Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ikterus merupakan keadaan klinis berupa pewarnaan kuning yang tampak pada
sklera dan kulit akibat penumpukan bilirubin indirek dalam darah. Secara klinis, ikterus
akan terlihat jika kadar bilirubin serumnya lebih dari 5 mg/dL dan biasanya terlihat pada
usia satu minggu. Ikterus terjadi pada 60% bayi aterm dan 80% bayi preterm (Akinbi,
2005; Sukadi, 2008).
Ikterus dikelompokkan menjadi ikterus fisiologis dan patologis. Ikterus
neonatorum fisiologis timbul akibat peningkatan dan akumulasi bilirubin indirek < 5
mg/dl/24 jam yaitu yang terjadi 24 jam pasca salin. Peningkatan kadar bilirubin indirek
pada ikterus neonatorum fisiologis akan meningkat sampai dengan nilai puncak 6-8
mg/dl antara hari ke-3-5 pada bayi cukup bulan (matur) sedangkan pada bayi kurang
bulan (prematur) dapat mencapai 10-12 mg/dl bahkan sampai 15 mg/dl. Ikterus
neonatorum fisiologis timbul akibat metabolisme bilirubin neonatus belum sempurna
yaitu masih dalam masa transisi dari masa janin ke masa dewasa (Glasgow, 2000).
Ikterus neonatorum patologis adalah ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama
pasca salin dimana peningkatan dan akumulasi bilirubin indirek > 5 mg/dl/24 jam dan
ikterus akan tetap menetap hingga 8 hari atau lebih pada bayi cukup bulan (matur)
sedangkan pada bayi kurang bulan (prematur) ikterus akan tetap ada hingga hari ke-14
atau lebih. Tanda-tanda lain ikterus neonatorum patologis yaitu kadar bilirubin direk > 2
mg/dl dan khususnya bayi yang mendapat ASI ditemukan peningkatan kadar bilirubun
indirek > 17 mg/dl (Abdurrachman S, dkk, 2003). Berdasarkan penelitian Tamazi et al
(2013), terdapat 55,8% ikterus fisiologis dan 44,2% ikterus patologis.
Pada Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 didapatkan
angka kematian neonatus pada tahun 2012 sebesar 19 per 1000 kelahiran hidup dan
78,5% kematian neonatus terjadi pada usia 0-6 hari. Komplikasi terbanyak pada neonatus
adalah asfiksia, ikterus, hipotermia, tetanus, infeksi, trauma lahir, berat badan lahir
rendah, sindroma gangguan pernafasan, dan kelainan kongenital (Kemenkes RI, 2015).
Ikterus bukan penyebab terbesar kematian neonatus, tapi ikterus memiliki komplikasi
berupa kernikterus yang dapat menimbulkan sekuele berupa gangguan penglihatan,
gangguan pendengaran, retardasi mental dan dental dysplasia (Wong, 2006).
Enam puluh lima persen neonatus menderita ikterus sebelum mencapai usia 1
minggu di Amerika Serikat. Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Dustira Cimahi
Bandung pada tahun 2009 didapatkan bahwa 95,2% bayi preterm mengalami ikterus
sedangkan pada bayi aterm hanya 16,9% yang mengalami ikterus (Mauliku dan
Nurjanah, 2010). Pada penelitian lain yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah
Ahmad Yani Metro Lampung tahun 2013 didapatkan prevalensi neonatus yang
mengalami ikterus adalah 29,4%. Dari penelitian tersebut, 73,1% merupakan persalinan
premature dan 26,9% persalinan aterm (Anggraini 2014).
Bayi preterm lebih berisiko ikterus dibandingkan dengan bayi aterm karena terjadi
gangguan maturasi glukoronidasi pada bayi preterm sehingga aktifitas uridine
diphosphate glucoronosyl transferase menurun. Penurunan aktifitas enzim ini
menyebabkan jumlah bilirubin indirek yang dirubah menjadi bilirubin direk di hati
mengalami penurunan. Bayi pretem juga lebih berisiko mengalami kernikterus yaitu
toksisitas bilirubin di otak dengan kadar bilirubin yang lebih rendah dari bayi aterm
karena kapasitas ikatan bilirubin-albumin yang menurun pada bayi preterm (Wong et al,
2006; Aina dan Omoigberale, 2012; Buthani dan Wong, 2013).
Menurut penelitian Buthani, 10,1% bayi ikterus yang mengalami kernikterus
memiliki usia gestasi kurang dari 30 minggu. Prevalensinya berkurang menjadi 5,5%
pada usia gestasi 31-32 minggu dan menjadi 1,2 % pada usia gestasi 33-34 minggu.
Terdapat 73,6% bayi ikterus meninggal dari 25,6 % bayi yang lahir preterm (Buthani dan
Wong, 2013).
Ikterus neonatorum perlu mendapat perhatian dan penanganan yang baik sehingga
menurunkan angka kematian bayi (Infant Mortality Rate = IMR) yang masih tinggi di
Indonesia. Berdasarkan latar belakang diatas, kelompok kami tertarik untuk membahas
masalah tentang adanya insidensi bayi baru lahir dengan ikterus neonatorum,
1.2 Rumusan Masalah
Dari hasil uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam
laporan kasus ini adalah asuhan keperawatan pada neonatus dengan ikterik di RSUD Dr.
Abdul Aziz Singkawang.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Setelah penulisan ini mahasiswa dapat memahami tentang asuhan
keperawatan pada neonatus dengan ikterik di RSUD Dr. Abdul Aziz Singkawang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan tentang konsep ikterik pada neonatus di di RSUD Dr. Abdul
Aziz Singkawang.
2. Menggambarkan asuhan keperawatan pada nepnatus dengan ikterik di RSUD
Dr. Abdul Aziz Singkawang.

1.3.3 Manfaat Penelitian


1. Bagi Pembaca
Laporan kasus ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta
memberikan informasi kepada pembaca mengenai asuhan keperawatan pada
neonatus dengan ikterik
2. Bagi Instansi Pendidikan
Hasil dari laporan kasus ini dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan bagi
para praktisi maupun mahasiswa mengenai asuhan keperawatan pada neonatus
dengan ikterik guna menambah pengetahuan dan wawasan
3. Bagi Rumah Sakit
Laporan kasus ini diharapkan memberikan gambaran pada pihak instansi
kesehatan setempat mengenai asuhan keperawatan pada neonatus dengan
ikterik dan sebagai bahan evaluasi dari asuhan keperawatan yang telah
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. (2003). Ikterus Neonatorum.
Perinatologi. Bandung. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 64-84.

Aina YT, Omoigberale AI. (2012). Risk factors for neonatal jaundice in babies presenting at the
university of benin teaching hospital, benin city. Niger J Paed, 39(4): 159-163.

Akinbi H. (2005). Ikterus pada bayi baru lahir; Pedoman klinis pediatri. Jakarta: EGC.

Anggraini. (2014). Hubungan antara persalinan premature dengan hiperbilirubin pada neonatus.
Jurnal Kesehatan, V(2): 109-112.

Buthani VK, Wong RJ. (2013). Bilirubin neurotoxicity in preterm infants: Risk and prevention.
Journal of Clinical Neonatology, 2(2): 1-80.

Kementrian Kesehatan RI (2015). Profil kesehatan Indonesia tahun 2014.

Mauliku EN, Nurjanah A. (2010). Faktor-faktor pada ibu bersalin yang berhubungan dengan
kejadian hiperbilirubin pada bayi baru lahir di rumah sakit dustira cimahi tahun 2009.
Jurnal Kesehatan Kartika, 16: 16-25.

Sukadi. (2008). Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman
A (eds). Buku ajar neonatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, pp: 147-169.

Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). (2012). Angka Kematian Ibu. Dikutip dari
www.bkkbn.co.id diakses pada tanggal 16 Oktober 2019

Tamazi RM, Mustarim, Syah S. (2013). Gambaran faktor risiko ikterus neonatorum pada
neonatus di ruang perinatology RSUD Raden Mattaher Jambi tahun 2013. Jambi
Medical Journal, 1(1):1-7.

Wong RJ, Desandre GH, Sibley E, Stevenson DK. (2006). Neonatal jaundice and liver disease.
Dalam: Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC (eds). Neonatalperinatal medicine. USA:
Mosby Elsevier, pp: 1419-1465.

Anda mungkin juga menyukai