Anda di halaman 1dari 16

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

HIPERBILIRUBIN

1. Yosefa E. Dianputri [011201055]


2. Yosef D. F. Dulle [011201056]

FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

UNIVERSITAS NUSA NIPA

2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu keadaan yang menyerupai penyakit hati yang terdapat pada bayi
baru lahir adalah terjadinya hiperbillirubinemia yang merupakan salah satu
kegawatan pada bayi baru lahir karena dapat menjadi penyebab gangguan tumbuh
kembang bayi. Kelainan ini tidak termasuk kelompok penyakit saluran pencernaan
makanan, namun karena kasusnya banyak dijumpai maka harus dikemukakan.
Hiperbilirubinemia merupakan fenomena biologis yang terjadi akibat
tingginya produksi ekskresi bilirubin dalam darah selama masa transisi pada
neonatus. Neonatus memproduksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi
dibandingkan orang dewasa. Kondisi tersebut dapat terjadi karena jumlah eritosit
pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek, bayi baru lahir sangat
rentan menderita hiperbilirubinemia pada minggu pertama kelahirannya, terutama
pada bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) <2500 gram atau usia gestasi <
37 minggu (Maria, 2013). Data epidemiologi menunjukkan bahwa 50% bayi baru
lahir menderita hiperbilirubinemia, ditandai dengan adanya perubahan warna
kuning (ikterik) pada kulit, kuku dan sklera mata (Swaramedia, 2010).
Menurut WHO (World Health Organization) (2015) dimana setiap tahunnya,
sekitar 3,6 juta dari 120 juta bayi baru lahir mengalami hiperbilirubinemia dan
hampir 1 juta bayi yang mengalami hiperbilirubinemia kemudian meninggal.
Hiperbilirubinemia di Indonesia merupakan masalah yang sering ditemukan pada
bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan, hiperbilirubinemia terjadi sekitar 25-50%
bayi cukup bulan dan lebih tinggi pada bayi kurang bulan (Depkes RI, 2010).
Berdasarkan data Riset kesehatan dasar (Riskesdas, 2015) menunjukan angka
kejadian hiperbilirubin/ikterus neonatorum pada bayi baru lahir di Indonesia
sebesar 51,47% dengan faktor penyebabnya yaitu: Asfiksia 51%, BBLR 42,9%,
Sectio Cesarea 18,9%, Prematur 33,3%, Kelainan Congenital 2,8%, Sepsis 12%.
Penelitian oleh Saptanto (2014) di RSUD Tugurejo Semarang diketahui angka
kejadian hiperbilirubinemia pada tahun 2014 terdapat 74 neonatus dengan kasus
hiperbilirubinemia dan sebanyak 32 (61,5%) mengalami hiperbilirubinemia
patologis.
Neonatus yang mengalami ikterus dapat mengalami komplikasi akibat gejala
sisa yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Oleh sebab
itu perlu kiranya penanganan yang intensif untuk mencegah hal-hal yang
berbahaya bagi kehidupannya dikemudian hari. Perawat sebagai pemberi
perawatan sekaligus pendidik harus dapat memberikan pelayanan yang terbaik
dengan berdasar pada ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas
Keperawatan Maternitas dan mengetahui teori asuhan keperawatan pada neonates
denhan hiperbilirubin.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi neonates dimana kadar
bilirubin lebih dari 10 mg/dl ditandai dengan ikterus pada sclera mata, kuku,
kulit yang bersifat patologis dan berpotensi untuk menimbulkan kerusakan
otak [kernicterus]. [Mulyati, dkk 2019]
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang digunakan untuk ikterus
neonatorum setelah hasil laboratorium menunjukan adanya peningkatan kadar
bilirubin (Lynn & Sowden, 2009 dalam Mulyati dkk, 2019)

B. Klasifikasi
1. Ikterus prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis sel
darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi terbatas
terutama pada disfungsi hati sehingga menyebabkan kenaikan bilirubin
yang tidak terkonjugasi.
2. Ikterus hepatic
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat kerusakan
hati maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke dalam
hati serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang tidak sempurna
dikeluarkan ke dalam doktus hepatikus karena terjadi retensi dan
regurgitasi.
3. Ikterus kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga empedu dan
bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus.
Akibatnya adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum dan
bilirubin dalam urin, tetapi tidak didaptkan urobilirubin dalam tinja dan
urin.
4. Ikterus neonatus fisiologi
Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi baru lahir dan akan sembuh pada hari ke
7 penyebabnya organ hati yang belum matang dalam memproses bilirubin
5. Ikterus neonatus patologis
Terjadi karena factor penyakit atau infeksi. Biasanya disertai suhu badan
yang tinggi dan berat badan tidak bertambah.

C. Etiologi
1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan.
2. Gangguan pengambilan (uptake) dan transportasi bilirubin dalam hati
3. Gangguan konjugasi bilirubin.
4. Penyakit Hemolitik, yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah
merah. Disebut juga ikterus hemolitik. Hemolisis dapat pula timbul karena
adanya perdarahan tertutup.
5. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan,
misalnya Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obatan tertentu.
6. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme
atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah
seperti : infeksi toxoplasma, siphilis.

D. Manifestasi Klinis
1. Kulit berwarna kuning sampe jingga
2. Pasien tampak lemah
3. Nafsu makan berkurang
4. Refleks hisap kurang
5. Urine pekat
6. Perut buncit
7. Pembesaran lien dan hati
8. Gangguan neurologic
9. Feses seperti dempul
10. Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
11. Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa.
a. Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit
hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis atau ibu dengan diabetk atau
infeksi.
b. Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak
pada hari ke 3-4 dan menurun hari ke 5-7 yang biasanya
merupakan jaundice fisiologi.

E. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa
keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat beban
bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat
menimbulkanpeningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila
kadar protein berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang
memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi di otak disebut
kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kadar bilirubin indirek lebih dari
20mg/dl.
Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati sawar darah otak ternyata
tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudah
melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir
rendah, hipoksia, dan hipoglikemia.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan bilirubin serum
a. Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih
6mg/dl antara 2-4 hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih
dari 10mg/dl tidak fisiologis.
b. Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-
12 mg/dl antara 5-7 hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang
lebih dari 14mg/dl tidak fisiologis.
2. Pemeriksaan radiology
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan
diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma
3. Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan
ekstra hepatic.
4. Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar
seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic
selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati,
hepatoma.
5. Peritoneoskopi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto
dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada
penderita penyakit ini.
6. Laparatomi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto
dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada
penderita penyakit ini.

G. Komplikasi
1. Retardasi mental - Kerusakan neurologis
2. Gangguan pendengaran dan penglihatan
3. Kematian.
4. Kernikterus

H. Penatalaksanaan
1. Tindakan umum
Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamil Mencegah
truma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru lahir yang dapat
menimbulkan ikhterus, infeksi dan dehidrasi. Pemberian makanan dini
dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai dengan kebutuhan bayi baru
lahir. Imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat.
2. Tindakan khusus Fototerapi
Dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis dan berfungsi
untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urine dengan
oksidasi foto.
3. Pemberian fenobarbital
Mempercepat konjugasi dan mempermudah ekskresi. Namun pemberian
ini tidak efektif karena dapat menyebabkan gangguan metabolic dan
pernafasan baik pada ibu dan bayi. Memberi substrat yang kurang untuk
transportasi/ konjugasi misalnya pemberian albumin karena akan
mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga
bilirubin lebih mudah dikeluarkan dengan transfuse tukar. Melakukan
dekomposisi bilirubin dengan fototerapi untuk mencegah efek cahaya
berlebihan dari sinar yang ditimbulkan dan dikhawatirkan akan merusak
retina. Terapi ini juga digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin serum
pada neonatus dengan hiperbilirubin jinak hingga moderat.
4. Terapi transfuse
Digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.
5. Terapi obat-obatan
Misalnya obat phenorbarbital/luminal untuk meningkatkan bilirubin di sel
hati yang menyebabkan sifat indirect menjadi direct, selain itu juga
berguna untuk mengurangi timbulnya bilirubin dan mengangkut bilirubin
bebas ke organ hari.

I. Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan:
1. Pengawasan antenatal yang baik
2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi dan
masa kehamilan dan kelahiran, contoh :sulfaforazol, novobiosin,
oksitosin.
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus.
4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.
5. Imunisasi yang baik pada bayi baru lahir
6. Pemberian makanan yang dini.
7. Pencegahan infeksi
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Riwayat orang tua: Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti
Rh, ABO, Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
2. Pemeriksaan Fisik: Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis
melengking, refleks menyusui yang lemah, Iritabilitas.
3. Pengkajian Psikososial: Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua,
apakah orang tua merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
4. Pengetahuan Keluarga meliputi: Penyebab penyakit dan pengobatan,
perawatan lebih lanjut, apakah mengenal keluarga lain yang memiliki yang
sama, tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko/defisit volume nutrisi dan cairan berhubungan dengan penurunan berat
badan abnormal [>7-8% pada bayi baru lahir yang meyusu ASI, >15 % pada
bayi cukup bulan], kesulitan transisi ke kehidupan ekstra uterin, usia kurang
dari 7 hari, keterlambatan pengeluaran mekonium.
2. Risiko/gangguan integritas kulit berhubungan dengan efek samping fototerapi,
suhu lingkungan yang ekstrim
3. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.
4. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
C. Intervensi Keperawatan
1. DX 1: Risiko/defisit volume nutrisi dan cairan berhubungan dengan
penurunan berat badan abnormal [>7-8% pada bayi baru lahir yang meyusu
ASI, >15 % pada bayi cukup bulan], kesulitan transisi ke kehidupan ekstra
uterin, usia kurang dari 7 hari, keterlambatan pengeluaran mekonium.
Tujuan: Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan
tidak terjadi deficit nutrisi dan volume cairan dengan kriteria :
1. Jumlah intake dan output seimbang
2. Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal
3. Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BB
Intervensi:
1. Kaji reflek hisap bayi
Rasional: mengetahui kemampuan hisap bayi
2. Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat
Rasional: menjamin keadekuatan intake
3. Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces
Rasional: mengetahui kecukupan intake.
4. Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam
Rasional: turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah
tanda-tanda dehidrasi.
5. Timbang BB setiap hari
Rasional: mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi.

DX 2: Risiko/hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi


Tujuan: Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi hipertermi dengan kriteria suhu aksilla stabil antara 36,5-37 0
Intervensi:
1. Observasi suhu tubuh ( aksilla ) setiap 4 - 6 jam
2. Rasional: suhu terpantau secara rutin.
3. Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan kompres
dingin serta ekstra minum.
4. Rasional: mengurangi pajanan sinar sementara.
5. Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi
6. Memberi terapi lebih dini atau mencari penyebab lain dari hipertermi.

DX 3: Risiko/Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin,


efek fototerapi.
Tujuan: Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi gangguan integritas kulit dengan kriteria:
1. Tidak terjadi decubitus
2. Kulit bersih dan lembab
Intervensi:
1. Kaji warna kulit tiap 8 jam
Rasional: mengetahui adanya perubahan warna kulit.
2. Ubah posisi setiap 2 jam
Rasional: mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu
lama .
3. Masage daerah yang menonjol
Rasional: melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan di
daerah tersebut.
4. Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab
Rasional: mencegah lecet.
5. Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun
menjadi 7,5 mg% fototerafi dihentikan
Rasional: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama
DX 4: Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada
bayi.
Tujuan: Setelah diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orang tua
menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif dalam
perawatan.
Intervensi :
1. Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien
Rasional: mengetahui tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit
2. Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan
perawatannya.
Rasional: Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit
3. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah
Rasional: meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam
merawat bayi
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hiperbilirubin adalah kondisi dimana terjadi akumulasi bilirubin
dalam darah yang mencapai kadar tertentu dan dapat menimbulkan efek
patologis pada neonatus ditandai joudince pada sclera mata, kulit, membrane
mukosa dan cairan tubuh.

B. Saran
Kita sebagai tenaga kesehatan (keperawatan ) harus meningkatkan
kualitas pelayanan pada maternal maupun neonatal sehingga dapat
mengurangi insiden terjadinya hiperbilirubin.
DAFTAR PUSTAKA

Mulyati dkk. 2019. Analisis Asuhan Keperawatan Pada Pasien Neonatus dengan
hiperbilirubinemia di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
Madiastuti, Chalada. 2016. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Neonatus Hiperbilirubin di RSB Pasutri Bogor Propinsi Jawa Barat Tahun 2016.
PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia; Defenisi dan Indikator
Diagnosis.
PPNI. 2017. Standar Luaran Keperawatan Indonesia; Defenisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan.
PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia; Defenisi dan Tindakan
Keperawatan.
Carpenito, L. J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai