Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angka kematian bayi (AKB) dapat didefinisikan sebagai banyaknya yang meninggal
sebelum usia 1 tahun yang dinyatakan dalam 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang
sama. AKB merupakan indikator yang biasanya digunakan untuk menentukan derajat
kesehatan masyarakat (SDKI, 2011).
Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi, dilihat dari sisi penyebabnya
kematian bayi ada dua macam yaitu endogen dan eksogen. Faktor yang dapat dikaitkan
dengan kematian bayi endogen dan eksogen adalah kematian endogen atau yang umum
disebut kematian neonatal adalah kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah
dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir yang
diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan.
Sedangkan kematian eksogen atau kematian postnatal adalah kematian bayi yang terjadi
setelah usia 1 bulan sampai menjelang usia 1 tahun yang disebabkan faktor-faktor yang
bertalian dengan pengaruh lingkungan luar akibat dari kurangnya pengetahuan orang tua
dalam merawat bayinya (Depkes, 2016).
Menurut WHO 2009 angka kematian bayi di Negara tetangga tahun 2007 seperti
singapura 3% per 1.000 kelahiran hidup, Malaysia 6,5% per 1.000 kelahiran hidup,
Thailand 17% per 1.000 kelahiran hidup, Vietnam 18% per 1.000 kelahiran hidup dan
philipina 26% per 1.000 kelahiran hidup sedangkan angka kematian bayi di Indonesia
cukup tinggi yakni 46,5% per 1.000 kelahiran hidup (Depkes, 2016).
Ikterus merupakan salah satu fenomena yang sering ditemukan pada bayi baru lahir,
kejadian ikterus pada bayi baru lahir berkisar antara 25-50% pada bayi cukup bulan 80%
pada bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan
sebagian bersifat patologis (hiperbilirubinemia) yang dapat menimbulkan dampak yang
buruk (SDKI, 2011). Dampak buruk yang diderita bayi seperti : kulit berwarna kuning
sampai jingga, klien tampak lemah, urine menjadi berwarna gelap sampai berwarna
coklat dan apabila penyakit ini tidak ditangani dengan segera maka akan menimbulkan
dampak yang lebih buruk lagi yaitu kernicterus (kerusakan pada otak) yang ditandai
dengan bayi tidak mau menghisap, letargi, gerakan tidak menentu, kejang, tonus otot
kaku, leher kaku (Suriadi, 2017).
Peran perawat dalam keperawatan ini sebagai innovator, fasilitator dan pendidik dan
sebagai pemberi pelayanan kesehatan yang sangat dibutuhkan dalam melakukan asuhan
keperawatan kepada klien secara menyeluruh baik biologis, psikologis, social, budaya
dan spiritual yang meliputi beberapa aspek antara lain aspek promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif. Dari aspek promotif adalah dimana perawat berperan sebagai promotor
kesehatan yang perlu memberikan informasi ataupun pendidikan kesehatan tentang
pentingnya hidup sehat dan melakukan pemeriksaan kandungan secara rutin. Perawat
sebagai aspek preventif adalah menganjurkan kepada ibu hamil untuk berhati-hati
terhadap penggunaan obat-obatan dan pemenuhan gizi yang baik untuk bayi. Aspek
kuratif perawat berkolaborasi dalam pemberian terapi (fototherapi,transfuse pengganti,
infus albumin dan therapy obat). Peran perawat sebagai rehabilitatif adalah perawat
mengembalikan kondisi klien setelah mengalami penurunan kadar bilirubin dan
menginformasikan kepada ibu

1
Peran perawat sangatlah penting pada kasus ini. Peran perawat sangat berguna untuk
memberikan asuhan keperawatan dan kode etik dalam menangani pasien dengan
diagnosa hiperbilirubin. Pada kenyataannya kita lihat dilapangan banyak pasien
hiperbilirubin yang pemberian asuhan keperawatan yang kurang maksimal, contohnya
pada fototerapi, seharusnya mempunyai kontrol atau pengawasan, tetapi banyak perawat
yang lalai dalam hal tersebut. Pada saat pengkajian ditemukan tiga dari sepuluh bayi
yang di rawat inap perinatology dengan diagnosa ikterus neonatum, dimana ketiga bayi
tersebut sedang di fototerapi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari Hiperbilirubin?

