Anda di halaman 1dari 20

HIPERBILIRUBIN

Dosen Pengampu: Ns. Rokhaidah, S. Kep, M. Kep. Sp. Kep. An

Disusun Oleh:

Amastia Ikayuwandari 1610711060


Assyfa Siti Rohmah 1610711061
Adinda Zein Nur 1610711062
Ardhita Qory Anjani 1610711063
Amelia Diah Wardani 1610711065
Diah Ayu Kusumaningrum 1610711067
Farah Nabilah 1610711068
Cintya Veronica 1610711069

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN “VETERAN” JAKARTA

2018
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya kepada penyusun sehingga akhirnya penyusun dapat menyelesaikan makalah
ini tepat pada waktunya.

Makalah yang berjudul Hiperbilirubin ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Keperawatan Anak I.

Pada kesempatan yang baik ini, izinkanlah penyusun menyampaikan rasa hormat dan
ucapan terima kasih kepada semua pihak yang dengan tulus ikhlas telah memberikan bantuan
dan dorongan kepada penyusun dalam menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.

Depok, 22 Februari 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan Penulisan 1

BAB II TINJAUAN TEORITIS 3


Prevalensi 3
Pengertian 3
Faktor Resiko 3
Manifestasi Klinis 4
Etiologi 4
Patofisologi 5
Pemeriksaan Penunjang 9
Penatalaksanaan Medis 10
Asuhan Keperawatan 10

BAB III PENUTUP 16


Simpulan 16
Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 17
LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hiperbilirubin terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah.
Pada sebagian neonatus, hiperbilirubin akan ditemukan dalam minggu pertama
kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian hiperbilirubin terdapat pada
60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Hiperbilirubin
merupakan salah satu penyakit yang berkaitan dengan sistem imun. Hiperbilirubin
ini pada sebagian lagi mungkin bersifat patologik yang dapat menimbulkan
gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi
dengan hiperbilirubin harus mendapat perhatian terutama apabila hiperbilirubin
ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau kadar bilirubin meningkat
lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam.

Proses hemolisis darah, infeksi berat, hiperbilirubin yang berlangsung


lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl juga merupakan
keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya hiperbilirubin patologik. Dalam
keadaan tersebut, penatalaksanaan hiperbilirubin harus dilakukan sebaik-baiknya
agar akibat buruk dari hiperbilirubin dapat dihindari.

B. Rumusan Masalah
1. Berapa prevalensi anak yang mengidap hiperbilirubin?
2. Apakah yang dimaksud dari hiperbilirubin?
3. Apa saja yang menjadi faktor resiko dari hiperbilirubin?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari hiperbilirubin?
5. Apakah etiologi dari hiperbilirubin?
6. Bagaimana patofisiologi dari hiperbilirubin?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang dari hiperbilirubin?
8. Bagaimana penatalaksaan medis dari penyakit hiperbilirubin?
9. Bagaimana asuhan keperawatan dari hiperbillirubin?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui prevalensi dari pengidap hiperbilirubin
2. Mengetahui pengertian dari hiperbilirubin
3. Mengetahui faktor resiko dari hiperbilirubin
4. Mengetahui manifestasi klinis dari hiperbilirubin
5. Mengetahui etiologi hiperbilirubin
6. Mengetahui patofisiologi dari hiperbilirubin
7. Mengetahui pemeriksaan penunjang hiperbilirubin
8. Mengetahui penatalaksanaan medis dari hiperbilirubin
9. Mengetahui asuhan keperawatan dari pengyakit hiperbilirubin
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Prevalensi
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah
sakit pendidikan, diantaranya RSCM dengan prevalensi ikterus pada bayi baru
lahir tahun 2003 sebesar 58% untuk kadar bilirubin ≥5mg/dL dan 29,3% untuk
kadar bilirubin ≥12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. Namun di RS Dr.
Sardjito melaporkan terdapat sebanyak 85% bayi sehat cukup bulan mempunyai
kadar bilirubin ≥5 mg/dL dan 23,8% kadar bilirubin ≥13 mg/dL, kemudian di RS
Dr. Kariadi Semarang dengan prevalensi ikterus neonatorum sebesar 13,7%
(Sastroasmoro, 2004).

