DISUSUN OLEH
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Asuhan Keperawatan pada Kasus Ikterik Neonatus pada By. Ny. M di
Rumah Sakit dr. Abdul Aziz Singkawang Tahun 2019”.
Dalam penyusunan asuhan keperawatan ini, tim penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Ruchanihadi, Sp.PD selaku Direktur Rumah Sakit dr. Abdul Aziz
Singkawang
2. Ns. Winarianti, M.Kep selaku Pembimbing Akademik Profesi Ners
Keperawatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.
3. Ns. Tika Rostinasari , M. Kep selaku Kepala Ruangan dan Pembimbing
Klinik makalah Profesi Ners Keperawatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura.
4. Rekan-rekan satu kelompok serta teman-teman Profesi Ners yang telah
mendukung dan memotivasi dalam penyusunan laporan asuhan keperawatan
ini.
Kami berharap Laporan Kasus ini dapat bermanfaat dan memberikan
kontribusi dalam pembelajaran Asuhan Keperawatan khususnya pada Stase
Keperawatan Anak. Untuk kesempurnaan dari laporan ini, maka kami mohon
segala saran dan kritikan yang membangun dari pembaca atau peserta seminar
sangat kami butuhkan sebagai bahan masukan untuk perbaikan laporan ini.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI .........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan ...............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi ..............................................................................................................4
2.2 Klasifikasi .........................................................................................................5
2.3 Etiologi ..............................................................................................................6
2.4 Manifestasi Klinis .............................................................................................7
2.5 Pemeriksaan Diagnostik ....................................................................................8
2.6 Patofisiologi ......................................................................................................9
2.7 Pathway ...........................................................................................................11
2.8 Komplikasi ......................................................................................................12
2.9 Penanganan Hiperbilirubin pada Bayi Baru Lahir ..........................................12
2.10 Asuhan Keperawatan .....................................................................................13
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian........................................................................................................41
4.2 Diagnosa Keperawatan ....................................................................................42
4.3 Intervensi Keperawatan ...................................................................................42
4.4 Implementasi ...................................................................................................44
4.5 Evaluasi ...........................................................................................................45
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Kesimpulan......................................................................................................47
5.2 Saran.................................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................48
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
infeksi, trauma lahir, berat badan lahir rendah, sindroma gangguan pernafasan,
dan kelainan kongenital (Kemenkes RI, 2015). Menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh Budi Ramanda (2016) Ikterus di Pontianak terjadi sebanyak
4,35%. Ikterus bukan penyebab terbesar kematian neonatus, tapi ikterus memiliki
komplikasi berupa kernikterus yang dapat menimbulkan gejala berupa gangguan
penglihatan, gangguan pendengaran, retardasi mental dan dental dysplasia (Wong,
2006).
Enam puluh lima persen neonatus menderita ikterus sebelum mencapai usia 1
minggu di Amerika Serikat. Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Dustira
Cimahi Bandung pada tahun 2009 didapatkan bahwa 95,2% bayi preterm
mengalami ikterus sedangkan pada bayi aterm hanya 16,9% yang mengalami
ikterus (Mauliku dan Nurjanah, 2010). Pada penelitian lain yang dilakukan di
Rumah Sakit Umum Daerah Ahmad Yani Metro Lampung tahun 2013 didapatkan
prevalensi neonatus yang mengalami ikterus adalah 29,4%. Dari penelitian
tersebut, 73,1% merupakan persalinan premature dan 26,9% persalinan aterm
(Anggraini 2014).
Menurut penelitian Buthani, 10,1% bayi ikterus yang mengalami kern ikterus
memiliki usia gestasi kurang dari 30 minggu. Prevalensinya berkurang menjadi
5,5% pada usia gestasi 31-32 minggu dan menjadi 1,2 % pada usia gestasi 33-34
minggu. Terdapat 73,6% bayiikterusmeninggaldari 25,6 % bayi yang lahir preterm
(ButhanidanWong, 2013). Ikterus neonatorum perlumen mendapat perhatian dan
penanganan yang lebih baik sehingga menurunkan angka kematian bayi (Infant
Mortality Rate = IMR) yang masih tinggi di Indonesia.
2.1 Definisi
Ikterus pada bayi adalah berupa ikterus fisiologis adalah meningkatnya kadar
bilirubin serum (tidak secara langsung) dalam rentan (4 mg/dL hingga 12 mg/dL),
pada hari ke empat sesudah kelahiran dan meninggi dan pada hari ketiga dan
kelima. Ikterus fisiologis biasanya terdapat pada bayi aterm dan sebagai hasil dari
ketidakmaturan hepatik pada neonatus. Ikterik patologis ditandai dengan kulit
yang menguning dan naiknya kadar bilirubin serum di atas 12,90 mg/dL pada bayi
aterm dan 15 mg/dl pada bayi preterm dalam 24 jam setelah kelahiran. Kadar
bilirubin meningkat cepat sampai lebih dari 5mg/dl, dan dapat berkelanjutan lebih
dari seminggu pada bayi aterm penuh, dan 2 minggu pada bayi preterm (Puspita,
2018).
Ikterik patologis umumnya banyak dihubungkan dengan perbedaan golongan
darah atau inkompatibilitas golongan darah, infeksi atau biliaris hepatik, atau
ketidaknormalan metabolik. Terganggunya transportasi akibat lemahnya kapasitas
pengangkutan misalnya pada hipoalbuminemia atau sebab obat-obat tertentu.
Gangguan fungsi hati yang diakibatkan oleh beberapa mikroorganisme atau racun
yang dapat secara langsung membuat terganggunya sel hati dan darah merah
meliputi infeksi, toksoplasma, sifilis, rubella, meningitis, dan lainnya. Gangguan
ekskresi yang terjadi secara intrahepatik atau ekstrahepatik. Kenaikan sirkulasi
yang enterohepatik contohnya pada ileus obstruktif, hirschsprung. Metabolisme
bilirubin intinya yaitu produk degredasi hemoglobin, sebagiannya dari sumber
lain, transportasi bilirubin indirect dalam terikatnya bersama albumin diangkat ke
hepar untuk diproduksi oleh sel hepar pengelolahan diikuti oleh protein.
Konjugasi terjadi di dalam sel hepar bilirubin di konjugasi menjadi bilirubin direct
dengan terdapat enzim glukuronil transferase, bilirubin direct diekresi ke usus
melalui duktus koledokus (Pratama, 2013).
Ikterus untuk Bayi Baru Lahir (BBL) merupakan naiknya kadar bilirubin yang
berada di jaringan terdalam ekstravaskuler menyebabkan kulit, konjungtiva,
4
5
mukosa dan bagian badan lainnya berwarna menguning. Ikterus patologik terjadi
dalam 24 jam awal dengan bilirubin serum meninggi melebihi dari 5 mg%
perhari, kadarnya meninggi dari 10 mg% pada bayi cukup bulan atau 15 mg%
pada bayi prematur, dan dideteksi setelah minggu awal kelahiran. Ikterus saat bayi
baru lahir terjadi pada 25%–50% neonatus mencukupi bulan dan lebih meninggi
lagi saat neonatus kurang bulan. Ikterus pada bayi baru lahir menjadi suatu
kondisi fisiologis atau bisa merupakan hal patologis. Ikterus neonatorum yaitu
kondisi ikterus yang terdapat pada bayi saat lahir. Ikterus yang patologik terlihat
segera dalam 24 jam awal, bersama bilirubin serum meninggi lebih dari 5 mg%
perhari, kadarnya diatas 10 mg% pada bayi matur atau 15 mg% saat bayi
prematur, dan menetap setelah minggu awal kelahiran. Ikterus patologik
memerlukan tindakan dan perawatan khusus (Vivian, 2010). Penanganan ikterus
neonatorum secara umum yaitu dengan melakukan terapi sinar atau fototerapi,
terapi tranfusi tukar, pemberian ASI secara optimal, serta terapi sinar matahari
(Maulida, 2014).
2.2 Klasifikasi
Menurut Pratama (2013) klasifikasi ikterus neonatorum ada 5, yaitu : ikterus
fisiologis, ikterus patologis, kern ikterus, ikterus hemolitik, dan ikterus obstruktif.
a. Ikterus fisiologis
Ikterus yang sering terdapat pada bayi dengan bobot badan lahir rendah.
Ikterus biasanya terlihat pada hari kedua lalu tidak terlihat lagi setelah sepuluh
hari atau saat terakhir minggu kedua.
b. Ikterus patologis
Ikterus yang terlihat segera setelah 24 jam pertama dengan bilirubin serum
meningkat hingga mencapai 10 mg% pada bayi matur atau 15 mg% pada bayi
prematur dan kondisi ini menetap setelah minggu awal kelahirannya. Ikterus yang
menetap berkaitan dengan penyakit hemolitik, infeksi dan sepsis.
c. Kern ikterus
Kondisi ikterus yang berat dengan adanya gumpalan bilirubin pada ganglia
basalis. Kern ikterus biasanya disertai dengan meningkatnya kadar bilirubin
indirek didalam serum. Bayi yang cukup bulan dengan kadar bilirubin > 20 mg%
atau > 18 mg% pada bayi prematur berisiko berkembang menjadi kern ikterus,
sedangkan hiperbilirubinemia dapat menyebabkan ensefalopati dan ini sangat
6
berbahaya bagi bayi. Kejadian kern ikterus bergantung pada kondisi bayi. Bayi
dengan kondisi seperti hipoksia, asidosis, dan hipoglikemia, maka gejala kern
ikterus dapat terlihat meskipun kadar bilirubin < 16 mg%. Penyembuhannya
adalah dengan cara transfusi darah.
d. Ikterus hemolitik
Inkompatibilitas rhesus, golongan darahnya ABO, golongan darah lainya, dan
adanya kelainan eritrosit kongenital atau defisiensi enzim G-6-PD.
e. Ikterus obstruktif
Sumbatan pendistribusian empedu baik dari hati maupun diluar hati, sehingga
berakibat pada tingginya kadar bilirubinnya direct dan indirect.
2.3 Etiologi
Etiologi ikterus menurut peningkatan kadar bilirubin dapat dibagi menjadi
karena peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated
hyperbilirubinemia) dan bilirubin terkonjugasi (conjugated hyperbilirubinemia).
Bilirubin terkonjugasi merupakan bilirubin bebas yang bersifat larut dalam air
sehingga dalam pemeriksaan mudah bereaksi, sedangkan bilirubin tidak
terkonjugasi merupakan bilirubin bebas yang terikat albumin, bilirubin
yang sukar larut dalam air . Ditinjau dari letaknya, penyebab utama
conjugated hyperbilirubinemiaatau kolestasis secara umum dibagi menjadi 2
golongan besar, yaitu kelainan intrahepatik(hepatoseluler) serta kelainan
ekstrahepatik (obstruktif). Etiologi ikterus yang sering ditemukan ialah:
hiperbilirubinemia fisiologik, inkompabilitas golongan darah ABO dan Rhesus,
breast milk jaundice, infeksi, bayi dari ibu penyandang diabetes melitus, dan
polisitemia/hiperviskositas. Sedangkan, etiologi yang jarang ditemukan yaitu:
defisiensi G6PD, defisiensi piruvat kinase, sferositosis kongenital, sindrom
Lucey-Driscoll, penyakit Crigler-Najjar, hipo-tiroid, dan hemoglobinopati
(Mathindas, 2013).
Bayi preterm lebih berisiko ikterus dibandingkan dengan bayi aterm karena
terjadi gangguan maturasi glukoronidasi pada bayi preterm sehingga
mengaktifkan dinedinphosphate glucoronosyl transferase menurun. Penurunan
aktifitas enzim ini menyebabkan jumlah bilirubin indirek yang dirubah menjadi
7
bilirubin direk di hati mengalami penurunan. Bayi pretem juga lebih berisiko
mengalami ikterus yaitu toksisitas bilirubin di otak dengan kadar bilirubin yang
lebih rendah dari bayi aterm karena kapasitas bilirubin-albumin yang menurun
pada bayi preterm (Wong et al, 2006; Aina dan Omoigberale, 2012; Buthani dan
Wong, 2013).
Peningkatan kadar bilirubin pada bayi baru lahir terjadi adanya fungsi usus
dan hati yang belum sempurna akibatnya banyak bilirubin yang tidak terkonjugasi
dan tidak terbuang dari tubuh dengan maksimal. Kurangnya asupan makanan juga
merupakan penyebab bayi ikterus, pada dua sampai tiga hari pertama setelah
kelahiran, kadang ASI ibu belum keluar sehingga bayi menjadi kuning karena
kekurangan asupan makanan. Terdapat dua jenis ikterus nonaturum terkait ASI (a)
breast- Feeding Associated Jaundice diketahui disebabkan oleh pemberian ASI
yang tidak adekuat dan buruknya intake cairan yang menyebabkan starvation dan
tertundanya pengeluaran mekonium pada neonatus. Hal tersebut akan
meningkatkan sirkulasi enterohepatik. (b) Brest milk Jaundice, keadaan dimana
terjadi peningkatan absorbsi bilirubin didalam usus (sirkulasi enterohepatik)
karena aktivitas enzim glukoromidase yang bisa terdapat pada ASI yang abnormal
(Yuliawati, 2018).
kelumpuhan serebral, tuli, dan mata tidak dapat digerakkan ke atas (Mathindas,
2013; Yuliawati, 2018).
Ikterus adalah perubahan warna menjadi kuning pada kulit, membran
mukosa, dan sklera yang disebabkan peningkatan produksi bilirubin di dalam
darah. Keadaan ini menandakan adanya peningkatan produksi bilirubin atau
eliminasi bilirubin dari tubuh yang tidak efektif. Ikterus secara klinis akan mulai
tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL (Tazami, 2013;
Maulida, 2014).
b. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis
ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.
Pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin total perlu dipertimbangkan karena hal
ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas
9
2.6 Patofisiologi
Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir. Jaundice harus diwaspadai
sebagai tanda penyakit dan tidak secara rutin dianggap fisiologis, tetapi jaundice
fisiologis pun tetap merupakan suatu tanda gangguan metabolisme bilirubin.
Prolonged jaundice, seharusnya tidak dianggap sebagai kondisi fisiologis sampai
terbukti sebaliknya. Ikterus dapat terjadi karena (Prasetyo, 2015):
1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan
2. Defek pengambilan bilirubin oleh sel hati
3. Defek konjugasi bilirubin
4. Penurunan ekskresi bilirubin
5. Gabungan antara peningkatan kadar bilirubin yang terjadi karena produksi
yang berlebihan dan penurunan sekresi
Gangguan berupa pembentukan bilirubin yang berlebihan, defek
pengambilan, dan konjugasi bilirubin akan menghasilkan peningkatan biliribin
tidak terkonjugasi. Penurunan ekskresi bilirubin akan meningkatkan kadar
10
Bayi kekurangan
Hemoglobin asi
Hemo Globin
Feco Biliverdin
Ketidakefektifan Kekurangan
Indikasi volume
fototerapi Pemecahan bilirubin
Gangguan suhu
termoregulasi Sinar cairan tubuhtinggi
dg intensitas Risiko cedera
berlebih
11
Peningkatan destruksi
eritrosit (gang. kongjungsi
bilirubin/gang. transport
bilirubin/peningkatan
siklus enteropetik) Hb dan Suplai bilirubin
eritrosit abdnormal) melebihi tampungan
hepar
2.8 Komplikasi
Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling
berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan
gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental
yang sangat mempengaruhi kualitas hidup (Ratuain, Wahyuningsih,
Purnamaningrum, 2015). Menurut Rosyada (2013), komplikasi pada ikterus
neonatus :
a. Peningkatan kehilangan cairan tubuh bayi. Karena itu pemberian cairan
harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya. Bila bayi bisa minum ASI,
sesering mungkin berikan ASI.
12
d. Perut
Peningkatan dan penurunan bising usus /peristaltic perlu dicermati.
Hal ni berhubungan dengan indikasi penatalaksanaan photo terapi.
Gangguan Peristaltik tidak diindikasikan photo terapi. Perut
membuncit, muntah, mencret merupakan akibat gangguan
metabolisme bilirubun enterohepatik. Splenomegali dan hepatomegali
dapat dihubungkan dengan sepsis bacterial, tixoplasmosis, rubella
e. Urogenital
Urine kuning dan pekat. Adanya faeces yang pucat/acholis/seperti
dempul atau kapur merupakan akibat dari gangguan/atresia saluran
empedu
f. Ekstremitas
Menunjukkan tonus otot yang lemah
g. Kulit
Tanda dehidrasi ditunjukkan dengan turgor tang jelek. Elastisitas
menurun. Perdarahan bawah kulit ditunjukkan dengan ptechia,
echimosis.
h. Pemeriksaan Neurologis
Adanya kejang, epistotonus, lethargy dan lain-lain menunjukkan
adanya tanda-tanda kern ikterus
16
Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil
1. Ikterik Setelah diberika asuhan Observation
1. Monitor TTV
neonatus keperawatan 3X24 jam
2. Amati tanda-tanda ikterik
berhubungan diharapkan ikterik hilang 3. Amati tanda-tanda dehidrasi
4. Pantau mata untuk edema drainase dan
dengan dengan kriteria hasil :
warna
Peningkatan 1. TTV bayi dalam batas
bilirubin normal Nursing Planning
2. Kadar bilirubin 1. Terapkan Penutup mata untuk
normal (12,5 ) menghindari tekanan berlebihan
3. Mukosa kulit tidak 2. Ubah posisi bayi setiap 4 jam
3. Dorong menyusui 8 kali setiap hari
kuning
Education
1. Intruksikan keluarga untuk fototerapi dan
perawatan
Colaboration
1. laporkan hasil laboratorium
2. Hentikan fototerapi jika suhu tubuh
meningkat (lebih dari 37 C)
3. Tempatkan fototerapi lampu diatas bayi
pada ketinggian yang sesuai
Education
1. Ajarkan pasien atau keluarga dalam
18
Colaboration
2. Kolaborasi dengan dokter, pemberian
obat antipiretik
ASI,
5) Pengetahuan pemberian
ASI
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas
a. Identitas Klien
1. Nama/Nama panggilan : By.Ny M
2. Tempat Tgl Lahir/Usia : Singkawang, 13 Oktober 2019
21
Menit ke 1 5 10 15
Apperance (warna kulit) 1 2
Pulse (nadi) 2 2
Grimace (reflek) 1 2
Activity (Tonus otot) 1 1
Respiratori (usaha nafas) 1 1
Total 6 8
3.1.5 Genogram
Keterangan
: Laki-laki
: Perempuan
X : Meninggal ---- : Serumah
: Pasien
Perkusi
Terdengar suara Sonor
k. Jantung
Inspeksi
Tidak terdapat massa abnormal tidak terdapat sianosis
Palpasi
Tidak terdapat masa abnormal atau nyeri tekan dan massa abnormal
Perkusi
Tidak terdapat pembesaran jantung
Auskultasi
S1-S2 regullar tidak ada bunyi jantung abnormal, HR: 135x/menit
l. Abdomen
Inspeksi
Bentuk simetris, tidak terdapat lesi, tali pusar basah dan warna kulit
kekuningan
Palpasi
Tidak terdapat massa abnormal
Auskultasi
Bising usus normal
Perkusi
Terdengar suara tymphani pada abdomen klien ketika diperkusi.
L. Ekstremitas
Inspeksi
Ekstremitas atas dan bawah lengkap dengan reflek baik akral hangat
kulit ikterik
Palpasi
Akral terasa hangat
N. Refleks
Refleks Morro: ada respon saat inkubator sedang diketuk bayi
melakukan pergerakan memeluk tangan dan kaki
27
Analisa Data
Ikterik Neonatus
Ds:- Ketidakefektifan Indikasi Fototerapi
Do: - klien diberikan tindakan termoregulasi
fototerapi
- Tubuh bayi teraba hangat Sinar dengan
- Kulit tubuh anak tampak merah
intensitas tinggi
- Suhu badan 36,9o C
Ketidakefektifan
termoregulasi
29
Ds: ibu klien mengatakan ASI yang Ketidakcukupan ASI Adaptasi Psikologis
keluar sedkit ibu
Do: - ASI yang dipompa ibu keluar
tampak sedikit
- bayi tampak sering menangis Perubahan Peran
- Bayi rewel
- Refleks hisap ada
Cemas
Sekresi Oksitosin
terhambat
Ketidakcukupan Asi
Ds: - Resiko Cedera Meningkatnya kadar
bilirubin
Do: - Klien diberikan tindakan
phototerapi selama 36 jam Indikasi fototerapi
Komplikasi berkenaan
Fototerapi
Resiko Cedera
30
Colaboration
1. Laporkan hasil laboratorium
2. Tempatkan fototerapi lampu diatas
bayi pada ketinggian yang sesuai
31
Education
Ajarkan pasien atau keluarga dalam
mengukur suhu untuk mencegah dan
mengenali secara dini hipertermia.
Colaboration
Kolaborasi dengan dokter, pemberian
obat antipiretik
3 Ketidakcukup Setelah dilakukan tindakan Observation
an pemberan keperawatan selama 36 Kaji penyebab kurangnya produksi asi
ASI jam, ketidakcukupan
Suplai asi pemberian ASI dapat Nursing Planning
yang tidak teratasi dengan kriteria Berikan Breastcare pada ibu
adekuat hasil :
1. Ibu dan bayi akan Education
mengalami keefektifan 1. Ajarkan ibu tentang kebutuhan
pemberian ASI yang nutrisinya
32
Bab ini penulis akan membahas tentang studi kasus asuhan keperawatan
pada By. Ny. M dengan ikterus neonatorum di RSUD Abdul Aziz Singkawang,
ruang perinatologi. Penulis akan membahas kesesuain maupun kesenjangan antara
kasus dengan ruang lingkup pembahasan mencakup asuhan keperawatan
berdasarkan prioritas diagnose keperawatan melalui proses keperawatan yang
meliputi tahap pengkajian, diagnose keperawatan, rencana keperawatan,
implementasi dan evaluasi,serta berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar
manusia.
4.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan
yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien, agar dapat
mengidentifikasi atau mengenali masalah-masalah yang dialami klien, kebutuhan
kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental, sosial dan lingkungan
(Hutahean, 2010).
Icterus adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa karena
bilirubin pada jaringan tersebut meningkat dalam darah (Broker, 2001). Icterus
merupakan warna kekuningan pada kulit yang timbul pada hari ke 2-3 setelah
lahir, tidak memiliki dasar patologis yang akan menghilang dengan sendirinya
pada hari ke 10 (Nursalam, 2005). Sedangkan menurut Win de Jong, et al (2005)
icterus adalah gejala kuning pada sclera kulit dan mata akibat bilirubin yang
berlebihan dalam darah dan jaringan, normalnya bilirubin Pada bayi aterm kurang
dari 12, dan BBLR kurang dari 10.
Pengumpulan data yang dilakukan penulis saat pengambilan kasus dengan
wawancara dan observasi langsung serta melakukan pemeriksaan fisik pada By.
Ny. M. Keluhan utama ibu pasien mengatakan badan anaknya tampak kuning di
seluruh tubuh.
41
Riwayat penyakit sekarang. Ibu melahirkan dengan proses caecar, ketuban
pecah dini kurang dari 24 jam dengan pembukaan tidak maju (PTM). Ibu
mengatakan pada hari ketiga bayi tampak kekuningan. Hasil pemeriksaan
laboratorium pada By. Ny. M menunjukan tingkat bilirubin total tinggi yaitu 15,4
mg/dl, suhu tubuh 36,9ºC, anak tampak lemah, warna kulit tampak kekuningan,
dan akral tubuh hangat. Hal ini menandakan terjadinya icterus neonatus.
42
perawatan, Colaboration; laporkan hasil laboratorium,Tempatkan fototerapi lampu
diatas bayi pada ketinggian yang sesuai
Penatalaksanaan hiperbilirubinemia secara fisiologis dan patologis yaitu:
secara fisiologis bayi mengalami kuning pada bagian wajah dan leher, atau pada
derajat satu dan dua dengan kadar bilirubin (<12mg/dl), kondisi tersebut dapat
diatasi dengan pemberian intake ASI (Air Susu Ibu) yang adekuat dan sinar
matahari pagi sekitar jam 7:00-9:00 selama 15menit, sedangkan secara patologis
bayi akan mengalami kuning diseluruh tubuh atau derajat tiga sampai lima dengan
kadar bilirubin (>12mg/dl) kondisi tersebut di indikasikan untuk dilakuakan
fototherapi, jika kadar bilirubin >20 mg/dl maka bayi di indikasikan untuk
diberikan transfusi tukar (Aviv, 2015).
Penelitian Mulyati (2019) menyatakan Pemberian fototherapi merupakan
pilihan utama untuk mengatasi bayi hiperbilirubinemia, tujuannya untuk
mengurangi kadar bilirubin darah yang tidak normal dan mengurangi ikterus pada
tubuh bayi, untuk hasil yang maksimal seluruh tubuh bayi diusahakan
mendapatkan sinar (irradiance) dengan melakukan alih baring yaitu: perubahan
poisisi miring kanan, miring kiri, terlentang dan tengkurap setiap 3 jam sekali
selama fototherapi, alih baring ini bertujuan untuk meningkatkan proses
pemerataan sinar terhadap kadar bilirubin yang tidak larut dalam air (indirek)
menjadi bilirubin yang larut dalam air (direk), sehingga dapat diekskresikan
melalui urin. Namun, fototherapi memiliki dampak negatif pada bayi yaitu dapat
mencederai mata dan genital, selain itu bayi hiperbilirubinemia yang dilakukan
fototherapi dapat berisiko mengalami kerusakan intensitas kulit, hipertermi, dan
diare. Sehingga peran perawat sangat penting untuk memperhatikan keadaan
umum bayi selama fototherapi (Aviv, 2015).
Pada masalah Ketidak efektifan termoregulasi b.d Sinar dengan intensitas
tinggi. Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 36 jam diharapkan suhu
tubuh dalam batas normal yaitu 36-37,5ºC dengan criteria hasil: Mempertahankan
suhu tubuh normal 36-37,5ºC, tidak sianosis, badan berwarna kemerahan.
Rencana keperawatan yang dilakukan oleh penulis yaitu Observation;
Pantau suhu minimal setiap 3 jam, sesuai dengan kebutuhan, Pantau warna kulit
dan suhu, Pantau tanda-tanda vital, Nursing Planning; Anjurkan untuk perbanyak
43
asupan cairan (ASI) Education; Ajarkan pasien atau keluarga dalam mengukur
suhu untuk mencegah dan mengenali secara dini hipertermia. Colaboration;
Kolaborasi dengan dokter, pemberian obat antipiretik
Pada masalah Ketidak cukupan pemberian ASI berhubungan dengan suplai
asi yang tidak adekuat. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 36 jam,
ketidak efektifan pemberian ASI dapat teratasi dengan kriteria hasil: Ibu dan bayi
akan mengalami keefektifan pemberian ASI yang ditunjukkan, kemantapan
pemberian ASI; bayi/ibu, Pemeliharaan pemberian ASI, penyapihan pemberian
ASI, Pengetahuan pemberian ASI.
Rencana keperawatan yang penulis lakukan yaitu Observation Kaji
penyebab kurangnya produksi asi Nursing Planning;Berikan Breastcare pada ibu
Education; Ajarkan ibu tentang kebutuhan nutrisinya, Jelaskan kepada ibu tentang
pentingnya manfaat asi,Instruksikan keluarga untuk memberi makan asi atau susu
formula pada tahun pertama,Ajarkan Ibu cara Breastcare.
Pada masalah Resiko Cedera berhubungan dengan Zat Kimia Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 36 jam, diharapkan tidak terjadi cedera
pada klien dengan kriteria hasil: Klien terbebas dari cidera.
Rencana keperawatan yang penulis lakukan yaitu Observation; Identifikasi
kebutuhan keamanan klien, Nursing Planning; Berikan kacamata pelindung
khusus Berikan penutup pada daerah genitalia dan bokong
4.4 Implementasi
Implementasi yang dilakukan berdasarkan intervensi keperawatan yang
sudah tetapkan, pada diagnose keperawatan ikterik neonatus berhubungan dengan
tingkat bilirubin tinggi dilakukan tindakan fototerapi. Pada diagnose Ketidak
efektifan termoregulasi berhubungan dengan sinar dengan intensitas tinggi
dilakukan pemantauan suhu tubuh. pada diagnose Ketidakcukupan pemberan ASI
berhubungan dengan suplai asi yang tidak adekuat dilakukan pemberian edukasi
mengenai pentingnya ASI. Sedangkan Resiko Cedera berhubungan dengan Zat
Kimia dilakukan tindakan mengidentifikasi kebutuhan keamanan klien.
4.5 Evaluasi
Evaluasi adalah proses keperawatan mengukur respon klien terhadap
tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan. Setelah
penulis melakukan tindakan keperawatan, maka penulis melakukan evaluasi.
44
Evaluasi ini penulis menggunakan metode sesuai teori yaitu SOAP (Subyektif,
Obyektif, Assessment, Planning).
Pada tanggal 15 Oktober 2019 jam 09.10 pada diagnoasa Ketidakefektifan
termoregulasi Subyektif (-), Obyektif: Suhu klien 36,9oC RR: 41 x/menit HR:
135x/Menit, Tubuh bayi terasa hangat, Klien tampak banyak minum, Orangtua
klien tampak telah memahami cara mengukur suhu, Assessment: Ketidakefektifan
termoregulasi, Planning lanjutkan intervensi.
Pada diagnosa Ketidakcukupan pemberian ASI pada tanggal 15 Oktober
2019 jam 09.10, Subyektif ibu klien mengatakan ASI masih sedikit Ibu klien
mengatakan ada respon menghisap pada bayi,Ibu klien mengatakn telah memhami
manfaat asi, Obyektif; ibu klien mengatakan ASI masih sedikit,Ibu klien
mengatakan ada respon menghisap pada bayi,Ibu klien mengatakn telah memhami
manfaat asi, Assessment; Ketidakcukupan pemberian ASI, Planning lanjutkan
intervensi.
Pada diagnosa ikterik neonatus pada tanggal 16 Oktober 2019 jam 09.10,
Subyektif;- ,Obyektif; Kulit tubuh anak masih tampak kuning, suhu badan 37,6oC
RR: 53x/menit HR: 137x/menit. Assessment; ikterik neonatus , Planning lanjutkan
intervensi.
Diagnosa ketidakefektifan termogulasi pada tanggal 16 Oktober 2019 jam
09.10, Subyektif; ibu klien mengatakan tubuh anaknya masih hangat, Obyektif;
suhu klien 37,6 oC RR 53x/menit, HR: 137x/menit, tubuh bayi terasa hangat,
kllien tampak banyak minum dan orang tua klien tampak telah memahami cara
mengukur suhu, Assesment; Ketidakefektifan termogulasi, Planning lanjutkan
intervensi.
Selanjutnya diagnosa Ketidakefektifan pemberan ASI 16 Oktober 2019 jam
09.10 Subyektif; ibuklien mengatakan ASI masih sedikit, ibu juga mengatakan ada
respon menghisap dari bayi dan ibu mengatakan telah memahami manfaat ASI
Obyektif; putting payudara ibu Nampak menonjol, saat dipompa ASI masih
tampak sedikit Assesment; ketidakefektifan pemberian ASI, Planning; lanjutkan
intervensi.
Diagnosa Resiko cedera 16 Oktober 2019 jam 09.10 Subyektif; - Obyektif;
tidak terdapat kerusakan pada mata, pelondung mata masih menempel dengan
45
kuat dan klien masih menggunakan diapers, Assesment; Resiko cedera, Planning;
lanjutkan intervensi.
Diagnosa hari ketiga, 17 Oktober 2019 jam 12.10 Ketidakefektifan
termogulasi. Subyektif; ibu klien mengatakan badan anaknya masih hangat,
Obyektif; suhu kklien 37,1 oC RR: 47x/menit HR: 130x/menit tubuh bayi terasa
hangat, kulit bayi tampak kemerahan dan tidak tampak kekuningan pada kulit
bayi, Assesment; Ketidakefektifan termogulasi, Planning; intervensi dihentikan.
Diagnosa ketidakefektifan pemberian ASI 17 Oktober 2019 jam 12.10
Subyektif; ibu klien mengatakan ASI sudah mulai banyak keluar dan mengatakan
terdapat respon menyedot bayi, Obyektif; ASI sudah mulai banyak keluar, klien
mau meminum ASI, Assesment; Ketidakefektifan pemberian ASI, Planning;
intervensi dihentikan.
Diagnosa terakhir resiko cedera pada 17 Oktober 2019 jam 12.10 Subyektif;
-, Obyektif; tidak terdapat kerusakan pada mata, pelindung mata masih menempel
dengan kuat dan klien masih menggunakan diapers, Assesment; Resiko cedera
Planning; intervensi dihentikan.
46
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada
kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme
yaitu bilirubin. Pada kebanyakankasus ikterus neonatrum, kadar bilirubin
tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak
memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang dapat
menghilang diakhir minggu pertama kehidupan bayi cukup bulan.
Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit
metabolik (ikterus patologis)
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatrum adalah
untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilaiyang
dapat menimbulkan kemikterus tau enselofati bilirubin, serta mengobati
penyebab langsung ikterus. Dianjurkan agar melakukan fisioterapi dan jika
tidak berhasil transfusi tukar dapat dilakukan untuk mempertahankan
kadar maksimum bilirubin total dalam serum dibawah kadar maksimum
pada bayi preterm dan bayi cukup bulan yang sehat.
5.2 Saran
Perhatikan tanda dan gejala sedini mungkin apabila anak
mengalami ikterus, orangtua perlu memperhatikan adanya dehidrasi,
pucat, kehilangan darah ekstravaskular, trauma lahir, perdarahan tertutup,
polisitemia yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali
pusat, bayi dengan gejala sepsis lainnya. Jika bayi dalam keadaaan seperti
ini maka orangtua perlu mencurigai adanya tanda-tanda bahwa bayi
mengalami ikterus. Segera konsultasikan ke dokter dan spesialis anak.
47
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. (2003). Ikterus Neonatorum.
Perinatologi. Bandung. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 64-84.
Aina YT, Omoigberale AI. (2012). Risk factors for neonatal jaundice in babies presenting
at the university of benin teaching hospital, benin city. Niger J Paed, 39(4): 159-
163.
Akinbi H. (2005). Ikterus pada bayi baru lahir; Pedoman klinis pediatri. Jakarta: EGC.
Anggraini. (2014). Hubungan antara persalinan premature dengan hiperbilirubin pada
neonatus. Jurnal Kesehatan, V(2): 109-112.
Aviv, J., Atikah, M. V., & Jaya, P. (2015). Buku Ajar Kebidanan pada Neonatus, Bayi dan
Balita. Jakarta: CV. Trans Info Medik.
Buthani VK, Wong RJ. (2013). Bilirubin neurotoxicity in preterm infants: Risk and
prevention. Journal of Clinical Neonatology, 2(2): 1-80.
Kementrian Kesehatan RI (2015). Profil kesehatan Indonesia tahun 2014. Khosim, M.
Sholeh, dkk. (2008). Buku Ajar Neonatologi Edisi I. Jakarta : Perpustakaan
Nasional
Mathindas, S., Wilar, R., & Wahani, A. (2013). Hiperbilirubinemia pada neonatus. Jurnal
Biomedik, 5(1).
Maulida, L. F. (2014). Ikterus Neonatorum. Media Publikasi Penelitian, 10(1). 39-43.
https://doi.org/10.26576/profesi.63.
Mauliku EN, Nurjanah A. (2010). Faktor-faktor pada ibu bersalin yang berhubungan
dengan kejadian hiperbilirubin pada bayi baru lahir di rumah sakit dustiracimahi
tahun 2009. Jurnal Kesehatan Kartika, 16: 16-25.
McCormick, Melisa. (2003). Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter,
Perawat, Bidan Di Rumah Sakit Rujukan Dasar. Indonesia : MNH – JHPIEGO.
McCormick, Melisa. 2003. “ Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter,
Perawat, Bidan Di Rumah Sakit Rujukan Dasar “. Indonesia : MNH – JHPIEGO.
Mulyati. 2019. Analisis Asuhan Keperawatan pada Pasien Neonatus dengan
Hiperbilirubinemia di RSUD PROF. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
University Research Colloqium
48
49