fototerapi

Menurut Nurlaila (2008), cara kerja fototerapi sebagai berikut :

a. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin indirek menjadi

bentuk yang larut dalam air untuk diekskresikan melalui empedu dan urin.
22

b. Ketika bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu

isomerisasi.

c. Terdapat konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama

lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui empedu.

d. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar

pada manusia.

e. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonjugasi di ubah olah cahaya

menjadi dipyrole yang dieksresikan lewat urin. Foto isomer bilirubin lebih

polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa dieksresikan

melalui empedu.

f. Dari empedu kemudian dieksresikan kedalam duodenum untuk dibuang

bersama feses tanpa proses konjugasi oleh hati.

g. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa dieksresikan lewat urin.

h. Fototerapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar

bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis

dapat menyebabkan anemia.

3. Kriteria Alat

Menurut Nurlaila (2008) kriteria alat untuk fototerapi antara lain :

a. Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm.

b. Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm.

c. Cahaya yang diberikan pada jarak 35-50 cm diatas bayi.

d. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri

dari biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight

fluorecent tubes.
23

4. Prosedur Pemberian Fototerapi

a. Persiapan unit terapi sinar

Menurut Nurlaila (2008) persiapan untuk fototerapi antara lain :

1) Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar ditempatkan bila perlu,

sehingga suhu di bawah lampu antara 38oC sampai 40oC.

2) Nyalakan mesin dan pastikan semua tabung fluoresent berfungsi

dengan baik.

3) Ganti tabung/lampu fluoresent yang telah rusak atau berkelip-kelip

4) Catat tanggal penggantian tabung dan lama penggunaan tabung.

5) Ganti tabung setelah 2000 jam penggunaan atau setelah 3 bulan,

walaupun tabung masih bisa berfungsi.

6) Gunakan linen putih pada inkubator, dan tempatkan tirai putih di

sekitar daerah unit terapi sinar ditempatkan untuk memantulkan cahaya

sebanyak mungkin kepada bayi.

b. Pemberian terapi sinar

Tata cara pemberian terapi sinar menurut Nurlaila (2008) antara lain :

1) Tempatkan bayi di bawah terapi sinar

2) Bila berat bayi 2 kg atau lebih, tempatkan bayi dalam keadaan

telanjang pada basinet. Tempatkan bayi yang lebih kecil dalam

inkubator.

3) Letakkan bayi sesuai petunjuk pemakaian alat dari pabrik.

4) Tutupi mata bayi dengan penutup mata, pastikan lubang hidung bayi

tidak ikut tertutup. Jangan tempelkan penutup mata dengan

menggunakan selotip.
24

5) Balikkan bayi setiap 3 jam.

6) Pastikan bayi diberi makan

7) Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI, paling kurang

setiap 3 jam.

8) Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar dan lepaskan

penutup mata.

9) Pemberian suplemen atau mengganti ASI dengan makanan atau cairan

lain (Pengganti ASI, air, air gula) tidak ada gunanya.

10) Bila bayi menerima cairan per intra vena (IV) atau ASI yang telah di

pompa (ASI perah), tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10%

volume total per hari selama bayi masih diterapi sinar.

11) Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui naso gastrik

tube (NGT), jangan pindahkan bayi dari sinar terapi sinar.

12) Perhatikan selama menjalani terapi sinar, konsistensi tinja bayi bisa

menjadi lebih lembek dan berwarna kuning. Keadaan ini

membutuhkan terapi khusus.

13) Teruskan terapi dan tes lain yang telah ditetapkan.

14) Pindahkan bayi dari unit terapi sinar hanya untuk melakukan prosedur

yang tidak bisa dilakukan di dalam unit terapi sinar.

15) Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan sinar terapi sebentar

untuk mengetahui apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah dan

bibir biru).

16) Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi sinar setiap 3

jam. Bila suhu bayi lebih dari 37,5 oC, sesuaikan suhu ruangan atau
25

untuk sementara pindahkan bayi dari unit terapi sinar sampai suhu bayi

antara 36,5oC sampai 37,5oC.

17) Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam, kecuali kasus-kasus khusus.

18) Hentikan terapi sinar bila kadar serum bilirubin <13 mg/dl.

19) Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi tranfusi tukar,

persiapkan kepindahan bayi dan secepat mungkin kirim bayi ke rumah

sakit tersier atau pusat untuk tranfusi tukar. Sertakan contoh darah ibu

dan bayi.

20) Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa, hentikan terapi sinar setelah 3

hari.

21) Setelah terapi sinar dihentikan observasi bayi selama 24 jam dan

ulangi pemeriksaan bilirubin serum bila memungkinkan, atau

perkirakan keparahan ikterus menggunakan metode klinis.

22) Bila ikterus kembali ditemukan atau bilirubin atau bilirubin serum

berada di atas nilai untuk memulai terapi sinar, ulangi terapi sinar

seperti yang telah dilakukan. Ulangi langkah ini pada setiap

penghentian terapi sinar sampai bilirubin serum berada dibawah nilai

untuk memulai terapi sinar.

23) Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan

baik dan tidak ada masalah lain selama perawatan, pulangkan bayi.

24) Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat untuk membawa

kembali bayi bila bayi bertambah kuning.


26

D. Kerangka Teori

Berdasarkan tinjauan teori diatas maka disusunlah suatu kerangka teori

sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Teori

1. Peningkatan Produksi
a. Hemolisis (inkompatibilitas
Rh, ABO)
b. Perdarahan tertutup
c. Ikatan bilirubin dengan protein
terganggu
d. Defisiensi G6PD (Glukosa 6
Phospat Dehidrogenase) Hiperbilirubin
e. Kurangnya enzim glukoronil
transferase
f. Kelainan kongenital
2. Gangguan transportasi.
3. Gangguan fungsi hati.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra
atau ekstra hepatik.
5. Peningkatan sirkulasi enterohepatik.

Sumber: Sartika (2008)

E. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan

antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang

akan dilakukan. Pada penelitian ini peneliti ingin mengukur hubungan antara

variabel independen dan variabel dependen yang terlihat pada gambar berikut:

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Incompatibilitas Hiperbilirubin
golongan darah ibu
dan bayi
27

F. Variabel Penelitian

Variabel adalah suatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran

yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep

pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2005). Variabel dalam penelitian ini adalah

incompatibilitas golongan darah ibu dan bayi sebagai variabel independen dan

hiperbilirubin sebagai variabel dependent.

G. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah batasan atau variabel yang diamati atau

diteliti untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap

variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen atau alat

ukur (Notoatmodjo, 2005). Untuk lebih memahami dan menyamakan

pengertian maka pada penelitian ini perlu disusun beberapa definisi

operasional seperti berikut:

Tabel 4. Definisi operasional variabel


No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
1 Incompatibilit Keadaan dimana - Test gol - Cek 1 : Ya Ordinal
as golongan golongan darah ibu darah sec. golongan 0 : Tidak
darah ibu dan tidak sama dengan bayi manual darah ibu
bayi yang mengalami
hiperbilirubin
2 Hiperbilirubin Keadaan dimana kadar - Photometer - Cek bilirubin 1 : Ordinal
bilirubin bayi > 12,5 bayi Hiperbiliru-
mg/dl bin
0 : Bilirubin
normal

H. Hipotesa

Ada hubungan inkompatibilitas golongan darah Ibu dan Bayi dengan

kejadian bayi hiperbilirubinemia di ruang Perinatologi RSUD Dr. A. Dadi

Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2012


28

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain

korelasi, yaitu penelitian yang bertujuan untuk melihat hubungan antara gejala

satu dengan gejala yang lain, atau variabel satu dengan variabel yang lain.

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional. Penelitian

cross sectional (Potong lintang) adalah suatu penelitian dengan cara

pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada saat itu (point

time approach). Artinya setiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja

dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter subjek pada saat

penelitian.

B. Subyek Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah ibu dengan bayi yang

dilahirkan di RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung pada bulan

Mei dan Juni tahun 2012 sejumlah 173 responden.

2. Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah total populasi.

Kriteria inklusi:

a. Bayi Aterm

Kriteria eksklusi:
29

a. Bayi premature

b. BBLR (berat < 2500 gram)

c. Lahir dengan tindakan (ekstraksi vacum atau vorcep)

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan April sampai Juli tahun 2012 di ruang

Perinatologi RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung

D. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan analisa hasil

pemeriksaan laboratorium terhadap kadar hiperbilirubin dan golongan darah

ibu dan bayi yang diperoleh langsung dari responden dan melalui catatan

rekam medik.

E. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan:

1. Editing

Bertujuan untuk mengoreksi kelengkapan isian lembar observasi dengan

cara memeriksa kelengkapan kesalahan pengisian.

2. Coding

Pemberian kode pada atribut variabel penelitian untuk memudahkan dalam

analisa data

3. Proccessing

Pemprosesan data dilakukan dengan cara meng-Entry data dari kuesioner

ke paket program komputer.


30

4. Cleaning

Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di–Entry

apakah ada kesalahan atau tidak.

F. Analisa Data

Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisa secara:

1. Analisa Univariat

Analisa univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi

variabel dependen dan variabel independen meliputi data golongan darah

dan kadar bilirubin. Data yang terkumpul dalam penelitian ini akan diolah

dengan menggunakan komputer dalam bentuk prosentase.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara

variabel independen dengan variabel dependen, yaitu pengaruh perbedaan

golongan darah dengan hiperbilirubinemia.

Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi Square dengan rumus

sebagai berikut (Hastono, 2007):

Keterangan:( O – E )2
X2 = ∑
E
X 2 : Chi Square

∑ : Jumlah

O : Frekuensi yang diamati (Observed)

E : Frekuensi yang diharapkan (Expected)

Berdasarkan hasil perhitungan statistik dapat dilihat kemaknaan

hubungan antara 2 variabel dengan menggunakan derajat kepercayaan


31

95% (α 0,05): Jika p value ≤ 0.05 maka bermakna/signifikan, berarti ada

hubungan yang bermakna antara variabel independen dengan variabel

dependen atau hipotesis (Ha) diterima, dan jika p value > 0.05 maka

tidak bermakna/ signifikan, berarti tidak ada hubungan yang bermakna

antara variable independent dengan variabel dependen, atau hipotesis

(Ha) ditolak.
32

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. A. Dadi Tjokrodipo Kota Bandar

Lampung berdiri pada tanggal 29 April 2010 oleh Walikota Bandar Lampung

berdasarkan surat izin nomor: HK.03.05/I/564/11 yang dikepalai oleh Dr. Hj.

Indrasari Aulia bertempat di Jl. Basuki Rachmad No. 73 Teluk Betung Bandar

Lampung.

Visi RSUD dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung adalah

Menjadikan Rumah Sakit yang Profesional, Bermutu, Nyaman dan Mandiri.

Misi RSUD dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung:

1. Menyiapkan sumber daya manusia yang profesional untuk menunjang

pelayanan kesehatan melalui pendidikan dan pelatihan.

2. Pelayanan kesehatan paripurna, bermutu, terjangkau dan informatif serta

berorientasi pada kepuasan pasien

3. Menciptakan lingkungan rumah sakit yang bersih, hijau dan bebas dari

polusi.

