Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN

DENGAN HIPERBILIRUBIN PADA BAYI

Disusun Oleh:

Charisma Anggun 1440120009


Cory Carisa Emilia Putri Indriasari 1440120010
Demo Prasetyo 1440120011
Dewi Maysari 1440120012

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN RUSTIDA

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Hiperbilirubin” ini dengan lancar. Atas bimbingan dan arahan dalam penulisan
makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga
dapat diselesaikannya makalah ini.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis
peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan Asuhan Keperawatan Klien
Dengan Hiperbilirubin, serta infomasi dari media massa yang berhubungan dengan
sikap sebagai dasar prilaku individu terhadap lingkungan sosial, tak lupa penyusun
ucapkan terima kasih kepada pengajar mata kuliah Keperawatan Anak.
Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita
semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai Asuhan Keperawatan
Klien Dengan Hiperbilirubin, khususnya bagi penulis. Penulis mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Krikilan, 4 November 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Salah satu keadaan yang menyerupai penyakit hati yang terdapat pada bayi
baru lahir adalah terjadinya hiperbillirubinemia yang merupakan salah satu
kegawatan pada bayi baru lahir karena dapat menjadi penyebab gangguan tumbuh
kembang bayi. Kelainan ini tidak termasuk kelompok penyakit saluran pencernaan
makanan, namun karena kasusnya banyak dijumpai maka harus dikemukakan.
Kasus ikterus ditemukan pada ruang neonatus sekitar 60% bayi aterm dan pada 80
% bayi prematur selama minggu pertama kehidupan. Ikterus tersebut timbul akibat
penimbunan pigmen bilirubin tak terkonjugasi dalam kulit. Bilirubin tak
terkonjugasi tersebut bersifat neurotoksik bagi bayi pada tingkat tertentu dan pada
berbagai keadaan.

Ikterus pada bayi baru lahir dapat merupakan suatu gejala fisiologis atau
patologis. Ikterus fisiologis terdapat pada 25-50% neonatus cukup bulan dan lebih
tinggi lagi pada neonatus kurang bulan sebesar 80%. Ikterus tersebut timbul pada
hari kedua atau ketiga, tidak punya dasar patologis,kadarnya tidak membahayakan,
dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologis adalah
ikterus yang punya dasar patologisatau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai
yang disebut hiperbilirubinemia. Dasar patologis yang dimaksud yaitu jenis
bilirubin,saat timbul dan hilangnya ikterus, serta penyebabnya.

Neonatus yang mengalami ikterus dapat mengalami komplikasi akibat


gejala sisa yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Oleh
sebab itu perlu kiranya penanganan yang intensif untuk mencegah hal-hal yang
berbahaya bagi kehidupannya dikemudian hari. Perawat sebagai pemberi
perawatan sekaligus pendidik harus dapat memberikan pelayanan yang terbaik
dengan berdasar pada ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

1.2 Tujuan penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tinjauan
teori dari neonatus hiperbilirubin dan asuhan keperawatan dari mola hedatidosa.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah
melebihi batas atas nilai normal bilirubin serum.
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam
darah berlebihan sehingga menimbulkan joundice pada neonatus.
Hiperbilirubin adalah kondisi dimana terjadi akumulasi bilirubin dalam
darah yang mencapai kadar tertentu dan dapat menimbulkan efek patologis
pada neonatus ditandai joudince pada sclera mata, kulit,membrane mukosa
dan cairan tubuh.
Hiperbilirubin adalah peningkatan kadar bilirubin serum
(hiperbilirubinemia) yang disebabkan oleh kelainan bawaan, juga dapat
menimbulkan ikterus.
Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek
pathologis.
2.2 Klasifikas
1. Ikterus prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis
sel darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi terbatas
terutama pada disfungsi hati sehingga menyebabkan kenaikan bilirubin
yang tidak terkonjugasi.
2. Ikterus hepatic
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat
kerusakan hati maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk
ke dalam hati serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang tidak
sempurna dikeluarkan ke dalam doktus hepatikus karena terjadi retensi dan
regurgitasi.
3. Ikterus kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga empedu
dan bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus.
Akibatnya adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum dan
bilirubin dalam urin, tetapi tidak didaptkan urobilirubin dalam tinja dan urin.
4. Ikterus neonatus fisiologi
Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi baru lahir dan akan sembuh pada
hari ke-7. Penyebabnya organ hati yang belum matang dalam memproses
bilirubin.
5. Ikterus neonatus patologis
Terjadi karena factor penyakit atau infeksi. Biasanya disertai suhu
badan yang tinggi dan berat badan tidak bertambah.

2.3 Etiologi

1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan.

2. Gangguan pengambilan (uptake) dan transportasi bilirubin dalam hati

3. Gangguan konjugasi bilirubin.

4. Penyakit Hemolitik, yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan seldarah


merah. Disebut juga ikterus hemolitik. Hemolisis dapat pulatimbul karena
adanya perdarahan tertutup.

5. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan,misalnya


Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obatantertentu.
6. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti :
infeksi toxoplasma. Siphilis.

2.4 Manifestasi Klinis

1. Kulit berwarna kuning sampe jingga

2. Pasien tampak lemah

3. Nafsu makan berkurang

4. Refleks hisap kurang

5. Urine pekat

6. Perut buncit

7. Pembesaran lien dan hati

8. Gangguan neurologic

9. Feses seperti dempul

10. Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.

11. Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa.

a. Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit hemolitik


pada bayi baru lahir, sepsis atau ibu dengan diabetkatau infeksi.

b. Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada
hari ke 3-4 dan menurun hari ke 5-7 yang biasanya merupakan jaundice
fisiologi.
2.5 Patofisiologi

Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.


Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat beban bilirubin pada sel
hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia. Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga
dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi
apabila kadar protein berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain
yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu.

Pada derajat tertentu bilirubin akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar
larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya
efek patologis pada sel otak apabila bilirubintadi dapat menembus sawar darah
otak. Kelainan yang terjadi di otak disebut kernikterus. Pada umumnya dianggap
bahwa kadar bilirubinindirek lebih dari 20mg/dl.

Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirekakan mudah melalui
sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir rendah,
hipoksia, dan hipoglikemia.

2.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan bilirubin serum

a. Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dlantara 2-4
hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dltidak fisiologis.
b. Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12mg/dl antara
5-7 hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari14mg/dl tidak
fisiologis.

2. Pemeriksaan radiology

Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan


diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma

3. Ultrasonografi

Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan


ekstra hepatic.

4. Biopsy hati

Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar


seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intrahepatic selain
itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis,serosis hati, hepatoma.

5. Peritoneoskopi

Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto


dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita
penyakit ini.

6. Laparatomi

Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto


dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita
penyakit ini.
2.7 Komplikasi

1. Retardasi mental - Kerusakan neurologis

2. Gangguan pendengaran dan penglihatan

3. Kematian.

4. Kernikterus

2.8 Penatalaksanaan

1. Tindakan umum

Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamil


Mencegah truma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi barulahir
yang dapat menimbulkan ikhterus, infeksi dan dehidrasi.

Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai
dengan kebutuhan bayi baru lahir. Imunisasi yang cukup baik ditempat bayi
dirawat.

2. Tindakan khusus Fototerapi

Dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis dan


berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja danurine
dengan oksidasi foto.

3. Pemberian fenobarbital

Mempercepat konjugasi dan mempermudah ekskresi. Namun


pemberian ini tidak efektif karena dapat menyebabkan gangguan metabolic
dan pernafasan baik pada ibu dan bayi.
Memberi substrat yang kurang untuk transportasi/ konjugasi misalnya
pemberian albumin karena akan mempercepat keluarnya bilirubin dari
ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin lebih mudah dikeluarkan dengan
transfuse tukar.

Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi untuk mencegah


efek cahaya berlebihan dari sinar yang ditimbulkan dan dikhawatirkan akan
merusak retina. Terapi ini juga digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin
serum pada neonatus dengan hiperbilirubin jinak hingga moderat.

4. Terapi transfuse

Digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.

5. Terapi obat-obatan

Misalnya obat phenorbarbital/luminal untuk meningkatkan bilirubin di


sel hati yang menyebabkan sifat indirect menjadi direct,selain itu juga berguna
untuk mengurangi timbulnya bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke
organ hari.

2.9 Pencegahan

Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan:

1. Pengawasan antenatal yang baik

2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi dan


masa kehamilan dan kelahiran, contoh : sulfaforazol,
novobiosin,oksitosin.

3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus.


4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.

5. Imunisasi yang baik pada bayi baru lahir

6. Pemberian makanan yang dini.

7. Pencegahan infeksi
BAB III

ASUHAN KEPERAWATANA

3.1 Pengkajian

1. Riwayat orang tua: Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti
Rh, ABO,Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.

2. Pemeriksaan Fisik: Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis


melengking,refleks menyusui yang lemah, Iritabilitas.

3. Pengkajian Psikososial: Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua,
apakah orangtua merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.

4. Pengetahuan Keluarga meliputi: Penyebab penyakit dan pengobatan,


perawatan lebih lanjut, apakah mengenal keluarga lain yang memiliki yang
sama, tingkat pendidikan,kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia.

3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Risiko/defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake


cairan, serta peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan defikasi sekunder
fototherapi.

2. Risiko/gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek


fototerapi.

3. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.

4. Gangguan parenting (perubahan peran orang tua) berhubungan dengan


perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.

6. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi

7. Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit,infeksi)


berhubungan dengan tranfusi tukar.

3.3 Intervensi Keperawatan

DX 1: Risiko/defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta


peningkatan IWL dan defikasi sekunder fototherapi

Tujuan: Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi deficit volume cairan dengan kriteria :

1. Jumlah intake dan output seimbang

2. Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal

3. Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BB

Intervensi:

1. Kaji reflek hisap bayi

/Rasional: mengetahui kemampuan hisap bayi

2. Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat

/Rasional: menjamin keadekuatan intake.

3. Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces

/Rasional: mengetahui kecukupan intake.


4. Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam

/Rasional: turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda-tanda


dehidrasi.

5. Timbang BB setiap hari

/Rasional: mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi.

DX 2: Risiko/hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi

Tujuan: Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi hipertermi dengan kriteria :

Suhu aksilla stabil antara 36,5-37 0

Intervensi:

1. Observasi suhu tubuh ( aksilla ) setiap 4 - 6 jam

/Rasional: suhu terpantau secara rutin.

2. Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan kompres
dingin serta ekstra minum.

/Rasional: mengurangi pajanan sinar sementara.

3. Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi

4. Memberi terapi lebih dini atau mencari penyebab lain dari hipertermi.

DX 3: Risiko/Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin,


efek fototerapi.
Tujuan: Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi gangguan integritas kulit dengan kriteria:

1. Tidak terjadi decubitus

2. Kulit bersih dan lembab

Intervensi:

1. Kaji warna kulit tiap 8 jam

/Rasional: mengetahui adanya perubahan warna kulit.

2. Ubah posisi setiap 2 jam

/Rasional: mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalamwaktu lama.

3. Masase daerah yang menonjol

/Rasional: melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan di


daerah tersebut.

4. Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab

/Rasional: mencegah lecet.

5. Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubinturun


menjadi 7,5 mg% fototerafi dihentikan

/Rasional: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama


DX 4: Gangguan parenting ( perubahan peran orangtua) berhubungan dengan
perpisahan dan penghalangan untuk gabung.

Tujuan: Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan orang
tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat
mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding

Intervensi :

1. Bawa bayi ke ibu untuk disusui

/Rasional: mempererat kontak sosial ibu dan bayi.

2. Buka tutup mata saat disusui

/Rasional: untuk stimulasi sosial dengan ibu

3. Anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya

/Rasional: mempererat kontak dan stimulasi social

4. Libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan

/Rasional: meningkatkan peran orangtua untuk merawat bayi.

5. Dorong orang tua mengekspresikan perasaannya

/Rasional: mengurangi beban psikis orangtua


DX 5: Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada
bayi.

Tujuan: Setelah diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orangtua


menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif dalam
perawatan.

Intervensi :

1. Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien

/Rasional: mengetahui tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit

2. Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan


perawatannya.

/Rasional: Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit

3. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah

/Rasional: meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam merawat
bayi

DX 6: Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi

Tujuan: Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi injury akibat fototerapi (misal; konjungtivitis, kerusakan jaringan kornea)

Intervensi:

1. Tempatkan neonatus pada jarak 40-45 cm dari sumber cahaya

/Rasional: mencegah iritasi yang berlebihan.


2. Biarkan neonatus dalam keadaan telanjang, kecuali pada mata dan daerah
genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya
usahakan agar penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir.

/Rasional: mencegah paparan sinar pada daerah yang sensitif.

3. Matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap
8 jam.

/Rasional: pemantauan dini terhadap kerusakan daerah mata.

4. Buka penutup mata setiap akan disusukan.

/Rasional: memberi kesempatan pada bayi untuk kontak mata dengan ibu.

5. Ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan

/Rasional: memberi rasa aman pada bayi.

DX 7: Risiko tinggi terhadap komplikasi berhubungan dengan tranfusi tukar

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 1x24 jam diharapkan tranfusi
tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi

Intervensi:

1. Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan

/Rasional: menjamin keadekuatan akses vaskuler.

2. Basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan.

/Rasional: mencegah trauma pada vena umbilical.

3. Puasakan neonatus 4 jam sebelum tindakan


/Rasional: mencegah aspirasi

4. Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan setelah prosedur

/Rasional: mencegah hipotermi.

5. Catat jenis darah ibu dan Rhesus memastikan darah yang akan ditranfusikan
adalah darah segar.

/Rasional: mencegah tertukarnya darah dan reaksi tranfusi yang berlebihan.

6. Pantau tanda-tanda vital, adanya perdarahan, gangguan cairan dan elektrolit,


kejang selama dan sesudah tranfusi.

/Rasional: Meningkatkan kewaspadaan terhadap komplikasi dan dapat


melakukan tindakan lebih dini.

7. Jamin ketersediaan alat-alat resusitatif

/Rasional: dapat melakukan tindakan segera bila terjadi kegawatan


BAB IV

PENUTUPAN

4.1 Kesimpulan

Hiperbilirubin adalah keadaan icterus yang terjadi pada bayi baru lahir,
yang dimaksud dengan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir adalah
meningginya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler sehingga terjadi
perubahaan warna menjadi kuning pada kulit,konjungtiva, mukosa dan alat tubuh
lainnya. (Ngastiyah, 2000) Nilainormal: bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl, bilirubin
direk 0,1 – 0,4 mg/dl.

4.2 Saran

Kita sebagai tenaga kesehatan (keperawatan ) harus meningkatkan kualitas


pelayanan pada maternal maupun neonatal sehingga dapat mengurangi insiden
terjadinya hiperbilirubin.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L. J. 2016. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta: EGC.

Doengoes, M. E. 2014. Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian


Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
PPNI. (2016). standart diagnosis keperawatan indonesi. jakarta: DPP PPNI.

Rekawati Susilaningrum, N. ,. (2013). Asuhan keperawatan Bayi Dan Anak. Jakarta


Selatan: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai