Anda di halaman 1dari 39

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-NYA, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Asuhan Keperawatan pada Kasus Ikterik Neonatuspada By. Ny. M di
Rumah Sakit dr. Abdul Aziz Singkawang 2019”.
Dalam penyusunan asuhan keperawatan ini, penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Carlos Djaafara, M. Kes selaku Direktur Rumah Sakit dr. Abdul Aziz
Singkawang
2. Ns. Winarianti, M.Kep selaku Pembimbing Akademik Profesi Ners
Keperawatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.
3. Ns. Tika Rostinasari , M. Kep selaku Kepala Ruangan dan Pembimbing Klinik
makalah Profesi Ners Keperawatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura.
4. Rekan-rekan satu kelompok serta teman-teman Profesi Ners yang telah
mendukung dan memotivasi dalam penyusunan laporan asuhan keperawatan
ini.

Kami berharap Laporan Kasus ini dapat bermanfaat dan memberikan


kontribusi dalam pembelajaran Asuhan Keperawatan khususnya pada Stase
Keperawatan Jiwa. Untuk kesempurnaan dari laporan ini, maka kami mohon
segala saran dan kritikan yang membangun dari pembaca atau peserta seminar
sangat kami butuhkan sebagai bahan masukan untuk perbaikan laporan ini.

Singkawang, Oktober 2019

Mahasiswa Profesi NERS UNTAN 2019


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ikterus merupakan keadaan klinis berupa pewarnaan kuning yang
tampak pada sclera dan kulit akibat penumpukan bilirubin indirek dalam
darah. Secara klinis, ikterus akan terlihat jika kadar bilirubin serumnya
lebih dari 5 mg/dL dan biasanya terlihat pada usia satu minggu. Ikterus
terjadi pada 60% bayi aterm dan 80% bayi preterm (Akinbi, 2005; Sukadi,
2008).
Ikterus dikelompokkan menjadi ikterus fisiologis dan patologis.
Ikterus neonatorum fisiologis timbul akibat peningkatan dan akumulasi
bilirubin indirek< 5 mg/dl/24 jam yaitu yang terjadi 24 jam pascasalin.
Peningkatan kadar bilirubin indirek pada ikterus neonatorum fisiologis
akan meningkat sampai dengan nilai puncak 6-8 mg/dl antara hari ke-3-5
pada bayi cukup bulan (matur) sedangkan pada bayi kurang bulan
(prematur) dapat mencapai 10-12 mg/dl bahkan sampai 15 mg/dl. Ikterus
neonatorum fisiologis timbul akibat metabolisme bilirubin neonates belum
sempurna yaitu masih dalam masa transisi dari masa janin kemasa dewasa
(Glasgow, 2000).
Ikterus neonatorum patologis adalah ikterus yang timbul dalam 24
jam pertama pasca salin dimana peningkatan dan akumulasi bilirubin
indirek> 5 mg/dl/24 jam dan ikterus akan tetap menetap hingga 8 hari atau
lebih pada bayi cukup bulan (matur) sedangkan pada bayi kurang bulan
(prematur) ikterus akan tetap ada hingga hari ke-14 atau lebih. Tanda-
tanda lain ikterus neonatorum patologis yaitu kadar bilirubin direk> 2
mg/dl dan khususnya bayi yang mendapat ASI ditemukan peningkatan
kadar bilirubun indirek> 17 mg/dl (Abdurrachman S, dkk, 2003).
Berdasarkan penelitian Tamazi et al (2013), terdapat 55,8% ikterus
fisiologis dan 44,2% ikterus patologis.
Pada Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2012 didapatkan angka kematian neonates pada tahun 2012 sebesar 19 per
1000 kelahiran hidup dan 78,5% kematian neonates terjadi pada usia 0-6
hari. Komplikasi terbanyak pada neonates adalah asfiksia, ikterus,
hipotermia, tetanus, infeksi, trauma lahir, berat badan lahir rendah,
sindroma gangguan pernafasan, dan kelainan kongenital (Kemenkes RI,
2015). Ikterus bukan penyebab terbesar kematian neonatus, tapi ikterus
memiliki komplikasi berupa kernikterus yang dapat menimbulkan gejala
berupa gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, retardasi mental
dan dental dysplasia (Wong, 2006).
Enam puluh lima persen neonates menderita ikterus sebelum
mencapai usia 1 minggu di Amerika Serikat. Penelitian yang dilakukan di
Rumah Sakit Dustira Cimahi Bandung pada tahun 2009 didapatkan bahwa
95,2% bayi preterm mengalami ikterus sedangkan pada bayi aterm hanya
16,9% yang mengalami ikterus (Mauliku dan Nurjanah, 2010). Pada
penelitian lain yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Ahmad Yani
Metro Lampung tahun 2013 didapatkan prevalensi neonatus yang
mengalami ikterus adalah 29,4%. Dari penelitian tersebut, 73,1%
merupakan persalinan premature dan 26,9% persalinan aterm (Anggraini
2014).
Bayi preterm lebih berisiko ikterus dibandingkan dengan bayi
aterm karena terjadi gangguan maturasi glukoronidasi pada bayi preterm
sehingga mengaktifkan dinedinphosphate glucoronosyl transferase
menurun. Penurunan aktifitas enzim ini menyebabkan jumlah bilirubin
indirek yang dirubah menjadi bilirubin direk di hati mengalami penurunan.
Bayi pretem juga lebih berisiko mengalami ikterus yaitu toksisitas
bilirubin di otak dengan kadar bilirubin yang lebih rendah dari bayi aterm
karena kapasitas bilirubin-albumin yang menurun pada bayi preterm
(Wong et al, 2006; Aina dan Omoigberale, 2012; Buthani dan Wong,
2013).
Menurut penelitian Buthani, 10,1% bayi ikterus yang mengalami
kern ikterus memiliki usia gestasi kurang dari 30 minggu. Prevalensinya
berkurang menjadi 5,5% pada usia gestasi 31-32 minggu dan menjadi 1,2
% pada usia gestasi 33-34 minggu. Terdapat 73,6%
bayiikterusmeninggaldari 25,6 % bayi yang lahir preterm
(ButhanidanWong, 2013).
Ikterus neonatorum perlumen mendapat perhatian dan penanganan yang
lebih baik sehingga menurunkan angka kematian bayi (Infant Mortality Rate
= IMR) yang masih tinggi di Indonesia. Berdasarkan latar belakang diatas,
kelompok kami tertarik untuk membahas masalah tentang adanya insidensi
bayi baru lahir dengan ikterus neonatorum,

1.2 Rumusan Masalah


Dari hasil uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan
masalah dalam laporan kasus ini adalah asuhan keperawatan pada neonates
dengan ikterik di RSUD Dr. Abdul Aziz Singkawang.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Setelah penulisan ini mahasiswa dapat memahami tentang
asuhan keperawatan pada neonates dengan ikterik di RSUD Dr.
Abdul Aziz Singkawang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan tentang konsep ikterik pada neonatus di di RSUD
Dr. Abdul Aziz Singkawang.
2. Menggambarkan asuhan keperawatan pada neonates dengan
ikterik di RSUD Dr. Abdul Aziz Singkawang

1.3.3 Manfaat Penelitian


1. Bagi Pembaca
Laporan kasus ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
serta memberikan informasi kepada pembaca mengenai asuhan
keperawatan pada neonates dengan ikterik
2. Bagi Instansi Pendidikan
Hasil dari laporan kasus ini dapat digunakan sebagai sumber
pengetahuan bagi para praktis imaupun mahasiswa mengenai
asuhan keperawatan pada neonates dengan ikterik guna
menambah pengetahuan dan wawasan
3. Bagi Rumah Sakit
Laporan kasus ini diharapkan memberikan gambaran pada
pihak instansi kesehatan setempat mengenai asuhan
keperawatan pada neonates dengan ikterik dan sebagai bahan
evaluasi dari asuhan keperawatan yang telah dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Ikterus pada bayi adalah berupa ikterus fisiologis adalah meningkatnya
kadar bilirubin serum (tidak secara langsung) dalam rentan (4 mg/dL hingga
12 mg/dL), pada hari ke empat sesudah kelahiran dan meninggi dan pada hari
ketiga dan kelima. Ikterus fisiologis biasanya terdapat pada bayi aterm dan
sebagai hasil dari ketidakmaturan hepatik pada neonatus. Ikterik patologis
ditandai dengan kulit yang menguning dan naiknya kadar bilirubin serum di
atas 12,90 mg/dL pada bayi aterm dan 15 mg/dl pada bayi preterm dalam 24
jam setelah kelahiran. Kadar bilirubin meningkat cepat sampai lebih dari
5mg/dl, dan dapat berkelanjutan lebih dari seminggu pada bayi aterm penuh,
dan 2 minggu pada bayi preterm.
Ikterik patologis umumnya banyak dihubungkan dengan perbedaan
golongan darah atau inkompatibilitas golongan darah, infeksi atau biliaris
hepatik, atau ketidaknormalan metabolik. Terganggunya transportasi akibat
lemahnya kapasitas pengangkutan misalnya pada hipoalbuminemia atau sebab
obat-obat tertentu. Gangguan fungsi hati yang diakibatkan oleh beberapa
mikroorganisme atau racun yang dapat secara langsung membuat
terganggunya sel hati dan darah merah meliputi infeksi, toksoplasma, sifilis,
rubella, meningitis, dan lainnya. Gangguan ekskresi yang terjadi secara
intrahepatik atau ekstrahepatik. Kenaikan sirkulasi yang enterohepatik
contohnya pada ileus obstruktif, hirschsprung. Metabolisme bilirubin intinya
yaitu produk degredasi hemoglobin, sebagiannya dari sumber lain, transportasi
bilirubin indirect dalam terikatnya bersama albumin diangkat ke hepar untuk
diproduksi oleh sel hepar pengelolahan diikuti oleh protein. Konjugasi terjadi
di dalam sel hepar bilirubin di konjugasi menjadi bilirubin direct dengan
terdapat enzim glukuronil transferase, bilirubin direct diekresi ke usus melalui
duktus koledokus (Pratama, 2013).
Ikterus untuk BBL (Bayi Baru Lahir) merupakan naiknya kadar bilirubin
yang berada di jaringan terdalam ekstravaskuler menyebabkan kulit,
konjungtiva, mukosa dan bagian badan lainnya berwarna menguning. Ikterus
patologik terjadi dalam 24 jam awal dengan bilirubin serum meninggi
melebihi dari 5 mg% perhari, kadarnya meninggi dari 10 mg% pada bayi
cukup bulan atau 15 mg% pada bayi prematur, dan dideteksi setelah minggu
awal kelahiran. Ikterus saat bayi baru lahir terjadi pada 25%–50% neonatus
mencukupi bulan dan lebih meninggi lagi saat neonatus kurang bulan. Ikterus
pada bayi baru lahir menjadi suatu kondisi fisiologis atau bisa merupakan hal
patologis. Ikterus neonatorum yaitu kondisi ikterus yang terdapat pada bayi
saat lahir. Ikterus yang patologik terlihat segera dalam 24 jam awal, bersama
bilirubin serum meninggi lebih dari 5 mg% perhari, kadarnya diatas 10 mg%
pada bayi matur atau 15 mg% saat bayi prematur, dan menetap setelah minggu
awal kelahiran. Ikterus patologik memerlukan tindakan dan perawatan khusus
(Vivian, 2010). Penanganan ikterus neonatorum secara umum yaitu dengan
melakukan terapi sinar atau fototerapi, terapi tranfusi tukar, pemberian ASI
secara optimal, serta terapi sinar matahari (Maulida, 2014).

2.2 Klasifikasi
Menurut Pratama, 2013 klasifikasi ikterus neonatorum ada 5, yaitu :
ikterus fisiologis, ikterus patologis, kern ikterus, ikterus hemolitik, dan ikterus
obstruktif.
a. Ikterus fisiologis
Ikterus yang sering terdapat pada bayi dengan bobot badan lahir
rendah. Ikterus biasanya terlihat pada hari kedua lalu tidak terlihat lagi
setelah sepuluh hari atau saat terakhir minggu kedua.
b. Ikterus patologis
Ikterus yang terlihat segera setelah 24 jam pertama dengan bilirubin
serum meningkat hingga mencapai 10 mg% pada bayi matur atau 15 mg
% pada bayi prematur dan kondisi ini menetap setelah minggu awal
kelahirannya. Ikterus yang menetap berkaitan dengan penyakit hemolitik,
infeksi dan sepsis.
c. Kern ikterus
Kondisi ikterus yang berat dengan adanya gumpalan bilirubin pada
ganglia basalis. Kern ikterus biasanya disertai dengan meningkatnya
kadar bilirubin indirek didalam serum. Bayi yang cukup bulan dengan
kadar bilirubin > 20 mg% atau > 18 mg% pada bayi prematur berisiko
berkembang menjadi kern ikterus, sedangkan hiperbilirubinemia dapat
menyebabkan ensefalopati dan ini sangat berbahaya bagi bayi. Kejadian
kern ikterus bergantung pada kondisi bayi. Bayi dengan kondisi seperti
hipoksia, asidosis, dan hipoglikemia, maka gejala kern ikterus dapat
terlihat meskipun kadar bilirubin < 16 mg%. Penyembuhannya adalah
dengan cara transfusi darah.
d. Ikterus hemolitik
Inkompatibilitas rhesus, golongan darahnya ABO, golongan darah
lainya, dan adanya kelainan eritrosit kongenital atau defisiensi enzim G-
6-PD.
e. Ikterus obstruktif
Sumbatan pendistribusian empedu baik dari hati maupun diluar hati,
sehingga berakibat pada tingginya kadar bilirubinnya direct dan indirect.

2.3 Etiologi
Etiologi jaundice menurut peningkatan kadar bilirubin dapat dibagi
menjadi karena peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated
hyperbilirubinemia) dan bilirubin terkonjugasi (conjugated
hyperbilirubinemia). Ditinjau dari letaknya, penyebab utama conjugated
hyperbilirubinemiaatau kolestasis secara umum dibagi menjadi 2 golongan
besar, yaitu kelainan intrahepatik(hepatoseluler) serta kelainan ekstrahepatik
(obstruktif). Etiologi ikterus yang sering ditemukan ialah: hiperbilirubinemia
fisiologik, inkompabilitas golongan darah ABO dan Rhesus, breast milk
jaundice, infeksi, bayi dari ibu penyandang diabetes melitus, dan
polisitemia/hiperviskositas. Etiologi yang jarang ditemukan yaitu: defisiensi
G6PD, defisiensi piruvat kinase, sferositosis kongenital, sindrom Lucey-
Driscoll, penyakit Crigler-Najjar, hipo-tiroid, dan hemoglobinopati
(Mathindas, 2013).
Peningkatan kadar bilirubin pada bayi baru lahir terjadi adanya fungsi usus
dan hati yang belum sempurna akibatnya banyak bilirubin yang tidak
terkonjugasi dan tidak terbuang dari tubuh dengan maksimal. Kurangnya
asupan makanan juga merupakan penyebab bayi ikterus, pada dua sampai tiga
hari pertama setelah kelahiran, kadang ASI ibu belum keluar sehingga bayi
menjadi kuning karena kekurangan asupan makanan. Terdapat dua jenis
ikterus nonaturum terkait ASI (a) breast- Feeding Associated Jaundice
diketahui disebabkan oleh pemberian ASI yang tidak adekuat dan buruknya
intake cairan yang menyebabkan starvation dan tertundanya pengeluaran
mekonium pada neonatus. Hal tersebut akan meningkatkan sirkulasi
enterohepatik. (b) Brest milk Jaundice, keadaan dimana terjadi peningkatan
absorbsi bilirubin didalam usus (sirkulasi enterohepatik) karena aktivitas
enzim glukoromidase yang bisa terdapat pada ASI yang abnormal (Yuliawati,
2018).

2.4 Manifestasi Klinis


Pada kasus ikterus neonatorum, akumulasi bilirubin bebas dalam darah
neonatus yang umumnya akan terlihat pada kulit, lapisan mukosa lainnya,
serta sklera mata. Hal ini disebabkan karena kadar bilirubin bebas larut dalam
lemak, padahal konsentrasi lemak banyak terdapat dilapisan subkutan,
sehingga bilirubin akan terlarut disana dan tampak sebagai “penyakit kuning”.
Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi kadang-
kadang kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak
(Kernicterus). Gejala klinis yang tampak ialah rasa kantuk, tidak kuat
menghisap ASI/susu formula, muntah, opistotonus, mata terputar-putar keatas,
kejang, dan yang paling parah bisa menyebabkan kematian. Efek jangka
panjang Kern icterus ialah retardasimental, kelumpuhan serebral, tuli, dan
mata tidak dapat digerakkan ke atas (Mathindas, 2013; Yuliawati, 2018).
Ikterus adalah perubahan warna menjadi kuning pada kulit, membran
mukosa, dan sklera yang disebabkan peningkatan produksi bilirubin di dalam
darah. Keadaan ini menandakan adanya peningkatan produksi bilirubin atau
eliminasi bilirubin dari tubuh yang tidak efektif. Ikterus secara klinis akan
mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL
(Tazami, 2013; Maulida, 2014).
2.5 Pemeriksaan Diagnostik
Adapun pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan menurut Mathindas,
Wilar, dan Wahani (2013), yaitu :
a. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang cukup tinggi, namun
masih dapat digunakan bila tidak tersedia alat yang memadai. Pemeriksaan
ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias
penilaian. Secara evident base, pemeriksaan metode visual tidak
direkomendasikan, namun bila terdapat keterbatasan alat masih boleh
digunakan untuk tujuan skrining. Bayi dengan skrining positif harus segera
dirujuk untuk diagnosis dan tata laksana lebih lanjut. Panduan WHO
mengemukakan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
Pemeriksaan dilakukan pada pencahayaan yang cukup (di siang hari
dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila
dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang. Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut
untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan. Keparahan
ikterus ditentukan berdasarkan usia bayi dan bagian tubuh yang
tampak kuning.
b. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan
diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi
lebih lanjut. Pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin total perlu
dipertimbangkan karena hal ini merupakan tindakan invasif yang dianggap
dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Bayi dinyatakan menderita
hiperbilirubinemia apabila kadar BTS (Bilirubin Total Serum) ≥12 mg/dL
pada bayi aterm, sedangkan pada bayi preterm bila kadarnya ≥10 mg/dL.
c. Bilirubin Transkutan
Bilirubinometer merupakan instrumen spektrofotometrik dengan
prinsip kerja memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya (panjang
gelombang 450 nm). Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi
warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
d. Pemeriksaan Bilirubin Bebas dan Co
Bilirubin bebas dapat melewati sawar darah otak secara difusi. Oleh
karena itu, ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin
serum yang rendah. Beberapa metode digunakan untuk mencoba
mengukur kadar bilirubin bebas, antara lain dengan metode
oksidaseperoksidase. Prinsip cara ini yaitu berdasarkan kecepatan reaksi
oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin dimana bilirubin menjadi
substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana
ikterus neonatorum akan lebih terarah. Pemecahan heme menghasilkan
bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini,
maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan
dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.
2.6 Pathway

Hemoglobin

Hemo Globin

Feco Biliverdin

Peningkatan destruksi Pemecahan bilirubin


eritrosit (gang. kongjungsi berlebih
bilirubin/gang. transport
bilirubin/peningkatan
siklus enteropetik) Hb dan Suplai bilirubin
eritrosit abdnormal) melebihi tampungan

Hepar tidak mampu


Ikterus neonatus Peningkatan bilirubin melakukan konjugasi
unjongned dalam darah →
pengeluaran mekonium
terlambat/obstruksi usus → Sebagian masuk
Ikterus pada sklera
tinja berwarna pucat kembali ke siklus
leher dan badan,
peningkatan
bilirubin indirect >

Kerusakan Indikasi fototerapi


integritas kulit

Gangguan suhu Sinar dg intensitas tinggi Risiko cedera


tubuh

Ketidakefektifan Kurangnya volume


termoregulasi cairan tubuh

(Nurarif & Kusuma, 2015)


2.7 Komplikasi
Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang
paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat
menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan
displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup (Ratuain,
Wahyuningsih, Purnamaningrum, 2015). Menurut Rosyada (2013),
komplikasi pada ikterus neonatus :
a. Peningkatan kehilangan cairan tubuh bayi. Karena itu pemberian cairan
harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya. Bila bayi bisa minum ASI,
sesering mungkin berikan ASI.
b. Frekwensi buang air besar meningkat karena hiperperistaltik (gerakan usus
yang meningkat)
c. Timbul kelainan kulit yang bersifat sementara pada muka, badan, dan alat
gerak.
d. Kenaikan suhu tubuh.
e. Kadang pada beberapa bayi ditemukan gangguan minum, rewel, yang
hanya bersifat sementara.

2.8 Penanganan Hiperbilirubin Pada Bayi Baru Lahir


2.8.1 Penanganan sendiri di rumah
a. Berikan ASI yang cukup (8-12 kali sehari)
b. Sinar matahari dapat membantu memecah bilirubin sehingga lebih
mudah diproses oleh hati. Tempatkan bayi dekat dengan jendela
terbuka untuk mendapat matahari pagi antara jam 7-8 pagi agar
bayi tidak kepanasan, atur posisi kepala agar wajah tidak
menghadap matahari langsung. Lakukan penyinaran selama 30
menit, 15 menit terlentang dan 15 menit tengkurap. Usahakan
kontak sinar dengan kulit seluas mungkin, oleh karena itu bayi
tidak memakai pakaian (telanjang) tetapi hati-hati jangan sampai
kedinginan.

2.8.2 Terapi medis


a. Dokter akan memutuskan untuk melakukan terapi sinar
(phototherapy) sesuai dengan peningkatan kadar bilirubin pada
nilai tertentu berdasarkan usia bayi dan apakah bayi lahir cukup
bulan atau prematur. Bayi akan ditempatkan di bawah sinar khusus.
Sinar ini akan mampu untuk menembus kulit bayi dan akan
mengubah bilirubin menjadi lumirubin yang lebih mudah diubah
oleh tubuh bayi. Selama terapi sinar penutup khusus akan dibuat
untuk melindungi mata.
b. Jika terapi sinar yang standar tidak menolong untuk menurunkan
kadar bilirubin, maka bayi akan ditempatkan pada selimut fiber
optic atau terapi sinar ganda/triple akan dilakukan (double/triple
light therapy).
c. Jika gagal dengan terapi sinar maka dilakukan transfuse tukar yaitu
penggantian darah bayi dengan darah donor. Ini adalah prosedur
yang sangat khusus dan dilakukan pada fasilitas yang mendukung
untuk merawat bayi dengan sakit kritis, namun secara keseluruhan,
hanya sedikit bayi yang akan membutuhkan transfusi tukar.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas
a. Identitas Klien
1. Nama/Nama panggilan : By.Ny M
2. Tempat Tgl Lahir/Usia : Singkawang, 13 Oktober 2019
3. Jenis kelamin : Laki-Laki
4. Agama : Islam
6. Alamat : Dusun Sagong, RT 015/006 kec. Galing
Kab. Sambas
7. Tgl pengkajian : 15 Oktober 2019
8. Diagnosa Medik : Ikterus Neonatorium
b. Identitas Orang tua
Ayah
1. Nama : Tn. A
2. Usia : 34 tahun
3. Pendidikan : SMA
4. Pekerjaan : Petani
5. Agama : Islam
6. Alamat :Dusun Sagong, RT 015/006 kec.
Galing Kab.Sambas
Ibu
1. Nama : Ny. M
2. Usia : 29 tahun
3. Pendidikan : SMA
4. Pekerjaan : Guru Honor
5. Agama : Islam
6. Alamat :Dusun Sagong, RT 015/006
kec. Galing Kab. Sambas
3.1.2 Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang:
1. Keluhan Utama:
Ibu klien mengatakan bahwa pada hari ke 3 anaknya mengalami
warna kulit yang kekuningan.
2. Keluhan Pada Saat Pengkajian:
Ibu klien mengatakan bahwa anaknya mengalami kekuningan
pada kulit (ikterus) dan suhu badan panas naik turun.
b. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
1. Prenatal
1) Ibu klien mengatakan ia memeriksakan kehamilannya setiap
bulan di puskesmas atau bidan terdekat.
2) Riwayat berat badan selama hamil : Ny. M mengatakan sebelum
hamil ibu klien memiliki berat badan 62 kg dan mengalami
kenaikan selama hamil sebanyak kg menjadi 72 kg.
2. Natal
1) Tempat melahirkan :Ibu klien mengatakan bahwa ia melahirkan
di RSUD dr Abdul Aziz dengan umur
kehamilan cukup minggu yaitu 38 minggu.
2) Jenis persalinan : SC
3) Penolong persalinan : Dokter
3. Post natal
Kondisi bayi :
Ibu mengatakan setelah melahirkan klien tidak mengalami
masalah

2.1.3 Riwayat Kesehatan Keluarga


Bapak klien memiliki riwayat sakit demam tifoid

3.1.3 Riwayat Immunisasi


Ibu mengatakan bahwa klien klien mendapatkan imunisasi Hb0 yang
dilakukan pada saat lahir yang diberikan di paha.

3.1.4 Riwayat Nutrisi


a. Pemberian ASI
Ibu Klien mengatakan klien diberikan ASI dan ibu klien mengatakan
air susu ibu keluar sedikit saja.
b. Pemberian susu formula
Ibu klien mengatakan tidak memberikan susu formula sampai sekarang
c. Jumlah pemberian
Ibu memberikan ASI saat klien menangis (tidak tentu)

3.1.5 Riwayat Psikososial


a. Tempat tinggal klien:
Klien tinggal bersama ibu dan bapak klien di rumah sendiri.
b. Lingkungan
Lingkungan berada di area perdesaan dengan rumah yang cukup
berdekatan satu dengan yang lainnya dengan keadaan sanitasi yang
cukup baik dan ventilasi yang ada serta penerangan yang cukup
untuk pertumbuhan anak.

3.1.7 Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan umum : By Ny. M tampak rewelpada saat digendong
ibunya
b. Kesadaran : Compos Mentis.
c. Tanda – tanda vital : Denyut nadi : 125x / menit
Suhu : 37.1o C
Pernapasan : 48 x/ menit
d. Antrometri
a) Berat Badan : 3200 gram
b) Panjang Badan : 51
c) Lingkar Kepala : 36
d) Lingkar Dada : 33
e) Lingkar Lengan : 11
e. Kepala
Inspeksi
Keadaan rambut & Hygiene kepala : Rambut tampak bersih dan
halus.
Warna rambut : Warna rambut klien hitam
Penyebaran : Rambut klien menyebar keseluruh kepala klien.
Mudah rontok : Rambut klien tidak mudah rontok.
Kebersihan rambut: Rambut klien bersih dan tidak tampak ada
kotoran pada rambut klien.
Palpasi
Benjolan : tidak ada benjolan
Tekstur rambut : halus
f. Muka
Inspeksi
Simetris / tidak : Simetris
Gerakan abnormal : tidak tampak gerakan abnormal pada wajah
klien.
Palpasi
Nyeri tekan / tidak : tidak ada nyeri tekan
Data lain : tidak teraba ada pembengkakan pada area
muka klien.
g. Mata
Inspeksi
Pelpebra : tidak mengalami edema, tidak mengalami radang
Sclera : tidak mengalami icterus
Conjungtiva : tidak mengalami radang, tidak anemis
Refleks pupil terhadap cahaya : pupil bereaksi terhadap cahaya.
Simetris / tidak : Mata simetris dan sejajar dengan daun telinga.
Gerakan bola mata : Gerakan bola mata normal dan dapat mengikuti
arahan tangan perawat.
h. Hidung & Sinus
Inspeksi
Posisi hidung : Posisi hidung klien normal dan simetris.
Bentuk hidung : Bentuk hidung normal,
Keadaan septum : Septum pasien tampak normal.
Secret / cairan : Tidak terdapat sekret/cairan pada hidung klien.
i. Telinga
Inspeksi
Posisi telinga : Posisi telinga simetris dan sejajar dengan mata
Ukuran/bentuk : Bentuk telinga normal, tampak bersih dan tidak
tampak edema atau benjolan pada area telinga.
Aurikel : Aurikel normal dan tampak bersih.
Lubang telinga : Lubang telinga bersih dan tidak terdapat serumen.
Pemakaian alat bantu: Tidak terdapat pemakaian alat bantu pada
klien.
Palpasi
Nyeri tekan : tidak terdapat nyeri tekan pada klien.
j. Mulut
Inspeksi
a) Gusi
Merah / radang / tidak : Gusi tampak berwarna merah muda
(normal), tidak tampak ada tanda-
tanda peradangan.
b) Lidah
Kotor / tidak : Lidah tampak bersih dan tidak kotor.
c) Bibir
Bibir tidak pucat maupun sianosis, mulut tidak berbau

k. Leher
Inspeksi
Tidak ada lesi pada area leher
Palpasi
Tidak terdapat nyeri tekan pada daerah leher
l. Thorax dan pernapasan
Inspeksi
a) Bentuk dada :
Bentuk dada simetris, tidak tampak barrel chest atau furrel chest,
tidak tampak ada retraksi dada pada klien.
b) Irama pernafasan :
Irama pernafasan normal dan teratur.
c) Pengembangan di waktu bernapas :
Pengembangan dada klien ketika bernafas normal
d) Tipe pernapasan : Eupnea (normal)
Palpasi
Tidak terdapat massa atau nyeri tekan pada klien saat dipalpasi.
Auskultasi
a) Suara nafas : Bronchovesikuler (+)
b) Suara tambahan : Tidak terdapat bunyi suara tambahan seperti
wheezing, ronchi atau rales.
Perkusi
Terdengar suara Sonor
m. Jantung
Palpasi
Tidak terdapat masa abnormal atau nyeri tekan
Perkusi
Pembesaran jantung : Tidak terdapat pembesaran jantung pada klien.
Auskultasi
a) BJ I : Lub
b) BJ II : Dub
c) BJ III :-
d) Bunyi jantung tambahan : Tidak terdapat bunyi suara jantung
tambahan.
n. Abdomen
Inspeksi
a) Membuncit : Perut klien tidak tampak membuncit.
b) Ada luka / tidak : Tidak terdapat lesi atau luka pada perut klien.
Palpasi
Tidak terdapat nyeri tekan pada area abdomen klien.
Auskultasi
Peristaltik : terdengar bising usus klien dengan 5x/menit.
Perkusi
Terdengar suara tymphani pada abdomen klien ketika diperkusi.

o. Genitalia dan Anus :


Ekstremitas atas
a) Motorik
Pergerakan kanan / kiri : normal
Pergerakan abnormal : tidak ada
Kekuatan otot kanan / kiri : normal
Tonus otot kanan / kiri : normal
Koordinasi gerak : normal
b) Sensori
Rasa raba : Klien dapat merasakan rangsangan pada kulit ketika
perawat meraba area tangan klien.
Ekstremitas bawah
a) Motorik
Kekuatan kanan / kiri : normal.
Tonus otot kanan / kiri : normal.
b) Sensori
Rasa raba :
Klien dapat merasakan rangsangan pada kulit ketika perawat meraba
area tangan klien, kulit klien juga tampak merah

p. Refleks
Refleks moro : normal
Refleks rooting : normal
Refleks walking : normal
Refleks mengenggam : normal
Refleks sucking : normal

q. Integumen
Inspeksi
Warna kulit: kulit tubuh klien tampak kuning kemerahan
Tidak ada ruam pada kulit
Palpasi
CRT : <2 detik
Akral : teraba hangat
Turgor kulit : normal

3.1.9 Test Diagnostik


Bilirubin : 15,44 mg/dl
Bilirubin direk : 0,45 mg/dl
Bilirubin indirek : 17,99 mg/dl

3.2 Analisa Data


DATA MASALAH ETIOLOGI
Ds :– Ikterik neonates Peningkatan
Do:- tubuh klien berwarna kekuningan bilirubin
- Bilirubin 15,44
mg/dl
- Bilirubin direk :
0,45 mg/dl
- Bilirubin indirek :
17,99 mg/dl

Ds:- Ketidakefektifan Sinar dengan 3.3


Do: - klien diberikan tindakan termoregulasi intensitas tinggi I
fototerapi
- Tubuh bayi teraba hangat
- Kulit tubuh anak tampak merah
- Suhu badan 36,9o C
Ds: ibu klien mengatakan ASI yang Ketidakefektifan Suplai asi yang
keluar sedkit pemberan ASI tidak adekuat
Do: - ASI yang dipompa ibu keluar
tampak sedikit
- bayi tampak sering menangis

ntervensi, Implementasi dan Evaluasi


No Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil
1. Ikterik Setelah diberika 1. Melaporkan 1. Untuk
neonatorus asuhan hasil mengetahui
b.d keperawatan 3X24 laboratirium tingkat bilirubin
2. Instruksikan 2. Agar keluarga
Peningkatan jam diharapkan
keluarga untuk mengetahui
bilirubin ikterik hilang
prosedur tujuan prosedur
dengan kriteria
3. Tambalan untuk
fototerapi dan
hasil :
menghindari
perawatan
1. TTV bayi
3. Terapkan radiasi dan
dalam batas
tambalan untuk kerusakan mata
normal 4. Letak fototerapi
menutup kedua
2. Kadar
yang sesuai agar
mata,
bilirubin
merata
menghindari
norma (12,5 5. Untuk
tekanan yang
mg/dl ) mengetahui
3. Mukosa kulit berlebihan
kondisi klien
4. Tempatkan
tidak kuning 6. Untuk
fototerapi di
menghindari
atas bayi pada
dehidrasi
tinggi yang 7. Suhu tubuh yang
sesuai meningkat agar
5. Monitor TTV
tidak terjadi
6. Amati tanda-
kejang pada bayi
tanda dehidrasi
7. Hentikan
fototerapi jika
suhu tubuh
meningkat
(lebih dari 37º)
2 Ketidakefektif Setelah siberika 1) Observasi 1) Hipotermia
an asuhan suhu dengan membuat bayi
termoregulasi keperawatan sering, ulangi cenderung pada
b.d selama 1x24 jam setiap 5 menit stress dingin,
Sinar dengan diharapkan suhu selama penggunaan
intensitas tubuh dalam batas penghatan simpanan lemak
tinggi normal yaitu 36 – ulang coklat yang tidak
37 5 o C dengan 2) Perhatikan dapat diperbaiki
kriteria hasil : adanya bila ada dan
1) M takipnea atau penurunan
empertahankan apnea, sensitivitas untuk
suhu tubuh cyanosis, meningaktkan
normal 36 – 37 umum, kadarCO2
5oC akrosianosi (hiperkapnea dan
2) T atau kulit penurunan kadar
idak sianosis belang, O2 (hipoksia)
3) B bradikardia, 2) Tanda-tanda ini
adan berwarna menangis menandakan
kemerahan buruk, letargi, stress dingin yang
evaluasi meningkatkan
derajat dan O2dan kalori serta
lokasi icterik membuat bayi
3) Tempatkan cenderung pada
bayi pada asidosis
penghangat, berkenaan dengan
isolette, metabolic
incubator, anaerobic
tempat tidur 3) Mempertahankan
terbuka lingkungan
dengan termometral,
penyebar membantu
hangat, atau mencegah stress
tempat tidur dingin
bayi terbuka 4) Menjaga suhu
dengan tubuh bayi dalam
pakaian tepat batas normal
untuk bayi 5) Menurunkan
yang lebih kehilangan panas
besar atau melalui evaporasi
lebih tua
4) Gunakan
lampu
pemanas
selama
prosedur. Tutu
p penyebar
hangat atau
bayi dengan
penutup
plastic atau
kersta
aluminum bila
tepat. Objek
panas
berkontak
dengan tubuh
bayi seperti
stetoskop
5) Ganti pakaian
atau linen
Setelah dilakukan
tempat tidur
tindakan
bila
keperawatan
selama 2x24 jam, basah. Pertaha
ketidakefektifan nkan kepala
pemberian ASI bayi tetap
dapat teratasi tertutup
dengan kriteria
hasil : Ibu dan bayi
3 Ketidakefektif akan mengalami 1) Mengkaji 1) Mengidentifikasi
an pemberian keefektifan keadaan dan intervensi
ASI pemberian ASI payudara klien dini dapat
Suplai asi yang ditunjukkan 2) Memberikan mencegah
yang tidak Kemantapan informasi terjadinya luka
adekuat pemberian ASI; tentang atau pecah puting
bayi/ibu, Pemeliha pentingnya tanpa
raan pemberian gizi untuk memperhatikan
ASI, Penyapihan klien lamanya
pemberian ASI, menyusui menyusui.
Pengetahuan 3) Memberikan 2) Mendukung
pemberian ASI informasi memberi ASI
tentang melalui
perawatan pendidikan klien
payudara nutrisional.
4) Memberikan 3) Membantu
terapi pijat menjamin suplai
oksitosin pada susu adekuat,
klien mencegah puting
5) Memberikan pecah dan luka,
dorongan pada memberikan
klien untuk kenyamanan
lebih sering 4) Pijat oksitosin
menyusui bermanfaat untuk
bayinya. memberikan
kenyamanan pada
ibu, mengurangi
bengkak
(engorgement),
mengurangi
sumbatan ASI,
merangsang
pelepasan
hormon oksitosin,
mempertahankan
produksi ASI
ketika ibu dan
bayi sakit.
5) Kontak awal
mempunyai efek
positif pada
durasi menyusui
kontak kulit
mulainya tugas-
tugas ibu
meningkatkan
ikatan dengan
bayi
3.4 Implementasi dan Evaluasi

No Diagnosa Hari/ Implementasi Evaluasi


Keperawatan Waktu
1 Ikterik neonates Selasa, 1) Melaporkan hasil S:-
b.d 15 Okt laboratirium O:Kulit tubuh anak
2) Menginstruksikan
Peningkatan 2019 masih tampak
keluarga untuk
bilirubin 09.10 kuning
prosedur fototerapi
wib Suhu badan 36,9o
dan perawatan
C
3) Menerapkan tambalan
A: Anak
untuk menutup kedua
mengalami icterus
mata, menghindari
P: Lanjutkan
tekanan yang
intervensi 2,3,4,5,6
berlebihan
4) Menempatkan dan 7
fototerapi di atas bayi
pada tinggi yang
sesuai
5) Memonitor TTV
6) Mengmati tanda-
tanda dehidrasi
7) Menghentikan
fototerapi jika suhu
tubuh meningkat
(lebih dari 37 C)
2 Ketidakefektifan Selasa, 1) Mengobservasi suhu S:- ibu klien
termoregulasi 15 Okt dengan sering, ulangi mengatakan badan
b.d 2019 setiap 3 jam anaknya masih
Sinar dengan 09.10 2) Memperhatikan hangat
intensitas tinggi wib adanya takipnea atau O: - Suhu klien
apnea, cyanosis, 36,9 C
umum, akrosianosi Tubuh bayi terasa
atau kulit belang, hangat
bradikardia, menangis A:Ketidakefektifan
buruk, letargi, termoregulasi
evaluasi derajat dan P: Lanjutkan
lokasi icterik intervensi 1, 2, 3,
3) Menempatkan bayi 4, dan 5
pada penghangat,
isolette, incubator,
tempat tidur terbuka
dengan penyebar
hangat, atau tempat
tidur bayi terbuka
dengan pakaian tepat
untuk bayi yang lebih
besar atau lebih tua
4) Menggunakan lampu
pemanas selama
prosedur. Tutup
penyebar hangat atau
bayi dengan penutup
plastic atau kersta
aluminum bila tepat.
Objek panas
berkontak dengan
tubuh bayi seperti
stetoskop
5) Mengganti pakaian
atau linen tempat
tidur bila
basah. Pertahankan
kepala bayi tetap
tertutup
3 Ketidakefektifan Selasa, 1) Mengkaji keadaan S: ibu klien
pemberan ASI 15 Okt payudara klien mengatakan ASI
b.d 2019 2) Memberikan masih sedikit
Suplai asi yang 09.10 informasi tentang gizi Ibu klien
tidak adekuat wib untuk klien menyusui mengatakan
3) Memberikan kurangnya respon
informasi tentang menyedot bayi
perawatan payudara O: ASI masih
4) Memberikan terapi tampak sedikit
pijat oksitosin pada A:
klien ketidakefektifan
5) Memberikan pemberian ASI
dorongan pada klien P: lanjutkan
untuk lebih sering intervensi
menyusui bayinya
BAB IV
PEMBAHASAN

Bab ini penulis akan membahas tentang studi kasus asuhan


keperawatan pada By. Ny. M dengan ikterus neonatorum di RSUD Abdul
Aziz Singkawang, ruang perinatologi. Penulis akan membahas kesesuain
maupun kesenjangan antara kasus dengan ruang lingkup pembahasan
mencakup asuhan keperawatan berdasarkan prioritas diagnose keperawatan
melalui proses keperawatan yang meliputi tahap pengkajian, diagnose
keperawatan, rencana keperawatan, implementasi dan evaluasi,serta
berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia.

4.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah pemikiran dasar dari proses
keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data
tentang klien, agar dapat mengidentifikasi atau mengenali masalah-masalah
yang dialami klien, kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik,
mental, sosial dan lingkungan (Hutahean, 2010).
Icterus adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa
karena bilirubin pada jaringan tersebut meningkat dalam darah (Broker,
2001). Icterus merupakan warna kekuningan pada kulit yang timbul pada
hari ke 2-3 setelah lahir, tidak memiliki dasar patologis yang akan
menghilang dengan sendirinya pada hari ke 10 (Nursalam, 2005).
Sedangkan menurut Win de Jong, et al (2005) icterus adalah gejala kuning
pada sclera kulit dan mata akibat bilirubin yang berlebihan dalam darah dan
jaringan, normalnya bilirubin Pada bayi aterm kurang dari 12, dan BBLR
kurang dari 10.
Pengumpulan data yang dilakukan penulis saat pengambilan kasus
dengan wawancara dan observasi langsung serta melakukan pemeriksaan
fisik pada By. Ny. M. Keluhan utama ibu pasien mengatakan badan
anaknya tampak kuning di seluruh tubuh.
Riwayat penyakit sekarang. Ibu melahirkan dengan proses caecar,
ketuban pecah dini kurang dari 24 jam dengan pembukaan tidak maju
(PTM). Ibu mengatakan pada hari ketiga bayi tampak kekuningan. Hasil
pemeriksaan laboratorium pada By. Ny. M menunjukan tingkat bilirubin
total tinggi yaitu 15,4 mg/dl, suhu tubuh 36,9ºC, anak tampak lemah, warna
kulit tampak kekuningan, dan akral tubuh hangat. Hal ini menandakan
terjadinya icterus neonatus.

4.2 Diagnosa Keperawatan


Berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan, penulis mengangkat 3
diagnosa yang muncul berdasarkan tanda gejala yang ditemui pada klien.
Hasil pengkajian didapatkan bahwa tubuh bayi tampak kekuningan, serta
adanya hasil lab yang menunjukkan bahwa nilai bilirubin total yang tinggi
yakni15,4 mg/dl, bilirubin direct 0,45 mg/dl, bilirubin indirect 14,99 mg/dl.
Berdasarkan pengkajian tersebut, maka penulis mengangkat diagnose
berdasarkan gejala yang muncul yakni icterus neonatus berhubungan
dengan meningkatnya bilirubin.
Selain masalah diatas, ditemukan juga diagnosa lain pada kasus ini
yakni “Ketidak efektifan termoregulasi b.d Sinar dengan intensitas tinggi
dan Ketidak efektifan pemberan ASI b.d Suplai ASI yang tidak adekuat”,
hal ini berdasarkan atas gejala-gejala lain yang muncul antara lain: ibu
mengatakan anaknya terasa hangat hasil pemeriksaan suhu tubuh
menunjukan 36,9 C. Saat pengkajian ibu mengatakan ASI masih sedikit,
kurangnya reflek menghisap anak, suhu anak kurang mau menyusui.

4.3 Intervensi Keperawatan


Rencana keperawatan yang akan penulis rencanakan kepada klien
sesuai dengan diagnosa yang di tegakkan, sehingga masalah keperawatan
pada klien dapat teratasi (Wilkinson, 2006).
Setelah diberika asuhan keperawatan 3X24 jam diharapkan ikterik
hilang dengan kriteria hasil: TTV bayi dalam batas normal, kadar bilirubin
norma (12,5mg/dl), mukosa kulit tidak kuning (Nanda Internastional, 2015).
Rencana keperawatan yang dilakukan oleh penulis antara lain yaitu,
melaporkan hasil laboratorium, instruksikan keluarga untuk prosedur
fototerapi dan perawatan, terapkan untuk menutup kedua mata, menghindari
tekanan yang berlebihan, tempatkan fototerapi di atas bayi pada tinggi yang
sesuai, monitor TTV, amati tanda-tanda dehidrasi, hentikan fototerapi jika
suhu tubuh meningkat (lebihdari 37 ºC).
Pada masalah Ketidak efektifan termoregulasi b.d Sinar dengan
intensitas tinggi. Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan suhu tubuh dalam batas normal yaitu 36-37,5ºC dengan criteria
hasil: Mempertahankan suhu tubuh normal 36-37,5ºC, tidak sianosis, badan
berwarna kemerahan.
Rencana keperawatan yang dilakukan oleh penulis yaitu observasi
suhu dengan sering, ulangi setiap 5 menit selama penghangatan ulang.
Perhatikan adanya takipnea atau apnea, cyanosis, umum, akral sianosis atau
kulit belang, bradikardia, sering menangis, letargi, evaluasi derajat dan
lokasi ikterik. Tempatkan bayi pada penghangat, isolette, incubator, tempat
tidur terbuka dengan penyebar hangat, atau tempat tidur bayi terbuka
dengan pakaian tepat untuk bayi yang lebih besar atau lebih tua. Gunakan
lampu pemanas selama prosedur. Tutup penyebar hangat atau bayi dengan
penutup plastic atau kersta aluminium bila tepat. Objek panas berkontak
dengan tubuh bayi seperti stetoskop serta ganti pakaian atau linen tempat
tidur bila basah. Pertahankan kepala bayi tetap tertutup.
Pada masalah Ketidak efektifan pemberian ASI berhubungan dengan
suplai asi yang tidak adekuat. Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 2x24 jam, ketidak efektifan pemberian ASI dapat teratasi dengan
kriteria hasil: Ibu dan bayi akan mengalami keefektifan pemberian ASI yang
ditunjukkan, kemantapan pemberian ASI; bayi/ibu, Pemeliharaan pemberian
ASI, penyapihan pemberian ASI, Pengetahuan pemberian ASI.
Rencana keperawatan yang penulis lakukan yaitu mengkaji keadaan
payudara klien, memberikan informasi tentang pentingnya gizi untuk klien
menyusui, memberikan informasi tentang perawatan payudara, memberikan
terapi pijat oksitosin pada klien, memberikan dorongan pada klien untuk
lebih sering menyusui bayinya.
4.4 Implementasi
Implementasi yang dilakukan berdasarkan intervensi keperawatan
yang sudah tetapkan, pada diagnose keperawatan ikteruk neonates
berhubungan dengan tingkat bilirubin tinggi dilakukan tindakan fototerapi.
Pada diagnose Ketidak efektifan termoregulasi berhubungan dengan sinar
dengan intensitas tinggi dilakukan pemantauan suhu tubuh. Sedangkan pada
diagnose Ketidak efektifan pemberan ASI berhubungan dengan suplai asi
yang tidak adekuat dilakukan pemberian edukasi mengenai pentingnya ASI.

4.5 Evaluasi
Evaluasi adalah proses keperawatan mengukur respon klien terhadap
tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan. Setelah
penulis melakukan tindakan keperawatan selama satu hari, maka penulis
melakukan evaluasi. Evaluasi ini penulis menggunakan metode sesuai teori
yaitu SOAP (Subyektif, Obyektif, Assessment, Planning).
Pada tanggal 15 Oktober 2019 jam 09.10 pada diagnoasa yang
pertama Subyektif (-), Obyektif: Kulit tubuh anak masih tampak kuning dan
suhu badan 36,9o C. Assessment anak mengalami icterus, Planning lanjutkan
intervensi 2,3,4,5,6 dan 7.
Pada diagnosa yang kedua pada tanggal 15 Oktober 2019 jam 09.10,
Subyektif ibu klien mengatakan badan anaknya masih hangat, Obyektif suhu
klien 36,9 C dan tubuh bayi terasa hangat, Assessment ketidak efektifan
termoregulasi, Planning lanjutkan intervensi 1, 2, 3, 4, dan 5.
Pada diagnose ketiga tanggal 15 Oktober 2019 jam 09.10, Subyektif
ibu klien mengatakan ASI masih sedikit, ibu klien juga mengatakan
kurangnya respon menyedot bayi, Obyektif ASI masih tampak sedikit,
Assessment ketidak efektifan pemberian ASI, Planning lanjutkan intervensi.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada
kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme
yaitu bilirubin. Pada kebanyakankasus ikterus neonatrum, kadar bilirubin
tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak
memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang dapat
menghilang diakhir minggu pertama kehidupan bayi cukup bulan.
Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit
metabolik (ikterus patologis)
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatrum adalah
untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilaiyang
dapat menimbulkan kemikterus tau enselofati bilirubin, serta mengobati
penyebab langsung ikterus. Dianjurkan agar melakukan fisioterapi dan jika
tidak berhasil transfusi tukar dapat dilakukan untuk mempertahankan
kadar maksimum bilirubin total dalam serum dibawah kadar maksimum
pada bayi preterm dan bayi cukup bulan yang sehat.
5.2 Saran
Waspadai tanda dan gejala sedini mungkin apabila anak mengalami
ikterus, orangtua perlu memperhatikan adanya dehidrasi, pucat, kehilangan
darah ekstravaskular, trauma lahir, perdarahan tertutup, polisitemia yang
dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali pusat, bayi dengan
gejala sepsis lainnya. Jika bayi dalam keadaaan seperti ini maka orangtua
perlu mencurigai adanya tanda-tanda bahwa bayi mengalami ikterus.
Segera konsultasikan ke dokter dan spesialis anak.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. (2003). Ikterus


Neonatorum. Perinatologi. Bandung. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
Anak FKUP/RSHS. 64-84.
Aina YT, Omoigberale AI. (2012). Risk factors for neonatal jaundice in
babies presenting at the university of benin teaching hospital, benin
city. Niger J Paed, 39(4): 159-163.
Akinbi H. (2005). Ikterus pada bayi baru lahir; Pedoman klinis pediatri.
Jakarta: EGC.
Anggraini. (2014). Hubungan antara persalinan premature dengan
hiperbilirubin pada neonatus. Jurnal Kesehatan, V(2): 109-112.
Buthani VK, Wong RJ. (2013). Bilirubin neurotoxicity in preterm infants:
Risk and prevention. Journal of Clinical Neonatology, 2(2): 1-80.
Kementrian Kesehatan RI (2015). Profil kesehatan Indonesia tahun 2014.
Khosim, M. Sholeh, dkk. (2008). Buku Ajar Neonatologi Edisi I.
Jakarta : Perpustakaan Nasional
Mathindas, S., Wilar, R., & Wahani, A. (2013). Hiperbilirubinemia pada
neonatus. Jurnal Biomedik, 5(1).
Maulida, L. F. (2014). Ikterus Neonatorum. Media Publikasi Penelitian,
10(1). 39-43. https://doi.org/10.26576/profesi.63.
Mauliku EN, Nurjanah A. (2010). Faktor-faktor pada ibu bersalin yang
berhubungan dengan kejadian hiperbilirubin pada bayi baru lahir di
rumah sakit dustiracimahi tahun 2009. Jurnal Kesehatan Kartika, 16:
16-25.
McCormick, Melisa. (2003). Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk
Dokter, Perawat, Bidan Di Rumah Sakit Rujukan Dasar. Indonesia :
MNH – JHPIEGO.
McCormick, Melisa. 2003. “ Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk
Dokter, Perawat, Bidan Di Rumah Sakit Rujukan Dasar “. Indonesia :
MNH – JHPIEGO.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA Jilid 2. Yogyakarta:
MediAction.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA Jilid 2. Yogyakarta:
MediAction.
Pratama, A. N. (2013). Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kejadian Kematian
Neonatus di Kabupaten Boyolali. Undergraduated Thesis. Surakarta:
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Ratuain, M.O. , Wahyuningsih, H.P., Dan Purnamaningrum, Y. E. (2015).
Hubungan Antara Masa Gestasi Dengan Kejadian Ikterus
Neonatorum. Kesehatan Ibu Dan Anak.
Ratuain, M.O., Wahyuningsih, H.P., & Purnamaningrum, Y. E. (2015).
Hubungan Antara Masa Gestasi Dengan Kejadian Ikterus
Neonatorum. Kesehatan Ibu Dan Anak.
Rosyada, A.F. (2013). Asuhan Kebidanan Pada Neonatus Dengan Ikterus
Patologis Di Ruang Bayi Rs Pku Muhammadiyah Yogyakarta. Case
Study Research.
Rosyada, A.F. (2013). Asuhan Kebidanan Pada Neonatus Dengan Ikterus
Patologis Di Ruang Bayi Rs Pku Muhammadiyah Yogyakarta. Case
Study Research
Sukadi.(2008). Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R,
Sarosa GI, Usman A (eds). Buku ajar neonatologi. Jakarta:
BadanPenerbit IDAI, pp: 147-169.
Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). (2012). Angka
Kematian Ibu. Dikutip dari www.bkkbn.co.id diakses pada tanggal 16
Oktober 2019.
Tamazi RM, Mustarim, Syah S. (2013). Gambaran factor risiko ikterus
neonatorum pada neonatus di ruang perinatology RSUD Raden
Mattaher Jambi tahun 2013. Jambi Medical Journal, 1(1):1-7.
Wong RJ, Desandre GH, Sibley E, Stevenson DK. (2006). Neonatal jaundice
and liver disease.Dalam: Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC (eds).
Neonatal perinatal medicine. USA: Mosby Elsevier, pp: 1419-1465.

Anda mungkin juga menyukai