2. Apa etiologi dari Hiperbilirubin?

3. Apa anfis dari Hiperbilirubin?

4. Apa patofisiologi dan WOC dari Hiperbilirubin?

5. Apa manifestasi klinis dari Hiperbilirubin?

6. pengertian dari Hiperbilirubin?

7. Apa etiologi dari Hiperbilirubin?

8. Apa anfis dari Hiperbilirubin?

9. Apa patofisiologi dan WOC dari Hiperbilirubin?

10. Apa manifestasi klinis dari Hiperbilirubin?

11. Bagaimana klasifikasi dari Hiperbilirubin?

12. Bagaimana pnatalaksanaan dari Hiperbilirubin?

13. Apa komplikasi dari Hiperbilirubin?

14. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari Hiperbilirubin?

15. ASKEP dari Hiperbilirubin?

16. Bagaimana pnatalaksanaan dari Hiperbilirubin?

17. Apa komplikasi dari Hiperbilirubin?

2
18. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari Hiperbilirubin?

19. ASKEP dari Hiperbilirubin?

1.3 Tujuam dan Manfaat

Tujuan dari makalah ini yaitu :

1. Agar mengetahui pengertian dari Hiperbilirubin?

2. Agar memahami etiologi dari Hiperbilirubin?

3. Agar memahami anfis dari Hiperbilirubin?

4. Agar memahami patofisiologi dan WOC dari Hiperbilirubin?

5. Agar memahami manifestasi klinis dari Hiperbilirubin?

6. Agar memahami bagaimana klasifikasi dari Hiperbilirubin?

7. Agar memahami bagaimana penatalaksanaan dari Hiperbilirubin?

8. Agar mengetahui komplikasi dari Hiperbilirubin?

9. Agar mengetahui bagaimana pemeriksaan penunjang dari Hiperbilirubin?

10. Agar mengetahui ASKEP dari Hiperbilirubin?

3
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Pengertian Hiperbilirubin

Hiperbilirubin adalah warna kuning pada bayi yang ditandai pada kulit, mukosa

akibat akumulasi bilirubin dan diberi istilah jaundice atau ikterus (Bobak, 2004).

Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar

nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2001).

Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah

mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern icterus kalau

tidak ditanggani dengan baik atau mempunyai hubungan dangan keadaan yang patologis.

Brown menetapkan hiperbilirubin bila kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup

bulan dan 15 mg% pada bayi kurang bulan (Harison, et all, 2000).

Hiperbilirubin adalah istilah yang dipakai untuk icterus neonatorum setelah ada

hasil laboratorium yang menunjukan peningkatan kadar serum bilirubin (Iyan, 2009).

Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin mencapai suatu

nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kern ikterik bila tidak ditanggulangi dengan

baik

2.2 Etiologi

Menurut Haws Paulette (2007) penyebab hiperbilirubin yaitu :

1. Hemolysis pada inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian

golongan darah ibu dan anak pada golongan rhesus dan ABO

4
2. Gangguan konjugasi bilirubin.

3. Rusaknya sel-sel hepar, obstruksi hepar.

4. Pembentukan bilirubin yang berlebihan.

5. Keracunan obat (hemolysis kimia : salsilat, kortiko steroid, kloramfenikol)

6. Bayi dari ibu diabetes, jaundice ASI

7. Penyakit hemolitik yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah

merah,disebut juga icterus hemolitik.

8. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan , misalnya

hiperbilirubin atau karena pengaruh obat-obatan.

9. Bayi imatur, hipoksia, BBLR dan kelainan system syaraf pusat akibat trauma atau

infeksi.

10. Gangguan fungsi hati (infeksi) yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme

atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti : infeksi

toxoplasma, shypilis.

2.3 Anatomi Fisiologi

Hati adalah organ yang terbesar yang terletak disebelah kanan atas rongga perut

dibawah diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5% dari berat badan orang dewasa normal.

Pada kondisi hidup berwarna merah tua karena kaya akan persendian darah. Hati terbagi

menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh ligamentum falciforme. Lobus

kanan yang lebih besar dari lobus kirinya dan mempunyai tiga bagian utama yaitu lobus

kanan atas, lobus caudatus dan lobus quadrates (Price & Wilson, 2005).

Hati disuplai oleh pembuluh darah,yaitu :

5
1. Vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus yang kaya akan nutrient

seperti asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan mineral.

2. Arteri hepatica cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.

Fungsi hati

1. Mengubah zat makanan yang di absorbsi dari usus dan yang disimpan dari suatu

tempa dalam tubuh dikeluarkan sesuai dengan pemakaiannya.

2. Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk diekskresikan dalam empedu dan urine.

3. Menghasilkan enzim glikolik glukosa menjadi glukogen.

4. Sekresi empedu, garam empedu dibuat dihati dibentuk dalam retikulo endulium

dialirkan ke empedu

5. Untuk menyimpan berbagai zat seperti mineral (Cu,Fe) serta vitamin yang larut dalam

lemak (vitamin A,D,E,K) glikogen dan berbagai racun yang tidak dapat dikeluarkan

dalam tubuh (seperti peptisida).

6. Untuk fagositosis mikroorganisme, eritrosit dan leukosit yang sudah tua dan rusak.

7. Untuk pembentukan ureum, hati menerima asam amino di ubah menjadi ureum,

dikeluarkan dari darah oleh ginjal dalam bentuk urine.

8. Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat dan air.

2.4 Patofisologi

Terjadinya hiperbilirubin diantaranya yaitu, hemolysis, rusaknya sel-sel hepar,

gangguan konjugasi bilirubin. Setelah pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi

akan mengalami gangguan dalam hati dan tidak bisa mengikat bilirubin dan

6
mengakibatkan peningkatan bilirubin yang terkonjugasi dalam darah yang

mengakibatkan warna kuning pucat pada kulit (Haws Paulette S, 2007).

Bilirubin yang tak terkonjugasi dalam hati tidak mampu diubah oleh enzim

glukoronil transferase yang berfungsi untuk merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi

bilirubin konjugasi sehingga bilirubin yang tak dapat diubah akan larut dalam lemak dan

mengakibatkan ikterik pada kulit. Bilirubin yang tak terkonjugasi tidak larut dalam air ini

tidak bisa diekskresikan dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Namun demikian

terjadi peningkatan pembentukan urobilinogen (akibat peningkatan bilirubin terhadap

hati dan peningkatan konjugasi serta ekskresi) yang selanjutnya mengakibatkan

peningkatan ekskresi dalam feses dan urine dan feses berwarna gelap (Price, Sylvia

Anderson, 2006).

Oleh sebab itu dengan semakin banyaknya bilirubin yang larut dalam lemak akan

memberikan dampak yang buruk terhadap kerja hepar karna secara terus menerus

melakukan transferase tanpa adanya pembuangan melalui eliminasi, dan jika berlanjut

akan menyebabkan hepatomegaly yang mengakibatkan terjadinya rasa mual muntah, jadi

dengan adanya peningkatan bilirubin didalam darah maka akan menyebabkan terjadinya

hiperbilirubin. apabila bilirubin tak terkonjugasi melampaui 20 mg/dl maka akan terjadi

suatu keadaan yang disebut kernicterus jika tidak dengan segera maka akan dapat

mengakibatkan kejang , tonus otot kaku, spasme otot, reflek hisap lemah (Price, Sylvia

Anderson, 2006).

7
2.5 Manifestasi klinis

1. Kulit jaundice (kuning)

2. Sklera ikterik

3. Peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dl pada neonatus yang cukup bulan

dan 15 mg% pada neonatus yang kurang bulan.

4. Kehilangan berat badan sampai 5% selama 24 jam yang disebabkan oleh

rendahnya intake kalori

5. Asfiksia

6. Hipoksia

7. Sindrom gangguan nafas

8. Pemeriksaan abdomen terjadi bentuk perut yang membuncit

9. Feses berwarna seperti dempul dan pemeriksaan neurologis dapat ditemukan

adanya kejang

10. Epistotonus (posisi tubuh bayi melengkung)

11. Terjadi pembesaran hati

12. Tidak mau minum ASI

13. Letargi

2.6 Klasifikasi

Ada 2 macam icterus menurut (Vian Nanny Lia Dewi, 2010) yaitu :

1.       Ikterus fisiologi (direks)

Timbul pada hari ke-2 atau ke 3, kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih

dari 10 mg/dl dan 12 mg/dl pada bayi kurang bulan, Peningkatan kecepatan kadar

8
bilirubin tidak melebihi 5 mg/dl per hari, Ikterus hilang 10-14 hari, dan Tidak ada

mempunyai hubungan dengan patologi

2. Ikterus patologis

Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan, Peningkatan kadar bilirubin 5 mg/dl

atau lebih dalam 24 jam, Apabila kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak

lebih dari 10 mg/dl dan 10 mg/dl pada bayi kurang bulan, Ikterus menetap setelah 2

minggu, dan Mempunyai hubungan dengan hemolitik.

2.7 Penatalaksanaan

Penanganan hiperbilirubin pada bayi baru lahir menurut Varney (2007), antara lain :

1. Memenuhi kebutuhan atau nutrisi

- Beri minum sesuai kebutuhan, karena bayi malas minum, berikan berulang-

ulang, jika tidak mau menghisap dot berikan pakai sendok. Jika tidak dapat habis berikan

melalui sonde

- Perhatikan frekuensi buang air besar, mungkin susu tidak cocok (jika bukan

ASI) mungkin perlu ganti susu.

2. Mengenal gejala dini mencegah meningkatnya ikterus

- Jika bayi terlihat mulai kuning, jemur pada matahari pagi (sekitar pukul 1- 8

selama 30 menit)

- Periksa darah untuk bilirubin, jika hasilnya masih dibawah7 mg% ulang esok

harinya.

- Berikan banyak minum

9
- Perhatikan hasil darah bilirubin, jika hasilnya 7 mg% lebih segara hubungi dokter,

bayi perlu terapi

3. Gangguan rasa aman dan nyaman akibat pengobatan

- Mengusahakan agar bayi tidak kepanasan atau kedinginan

- Memelihara kebersihan tempat tidur bayi dan lngkungannya

- Mencegah terjadinya infeksi ( memperhatikan cara bekerja aseptik).

2.8 Komplikasi

1. Bilirubin encephalopathy (komplikasi serius).

2. Kernikterus, kerusakan neurologis, cerebral palsy, retardasi mental, hyperaktif, bicara

lambat, tidak ada koordinasi otot dan tangisan melengking.

2.9 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan pada bayi hiperbilirubin yaitu :

a.       Tes comb pada tali pusat bayi baru lahir : hasil positif tes comb indirek

menandakan adanya antibody Rh-positif, anti-A, atau anti-B dalam darah ibu. Hasil

positif dari tes comb direk menandakan adanya sentisisasi (Rh-positif, anti-A, anti-B) sel

darah merah dari neonatus.

b.      Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.

c.       Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi bermakna jika melebihi 1,1-1,5 mg/dl,

yang mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tak terkonjugasi) tidak boleh

melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada

bayi yang cukup bulan atau 15 mg/dl pada bayi praterm (tergantung BB bayi).

10
d.      Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 mg/dl menandakan penurunan kapasitas

ikatan, terutama pada bayi paterm.

e.       Hitung darah lengkap : hemoglobin mungkin rendah (< 14 mg/dl) karena

hemolisis. Hematokrit mungkin meningkat (> 65%) pada polisitemia, penurunan (<

45%) dengan hemolisis dan anemia berlebihan.

f.       Daya ikat karbondioksida : penurunan kadar menunjukan hemolisis.

g.      Meter ikterik transkutan : mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan

bilirubin serum.

h.      Jumlah retikulosit : peningkatan retikulosit menandakan peningkatan produksi sel

darah merah dalam respons terhadap hemolisis yang berkenaan dengan penyakit Rh.

i.        Smear darah perifer : dapat menunjukan sel darah merah abnormal atau imatur,

eritroblastosis pada penyakit Rh atau sferositis pada inkompabilitas ABO.

j.        Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus

neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.

 k.      Ultrasonografi, digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic

dengan ekstrahepatic.

l.        Biobsy hati, digunakan untuk memastikan terutama untuk pada kasus yang sukar

seperti diagnosa membedakan obstruksi ekstrahepatic dengan intra hepatic selain itu juga

untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hepatis dan hepatoma.

m.    Radioisotop scan, digunakan untuk membantu membedakan hepatitis dan atresia

billiari.

n.      Scanning enzim G6PD untuk menunjukan adanya penurunan bilirubin.

11
SOP / PENATALAKSANAAN HIPERBILIRUBIN

CARA KERJA
1. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut
dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin.
2. Ketika bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi.
3. Terdapat konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang
dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui empedu.
4. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada
manusia.
5. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonyugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole
yang diekskresikan lewat urin. Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk
asalnya dan secara langsung bisa dieksreksikan melalui empedu
6. Dari empedu kemudian diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses
tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch, 1984).
7. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa diekskresikan lewat urin.
8. Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin,
tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan
Anemia.

KRITERIA ALAT
1. Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm.
2. Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm.
3. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi.
4. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru
(F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes .

PROSEDUR PEMBERIAN FOTOTERAPI


Persiapan Unit Terapi sinar
1. Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar ditempatkan, bila perlu, sehingga suhu di
bawah lampu antara 38 0C sampai 30 0C.
2. Nyalakan mesin dan pastikan semua tabung fluoresens berfungsi dengan baik.
3. Ganti tabung/lampu fluoresens yang telah rusak atau berkelip-kelip (flickering):
a. Catat tanggal penggantian tabung dan lama penggunaan tabung tersebut.
b. Ganti tabung setelah 2000 jam penggunaan atau setelah 3 bulan, walaupun tabung
masih bisa berfungsi.
4. Gunakan linen putih pada basinet atau inkubator, dan tempatkan tirai putih di sekitar
daerah unit terapi sinar ditempatkan untuk memantulkan cahaya sebanyak mungkin
kepada bayi

Pemberian Terapi sinar


1. Tempatkan bayi di bawah sinar terapi sinar.

12
a. Bila berat bayi 2 kg atau lebih, tempatkan bayi dalam keadaan telanjang pada basinet.
Tempatkan bayi yang lebih kecil dalam inkubator.
b. Letakkan bayi sesuai petunjuk pemakaian alat dari pabrik.
2. Tutupi mata bayi dengan penutup mata, pastikan lubang hidung bayi tidak ikut
tertutup. Jangan tempelkan penutup mata dengan menggunakan selotip.
3. Balikkan bayi setiap 3 jam
4. Pastikan bayi diberi makan:
5. Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI ad libitum, paling kurang setiap 3
jam:
6. Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar dan lepaskan penutup mata
7. Pemberian suplemen atau mengganti ASI dengan makanan atau cairan lain (contoh:
pengganti ASI, air, air gula, dll) tidak ada gunanya.
8. Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa (ASI perah),
tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari selama bayi
masih diterapi sinar .
9. Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT, jangan pindahkan bayi
dari sinar terapi sinar .
10. Perhatikan: selama menjalani terapi sinar, konsistensi tinja bayi bisa menjadi lebih
lembek dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan terapi khusus.
11. Teruskan terapi dan tes lain yang telah ditetapkan:
12. Pindahkan bayi dari unit terapi sinar hanya untuk melakukan prosedur yang tidak
bisa dilakukan di dalam unit terapi sinar .
13. Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan sinar terapi sinar sebentar untuk
mengetahui apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah dan bibir biru)
14. Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi sinar setiap 3 jam. Bila suhu
bayi lebih dari 37,5 0C, sesuaikan suhu ruangan atau untuk sementara pindahkan bayi
dari unit terapi sinar sampai suhu bayi antara 36,5 0C – 37,5 0C.
15. Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam, kecuali kasus-kasus khusus:
16. Hentikan terapi sinar bila kadar serum bilirubin < 13mg/dL
17. Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi tukar, persiapkan
kepindahan bayi dan secepat mungkin kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter untuk
transfusi tukar. Sertakan contoh darah ibu dan bayi.
18. Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa, hentikan terapi sinar setelah 3 hari.
19. Setelah terapi sinar dihentikan:
20. Observasi bayi selama 24 jam dan ulangi pemeriksaan bilirubin serum bila
memungkinkan, atau perkirakan keparahan ikterus menggunakan metode klinis.
21. Bila ikterus kembali ditemukan atau bilirubin serum berada di atas nilai untuk
memulai terapi sinar , ulangi terapi sinar seperti yang telah dilakukan. Ulangi langkah ini
pada setiap penghentian terapi sinar sampai bilirubin serum dari hasil pemeriksaan atau
perkiraan melalui metode klinis berada di bawah nilai untuk memulai terapi sinar.

13
22. Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan baik dan tidak
ada masalah lain selama perawatan, pulangkan bayi.
23. Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat untuk membawa kembali bayi bila
bayi bertambah kuning

14
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

1.      Pengkajian

a.      Identitas

meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, umur,jenis kelamin,anak-ke, BB/TB, alamat.

b.      Riwayat kesehatan

1.      Riwayat kesehatan sekarang

Biasanya keadaan umum lemah , TTV tidak stabil terutama suhu tubuh. Reflek hisap

menurun, BB turun, pemeriksan tonus otot (kejang/tremor). Hidrasi bayi mengalami

penurunan, kulit tampak kunin, sclera mata kuning, perubahan warna pada feses dan

urine (Cecely Lynn Betz, 2009).

2.      Riwayat kesehatan keluarga

Kemungkinan ibu dengan rhesus (-) atau golongan darah O dan anak yang mengalami

neonatal icterus yang dini, kemungkinan adanya erytrolastosisfetalis (Rh, ABO,

incompatibilitas lain golongan darah suspect sph). Ada saudara yang menderita penyakit

hemolitik bawaan atau icterus (Haws Paulettet, 2007).

3.      Riwayat kehamilan

a.       Ketuban pecah dini, kesukaran dengan manipulasi berlebihan merupakan

predisposisi terjadinya infeksi.

b.      Pemberian obat anastesi, analgesic yang berlebihan akan mengakibatkan gangguan

nafas (hypoksia), asidosis akan menghambat konjugasi bilirubin.

c.       Bayi dengan APGAR score rendah memungkinkan terjadinya (hypoksia), asodosis

yang akan menghambat konjugasi bilirubin

15
d.      Kelahiran premature berhubungan dengan prematuritas organ tubuh hepar.

c.       Pemeriksaan Fisik

1.      KU : biasanya lesu, biasanya letargi coma

2.      TTV

TD : -

N : 120-160x/i

R : biasanya 40x/i

S : biasanya 36,5 – 37 ºC

3.      Kesadaran : biasanya apatis sampai koma.

4.      Kepala, mata dan leher

Kulit kepala tidak terdapat bekas tindakan persalinan seperti : vakum atau terdapat caput.

Biasanya dijumpai ikterus mata (sclera) dan selaput mukosa pada mulut. Dapat juga

diidentifikasi icterus dengan melakukan tekanan langsung pada daerah menonjol untuk

bayi dengan kulit bersih (kuning) (Haws, Paulette S.Hasws, 2007).

5.      Hidung : biasanya tampak bersih

6.      Mulut : ada lendir atau tidak, ada labiopalatoskisis atau tidak (Hidayat, 2009). Pada

kasus mulut berwarna kuning (Saifuddin, 2002).

7.      Telinga : biasanya tidak terdapat serumen.

8.      Thorak : Biasanya selain ditemukan tanpak icterus juga dapat ditemukan

peningkatan frekuensi nafas. Biasanya status kardiologi menunjukan adanya tachycardia,

khususnya icterus disebabkan oleh adanya infeksi.

9.      Abdomen : Biasanya perut buncit, muntah, mencret merupakan akibat gannguan

metabolism bilirubin enterohepatik.

16
10.  Urogenital : Biasanya feses yang pucat seperti dempul atau kapur akibat gangguan

hepar atau atresia saluran empedu.

11.  Ekstremitas : Biasanya tonus otot lemah.

12.  Integument : Biasanya tampak ikterik, dehidrasi ditunjukan pada turgor tangan jelek,

elastisitas menurun.

NO SDKI SIKI SLKI HAL


1 1.Hipertemia 1. Definisi: Kriteria hasil: D.0130
berhubungan 1. Kejang I.15506
Mengidentifikasi dan
dengan terpapar menurun (181)
mengelola peningkatan
lingkungan panas skor 1 L.14134
( efek suhu tubuh akibat disfungsi 2. Suhu tubuh (129)
fototeraphi ) membaik
temoregulasi.
dibuktikan skor 5
Tindakan:
dengan suhu 3. Suhu kulit
diatas nilai Observasi: membaik
normal skor 5
 Identifikasi
4. Pucat
penyebab menurun
hipertermia skor 1

 Monitor suhu tubuh

 Monitor komplikasi

akibat hipertermia

Terapeutik:

 Longgarkan atau

lepaskan pakaian

 Basahi dan kipasi

17
bagian tubuh

 Berikan cairan oral

 Ganti linen setiap

hari

 Berikan oksigen

Edukasi

 Anjurkan tirah

baring

Kolaborasi

 Kolaborasi

pemberian cairan

dan elektrolit

intravena,jika perlu

2 2.Defisit nutrisi Defisit nutrisi Kriteria hasil: D.0019


berhubungan I.03119
berhubungan dengan a. Kekuatan otot
dengan (200)
ketidakmampuan mengunyah
ketidakmampuan L.03030
mencerna mencerna makanan meningkat skor 5 (121)
makanan
dibuktikan dengan b. Kekuatan otot
dibuktikan
mukosa pucat menelan meningkat
dengan mukosa
pucat Definisi: skor 5

 Mengidentifikasi c. Frekuensi makan

dan mengelola membaik skor 5

asupan nutrisi yang d. Nafsu makan

18
seimbang membaik skor 5

Observasi e. Membran mukosa

 Identifikasi status membaik skor5

nutrisi

 Identifikasi alergi

dan intoleransi

makanan

 Identifikasi

kebutuhan kalori

dan jenis nutrien

 Identifikasi perlunya

penggunaan

penggunaan selang

nasogastrik

 Monitor berat badan

 Monitor hasil

pemeriksaan

laboratorium

Terapeutik

 Lakukan oral

hygiene sebelum

makan jika perlu

 Sajikan makanan

19
yang menarik dan

suhu yang sesuai

 Berikan makanan

tinggi serat agar

menghindari

konstipasi

 Berikan makanan

tinggi kalori dan

tinggi protein

 Hentikan pemberian

makanan melalui

selang nasogastrik

jika asupan oral

dapat di toleransi

Edukasi

 Anjurkan posisi

duduk

Kolaborasi

 Kolaborasi dengan

ahli gizi untuk

menentukan jumlah

kalori yang

diberikan dan jenis

20
nutrien

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Pada implementasi yaitu melakukan tinadakan yang sudah direncanakan pada


intervensi tadi secara optimal

EVALUASI KEPERAWATAN

Merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan
pada klien. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP

S : Perkembangan keadaan didasarkan pada apa yang dirasakan, dikeluhkan dan


dikemukakan klien
O : Perkembangan yang bisa diamati dan diukur oleh perawat atau tim kesehatan
lain
A : Kedua jenis data tersebut, baik subjectif dinilai dan dianalisis, apakah
berkembang kearah perbaikan atau kemunduran. Hasil analisis dapat
menguraikan sampai dimana masalah yang ada dapat diatasi atau adakah
perkembangan masalah baru yang menimbulkan diagnosa keperawatan baru.
P : Rencana penanganan klien dalam hal ini didasarkan pada hasil analisis diatas
yang berisi melanjutkan rencana sebelumnya apabilakeadaan atau masalah belum
teratasi dan membuat rencana baru bila rencana awal tidak efektif

BAB III

PENUTUP

21
A.     Kesimpulan
Hiperbilirubin adalah suatu kedaaan dimana kadar bilirubin serum total yang lebih
dari 10 mg % pada minggu pertama yang ditendai dengan ikterus pada kulit, sclera dan
organ lain. Keadaan ini mempunyai potensi meningkatkan kern ikterus, yaitu keadaan
kerusakan pada otak akibat perlengketan kadar bilirubin pada otak. Hiperbilirubin ini
keadaan fisiologis (terdapat pada 25-50 % neonatus cukup bulan dan lebih tinggi pada
neonates kurang bulan).
Hiperbilirubin ini berkaitan erat dengan riwayat kehamilan ibu dan prematuritas.
Selain itu, asupan ASI pada bayi juga dapat mempengaruhi kadar bilirubin dalam darah.

B.     Saran
Bagi pembaca di sarankan untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan Ikterus
pada bayi, Sehingga dapat di lakukan upaya-upaya yang bermanfaat untuk
menanganinya secara efektif dan efisien.

MAKALAH

22
HIPERBILIRUBIN

Dosen Pembimbing : Sandra Dewi, A.Mk, S.Pd, M.Kes

Oleh Kelompok 11

Indry Oktaviani

Rifka Delvia

PRODI DIII KEPERAWATAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

SUMATERAB BARAT

2020

DAFTAR ISI

23
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………..…………………………………………1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………….1
1.3 Tujuan…………………………………………………………………………...1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian…………………..……………………………………………………1
2.2 Etiologi…………………….………………………………….…………………1
2.3 Anatomi Fisiologi………………….…………………………………………….1
2.4 Patofisiologi dan WOC…………………………………………….……………1
2.5 Manifestasi Klini……………………………………………………….………..1
2.6 Klasifikasi………………………………………………………………………..1
2.7 Penatalaksanaan………………………………………………………………….1
2.8 Komplikasi……………………………………………………………………….1
2.9 Pemeriksaan Diagnostik………………………………………………………….1
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
3.1 Pengkajian…………………………………….…………………………………1
3.2 Diagnosa Keperawatan………………………………………………………1
3.3 Intervensi Keperawatan……………………………………………………..1
3.4 Implementasi dan Evaluasi………………………………………………….1
BAB V PENUTUP
4.1 Kesimpulan……………………………………………………………………….1
4.2 Saran……………………………………………………………………………...1
DAFTAR PUSTAKA

24

Anda mungkin juga menyukai