Anda di halaman 1dari 48

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN GANGGUAN

SISTEM PERKEMIHAN PADA KASUS SINDROM NEFROTIK)

DI SUSUN OLEH :

ASRIATUN
018 STYJ 17

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI NERS JENJANG PROFESI
MATARAM
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat limpahan rahmat karunia dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan tentang “Asuhan keperawatan pada anak dengan sindrom
nefrotik” ini tepat pada waktunya.
Penulis menyadari tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan penyusunan makalah yang berikutnya. Tidak lupa pula penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga
terselesaikannya makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan bagi penyusun pada khususnya.

Mataram, Februari 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan ........................................................................ 3
1.5 Metode Penulisan ......................................................................... 3
1.6 Sistematika Penulisan ................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 5
2.1 Konsep Dasar Penyakit ................................................................. 5
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan ............................................ 30
2.2.1 Pengkajian ..................................................................... 30
2.2.2 Diagnosa Keperawatan ..................................................... 38
2.2.3 Rencana Keperawatan ...................................................... 39
2.2.4 Tindakan Keperawatan ..................................................... 43
2.2.5 Evaluasi Keperawatan ...................................................... 43
BAB 3 PENUTUP........................................................................................ 44
3.1 Simpulan ........................................................................................ 44
3.2 Saran ............................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan
peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang
mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L.Wong,
2004).
Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh
injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria,
hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan
Rita Yuliani, 2001).
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari
proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang
dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak disertai dengan edema dan
hiperkolesterolemia (Rauf, 2002).
Pada tahun 1995 Friedrich Muller menggunakan istilah nefrosis untuk
membedakan degenerasi lemak tubulus dengan glomerulus. Namun istilah
nefrosis sekarang tidak dipakai lagi. Tahun 1913 Munk melaporkan adanya
butir-butir lipoid (Lipoid droplets) dalam sedimen urin pasien dengan “nefritis
parenkimatosa kronik”. Kelainan ini ditemukan terutama atas dasar adanya
lues dan diberikan istilah nefrosis lipoid. Istilah sindrom nefrotik (SN)
kemudian digunakan untuk menggantikan istilah terdahulu yang menunjukkan
suatu keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukkan satu penyakit yang
mendasari.
Sampai abad ke-20 morbiditas SN pada anak masih tinggi, yaitu
melebihi 50%. Pasien-pasien ini dirawat dalam jangka waktu lama karena
edema anasarka disertai dengan ulserasi dan infeksi kulit. Dengan
ditemukannya obat-obat sulfonamide dan penisilin pada tahun 1940 dan
dipakainya hormone adrenokortikotropik (ACTH) dan kortikosteroid pada
tahun 1950, mortalitas penyakit ini diperkirakan mencapai 67% yang sering
disebabkan oleh komplikasi peritonitis dan sepsis dan pada decade berikutnya

1
mortalitas menurun sampai + 40%. Angka kematian menurun lagi mencapai
35% setelah obat penisilin mulai digunakan pada tahun1946-1950.
Dengan pemakaian ACTH atau kortison pada awal 1950-an untuk
mengatasi edema dan mengurangi kerentanan terhadap infeksi, angka
kematian menurun mencapai 20%. Schwartz dan kawan-kawan melaporkan
angka mortalitas 23% 15 tahun setelah awitan penyakit. Di antara pasien SN
yang selamat dari infeksi sebelum era sulfonamide umumnya kematian pada
periode ini disebabkan oleh gagal ginjal kronik (Nefrologi Anak: 350).
Berdasarkan latar belakang dan judul asuhan keperawatan di atas dapat
diidentifikasikan masalah keperawatan Nefrotik Syndrom mulai dari
pengkajian, riwayat kesehatan, pola fungsional, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboraturium yang berguna untuk menunjang dalam pemberian
asuhan keperawatan. Asuhan keperawatan ditentukan berdasarkan data fokus
yang diperoleh dari keluhan-keluhan yang dirasakan oleh pasien dan keluarga.
Dari keluhan yang dapat digunakan untuk menentukan prioritas masalah
keperawatan yang muncul, menentukan intervensi, implementasi keperawatan
dan mengevaluasi asuhan keperawatan yang diberikan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka penulis dapat
merumuskan masalah “Bagaimana cara melakukan asuhan keperawatan pada
anak dengan kasus sindrom nefrotik”?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk dapat melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan
kasus sindrom nefrotik.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Melakukan pengkajian asuhan keperawatan pada anak dengan
kasus sindrom nefrotik dengan baik dan benar.
2. Merumuskan diagnosa keperawatan pada anak dengan kasus
sindrom nefrotik dengan baik dan benar.
3. Menentukan dan menyusun rencana asuhan keperawatan pada anak
dengan kasus sindrom nefrotik dengan baik dan benar.

2
4. Melaksanakan tindakan asuhan keperawatan pada anak dengan
kasus sindrom nefrotik dengan baik dan benar.
5. Melakukan evaluasi tingkat keberhasilan pelaksanaan asuhan
keperawatan pada anak dengan kasus sindrom nefrotik dengan baik
dan benar.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Ilmu Keperawatan
Menambah wawasan ilmu keperawatan khususnya untuk
melengkapi konsep-konsep intervensi keperawatan. Dapat digunakan
sebagai masukan dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan
ilmu keperawatan.
1.4.2 Rumah Sakit
Diharapkan dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan
pada klien sindrom nefrotik dengan memberikan perawatan yang baik.
1.4.3 Masyarakat
Dapat meningkatkan derajat kesehatan penderita sindrom
nefrotik melalui proses keperawatan yang dilaksanakan dan dijadikan
bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam upaya meningkatkan
perilaku hidup sehat.
1.4.4 Penulis
Dapat memberikan manfaat dalam menambah wawasan ilmu
pengetahuan pada penulis untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh
selama pendidikan.
1.5 Metode Penulisan
Dalam kepustakaan ini penulis menggunakan literatur atau sumber
buku yang ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas.

3
1.6 Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini terdiri dari 3 bab, untuk mempermudah
pembahasan isi makalah ini maka penulis memberikan gambaran singkat,
yaitu sebagai berikut:
BAB 1 : Pendahuluan
Terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, metode penulisan dan sistemika penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
1. Konsep dasar sindrom nefrotik menguraikan pengertian, anatomi
fisiologi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi,
pathway, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis.
2. Konsep dasar asuhan keperawatan menguraikan tentang
pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana asuhan keperawatan,
tindakan keperawatan, evaluasi keperawatan dan
pendokumentasian keperawatan.
BAB III : Penutup
Terdiri dari simpulan dan saran
Daftar Pustaka

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Teori


2.1.1 Pengertian

Sindrom Nefrotik Normal


Gambar 1. Pasien dengan sindrom nefrotik
Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan
peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang
mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L.
Wong, 2004).
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), sindrom nefrotik
merupakan gangguan klinis yang ditandai dengan peningkatan protein
dalam urine secara bermakna (proteinuria), penurunan albumin dalam
darah (hipoalbuminemia), edema dan serum koesterol yang tinggi dan
lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). Tanda-tanda tersebut
dijumpai sampai disetiap kondisi yang sangat merusak membrane
kapiler glomerulus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas
glomerulus.
Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang
disebabkan oleh injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan
karakteristik; proteinuria, hipoproteinuria, hipoalbuminemia,
hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan Rita Yuliani, 2001).
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang
terdiri dari proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam),

5
hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau
tidak disertai dengan edema dan hiperkolesterolemia (Rauf, 2002).
Berdasarkan pengertian diatas maka penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa Sindrom Nefrotik pada anak merupakan kumpulan
gejala yang terjadi pada anak dengan karakteristik proteinuria massif
hipoalbuminemia, hiperlipidemia yang disertai atau tidak disertai
edema dan hiperkolestrolemia.
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi

Gambar. 2 Anatomi Ginjal


Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang
terletak retroperitoneal dengan panjang lebih kurang 11-12 cm,
disamping kiri kanan vertebra.
Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri
oleh karena adanya hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh.
Batas atas ginjal kiri setinggi batas atas vertebra thorakalis XII dan
batas bawah ginjal setinggi batas bawah vertebra lumbalis III.
Pada fetus dan infan, ginjal berlobulasi. Makin bertambah
umur, lobulasi makin kurang sehingga waktu dewasa menghilang.
Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas
piramid-piramid yang berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata 12
buah. Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh kolumna bertini. Dasar
piramid ini ditutup oleh korteks, sedang puncaknya (papilla
marginalis) menonjol ke dalam kaliks minor. Beberapa kaliks

6
minor bersatu menjadi kaliks mayor yang berjumlah 2 atau 3 ditiap
ginjal. Kaliks mayor/minor ini bersatu menjadi pelvis renalis dan di
pelvis renalis inilah keluar ureter.
Korteks sendiri terdiri atas glomeruli dan tubili, sedangkan
pada medula hanya terdapat tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan
membentuk Nefron. Satu unit nefron terdiri dari glomerolus,
tubulus proksimal, loop of henle, tubulus distal (kadang-kadang
dimasukkan pula duktus koligentes). Tiap ginjal mempunyai lebih
kurang 1,5-2 juta nefron berarti pula lebih kurang 1,5-2 juta
glomeruli.
Pembentukan urin dimulai dari glomerulus, dimana pada
glomerulus ini filtrat dimulai, filtrat adalah isoosmotic dengan
plasma pada angka 285 mosmol. Pada akhir tubulus proksimal 80
% filtrat telah di absorbsi meskipun konsentrasinya masih tetap
sebesar 285 mosmol. Saat infiltrat bergerak ke bawah melalui
bagian desenden lengkung henle, konsentrasi filtrat bergerak ke
atas melalui bagian asenden, konsentrasi makin lama makin encer
sehingga akhirnya menjadi hipoosmotik pada ujung atas lengkung.
Saat filtrat bergerak sepanjang tubulus distal, filtrat menjadi
semakin pekat sehingga akhirnya isoosmotik dengan plasma darah
pada ujung duktus pengumpul. Ketika filtrat bergerak turun melalui
duktus pengumpul sekali lagi konsentrasi filtrat meningkat pada
akhir duktus pengumpul, sekitar 99% air sudah direabsorbsi dan
hanya sekitar 1% yang diekskresi sebagai urin atau kemih (Price,
2001). Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:
a. Korteks: bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri
dari korpus renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman),
tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis.
b. Medula: terdiri dari 9-14 pyramid. Di dalamnya terdiri dari
tubulus rektus, lengkung Henle dan tubulus pengumpul (ductus
collectivus).
c. Columna renalis: bagian korteks di antara pyramid ginjal

7
d. Processus renalis: bagian pyramid/medula yang menonjol ke
arah korteks.
e. Hilus renalis: suatu bagian di mana pembuluh darah, serabut
saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.
f. Papilla renalis: bagian yang menghubungkan antara duktus
pengumpul dan calix minor.
g. Calix minor: percabangan dari calix major.
h. Calix major: percabangan dari pelvis renalis.
i. Pelvis renalis: disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang
menghubungkan antara calix major dan ureter.
j. Ureter: saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.
2. Fisiologi ginjal
Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah satu
alat ekskresi yang sangat penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk
dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi
oleh sirkulasi ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac
output.
a. Faal glomerolus
Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk
ultrafiltrat yang dapat masuk ke tubulus akibat tekanan
hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan
hidrostatik intra kapiler dan tekanan koloid osmotik. Volume
ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut
glomerula filtration rate (GFR). GFR normal dewasa : 120
cc/menit/1,73 m2 (luas pemukaan tubuh). GFR normal umur
2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak.
b. Faal Tubulus
Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi
dan sekresi dari zat-zat yang ada dalam ultrafiltrat yang
terbentuk di glomerolus. Sebagaimana diketahui, GFR : 120
ml/menit/1,73 m2, sedangkan yang direabsorbsi hanya 100
ml/menit, sehingga yang diekskresi hanya 1 ml/menit dalam

8
bentuk urin atau dalam sehari 1440 ml (urin dewasa). Pada
anak-anak jumlah urin dalam 24 jam lebih kurang dan sesuai
dengan umur :
1) 1-2 hari : 30-60 ml
2) 3-10 hari : 100-300 ml
3) 10 hari-2 bulan : 250-450 ml
4) 2 bulan-1 tahun : 400-500 ml
5) 1-3 tahun : 500-600 ml
6) 3-5 tahun : 600-700 ml
7) 5-8 tahun : 650-800 ml
8) 8-14 tahun : 800-1400 ml
c. Faal Tubulus Proksimal
Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang
paling banyak melakukan reabsorbsi yaitu ± 60-80 % dari
ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus. Zat-zat yang
direabsorbsi adalah protein, asam amino dan glukosa yang
direabsorbsi sempurna. Begitu pula dengan elektrolit (Na, K,
Cl, Bikarbonat), endogenus organic ion (citrat, malat, asam
karbonat), H2O dan urea. Zat-zat yang diekskresi asam dan
basa organik.
d. Faal loop of henle
Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb,
thin limb dan ascending thick limb itu berfungsi untuk
membuat cairan intratubuler lebih hipotonik.
e. Faal tubulus distalis dan duktus koligentes
Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan
elektrolit dengan cara reabsorbsi Na dan H2O dan ekskresi Na,
K, Amonium dan ion hidrogen (Rauf, 2002).

9
2.1.3 Epidemiologi
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati
lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6
tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak
daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati
membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan
perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3
kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun.
Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan
oleh diabetes mellitus.
Menurut kepustakaan sindrom nefrotik, kasus sindrom nefrotik
ini paling banyak ditemukan pada anak berumur 3-4 tahun. Tetapi
berdasarkan penelitian yang dijalankan di RSCM Jakarta oleh Wila
Wirya I.G.N. dari tahun 1970-1979, didapati sindrom nefrotik pada
umumnya mengenai anak umur 6-7 tahun. Penyakit sindrom nefrotik
dijumpai pada anak mulai umur kurang dari 1 tahun sampai umur 14
tahun (Ngastiyah 2005). Di Indonesia gambaran histopatologik
sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri.
Wila Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364
anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi (Wirya 1997),
sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan
minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi
(Noer 2005).
2.1.4 Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-
akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi
antigen-antibodi. Menurut Ngastiyah (2005), umumnya etiologi dibagi
menjadi tiga, yaitu :
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau reaksi
matemofetal, resisten terhadap semua pengobatan. Gejala : edema
pada masa neonatus

10
2. Sindrom nefrotik sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau
sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek
samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus,
amiloidosis, sindrom Alport, miksedema.
b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin,
probenesid, racun serangga, bisa ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus
sistemik, purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor
gastrointestinal.
3. Sindrom nefrotik idiopatik atau sindrom nefrotik primer
Faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom
nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer
terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada
penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak.
Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik
kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan
sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun. Sekitar 90%
nefrosis pada anak dan penyebabnya belum diketahui, berdasarkan
hispatologi yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan
mikroskop biasa dan mikroskop elektron. Diduga ada hubungan
dengan genetik, imunologik dan alergi.
Sindrom nefrotik primer dibagi menjadi :
a. Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus
sel epitel berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak
terdapat IgG pada dinding kapiler glomerulus.

11
b. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding
kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel.Prognosis kurang
baik.
c. Glomerulonefritis proliferatif
1) Glomerulonefritis proliferative esudatif difus
Terdapat proliferasi sel mesanginal dan infiltrasi sel
polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel yang
menyebabkan kapiler tersumbat.
2) Dengan penebalan batang lobular
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan
penebalan batang lobular.
3) Dengan bulan sabit (crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi
sel epitel sampai kapsular dan viseral. Prognosis buruk
4) Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang
mempunyai membrane basalis di mesangium. Titer globulin
beta-IC atau beta-IA rendah. Prognosis buruk
5) Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.
d. Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus.
Sering disertai atrofi tubulus. Prognosis buruk
Sindroma nefrotik juga bisa disebabkan oleh penyakit dan
sejumlah obat-obatan yang merupakan racun bagi ginjal dan penyakit ,
diantaranya :
1. Penyakit
a. Amilodosis
b. Kanker
c. Diabetes
d. Glumerulopati
e. Infeksi HIV
f. Leukemia

12
g. Limfoma
h. Gemopatimonoklonal
i. Lupus erimatus sistemik
2. Obat-obatan
a. Obat nyeri menyerupai aspirin
b. Senyawa emas
c. Heroin intravena
d. Penisilamin
2.1.5 Klasifikasi
1. Sindrom nefrotik secara klinis
Sindrom nefrotik secara klinis dibagi menjadi 3 kelompok
diantaranya:
a. Sindrom Nefrotik Bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi
maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus.
Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan
ginjal pada masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis
buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan
pertama kehidupannya.
b. Sindrom Nefrotik Sekunder disebabkan oleh:
1) Malaria kuartana atau parasit lain.
2) Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata,
purpura anafilaktoid.
3) Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombosis
vena renalis.
4) Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin,
garam emas, sengatan lebah, racun oak, air raksa.
5) Amiloidosis, penyakit anemia sel sabit, hiperprolinemia,
nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.

13
c. Sindrom Nefrotik Idiopatik, dibagi kedalam 4 golongan, yaitu :
1) Kelainan minimal
a) Glomerolus tampak normal (mikroskop biasa) atau
tampak foot processus sel epitel berpadu (mikroskop
elektron)
b) Dengan imonufluoresensi tidak ada IgG atau
imunoglobulin beta-IC pada dinding kapiler glomerolus
c) Lebih banyak terdapat pada anak
d) Prognosis baik
2) Nefropati membranosa
a) Glomerolus menunjukan penebalan dinding kapiler
yang tersebar tanpa proliferasi sel.
b) Prognosis kurang baik
3) Glomerulonefritis proliferatif
a) Eksudatif difus
Terdapat prolifarasi sel mesangial dan infiltrasi
polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel
yang menyebabkan kapiler tersumbat.
b) Penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar
dan penebalan batang lobular.
c) Dengan bulan sabit (crescent)
Prolifersi sel mesangial dan proliferasi sel epitel
sampai kapsular dan viseral.
d) Glomelurosklerosis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin
yang menyerupai membrana basalis de mesengium.
Titer imunoglobulin beta-IC atau beta-IA rendah.
4) Glomelurosklerosis Fokal Segmental
a) Sklerosis glomelorus dan atrofi tubulus
b) Prognosis buruk

14
2. Pembagian Patologi Anatomi
a. Kelainan minimal
1) Merupakan bentuk utama dari glomerulonefritis dimana
mekanisme patogenetik imun tampak tidak ikut berperan
(tidak ada bukti patogenesis kompleks imun atau anti-
MBG).
2) Glomerolus tampak foot processus sel terpadu, maka
disebut juga nefrosis lipid atau penyakit podosit.
3) Kelainan yang relatif jinak adalah penyebab sindrom
nefrotik yang paling sering pada anak-anak usia 1-5 tahun.
4) Glomeruli tampak normal atau hampir normal pada
mikroskop cahaya, sedangkan dengan mikroskop elektron
terlihat adanya penyatuan podosit; hanya bentuk
glomerolunefritis mayor yang tidak memperlihatkan
imunopatologi.
b. Nefropati membranosa (glomerulonefritis membranosa)
1) Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia
pertengahan secara morfologi khas oleh kelainan berbatas
jelas pada MBG.
2) Jarang ditemukan pada anak-anak.
3) Mengenai beberapa lobus glomerolus, sedangkan yang lain
masih normal.
4) Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrana
basalis yang dapat terlihat baik dengan mikroskop cahaya
maupun elektron.
c. Glomerulosklerosis fokal segmental
1) Lesi ini punya insidens hematuria yang lebih tinggi dan
hipertensi, proteinuria nonselektif dan responnya terhadap
kortikosteroid buruk.
2) Penyakit ini mula-mula hanya mengenai beberapa
glomeruli (istilah fokal) dan pada permulaan hanya

15
glomeroli jukstameduler. Jika penyakit ini berlanjut maka
semua bagian terkena.
3) Secara histologik ditandai sklerosis dan hialinisasi beberapa
anyaman didalam satu glomerolus, menyisihkan bagian-
bagian lain. Jadi keterlibatannya baik fokal dan segmental.
4) Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik.
d. Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN)
1) Ditandai dengan penebalan membran basalis dan proliferasi
seluler (hiperselularitas), serta infiltrasi sel PMN.
2) Dengan mikroskop cahaya, MBG menebal dan terdapat
proliferasi difus sel-sel mesangial dan suatu penambahan
matriks mesangial.
3) Perluasan mesangium berlanjut ke dalam kumparan kapiler
perifer, menyebabkan reduplikasi membrana basalis
(”jejak-trem” atau kontur lengkap)
4) Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi
streptococcus yang progresif dan pada sindrom nefrotik.
5) Ada MPGN tipe I dan tipe II.
e. Glomerulonefritis proliferatif fokal
1) Proliferatif glomeruler dan atau kerusakan yang terbatas
pada segmen glomerulus individual (segmental) dan
mengenai hanya beberapa glomerulus (fokal).
2) Lebih sering ada dengan sindrom nefritik.
2.1.6 Patofisiologi
Glomeruli adalah bagian dari ginjal yang berfungsi untuk
menyaring darah. Pada nefrotik sindrom, glomeruli mengalami
kerusakan sehingga terjadi perubahan permeabilitas karena inflamasi
dan hialinisasi sehingga hilangnya plasma protein, terutama albumin
ke dalam urine. Meskipun hati mampu meningkatkan produksi
albumin, namun organ ini tidak mampu untuk terus
mempertahankannya. Jika albumin terus menerus hilang maka akan
terjadi hipoalbuminemia.

16
Hilangnya protein menyebabkan penurunan tekanan onkotik
yang menyebabkan edema generalisata akibat cairan yang berpindah
dari sistem vaskuler ke dalam ruang cairan ekstraseluler. Penurunan
volume cairan vaskuler menstimuli sistem renin-angio-tensin, yang
mengakibatkan disekresinya hormon anti diuretik (ADH) dan
aldosteron menyebabkan reabsorbsi natrium (Na) dan air sehingga
mengalami peningkatan dan akhirnya menambah volume
intravaskuler.
Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis LDL
(Low Density Lipoprotein) dalam hati dan peningkatan kosentrasi
lemak dalam darah (hiperlipidemia). Adanya hiperlipidemia juga
akibat dari meningkatnya produksi lipoprotein dalam hati yang timbul
oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak akan banyak
dalam urin (lipiduria)
Menurunya respon immun karena sel immun tertekan,
kemungkinan disebabkan oleh karena hipoalbuminemia,
hiperlipidemia, atau defesiensi seng. Penyebab mencakup
glomerulosklerosis interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit lupus
erythematosus sistemik, dan trombosis vena renal (Toto Suharyanto,
2009).

17
2.1.7 Pathway

18
2.1.8 Manifestasi Klinis
Menurut Suriadi (2001), tanda dan gejala dari syndrome
nefrotik adalah :
1. Proteinuria > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada
anak-anak.
2. Hipoalbuminemia < 30 g/l.
3. Edema generalisata. Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat
ditemukan edema muka, ascxites dan efusi pleura.
4. Anorexia
5. Fatique
6. Nyeri abdomen
7. Berat badan meningkat
8. Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia.
9. Hiperkoagualabilitas, yang akan meningkatkan resiko trombosis
vena dan arteri.
Menurut Betz, Cecily L (2002), tanda dan gejala syndrome
nefrotik adalah sebagai berikut:
1. Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya
bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema
biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya
ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen
daerah genitalia dan ekstermitas bawah.
2. Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa.
3. Pucat Hematuri, azotemeia hipertensi ringan.
4. Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
5. Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan
keletihan umumnya terjadi.
6. Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
7. Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang).

19
2.1.9 Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Betz, Ceily L (2002), pemeriksaan diagnostik sebagai
berikut :
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin
Biakan urin dilakukan apabila terdapat gejala klinik yang
mengarah pada infeksi saluran kemih (ISK).
2. Protein urin kuantitatif
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan urin 24 jam
atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.
3. Pemeriksaan darah
a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,
trombosit, hematokrit, LED).
b. Albumin dan kolesterol serum.
c. Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin
Pengukuran dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun
dengan rumus Schwartz. Rumus Schwartz digunakan untuk
memperkirakan laju filtrasi glomerulus (LFG).
eLFG = k x L/Scr
keterangan :
eLFG : estimated LFG (ml/menit/1,73 m2)
L : tinggi badan (cm)
Scr : serum kreatinin (mg/dL)
k : konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55;
remaja putra:0,7).
d. Kadar komplemen C3
Apabila terdapat kecurigaan lupus erimatosus sistemik,
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti
nuclear antibody), dan anti ds-DNA.
4. Diagnostik
Biopsi ginjal merupakan uji diagnostik yang tidak
dilakukan secara rutin.

20
2.1.10 Terapi secara suportif, dietetik dan medikamentosa bagi sindrom
Nefrotik
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya
jangan tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi
spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Terapi kortikoteroid dimulai
apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari. Untuk
menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan
sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti pada tabel 2 berikut:
Tabel 1. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid
pada anak dengan sindrom nefrotik.
sindrom nefrotik Remisi Proteinuria negatif atau
proteinuria
< 4 mg/m2/jam selama 3 hari
berturut-turut
Kambuh Proteinuria 2 + atau proteinuria >
40 mg/m2/jam
selama 3 hari berturut-turut,
dimana sebelumnya
pernah mengalami remisi
Kambuh tidak sering Kambuh < 2 kali dalam masa 6
bulan,
atau < 4 kali dalam periode 12
bulan
Kambuh sering Kambuh 2 kali dalam 6 bulan
pertama setelah respons awal,
atau 4 kali kambuh pada setiap
periode 12 bulan.
Responsif-steroid Remisi tercapai hanya dengan
terapi steroid saja.
Dependen-steroid Terjadi 2 kali kambuh berturut-
turut selama masa tapering terapi
steroid, atau dalam waktu 14 hari

21
setelah terapi steroid dihentikan.
Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun
telah diberikan terapi prednison
60 mg/m2/hari selama 4 minggu.
Responder lambat Remisi terjadi setelah 4 minggu
terapi prednison 60 mg/m2/hari
tanpa tambahan terapi lain.
Nonresponder awal Resisten-steroid sejak terapi awal.
Nonresponder lambat Resisten-steroid terjadi pada
pasien yang sebelumnya
responsif-steroid.
1. Protokol pengobatan menurut International Study of Kidney
Disease in Children (ISKDC)
ISKDC menganjurkan untuk memulai terapi awal dengan
pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan
dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan
dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari
dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu
pengobatan dihentikan.
a. Cara penanganan sekiranya terjadi sindrom nefrotik serangan
pertama :
1) Perbaiki keadaan umum penderita
a) Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan
diet terutama pada pasien dengan penurunan fungsi
ginjal. Batasi asupan natrium sampai ± 1 gram/hari,
secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya
dalam makanan yang diasinkan. Pasien diberikan diet
tinggi kalori, tinggi protein 2-5 gram/kgBB/hari, serta
rendah lemak.
(1) Ditingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu
dengan transfusi plasma atau albumin konsentrat.
(2) Mengatasi infeksi

22
(3) Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk
mencari tanda-tanda komplikasi dari sindrom
nefrotik.
2) Berikan terapi suportif yang diperlukan
a) Tirah baring bila ada edema anasarka. Diuretik
diberikan bila ada edema anasarka berat atau
mengganggu aktivitas seharian. Biasanya diberikan
furosemid 1 mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya
edema dan respons pasien terhadap pengobatan. Bila
edema refrakter, dapat digunakan hidroklortiazid (25-50
mg/hari). Selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolik atau
hipovolemia (kehilangan cairan intravaskular berat).
b) Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat
antihipertensi.
Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-
lambatnya 14 hari setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan
untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi spontan atau
tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison
tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang
terjadi pemburukan keadaan pasien, segera berikan prednison tanpa
menunggu waktu 14 hari.
b. Cara penanganan sekiranya terjadi sindrom nefrotik kambuh
(relaps) :
1) Berikan prednison sesuai protokol relaps, segera setelah
diagnosis relaps ditegakkan.
2) Perbaiki keadaan umum penderita
c. Cara penanganan sekiranya terjadi sindrom nefrotik kambuh
tidak sering (sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam
masa 6 bulan atau < 4 kali dalam masa 12 bulan)
1) Induksi

23
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg
BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis
terbagi setiap hari selama 3 minggu.
2) Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40
mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis
tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu,
prednison dihentikan.
d. Sindrom nefrotik kambuh sering (sindrom nefrotik yang
kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa
12 bulan).
1) Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg
BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis
terbagi setiap hari selama 3 minggu
2) Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60
mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis
tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis
prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan
selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1
minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu,
akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian
prednison dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari,
siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari
selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid
dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis
nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons terhadap
pengobatan awal, relaps sering, terdapat komplikasi,
terdapat kontra indikasi steroid, atau untuk biopsi ginjal.

24
1. Terapi suportif
a. Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan aktivitas).
Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap
± 900 sampai 1200 ml/ hari.
b. Diet makanan dan minuman tinggi protein yang mengandung
protein 2-5 gram/kgbb/hari, rendah lemak dan tinggi kalori.
c. Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 – 2 gram/hari
jika anak hipertensi. Menggunakan garam secukupnya dalam
makanan dan menghindari makanan yang diasinkan.
d. Terapi diuretik sesuai indikasi. Pemberian ACE-inhibitors
misalnya : enalpril, captopril atau lisinopril untuk menurunkan
pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan
konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi pada penderita yang
memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat
tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga tidak
dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
e. Terapi albumin jika intake anak dan output urin kurang.
f. Antibiotik hanya diberikan bila ada infeksi (Donna L. Wong,
2004).
2.1.11 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis menurut Mansjoer Arif (2000) :
a. Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium
kurang lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan
garam secukupnya dan menghindari makanan yang di asinkan.
Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari.
b. Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat
digunakan diuretik, biasanya furosemid 1mg/kgBB/hari.
Bergantung pada beratnya edema dan respon pengobatan. Bila
edema refrakter, dapat digunakan hididroklortiazid (25-50
mg/hari, selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan
cairan intravaskuler berat.

25
c. Pengobatan kortikosterois yang diajukan internasional
cooperative study of kidney disease in children (ISCKD),
sebagai berikut :
1) Selama 28 hari prednisone diberikan per oral dengan dosis
60 mg/hari luas permukaan badan (lbp) dengan maksimum
80 mg/hari.
2) Kemudian dilanjutkan dengan prednisone per oral selama
28 hari dengan dosis 40 mg/hari/lbp, setiap 3 hari dalam
satu minggu dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila
terdapat respon selama pengobatan, maka pengobatan ini
dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.
d. Cegah infeksi. Antibiotiknya hanya dapat diberikan bila ada
infeksi.
e. Fungsi asites maupun hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi
vital.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Pasien sindrom nefrotik perlu dirawat di rumah sakit,
karena memerlukan pengawasan dan pengobatan yang khusus.
Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah edema yang berat
(anasarka), diet, resiko komplikasi, pengawasan mengenai
pengobatan atau gangguan rasa aman dan nyaman, dan kurangnya
pengetahuan orang tua mengenai penyakit pasien atau umum.
Pasien dengan sindrom nefrotik dengan anasrka perlu
istirahat di tempat tidur karena keadaan edema yang berat
menyebabkan pasien kehilangan kemampuannya untuk bergerak.
Selama edema masih berat semua keperluan harus ditolong diatas
tempat tidur.
a. Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan di
dalam rongga thoraks akan menyebabkan sesak nafas
b. Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit
(bantal di letakkan memanjang, karena jika bantal melintang

26
maka ujung kaki akan lebih rendah dan akan menyebabkan
edema hebat).
c. Bila pasien seseorang anak laki-laki, berikan ganjal dibawah
skrotum untuk mencegah pembengkakan skrotum karena
tergantung (pernah terjadi keadaan skrotum akhirnya pecah dan
menjadi penyebab kematian pasien).
Bila edema telah berkurang diperbolehkan pasien
melakukan kegiatan sesuai kemampuannya, tetapi tetap didampingi
atau dibantu oleh keluarga atau perawat dan pasien tidak boleh
kelelahan.untuk mengetahui berkurangnya edema pasien perlu
ditimbang setiap hari, diukur lingkar perut pasien. Selain itu
perawatan pasien dengan sindrom nefrotik, perlu dilakukan
pencatatan masukan dan pengeluaran cairan selama 24 jam. Pada
pasien dengan sindrom nefrotik diberikan diet rendah protein yaitu
1,2-2,0 g/kgBB/hari dan cukup kalori yaitu 35 kal/kgBB/hari serta
rendah garam (lg/hari). Bentuk makanan disesuaikan dengan
keadaan pasien, dapat makanan biasa atau lunak.
Pasien dengan sindrom nefrotik mengalami penurunan daya
tahan tubuh yang mengakibatkan mudah terkena infeksi.
Komplikasi pada kulit akibat infeksi streptococcus dapat terjadi.
Untuk mencegah infeksi tersebut, kebersihan kulit perlu
diperhatikan dan alat-alat tenun atau pakaian pasien harus bersih
dan kering. Antibiotik diberikan jika ada infeksi, dan diberikan
pada waktu yang sama. Jika pasien diperbolehkan pulang, orang
tua pasien perlu diberikan penjelasan bagaimana merawat anak
yang menderita penyakit sindrom nefrotik. Pasien sendiri perlu
juga diterangkan aktivitas apa yang boleh dilakukan dan kepatuhan
tentang dietnya masih perlu diteruskan sampai pada saatnya dokter
mengizinkan bebas diet. Memberikan penjelasan pada keluarga
bahwa penyakit ini sering kambuh atau berubah menjadi lebih
berat jika tidak terkontrol secara teratur, oleh karena itu orang tua

27
pasien dianjurkan kontrol sesuai waktu yang ditentukan (biasanya
1 bulan sekali) (Ngastiyah , 2005).
2.1.12 Prognosis
Prognosisnya tergantung kepada penyebabnya, usia penderita
dan jenis kerusakan ginjal yang biasa diketahui dari pemeriksaan
mikroskopik pada biopsy. Gejalanya akan hilang seluruhnya jika
penyebabnya adalah penyakit yang dapat di obati dengan obat-obatan.
Prognosis biasanya baik jika penyebabnya memberikan respon yang
baik dari kortikosteroid. Anak yang lahir dengan sindrom ini jarang
bertahan hidup sampai 1 tahun, beberapa diantaranya bisa bertahan
setelah menjalani dialisa atau pencangkokan ginjal.
Prognosis yang paling baik ditemukan pada sindrom nefrotik
akibat glomerulonefritis yang ringan 90% penderita anak memberikan
respon yang baik terhadap pengobatan. Jarang yang berkembang
menjadi gagal ginjal, meskipun cenderung bersifat sering kambuh.
Tetapi setelah 1 tahun bebas gejala, jarang terjadi kekambuhan.
Sebagian besar anak dengan nefrosis yang berespon terhadap
steroid akan mengalami kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya
menyembuh sendiri secara spontan menjelang usia akhir decade kedua.
Yang penting adalah menunjukkan pada keluarganya bahwa anak
tersebut tidak akan menderita sisa disfungsi ginjal, bahwa biasanya
penyakit tersebut tidak herediter, dan anak akan tetap fertile bila tidak
ada terapi siklosflosfamid atau klorambisil. Untuk memperkecil efek
psikologis nefrosis, ditekankan bahwa selama masa remisi anak
tersebut normal tidak perlu pembatasan diet dan aktivitas. Pada yang
sedang berada pada masa remisi pemeriksaan urin protein biasanya
tidak diperlukan (Behrman, Kliegman, Arvin, 2000).
Prognosis makin baik jika dapat didiagnosis segera.
Pengobatan segera dapat mengurangi kerusakan glomerolus lebih
lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal maupun proses autoimun.
Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang baik
terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Pada umumnya

28
sebagian besar (+ 80%) pasien sindrom nefrotik memberi respons yang
baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di
antaranya akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons
lagi dengan pengobatan steroid.
Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah
pengobatan bertahun-tahun dengan kortikosteroid. Terapi antibakteri
dapat mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak berdaya
terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai
berikut :
1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau
di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
6. Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari
timbulnya gambaran klinis penyakit (Donna, L.Wong, 2004).
Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi,
tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal. Penyembuhan klinis
kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun dengan
kortikosteroid (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2002).
2.1.13 Komplikasi
Menurut Betz, Cecily (2002) dan Rauf (2002), komplikasi
yang terjadi pada sindrom nefrotik, antara lain :
1. Penurunan volume intravascular (syok hipovolemik)
2. Kemampuan koagulasi yang berlebihan (trombosis vena)
3. Perburukan pernafasan (berhubungan dengan retensi cairan )
4. Kerusakan kulit
5. Infeksi sekunder karena kadar immunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia
6. Peritonitis

29
Komplikasi sindrom nefrotik mencakup infeksi akibat
defisiensi respon imun, tromboembolisme (terutama vena renal),
embnoli pulmoner, dan peningkatan terjadinya aterosklerosis.
Komplikasi dari sindrom nefrotik dapat terjadi sabagai bagian
dari penyakit sendiri atau sebagai akibat pengobatan. Kelainan
koagulasi dan timbulnya trombosis. Beberapa kelainan koagulasi dan
system fibrinolitik banyak ditemukan pada pasien sindrom nefrotik.
Berakibat adanya keadaan hiperkoagulasi dengan meningkatnya
masalah tromboemboli.
Perubahan hormone dan mineral, gangguan hormone timbul
karena protein pengikat hormone hilang dalam urin. Dilaporkan
adanya kalsium terionisasi yang menurun 50 % sampai 80 % pada
pasien sindrom nefrotik yang menunjukkan bahwa hipokalsemia
memang mungkin terjadi (Smeltzer, SC, Bare BG, 2001).

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah langkah pertama dari proses keperawatan
dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari klien sehingga akan
diketahui berbagai permasalahan yang ada (Hidayat, 2007).
1. Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, tanggal
dan jam masuk rumah sakit, nomor registrasi, diagnose, nama
orang tua, alamat, umur pendidikan, pekerjaan, pekerjaan orang
tua,agama dan suku bangsa.
Umumnya 90 % dijumpai pada kasus anak. Enam (6) kasus
pertahun setiap 100.000 anak terjadi pada usia kurang dari 14
tahun. Rasio laki-laki dan perempuan yaitu 2 : 1. Pada daerah
endemik malaria banyak mengalami komplikasi sindrom nefrotik.

30
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Badan bengkak, muka sembab dan nafsu makan
menurun.
b. Riwayat penyakit dahulu
Edema masa neonatus, malaria, riwayat GNA dan
GNK, terpapar bahan kimia.
c. Riwayat penyakit sekarang
Badan bengkak, muka sembab, muntah, nafsu makan
menurun, konstipasi, diare, urine menurun.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Karena kelainan gen autosom resesif. Kelainan ini tidak
dapat ditangani dengan terapi biasa dan bayi biasanya mati
pada tahun pertama atau dua tahun setelah kelahiran.
e. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Tidak ada hubungan.
f. Riwayat kesehatan lingkungan
Endemik malaria sering terjadi kasus NS.
g. Imunisasi
Tidak ada hubungan.
3. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Menurut Donna L. Wong (2004), riwayat pertumbuhan dan
perkembangan meliputi :
a. Fungsi motorik
1) Melanjutkan pertumbuhan 5 cm dalam 1 tahun.
2) Berat badan 19,6 sampai 39,6 kg, tinggi badan 117-141,8
cm.
3) Gigi insisi lateral (maksilar) dan kaninus mandibular
muncul.
4) Aliran gerak : sering, lemah lembut dan tenang.
5) Selalu terburu-buru : melompat, lari, meloncat.

31
6) Peningkatan kehalusan dan kecepatan dalam kontrol
motorik halus : menggunakan tulisan sambung.
7) Berpakaian lengkap sendiri.
8) Suka melakukan sesuatu secara berlebihan : sukar diam
setelah setelah istirahat.
9) Lebih lentur : tulang tumbuh lebih cepat daripada ligament.
b. Mental
1) Memberi kemiripan dan perbedaan antara 2 hal dari
memori.
2) Menghitung mundur dari 20 sampai 1 : memahami konsep
kebalikan.
3) Mengulang hari dalam seminggu dan bulan berurutan :
mengetahui tanggal.
4) Menggambarkan objek umum dengan mendetil, tidak
semata-mata penggunaannya.
5) Membuat perubahan lebih dari seperempatnya.
6) Masuk kelas 3 dan 4.
7) Lebih banyak membaca : berencana untuk mudah
terbangun hanya untuk membaca.
8) Membaca buku klasik, tetapi juga menyukai komik.
9) Lebih menyadari waktu : dapat dipercaya untuk pergi ke
sekolah tepat waktu.
10) Dapat menangkap konsep bagian dan keseluruhan (fraksi).
11) Memahami konsep ruang, penyebab dan efek,
menggabungkan puzzle.
12) Mengklasifikasikan objek lebih dari satu kualitas :
mempunyai koleksi.
13) Menghasilkan gambar atau lukisan sederhana.
c. Personal-Sosial
1) Lebih senang berada di rumah.
2) Menyukai sisitem penghargaan.
3) Mendramatisasi.

32
4) Lebih dapat bersosialisasi.
5) Lebih sopan.
6) Tertarik pada hubungan laki-laki-perempuan, tetapi tidak
terikat.
7) Menyukai kompetisi dalam permainan,
8) Menunjukkan kesukaan dalam berteman dan berkelompok.
9) Bermain paling banyak dalam kelompok dengan jenis
kelamin yang sama, tetapi mulai bercampur.
10) Mengembangkan kerendahan hati.
11) Membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
12) Menikmati kelompok olahraga.
4. Pengkajian Kebutuhan Dasar
a. Kebutuhan Oksigenasi
Dispnea terjadi karena telah terjadi adanya efusi pleura.
Tekanan darah normal atau sedikit menurun. Nadi 70-110
x/mnt.
b. Kebutuhan Nutrisi dan Cairan
Nafsu makan menurun, berat badan meningkat akibat
adanya edema, nyeri daerah perut, malnutrisi berat.
c. Kebutuhan Eliminasi
Urine/24 jam 600-700 ml, hematuria, proteinuria,
oliguri. Perubahan urin seperti penurunan volume dan urin
berbuih.
d. Kebutuhan Aktivitas dan Latihan
Mudah letih dalam beraktivitas. Edema pada area
ektrimitas (sakrum, tumit, dan tangan). Pembengkakan
pergelangan kaki / tungkai.
e. Kebutuhan Istirahat dan Tidur
Kesulitan tidur karena mungkin terdapat nyeri, cemas
akan hospitalisasi.

33
f. Kebutuhan Persepsi dan Sensori
Perkembangan kognitif anak usia pra sekolah sampai
pada tahap pemikiran prakonseptual ditandai dengan anak-anak
menilai orang, benda, dan kejadian di luar penampilan luar
mereka.
g. Kebutuhan Kenyamanan
Sakit kepala, pusing, malaise, nyeri pada area abdomen,
adanya asites.
h. Kebutuhan Personal Hygiene
Kebutuhan untuk perawatan diri pada anak usia pra
sekolah selama di rumah sakit mungkin dibantu oleh keluarga.
Kaji perubahan aktifitas perawatan diri sebelum dan selama
dirawat di rumah sakit.
i. Kebutuhan Informasi
Pengetahuan keluarga tentang diet pada anak dengan
sindrom nefrotik, pertumbuhan dan perkembangan anak, serta
proses penyakit dan penatalakasanaan.
j. Kebutuhan Komunikasi
Anak usia pra sekolah dapat mengungkapkan apa yang
dirasakan. Kosa kata sudah mulai meluas, kalimat kompleks
sederhana tapi dipahami. Untuk usia 3 tahun, komunikasi lebih
sering berbentuk simbolis.
k. Kebutuhan Seksualitas
Anak usia pra sekolah mulai membedakan perilaku
sesuai jender. Anak mulai menirukan tindakan orangtua yang
berjenis kelamin sama. Eksplorasi tubuh mencakup mengelus
diri sendiri, manipulasi genital, memeluk boneka.
l. Kebutuhan Konsep Diri
Konsep diri pada anak usia pra sekolah sudah mulai
terbentuk dengan anak mengetahui tentang identitas dirinya.

34
m. Kebutuhan Rekreasi
Anak yang mengalami hospitalisasi dalam waktu lama
akan mengalami kejenuhan. Kebiasaan yang sering dilakukan
mungkin berubah pada saat anak hospitalisasi.
n. Kebutuhan Spiritual
Kebutuhan spiritual pada anak mengikuti orangtua.
5. Pengkajian Persistem
a. Sistem pernapasan
Frekuensi pernapasan 15-32 x/menit, rata-rata 18
x/menit, efusi pleura karena distensi abdomen
b. Sistem kardiovaskuler
Nadi 70-110 x/mnt, tekanan darah 95/65-100/60
mmHg, hipertensi ringan bisa dijumpai.
c. Sistem persarafan
Dalam batas normal.
d. Sistem perkemihan
Urine/24 jam 600-700 ml, hematuri, proteinuria, oliguri.
e. Sistem pencernaan
Diare, nafsu makan menurun, anoreksia, hepatomegali, nyeri
daerah perut, malnutrisi berat, hernia umbilikalis, prolaps ani.
f. Sistem musculoskeletal
Dalam batas normal.
g. Sistem integument
Edema periorbital, ascites.
h. Sistem endokrin
Dalam batas normal
i. Sistem reproduksi
Dalam batas normal.
j. Persepsi orang tua
Kecemasan orang tua terhadap kondisi anaknya.

35
6. Pemeriksaan Penunjang
Selain proteinuria masif, sedimen urin biasanya normal.
Bila terjadi hematuria mikroskopik lebih dari 20 eritrosit/LPB
dicurigai adanya lesi glomerular (misal sklerosis glomerulus fokal).
Albumin plasma rendah dan lipid meningkat. IgM dapat
meningkat, sedangkan IgG menurun. Komplemen serum normal
dan tidak ada krioglobulin.
Anamnesis penggunaan obat, kemungkinan berbagai
infeksi, dan riwayat penyakit sistemik klien perlu diperhatikan.
Pemeriksaan serologit dan biopsi ginjal sering diperlukan untuk
menegakkan diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab
GN sekunder. Pemeriksaan serologit sering tidak banyak
memberikan informasi dan biayanya mahal. Karena itu sebaiknya
pemeriksaan serologit hanya dilakukan berdasarkan indikasi yang
kuat.
7. Analisa Data
No Symptom Etiologi Problem
1 DS : Sindrom nefrotik Kelebihan
Ibu mengatakan volume
badan anaknya Hipoalbumin cairan
bengkak.
DO : Tekanan onkotik
Tampak edema turun dan
periorbita, area tekanan
ekstrimitas dan hidrostatik naik
abdomen.
Perpindahan
cairan dari
vaskuler ke
interstitial

Edema

36
2 DS : Sindrom nefrotik Nutrisi
Pasien mengeluh kurang dari
mual, muntah, tidak Retensi cairan kebutuhan
nafsu makan. rongga perut
DO :
A (antropometri) : asites
BB →15kg
Ditentukan dengan menekan perut
penghitungan Rumus
status gizi anak: mual dan muntah
BB anak__ x 100%
BB normal nafsu makan
BB normal = (umur x menurun
2) + 8.
B (hasil lab)
-Hb=12,3 gr/dl
-albumin=3,5g/dl
-Hematokrit=36%
C : tidak nafsu
makan, bibir kering,
kondisi pasien lemah.
D : pasien hanya
menghabiskan
setengah porsi
makanan, jenis diet :
diet tinggi protein
dan kalori.
3 DS: Sindrom Nefrotik Kerusakan
1. Ibu mengatakan integritas
kulit anaknya Hipovolemi kulit
meregang.
2. Ibu mengatakan

37
anaknya sering Peningkatan
terbaring. reaksi ADH
DO : Aldosteron
1. Kulit lecet
2. Kulit tampak Retensi dan Na
mengkilat dan
meregang Edema
3. Anak tampak
terbaring Kulit lecet,
turgor jelek

DS : Edema Gangguan
Pasien malu terhadap citra tubuh
tubuhnya Perubahan
DO : bentuk tubuh
pasien edema
periorbita Gangguan citra
tubuh

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema,
hipoalbumin.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kehilangan nafsu makan.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema, penurunan
pertahanan tubuh
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan
persepsi ketidakmampuan, edema.

38
2.2.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan
NO Intervensi
keperawatan Kriteria Hasil
1 Kelebihan NOC : NIC :
volume cairan Setelah dilakukan Fluid management
tindakan 1. Timbang popok/pembalut jika
keperawatan selama diperlukan.
3x24 jam kelebihan 2. Pertahankan catatan intake dan
cairan klien output yang akurat.
berkurang, dengan 3. Pasang urin kateter jika
kriteria : diperlukan.
1. Terbebas dari 4. Monitor hasil lab yang sesuai
edema, efusi, dengan retensi cairan (BUN, Hmt,
anaskara. osmolalitas urin ).
2. Bunyi nafas 5. Monitor status hemodinamik
bersih, tidak termasuk CVP, MAP, PAP, dan
ada PCWP.
dyspneu/ortopn 6. Monitor vital sign.
eu. 7. Monitor indikasi retensi /
3. Terbebas dari kelebihan cairan (cracles, CVP,
distensi vena edema, distensi vena leher, asites).
jugularis, reflek 8. Kaji lokasi dan luas edema.
hepatojugular 9. Monitor masukan makanan /
(+). cairan dan hitung intake kalori
4. Memelihara harian.
tekanan vena 10. Monitor status nutrisi.
sentral, tekanan 11. Kolaborasi pemberian diuretik
kapiler paru, sesuai interuksi.
output jantung 12. Batasi masukan cairan pada
dan vital sign keadaan hiponatrermi dilusi
dalam batas dengan serum Na < 130 mEq/l.
normal. 13. Kolaborasi dokter jika tanda
5. Terbebas dari cairan berlebih muncul
kelelahan, memburuk.
kecemasan atau Fluid Monitoring
kebingungan. 1. Tentukan riwayat jumlah dan tipe
6. Menjelaskan intake cairan dan eliminasi.
indikator 2. Tentukan kemungkinan faktor
kelebihan resiko dari ketidak seimbangan
cairan. cairan (Hipertermia, terapi
diuretik, kelainan renal, gagal
jantung, diaporesis, disfungsi hati,
dll).
3. Monitor berat badan.
4. Monitor serum dan elektrolit
urine.
5. Monitor serum dan osmilalitas
urine.

39
6. Monitor BP, HR, dan RR.
7. Monitor tekanan darah orthostatik
dan perubahan irama jantung.
8. Monitor parameter hemodinamik
infasif.
9. Catat secara akurat intake dan
output.
10. Monitor adanya distensi leher,
rinchi, eodem perifer dan
penambahan BB.
11. Monitor tanda dan gejala dari
odema.

Elektrolite Management
1. Monitor intake output.
2. Monitor fungsi renal.
3. Monitor nilai Ca, Mg, Cl.
4. Kolaborasi medikasi sesuai
program.
5. Monitor gejala mual, muntah,
hematuria sebagai akibat
gangguan ginjal.
2 Ketidakseimb NOC : Nutrition Management
angan nutrisi Setelah dilakukan 1. Kaji adanya alergi makanan.
kurang dari tindakan 2. Anjurkan pasien untuk
kebutuhan keperawatan selama meningkatkan intake Fe.
tubuh 3 x 24 jam 3. Anjurkan pasien untuk
diharapkan nutrisi meningkatkan protein dan vitamin
pada klien C.
seimbang dnegan 4. Berikan substansi gula.
kriteria hasil : 5. Yakinkan diet yang dimakan
1. Adanya mengandung tinggi serat untuk
peningkatan mencegah konstipasi.
berat badan 6. Berikan makanan yang terpilih
sesuai dengan (sudah dikonsultasikan dengan
tujuan. ahli gizi).
2. Berat badan 7. Ajarkan pasien bagaimana
ideal sesuai membuat catatan makanan harian.
dengan tinggi 8. Monitor jumlah nutrisi dan
badan. kandungan kalori.
3. Mampu 9. Berikan informasi tentang
mengidentifikas kebutuhan nutrisi.
i kebutuhan 10. Kaji kemampuan pasien untuk
nutrisi. mendapatkan nutrisi yang
4. Tidak ada tanda dibutuhkan.
tanda 11. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
malnutrisi. menentukan jumlah kalori dan
5. Tidak terjadi nutrisi yang dibutuhkan pasien.

40
penurunan berat Nutrition Monitoring
badan yang 1. BB pasien dalam batas normal.
berarti. 2. Monitor adanya penurunan berat
badan.
3. Monitor tipe dan jumlah aktivitas
yang biasa dilakukan.
4. Monitor interaksi anak atau
orangtua selama makan.
5. Monitor lingkungan selama
makan.
6. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak selama jam makan.
7. Monitor kulit kering dan
perubahan pigmentasi.
8. Monitor turgor kulit.
9. Monitor kekeringan, rambut
kusam, dan mudah patah.
10. Monitor mual dan muntah.
11. Monitor kadar albumin, total
protein, Hb, dan kadar Ht.
12. Monitor makanan kesukaan.
13. Monitor pertumbuhan dan
perkembangan.
14. Monitor pucat, kemerahan, dan
kekeringan jaringan konjungtiva.
15. Monitor kalori dan intake nuntrisi.
16. Catat adanya edema, hiperemik,
hipertonik papila lidah dan cavitas
oral.
17. Catat jika lidah berwarna
magenta, scarlet.
3 Kerusakan NOC : NIC :
integritas Setelah dilakukan Pressure Management
kulit tindakan 1. Anjurkan pasien untuk
keperawatan selama menggunakan pakaian yang
3x24 jam longgar.
diharapkan 2. Hindari kerutan pada tempat tidur.
kerusakan integritas 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap
kulit teratasi bersih dan kering.
dengan kriteria 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi
hasil : pasien) setiap dua jam sekali.
1. Integritas kulit 5. Monitor kulit akan adanya
yang baik bisa kemerahan.
dipertahankan 6. Oleskan lotion atau minyak/baby
(sensasi, oil pada derah yang tertekan.
elastisitas, 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi
temperatur, pasien.
hidrasi, 8. Monitor status nutrisi pasien.

41
pigmentasi). 9. Memandikan pasien dengan sabun
2. Tidak ada dan air hangat.
luka/lesi pada
kulit.
3. Perfusi jaringan
baik.
4. Menunjukkan
pemahaman
dalam proses
perbaikan kulit
dan mencegah
terjadinya
sedera berulang.
5. Mampu
melindungi
kulit dan
mempertahanka
n kelembaban
kulit dan
perawatan
alami.
4 Gangguan NOC : NIC :
citra tubuh Setelah dilakukan Body Image enhancement
berhubungan tindakan 1. Deteksi adanya perubahan body
dengan keperawatan selama image.
perubahan 2x24 jam, 2. Gunakan prosedur antisipasi untuk
penampilan diharapkan klien mencegah perubahan body image.
persepsi tidak mengalami 3. Bantu klien untuk men-diskusikan
ketidak gangguan citra perubahan yang terjadi karena
mampuan tubuh, dengan penyakitnya.
kriteria hasil : 4. Bantu klien untuk mendis-
1. Gambaran diri kripsikan perubahan bentuk dan
baik. fungsi tubuh sesuai umur.
2. Keseimbangan 5. Latih anak / klien utuk
antara keadaan menggunakan fungsi tubuh sesuai
tubuh dan kondisi.
idealisme, serta 6. Identifikasi koping strategi dari
perilaku. orang tua dalam merespon
3. Bisa menerima perubahan kondisi anak.
perubahan
fungsi tubuh.
4. Menerima
perubahan
status
kesehatan.
5. Mau
menggunakan
alternative /

42
fasilitas lain
untuk
mendukung
fungsi.
2.2.4 Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan merupakan tindakan yang sudah di rencanakan
dalam rencana keperawatan. Tindakan keperawatan mencakup
tindakaan mandiri (independen) dan tindakan kolaborasi. Agar lebih
jelas dan akurat dalam melakukan implementasi diperlukan
perencanaan keperawatan yang spesifik dan operasional (Tarwoto dan
Wartonah, 2006).
Pelaksanaan merupakan langkah ke empat dalam tahap proses
keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah di rencanakan dalam
rancana tindakan keperawatan. Dalam tahap ini perawat harus
mengetahui berbagai hal di antaranya bahaya-bahaya fisik dan
perlindungan bagi klien, tehnik komunikasi, kemapuan dalam prosedur
tindakan, pemahaman dari hak-hak dari klien serta dalam memahami
tingkat perkembangan klien (A Aziz Alimul Hidayat, 2007).
2.2.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap dimana proses penilaian dicapai
meliputi pencapaian tujuan dan kriteria hasil. Pelaksanaan evaluasi
didokumentasikan dalam bentuk catatan perkembangan dengan
menggunakan metode SOAP (Subjektif, Objektif, Assesment,
Planning).
Evaluasi adalah tahap yang ke 5 dan terakhir dalam proses
keperawatan dengan cara melakukan indentifikasi sejauh mana tujuan
dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam melakukan
evaluasi perawat seharusnya memiliki pengetahuan yang dicapai serta
kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria
hasil. Evaluasi merupakan aspek yang penting dari proses keperawatan
karena kesimpulan yang di dapatkan dari evaluasi menentukan apakah
intervensi keperawatan dihentikan/dilanjutkan atau diubah
(dimodifikasi) (Hidayat, 2007).

43
BAB 3
PENUTUP

3.1 Simpulan
Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh
injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria,
hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan
Rita Yuliani, 2001).
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari
proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang
dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak disertai dengan edema dan
hiperkolesterolemia (Rauf, 2002).
Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada
dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa
terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini
dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen-antibodi.
Menurut Ngastiyah (2005), umumnya etiologi dibagi menjadi tiga, yaitu :
sindrom nefrotik bawaan, sindrom nefrotik sekunder dan sindrom nefrotik
idiopatik atau sindrom nefrotik primer.
Tanda dan gejala yang muncul pada sindrom nefrotik diantaranya :
proteinuria, hipoalbuminemia, edema generalisata, anorexia, fatique, nyeri
abdomen, berat badan meningkat, hiperlipidemia, dan hiperkoagualabilitas.
3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan perawat mampu melakukan
asuhan keperawatan secara komperehensif kepada pasien dengan sindrom
nefrotik. Mengerti dan memahami gejala dari sindrom nefrotik sangat penting
untuk menegakkan diagnosis sedini mungkin. Diagnosis dan pengobatan dini
mencegah terjadinya komplikasi yang bersifat fatal. Mengetahui penyebab
sindrom nefrotik sangat penting untuk menentukan jenis pengobatan yang
diberikan.

44
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, R.E. MD, dkk. (2000). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Volume 3 Edisi 15.
Jakarta: EGC
Betz, Cecily Lynn. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta:
EGC
Harnawatiaj. (2008). Format Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC
Mansjoer Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2. Jakarta: Media
Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta: EGC.
Hidayat, A.A. (2007). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Ed 2. Jakarta:
Salemba Medika
Judith M. Wilkinson. (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Intervensi NIC
dan Kriteria Hasil NOC; Edisi 7. Jakarta: EGC
Rauf, Syarifuddin. (2002). Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak. Makassar: FK UH
Suharyanto, Toto. (2009). Asuhan Keperwatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Suriadi, Rita Yuliani. (2001). Asuhan Keperawatan Anak, Edisi 1. Jakarta: Fajar
Interpratama
Suriadi. (2006). Asuhan Keperawatan Anak Edisi 2. Jakarta: CV Sagung
Aesculapius
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth,
edisi 8, Volume 2. Jakarta: EGC
Tarwoto dan Wartonah. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
Keperawatan, Edisi:3. Jakarta: Salemba Medika.
Wong, Donna L. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, Edisi 4. Jakarta:
EGC

45

Anda mungkin juga menyukai