MAKALAH
Dosen
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena Hidah-
Nyalah Makalah yang membahas ”HIPERBILIRUBINEMIA” ini dapat terselesaikan tepat
pada waktunya.
Dalam penyusunan maka’lah ini kami mengambil referensi atau materi dari
internet dan buku panduan yang terkait dengan materi ini, yang kemudian kami susun dan
rangkum menjadi bentuk yang lebih terperinci.
Jika dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan – kekurangan, kami
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar penyusunan makalah yang
berikutnya dapat lebih baik lagi.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HIPERBILIRUBINEMIA...............................................................................................i
KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................iii
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah...................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................2
BAB II............................................................................................................................3
PEMBAHASAN............................................................................................................3
A. Pengertian Hiperbilirubinemia.........................................................................3
B. Metabolisme Bilirubin......................................................................................3
C. Patofisiologi......................................................................................................4
D. Etiologi.............................................................................................................5
E. Epidemiologi....................................................................................................6
F. Manifestasi Klinis.............................................................................................6
G. Pathaway...........................................................................................................7
H. Pemeriksaan Fisik.............................................................................................8
I. Pemeriksaan Laboratorium..................................................................................8
J. Diagnosa Keperawatan.........................................................................................9
K. Intervensi Keperawatan....................................................................................9
BAB III.........................................................................................................................17
PENUTUP....................................................................................................................17
A. Simpulan.........................................................................................................17
B. Saran...............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kadar bilirubin serum orang normal umumnya kurang lebih 0,8 mg % (17mmol/l),
akan tetapi kira-kira 5% orang normal memiliki kadar yang lebih tinggi (1 – 3 mg/ dl).
Bila penyebabnya bukan karena hemolisis atau penyakit hati kronik maka kondisi ini
biasanya disebabkan oleh kelainan familial metabolism bilirubin,yang paling sering
adalah sindrom gilbert. Sindrom lainnya juga sering ditemukan, prognasisnya baik.
Diagnosis yang akurat terutama pada penyakit hati kroniksangat penting untuk
penatalaksanaan pasien. Adanya riwayat keluarga, lamanya penyakit serta tidak
ditemukan adanya pertanda penyakit hati dan splenomegali, serum transaminase normal
dan bila perlu dilakukan biopsi hati. (Aru W. sudoyo)
B. Rumusan Masalah
1
h. Bagaimana pemeriksaan fisik dari hiperbilirubinemia?
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian hiperbilirubinemia.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada
hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubi-
nemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga
disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbillirubenemia
patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia
neonates >95% menurut Normogram Bhutani.
Hiperbilirubinemia adalah salah satu masalah paling umum yang dihadapi dalam
jangka bayi yang baru lahir. Secara historis, manajemen berasal ari studi tentang toksisitas
bilirubin pada dengan penyakit hemolitik. Rekomendasi yang lebih baru mendukung
penggunaan terapi yang kurang intensif dalam jangka bayi yang sehat dengan sakit kuning.
(Ely Susan, 2011)
Hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi bayi baru lahir dengan kadar bilirubin
serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus, yang
dikenal dengan ikterus neonatorum patologis. Hiperbilirubimenia yang merupakan suatu
keadaan meningkatnya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskular, sehingga
konjungtiva, kulit, dan mukosa akan berwarna kuning. Keadaan tersebut juga bisa berpotensi
besar terjadi ikterus, yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak.
Bayi yang mengalami hiperbilirubinemia memiliki ciri sebagai berikut : adanya ikterus
terjadi pada 24 jam pertama, peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10 mg% atau lebih
setiap 24 jam, konsentrasi bilirubin serum 10 mg% pada neonatus yang cukup bulan dan 12,5
mg% pada neonatus yang kurang bulan, ikterus disertai dengan proses hemolisis kemudian
ikterus yang disertai dengan keadaan berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi
kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, dan lain-lain.
B. Metabolisme Bilirubin
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.
Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian
lagi dari hem bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin
tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain.
Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin
indirek. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat
lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan
sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan
dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh
reseptor membrane sel hepar dan masuk ke dalam hepar. Segera setelah ada dalam sel
hepar terjadi persenyawaan ligandin dan glutation hepar lain yang membawanya ke
3
retikulum endoplasma hepar, tempat terjadinya konjugasi. Proses ini timbul berkat adanya
enzim glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis
bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal.
Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi melalui duktus hepatikus ke
dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urubilinogen dan keluar dengan tinja
sebagai sterkobilin. Dalam usus, sebagian di absorpsi kembali oleh mukosa usus dan
terbentuklah proses absorpsi entero hepatik.
C. Patofisiologi
a. Saat eritrosit hancur di akhir siklus neonatus, hemoglobin pecah menjadi fragmen
globin (protein) dan heme (besi).
c. Karena bilirubin terkonjugasi dapat larut dalam lemak dan tidak dapat
diekskresikan di dalam urine atau empedu, bilirubin ini dapat keluar menuju
jaringan ekstravaskular, terutama jaringan lemak dan otak, mengakibatkan
hiperbilirubinemia.
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin.
Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme
sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut
dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin
dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini
beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati ,hepatosit melepas bilirubin
dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin keasam
glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk).
4
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem
empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri
kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang
ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin.
D. Etiologi
Penyebab dari hiperbilirubinemia terdapat beberapa faktor. Secara garis besar,
penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :
c. Gangguan transportasi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
5
E. Epidemiologi
Hiperbilirubinemia neonatal sangat umum karena hampir setiap bayi baru lahir
mengalami tingkat serum bilirubin tak terkonjugasi lebih dari 30 mmol / L (1,8 mg / dL)
selama minggu pertama kehidupan. Angka kejadian sulit untuk membandingkan karena
banyak peneliti berbeda yang tidak menggunakan definisi yang sama untuk
hiperbilirubinemia neonatal signifikan atau penyakit kuning. Selain itu, identifikasi bayi
yang akan diuji tergantung pada pengakuan visual dari penyakit kuning oleh penyedia
layanan kesehatan, yang sangat bervariasi dan tergantung baik pada perhatian pengamat
dan pada karakteristik bayi seperti ras dan usia kehamilan.
Dalam sebuah studi tahun 2003 di Amerika Serikat, 4,3% dari 47.801 bayi memiliki
total serum bilirubin. dalam rentang di mana fototerapi direkomendasikan oleh tahun
1994 American Academy of Pediatrics (AAP) pedoman, dan 2,9% memiliki nilai dalam
rentang di mana tahun 1994 AAP pedoman menyarankan fototerapi mempertimbangkan.
Di dunia insiden bervariasi dengan etnisitas dan geografi. Insidensi lebih tinggi pada
orang Asia Timur dan Indian Amerika dan lebih rendah pada orang kulit hitam. Yunani
yang hidup di Yunani memiliki insiden yang lebih tinggi daripada yang keturunan Yunani
yang tinggal di luar Yunani. Insidensi lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di
ketinggian. Pada tahun 1984, Moore dkk melaporkan 32,7% bayi dengan kadar bilirubin
serum lebih dari 205 umol / L (12 mg / dL) pada 3100 m dari ketinggian.
Kernikterus terjadi pada 1,5 dari 100.000 kelahiran di Amerika Serikat. Kematian dari
neonatal jaundice fisiologis sebenarnya tidak harus terjadi. Kematian dari kernikterus
dapat terjadi, terutama di negara-negara kurang berkembang sistem perawatan medis.
Dalam sebuah penelitian kecil dari pedesaan Nigeria, 31% bayi dengan ikterus klinis diuji
memiliki G-6-PD kekurangan, dan 36% bayi dengan G-6-PD kekurangan meninggal
dengan kernikterus diduga dibandingkan dengan hanya 3% dari bayi dengan G-6-PD
yang normal skrining hasil tes.
Insiden penyakit kuning neonatal meningkat pada bayi dari Asia Timur, Indian,
Amerika, dan keturunan Yunani, meskipun yang terakhir tampaknya hanya berlaku untuk
bayi yang lahir di Yunani dan dengan demikian mungkin lingkungan bukan etnis di asal.
Bayi kulit hitam yang terpengaruh lebih sering dari pada bayi putih. Untuk alasan ini,
penyakit kuning yang signifikan dalam manfaat bayi hitam evaluasi lebih dekat dari
kemungkinan penyebab, termasuk G-6-PD kekurangan.
Risiko pengembangan penyakit kuning neonatal signifikan lebih tinggi pada bayi laki-
laki. Ini tidak muncul terkait dengan tingkat produksi bilirubin, yang mirip dengan yang
ada di bayi perempuan. Risiko penyakit kuning neonatal signifikan berbanding terbalik
dengan usia kehamilan.
F. Manifestasi Klinis
1. Ikterus terjadi 24 jam.
6
2. Peningkatan kosentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam.
3. Kosentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonarus kurang bulan dan 12,5
mg% pada neonatus cukup bulan.
- Infeksi
- Gangguan pernafasan
G. Pathaway
Eritrosit
Hemoglobin
Heme Globin
Fe Biliverdin
Bilirubin Indirek
Mengikat
Hepar
Membran Sel
Bilirubin Direk
7
Empedu
Usus/ Duodenum
Bilirubin Indirek
H. Pemeriksaan Fisik
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah
beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan
terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang
kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit
lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian. Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-
tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut, dan lain-lain. Tempat
yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti
penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya
ikterus mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.
I. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan serumbilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang
tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemi berat. Namun pada bayi yang
mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi
sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar serum bilirubin.
8
b. Darah lengkap dan hapusan darah.
d. Bilirubin direk.
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia
bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk
menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.
J. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan menelan
e. Risiko cidera.
K. Intervensi Keperawatan
9
Menelan berulang penahanan, dan sejauh mungkin
pergerakan cairan atau
Gangguan fase oral partikel padat kea rah Hindari makan, jika residu
posterior di mulut tinggi tempet “pewarna”
Abnormalitas fase oral pada dalam tabung pengisi NG
pemeriksaan menelan Status menelan : fase
faring : penyaluran Potong makan menjadi
Batuk sebelum menelan potongan-potongan kecil
cairan atau partikel
Ngiler padat dari mulut ke
Istirahat atau
esophagus
menghancurkan pil
Bibir tidak menutup secara rapat
Kriteria hasil : sebelum pemberian
Tersedak sebelum menelan
Dapat Penawaran makanan atau
Gangguan fase faring mempertahankan cairan yang dapat dibentuk
makanan dalam mulut menjadi bolus sebelum
Abnormalitas pada fase faring menelan
pada pemeriksaan menelan Kemampuan menelan
adekuat
Tersedak, batuk
Pengiriman bolus ke
Keterlambatan menelan hipofaring selaras
dengan reflek menelan
Menolak makan, muntah
Kondisi pernafasan
Suara seperti kumur adekuat
Malnutrisi energi-protein
10
Anomali saluran nafas atas
Haus
Kelemahan
11
Faktor yang berhubungan :
12
hipertermia, penanganan emergency
hypothermia, proses yang diperlukan
penularan, dan
paparan sinar matahari Ajarkan indikasi dari
hipotermi dan penanganan
yang diperlukan
13
- Perubahan status cairan alami Membersihkan, memantau
dan meningkatkan
- Perubahan pigmentasi prosespenyembuhan pada
luka yang ditutup dengan
- Perubahan turgor
jahitan, strip atau straples
- Faktor perkembangan
Monitor proses pen-
- Kondisi ketidak seimbangan yembuhan area insisi
nutrisi
Monitor tanda dan gejala
(mis.,obesitas,emasisasi)
infeksi pada area insisi
- Penurunan imunologis
Bersihkan area sekitar
- Penurunan sirkulasi jahitan atau staples,
menggunaka lidi kapas
- Kondisi gangguan metabolic steril
14
5. Risiko cidera NOC NIC
L. Penatalaksanaan
15
c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini.
d. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak
toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.
e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar.
Pada umumya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :
1. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤ 20 mg%
2. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3 - 1 mg%/jam.
3. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung.
4. Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat < 14 mg% dan uji Coombs direct
positif.
f. Menghambat produksi bilirubin. Metalloprotoporfirin merupakan kompetitor
inhibitif terhadap heme oksigenase. Ini masih dalam penelitian dan belum
digunakan secara rutin.
g. Menghambat hemolisis. Immunoglobulin dosis tinggi secara sampai 2 hingga 4
jam telah digunakan untuk mengurangi level bilirubin pada janin dengan penyakit
hemolitik isoimun. Mekanismenya belum diketahui tetapi secara teori
immunoglobulin menempati sel Fc reseptor pada sel retikuloendotel dengan
demikian dapat mencegah lisisnya sel darah merah yang dilapisi oleh antibody.
Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah sakit. Dalam
perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
1. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan
membuka pakaian bayi.
2. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.
3. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik
untuk mendapatkan energi yang optimal.
4. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang
terkena cahaya dapat menyeluruh.
5. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
6. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
7. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.
16
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada
hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubi-
nemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga
disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbillirubenemia
patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia
neonates >95% menurut Normogram Bhutani.
B. Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, dkk. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Nelson Vol I. Edisi 15. Jakarta : EGC
https://asus10.wordpress.com/asuhan-keperawatan/askep-pada-kasus-bayi-
hiperbilirubinemia/ Diakses pada tanggal 01 Oktober 2015 pukul 16.20 WIB
https://cnennisa.files.wordpress.com/2007/08/asuhan-keperawatan-dengan-
hiperbilirubin.pdf Diakses pada tanggal 01 oktober 2015 pukul 16.30 WIB
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37957/4/Chapter%20II.pdf Diakses
pada tanggal 01 oktober 2015 pukul 16.45 WIB
Sudoyo, Aru W., dkk. 2010. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Jakarta : Interna
Publishing
Susanty, Ely. 2011. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Nanda Nic Noc. Yogyakarata :
Modya Karya
18