Anda di halaman 1dari 53

HUBUNGAN MEKANISME KOPING DENGAN KECEMASAN ORANG TUA

BAYI DI RUANG NICU RSUD DR. MM. DUNDA LIMBOTO

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Mengikuti


Ujian Sarjana Keperawatan

Oleh

………………………………..
NIM; ………………………….

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS OLAH RAGA DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ruangan NICU (Neonatal Intensive Care Unit) merupakan ruang perawatan

intensif untuk bayi baru lahir (sampai usia 28 hari) yang memerlukan pengobatan dan

perawatan khusus, dengan tujuan mencegah dan mengobati terjadinya kegagalan

organ-organ vital pada bayi baru lahir. Ada berbagai penyakit pada bayi baru lahir

yang menyebabkan bayi harus dirawat di NICU, seperti bayi yang lahir dengan berat

badan rendah, mengalami gangguan sistem pernafasan (asfiksia), mengalami

kesulitan dalam proses persalinan, maupun bayi yang lahir secara prematur. Bayi

yang baru lahir dan ada masalah terhadap kondisinya, maka perlu dirawat di ruang

NICU (RSIA, 2018).

Bayi baru lahir disebut juga dengan neonatus, yaitu merupakan individu yang

sedang mengalami masa pertumbuhan dan baru mengalami trauma kelahiran serta

memerlukan penyesuaian diri dari kehidupan intrauterin ke kehidupan ekstrauterin.

Neonatus mempunyai pertahanan fisik yang lemah dan fungsi imunitas yang imatur

sehingga rentan terhadap invasi bakteri. Dalam hal ini neonatus memerlukan

penanganan dan perlakuan yang khusus karena memiliki risiko kematian yang lebih

tinggi dibandingkan dengan pasien-pasien lain (Maryanti & Sujianti, 2011).

Data dunia yang di laporkan oleh UNICEF tahun 2020 dari Bayi yang baru

lahir sangat rentan, diperkirakan mencapai 50 persen dari semua kematian pada tahun

pertama kehidupan, dengan 75 persen kematian terjadi pada tahun pertama


kehidupan. Sayangnya, upaya dalam menurunkan angka kematian bayi baru lahir

mengalami penurunan dalam dekade terakhir (UNICHEF, 2020).

Kematian neonatal merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat

penting di negara berkembang. Diperkirakan terdapat 136 juta bayi yang lahir setiap

tahun, namun 4 juta di antaranya meninggal dalam periode neonatal (0-28 hari) dan

99 % dari kematian tersebut banyak terjadi Negara berkembang. Kematian neonatal

perlu mendapat perhatian khusus karena sebagian besar kematian bayi terjadi pada

masa awal kelahiran (neonatus) didukung dengan data yang menunjukkan tingkat

proporsi Angka Kematian Neonatal (AKN) sebagai penyumbang kematian bayi

sebesar 59 % di Indonesia. Berdasarkan data yang dilaporkan kepada Direktorat

Kesehatan Keluarga, pada tahun 2019, dari 29.322 kematian balita, 69% (20.244

kematian) diantaranya terjadi pada masa neonatus. Dari seluruh kematian neonatus

yang dilaporkan, 80% (16.156 kematian) terjadi pada periode enam hari pertama

kehidupan. Sementara, 21% (6.151 kematian) terjadi pada usia 29 hari – 11 bulan dan

10% (2.927 kematian) terjadi pada usia 12 – 59 bulan. Pada tahun 2019, penyebab

kematian neonatal terbanyak adalah kondisi berat badan lahir rendah (BBLR).

Penyebab kematian lainnya di antaranya asfiksia, kelainan bawaan, sepsis, tetanus

neonatorium, dan lainnya (Kemenkes, R.I, 2020)

Resiko kematian pada neonatal menyebabkan bayi harus dirawat diruangan

NICU yang menuntut penyesuaian orang tua terhadap pengasuhan bayinya

selama perawatan yang intensif sampai bayi stabil dan siap untuk
mendapatkan perawatan di rumah. Bayi ini secara umum berada di ruangan

khusus yang terpisah dengan ruang perawatan ibu (Oktiawati et al., 2020).

Perawatan bayi di NICU mempunyai dampak yang bermakna pada ibu dan hal

ini dapat menyebabkan konsekuensi jangka panjang pada keluarga itu. Krisis

kelahiran bayi berat badan lahir rendah dan stigma yang terjadi pada kelahiran bayi

yang sakit berat, diperberat oleh perpisahan yang diakibatkan perawatan di NICU

sehingga hal ini akan menyebabkan respon cemas pada setiap orangtua. Kecemasan

adalah hasil dari proses psikologi dan proses fisiologi dalam tubuh manusia.

Kecemasan tidak sama dengan rasa takut dan kecemasan menunjukkan reaksi

terhadap bahaya yang memperingatkan bahwa ada bahaya sehingga akan

menyebabkan kehilangan kendali pada individu tersebut. Kecemasan yang tidak

segera diatas akan sangat berdampak pada kondisi psikologis individu bahkan

kecenderungan untuk melakukan bunuh diri (Direja, 2011).

Perlu upaya besar untuk membantu mengatasi rasa sedih dan rasa kehilangan

yang dialami para orang tua, menanggapi pertanyaan mereka dengan optimal dan

memudahkan kemampuan mereka beradaptasi. Salah satu cara dalam mengatasi

kecemasan adalah dengan meningkatkan mekanisme koping. Mekanisme koping

merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk menangani dan menguasai

situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara

melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam

dirinya (Stuart & Sundeen, 2013). Orang tua khususnya seorang ibu akan

menunjukkan mekanisme koping dengan adanya permasalahan pada bayi mereka,


misalnya saja dimulai dari adanya perasaan bersalah karena telah melahirkan bayi

dengan berat yang kurang. Kemudian rasa bersalah akan berkembang menjadi

perasaan takut, cemas, stres dan depresi karena pada akhirnya bayi akan dirawat di

ruang NICU di mana ibu akan selalu terpusat perhatiannya atas kondisi bayinya yang

dirawat di ruang NICU.

Studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD dr. MM. dunda Limboto

didapatkan data kematian neonatal selama tahun 2019 sebanyak 13 bayi dimana 8

diantaranya meninggal di ruangan NICU sedangkan tahun 2020 sebanyak 15 bayi dan

yang meninggal di ruangan NICU sebanyak 7 bayi. Hal ini menunjukkan kematian

neonatal masih menjadi masalah utama. Hasil wawancara dengan 5 orangtua bayi

didapatkan keterangan 4 orang diantaranya mengeluh cemas karena kondisi bayinya.

Hasil observasi didapatkan orangtua Nampak cemas dan gelisah selama bayinya

dirawat di NICU. Menurut para orangtua, upaya yang mereka lakukan saat ini adalah

berdoa dan selalu berusaha demi Kesehatan bayinya.

Berdasarkan uraian permasalahan tersebut maka peneliti merasa tertarik dan

penting untuk mengetahui mekanisme koping dan kecemasan orang tua dengan

melakukan penelitian tentang hubungan mekanisme koping dengan kecemasan

orangtua bayi di ruang NICU RSUD dr. MM. Dunda Limboto

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka masalah dalam penelitian

dapat diidentifikasikan sebagai berikut:


1. Kematian neonatal merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting

di negara berkembang. Diperkirakan terdapat 136 juta bayi yang lahir setiap

tahun, namun 4 juta di antaranya meninggal dalam periode neonatal (0-28 hari).

2. Angka Kematian Neonatal (AKN) sebagai penyumbang kematian bayi sebesar 59

% di Indonesia.

3. Data kematian neonatal selama tahun 2019 sebanyak 13 bayi dimana 8

diantaranya meninggal di ruangan NICU sedangkan tahun 2020 sebanyak 15 bayi

dan yang meninggal di ruangan NICU sebanyak 7 bayi.

4. Hasil wawancara dengan 5 orangtua bayi didapatkan keterangan 4 orang

diantaranya mengeluh cemas karena kondisi bayinya.

5. Hasil observasi didapatkan orangtua Nampak cemas dan gelisah selama bayinya

dirawat di NICU. Menurut para orangtua, upaya yang merekalakukan saat ini

adalah berdoa dan selalu berusaha demi Kesehatan bayinya

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian permasalahan tersebut maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah apakah mekanisme koping berhubungan dengan kecemasan

orang tua bayi di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) di RSUD dr. MM.

Dunda Limboto?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum


Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan mekanisme

koping dengan kecemasan orang tua bayi di ruang Neonatal Intensive Care Unit

(NICU) di RSUD dr. MM. Dunda Limboto.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengidentifikasi mekanisme koping orang tua bayi di ruang Neonatal

Intensive Care Unit (NICU) di RSUD dr. MM. Dunda Limboto.

2. Untuk mengidentifikasi kecemasan orang tua bayi di ruang Neonatal Intensive

Care Unit (NICU) di RSUD dr. MM. Dunda Limboto.

3. Untuk menganalisis hubungan mekanisme koping dengan kecemasan orang tua

bayi di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) di RSUD dr. MM. Dunda

Limboto.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

keilmuan khusus dalam memberikan dukungan pada orangtua yang mengalami

kecemasan.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Rumah Sakit

Sebagai masukan untuk membuat perencanaan dalam memberikan layanan

asuhan keperawatan baik kepada bayi maupun keluarga bayi yang sedang

menjalani perawatan intensif di ruang NICU maupun orang tua dari bayi yang

sedang menjalani perawatan intensif.


2. Bagi Perawat

Mampu mengidentifikasi koping ibu yang memiliki bayi yang menjalani

perawatan intensif di ruang NICU (Neonatal Intensif Care Unit), sehingga dapat

membantu para perawat yang khususnya bekerja di ruang NICU khususnya pada

para orang tua yang memiliki bayi yang sedang menjalani perawatan intensif di

ruang NICU.

3. Bagi Peneliti

Peneliti dapat melakukan penelitian pada informan secara langsung tentang

kecemasan dan penggunaan mekanisme koping pada ibu yang memiliki bayi

dengan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) yang sedang menjalani perawatan

intensif di ruang NICU.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Bayi Berat Lahir Rendah

2.1.1 Pengertian

Menurut World Health Organization (WHO) Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

didefinisikan sebagai bayi yang lahir dengan berat < 2500 gram (Maryunani, 2013).

Menurut Djami (2016), ) BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan/prematur atau

disebut BBLR Sesuai Masa Kehamilan (SMK)/Appropriate for Gestational Age

(AGA), bayi cukup bulan yang mengalami hambatan pertumbuhan selama

kehamilan/Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) disebut BBLR Kecil Masa

Kehamilan (KMK)/Small for Gestational Age (SGA) dan besar masa

kehamilan/Large for Gestational Age (LGA).

2.1.2 Klasifikasi BBLR

Klasifikasi BBLR menurut American Academy of Pediatrics (AAP) sebagai

berikut (Sulistyorini, dkk, 2012) :

1. Berdasarkan masa kehamilan/Gestational age yaitu:

a. Preterm/bayi kurang bulan, yaitu masa kehamilan <37 minggu (≤259 hari)

b. Late preterm, yaitu usia kehamilan 34-36 minggu (239-259 hari)

c. Early preterm, yaitu usia kehamilan 22-34 minggu

d. Term/bayi cukup bulan, yaitu usia kehamilan 37-41 minggu (260-294 hari).

e. Post term/bayi lebih bulan, yaitu usia kehamilan 42 minggu atau lebih (≥295

hari).
2. Berdasarkan berat lahir/Birthweight

a. Berat lahir amat sangat rendah/Extremely low birthweight (ELBW), yaitu bayi

dengan berat lahir <1000 gram.

b. Berat lahir sangat rendah/Very Low birthweigt (VLBW), yaitu bayi dengan

berat lahir <1500 gram.

c. Berat lahir rendah/Low birthweight (LBW), yaitu bayi dengan berat lahir

<2500 gram.

3. Berdasarkan berat lahir dan masa kehamilan

a. Sesuai masa kehamilan/Appropriate for gestational age (AGA) adalah berat

lahir antara 10 persentil dan 90 persentil untuk usia kehamilan.

b. Kecil masa kehamilan/Small for gestational age (SGA)/IUGR adalah berat

lahir 2 standar deviasi dibawah berat badan rata-rata untuk masa kehamilan

atau dibawah 10 persentil untuk masa kehamilan.

c. Besar masa kehamilan/Large for Gestational Age (LGA) LGA di defenisikan

sebagai berat lahir 2 standar deviasi diatas rata-rata berat untuk masa

kehamilan atau di atas 90 persentil untuk masa kehamilan. LGA dapat di lihat

pada bayi yang ibunya mengalami diabetes, bayi dengan sindrom Beckwith-

Wiedemandan sindrom lainya, bayi lebih bulan (usia kehamilan > 42

minggu), dan bayi dengan hydrops fetalis. Bayi LGA juga berhubungan

dengan peningkatan berat badan ibu saat hamil, multiparitas, jenis kelamin
bayi laki-laki, penyakit jantung bawaan, khusunya perubahan pada arteri

besar, displasia sel, dan etnik tertentu (hispanik).

2.1.3 Faktor Risiko BBLR

Menurut Bobak, dkk (2012), faktor resiko BBLR meliputi:

1. Faktor Ibu

a. Usia Ibu

Umur ibu terlalu muda (< 20 tahun) ataupun terlalu tua (> 35 tahun)

merupakan salah satu faktor risiko penyebab BBLR.(18) Penyulit pada

kehamilan remaja (< 20 tahun) lebih tinggi dibandingkan kurung waktu

reproduksi sehat (usia 20-30 tahun) keadaan ini disebabkan belum matangnya

alat reproduksi untuk hamil, sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun

perkembangan dan pertumbuhan janin. Keadaan tersebut akan lebih

menyulitkan bila ditambah dengan tekanan (stres) psikologik, sosial ekonomi,

sehingga memudahkan terjadinya keguguran, BBLR, mudah terjadi infeksi,

anemia kehamilan, keracunan kehamilan (gestosis) dan kematian ibu yang

tinggi. gangguan persalinan, pre eklampsia dan perdarahan antepartum. Ibu

hamil > 35 tahun terjadi penurunan fungsi organ melalui proses penuaan dan

jalan lahir juga tambah kaku sehingga terjadi persalinan macet dan

pendarahan, selain itu dapat melahirkan bayi belum cukup bulan.

b. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan faktor yang mendasari pengambilan

keputusan. Pendidikan menentukan kemampuan menerima dan


mengembangkan pengetahuan dan teknologi. Semakin tinggi pendidikan ibu

akan semakin mampu mengambil keputusan bahwa pelayanan kesehatan

selama hamil dapat mencegah gangguan sedini mungkin bagi ibu dan

janinnya, Tinggi rendahnya taraf pendidikan seseorang akan mendukung dan

memberi peluang terhadap daya serap ilmu pengetahuan dan keinginan serta

kemauan untuk mengetahui setiap hal yang berkaitan dengan kehamilan.

Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, semakin baik kemampuan berpikir dan

penerimaan informasi tentang pentingnya perawatan ANC sedini mungkin,

sehingga kebutuhan janin terpenuhi sebagaimana yang diharapkan.

Pendidikan juga sangat erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan ibu tentang

perawatan kehamilan dan gizi selama. Ibu yang buta huruf atau berpendidikan

rendah memiliki insidens BBLR lebih tinggi dibandingkan ibu yang

berpendidikan lebih tinggi. Ibu yang berpendidikan rendah mempunyai

informasi kurang tentang perawatan prenatal (perawatan selama kehamilan),

nutrisi selama kehamilan, diet penting, dampak perilaku ibu terhadap janin.

c. Stress psikologik

Stres merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses

berpikir dan kondisi diri seseorang. Stres psikologis pada ibu hamil cenderung

mengarah pada depresi atau kecemasan. Gejala depresi dapat terjadi tumpang

tindih dengan gejala kecemasan. Gangguan kecemasan lebih didominasi

keluhan perasaan ketakutan dan kekhawatiran, sedangkan depresi didominasi

perasaan kemurungan dan kesedihan. Kehamilan dengan kondisi stres, cemas


dan dengan depressive symptoms dapat memicu meningkatnya sekresi

hormon kortikotropin (CRH) yang diketahui berinteraksi dengan hormon

sitoksin dan progstaglandin. Hormon ini dapat memediasi kontraksi uterus,

sehingga terjadi kelahiran BBLR termasuk kelahiran preterm.

d. Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi secara tidak langsung mempengaruhi terjadinya BBLR.

Keterbatasan status sosial ekonomi akan mengakibatkan terjadinya

keterbatasan dalam mendapatkan asupan makanan yang bergizi dan pelayanan

antenatal yang adekuat. Umumnya ibu-ibu dengan sosial ekonomi rendah

akan mempunyai intake makanan yang lebih rendah baik secara kualitas

maupun secara kuantitas, yang berakibat terhadap rendahnya status gizi ibu

hamil tersebut. Keadaan status gizi ibu yang buruk berisiko melahirkan bayi

dengan BBLR dibanding dengan bayi yang dilahirkan ibu dengan status gizi

baik.

e. Status Gizi

Status gizi ibu pada kehamilan berpengaruh pada status gizi janin. Asupan

makanan ibu dapat masuk ke janin melalui tali pusat yang terhubung kepada

tubuh ibu. Kondisi terpenuhinya kebutuhan zat gizi janin terkait dengan

perhatian asupan gizi dari makanan yang adekuat agar tumbuh kembang janin

berlangsung optimal.

f. Parietas
Pada ibu dengan paritas > 3 kali, risiko anak untuk mengalami persalinan

prematur lebih tinggi, hal ini disebabkan karena kehamilan yang berulang

(paritas tinggi) akan membuat uterus menjadi renggang, sehingga dapat

menyebabkan kelainan letak janin dan plasenta yang akhirnya akan

berpengaruh buruk pada proses persalinan serta kemampuan untuk mengejan

pada saat melahirkan sudah mulai berkurang sejalan dengan usia ibu itu

sendiri. Ibu dengan paritas 1 berisiko untuk melahikan BBLR karena fungsi

organ reproduksi belum siap dalam menjaga dan menerima kehamilan.

g. Pre Eklampsia/Eklampsia

Pre eklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, proteinuria, dan

edema yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi pada

triwulan ke 3 kehamilan. Pre eklampsia merupakan penyakit penyulit

kehamilan yang akut, dan dapat terjadi antepartum, intrapartum, dan

postpartum. Urutan gejala pre eklampsia ialah edema, hipertensi, dan

proteinuria. Semua gejala tersebut, timbulnya hipertensi dan proteinuria

merupakan gejala yang paling penting. Gejala lebih lanjut adanya gangguan

nyeri kepala, gangguan penglihatan, atau nyeri epigastrium

h. Hipertensi

Wanita hamil dengan hipertensi, sebagian pembuluh darah mengalami

vasokonstriksi atau penyempitan sehingga O2 yang ada pada ibu tidak bisa

dialirkan ke janin lewat plasenta, akibatnya bayi mengalami hipoksia dan


mengalami kesulitan pertumbuhan janin dan komplikasi yang terjadi pada

bayi biasanya BBLR.

2. Faktor Janin

Pertumbuhan dan perkembangan janin sangat kompleks, yang dipengaruhi oleh

genetik, kematangan ibu dan faktor lingkungan. Faktorfaktor ini mempengaruhi

ukuran dan fungsi kapasitas plasenta, transfer zat gizi dan oksigen uteroplasenta

dari ibu kejanin, lingkungan endokrin janin dan jalur matabolisme. Pertumbuhan

janin yang optimal penting untuk kelangsungan hidup perinatal. Kelainan pada

janin yang dapat menyebabkan BBLR diantaranya adalah kelainan kromoson, dan

infeksi janin (Maryunani, 2013). Pengaruh infeksi terhadap kehamilan bersumber

dari gangguan fungsi hati dalam mengatur dan mempertahankan metabolisme

tubuh sehingga aliran nutrisi kejanin dapat terganggu atau berkurang. Oleh karena

itu pengaruh infeksi janin terhadap kehamilan dapat dalam bentuk keguguran atau

persalinan prematur dan kematian janin dalam Rahim.

3. Faktor lingkungan

Ibu yang tinggal di dataran tinggi > 15.000 kaki cenderung melahirkan bayi

BBLR dibanding ibu yang tinggal di ketinggian 500 kaki, karena kadar oksigen

yang lebih rendah pada daerah tinggi. Ibu yang tempat tinggalnya dataran tinggi

berisiko untuk mengalami hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum.


2.2 Konsep Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU)

2.2.1 Pengertian

Ruangan NICU (Neonatal Intensive Care Unit) adalah ruang perawatan intensif

untuk bayi yang memerlukan pengobatan dan perawatan khusus, guna mencegah dan

mengobati terjadinya kegagalan organ-organ vital (RSIA, 2021).

2.2.2 Level Perawatan Bayi Baru Lahir

Menurut Sulistyorini, dkk. (2012), level perawata Bayi Baru Lahir yaitu:

1. Level I adalah untuk bayi risiko rendah, dengan kata lain bayi normal yang sering

digunakan istilah rawat gabung (perawatan bersama ibu). Perawatan level 1

mencakup bayi lahir sehat yang segera dilakukan rawat gabung dengan ibunya,

sehingga dapat menunjang penggunaan ASI eksklusif.

2. Level II adalah untuk bayi risiko tinggi tetapi pengawasan belum perlu intensif.

Pada level ini bayi diawasi oleh perawat 24 jam, akan tetapi perbandingan

perawat dan bayi tidak perlu 1-1. Perawatan level II meliputi perawatan bayi

bermasalah yang memerlukan perawatan khusus yang terbagi menjadi dalam

ruangan infeksi dan non infeksi. Adapun bayi yang dapat dirawat di level ini

antara lain bayi dengan hiperbilirubinemia yang memerlukan terapi sinar maupun

transfusi tukar; bayi berat badan lahir rendah (BB 1500-kurang dari 2500 gram)

atau sangat rendah (BB kurang dari 1500 gram), bayi kurang bulan (umur

kehamilan di bawah 34-36 minggu) yang memerlukan perawatan dalam

inkubator; bayi yang tidak dapat atau tidak boleh diberikan minum peroral,

sehingga harus diberikan infus intravena, bayi yang membutuhkan terapi oksigen,
tetapi belum memerlukan alat bantu nafas mekanis, misalnya bayi dengan distres

atau gangguan nafas, riwayat lahir tidak langsung menangis; bayi dengan gejala

hipoglikemia (kadar gula darah rendah) atau ibu dengan riwayat diabetes melitus;

bayi dengan riwayat tindakan persalinan yang menyebabkan trauma bayi lahir,

misalnya dengan forcep atau vacum ekstraksi; bayi sakit tersangka infeksi

sedang-berat yang memerlukan pemberian antibiotika secara intravena dan nutrisi

intravena.

3. Level III adalah untuk bayi risiko tinggi dengan pengawasan yang benar benar

ekstra ketat. Satu orang perawat yang bertugas hanya boleh menangani satu

pasien selama 24 jam penuh. Perawatan level III (NICU) meliputi perawatan bayi

sakit kritis atau belum stabil yang memerlukan support alat bantu nafas mekanik

(Bubble Nasal CPAP atau Ventilator mekanik), tindakan operatif maupun

pemberian obat-obatan atau tindakan intervensi khusus. Adapun bayi yang harus

dirawat di NICU antara lain bayi dengan sindroma gawat nafas derajat 3 dan 4

yang memerlukan support alat bantu nafas mekanik (Bubble Nasal CPAP atau

Ventilator mekanik), Aspirasi air ketuban (Meconeum Aspiration Syndrome);

Bayi berat badan lahir amat atau sangat rendah (kurang dari 1200 gram), atau bayi

dengan umur kehamilan kurang dari 34 minggu yang belum mendapatkan obat

kematangan paru; Bayi dengan kelainan kongenital yang membutuhkan tindakan

operatif, misalnya bayi dengan obstruksi saluran pencernaan, hernia

diafragmatika, omfalokel, penyakit jantung bawaan, perforasi usus, atresia ani,

dll; serta perawatan bayi pasca operasi besar yang membutuhkan support
ventilator mekanik; Bayi yang membutuhkan intervensi invasif, misalnya

pemberian surfaktan, transfusi tukar, pemasangan akses umbilikal, pemasangan

akses vena dalam dan akses arteri, ventilator mekanik.

2.2.3 Fasilitas Ruang Perawatan Bayi Baru Lahir

1. Level I: ruang perawatan biasa; pasien dirawat di ruang atau kamar biasa dan

tidak memerlukan alat atau fasilitas khusus.

2. Level II: ruang perawatan memerlukan monitor dan inkubator.

3. Level III: selain monitor dan inkubator, ruangan juga mesti difasilitasi ventilator.

Monitor berfungsi untuk mengontrol detak jantung dan otak. Sedangkan

ventilator untuk membantu sistem pernapasan

2.3 Konsep Kecemasan

2.3.1 Pengertian

Kecemasan atau ansietas adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang

samar disertai respon otonom (sumber seringkali tidak spesifik atau tidak diketahui

oleh individu), perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal

ini merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya

bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman (Stuart &

Sundeen, 2013).

Menurut Videbeck (2012), Kecemasan adalah emosi dan merupakan

pengalaman subyektif individual, mempunyai kekuatan tersendiri dan sulit

diobservasi secara langsung. Reaksi pertama yang muncul atau dirasakan oleh klien

dan keluarganya disaat klien harus dirawat mendadak atau tanpa terencana begitu
mulai masuk rumah sakit. Kecemasan akan terus menyertai klien dan keluarganya

dalam setiap tindakan keperawatan terhadap penyakit yang diderita klien.

Menurut Direja (2011), Kecemasan adalah hasil dari proses psikologi dan

proses fisiologi dalam tubuh manusia. Kecemasan tidak sama dengan rasa takut dan

kecemasan menunjukkan reaksi terhadap bahaya yang memperingatkan bahwa ada

bahaya sehingga akan menyebabkan kehilangan kendali pada individu tersebut

2.3.2 Penyebab Kecemasan

Kecemasan tidak dapat dihindarkan dari kehidupan individu dalam memelihara

keseimbangan. Pengalaman cemas seseorang tidak sama pada beberapa situasi dan

hubungan interpersonal. Menurut Keliat (2019), hal yang dapat meninbulkan

kecemasan biasanya bersumber dari:

1. Ancaman integritas bologi yang meliputi:

a. Gangguan terhadap kebutuhan dasar makan

b. Gangguan terhadap kebutuhan dasar minum

c. Gangguan terhadap kebutuhan dasar kehangatan

d. Gangguan terhadap kebutuhan dasar seks.

2. Ancaman terhadap keselamatan diri yang meliputi:

a. Tidak menemukan integritas diri

b. Tidak menemukan status dan prestise

c. Tidak memperoleh pengakuan dari orang lain

d. Ketidaksesuaian pandangan diri dengan lingkungan nyata

2.3.3 Teori Kecemasan


Berbagai teori kecemasan diungkapkan oleh beberapa ahli sebagaimana dikutip

dalam Videbeck (2012) yang akan dijelaskan berikut ini:

1. Teori psikoanalitik

Menurut Freud, kecemasan timbul akibat reaksi psikologi individu terhaap

ketidakmampuan mencapai orgasme dalam hubungan seksual. Energy seksual yang

tidak terekspresikan akan mengakibatkan rasa cemas. Kecemassan timbul dapat

secara otomatis akibat dari stimulus internal dan eksternal yang berlebihan. Secara

stimulus (internal dan eksternal) yang berlebihan sehingga melampaui kemampuan

individu untuk menanganinya. Pada teori ini kecemasan dibagi kedalam dua tipe

yaitu:

a. Kecemasan primer

Kejadian traumatik yang dikawal saat bayi lahir akibat adanya stimulasi tiba-

tiba dan trauma pada saat persalinan, kemudian berlanjut dengan

kemungkinan tidak tercapainya rasa puas akibat kelaparan atau kehausan.

Penyebab kecemasan primer ini adalah keadaan ketegangan atau dorongan

yang diakibatkan oleh faktor eksternal.

b. Kecemasan subsekuen

Sejalan dengan peningkatan ego dan usia, feud melihat ada jenis kecemasan

lain akibat konflik emosi diantara dua elemen kepribadian yaitu id dan

superego. Freud menjelaskan bila terjadi kecemasan maka posisi ego sebagai

pengembang id dan superego berada pada kondisi bahaya.


2. Teori interpersonal

Sulivan mengemukakan bahwa kecemasan timbul akibat ketidakmampuan

untuk berhubungan interpersonal dan sebagai akibat penolakan. Kecemasan bias

dirasakan bila individu mempunyai kepekaan lingkungan. Kecemasan pertama kali

ditentukan oleh hubungan ibu dan anak pada awal kehidupannya, bayi berespons

seolah-olah ia dan ibunya adalah satu unit. Dengan bertambahnya usia, anak melihat

ketidaknyamanan yang timbul akibat tindaknnya sendiri dan diyakini bahwa ibunya

setuju atau tidak setuju dengan perilaku tersebut.

Adanya trauma seperti perpisahan dengan orang berarti atau kehilangan dapat

menyebabkan kecemasan pada individu. Kecemasan yang timbul pada masa

berikutnya muncul saat individu mempersepsikan bahwa ia akan kehilangan orang

yang dicintainya. Harga diri seseorang merupakan faktor penting yang berubungan

dengan kecemasan. Orang yang mempunyai predisposisi mengalami kecemasan

adalah orang yang mudah terancam, mempunyai opini negative terhadap dirinya atau

meragukan kemampuannya.

3. Teori perilaku

Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan merupakan hasil frustasi akibat

berbagai hal yang mempengaruhi individu dalam mencapai tujuannya yang

diinginkan misalnya memperoleh pekerjaan, berkeluarga, kesuksesan dalam sekolah.

Perilaku merupakan hasil belajar dari pengalaman yang pernah dialami. Kecemasan

dapat juga muncul melalui konflik antara dua pilihan yang saling berlawanan dan

individu harus memilih salah satu. Konflik menimbulkan kecemasan dan kecemasan
akan meningkatkan persepsi terhadap konflik dengan timbulnya perasaan

ketidakberdayaan.

4. Teori keluarga

Studi pada keluarga dan epidemiologi memperlihatkan bahwa kecemasan selalu

ada pada tiap-tiap keluarga dalam bentuk dan sifatnya heterogen.

5. Teori biologic

Otak memiliki reseptor khusus terhadap benzodiazepine, reseptor tersebut

berfungsi membantu regulasi kecemasan. Regulasi tersebut berhubungan dengan

aktivitas neurotransmitter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol

aktivitas neuron dibagian otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.

Bila GABA bersentuhan dengan sinaps dan keterkaitan dengan reseptor

sehingga terjadi perpindahan ion. Perubahan ini mengakibatkan eksitasi sel dan

memperlambat aktivitas sel dan memperlambat aktivitas sel. Teori ini menjelaskan

bahwa invidu yang sering mengalami kecemasan mempunyai masalah dengan proses

neurotansmiter ini. Mekanisme koping juga dapat terganggu karena pengaruh toksik,

defisiensi nutrisi, menurunnya suplai, perubahan hormone dan sebab fisik lainnya.

Kelelahan dapat meningkatkan iritabilitas dan perasaan cemas

2.3.4 Patofisiologi kecemasan

Stuart & Sundeen (2013) menjelaskan neurofisiologi kecemasan adalah sebagai

berikut: Rerspon sistem saraf otonom terhadap rasa takut dan ansietas menimbulkan

aktivitas involunter pada tubuh yang termasuk dalam mekanisme pertahanan diri.

Secara fisiologi situasi stress akan mengaktifkan hipotalamu, yang selanjutnya akan
mengaktifkan dua jalur utama stress, yaitu sistem endokrin (korteks adrenal) dan

sistem saraf otonom (simpatis dan para simpatis.

Untuk mengaktifkan sistem endokrin, setelah hipotalamus menerima stimulus

stress atau kecemasan, bagian anterior hipotalamus akan melepaskan Corticotrophin

Releasing Hormone (CRH), yang akan menginstruksikan kelenjar hipofisis bagian

anterior untuk mensekresikan Adrenocorticotropin Hormone (ACTH). Dengan

disekresinya hormon ACTH ke dalam darah maka hormon ini akan mengaktifkan

zona fasikulata korteks adrenal untuk mensekresikan hormon glukortiroid yaitu

kortisol. Hormon kortisol ini juga berperan dalam proses umpan balik negatif yang

dihantarkan ke hipotalamus dan kemudian sinyal diteruskan ke amigdala untuk

memperkuat pengaruh stress terhadap emosi seseorang.

Selain itu, umpan balik negatif ini akan merangsang hipotalamus bagian

anterior untuk melepaskan hormon Thirotropic Releasing Hormone (TRH) dan akan

menginstruksikan kelenjar hipofisis anterior untuk melepaskan Thirotropic Hormone

(TTH). TTH ini akan mengakibatkan perubahan tekanan darah, frekuensi nadi,

peningkatan Basal Metabolic Rate (BMR), peningkatan asam lemak bebas, dan juga

peningkatan ansietas. Mekanisme kedua dari stres yaitu melalui jalur sistem saraf

otonom. Setelah stimulus diterima oleh hipotalamus, maka hipotalamus langsung

mengaktifkan sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Aktivasi sistem saraf simpatis

akan mengakibatkan terjadinya peningkatan frekuensi jantung, dilatasi ateri

koronaria, dilatasi pupil, dilatasi bronkus, meningkatkan kekuatan otot rangka,

melepaskan glukosa melalui hati dan meningkatkan aktivasi mental. Perangsangan


saraf simpatis juga mengakibatkan aktivasi dari medula adrenalis sehingga

menyebabkan pelepasan sejumlah besar epineprin dan norepinefrin ke dalam darah,

untuk kemudian kedua hormon ini dibawa oleh darah ke semua jaringan tubuh.

Epinefrin dan norepinefrin akan berikatan dengan reseptor β1dan α1 adrenergik dan

memperkuat respon simpatis untuk meningkatkan tekanan darah dan frekuensi nadi

(Videbeck, 2012).

Aktivasi saraf parasimpatis akan mengakibatkan terlepasnya asetilkolin dari

postganglion n. vagus, untuk selanjutnya asetilkolin ini akan berikatan dengan

reseptor muskarinik (M3) pada otot polos bronkus dan mengakibatkan peningkatan

frekuensi nafas. Ketika bahaya telah berakhir, serabut saraf parasimpatis membalik

proses ini dan mengembalikan tubuh pada kondisi normal sampai tanda ancaman

berikutnya dan mengaktifkan kembali respons simpatis (Stuart & Sundeen, 2013).

2.3.5 Respon Kecemasan

Menurut Direja (2011), respon kecemasan meliputi:

1. Respon fisiologis

a. Kardiovaskuler

1) Palpitasi

2) Peningkatan tekanan darah

3) Pingsan

4) Penurunan denyut nadi

b. Respirasi

1) Nafas cepat
2) Sesak nafas

3) Pernafasan dangkal

4) Terengah-engah

c. Gastrointestinal

1) Nafsu makan menurun

2) Mual

3) Nyeri perut

4) Rasa panas seperti terbakar

d. Neuromuscular

1) Peningkatan reflex

2) Reaksi kejut

3) Kelopak mata berkedut

4) Insomnia

5) Gelisah

6) Gerakan kaku

e. Saluran kemih

1) Keinginan buang air kecil

2) Sering buang air besar

f. Kulit

1) Wajah memerah

2) Berkeringat
3) Gatal

4) Wajah pucat

2. Respon perilaku

a. Kegelisahan

b. Ketegangan fisik

c. Tremor

d. Bicara cepat

3. Respon kognitif

a. Gangguan perhatian

b. Konsentrasi yang buruk

c. Sering lupa

d. Kesalahan penilaian

e. Mimpi buruk

f. Kehilangan kontol

4. Respon afektif

a. Kegelisahan

b. Ketidaksabaran

c. Rasa gelisah

d. Ketegangan

e. Gugup

f. Ketakutan

g. Frustasi
h. Ketidakberdayaan

2.3.6 Factor yang mempengaruhi kecemasan

Menurut Yosep (2019), ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan

pola dasar yang menunjang reaksi cemas:

1. Lingkungan

Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara berpikir individu.

Hal ini dapat disebabkan pengalaman individu. Kecemasan secara normal timbul bila

kita tidak merasa aman dengan lingkungan sekitar.

2. Emosi

Kecemasan bias terjadi bila individu tidak mampu menemukan jalan keluar atas

permasalahan atau hubungan personal. Ini terjadi akibat rasa marah atau frustasi

dalam jangka waktu yang lama.

3. Sebab fisik

Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat menyebabkan

timbulnya kecemasan. Hal ini biasanya terlihat dalam kondisi seperti kehamilan,

semasa remaja dan sewaktu pulih dari suatu penyakit.

4. Keturunan

Sekalipun gangguan emosi ada yang ditemukan dalam keluarga-keluarga

tertentu, ini bukan merupakan penyebab penting kecemasan

2.3.7 Pengukuran Tingkat Kecemasan

Untuk mengukur tingkat kecemasan dilakukan dengan menggunakan indikator

kecemasan berdasarkan skala kecemasan menurut Hamilgton Rating Scale for


Anxiety (HRS.A) dengan kategori tingkat kecemasan Ringan, Sedang, Berat dan

sangat Berat (Nursallam, 2013). Adapun skor yang ditentukan untuk menilai tingkat

kecemasan adalah:

1. 6-14 (Kecemasan ringan)

2. 15-27 (Kecemasan sedang)

3. 28-36 (Kecemasan Berat)

4. >36 (sangat Berat/Panik)

2.4 Konsep Mekanisme Koping

2.4.1 Pengertian

Mekanisme koping adalah kemampuan koping adalah kemampuan yang

dimiliki seseorang untuk menyelesaikan masalah secara langsung dan mekanisme

pertahanan ego untuk melindungi dirinya serta sebagai bentuk dari penatalaksanaan

stress (Keliat, 2019).

Menurut Stuart & Sundeen (2013), koping didefinisikan sebagai salah satu

upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk mengatur dalam memenuhi

kebutuhannya dan mengatasi setiap permasalahan yang bersifat mengancam atau

menantang serta membahayakan dan merugikan atau menguntungkan dirinya.

Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa koping adalah suatu

proses dimana individu berusaha untuk mengatur kebutuhan dan hubungannya

dengan lingkungan sedemikian rupa sehingga ia dapat mengatasi masalah yang

dialaminya.

2.4.2 Dimensi Koping


Menurut Lazarus (1991) dalam (Yosep, 2019) membagi koping kedalam dua

dimensi sebagaimana dielaskan sebagai berikut:

1. Koping berfokus pada masalah

Individu bertindak secara langsung untuk mengatasi masalah atau mencari

informasi yang relevan dengan solusi, yaitu:

a. Konfrontasi

Sebagai usaha untuk mengubah situasi atau keadaan.

b. Perencanaan masalah

Usaha difokuskan pada masalah untuk mencari jalan keluar.

c. Mencari dukungan social

Usaha untuk memperoleh kenyamanan emosional dengan mencari informasi

atau dukungan dari orang lain.

Menurut Keliat (2019), koping berfokus pada masalah melibatkan proses

kognitif, afektif, dan psikomotor, yaitu:

a. Berbicara dengan orang lain, teman, keluarga dan perawat tentang masalahnya

dan mencari jalan keluar dari nasihat orang lain.

b. Mencari tahu lebih banyak informasi tentang situasi yang dihadapi melalui

buku, media massa atau orang yang ahli.

c. Berhubungan dengan kekuatan supranatural. Melakukan kegiatan ibadah,

menambah kepercayaan diri dan mengembangkan pandangan yang positif.

d. Melakukan latihan penanganan stres, dengan latihan pernafasan, meditasi,

visualisasi dan stop berpikir.


e. Membuat berbagai alternatif tindakan dalam menangani situasi.

f. Belajar dari pengalaman masa lalu, tidak mengulangi kegagalan yang sama.

2. Koping berfokus pada emosi

Dimensi koping ini merujuk pada upaya untuk mengurangi berbagai reaksi

emosional negative terhadap stress yaitu:

a. Penerimaan

Menggambarkan penerimaan atas keadaan.

b. Menjaga jarak

Menggambarkan usaha untuk melepaskan atau memisahkan diri dari keadaan.

c. Kontrol diri

Usaha untuk mengatur perasaan diri sendiri.

d. Menghindar

Usaha untuk lari atau menghindar dari permasalahan yang dihadapi.

e. Penilaian positif

Usaha untuk menemukan arti positif dalam pengalaman yang terjadi.

2.4.3 Periode penyesuian psikologis

Menurut Yosep (2019), penyesuaian psikologis pada setiap individu terjadi atas

beberapa tahap yaitu:

1. Pengingkaran

Reaksi pertama individu yang mengalami masalah adalah syok, rasa tidak

percaya dan menolak kenyataan yang dihadapinya. Mereka cenderung akan berupaya
mencari alternative melalui informasi tambahan yang dapat mendukung persepsi atas

diri mereka.

2. Marah

Tahap ini muncul saat individu mulai sadar akan kenyataan yang dihadapinya.

Perasaan yang meningkat sering diproyeksikan kepada orang yang ada disekitarnya

dalam berbagai ekspresi misalnya marah, lebih agresif, bicara kasar atau menuduh

orang lain yang tidak sesuai dengan kenyataan.

3. Tawar-menawar

Pada tahap ini individu biasanya akan mengatakan seandainya dulu saya

menjaga kesehatan atau seandainya dulu saya tidak melakukan hal itu.

4. Depresi

Pada tahap ini seringkali individu akan menunjukkan sikap menarik diri, tidak

mau berbicara bahkan cenderung putus asa.

5. Penerimaan

Pada tahap ini individu mulai dapat menerima kenyataan yang ada dan mulai

mereorganisasi perasaannya.

2.4.4 Mekanisme koping

Stuart & Sundeen (2013) membagi mekanisme koping menjadi dua macam

yaitu mekanisme koping yang adaptif dan mekanisme koping yang maladaptif.

1. Mekanisme koping adaptif adalah suatu usaha yang dilakukan individu dalam

menyelesaikan masalah akibat adanya stressor atau tekanan yang bersifat positif,

rasional, dan konstruktif.


2. Mekanisme koping maladaptive adalah suatu usaha yang dilakukan individu

dalam menyelesaikan masalah akibat adanya stressor atau tekanan yang bersifat

negatif, merugikan dan destruktif serta tidak dapat menyelesaiakan masalah

secara tuntas

Menurut Brunner & Suddarth (2007) ada lima cara penting dalam menghadapi

masalah, yaitu:

1. Merasa optimis terhadap masa depan

Adanya harapan akan kesembuhan penyakitnya seperti adanya keyakinan

bahwa keadaan akan baik-baik saja, menyemangati diri sendiri untu tetap tegar dan

tidak boleh menyerah serta percaya bahwa terapi hemodialisa akan membantu

memulihkan keadaannya, adanya pikiran yang berpusat pada kepercayaan dasar

bahwa setiap masalah ada solusinya seperti memikirkan cara lain dalam mengatasi

penyakit.

2. Menggunakan dukungan sosial

Dukungan sosial merupakan dukungan verbal, saran, bantuan yang nyata atau

tindakan yang diberikan oleh orang orang yang akrab degan subjek di dalam

lingkungan sosialnya. Dukungan ini juga dapat berupa kehadiran orang tertentu dan

hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah

laku penerimanya.

3. Menggunakan sumber spiritual

Menggunakan sumber spiritual, seperti berdoa dan menemui pemuka agama

atau aktif pada kegiatan-kegiatan kerohanian juga menjadi cara koping dalam
menghadapi masalah terutama yang disebabkan oleh penyakit. Mendekatkan diri

kepada Tuhan juga bisa dilakukan dengan meminta saran atau mencari informasi

yang berasal dari alim ulama atau pemuka agama.

4. Mencoba tetap mengontrol situasi atau perasaan

Mengontrol situasi maupun perasaan, merupakan pengendalian diri tanpa

menunjukkan emosi atau bereaksi dengan tenang.

5. Mencoba menerima kenyataan yang ada.

Menerima keadaan atau sadar akan keadaan dirinya yang menderita suatu

penyakit dan cenderung mencari hikmah dari keadaan tersebut. Penerimaan berbagai

kenyataan hidup dan pandangan positif.

2.5 Penelitian Relevan

Terdapat 3 penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian yang akan

dilaksanakan oleh peneliti yaitu:

1. Penelitian Sekar, Fatimahdan Etika (2016) tentang faktor-faktor yang

berhubungan dengan kecemasan dan analisis kebutuhan orangtua yang

mengalami kecemasan dengan bayi sakit kritis di NICU RSUD Prof.dr. Margono

Soekardjo Purwokerto. Rancangan penelitian ini adalah penelitian kuantitatif

bersifat descriptive analitikdengan pendekatan cross sectional.Ditujukan untuk

menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kecemasan dan

kebutuhanorangtua yang mengalami kecemasan dengan bayi sakit kritis di NICU.

Populasi dalampenelitian ini adalah seluruh orangtua dengan bayi yang

sakit kritis dirawat di NICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo


Purwokerto sebanyak 70 responden. Hasil penelitian menunjukkan 14,3%

responden mengalami kecemasan sedang dan sisanya 85,7% mengalami

kecemasan ringan. Sementara faktor yang berhubungan dengan kecemasan

responden adalah pengalaman sebelumnya dan lama bayi di rawat di ruangan

NICU.

2. Penelitian, Yeni, Rini dan Karim (2013) tentang Faktor-Faktor Yang

Berhubungan Dengan Tingkat Stres Orang Tua Pada Anakyang Di Rawat Di

Ruangan Perinatologi. Penelitia bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan tingkat stres orang tua pada anak yang dirawat di ruangan

Perinatologi. Penelitian adalah deskripsi korelasi, untuk mengidentifikasi faktor

yang berpengaruh terhdap tingkat stress orangtua. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa terdapat pengaruh diagnosis penyakit, tindakan pengobatan/ perawatan,

sosial ekonomi, pengetahuan dalam merawat anak dan sistem pendukung

keluarga terhadap tingkat stres orang tua selama anak dirawat di rumah sakit.
2.6 Kerangka Berpikir

2.6.1 Kerangka Teori

BBLR

Perawatan intensive di
ruangan NICU

Kecemasan orangtua

1. Reaksi fisiologis
Respon Koping 2. Reaksi prilaku
orangtua bayi

1. Koping berfokus 1. Tidak cemas


pada masalah Mekanisme koping 2. Ringan
2. Koping berfokus 1. Adaptif 3. Sedang
pada emosi 2. Mal adaptif 4. Berat
5. panik

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Sumber: (Stuart & Sundeen, 2013), (Videbeck, 2012), (Keliat, 2019)
2.6.2 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Mekanisme koping Kecemasan


orangtua bayi

Keterangan:

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

: Hubungan Variabel

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

2.7 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan mekanisme koping

dengan tingkat kecemasan orangtua bayi di ruang NICU RSUD dr. MM. Dunda

Limboto.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan pada bulan Juli tahun 2021 di

Ruang NICU RSUD dr. MM. Dunda Limboto,

3.2 Desain penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan survey deskripsi korelasi dengan

pendekatan crossectional studi yaitu rancangan penelitian observasi dimana proses

pengumpulan data dilakukan secara bersamaan pada satu waktu tertentu yang

kemudian dinilai korelasi hubungan antara variabel independen dan variabel

dependen (Madiyono et al., 2014).

3.3 Variabel Penelitian

Penelitian ini terdiri dari variable independen dan variable dependen. Variabel

independen yaitu variabel yang tidak tergantung pada variable lain atau variable yang

akan menyebabkan perubahan pada variable lain sedangkan variabel dependen yaitu

variable yang dipengaruhi oleh variabel lain (Notoatmodjo, 2010). Variabel

independen dalam penelitian ini adalah mekanisme koping, sedangkan variabel

dependen dalam penelitian ini adalah kecemasan orangtua bayi. Selanjutnya kedua

variable tersebut akan didefinisikan secara operasional sebagaiman digambarkan pada

tabel di bawah ini:


Tabel 3.1 Definisi Operasional

Skala
Variabel Definisi operasional Alat ukur Hasil ukur
ukur
Variabel
independen

Mekanisme Cara yang dilakukan Kuisioner 1. Kurang Ordinal


koping oleh orangtua bayi mekanisme bila skor
yang di rawat coping ≤75%
diruangan NICU 2. Baik bila
untuk menyelesaikan skor
masalah yang >75%
meliputi optimis
terhadap masa
depan, dukungan
sosial, kepercayaan
spiritual, kontrol
diri, dan menerima
kenyataan.
Variabel
Dependen

Kecemasan Adanya responden Kuisioner 1. 6-14 Ordinal


orangtua bayi psikologi tubuh Hamilton (Kecem
sebagai tanda dan Anxiety Rating asan
gejala kecemasan Scale (HARS) ringan)
yang diukur 2. 15-27
menggunakan (Kecem
Hamilgton Rating asan
Scale for Anxiety sedang)
(HRS.A) 3. 28-36
(Kecem
asan
Berat)
4. >36
(sangat
Berat/Pa
nik)
3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/ subyek yang

mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2016).. Populasi dalam penelitian

ini adalah seluruh orangtua bayi yang di rawat di ruangan NICU RSUD dr. MM.

Dunda Limboto.

3.4.2 Sampel

Sampel adalah bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian karakteristik

yanga ada dalam populasi Sugiono (2018). Sampel dalam penelitian ini adalah kepala

orangtua bayi yang dirawat di ruangan NICU yang ditentukan dengan teknik

accidental sampling yaitu sampel digunakan bila secara kebetulan hadir atau bertemu

dengan peneliti saat penelitian berlangsung. Adapun kriteria sampel yang digunakan

adalah:

1. Bersedia menjadi responden

2. Hadir saat penelitian berlangsung

3. Orangtua yang bayinya dirawat di ruangan NICU

4. Dapat membaca dan menulis.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

3.5.1 Data primer


Data primer adalah data utama yang diperoleh peneliti melalui lembar data

karakteristik responden dan lembar kuisioner mekanisme koping dan lembar

kuisioner tingkat kecemasan sebagaimana akan dijelaskan dibawah ini:

1. Data Karakteristik

Data karakteristik responden yang meliputi usia, tingkat pendidikan dan pekerjaan.

Dalam kuesioner tersebut responden diminta menuliskan atau memilih jawaban

sesuai dengan kondisi responden pada saat itu.

2. Kuisioner Mekanisme Koping

Kuesioner koping orangtua terdiri dari 20 pernyataan yang diambil dari penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Rafiki (2017) yang kemudian modifikasi oleh

peneliti. Pernyataan dalam kuisioner ini terdiri dari pernyataan positif yaitu pada

item pernyataan nomor 1,2,5,9,10,11,12,13,14,15, 16,17,18,19,20 dan pernyataan

negatif adalah item soal nomor 3, 4,6,7,8 dan 20. Penilaian jawaban tersebut

adalah:

a. Untuk pernyataan positif

1) Selalu =4

2) Sering =3

3) Kadang-kadang =2

4) Tidak pernah =1

b. Untuk pernyataan negatif

1) Selalu =1

2) Sering =2
3) Kadang-kadang =3

4) Tidak pernah =4

3. Kuisioner Kecemasan

Untuk kusioner kecemasan peneliti menggunakan alat ukur skala kecemasan

menurut Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) yang terdiri dari 14 item

pernyataan. Dalam penggunaan alat ukur ini peneliti mendampingi responden dan

menjelaskan tanda dan gejala yang dialami kemudian tanda dan gejala yang

dirasakan responden tersebut dicantumkan dalam lembar kuisioner dengan cek list.

3.5.2 Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti melalui data dinas Kesehatan

Provinsi Gorontalo, Kabupaten Gorontalo dan RSUD dr. MM. Dunda Limboto untuk

digunakan sebagai data penunjang penelitian ini.

3.5.3 Instrumen penelitian

Instrument penelitian ini menggunakan kuisioner yang disusun sendiri oleh

peneliti dengan merujuk pada teori yang telah ada. Selanjutnya, sebelum kuisioner ini

akan digunakan untuk pengumpulan data, terlebih dahulu akan dilakukan uji validitas

dan reliabilitas untuk mengetahui apakah kuisioner ini dapat digunakan sebagai alat

pengumpul atau tidak. Kuisioner yang akandiuji validitas dan reliabilitas adalah

kuisioner mekanisme koping dimana uji validitas menggunakan analisis t hitung

dimana apabila nilai yang diperoleh lebih besar darinilai t hitung maka kuisioner

dinyatakan valid. Selanjutnya uji reliabilitas menggunakan nilai alpha crombach 0,70.

Apabila nilai yang didapatkan nilai relibilitas lebih dari 0,70 maka kuisioner
dinyatakan reliabel. Sedangkan kuisioner kecemasan menggunakan kuisioner baku

yaitu Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) sehingga tidak perlu dilakukan uji

validitas dan uji reliabilitas.

3.6 Teknik Pengolahan data dan Analisis Data

3.6.1 Pengolahan Data

Data dioleh melalui tahapan sebagai berikut :

1. Pengolahan secara komputer atau manual dengan melakukan :

a. Editing, yaitu kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir

kuisioner atau angket.

b. Coding, yaitu instrument berupa kolom-kolom untuk merekam data secara

manual. Bila menggunakan komputerisasi coding yakni mengubah data bentu

kalimat atau huruf ke bentuk data angka atau bilangan. Hal ini untuk

mempermudah proses entry data dan tabulasi data.

c. Entry, yaitu mengisi kolom-kolom atau kotak lembaran kode sesuai dengan

jawaban masing-masing pertanyaan. Bila menggunakan computer cukup

memasukkan data untuk diolah menggunakan computer maka otomatis akan

berproses dan menghasilkan hasil data statistik.

d. Tabulating, yaitu membuat tabel-tabel data sesuai dengan tujuan penelitian

atau yang diinginkan peneliti.

2. Pengolahan data di lakukan dengan komputerisasi

3. Penyajian data
Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi di sertai penjelasan tabel

untuk mendapatkan gambaran mengenai data demografi orantua bayi, mekanisme

koping dan kecemasan.

3.6.2 Analisis data

1. Analisis Univariat

Tujuan analisis ini adalah untuk mendeskripsikan masing-masing variabel yang

diteliti. Untuk data kategorik dengan menghitung frekuensi dan prosentase.

Pengujian masing-masing variabel dengan menggunakan tabel dan

diintepretasikan berdasarkan hasil yang diperoleh. Analisis univariat pada

penelitian ini menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik responden yang

meliputi usia, jenis kelamin, pekerjaan, mekanisme koping dan kecemasan.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat menguraikan perbedaan rerata variabel mekanisme koping dan

tingkat kecemasan. Analisa statistik hasil jawaban atas hasil observasi diskoring

dan kemudian dilakukan uji korelasi. Uji yang digunakan adalah Perason r yang

dianalisis menggunakan komputerisasi SPSS.

3.7 Etika Penelitian

Menurut Hidayat (2017), dalam etika penelitian ini ada 3 (tiga) prinsip yang

harus dijalankan dalam penelitian yaitu :

1. Lembar persetujuan (Informed Concent)

Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan

memberikan lembar persetujuan (Informed Concent). Informed Concent tersebut


diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan

untuk menjadi responden. Tujuan Informed Concent adalah agar subjek mengerti

maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya, jika subjek bersedia maka

harus menandatangani lembar persetujuan dan jika responden tidak bersedia,

maka peneliti harus menghormati hak pasien.

2. Tanpa nama (Anonymity)

Merupakan masalah etika dalam penelitian keperawatan dengan cara tidak

memberikan nama responden pada lembar alat ukur, hanya menuliskan kode pada

lembar pengumpulan data.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasiaan dari hasil penelitian baik

informasi maupun masalah-masalah lainnya, semua informasi yang telah

dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu

yang akan dilaporkan pada hasil riset.

4. Prinsip keterbukaan dan keadilan (justice)

Prinsip keterbukaan dan keadilan (justice) dilaksanakan dengan cara

menjelaskan prosedur penelitian dan senantiasa memperhatikan kejujuran

(honesty) serta ketelitian.


DAFTAR PUSTAKA

Bobak, dkk (2012). Buku ajar prakti keperawatan klinis(edisi 5). Jakarta : EGC

Direja, A. H. S. (2011). Buku ajar asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta: Nuha


Medika, 78–85.
Djami, M. E. U. (2016). Asuhan Persalinan Dan Bayi Baru Lahir. Jakarta: TIM.
Hidayat, A. A. (2017). Metodologi Penelitian Keperawatan dan Kesehatan. Jakarta:
Salemba Medika, 88.
Keliat, B. A. (2019). Manajemen keperawatan psikososial & kader kesehatan jiwa.
Kemenkes, R.I, 2020. (2020). Profil Kesehatan Indonesia.
https://doi.org/10.5005/jp/books/11257_5
Madiyono, B., Moeslichan, S., Sastroasmoro, S., Budiman, I., & Purwanto, S. H.
(2014). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi, 5, 352–386.
Maryanti, D., & Sujianti, B. T. (2011). Buku Ajar Neonatus, Bayi Dan Balita.
Jakarta. Trans Info Media.
Maryunani, A. (2013). Asuhan Bayi Dengan Berat Badan Lahir Rendah. Jakarta
timur: CV. Trans Info Media.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Bina Pustaka.
Oktiawati, A., Itsna, I. N., & Ni’mah, J. (2020). Emotional Freedom Technique (EFT)
Menurunkan Kecemasan Ibu Yang Memiliki Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR).
JURNAL KESEHATAN PERINTIS (Perintis’s Health Journal), 7(1), 8–15.
https://doi.org/10.33653/jkp.v7i1.421
Stuart, G. W., & Sundeen, S. J. (2013). Buku Saku Keperawatan Jiwa .(Ramus & Egi
Komara, penerjemah). Jakarta: EGC.
Sugiono, R. (2018). METODOLOGI PENELITIAN SOSIAL. Suatu Pendekatan
Teori Dan Praktis. Alfabeta, Bandung.
Videbeck, S. L. (2012). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta: Egc, 45, 2010–2011.
Yosep, I. (2019). Buku ajar keperawatan jiwa.
Lampiran 1

FORMULIR PERMINTAAN MENJADI RESPONDEN

HUBUNGAN MEKANISME KOPING DENGAN KECEMASAN ORANG TUA


BAYI DI RUANG NICU RSUD DR. MM. DUNDA LIMBOTO

Oleh : …………….

Saya adalah mahasiswa Jurusan Keperawatan Fakultas keolahragaan dan ilmu

kesehatan Universitas Negeri Gorontalo ingin melakukan penelitian yang bertujuan

untuk mengetahui hubungan mekanisme koping dengan kecemasan orang tua bayi di

ruang NICU RSUD dr. MM. Dunda Limboto.

Penelitian ini salah satu kegiatan dalam menyelesaikan tugas skripsi di Jurusan

Keperawatan fakultas ilmu kesehatan dan Keolah Ragaan Universitas Negeri

Gorontalo. Maka saya mengharapkan kesediaan saudara/(i) menjadi responden dalam

penelitian ini. Informasi yang saya dapatkan ini hanya akan digunakan untuk

pengembangan ilmu keperawatan dan tidak akan dipergunakan untuk maksud lain.

Partisipasi saudari dalam penelitian ini bersifat bebas untuk menjadi responden

penelitian atau menolak tanpa ada sanksi apapun. Jika saudari bersedia menjadi

responden silahkan saudari menandatangani formulir persetujuan ini.

Tanggal :

No. responden :
Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Setelah membaca penjelasan penelitian ini maka saya mengetahui manfaat dari

penelitian ini. Saya mengerti bahwa peneliti akan menjunjung tinggi hak-hak saya

sebagai responden dan saya menyadari bahwa penelitian ini tidak akan berdampak

negative bagi saya.

Dengan menandatangani persetujuan ini berarti saya telah menyatakan berpartisipasi

dalam penelitian ini tanpa paksaan dan sukarela.

Gorontalo,…Juli 2021

………………………..
Paraf/ tanda tangan
Lampiran 3

INSTRUMEN PENELITIAN

HUBUNGAN MEKANISME KOPING DENGAN KECEMASAN ORANG TUA


BAYI DI RUANG NICU RSUD DR. MM. DUNDA LIMBOTO

I. KARAKTERISTIK RESPONDEN

Petunjuk Pengisian.

Jawablah pertanyaan dibawah ini secara jujur dan benar dengan memberi tanda

cek ( ) pada kolom pilihan yang tersedia.

a. Usia : ……. Tahun

b. Pendidikan

SD

SMP

SMA

Sarjana

c. Pekerjaan

Tiada

Buruh/ karyawan swasta

Tani

Wiraswasta

ASN/ pegawai BUMN


II. MEKANISME KOPING

Cara pengisian:
Berikanlah tanda checklist ( √ ) pada kolom angka yang ada di sebelah kanan pada
masing-masing butir pertanyaan dengan pilihan yang sesuai dengan yang Anda
alami.
Kadang- Tidak
No Kemampuan Koping selalu sering
kadang pernah
1 Dalam menyelesaikan masalah, saya
memikirkan cara yang paling tepat
untuk menyelesaikan masalah
2 Mencoba untuk menyelesaikan suatu
permasalahan tahap demi tahap
3 Saya menyakiti diri sendiri ketika
ada masalah yang tidak terselesaikan
4 Untuk melupakan kemarahan, saya
sering membanting pintu, bantal,
buku, dll
5 Saya meminta bantuan teman/
sahabat ketika ada masalah
6 Saya berdamai dengan takdir,
terkadang saya hanya sedang tidak
beruntung
7 Saya tidak mau bertemu dengan
orang lain ketika saya adalah
masalah
8 Saya memendam sendiri masalah
yang saya hadapi
9 Saya selalu berfikir positif terhadap
setiap masalah yang saya hadapi
10 Ketika ada masalah frekuensi ibadah
saya meningkat
11 Ketika ada masalah, saya bertindak
seolah-olah tidak mengalami
masalah sama sekali
12 Saya sering mencoba untuk
melupakan masalah dari dalam
pikiran dan memikiran sesuatu yang
lain.
13 Saya mencoba memandang masalah
sebagai bagian kehidupan yang harus
saya jalani
14 Ketika saya ada masalah saya
menjadi lebih kuat
15 Saya menghabiskan waktu untuk
nonton TV atau membaca koran
16 Saya menghindari masalah saya
dengan melakukan kegiatan yang
bermanfaat
17 Ketika ada masalah, saya bertindak
seolah-olah tidak mengalami
masalah sama sekali
18 Saya menolak untuk percaya bahwa
saya sedang memiliki masalah
19 Ketika saya ada masalah, saya
berusaha untuk melupakan masalah
dan meninggalkannya
20 Ketika saya memiliki masalah, saya
menyalahkan orang lain atas masalah
saya

III. TINGKAT KECEMASAN

Penilaian Tingkat kecemasan– HARS (HAMILTON ANXIETY RATING SCALE)


Berilah tanda Checklist (√) pada jawaban kotak jawaban yang disediakan dan
menurut anda yang paling sesuai dengan apa yang anda rasakan.
1. Perasaan cemas
 Firasat buruk
 Takut akan pikiran sendiri
 Mudah tersinggung
 Mudah emosi
2. Ketegangan
 Merasa tegang
 Lesu
 Mudah terkejut
 Tidak dapat istirahat dengan tenang
 Mudah menangis
 Gemetar
 Gelisah
3. Ketakutan
 Pada gelap
 Ditinggal sendiri
 Pada orang asing
 Pada kerumunan banyak orang

4. Gangguan tidur
 Sukar memulai tidur
 Terbangun malam hari
 Mimpi buruk
 Mimpi yang menakutkan
5. Gangguan kecerdasan
 Daya ingat buruk
 Sulit berkonsentrasi
 Sering bingung
 Banyak Pertimbangan
6. Perasaan depresi
 Kehilangan minat
 Sedih
 Berkurangnya kesukaan pada hobi
 Perasaan berubah-ubah
7. Gejala somatic ( otot-otot )
 Nyeri otot
 Kaku
 Kedutan otot
 Gigi gemertak
 Suara tak stabil
8. Gejala sensoris
 Telinga berdengung
 Penglihatan kabur
 Muka merah dan pucat
 Merasa lemah
9. Ganguan kardiovaskular
 Denyut nadi cepat
 Berdebar-debar
 Nyeri dada
 Rasa lemah seperti mau pingsan
10. Gejala pernafasan
 rasa tertekan di dada
 perasaan tercekik
 merasa nafas pendek/sesak
 sering menarik nafas panjang
11. Gejala pencernaan
 Sulit menelan
 Mual muntah
 Perut terasa penuh dan kembung
 Nyeri lambung sebelum makan dan sesudah
12. Gejala urogenetalia
 Sering kencing
 Tidak dapat menahan kencing
13. Gejala otonom
 Mulut kering
 Muka kering
 Mudah berkeringat
 Sakit kepala
 Bulu roma berdiri
14. Apakah anda merasakan
 Gelisah
 Tidak tenang
 Mengerutkan dahi muka tegang
 Nafas pendek dan cepat
Jumlah skor :................
Kesimpulan :
 Kecemasan ringan
 Kecemasan sedang
 Kecemasan berat
 Kecemasan berat sekali

Anda mungkin juga menyukai