4. Mengelola seluruh sumber daya secara transparan, efektif,efisien dan

akuntabel.
33

B. Hasil Penelitian

1. Analisis Univariat

a. Hiperbilirubin

Tabel 5.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Hiperbilirubin
Di dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2012

Hiperbilirubin Jumlah Persentase


Tidak 136 78.6
Ya 37 21.4
Jumlah 173 100.0

Berdasarkan tabel 5. diketahui bahwa bayi yang mengalami

hiperbilirubin sebanyak 37 responden (21,4%).

b. Incompatibilitas Golongan Darah

Tabel 6.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Incompatibilitas Golongan
Darah Di dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2012

Ketidakcocokan Golongan Jumlah Persentase


Darah
Sama 130 75.1
Berbeda 43 24.9
Jumlah 173 100.0

Berdasarkan tabel 6. diketahui bahwa bayi memiliki golongan darah

berbeda dengan ibu sebanyak 43 responden (24,9%).


34

2. Analisa Bivariat

Tabel 7.
Hubungan inkompatibilitas golongan darah Ibu dan Bayi dengan kejadian
bayi hiperbilirubinemia di ruang Perinatologi RSUD Dr. A. Dadi
Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2012

Hiperbilirubin
Incompatibilitas P
Tidak Ya Total OR
Golongan Darah Value
n % n %
Sama 114 87.7 16 12.3 130 0,000 6,801
Berbeda 22 51.2 21 48.8 43 (3,073-
Total 136 78.6 37 21.4 173 15,054)

Berdasarkan tabel 7. dapat dilaporkan bahwa dari 130 responden

dengan golongan darah sama, sebanyak 16 responden (12,3%) mengalami

hiperbilirubin, sedangkan dari 43 responden dengan golongan darah

berbeda sebanyak 21 responden (48,8%) mengalami hiperbilirubin.

Hasil uji Chi Square dilaporkan bahwa nilai p value 0,000, artinya

lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha (0,000 < 0,05). Dengan

demikian dapat disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan

95%, ada hubungan inkompatibilitas golongan darah Ibu dan Bayi dengan

kejadian bayi hiperbilirubinemia di ruang Perinatologi RSUD Dr. A. Dadi

Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2012.

Sedangkan hasil uji analisis dari OR diperoleh nilai 6,801 (CI 95%

3,073-15,054), artinya bayi yang memiliki golongan darah berbeda dengan

ibu berresiko untuk hiperbilirubin sebesar 6,801 kali lebih besar

dibandingkan dengan bayi yang memiliki golongan darah sama dengan

ibu.
35

C. Pembahasan

Hasil penelitian dapat dilaporkan bahwa dari 130 responden dengan

golongan darah sama, sebanyak 16 responden (12,3%) mengalami

hiperbilirubin, sedangkan dari 43 responden dengan golongan darah berbeda

sebanyak 21 responden (48,8%) mengalami hiperbilirubin. Dari 21 responden

tersebut diketahui bahwa 13 responden dengan ibu golongan darah O,

5 responden dengan ibu golongan darah B, 3 responden dengan ibu golongan

darah A.

Hasil uji Chi Square dilaporkan bahwa nilai p value 0,000, artinya lebih

kecil dibandingkan dengan nilai alpha (0,000 < 0,05). Dengan demikian dapat

disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 95%, ada hubungan

inkompatibilitas golongan darah ibu dan bayi dengan kejadian bayi

hiperbilirubinemia di ruang Perinatologi RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo

Bandar Lampung Tahun 2012.

Perbedaan golongan darah antara ibu dengan bayi dapat terjadi karena

golongan darah manusia ditentukan berdasarkan jenis antigen dan antibodi

yang terkandung dalam darahnya.

Tabel 8. Tabel pewarisan golongan darah kepada anak

Ibu/Ayah O A B AB
O O O,A O,B A,B
A O,A O,A O,A,B,AB A,B,AB
B O,B O,A,B,AB O,B A,B,AB
AB A,B A,B,AB A,B,AB A,B,AB

Sumber: id.wikipedia.org/wiki/Golongan_darah(2010)
36

Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat

tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada

neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi

dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit

pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori bahwa peningkatan kadar

bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh

faktor/keadaan antara lain disebabkan oleh hemolisis misalnya pada

inkompalibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan

anak pada penggolongan rhesus dan ABO.

Menurut (Gomella, 2004) kelainan ini paling sering terjadi pada

golongan darah A dan B pada bayi baru lahir dengan ibu bergolongan darah

O. Proses hemolitik dimulai dari dalam kandungan dan dari hasil transport

plasenta aktif dari isoantibody ibu hamil, pada ibu dengan golongan darah O.

Isoantibodi adalah sebagian besar dari 7S-IgG (Imunoglobulin G) dan hal ini

dapat masuk melalui membran plasenta karena ukurannya lebih besar.

Biasanya isoantibodi 19S-IgM (Immunoglobulin M) yang terdapat pada ibu

dengan golongan darah A atau B tidak dapat bercampur.

Teori ini didukung oleh teori Hafidh, dkk (2010) yang menyatakan

bahwa sensitisasi maternal pada ibu dengan golongan darah O oleh antigen A

dan B janin akan memproduksi anti-A dan anti-B berupa IgG, yang dapat

menembus plasenta, masuk ke sirkulasi janin dan menimbulkan hemolisis. Ibu

dengan golongan darah A atau B memiliki anti-A atau anti-B berupa IgM,

yang tidak menembus plasenta.


37

Penelitian lain yang dilakukan Rusmiyanto (2010) yang menunjukkan

bahwa sebagian besar ibu dengan bayi hiperbilirubin memiliki golongan darah

O yaitu sebanyak 16 responden (50,0%), Golongan darah A sebanyak 10

responden (31,3%), Golongan darah B sebanyak 5 responden (15,6%),

Golongan darah AB sebanyak 1 responden 3,1%).

Gejala-gejala klinis dari penyakit ini biasanya tidak tampak sampai bayi

lahir, yang biasanya ditandai dengan anemia hemolitik ringan dengan

retikulositosis, micropherositiosis, dan diawali dengan hiperbilirubin tidak

terkonjugasi (Gomella, 2004).

Pertukaran antar placenta pada Isoantibodi ibu hamil mengakibatkan

reaksi imun antara antigen A atau B dalam eritrosit janin, dengan karakteristik

prosedur microspherocyt. Pada proses ini akhirnya menyebabkan hemolisis

yang terus menerus dapat diseimbangkan oleh pengantian retikulolis dan

pemendekan dari waktu pertukaran sel. Jadi seluruh pemeliharaan dari eritrosit

dalam batas fisiologis.

Penyebab ikterik pada bayi dengan hiperbilirubin adalah karena ketika

hemoglobin dihancurkan didalam tubuh, globin diuraikan menjadi asam

amino pembentuknya yang kemudian akan digunakan kembali, dan zat besi

dari heme akan memasuki depot zat besi yang juga untuk pemakaian kembali.

Bagian porfirin tanpa besi pada heme juga diuraikan, terutama didalam sel-sel

retikuloendotel hati, limpa dan sumsum tulang. Katabolisme heme dari semua

protein heme dilaksanakan dalam fraksi mikrosom sel retikuloendotel oleh

sebuah sistem enzim yang kompleks yang dinamakan heme oksigenase. Pada

saat heme pada protein heme mencapai sitem heme oksigenase, zat besi
38

biasanya sudah teroksidasi menjadi bentuk ferifin yang merupakan hemin.

Sistem heme oksigenase dapat diinduksi oleh substrak. Sistem ini terletak

sama dekat dengan sistem pengangkutan elektron mikrosum. Besi fero sekali

lagi teroksidasi menjadi bentuk feri. Dengan penambahan lebih lanjut oksigen,

ion feri dilepaskan, kemudian karbon monoksida dihasilkan. Satu gram

hemoglobin diperkirakan menghasilkan 35 mg bilirubin. Konversi kimia heme

menjadi bilirubin oleh sel retikuloendotel dapat di amati secara in vivo karena

warna ungu heme pada hematom perlahan-lahan di ubah menjadi pigmen

bilirubin yang berwarna kuning.

Penelitian menunjukkan bahwa ditemukan ibu dengan golongan darah

A, B atau AB dengan bayi hiperbilirubin yaitu sebanyak 8 responden, hal ini

dapat disebabkan karena inkompatibiltas ABO bukanlah satu-satunya

penyebab hiperbilirubin pada bayi, hal lain yang dapat menyebabkan

hiperbilirubin antara lain adalah karena peningkatan produksi dan perdarahan

tertutup misalnya pada trauma kelahiran, ikatan bilirubin dengan protein

terganggu seperti gangguan metabolik yang terdapat pada bayi hipoksia dan

asidosis, defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase), kurangnya

enzim glukoronil transferase, sehingga kadar bilirubin indirek meningkat,

misalnya pada BBLR, kelainan kongenital misalnya obstruksi duktus

koledukus dan duktus hepatikus. Gangguan transportasi akibat penurunan

kapasitas pengangkutan misalnya hipoalbuminemia atau karena pengaruh

obat-obat tertentu misalnya sulfadiazine. Gangguan fungsi hati yang

disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung

merusak sel hati dan sel darah merah seperti infeksi, toksoplasmosis, syphilis.
39

Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra hepatik. Peningkatan sirkulasi

enterohepatik, misalnya pada ileus obstruktif. Mekonium mengandung

bilirubin 1 md/dl dan dapat turut menyebabkan ikterus melalui sirkulasi

enterohepatik sesudah dekonjungasi oleh glukuronidase usus.

Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa hasil penelitian dapat dilihat

bahwa ibu yang banyak anaknya mengalami peningkatan bilirubin adalah ibu

dengan golongan darah O yaitu sebanyak 13 responden, sehingga dianjurkan

pada ibu-ibu khususnya ibu hamil agar melakukan pemeriksaan golongan

darahnya dan pasangannya agar diketahui adanya kemungkinan perbedaan

golongan darah antara ibu dengan bayinya terutama pada ibu dengan golongan

darah O. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi terjadinya hiperbilirubin pada

bayi.

Selain itu pada ibu yang memiliki golongan darah yang berbeda dengan

bayi, saat setelah bayi lahir hendaknya dilakukan observasi terhadap kenaikan

kadar bilirubin sehingga dapat dilakukan tindakan dengan segera untuk

mengatasi peningkatan bilirubin bayi yaitu dengan memberikan kolostrum

segera setelah lahir atau memberikan susu formula yang mengandung

kolostrum dan diberikan terapi sinar matahari pada bayi hingga kadar

bilirubinnya menjadi normal. Oleh karena itu diperlukan pendidikan kesehatan

tentang tanda dan penatalaksanaan bayi setelah lahir termasuk kemungkinan

terjadi hiperbilirubin.
40

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Distribusi frekuensi bayi yang mengalami hiperbilirubin di ruang

Perinatologi RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2012

sebanyak 37 responden (21,4%) .

2. Distribusi frekuensi bayi yang memiliki golongan darah berbeda dengan

ibu di ruang Perinatologi RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung

Tahun 2012 sebanyak 43 responden (24,9%).

3. Ada hubungan inkompatibilitas golongan darah ibu dan bayi dengan

kejadian bayi hiperbilirubinemia di ruang Perinatologi RSUD Dr. A. Dadi

Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2012 (p value 0,000).

B. Saran

1. Bagi Rumah Sakit

Agar memberikan informasi kepada masyarakat tentang resiko

hiperbilirubin pada ibu yang memiliki golongan darah yang berbeda

dengan bayi dalam bentuk penyuluhan, pemasangan poster, leaflet dan

lain-lain.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Agar memperbanyak literatur atau referensi guna mendukung proses

penelitian.
41

3. Bagi Penelitian Selanjutnya

Agar melakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor resiko bayi

hiperbilirubih dengan menggunakan variabel yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai