Anda di halaman 1dari 49

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2015 jumlah

kematian bayi secara global sudah mencapai angka 31,7 per 1000 kelahiran hidup dan

angka kematian neonatal mencapai 19,2 per 1000 kelahiran hidup, di Asia Tenggara

sendiri memiliki angka kematian bayi (AKB) sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup dan

angka kematian neonatal 24,3 per 1000 kelahiran hidup (WHO, 2015).

Pada tahun 2017 berdasarkan data yang didapatkan dari Survei Demografi dan

Kesehatan Indonesia (SDKI) yang sudah ada AKB di indonesia sudah mencapai 24

kematian per 1000 kelahiran , pada data tersebut menunjukkan bahwa adanya

penurunan AKB dari tahun 2012. Namun, angka tersebut belum mencapai target MDGs

di tahun 2015, yakni 23 kematian per 1.000 kelahiran hidup dengan demikian bisa

dikatakan bahwa AKB di Indonesia masih tergolong sangat tinggi (Kemenkes RI,

2017).

Saat ini salah satu indikator penentu kesehatan pada Era millenium Development

Goals (MDGs) adalah kematian neonatal namun pada masa ini sudah berakhir pada

tahun 2015, tetapi seluruh negara didunia termasuk indonesia menyutujui sebuah

metode baru yaitu The Sustainable Development Goals (SDGs) dimana pada metode ini

terdapat suatu target dan komitmen baru yang telah disepakati bersama untuk mencapai

penurunan angka kematian neonatal setidaknya 12 kematian per 1.000 kelahiran hidup

(Bappenas, 2016).
2

Angka Kematian Neonatal (AKN) merupakan angka kematian yang terjadi sejak

bayi baru dilahirkan hingga bayi berumur kurang dari 28 hari dalam kurun waktu satu

tahun. Sedangkan neonatus yakni bayi baru dilahirkan sampai dengan usia 28 hari.

(Kemenkes, 2017).

Berdasarkan Australia Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health

di Provinsi Nusa Tenggara Timur menyatakan bahwa faktor risiko yang menyebabkan

kematian neonatal yaitu neonatal yang mengalami komplikasi pada pada saat dilahirkan,

neonatal memiliki masalah kesehatan, rendahnya pengetahuan ibu, Bayi Berat Lahir

Rendah (BBLR), komplikasi kehamilan, melakukan persalinan di rumah, ibu memiliki

riwayat komplikasi, bayi tidak mendapatkan inisiasi dini ASI, kehamilan risiko tinggi

(umur berisiko) dan usia menikah terlalu dini (Abdullah, 2012).

Salah satu Penyebab utama kematian bayi baru lahir atau Neonatal di Dunia

antara lain bayi lahir premature 29%, sepsis dan pneumonia 25% dan 23% merupakan

bayi lahir dengan Asfiksia dan trauma. Asfiksia menempati salah satu penyebab

kematian bayi ke-3 di dunia dalam periode awal kehidupan (WHO, 2008).

Berdasarkan data dinas kesahatan Provinsi Lampung tahun 2015 menunjukkan

bahwa penyebab kematian terbesar pada masa perinatal (

0- 6 hari) disebakan karena asfiksia (37,14%) dan 50% nya adalah kelahiran mati pada

kematian perinatal. Kematian pada massa neonatal ( 7- 28 hari) penyebab kematian

paling besar disebabkan karena BBLR (28,18%) dan pada masa bayi (>28 hari - < 1

tahun) penyebab kematian terbesar adalah pneumonia (10%), diare (11%), infeksi

(11%), dan penyebab lainnya (82%) (Salwa,2017)


3

Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernapas secara spontan dan teratur segera

setelah lahir dan sering dijumpai pada bayi selama atau sesudah persalinan. Masalah ini

ada kaitannya dengan keadaan ibu, tali pusat ataupun masalah pada bayi selama

ataupun setelah persalinan. Misalnya paa bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin

maka akan mengalami asfiksia setelah persalinan. (Rukmono, 2017)

Berdasarkan uraian diatas maka peniliti tertarik untuk melakukan penelitiaan

dengan judul “Hubungan Kematian Neonatal dengan Kejadian Asfiksia di Rumah

Sakit Dr. H. A bdoel Moeloek Bandar Lampung Tahun 2019”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, di tetapkan bahwa yang menjadi rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara Kematian bayi dan

neonatal dengan kejadian asfiksia di Rumah Sakit Dr. H . Abdul Moeloek tahun 2019 ?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara Kematian Bayi dan Neonatal dengan

kejadian Asfiksia di Rumah Sakit Dr. H . Abdul Moeloek tahun 2019.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui distribusi frekuensi Neonatus yang mengalami Kejadian Asfiksia

di Ruang Perinatologi Rumah Sakit Dr. H . Abdul Moeloek tahun 2019.

2. Mengetahui hubungan antara Kematian Neonatal dengan kejadian Asfiksia di

Ruang Perinatologi Rumah Sakit Dr. H . Abdul Moeloek tahun 2019. .


4

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi tentang hubungan

kematian neonatal dengan kejadian asfiksia serta sebagai bahan pembelajaran untuk

penelitian selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Universitas Malahayati , penelitian ini dapat digunakan sebagai

gambaran kejadian asfiksia neonatarium dan sebagai bahan pembelajaran

referensi ilmu pengetahuan serta dapat menambah daftar kepustakaan di

Universitas malahayati.

2. Bagi Peneliti , Agar peneliti lebih mengerti dan menambah wawasan

pengetahuan serta pengalaman dalam menerapkan ilmu khususnya tentang

cara mencegah atau mengantisipasi terjadinya kematian neonatal dan lahir

mati akibat asfiksia.

3. Bagi peneliti selanjutnya , Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi

bahan informasi untuk pengembangan ilmu yang telah didapatkan selama

pendidikan serta sebagai bahan perbandingan pada kasus penelitian yang

sama dan menambah referensi pada penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup

1.5.1 Jenis Penelitian

Analitik Crossectional

1.5.2 Objek Penelitian


5

Kematian neonatal yang disebabkan oleh asfiksia di Ruang Perinatologi Rumah

Sakit Dr. H . Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun 2019

1.5.3 Subjek Penelitian

Neonatal dengan Asfiksia di Rumah Ruang Perinatologi Sakit Dr. H .Abdul

Moeloek Bandar Lampung tahun 2019

1.5.4 Lokasi Penelitian

Tempat penelitian ini dilakukan di Ruang Perinatologi Rumah Sakit Dr. H .

Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun 2020

1.5.5 Waktu Penelitian

Penelitian Ini dilakukan pada bulan Agustus - September 2020


6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kematian Neonatal

2.1.1 Definisi Neonatus

Menurut Muslihatun (2010), masa neonatal adalah masa sejak lahir sampai

dengan 4 minggu (28 hari) setelah kelahiran. Sedangkan menurut Rukiyah dan Yulianti

(2010), neonatus adalah masa kehidupan pertama di luar rahim sampai dengan usia 28

hari, dimana terjadi suatu perubahan yang sangat besar dari kehidupan didalam rahim

menjadi diluar rahim. Pada masa ini terjadi pematangan organ hampir pada semua

sistem (Susanti , 2016).

Bayi baru lahir atau neonatus meliputi 0-28 hari. Kehidupan pada masa neonatus

ini sangat rentan karena pada masa ini neonatus memerlukan adaptasi fisiologik agar

pada masa bayi diluar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari

angka kesakitan dan angka kematian neonatus . (Sembiring, 2019)

Pada masa ini terjadi adaptasi terhadap lingkungan dan terjadi perubahan

sirkulasi darah serta bagian tubuh yang mulai berfungsi. Saat lahir berat badan normal

dari ibu yang sehat berkisar 3000 gr - 3500 gr, tinggi badan sekitar 50 cm, berat otak

sekitar 350 gram. Pada sepuluh hari pertama biasanya terdapat penurunan berat badan

sepuluh persen dari berat badan lahir, kemudian berangsur-angsur mengalami kenaikan.

(Setiyani, Sukesi, & esyunanik, 2016)

2.1.2 Definisi Kematian Neonatal


7

Kematian neonatal adalah kematian bayi yang berumur 0 sampai 28 hari.

Kematian neonatal terdiri dari kematian neonatal dini (kematian seorang bayi yang

dilahirkan hidup dalam waktu 7 hari setelah kelahirannya) dan kematian neonatal lanjut

(kematian seorang bayi yang dilahirkan hidup setelah 7 – 28 hari setelah kelahirannya)

(Diah Ut cari, 2013).

Bayi baru lahir memiliki kompetensi perilaku dan kesiapan interaksi sosial. Pada

perode ini merupakan waktu berlangsungnya perubahan fisik yang dramatis pada bayi

baru lahir. Pada masa ini organ bayi mengalami penyesuaian dengan keadaan di luar

kandungan, ini diperlukan untuk kehidupan selanjutnya.

Kehidupan neonatus dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor dalam rahim, dan

faktor luar rahim seperti keadaan sosial ekonomi, budaya, dan tingkat pendidikan.

Tingkat sosial-ekonomi yang rendah sering berhubungan dengan kelahiran bayi berat

lahir rendah. Hal ini akan meningkatkan angka kesakitan dan kematian pada neonatus

(Musrifa, 2014).

Diperkirakan 2/3 kematian bayi dibawah umur satu tahun terjadi pada masa

neonatus. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin memerlukan perubahan

biokimia dan faali. Dengan terpisahnya bayi dan ibu, maka terjadilah awal proses

fisiologik.Terdapat masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan

atau kegagalan penyesuaian biokimia dan faali yang disebabkan oleh prematuritas,

kelainan anatomik, dan lingkungan yang kurang baik dalam kandungan, pada persalinan

maupun sesudah lahir. (Sembiring, 2019)

2.1.3 Faktor Risiko Kematian Neonatal


8

Masalah pada neonatus biasanya muncul sebagai akibat spesifik yang terjadi

pada masa perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian sebagai akibat

buruknya kesehatan ibu, perawatan kehamilan yang kurang memadai, manajemen

persalinan yang tidak tepat dan tidak bersih, kurangnya perawatan bayi baru lahir. Jika

ibu meninggal pada saat melahirkan maka bayi hanya memiliki kesempatan hidup yang

kecil (Sembiring, 2019)

Penyebab utama kematian pada bayi minggu pertama kehidupan adalah

komplikasi kehamilan dan persalinan seperti asfiksia, sepsis, dan komplikasi berat lahir

rendah. Asfiksia neonatorum merupakan keadaan bayi baru lahir gagal bernapas

spontan dan teratur segera setelah lahir. Penyebabnya adalah hipoksia janin dalam rahim

yang berhubungan dengan berbagai faktor selama kehamilan, persalinan, dan segera

setelah lahir. Status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat memengaruhi

pertumbuhan janin yang sedang dikandung.

Asfiksia adalah salah satu penyebab utama kematian neonatal dini maka status

BBLR memiliki pengaruh terhadap kejadian kematian neonatal dini. Kehamilan

menyebabkan peningkatan metabolisme energi. Oleh karena itu, kebutuhan energi dan

zat gizi lain meningkat selama kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut

diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besarnya organ

kandungan, serta perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu sehingga kekurangan

zat gizi tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak

sempurna. Ibu hamil dengan riwayat status gizi risiko tinggi berisiko 122,2 kali lebih

besar mengalami kematian neonatal dibandingkan ibu hamil dengan riwayat status gizi

risiko rendah dan secara statistik bermakna. Penelitian prospektif di Bangladesh pada

770 kelahiran cukup bulan menemukan kejadian asfiksia lahir pada neonatal yang
9

BBLR adalah 10,0% sedangkan pada neonatal dengan berat lahir normal adalah 1,4%.

Perbedaan kejadian asfiksia lahir pada neonatal BBLR dengan neonatal berat lahir

normal bernilai signifikan. (Abdullah, Naiem, & Mahmud, 2012)

Berikut Faktor- faktor yang paling sering menyebabkan kematian neonatal:

1) Sepsis

Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai

bakteremia yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan. Angka

kejadian sepsis neonatal adalah 1-10 per 1000 kelahiran hidup. Sepsis neonatal

dapat terjadi secara dini, yaitu pada 5-7 hari pertama dengan organisme

penyebab didapat dari intrapartum atau melalui saluran genital ibu. Sepsis

neonatal dapat terjadi setelah bayi berumur 7 hari atau lebih yang disebut sepsis

lambat, yang mudah menjadi berat dan sering menjadi meningitis. Sepsis

nosokomial terutama terjadi pada bayi berat lahir sangat rendah atau bayi kurang

bulan dengan angka kematian yang sangat tinggi.

Sepsis biasanya disebabkan: Streptokokus Grup B (GBS), kuman usus

Gram negatif, terutama Escherisia coli, Listeria monocytogenes, Stafilokokus,

Streptokokus lainnya (termasuk Enterokokus), kuman anaerob, dan

Haemophilus influenzae. Sedangkan penyebab sepsis nosokomial adalah

Stafilokokus (terutama Staphylococcus epidermidis), kuman Gram negatif

(Pseudomonas, Klebsiella, Serratia, dan Proteus), dan jamur. (Pusponegoro,

2016)

2) Asfikia

Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan gawat bayi berupa kegagalan

bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disertai
10

hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis. Konsekuensi fisiologis yang

terutama terjadi pada asfiksia adalah depresi susunan saraf pusat dengan kriteria

menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008 didapatkan adanya

gangguan neurologis berupa hypoxic ischaemic enchepalopaty (HIE), akan

tetapi kelainan ini tidak dapat diketahui dengan segera (WHO,2008). Keadaan

asidosis, gangguan kardiovaskuler serta komplikasinya sebagai akibat langsung

dari hipoksia merupakan penyebab utama kegagalan adaptasi bayi baru lahir.

Kegagalan ini juga berakibat pada terganggunya fungsi dari masing-masing

jaringan dan organ yang akan menjadi masalah pada hari-hari pertama

perawatan setelah lahir. (Intarti, Puspitasari, & Pradani, 2016)

3) BBLR

Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang

dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi. Berat lahir adalah berat bayi

yang ditimbang dalam 1 (satu) jam setelah lahir.

Penyebab terbanyak terjadi BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu

yang lain adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit

vaskuler, kehamilan kembar/ganda, serta faktor janin juga merupakan penyebab

terjadinya BBLR. (Sembiring, 2019)

4) Prematuritas

Prematuritas merupakan penyebab kematian kedua pada balita setelah

pneumonia dan merupakan penyebab utama kematian neonatal. Tiga puluh lima

persen kematian neonatal di dunia disebabkan oleh komplikasi kelahiran

prematur (WHO:2012). Penelitian ini bertujuan untuk meneliti karakteristik


11

sosiodemografi yang memengaruhi kejadian kelahiran prematur di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013.

2.2 Asfiksia Neonatarium

2.2.1 Definisi Afiksia Neonatarium

Asfiksia neonatarium adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur yang

terjadi saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan apabila terdapat

PaO2 didalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia (Pa CO2 meningkat) dan asidosis

(Sembiring, 2019)

Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernapas secara spontan dan teratur segera

setelah lahir dan sering dijumpai pada bayi selama atau sesudah persalinan. Masalah ini

ada kaitannya dengan keadaan ibu, tali pusat ataupun masalah pada bayi selama

ataupun setelah persalinan. Misalnya paa bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin

maka akan mengalami asfiksia setelah persalinan. Menurut AAP ( American Academy

of Pediatric ) Asfiksia adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh kurangnya O2 pada

udara respirasi, yang ditandai dengan :

1. Asidosis (pH< 7,0) pada darah arteri umbilikalis

2. Nilai APGAR setelah menit ke 5 tetap 0-3

3. Manifestasi neurologis ( kejang, hipotoni, koma, atau HIE + hipoksik iskemik

ensefalopati)

4. Gangguan multiorgan sistem.

(Rukmono. 2017)

2.2.2 Epidemiologi Asfiksia


12

Di seluruh dunia, setiap tahun diperkirakan ada 4 juta bayi yang meninggal pada

tahun pertama kehidupannya dan dua pertiganya meninggal pada bulan pertama. Dua

pertiga dari yang meninggal pada bulan pertama meninggal pada minggu pertama dan

meninggal pada hari pertama. Penyebab utama kematian pada minggu pertama

kehidupan pada bayi tersebut adalah adanya komplikasi kehamilan dan persalinan yang

terjadi seperti asfiksia, sepsis dan komplikasi berat lahir rendah. (Fujiyarti, 2015)

Data terkait dengan asfiksia di Indonesia Angka Kematian Bayi (AKB) masih

tinggi yaitu 34/1.000 Kelahiran Hidup (SDKI 2007), sekitar 56% kematian terjadi pada

periode sangat dini yaitu di masa neonatal. Target MDG’s tahun 2015 adalah

menurunkan AKB menjadi 23/1.000 Kelahiran Hidup. Penyebab utama kematian bayi

baru lahir atau neonatal di dunia antara lain bayi lahir prematur 29%, sepsis dan

pneumonia 25% dan 23% merupakan bayi lahir dengan Asfiksia dan trauma. Asfiksia

lahir menempati penyebab kematian bayi ke 3 di dunia dalam periode awal kehidupan

(WHO, 2012).

2.2.3 Klasifikasi Asfiksia

Penilaian asfiksia neonatariun didasarkan pada nila apgar. Nilai apgar adalah

salah satu cara untuk menilai kondisi post natal. Patokan klinis untuk menilai keadaan

bayi tersebut adalah frekuensi jantung, usaha bernafas, tonus otot, refleks, dan warna.

(IDAI, 2008)
13

Tabel 2.1

Klasifikasi Asfiksia Berdasarkan APGAR Score

No Tanda 0 1 2 Jumlah
Nilai
1 2 3 4 5 6
Lebih dari
Frekuensi Kurang dari
1 Tidak Ada 100 X/
Jantung 100 X/ menit
menit
Lambat
Mengangis
2 Usaha Bernafas Tidak Ada Tidak
Kuat
Teratur

Ekstremitas
Gerakan
3 Tonus Otot Lumpuh Fleksi
Aktif
Sedikit

Gerakan
4 Refleks Tidak Ada Menangis
Sedikit

Tubuh dan
Ekstremitas
5 Warna Kulit Biru/ Pucat Ekstremitas
Biru
Kemerahan

Fida & Maya, Pengantar Ilmu Kesehatan Anak, 2012

Keterangan:

1). Nilai 0-3 : Asfiksia berat

2). Nilai 4-6 : Asfiksia sedang

3). Nilai 7-10 : Normal


14

Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai

apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor

mencapai 7. Nilai apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir

dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30

detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor

apgar). Asfiksia neonatorum di klasifikasikan (Fida & Maya, 2012):

1). Asfiksia Ringan ( vigorus baby)

Skor APGAR 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan

istimewa.

2). Asfiksia sedang ( mild moderate asphyksia)

Skor APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih

dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.

3). Asfiksia Berat

Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang

dari 100 x permenit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, reflek

iritabilitas tidak ada. Pada asphyksia dengan henti jantung yaitu bunyi jantung fetus

menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung

menghilang post partum, pemeriksaan fisik sama pada asfiksia berat.

2.2.4 Etiologi Asfiksia

Aliran darah ibu ke bayi dapat dipengaruhi oleh keadaan ibu. Jika aliran oksigen

ke janin berkurang akan mengakibatkan gawat janin. Hal ini dapat menyebabkan
15

asfiksia pada bayi baru lahir. Akan tetapi, bayi juga dapat mengalami asfiksia tanpa

didahului tanda gawat janin.

Banyak hal yang dapat menyebabkan bayi tidak bernapas setelah lahir. Sering

kali hal ini terjadi ketika bayi sebelumnya mengalami gawat janin. Akibat gawat janin,

bayi tidak menerima oksigen yang cukup. Gawat janin adalah reaksi janin pada kondisi

dimana terjadi ketidakcukupan oksigen.

Gawat janin dapat diketahui dengan hal-hal berikut :

a. Frekuensi bunyi jantung janin kurang dari 100 atau lebih dari 180 kali per menit.

b. Berkurangnya gerakan janin (janin normal bergerak lebih dari 10 kali per hari).

c. Adanya air ketuban yang bercampur dengan mekonium atau berwarna kehijauan

(pada bayi dengan presentasi kepala).

Asfiksia juga dapat disebabkan oleh karena faktor ibu, bayi dan tali pusat atau plasenta.

Terdapat lima hal yang menyebabkan terjadinya asfiksia pada saat persalinan:

1. Interupsi aliran darah umbilicus.

2. Kegagalan pertukaran darah melalui plasenta (misalnya solutio plasenta)

3. Perfungsi plasenta sisi maternal yang inadekuat (misalnya hipotensi maternal yang

berat)

4. Kondisi janin yang tidak dapat mentoleransi hipoksia intermiten dan transien yang

terjadi pada pada persalinan normal (misalnya pada janin yang anemia atau IUGR).

5. Gagal mengembangkan paru dan memulai ventilasi dan perfusi paru yang seharusnya

terjadi saat proses kelahiran.


16

2.2.5 Faktor Resiko Asfiksia

Faktor risiko terjadinya asfiksia adalah paritas, usia ibu dan usia kehamilan,

riwayat obstetri jelek, ketuban pecah dini,Gangguan sirkulasi janin dan berat lahir

bayi.Terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan gawat janin (Asfiksia)

Tabel 2.2

Faktor penyebab terjadinya Asfiksia

Faktor Keterangan

1 2
Keadaan ibu 1. Ketuban pecah dini (KPD)

2. Preekslamsia dan ekslamsia

3. Perdarahan abnormal (plasenta previa atau solutio plasenta)

4. Partus lama atau partus macet

5. Demam selama persalinan

6. Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)

7. Kehamilan post matur

8. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun

9. Gravida empat atau lebih

10. Usia kehamilan Keadaan

Keadaan tali 1. Lilitan tali pusat

pusat 2. Tali pusat pendek

3. Simpul tali pusat

4. Prolapsus tali pusat

Keadaan bayi 1. Bayi premature ( Sebelum 37 minggu kehamilan)

2. BBLR
17

3. Persalinan sulit ( letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu,

ektraksi vakum, porsef)

4. Kelainan congenital pada bayi

5. Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)

(Depkes, 2007)

A. Faktor Ibu

1. Usia ibu

Umur ibu pada waktu hamil sangat berpengaruh pada kesiapan ibu untuk

menerima tanggung jawab sebagai seorang ibu sehingga kualitas sumber daya

manusia makin meningkat dan kesiapan untuk menyehatkan generasi penerus

dapat terjamin. Kehamilan dibawah usia 20 tahun akan mengakibatkan rasa

takut terhadap kehamilan dan persalinan, hal ini dikarenakan pada usia tersebut

ibu mungkin belum siap untuk mempunyai anak dan alat-alat reproduksi ibu

belum siap untuk hamil. begitu juga kehamilan di usia tua di atas 35 tahun akan

menimbulkan kecemasan terhadap kehamilan dan persalinannya serta alat

reproduksi ibu terlalu tua untuk hamil. Beberapa penelitian menyatakan semakin

matang usia ibu dihadapkan pada kemungkinan terjadinya beberapa resiko

tertentu, termasuk resiko kehamilan, yang dapat berakibat buruk pada janin di

antaranya asfiksia (Prawirohardjo, 2009)

Penyebab terjadinya Asfiksia menurut Proverawati, 2010 dari faktor ibu

yaitu Oksigenisasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama

anastesi, penyakit jantung, sianosis, gagal pernafasan, keracunan karbon

monoksida, dan tekanan darah ibu yang rendah akan menyebabkan asfiksia pada
18

janin. Gangguan aliran darah uterus dapat menyebabkan berkurangnya

pengaliran oksigen ke plasenta dan ke janin. Hal ini sering ditemukan pada:

gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni atau tetani uterus akibat

penyakit atau obat: hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, hipertensi

pada penyakit akiomsia dan lainlain.(skripsi andi indrawati 2019).

2. Paritas

Paritas adalah jumlah kehamilan yang pernah dialami ibu yang

menghasilkan janin viable (dapat hidup lebih dari 20 minggu gestasi) dan bukan

ditentukan oleh jumlah janin yang dilahirkan.

Paritas yang rendah (paritas satu), ketidaksiapan ibu dalam menghadapi

persalinan yang pertama merupakan faktor penyebab ketidakmampuan ibu hamil

dalam menangani komplikasi yang terjadi dalam kehamilan, persalinan, dan

nifas. Paritas 1 berisiko karena ibu belum siap secara medis (organ reproduksi)

maupun secara mental. Ketidaksiapan ibu secara mental ini dapat berupa stres

yang berlebihan ini dipengaruhi oleh hormon kortisol dan adrenal. Kedua

hormon tersebut merupakan hormon stres.

Trimester akhir pada ibu hamil ditandai dengan peningkatan hormon

kortikotropin yang berasal dari plasenta dalam serum ibu. Hormon kortikotropin

bekerja dengan hormon adrenokortikotropik untuk meningkatkan biosintesis

steroid adrenal ibu dan janin, termasuk inisiasi biosintesis kortisol janin.

Meningkatnya kadar kortisol pada ibu dan janin semakin meningkatkan sekresi

hormon kortikotropin plasenta. Peningkatan hormon kortikotropin juga

merangsang DHEA-S adrenal janin yang berfungsi untuk meningkatkan

estrogen plasma ibu, terutama estriol. Peningkatan kortisol dan estrogen pada
19

ibu hamil <37 minggu akan menyebabkan kontraksi uterus dan terjadi persalinan

preterm. Persalinan preterm mengakibatkan bayi lahir prematur sehingga bayi

tersebut mengalami gangguan homeostatis terutama sistem pernafasan dan bayi

mengalami asfiksia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa primiparity

merupakan faktor risiko yang mempunyai hubungan yang kuat terhadap

mortalitas asfiksia.

Sedangkan paritas >4, secara fisik ibu mengalami kemunduran untuk

menjalani kehamilan. Keadaan tersebut memberikan predisposisi untuk terjadi

perdarahan, plasenta previa, rupture uteri, solutio plasenta yang dapat berakhir

dengan terjadinya asfiksia bayi baru lahir. Selain itu, penyulit yang sering terjadi

pada ibu dengan paritas >4 adalah preeklampsia, kelahiran prematur, kelainan

his hipotonik dan otot jalan lahir kaku. Hipotonik menyebabkan gangguan aliran

darah ke uterus berkurang sehingga aliran oksigen ke plasenta dan janin

berkurang dan menyebabkan asfiksia.17 Penelitian Herianto et al. (2010),

menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara paritas dengan

kejadian Asfiksia Neonatorum. Paritas berisiko ( ≤1 dan >4) meningkatkan 3,49

kali lebih tinggi risiko terjadinya Asfiksia Neonatorum pada bayi yang

dilahirkannya ( Anisa, 2018 ).

3. KPD (Ketuban Pecah Dini)

Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan

membrane atau meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor

tersebut. Berkurangnya kekuatan membran disebabkan oleh adanya infeksi yang

dapat berasal dari vagina dan serviks etiologi pada sebagian besar kasus tidak

diketahui. Penelitian menunjukkan infeksi sebagai penyebabnya. Faktor lain


20

yang mempengaruhi adalah kondisi sosial ekonomi yang rendah yang

berhubungan dengan rendahnya perawatan antenatal, penyakit menular seksual

misalnya disebabkan oleh Chlamydia trachomatis dan Neischeria gonorrhea.

Ketuban pecah dini merupakan salah satu faktor penyebab asfiksia

neonatorum dan infeksi. Hipoksia pada janin yang menyebabkan asfiksia

neonatorum terjadi karena gangguan pertukaran transport gas O2 dan ibu kejanin

sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan

CO2. Asfiksia neonatarum adalah kegawatdaruratan bayi baru lahir berupa

depresi pernapasan yang berlanjut sehingga menimbulkan berbagai komplikasi.

4. Preeklampsi

Salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya asfiksia adalah

faktor ibu (preeklampsia da eklampsia ). (Manuaba, 2012)

Keadaan bayi yang menyebabkan terjadinya asfiksia adalah prematur

(sebelum 37 minggu) karena paru-paru kekurangan surfaktan sehingga

menyulitkan fentilasi, perkembangan otak imatur, uoaya bernapas kurang,

volume darah sedikit. Preeklamsi dapat menyebabkan gangguan peredaran darah

pada plasenta. Hal ini yang dapat menyebakan berat badan bayi akan dilahirkan

relatif kecil. Selain itu, preeklamsi juga dapat menyebabkan terjadinya kelahiran

prematur dan komplikasi lanjutan.

Ibu yang mengalami preeklamsia cenderung akan menyebabkan bayi

yang dilahirkan mengalami asfiksia. Asfiksia terjadi akibat gangguan pada

fungsi plasenta dimana plasenta mengalami penurunan aliran darah dan oksigen

dari ibu ke plasenta sehingga memicu terjadinya hipoksia, vasospasme,

hipovolemia, penurunan pada fungsi uteroplasenta, dan kerusakan sel endotel


21

pada pembuluh darah. Apabila bayi mengalami hipoksia akibat suplay oksigen

ke plasenta menurun karena efek dari hipertensi intrauterin, maka bayi tersebut

berisiko teradi asfiksia. (Putri ,2019)

Ibu yang mengalami preeklampsia sebagian besar melahirkan bayi

asfiksia. Penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi

plasenta. Kondisi ini memicu vasokontriksi pembuluh darah sehingga

mengakibatkan suplai darah ke plasenta menjadi berkurang. Hal ini

mengakibatkan terjadinya hipoksia. Akibat lanjut dari hipoksia pada janin adalah

gangguan pertukaran gas antara oksigen dan karbondioksida sehingga terjadi

asfiksai neonatorum. ( Prawiroharjo, 2009)

B. Faktor Tali Pusat

1. Gangguan aliran dalam tali pusat

Lilitan tali pusat dapat menyebabkan asfiksia dimana asfiksia pada Bayi

Baru lahir merupakan masalah yang penting karena dapat meningkatkan

morbiditas dan mortalitas pada bayi baru lahir. Adanya lilitan tali pusat di leher

dalam kehamilan menurutnya, pada umumnya tidak menimbulkan masalah.

Namun dalam proses persalinan dimana mulai timbul kontraksi rahim dan

kepala janin mulai turun dan memasuki rongga panggul, maka lilitan tali pusat

menjadi semakin erat dan menyebabkan penekanan atau kompresi pada

pembuluh-pembuluh darah tali pusat. Akibatnya, suplai darah yang mengandung

oksigen dan zat makanan ke janin akan berkurang, yang mengakibatkan janin

menjadi sesak atau hipoksia.


22

Lilitan tali pusat ini sendiri dapat mengakibatkan suatu kejadian fatal

yaitu kematian bayi. Karena puntiran tali pusat yang berulang-ulang ke satu arah

tersebut mengakibatkan atus darah dari ibu ke janin tersumbat total. Lilitan tali

pusat pada bayi yang terlalu erat sampai dua atau tiga kali bisa menyebabkan

kompresi tali pusat sehingga janin mengalami kekurangan oksigen.

• Lilitan tali pusat

• Simpul tali pusat

• Tekanan pada tali pusat

• Ketuban telah pecah

• Kehamilan lewat waktu

• Pengaruh obat

• Karena narkoba saat persalinan (Manuaba, 2012)

C. Faktor Bayi

1. Prematuritas

Prematuritas merupakan penyebab kematian kedua pada balita

setelah pneumonia dan merupakan penyebab utama kematian neonatal. Tiga

puluh lima persen kematian neonatal di dunia disebabkan oleh komplikasi

kelahiran prematur (WHO:2012). Penelitian ini bertujuan untuk meneliti

karakteristik sosiodemografi yang memengaruhi kejadian kelahiran prematur

di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) 2013.

Berbagai masalah dapat ditimbulkan oleh kelahiran prematur. Bayi

prematur mempunyai risiko kematian lebih tinggi dibandingkan dengan bayi

yang lahir cukup bulan. Hal ini disebabkan mereka mempunyai kesulitan
23

untuk beradaptasi dengan kehidupan di luar rahim akibat ketidakmatangan

sistem organ tubuhnya.Masalah lain yang dapat timbul akibat kelahiran

prematur adalah masalah perkembangan neurologi yang bervariasi dari

gangguan neurologis berat, seperti kebutaan, gangguan penglihatan, dan tuli.

Kelahiran prematur juga dapat mengakibatkan gangguan yang lebih ringan

seperti kelainan perilaku, kesulitan belajar dan berbahasa, gangguan

konsentrasi/atensi dan hiperaktif. Hal ini dapat mengakibatkan rendahnya

kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. (Sulistiarini &

Berliana, 2016)

2. BBLR

Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir

kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi. Berat lahir adalah

berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu) jam setelah lahir.

Pravelansi bayi berat lahirrendah (BBLR) diperkirakan 15% dari

seluruh kelahiran didunia dengan batasan 3,3%-38% dan lebih sering terjadi

di negara-negara berkembang atau sosio-ekonomi rendah. Secara statistik

menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dengan

angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat

lahir lebih 2500 gram.

Penyebab terbanyak terjadi BBLR adalah kelahiran prematur.

Faktor ibu yang lain adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta

seperti penyakit vaskuler, kehamilan kembar/ganda, serta faktor janin juga

merupakan penyebab terjadinya BBLR. (Sembiring, 2019)

3. Air Ketuban Tercampur Mekonium


24

Cairan amnion/ ketuban mempunyai peran yang sangat penting bagi

perkembangan dan pertumbuhan janin. Keadaan air ketuban dapat

membantu menentukan keadaan janin. Apabila dalam air ketuban terdapat

mekonium maka diperlukan pemantauan denyut jantung janin secara ketat.

Mekonium diproduksi dalam usus janin sebelum dilahirkan. Pada janin

kurang bulan, dengan mekanisme gastrointestinal yang imatur akan jarang

terjadi kebocoran mekonium. Sebaliknya, untuk janin yang pascamatur

traktus intestinalnya matur dan akan terjadi pasase mekonium.

Pasase mekonium berkaitan dengan asidosis janin, pola denyut

jantung janin yang tidak stabil dan nilai apgar rendah. Hipoksia janin akan

menyebabkan relaksasi sfingter ani dan janin megap-megap yang

selanjutnya terjadi aspirasi mekonium intrauteri. Jika diaspirasi oleh janin

sebelum atau selama kelahiran, mekonium dapat menyumbat jalan napas,

menyebabkan hipoksia, peradangan dan infeksi yang berat. Dalam

penelitian Kardana, I Made (2016), menyatakan bahwa mekonium air

ketuban merupakan faktor risiko terjadinya Asfiksia Neonatorum dan

memiliki 7,58 kali lebih tinggi risiko terjadinya asfiksia pada bayi baru

lahir. (Anisa, 2018)

2.2.6 Patofisiologi Asfiksia

Kondisi patofisiologi yang dapat menyebabkan asfiksia meliputi kurangnya

oksigenasi pada sel, retensi karbondioksida berlebihan, dan asidosis metabolik.

Kombinasi ketiga peristiwa tersebut dapat menyebabkan kerusakan sel dan

lingkungan biokimia yang tidak cocok dengan kehidupan. Tujuan resusitasi adalah
25

intervensi tepat waktu yang mengembalikan efek-efek biokimia asfiksia, sehingga akan

mencegah kerusakan otak dan organ yang ireversibel, yang akibatnya ditanggung

sepanjang hidup. Pada awalnya frekuensi jantung dan tekanan darah akan meningkat

dan bayi akan mengalami megap-megap (gasping). Bayi kemudian masuk ke periode

apnea primer. Apnea adalah suatu episode henti nafas selama 20 detik atau lebih yang

berkaitan dengan yang berkaitan dengan kondisi bradikardi, sianosis, pucat, dan

hipotonia yang jelas. Bayi yang menerima stimulasi adekuat selama apnea primer akan

mulai melakukan usaha napas lagi. Stimulasi dapat terdiri atas stimulasi taktil

(mengeringkan bayi) dan stimulasi termal (oleh suhu persalinan yang lebih dingin).

Bayi-bayi yang mengalami proses asfiksia akan lebih jauh berada dalam tahap

apnea sekunder. Apnea sekunder dapat dengan cepat menyebabkan kematian jika bayi

tidak benar-benar didukung oleh pernapasan buatan, dan bila diperlukan dilakukan

kompresi jantung. Warna bayi, berubah dari biru ke putih karena bayi baru lahir

menutup sirkulasi perifer sebagai upaya memaksimalkan aliran darah ke organ-organ

seperti jantung, ginjal dan adrenal.

Selama apnea, penurunan oksigen yang tersisa akan menyebabkan pembuluh

darah di paru-paru mengalami konstriksi. Keadaan vasokonstriksi ini yang akan

menyebabkan paru-paru resistan terhadap ekspansi, sehingga mempersulit kerja

resusitasi janin yang persisten. Foramen ovale akan terus memompa pirau darah ke

aorta, melewati paru-paru yang konstriksi. Bayi baru lahir dalam keadaan asfiksia tetap

memiliki banyak gambaran sirkulasi janin.

Selama hipoksia, perubahan biokimia yang serius menyebabkan penimbunan

sampah metabolik akibat metabolisme anaerob. Akibat ketidakadekuatan ventilasi, bayi


26

baru lahir cepat menimbun karbon dioksida. Hiperkarbia ini mengakibatkan asidosis

respiratorik yang lebih jauh lagi akan menekan upaya napas.

Dalam periode waktu singkat, kurangnya oksigen menyebabkan metabolisme

pada bayi baru lahir berubah menjadi metabolisme anaerob, terutama karena kurangnya

glukosa yang dibutuhkan untuk sumber energi pada saat kedaruratan. Hal ini

mengakibatkan akumulasi asam laktat dan asidosis metabolik. Asidosis metabolik hanya

akan hilang setelah periode waktu yang signifikan dan merupakan masalah sisa bahkan

setelah frekuensi pernafasan dan frekuensi jantung adekuat.

Efek hipoksia terhadap otak sangat terlihat. Pada hipoksia awal, aliran darah ke

otak meningkat, sebagai bagian mekanisme kompensasi. Kondisi tersebut hanya dapat

memberikan penyesuaian sebagian. Jika hipoksia berlanjutm maka tidak akan terjadi

penyesuaian akibat hipoksia pada sel-sel otak. Beberapa efek hipoksia yang paling berat

muncul akibat tidak adanya zat penyedia energy seperti ATP berhentinya kerja pompa

ion-ion transeluler, akumulasi air, natrium dan kalsium dan kerusakan akibat radikal

bebas oksigen. Seiring dengan penurunan aliran darah yang teroksigenasi, maka asam

amino yang meningkat akibat pembengkakan jaringan otak akan dilepas. Proses ini

dapat mengakibatkan kerusakan neurologis yang mencolok atau samar-samar. Kejang

dapat muncul selama 24 jam pertama setelah bayi baru lahir. Awitan kejang selama

periode ini merupakan tanda yang mengkhawatirkan dan merupakan tanda peningkatan

kemungkinan terjadinya kerusakan otak yang permanen. (Sondakh, 2013)

2.2.7 Komplikasi Asfiksia

Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain :

a. Edema otak dan Perdarahan otak


27

Pada bayi asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut

sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan

menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang

berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan

otak.

b. Anuria atau oliguria

Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia,

keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang

disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih

banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang

menyebabkan terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan

ginjal yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit.

c. Kejang

Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan

pertukaran gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2

dan kesulitan pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak

tersebut karena perfusi jaringan tak efektif.

d. Koma

Apabila pada bayi asfiksia berat segera tidak ditangani akan

menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan

pada otak.

2.2.8 Penatalaksanaan Asfiksia


28

Bayi baru lahir yang mengalami asfiksia, hanya kurang dari 10% yang

memerlukan resusitasi dan umumnya dapat diatasi dengan pemberian ventilasi tekanan

pesitif hanya 1% yang memerlukan resusitasi aktif lengkap sampai dengan tunjangan

obat – obatan. Tidak semua kasus asfiksia dapat ditangani bidan karena adanya

keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk itu, keterampilan stabilisasi dan

transportasi bayi baru lahir menjadi penting. Bayi harus dalam kondisi stabil sebelum

dirujuk. Upaya untuk mempertahankan kondisi stabil pada bayi paska resusitasi

berpegang pada prinsip mempertahankan Sugar, Temparathure, Airway, Blood pressure,

Laboratory examination, Emotional support (STABLE).

Resusitasi adalah serangkaian upaya sistematis, terkoordinir dan disertai bukti –

bukti ilmiah untuk mengembalikan usaha nafas dan sirkulasi bayi sehingga terhindar

dari kematian maupun cacat menetap. Urutan resusitasi dimulai dari A, B, C,D harus

berurutan dan tidak boleh meloncat atau acak kecuali resusitasi pada orang dewasa/

anak.

Langkah resusitasi:

Dahulukan dalam setiap usaha resusitasi. Langkah ini sebaiknya selesai dalam

30 detik dan dilakukan secara berurutan. Langkah awal terdiri dari:

1. Memberikan kehangatan ( bawa ke infant warmer, skin to skin)

2. Membersihkan jalan nafas ( mulut dahulu kemudian hidung)

3. Mengeringkan sekaligus memberikan rangsangan

4. Memposisikan kembali bayi dalam posisi menghidu


29

Berikut Diagram Alur Resusitasi:

Perawatan Rutin
Ya, Rwt gbng 1. Hangatkan
Cukup Bulan?Bernapas/
2. Bersihkan jalan napas
Menangis?Tonus baik?
jika perlu
3. Keringkan
4. Evaluai lanjutan
Tidak

Hangaktkan, bersihkan jalan napas jika perlu,


Tidak
keringkan, rangsang

Tidak
FJ < 100 Labored breathing/ sianosis
Megap-Megap/apnu? persisten?

VTP/ monitor SpO2 Bersihkan jalan napas pantau


SPO2 Pertimbangkan CPAP
FJ < 100 ?

Koreksi langkah-langkah ventilasi Perawatan


Pasca-Resusitasi
FJ < 60 ?

Pertimbangkan intubasi
kompresi dada, koordinasi
dengan VTP

FJ < 60 ?

Epinefrrin IV
30

A. Airway (A)

Langkah awal terdiri dari:

1. Memberikan kehangatan (bawa ke infant warmer, skin to skin)

2. Membersihkan jalan nafas (mulut dahulu kemudian hidung)

3. Memberikan sekaligus memberikan rangsangan

4. Memposisikan kembali bayi dalam posisi menghidu

Pada bayi-bayi dengan usia gestasi kurang dari 28 minggu, bayi

dibungkus dengan plastik sebelum mengeringkan bayi. Kepala bayi tidak

terbungkus plastik dan dikeringkan serta dipasangkan topi sementara bagian

tubuh sisanya terbungkus plastik dan tidak dikeringkan hal ini mencegah

penguapan dan menjaga kelembapan.

Setelah langkah awal, kemudian diikuti dengan melakukan penilaian.

Yang dinilai adalah pernapasan, denyut jantung janin dan tonus otot.

Penilaian ini tidak boleh dari 30 detik. Sehingga secara keseluruhan tindakan

langkah awal hingga penilaian dan melakukan tindakan VTP (ventilasi

tekanan positif) tidak boleh dari 1 menit. Menit ini disebut sebagai The

Golden Minute.

B. Breathing (B)

Setelah membuka jalan napas, langkah selanjutnya adalah, membuat bayi

bernapas. Pertama, bedakan apakah bayi bernapas spontan atau tidak.

Apabila bayi tidak bernapas atau megap- megap, lakukan VTP. Sedangkan

apabila pada penilaian didapatkan bayi bernapas spontan namun dengan


31

distres napas atau merintih dan sesak nafas berikan CPAP (continous

positive airway pressure)

Ventilasi optimal dapat dicapai apabila sungkup wajah melekat rapat pada

wajah bayi dan dinilai dengan pengembangan dada yang baik. Sungkup

wajah yang baik harus menutupi ujung dagu, mulut dan hidung.

Indikasi VTP :

 Apnu atau megap-megap

 FJ < 100 dpm, meskipun bernafas

 Saturasi tetap dibawah nilai target, meskipun telah diberi O2 aliran

bebas sampai 100%

Ventilasi paru merupakan langkah paling penting dan efektif dalam

resusitasi kardiopulmoner pada bayi baru lahir bermasalah.

Bila dada tidak mengembang lakukan langkah koreksi

TINDAKAN LANGKAH

KOREKSI

M (S) Mask Adjusment Pastikan lekatan

(S)ungkup melekat rapat baik

R(R) Reposition airway Kepala posisi

menghidu

S(I) Suction mouth and nose Periksa sekresi: isap

(I)sap mulut dan hidung jika ada

O(B) Open mouth Ventilasi dengan

(B)uka mulut mulut sedikit


32

terbuka dan angkat

dagu kedepan

P(T) Pressure increase Naikkan tekanan

(T)ekanan dinaikkan bertahap setiap

setiap beberapa

napas, seperti

terdengar suara

napas bilateral &

tampak gerakan

dada setiap napas

A(A) Airway alternative Pertimbangkan

(A)lternatif jalan napas intubasi

endotrakeal/

sungkup laring

Frekuensi Ventilasi : 40-60X / menit

Menilai efektifitas VTP

 Peningkatan FJ > 100 dpm

 Perbaikan saturasi oksigen

 Usaha napas spontan

C. Circulation (C)

Setelah melakukan VTP secara efektif selama 2 X 30 detik ditemukan FJ <

60 dpm, pertimbangkan untuk melakukan kompresi dada. Tindakan

kompresi dada lebi


33

h efektif jika disertai dengan intubasi endotrakeal. Dan untuk melakukan

kompresi ini diperlukan dua orang.

Teknik kompresi dada

 Teknik IBU JARI (lebih dipilih)

1. Kedua ibu jari menekan sternum, ibu jari tangan melingkari

dada dan menopang punggung

2. Lebih baik dalam mengontrol kedalaman dan tekanan

konsisten

3. Lebih unggul dalam menaikkan puncak sistolik dan tekanan

perfusi koroner

 Teknik DUA JARI

1. Ujung jari tengah dan telunjuk/ jari manis dari 1 tangan

menekan sternum, tangan lainnya menopang punggung.

2. Lebih mudah untuk pemberian obat

Kedalaman dan Tekanan

1. kedalaman kurang lebih 1/3 diameter anteroposterior dada

2. Lama penekanan lebih pendek dari lama pelepasan sehingga

curah jantung maksimum

Koordinasi VTP dan K ompresi Dada

1 Siklus : 3 Kompresi + 1 Ventilasi (3:1) dalam 2 detik

Frekuensi : 90 kompresi + Ventilasi dalam 1 menit (berarti 120 kegiatan

per menit) untuk memasukan frekuensi kompresi ada dan ventilasi yang

tepat, pelaku kompreesi mengucapkan “ satu – dua – tiga – pompa - ....”


34

D. Drug (D)

Obat –obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir.

Pemberian obat- obatan tidak boleh menghentikan VTP dan kompresi dada.

1. Adrenalin

Dosis intravena yang direkomendasikan adalah 10-30

mikogram/ kgBB (0,10-0,30 mL/ kgBB dari larutan 1:10.000)

adalah dengan mencampur 0,1 ml adrenalin 1.000 ui (1/10

ampul) dengan 0,9ml NaCl fisiologis 0,9% sehingga didapatkan

larutan adrenalin 1:10.000. dosis yang dipakai adalah 0,1 ml per

Kg BB. Bila adrenalin diberikan melalui jalur trakea, gunakan

dosis 50-1000 mikogram/kgBB (0,5-1 mL/kg dari larutan

1:10.000). lanjutkan pemberian dengan ventilasi tekanan positif.

Efektivitas dan keamanan dosis ini masih belum diteliti.

2. Sodium bikarbonat

Dosis yang direkomendasikan adalah 1-2 mmol/kgBB (2-4 mL

dari larutan bikarbonat 4,2%) diberikan dengan suntikan intravena

lambat.

Jangan berikan sodium bikarbonat terlalu awal. Pada kondisi

henti jantung berkepanjangan yang tidak responsif terhadap terapi

lainnay berikan sodium bikarbonat setelah ventilasi dan sirkulasi

adekuat.

3. Nalokson
35

Indikasi pemberian nalokson pada bayi baru lahir adalah sebagai

berikut:

1. Depresi napas yang berlanjut bahakan setelah pemberian

ventilasi tekana positif berhasil mengembalikan laju denyut

jantung menjadi normal.

2. Riwayat pemberian narkotika pada ibu selama bersalin

Dosis yang direkomendasikan 0,1 mg/kgBB dari larutan 0,4 mg/mL

diberikan secara intravena bolus diikuti dengan NaCl 0,9%. Boleh

diberikan melalui intramuskular namun dengan awitan aksi yang lambat.

Nalokson dapat diberikan lebih dari satu kali karena durasi efek

narkotika yang panjang.

4. Cairan Volume Expanders

Pertimbangkan pemberian cairan intravaskular bila curiga ada

kehilangan darah (a.l. perdarahan per vaginam,solutio plasenta,

plasenta previa, twin to twin transfusion) , bayi tampak dalam kondisi

syok (pucat, perfusi buruk, pulsasi lemah) dan tidak merespon

terhadap tindakan resusitasi. Kristaloid isotonik (NaCl fisiologis),

ringer laktat dapat digunakan untuk pemberian pertama, dapat

diberikan darah O Rh negatif transfusi energensi pada kasus

kehilangan darah yang masif atau pada bayi yang tidak respon

terhadap resusitasi. Dosis awal adalah 10 ml/kgBB diberikan melalui

vena umbilikal (5-10 menit). Hati- hati pada bayi prematur, jangan

terlau cepat karena risiko pecahnya pembuluh darah. Bila berhasil,


36

pemberian cairan dapat diulang untuk mempertahankan sirkulasi.

(Rukmono, 2020)

2.4 Kerangka Teori


37

Kerangka teori adalah ringkasan dari tinjauan pustaka yang digunakan untuk

mengidentifikasai variabel-variabel yang akan diteliti yang berkaitan dengan konteks

ilmu pengetahuan yang digunakan untuk mengembangkan kerangka konsep penelitian

(Notoadmojo, 2010). Kerangka teori dalam penelitian ini adalah:

Bagan 2.2

Kerangka Teori Hubungan antara Kematian Neonatal dengan Kejadian Asfiksia


di Rumah Sakit Dr.H. Abdoel Moeloek Bandar Lampung Tahun 2019

Faktor Ibu :
1. Usia Ibu
2. Paritas
3. KPD
4. Preeklampsi

Faktor Lilitan tali pusat Asfiksia Kematian


Neonatorum Neonatal
m

Faktor Bayi :
1. Prematur
2. BBLR
3. Air Ketuban
Bercampur
Mikonium

2.5 Kerangka Konsep


38

Kerangka konsep adalah ringkasan dan tinjauan pustaka yang digunakan untuk

mengidentifikasi variabel-variabel yang akan diteliti yang berkaitan dengan konteks

ilmu pengetahuanyang digunakan untuk mengembangkan kerangka konsep penelitian

(Notoatmodjo, 2010). Variabel-variabel dalam penelitian ini tergambar dalam bagian

kerangka konsep sebagai berikut:

Bagan 2.3

Kerangka Konsep Hubungan antara Kematian Neonatal dengan


Kerangka
Kejadian konsep
Asfiksia dalam Sakit
di Rumah penelitian
Dr.H.iniAbdoel
adalah: Moeloek Bandar Lampung

Tahun 2019

Variabel Independen Variabel Dependen

Asfiksia Kematian Neonatal

2.6 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

Ha1 : Ada hubungan antara Kematian Neonatal dengan kejadian Asfiksia di

Rumah Sakit Dr. H. Abdoel Moeloek Bandar Lampung Tahun 2019.

H01 : Tidak ada hubungan antara Kematian Neonatal dengan kejadian

Asfiksia di Rumah Sakit Dr. H. Abdoel Moeloek Bandar Lampung

Tahun 2019.
39

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


40

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik yaitu

mencari hubungan antara variabel yang satu dengan variabel lainnya (Sudigdo, 2011)

3.2 Lokasi & Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Ruang Perinatologi Rumah Sakit Dr. H.

Abdul Moeloek Bandar Lampung.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus – September 2020

3.3 Rancangan Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah analitik yaitu penelitian yang

mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan terjadi. Kemudian

melakukan analisis dinamika kolerasi antara fenomena atau antara faktor resiko dengan

faktor efek. Desain penelitian ini adalah cross-sectional, dimana peneliti mempelajari

dinamika korelasi antara faktor- faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan,

observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu waktu ( point time approach ).

Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan

terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan. (Notoatmodjo,

Metodologi Penelitian Kesehatan, 2018)

3.4 Subjek Penelitian

3.4.1 Populasi
41

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti tersebut.

(Notoatmodjo, Metodologi Penelitian Kesehatan, 2018)

Populasi dalam penelitian ini adalah semua bayi yang lahir dan dilarikan ke

bagian peinatal di RSUD Dr. H. Abdoel Moeloek Bandar Lampung tahun 2019

berjumlah 100.

3.4.2. Sampel

Sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh

populasi (Notoatmodjo, Metodologi Penelitian Kesehatan, 2018)

Pada penelitian ini sampel yang diambil menggunakan metode Purposive

Sampling dengan menggunakan rumus Slovin dengan perhitungan sebagai berikut

Cara perhitungan :

N
n=
1+ N (d ) 2

N
n=
1+729(0,05)
2
100
n=
1+0,25

100
n=
Keterangan
1,25:

𝒏 = 80
n = Jumlah Sample

N = Jumlah Populasi

e = Batas Toleransi Kesalahan error 5% = 0,05


42

Jadi didapatkan bahwa jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah 80 sampel.

3.4.3 Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling

yaitu pengambilan sampel dengan cara didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu

yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat- sifat yang sudah diketahui

sebelumnya atau dengan kriteria inklusi sampai jumlah sampel yang diperlukan

terpenuhi. (Notoatmodjo, Metodologi Penelitian Kesehatan, 2018). Sampel penelitian

ini diambil dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sebagai berikut :

Kriteria Inklusi :

1) Neonatal yang mengalami kematian dalam Usia 0- 28 hari

2) Neonatal yang mengalami asfiksia

Kriteria Eklusi :

1) Kematian Bayi dan Neonatal yang bukan diakibatkan asfiksia

2) Data dalam RM ( Rekam Medis) tidak lengkap

3.4.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan data sekunder yaitu

data yang diambil dari catatan rekam medik pasien di Uang Perinatologi Rumah Sakit

Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2019.


43

3.4.5 Variabel Penelitian

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang

dimiliki atau didapatkan oleh suatu penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu

(Notoatmodjo, 2010)

3.4.6 Variabel Bebas (Independent variable)

Variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannnya atau

timbulnya variabel dependen atau variabel terikat (Notoatmodjo, 2010). Variabel bebas

dalam penelitian ini adalah Kematian Neonatal.

3.4.7 Variabel Terikat (Dependent Variable)

Variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel

independen atau variabel bebas (Notoatmodjo, 2010). Variabel terikat dalam penelitian

ini adalah Asfiksia.

3.5 Definisi Operasional

Tabel 3.2
44

Definisi Operasional Hubungan antara Kematian Neonatal dengan

Kejadian Asfiksia di Rumah Sakit Dr. H. Abdoel Moeloek Tahun 2019

N
Alat Cara Hasil
Variabel Definisi Skala
O Ukur Ukur Ukur

Variabel Independen
1 Asfiksia Asfiksia adalah Apgar Rekam 1). Nilai Ordinal
keadaan bayi Score Medik 0-3
tidak bernapas : Asfiksia
secara spontan berat
dan teratur segera 2). Nilai
setelah lahir dan 4-6
sering dijumpai : Asfiksia
pada bayi selama sedang
atau sesudah 3). Nilai
persalinan. 7-10
: Normal

Variabel Dependen
1 Kematian Kematian Rekam Ordinal
Neonatal neonatal adalah Medik
kematian bayi
yang berumur 0
sampai 28 hari.

3.6 Pengolahan Data

Secara umum kegiatan pengolahan data dapat dibagi dalam beberapa tahapan

antara lain:

1) Editing
45

Editing adalah memeriksa kembali lembar observasi sesuai observasi yang

dilakukan peniliti apakah sudah lengkap dan jelas atau tidak.

2) Coding

Coding adalah pengelompokan data dengan menggunakan kode-kode tertentu

agar memudwahkan dalam pengolahan data.

3) Entering

Entering adaalah memasukkam data dari rekam medik ke sistem statistik

komputerisasi agar dapat di analisis.

4) Processing

Processing adalah pengolahan data dengan program statistik komputer sehingga

dapat dianalisa dan dapat ditarik kesimpulan (Notoatmodjo, 2010).

3.7 Analisis Data


3.7.1 Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap responden. Variabel yang diteliti meliputi : Asfiksia dan kejadian

Kematian neonatal. Analisis univariat dilakukan dengan menggunakan rumus distribusi

frekuensi yaitu :

f
p= x 100 %
n

Keterangan :

P = frekuensi dalam %
46

F = jumlah yang didapat

n = jumlah populasi

3.7.2 Analisis Bivariat

Analisis Bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau

berkolerasi. Analisis bivariat ini menimbulkan ada atau tidaknya hubungan statistik atau

pengaruh antara variabel bebas dengan variabel terkait. Penelitian ini digunakan batas

bermakna sebesar 95% (ρ value <0,05%) atau batas kemaknaan (α> 0,05) untuk

mengetahui ada tidaknya pengaruh yang bermakna secara statistik dengan

menggunakan computer data masing-masing subvariabel dimasukan ke dalam tabel

kemudian dianalisa untuk membandingkan nilai ρ value dan nilai alpha (0,05) dengan

ketentuan:

1) Ha diterima jika ρ value < 0,05 berarti ada hubungan antara Asfiksia dengan

kejadian Kematian Neonatal.

2) Ha ditolak jika ρ value > 0,05 berarti tidak ada hubungan antara Asfiksia

dengan kejadian Kematian Neonatal.

Mencari Chi kuadrat dengan rumus :

X 2
=
∑ ( 0−E )2
E
Keterangan :

X2 : Nilai Chi – Kuadrat

O : Frekuensi hasil observasi

E : Frekuensi yang diharapkan


47

Dari hasil uji chi-square hanya dapat menyimpulkan ada atau tidaknya perbedaan

proporsi antar kelompok mana yang memiliki resiko lebih besar dibandingkan

kelompok lain. Dalam penelitian ini juga dilakukan perhitungan Odds Ratio untuk

mengetahui besarnya faktor resiko atau besar terjadinya Asfiksia.

Dari nilai interprestasi OR adalah:

a. Bila Odds Ratio sama dengan satu (OR=1), menunjukkan bahwa variabel yang diteliti

bukan faktor risiko.

b. Bila Odds Ratio lebih besar dari satu (OR≥1), menunjukkan bahwa variabel yang

diteliti merupakan faktor risiko.

c. Bila Odds Ratio kurang dari satu (OR≤1), menunjukkan bahwa variabel yang diteliti

bukan faktor pencegah.

3.8 Alur Penelitian

Gambar 3.1 Alur Penelitian

Neonatal yang mengalami asfiksia Di ruang perinatologi

RSUD H. Abdul Moeloek

Melihat isi rekam medis, diagnosis dokter

Pengolahan data

Analisis data

Penyusunan Laporan

Penyerahan Laporan

Persentasi Skripsi
48

DAFTAR PUSTAKA

(n.d.).

Abdullah, A. Z., Naiem, M. f., & Mahmud, N. U. (2012). Faktor resiko kematian neonatal
dirumah sakit bersalin. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol 6. No 6, 283-287.

Babullah, M. (2019). GAMBARAN KEJADIAN ASFIKSIA DENGAN LILITAN TALI PUSAT PADA BAYI
BARU LAHIR DI UPTD PUSKESMAS LAMURUKUNG TAHUN 2017 . Jurnal Ilmiah
Kesehatan Diagnosis Volume 14 Nomor 2, 128-132.

Fida, & Maya. (2012). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Yogyakarta: D-Medika.

IDAI. (2008). Buku Ajar Neonatologi.


49

Intarti, W. D., Puspitasari, L., & Pradani, R. I. (2016). Efektifitas Muscle Pumping dalam
Meningkatkan Score APGAR pada bayi baru lahir dengan asfiksia. Jurnal Kebidanan,
Vol. VIII, No. 01, 1-126.

Manuaba, I. B. (2012). Ilmu kebidanan, penyakit kandungan & keluarga berencana untuk
pendidikan bidan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Notoatmodjo, S. (2018). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan (3 ed.). Jakarta: Rineka Cipta.

Pusponegoro, T. S. (2016). Sepsis pada Neonatus (Sepsis Neonatal). Sari Pediatri, Vol. 2, No. 2,
96-102.

Rukiyah, A. Y., & Yulianti, L. (2019). Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi dan Anak Pra Sekolah.
Jakarta: CV. Trans Info Media.

Rukmono, P. (2017). TATALAKSANA BAYI BARU LAHIR Panduan Praktis Untuk Dokter Paramedis
dan Bidan. Bndar Lampung: AURA.

Rukmono, P. (2020). Neonatologi Praktis (Vol. Edisi Revisi 2020). Bandar Lampung: CV.
Anugrah Utama Raharja.

Sembiring, J. B. (2019). Buku Ajar Neonatus Bayi, Balita, Anak pra sekolah. Sleman:
DEEPUBLISH.

Setiyani, A., Sukesi, & esyunanik. (2016). Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, Balita dan Anak
pra sekolah. Jakarta: Kemenkes.

soetomo. (2017). Asfiksia pada bayi baru lahir dan resusitasi. seminar kebidanan stikes karya
husada, 2-3.

Sondakh, J. (2013). Asuhan Kebidanan Persalinan & Bayi Baru Lahir. Jakarta: Erlangga.

Sulistiarini, D., & Berliana, S. M. (2016). Faktor -faktor yang Memengaruhi Kelahiran Bayi
Prematur di Indonesia: Analisis Data Rikardes 2013. E-Journal WIDYA Kesehatan Dan
Lingkungan Vol.1 No.2, 109-115.

Anda mungkin juga menyukai