Menurut data yang diperoleh dari Word Healt Organization (WHO), angka
kematian neonatal mengalami penurunan dari 5,1 juta pada tahun 1990 menjadi
2,7 juta pada tahun 2015, kematian neonatal diproyeksikan akan meningkat dari
45% kematian pada tahun 2015 menjadi 52% pada tahun 2030, pada tahun 2030
target angka kematian neonatal adalah 12 kematian per 1.000 kelahiran hidup,
Kejadian Ikterus neonatrum di Amerika Serikat adalah 65 % dari 4 juta neonatus
yang lahir setiap tahunnya, terjadi dalam minggu pertama kehidupannya (WHO,
2015).

B. Pengertian
Hiperbilirubin adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin
dalam darah >5mg/dL, yang secara klinis ditandai oleh adanya ikterus, dengan
faktor penyebab fisiologik dan non-fisiologik.

Hiperbilirubin adalah warna kuning yang dapat terlihat pada sklera,


selaput lender, kulit, atau organ lain akibat penumpukan bilirubin. Peningkatan
kadar bilirubin terjadi pada hari ke-2 dan ke-3 dan mencapai puncaknya pada hari
ke-5 sampai hari ke-7, kemudian menurun kembali pada hari ke-10 sampai hari
ke-14 (Dewi, 2014).

Derajat Ikterus Menurut KRAMER ( 1969 )

1. Derajat I : Daerah kepala sampai leher. Perkiraan kadar bilirubin 5,4 mg%
(Aterm).
2. Derajat II : Kepala dan badan sampai umbilicus. Perkiraan kadar bilirubin 8,9
mg% (Aterm) dan 9,4 mg% (Prematur).
3. Derajat III : Kepala, badan, paha sampai dengan lutut. Perkiraan kadar
bilirubin 11,8 mg% (Aterm) dan 11,4 mg% (Prematur).
4. Derajat IV : Kepala, badan, ekstremitas sampai pergelangan tangan dan kaki.
Perkiraan kadar bilirubin 15,8 mg% (Aterm) dan 13,3 mg& (Prematur).
5. Derajat V : Kepala, badan, semua ekstremitas sampai ujung jari.

C. Faktor Resiko
1. Jenis kelamin laki-laki
2. BBLR
3. Ibu dengan DM
Pada bayi baru lahir, kejadian hiperbilirubinemiadisebabkan oleh banyak
hal, proses konjungasi yangtidak efektif karena sistem enzim
glucuronosyltransferasebelum sempurna menyebabkan terjadi
peningkatankonsentrasi serum birirubin yang belum terkonjunggasi.Pada bayi
yang lahir dari IDM, keadaantersebut dapat semakin diperberat dengan
kondisipolisitemia, makrosomia, dan sepsis.
4. Masa getasi: Bayi preterm
Usia kehamilan preterm mempunyai peluang0.235 kali untuk terjadi
hiperbilirubindibandingkan dengan usia kehamilanaterm atau post term.
5. Bayi prematur < 37 minggu
Bayi dengan persalinan prematur hiperbilirubin terjadi karena belum
maturnya fungsi hepar
6. Infeksi : meningitis. ISK, toksoplasmosis, sifilis, rubela dsb
7. Ibu yang memiliki golongan darah berbeda dengan bayinya.

D. Manifestasi Klinis
1. Kulit, muka, dan sklera tampak kekuningan terkadang menyebar ke arah
dada, perut dan ekstremitas
2. Jika disebabkan karena belum matangnya metabolisme bilirubin warna akan
timbul pada hari ke 2 atau ke 3.
3. Bayi cukup bulan kadar bilirubin >12 mg/dL , BBLR >10 mg/dL.
4. Ikterus yang timbul dala 24 jam pertama khidupan. Serum bilirubin total lebih
dari 12mg/dL.
5. Peningkatan kadar bilirubin 5mg% atau lebih dari 24 jam
6. Warna kuning menetap sampai 10 hari

E. Etiologi
1. Fungsi hepatik imatur (ikterik fisiologis)
2. Masukan susu yang buruk berhubungan dengan sedikitnya ASI yang
dikonsumsi oleh bayi
3. Penyakit hemolitik : ketidakcocokan antigen darah menyebabkan hemolisis
sejumlah besar SDM. Hati tidak mampu mengkonjugasi dan mengeksresikan
kelebihan bilirubin dari hemolisis.
4. Produksi bilirubin yang berlebih.

F. Patofisiologi

Bilirubin merupakan salah satu hasil pemecahan hemoglobin yang


disebabkan oleh kerusakan sel darah merah (SDM). Ketika SDM dihancurkan,
hasil pemecahannya terlepas ke sirkulasi, tempat hemoglobin terpecah menjadi
dua fraksi : heme dan globin. Bagian globin (protein) digunakan lagi oleh tubuh,
dan bagian heme diubah menjadi bilirubin tidak terkonjugasi, suatu zat tidak
larut yang terikat pada albumin.

Dihati bilirubin dilepas dari molekul albumin dan dengan adanya enzim
glukuronil transferase, dikonjugasikan dengan asam glukoronat menghasilkan
larutan dengan kelarutan tinggi, bilirubin glukuronat terkonjugasi, yang
kemudian dieksresi dalam empedu. Di usus, kerja bakteri mereduksi bilirubin
terkonjugasi menjadi urobilinogen, pigmen yang memberi warna khas pada tinja.
Sebagian kecil di eliminasi ke urine.

Normalnya tubuh mampu mempertahankan keseimbangan antara


destruksi SDM dan penggunaan atau ekspresi produk sisa. Tetapi, bila
keterbatasan perkembangan atau proses patologis memengaruhi keseimbangan ini,
bilirubin akan terakumulasi dalam jaringan dan mengakibatkan jaundis.
Kemungkinan penyebab hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir adalah

1. Faktor fisiologis (perkembangan-prematuritas)


2. Berhubungan dengan pemberian ASI
3. Produksi bilirubin berlebihan (mis. penyakit hemolitik,
defekbiokimia,memar)
4. Gangguan kapasitas hati untuk menyekresi bilirubin terkonjugasi (mis.
defisiensi enzim, obstruksi duktus empedu)
5. Kombinasi kelebihanproduksi dan kurang sekresi (mis. sepsis)
6. Beberapa keadaan penyakit (mis. hipotiroidisme, galaktosemia, bayi dari ibu
diabetes)
7. Predisposisi genetik terhadap peningkatan produksi (penduduk Amerika
Asli, Asia)

Penyebab umum hiperbilirubinemia adalah jaundis fisiologis atau


ikterus neonatorum ringan dan dapat sembuh sendiri , jaundis fisiologis tidak
terkait dengan proses patologis apapun. Meskipun hampir semua bayi baru lahir
mengalami peninggian kadar bilirubin, hanya setengahnya yang memperhatikan
tanda jaundis yang tampak.

Terdapat dua fase jaundis fisiologis yang teridentifikasi pada bayi term.
Pada fase pertama, kadar bilirubin bertahap naik sampai sekitar 6 mg/dl pada hari
ketiga kehidupan, Kemudian menurun sampai plato 2 sampai 3 mg/dl pada hari
kelima. Kadar bilirubin tetap dalam keadaan plato pada fase kedua tanpa
peningkatan atau penurunan sampai sekitar 12-14 hari, yang kadarnya akan
menurun ke harga normal <1 mg/dl (Maisels 1994, Vope, 1995). Pola ini
bervariasi sesuai kelompok ras, metode pemberian makanan (ASI vs botol), dan
usia gestasi (Maisels, 1994). Pada bayi preterm, kadar bilirubin serum dapat
memuncak sampai setinggi 10-12 mg/dl pada hari 4-5 dan perlahan menurun
selama periode 2-4 minggu (Black-burn,1995,Gartner 1994).

Rata-rata bayi baru lahir memproduksi dua kali lebih banyak bilirubin
dibandingkan orang dewasa karena lebih tingginya kadar eritrosit yang beredar
dan lebih pendeknya lam hidup sel darah merah (SDM)(hanya 70-90 hari,
dibandingkan 120 hari pada anak yang lebih tua dan orang dewasa). Selain itu,
kemampuan hati untuk mengonjugasi bilirubin sangat rendah karena batasnya
produksi glukuronil transferase. Bayi baru lahir juga memiliki kapasitas ikatan-
plasma terhadap bilirubin yang lebih rendah karena rendahnya konsentrasi
albumin dibandingkan anak yang lebih tua. Perubahan normal dalam sirkulasi hati
setelah kelahiran mungkin berkontribusi terhadap tingginya kebutuhan fungsi hati.

Normalnya, bilirubin terkonjugasi direduksi menjadi urobilinogen oleh


flora-usus dan di eksresi dalam feses. Akan tetapi, usus bayi yang steril dan
kurang motil pada awalnya kurang efektif dalam mengeksresi urobilinogen. Pada
usus bayi baru lahir, enzim B-glucuronidase mampu mengonversi bilirubin
terkonjugasi menjadi bentuk tidak terkonjugasi, yang kemudian diserap oleh
mukosa usus dan ditranspor ke hati. Proses ini, yang dikenal sebagai sirkulasi
atau pirau enterohepatik, jelas pada bayi baru lahir dan diperkirakan merupakan
mekanisme primer dalam patologi jaundis (blackburn, 1995). Pemberian makan
(1) Merangsang peristaltik dan menghasilkan pengeluaran mekoneum lebih cepat,
sehingga menurunkan jumlah reabsorpsi bilirubin tidak terkonjugasi , dan (2)
memasukkan bakteri untuk membantu reduksi bilirubin menjadi urobilinogen.
Kolostrum, katartik alamiah, memfasilitasi evakuasi mekoneum.

Pemberian ASI berhubungan dengan peningkatan insidens jaundis. Ada


dua tipe yang telah terindetifikasi. Jaundis terkait pemberian ASI (jaundis
awitan awal) mulai pada usia 2- 4 hari dan terjadi sekitar 10%- 25% bayi baru
lahir yang mendapatkan ASI. Jaundis ini terkait dengan proses pemberian ASI dan
kemungkinan sebagai akibat dari kekurangan asupan kalori dan cairan pada bayi
yang mendapat ASI sebelum produksi ASI mencukupi, karena puasa
berhubungan dengan penurunan klirens bilirubin dalam hati.

Jaundis ASI (jaundis awitan lambat) mulai pada usia 5-7 hari dan
terjadi pada 2%-3% bayiyang mendapat ASI . Puncak peningkatan kadar bilirubin
selama minggu kedua dan secara bertahap menghilang. Meskipun begitu
tingginya kadar bilirubin yang mungkin menetap selama 2- 12 minggu, namun
bayi ini tetap sehat. Jaundis ini mungkin disebabkan oleh faktor dalam ASI
(prenadiol, asam lemak, dan B-glucuronidase) yang menghambat konjugasi atau
menurunkan eksresi bilirubin. Frekuensi defekasi yang jarang pada bayi yang
mendapat ASI memungkinkan semakin lamanya waktu reabsorbsi bilirubin dalam
tinja.

Metabolisme Bilirubin

Meningkatkan kadar bilirubin dapat disebabkan produksi yang


berlebihan. Sebagian besar bilirubin berasal dari destruksi eritrosit yang menua.
Pada neonatus 75% bilirubin berasal dari mekanisme ini. Satu gram hemoglobin
dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek (free bilirubin)dan bentuk inilah yang
dapat masuk ke jaringan otak dan menyebabkan kernicterus. Sumber lain
kemungkinan besar dari sumsum tulang dan hepar, yang terdiri dari dua
komponen , yaitu komponen non-eritrosit dan komponen eritrosit yang terbentuk
dari eritropoiesis yang tidak sempurna .

Pembentukan bilirubin diawali dengan proses oksidasi yang


menghasilkan biliverdin. Setelah mengalami reduksi biliverdin menjadi bilirubin
bebas, yaitu zat yang larut dalam lemak dan sulit larut dalam air. Bilirubin ini
mempunyai sifat lipofilik yang sulit dieksresi dan mudah melewati membran
biologik seperti plasenta dan sawar otak. Di dalam plasma bilirubin bebas tersebut
terikat / bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi
mekanisme ambilan sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hepar
dan masuk ke dalam hepatosit. Di dalam sel bilirubin akan terikat dan bersenyawa
dengan ligandin (protein Y), protein Z dan glutation S-tranferase membawa
bilirubin ke retikulum endosplasma hati. Di dalam sel hepar berkat adanya enzim
glukorinil transferase, terjadi proses konjugasi bilirubin yang menghasilkan
bilirubin direk, yaitu bilirubin yang larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat
dieksresi melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi dieksresi
melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan. Selanjutnya menjadi
urobilinogen dan keluar bersama feses sebagai sterkobilin. Di dalam usus terjadi
proses absorsi enterohepatik , yaitu sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis
menjadi bilirubin indirek dan direabsorbsi kembali oleh mukosa usus.

Peningkatan kadar bilirubin pada hari-hari pertama kehidupan , dapat


terjadi pada sebagian besar neonatus. Hal ini disebabkan karena tingginya kadar
eritrosit neonatus dan umur eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari), dan fungsi
hepar yang belum matang. Hal ini merupakan keadaan yang fisiologis . Pada
liquor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12
minggu, kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada
inkompatibilitas darah Rh, kadar bilirubin amnion dapat dipakai untuk
memperkirakan beratnya hemolisis. Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat
pada obstruksi usus janin. Bagaimana bilirubin sampai ke cairan amnion belum
diketahui dengan jelas. Akan tetapi, kemungkinan besar melalui mukosa saluran
napas dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada janin dan neonatus diduga sama
besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat
terbatas. Demikian pula kesanggupan untuk mengkonjugasi. Dengan demikian,
hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah
melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan dieksresi oleh hepar ibunya.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes Comb pada tali pusat bayi yang baru lahir. Hasil positif tes Comb indirek
menandakan adanya Rh-positif, Anti-A atau Anti-B dalam darah ibu. Hasil
positif dari tes Comb direk menandakan adanya sensitasi (Rh-positif, anti-A,
anti-B) terhadap darah merah dari neonates
2. Golongan darah bayi dan ibu: untuk mengidentifikasi inkompatibilitas ABO
3. Bilirubin total: kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5
mg/dl yang mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tidak
terkonjugasi) tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam atau
tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dl pada
bayi preterm
4. Protein serum total: jika kadar kurang dari 3,0 g/dl menandakan penurunan
kapasitas ikatan, terutama pada bayi preterm
5. Hitung darah lengkap: hemoglobin (Hb) mungkin rendah (kurang dari 14
g/dl) karena hemolisis. Hematokrit (Ht) mungkin meningkat (lebih dari 65%)
pada polisitemia, penurunan (kurang dari 45%) dengan hemolisis dan anemia
berlebihan
6. Glukoksa: kadar dekstrosa mungkin kurang dari 45%, glukosa darah lengkap
kurang dari 30 mg/dl, atau tes glukosa serum kurang dari 40 mg/dl bila bayi
baru lahir hipoglikemia dan mulai menggunakan simpanan lemak dan
melepaskan asam lemak
7. Daya ikat karbondioksida: penurunan kadar menunjukan hemolisis
8. Meter ikterik transkutan: mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan
bilirubin serum
9. Jumlah retikulosit: peningkatan retikulosit menandakan peningkatan produksi
sel darah merah dalam respons terhadap hemolisis yang berkenan dengan
Rhesus
10. Sajian usap (smear) darah perifer dapat menunjukan sel darah merah
abnormal dan imatur eritroblastosis pada penyakit Rh, atau sferositis pada
inkompabilitas ABO
11. Tes Betkle Kleihaur evaluasi sajian usap (smear) darah maternal terhadap
eritrosit janin
12. Ultrasound untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu
13. Radioisotope scan dapat digunakan untuk membantu membedakan hepatitis
dari atresia biliary

H. Penatalaksanaan Medis
1. Fototerapi; dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis dan
berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urine
dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin. Walaupun cahaya biru
memberikan panjang gelombang yang tepat untuk foto aktivasi bilirubin
bebas, cahaya hijau dapat mempengaruhi loto reaksi bilirubin yang terikat
albumin. Cahaya menyebabkan reaksi lolo kimia dalam kulit (foto
isomerisasi) yang mengubah bilirubin tak terkonjugasi ke dalam foto
bilirubin, yang mana diekskresikan dalam hati kemudian ke empedu.
Kemudian produk akhir reaksi adalah reversible dan diekskresikan ke dalam
empedu tanpa perlu konjugasi.
2. Fenobarbital; dapat mengekskresi bilirubin dalam hati dan memperbesar
konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatikglukoronil transferase yang mana
dapat meningkatkan bilirubin konjugasi dan clearance hepatic pada pigmen
dalam empedu, sintesis protein di mana dapat meningkatkan albumin untuk
mengikat bilirubin. Fenobarbital tidak begitu sering dianjurkan.
3. Antibotik; apabila terkait dengan infeksi
4. Transfusitukar; apabila sudah tidak dapat ditangani dengan fototerapi.

I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata ibu dan bayi
b. Riwayat kesehatan kelurga
c. Riwayat kesehatan dahulu
d. Riwayat kesehatan sekarang
e. Pemeriksaan fisik:
1) Keadaan umum:lesu, latergi, koma
2) Tanda tnda vital
3) Kesadaran apatis sampai koma
4) Pernapasan: riwayat asfiksia, mukus, bercak merah
5) Abdomen: pada saat palpasi menunjukkan pembesaran limpa dan
hepar, turgor buruk, bising usus hipoaktif
6) Genitalia: tidak ada kelainan
7) Eliminasi:
a) BAB: proses eliminasi mungkin lembat, fases lunak coklat atau
kehijauan selama pengeluaran bilirubin
b) BAK: urin berwarna gelap pekat, hitam kecoklatan
f. Pemeriksaan bilirubin menunjukkan adanya peningkatan.
g. Apakah anak sudah mendapat imunisasi hepatitis B

2. Diagnosa
a. Resiko cedera berhubungan dengan kadar bilirubin darah toksik dan
komplikasi berkenaan dengan fototerapi
b. Risiko terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan
kehilangan cairan yang tidak tampak kasat mata serta dehidrasi dan
fototerapi
c. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi bayi dan gangguan
bonding
d. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan krisis
situasi/maturasi, defisiesi pengetahuan (kelahiran bayi pretern dan
/atau sakit), interupsi proses pelekatan paretal
e. Gangguan interaksi orang tua dan bayi karena fototerapi

3. Intervensi
a. Dx 1:Resiko cedera berhubungan dengan kadar bilirubin darah toksik
dan komplikasi berkenaan dengan fototerapi
1) Tujuan: tidak terjadi cedera dengan kriteria hasil kadar bilirubin
indirek kurang dari 12 mg/dl pada bayi cukup bulan
2) Intervensi keperawatan:
a) Perhatikan adanya perkembangan bilirubin dan obstruksi usus
 Rasional: pada konidisi ini kontraindikasi karena foto isomer
bilirubin yang dirpoduksi daam kulit dan jaringan subkutan
dengan penajaman terapi sinar tidak siap dieskresikan.
b) Ukur kuantitas fotoenergi bola lampu fluoresen dengan
menggunakan fotometer
 Rasional: intensitas sinar yang menembus kulit dari spektrum
biru menentukan seberapa dekat bayi ditempatkan
c) Berikan penutup untuk menutup mata, inspeksi mata setiap 24
jam bila penutup mata dilepaskan untuk pemberian makanan,
dan sering pantau potensi penutup mata
Rasional: mencegah kemungkinan kerusakan retina dan
onjungtiva dari sinar intensitas tinggi
d) Ubah posisi dengan sering, sedikitnya setiap 2 jam
 Rasioinal: memungkinkan pemajanan seimbang dari
permukaan kulit terhadap sinar fluoresensi serta mencegah
pemnjaan berlebihan dari bagian tubuh tertentu dan
membatasi area tekanan.

b. Dx 2: Risiko terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan


dengan kehilangan air tidak tampak oleh mata dan dehidrasi dari
fototerapi
1) Tujuan: tidak terjadi kekurangan volume cairan dengan kriteria
hasil berat bdan tetap taua bertambah
2) Intervensi keperawatan:
a) Timbang berat badan bayi detiap hari tanpa pakaian dan timbang
juga sebelum memberi makanan
 Rasional:dengan menimbang berat badan bayi setiap hari
dapat diketahui apakah terjadi kekurangan cairan tubuh atau
tidak
b) Pantau masukan dan pengeluaran cairan
 Rasional:peningkatan kehilangan cairan melalui fases dan
evaporasindapat menyebabkan dehidrasi
c) Kolaborasi pemberian cairan dengan parental sesuai dengan
indikasi
 Rasional:pemberian cairan memperbaiki atau mencegah
dehidrasi berat
d) Kaji status hidrasi (misal: turgor kulit, tekanan darah, edema,
berat badan, membran mukosa, berat jenis urine, elektrolit)
e) Minimalkan penggunaan perekat
 Rasional: mempertahankan keutuhan kulit sebagai pertahanan
f) Atur cairan parenteral dengan ketat
 Rasional:menghindari dehidrasi, kelebihan hidrasi,
ekstravasasi

c. Dx 3: Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi bayi dan


gangguan bonding
1. Tujuan: kecemasan orang tua berkurang
2. Intervensi keperawatan:
a) Orang tua tampak tenang
b) Orang tua kooperatif
c) Sudah mengurangi pertanyaan tentang keadaan penyakit
anaknya
d) Orang tua bisa bertemu dengan anaknya
e) Perhatiaan pada anak
f) Ikut serta dalam perawatan bayi

d. Dx 4: Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan krisis


situasi/maturasi, defisiesi pengetahuan (kelahiran bayi pretern dan
/atau sakit), interupsi proses pelekatan paretal
1. Tujuan 1 : Pasien (keluarga) mendapat informasi tentang
kemajuan bayinya.
2. Intervensi Keperawatan/Rasional :
a) Prioritaskan informasi untuk membantu orang tua memahami
aspek terpenting asuhan, tanda perbaikan, atau deteriorisasi
kondisi bayi
b) Dorong orang tua untuk menanyakan pertanyaan mengenai
status anak
c) Jawab pertanyaan, fasilitasi ekspresi keprihatinan mengenai
asuhan dan prognosis
d) Bersikap jujur, jawab pertanyaan dengan benar untuk
membangun kepercayaan
e) Dorong ibu dan ayah untuk sering mengunjungi dan/atau
menghubungi unit sehingga mereka dapat mengetahui
kemajuan bayi.
f) Tekankan aspek positif status bayi untuk mendorong perasaan
harapan
3. Hasil yang diharapkan
Orang tua mengekspresikan perasaan dan keprihatinan
mengenai bayi dan prognosis serta memperlihatkan pemahaman
dan keterlibatan dalam asuhan.

e. Dx 5: Gangguan interaksi orang tua dan bayi karena fototerapi


1. Tujuan: agar orang tua ikut berpartisipasi terhadap perkembangan
kesehatan bayi
2. Intervensi kepererawatan:
a) Jelaskan perlunya member masukan cairan yang adekuat
 Rasional: mencegah kekurangan cairan tubuh
b) Anjurkan orang tua berpartisipasi dalam perawatan bayi
 Rasional: mempererat hubungan orang tua dan bayi
c) Tinjau ulang perawatan bayi dengan hiperbilirubinemia
 Rasional: mengecek perkembangan kadar bilirubin
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Hiperbilirubin adalah suatu kedaaan dimana kadar bilirubin serum total
yang lebih dari 10 mg % pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus pada
kulit, sklera, dan organ lain. Keadaan ini mempunyai potensi meningkatkan kern
ikterus, yaitu keadaan kerusakan pada otak akibat perlengketan kadar bilirubin
pada otak. Hiperbilirubin ini keadaan fisiologis (terdapat pada 25-50 % neonatus
cukup bulan dan lebih tinggi pada neonates kurang bulan).
Hiperbilirubin ini berkaitan erat dengan riwayat kehamilan ibu dan
prematuritas. Selain itu, asupan ASI pada bayi juga dapat mempengaruhi kadar
bilirubin dalam darah.
Diagnosa keperawatan pada penderita hiperbilirubin, antara lain:
1. Resiko cedera berhubungan dengan kadar bilirubin darah toksik dan
komplikasi berkenaan dengan fototerapi.
2. Risiko terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan
kehilangan cairan yang tidak tampak kasat mata serta dehidrasi dan
fototerapi.
3. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi bayi dan gangguan
bonding.
4. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan krisis
situasi/maturasi, defisiesi pengetahuan (kelahiran bayi pretern dan /atau
sakit), interupsi proses pelekatan paretal.
5. Gangguan interaksi orang tua dan bayi karena fototerapi.

B. Saran
Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan
digunakan dengan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, Yetti. 2014. Jurnal Kesehatan, Volumr V, Nomor 2 Hubungan Antara Persalinan
Prematur Dengan Hiperbilitubin Pada Neonatus.

Biade, Dio R, dkk. 2016. Sari Pediatri Vol 18 No 1 Faktor Resiko Hiperbilirubinemia pada Bayi
Baru Lahir dari Ibu Diabetes Melitus.

Mathindas, Wilar, Wahani. 2013. Biomedik: Hiperbilirubinemia pada Neonatus Vol. 5 No. 1; p
S4-10

Mitayani. 2013. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika


Surasmi dkk. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta: EGC
Suriadi, dkk. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak Ed 2. Jakarta: Sagung Seto
Wong, Donna L dkk. 20009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Vol 1. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai