Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERBILIRUBIN

Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam darah
berlebihan sehingga menimbulkan joundice pada neonatus. Hiperbilirubin adalah
kondisi dimana terjadi akumulasi bilirubin dalam darah yang mencapai kadar
tertentu dan dapat menimbulkan efek patologis pada neonatus ditandai joudince
pada sclera mata, kulit, membrane mukosa dan cairan tubuh.
Hiperbilirubin adalah peningkatan kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia)
yang disebabkan oleh kelainan bawaan, juga dapat menimbulkan ikterus.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana
kadar bilirubin dalam darah melebihi batas atas nilai normal bilirubin serum.
Untuk bayi yang baru lahir cukup bulan batas aman kadar bilirubinnya adalah
12,5 mg/dl, sedangkan bayi yang lahir kurang bulan, batas aman kadar
bilirubinnya adalah 10 mg/dl. Jika kemudian kadar bilirubin diketahui melebihi
angka-angka tersebut, maka ia dikategorikan hiperbilirubin.
2. Epidemiologi
Berdasarkan data WHO (World Health Organization) Angka Kematian Bayi
pada negara ASEAN (Association of South East Asia Nations) seperti di
Singapura 3 per 1000 kelahiran hidup, di Malaysia 5,5 per 1000 kelahiran hidup,
Thailand 17 per 1000 kelahiran hidup, Vietnam 18 per 1000 kelahiran hidup, dan
Indonesia 27 per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi di Indonesia masih
tinggi dari negara ASEAN lainnya, jika dibandingkan dengan target dari MDGs
(Millenium Development Goals) tahun 2015 yaitu 23 per 1000 kelahiran hidup
(Kementrian Kesehatan, 2015). Angka kejadian Hiperbilirubin didunia masih
tinggi. Di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus yang lahir setiap tahunnya terdapat
65 % terkena ikterik (Kementrian Kesehatan, 2012). ‘
Di Indonesia, dari seluruh kematian bayi, sebanyak 57% meninggal pada
masa bayi baru lahir (usia dibawah 1 bulan. AKB di Provinsi DKI Jakarta menurut
data Kesga Dinkes DKI Jakarta tahun 2014 sebesar 6,88 per 1.000 kelahiran hidup
(Kementrian Kesehatan, 2015). Menurut profil kesehatan Indonesia insiden
hiperbilirubin di Indonesia tahun 2007 berkisar 10 % – 13 %, sedangkan angka
kejadian Hiperbilirubin di DKI Berdasarkan data registrasi Neonatologi bulan
Desember 2014 sampai November 2015, di antara 1093 kasus neonatus yang
dirawat, didapatkan 165 (15,09%) kasus dengan ikterus neonatorum (Kementrian
Kesehatan, 2012).
3. Etiologi
a. Peningkatan produksi :
1) Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan
ABO.
2) Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
3) Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic yang
terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
4) Defisiensi G6PD ( Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase ).\
5) Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20
(beta) , diol (steroid).\
6) Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin
Indirek meningkat misalnya pada berat badan lahir rendah.
7) Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
b. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada
Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya
Sulfadiasine.
c. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi,
Toksoplasmosis, Siphilis.
d. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
e. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif
4. Patofisiologi
a. Pigmen kuning ditemukan dalam empedu yang terbentuk dari pemecahan
hemoglobin oleh kerja heme oksigenase, biliverdin reduktase, dan agen
pereduksi nonenzimatik dalam sistem retikuloendotelial.
b. Setelah pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh protein
intraselular “Y protein” dalam hati. Pengambilan tergantung pada aliran darah
hepatic dan adanya ikatan protein.
c. Bilirubin yang tak terkonjugasi dalam hati diubah atau terkonjugasi oleh enzim
asam uridin difosfoglukuronat uridin diphosphoglucuronic acid (UPGA)
glukuronil transferase menjadi bilirubin mono dan diglucuronida yang polar,
larut dalam air (bereaksi direk).
d. Bilirubin yang terkonjugasi yang larut dalam air dapat dieliminasi melalui
ginjal. Dengan konjugasi, bilirubin masuk dalam empedu melalui membrane
kanalikular. Kemudian ke sistem gastrointestinal dengan diaktifkan oleh bakteri
menjadi urobilinogen dalam tinja dan urine. Beberapa bilirubin diabsorbsi
kembali melalui sirkulasi enterohepatik.
e. Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin yang larut
lemak, tak terkonjugasi, nonpolar (bereaksi indirek).
f. Pada bayi dengan hiperbilirubinemia kemungkinan merupakan hasil dari
difisiensi atau tidak aktifmya glukuronil transferase. Rendahnya pengambilan
dalam hepatik kemungkinan karena penurunan protein hepatic sejalan dengan
penurunan aliran darah hepatic.
g. Jaundice yang terkait dengan pemberian ASI merupakan hasil dari hambatan
kerja glukoronil transferase oleh pregnanediol atau asam lemak bebas yang
terdapat dalam ASI. Terjadi 4 sampai 7 hari setelah lahir. Dimana terdapat
kenaikan bilirubin tak terkonjugasi dengan kadar 25-30 mg/dl selama minggu
ke 2-3. Biasanya dapat mencapai usia 4 minggu dan menurun 10 minggu. Jika
pemberian ASI dilanjutkan, hiperbilirubinemia akan menurun berangsur-angsur
dapat menetap selama 3-10 minggu pada kadar yang lebih rendah. Jika
pemberian ASI dihentikan, kadar bilirubin serum akan turun dengan cepat,
biasanya mencapai normal dalam beberapa hari. Penghentian ASI selama 1-2
hari dan penggantian ASI dengan formula memgakibatkan penurunan bilirubin
serum dengan cepat, sesudahnya pemberian ASI dapat dimulai lagi dan
hiperbilirubin tidak kembali ke kadar yang tinggi seperti sebelumnya.
h. Bilirubin yang patologis tampak ada kenaikan bilirubin dalam 24 jam pertama
kelahiran. Sedangkan untuk bayi dengan ikterus fisiologis muncul antara 3-5
hari sesudah lahir.
5. Klasifikasi
a. Ikterus prehepatik
`Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis sel
darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi terbatas terutama
pada disfungsi hati sehingga menyebabkan kenaikan bilirubin yang tidak
terkonjugasi.
b. Ikterus hepatic
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat kerusakan
hati maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke dalam hati
serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang tidak sempurna dikeluarkan ke
dalam doktus hepatikus karena terjadi retensi dan regurgitasi.
c. Ikterus kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga empedu dan
bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus. Akibatnya
adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum dan bilirubin dalam urin,
tetapi tidak didaptkan urobilirubin dalam tinja dan urin.
d. Ikterus neonatus fisiologi
Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi baru lahir dan akan sembuh pada hari ke-
7. penyebabnya organ hati yang belum matang dalam memproses bilirubin.
e. Ikterus neonatus patologis
Terjadi karena factor penyakit atau infeksi. Biasanya disertai suhu badan
yang tinggi dan berat badan tidak bertambah.
f. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada
otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus  Subtalamus,
Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.
6. Manifestasi klinis
a. Kulit berwarna kuning sampai jingga
b. Pasien tampak lemah
c. Nafsu makan berkurang
d. Reflek hisap kurang\
e. Urine pekat
f. Perut buncit
g. Pembesaran lien dan hati
h. Gangguan neurologic
i. Feses seperti dempul
j. Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
k. Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa.
l. Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit hemolitik pada bayi
baru lahir, sepsis atau ibu dengan diabetk atau infeksi.
m.Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada hari ke
3 -4 dan menurun hari ke 5-7 yang biasanya merupakan jaundice fisiologi.
Tabel 1. Rumus Kramer
Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin
1 Kepala dan leher 5 mg %
2 Daerah 1 + badan bagian atas 9 mg %
3 Daerah 1,2 + badan bagian bawah dan 11 mg %
tungkai
4 Daerah 1,2,3 + lengan dan kaki di bawah 12 mg%
lutut
5 Daeraha 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16 mg %
7. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : Tampak lemah, pucat, ikterus dan aktivitas menuru
b. Kepala, leher : Bisa dijumpai ikterus pada mata (sclera) dan selaput /
mukosa pada mulut. Dapat juga diidentifikasi ikterus dengan melakukan
Tekanan langsung pada daerah menonjol untuk bayi dengan kulit bersih
( kuning), dapat juga dijumpai cianosis pada bayi yang hypoksia
c. Dada : Selain akan ditemukan tanda ikterus juga dapat ditemukan tanda
peningkatan frekuensi nafas, status kardiologi menunjukkan adanya tachicardia,
khususnya ikterus yang disebabkan oleh adanya infeksi\
d. Perut : Peningkatan dan penurunan bising usus /peristaltic perlu
dicermati. Hal ini berhubungan dengan indikasi penatalaksanaan fototerapi.
Gangguan Peristaltik tidak diindikasikan fototerapi,
e. Urogenital : Urine kuning dan pekat, Adanya faeces yang pucat / acholis/
seperti dempul atau kapur merupakan akibat dari gangguan / atresia saluran
empedu
f. Ekstremitas : Menunjukkan tonus otot yang lemah
g. Kulit : Tanda dehidrasi ditunjukkan dengan turgor jelek. Elastisitas menurun,
Perdarahan bawah kulit ditunjukkan dengan ptechia, echimosis, ikterus
pada kulit dan sklera mata.
h. Pemriksaan Neurologis : Adanya kejang, epistotonus, lethargy dan lain- lain
menunjukkan adanya tanda- tanda kern – ikterus
8. Pemeriksaan penunjang
a. Visual
1) Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari
dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat
dengan pencahayaan yang kurang.
2) Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna
dibawah kulit dan jaringan subkutan.
3) Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang
tampak kuning. Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari
pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan, dan kaki pada hari kedua,
maka di golongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar
secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum
untuk memulai terapi sinar.
b. Laboratorium (pemeriksaan Darah)
1) Test Coomb pada tali pusat BBL
Hasil positif test Coomb indirek menunjukkan adanya antibody Rh-positif,
anti-A, anti-B dalam darah ibu.
Hasil positif dari test Coomb direk menandakan adanya sensitisasi (Rh-
positif, anti-A, anti-B) SDM dari neonatus.
2) Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi incompatibilitas ABO.
3) Bilirubin total.
Kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5 mg/dl yang
mungkin dihubungkan dengan sepsis.
Kadar indirek (tidak terkonjugasi) tidak boleh melebihi 5 mg/dl dalam 24
jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 1,5
mg/dl pada bayi praterm tergantung pada beray badan.
4) Protein serum total
Kadar kurang dari 3,0 gr/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan
terutama pada bayi praterm.
5) Hitung darah lengkap
Hb mungkin rendah (<14 gr/dl) karena hemolisis.
Hematokrit mungkin meningkat (>65%) pada polisitemia, penurunan
(<45%) dengan hemolisis dan anemia berlebihan.
6) Glukosa
Kadar dextrostix mungkin < 45% glukosa darah lengkap <30 mg/dl atau test
glukosa serum < 40 mg/dl, bila bayi baru lahir hipoglikemi dan mulai
menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam lemak.
7) Daya ikat karbon dioksida
Penurunan kadar menunjukkan hemolisis
8) Meter ikterik transkutan
Mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan bilirubin serum.
9) Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6 mg/dl antara 2-4
hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10 mg/dl tidak fisiologis.
10) Smear darah perifer
Dapat menunjukkan SDM abnormal/ imatur, eritroblastosis pada penyakit
RH atau sperositis pada incompabilitas ABO.
11) Test Betke-Kleihauer
Evaluasi smear darah maternal terhadap eritrosit janin.
c. Pemeriksaan radiologi
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan diafragma
kanan pada pembesaran hati,seperti abses hati atau hepatoma
d. Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra
hepatic.
e. Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar seperti
untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain itu juga
memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.
9. Terapi / tindakan peanganan
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi
Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
a. Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi
Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya
dengan intensitas yang tinggi akan menurunkan Bilirubin dalam kulit.
Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi
Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi
jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut
Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui
mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan
dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke
dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati
(Avery dan Taeusch, 1984).
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar
Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis
dapat menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5
mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus
di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan
mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama
pada bayi resiko tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
b. Tranfusi Pengganti / Tukar
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
1) Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
2) Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
3) Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
Tes Coombs Positif.
4) Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
5) Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
6) Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
7) Bayi dengan Hidrops saat lahir.
8) Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
1) Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap
sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
2) Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
3) Menghilangkan Serum Bilirubin
4) Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan
dengan Bilirubin
5) Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera
(kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak
mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar
Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai
stabil.
10. Komplikasi
a. Bilirubin encephalopathy (komplikasi serius).
b. Kernicterus; kerusakan neurologis; cerebral palsy, retardasi mental,
hyperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi otot, dan tangisan yang
melengking.
c. Gangguan pendengaran dan penglihatan
d. Asfiksia
e. Hipotermi
f. Hipoglikemi
g. Kematian
Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Identitas pasien berupa: nama, tanggal lahir, usia, jenis kelamin, agama,
pendidikan, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, suku bangsa.
Identitas orang tua berupa: nama ayah dan ibu, usia ayah dan ibu,
pendidikan ayah dan ibu, pekerjaan/sumber penghasilan ayah dan ibu, agama
ayah dan ibu, alamat ayah dan ibu.
Identitas saudara kandung berupa: nama saudara kandung, usia saudara
kandung, hubungan dan status kesehatan saudara kandung.
b. Keluhan utama
Untuk mengetahui alasan utama mengapa klien mencari pertolongan pada
tenaga professional.
c. Riwayat penyakit sekarang
Untuk mengetahui lebih detail hal yang berhubungan dengan keluhan utama.
1) Munculnya keluhan
Tanggal munculnya keluhan, waktu munculnya keluhan (gradual/tiba-
tiba), presipitasi/ predisposisi (perubahan emosional, kelelahan,
kehamilan, lingkungan, toksin/allergen, infeksi).
2) Karakteristik
Karakter (kualitas, kuantitas, konsistensi), loksai dan radiasi, timing (terus
menerus/intermiten, durasi setiap kalinya), hal-hal yang
meningkatkan/menghilangkan/mengurangi keluhan, gejala-gejala lain
yang berhubungan.
3) Masalah sejak muncul keluhan
Perkembangannya membaik, memburuk, atau tidak berubah.
d. Riwayat masa lampau
1) Prenatal
Keluhan saat hamil, tempat ANC, kebutuhan nutrisi saat hamil, usia
kehamilan (preterm, aterm, post term), kesehatan saat hamil dan obat yang
diminum.
2) Natal
Tindakan persalinan (normal atau Caesar), tempat bersalin, penolong
persalinan, komplikasi yang dialami ibu pada saat melahirkan, obat-obatan
yang digunakan.
3) Post natal
4) Kondisi kesehatan, apgar score, Berat badan lahir, Panjang badan lahir,
anomaly kongenital.
5) Penyakit waktu kecil
6) Pernah dirawat di rumah sakit
Penyakit yang diderita, respon emosional
7) Obat-obat yang digunakan (pernah/sedang digunakan)
8) Nama obat dan dosis, schedule, durasi, alasan penggunaan obat.
9) Allergi
Reaksi yang tidak biasa terhadap makanan, binatang, obat, tanaman,
produk rumah tangga.
10) Imunisasi
11) Jenis imunisasi seperti: BCG, DPT (I,II,III), Polio (I,II,III,IV), Campak,
Hepatitis. Waktu pemberian, frekuensi, reaksi setelah pemberian, dan
frekuensinya.
e. Riwayat keluarga
Penyakit yang pernah atau sedang diderita oleh keluarga (baik berhubungan /
tidak berhubungan dengan penyakit yang diderita klien), gambar genogram
dengan ketentuan yang berlaku (symbol dan 3 generasi).
f. Riwayat sosial
1) Yang mengasuh anak dan alasannya
2) Pembawaan anak secara umum (periang, pemalu, pendiam, dan kebiasaan
menghisap jari, membawa gombal, ngompol)
3) Lingkungan rumah (kebersihan, keamanan, ancaman, keselamatan anak,
ventilasi, letak barang-barang)
g. Keadaan kesehatan saat ini
Diagnosis medis, tindakan operasi, obat-obatan, tindakan keperawatan, hasil
laboratorium, data tambahan.
h. Pengkajian pola fungsi Gordon
1) Persepsi kesehatan dan manajemen kesehatan
Status kesehatan sejak lahir, pemeriksaan kesehatan secara rutin,
imunisasi, penyakit yang menyebabkan anak absen dari sekolah, praktek
pencegahan kecelakaan (pakaian, menukar popok,dll), kebiasaan merokok
orang tua, keamanan tempat bermain anak dari kendaraan, praktek
keamanan orang tua (produk rumah tangga, menyimpan obat-obatan,ddl).
2) Nutrisi metabolik
Pemberian ASI / PASI, jumlah minum, kekuatan menghisap, makanan
yang disukai / tidak disukai, makanan dan minuman selama 24 jam,
adakah makanan tambahan/vitamin, kebiasaan makan, BB lahir dan BB
saat ini, masalah dikulit:rash, lesi,dll.
3) Pola eliminasi
Pola defekasi (kesulitan, kebiasaan, ada darah/tidak), mengganti pakaian
dalam / diapers (bayi), pola eliminasi urin (frekuensi ganti popok
basah/hari, kekuatan keluarnya urin, bau, warna).
4) Aktivitas dan pola latihan
Rutinitas mandi (kapan, bagaimana, dimana, sabun yang digunakan),
kebersihan sehari-hari, aktivitas sehari-hari (jenis permainan, lama, teman
bermain, penampilan anak saat bermain, dll), tingkat aktivitas anak/bayi
secara umum, tolerans, persepsi terhadap kekuatan, kemampuan
kemandirian anak (mandi, makan, toileting, berpakaian, dll.)
5) Pola istirahat tidur
Pola istirahat/tidur anak (jumlahnya), perubahan pola istirahat, mimpi
buruk, nokturia, posisi tidur anak, gerakan tubuh anak.
6) Pola kognitif-persepsi
Responsive secara umum anak, respons anak untuk bicara, suara, objek
sentuhan, apakah anak mengikuti objek dengan matanya, respon untuk
meraih mainan, vocal suara, pola bicara kata-kata, kalimat, menggunakan
stimulasi/tidak, kemampuan untuk mengatakan nama, waktu, alamat,
nomor telepon, kemampuan anak untuk mengidentifikasi kebutuhan;
lapar, haus, nyeri, tidak nyaman.
7) Persepsi diri – pola konsep diri
Status mood bayi / anak (irritabilitas), pemahaman anak terhadap identitas
diri, kompetensi, banyak/tidaknya teman.
8) Pola peran – hubungan
Struktur keluarga, masalah/stressor keluarga, interaksi antara anggota
keluarga dan anak, respon anak/bayi terhadap perpisahan, ketergantungan
anak dengan orang tua.
9) Sexualitas
Perasaan sebagai laki-laki / perempuan (gender), pertanyaan sekitar
sexuality bagaimana respon orang tua.
10) Koping – pola toleransi stress
Apa yang menyebabkan stress pada anak, tingkat stress, toleransi stress,
pola penanganan masalah, keyakinan agama.
11) Nilai – pola keyakinan
Perkembangan moral anak, pemilihan perilaku, komitmen, keyakinan
akan kesehatan, keyakinan agama.
i. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Kesadaran, postur tubuh, fatigue
2) Tanda – tanda vital
Tekanan darah. Nadi, respirasi, suhu
3) Ukuran anthropometric
Berat badan, panjang badan, lingkar kepala
4) Mata
Konjungtiva, sclera, kelainan mata
5) Hidung
Kebersihan, kelainan

6) Mulut
Kebersihan, bau, mukosa mulut, stomatitis
7) Telinga
Fungsi pendengaran, kelainan, kebersihan
8) Dada
Inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi (jantung, paru-paru)
9) Abdomen
Inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi
10) Punggung
Ada/tidak kelainan
11) Genetalia
Kebersihan, terpasang kateter/tidak, kelainan
12) Ekstremitas
Odema, infuse/transfuse, kontraktor, kelainan.
13) Kulit
Kebersihan kulit, turgor kulit, lesi, kelainan.
j. Pemeriksaan tumbuh kembang
1) Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
kejadian-kejadian penting; usia anak saat pertama kali mengangkat kepala,
berguling, duduk sendiri, berdiri, berjalan, berbicara/kata-kata bermakna
atau kalimat, gangguan mental perilaku.
2) Pelaksanaan pemeriksaan pertumbuhan
a. Pengukuran Berat badan
b. Pengukuran Tinggi badan
c. Pengukuran lingkar lengan atas
d. Pengukuran lingkar kepala
e. Kecepatan tumbuh
f. Pelaksanaan DDST
Berdasarkan hasil pengkajian melalui DDST (Denver Development
Screening Test) untuk umur 0 – 6 tahun
3) Reaksi Hospitalisasi
a. Pengalaman keluarga tentang sakit dan rawat inap
Seperti: alasan ibu membawa anak ke rumah sakit, apakah dokter
menceritakan tentang kondisi anak, perasaan orang tua saat ini, apakah
orang tua selalu berkunjung ke rumah sakit, yang akan selalu tinggal dan
mendampingi anak.
b. Pemahaman anak tentang sakit dan rawat inap

2. Diagnosa keperawatan
3. Diagnosa keperawatan
a. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan peningkatan suhu
lingkungan dan tubuh akibat fototerapi.
b. Resiko ketidakseimbangan volume cairan tubuh berhubungan dengan
peningkatan IWL (insensible water loss) akibat fototerapi dan kelemahan
menyusui.
c. Resiko injury berhubungan dengan masuknya bilirubin dalam jaringan otak.
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau radiasi.
4. Intervensi keperawatan
No Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan Rasional

Hasil

1. Ketidakefektifan termoregulasi Setelah dilakukan tindakan Konservasi integritas struktural


berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 1. Letakkan bayi dalam inkubator untuk 1. Agar suhu tubuh pada bayi stabil
peningkatan suhu lingkungan jam bayi tidak mengalami mempertahankan kestabilan suhu tubuh. 2. Untuk memonitor suhu pada bayi
dan tubuh akibat fototerapi. instabilitas suhu dengan 2. Ukur suhu aksila bayi secara teratur.
kriteria hasil: 3. Pantau tanda dan gejala terjadinya 3. Untuk memantau tanda dan gejala
1. Suhu aksila 36,5 C hipotermia seperti akral dingin, hipotermia

– 37,5 C peningkatan denyut jantung, penurunan


2. Frekuensi nafas 40- saturasi oksigen, pucat, dan pengisian
4. Untuk memantau adanya
60 kali per menit kapiler > 3 detik.
hipertermi
3. Denyut jantung 4. Pantau adanya hipertemi.
120-180 kali per Konservasi Energi
1. Untuk meminimalkan kehilangan
menit 1. Minimalkan kehilangan kalor melalui
kalor melalui proses konduksi,
4. Warna kulit bayi proses konduksi, konveksi, evaporasi,
konveksi, evaporasi, dan radiasi.
coklat kemerahan dan radiasi.
2. Untuk memantau suhu pada
5. Akral hangat 2. Pantau suhu inkubator dan lampu
inkubator
6. Pengisian kapiler < fototerapi.
3. Agar kepala bayi terhindar dari
3 detik 3. Tutup kepala bayi dengan topi untuk
menghindari kehilangan panas akibat radiasi
radiasi.
4. Lakukan perawatan bayi dalam 4. Agar tidak menimbulkan radiasi
inkubator bukan radian warmer karena
radian warmer terjadi kehilangan panas
karena radiasi, konveksi, peningkatan
IWL pada bayi serta menimbulkan
dehidrasi. 5. Untuk memenuhi kebutuhan cairan
5. Tingkatkan pemberian cairan. 6. Untuk memunihi nutrisi
6. Tingkatkan pemberian ASI.
2. Resiko ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan Konservasi integritas struktural 1. Mengetahui kecukupan nutrisi dan
volume cairan tubuh keperawatan 3 x 24 jam, 1. Monitor berat badan mengetahui secara dini gejala-gejala

berhubungan dengan menunjukkan 2. Monitor intake dan output kurang gizi.

peningkatan IWL (insensible keseimbangan cairan dan 3. Monitor pemberian ASI. 2. Untuk mengetahui kebutuhan cairan

water loss) akibat fototerapi dan elektrolit dengan kriteria 4. Monitor serum elektrolit 3. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi

kelemahan menyusui. hasil : 5. Monitor serum albumin dan protein 4. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen
dalam tubuh
1. Turgor kulit elastis total.
5. Agar serum albumin dan protein
2. Membran mukosa 6. Monitor tekanan darah, frekuensi nadi,
total tetap normal
lembab dan status respirasi.
6. Untuk mengetahui perkembangan
3. Intake cairan 7. Monitor membran mukosa, turgor kulit.
tekanan darah, frekuensi nadi, dan
normal 8. Catat dan hitung balance cairan.
4. Perfusi jaringan 9. Monitor warna dan jumlah urin respirasi
baik 10. Monitor ketat cairan dan elektrolit jika 7. Untuk mengetahui adanya tanda-tanda
5. Urien tidak pekat bayi menjalani terapi yang dehindrasi

6. Tekana darah meningkatkan IWL seperti fototerapi, 8. Untuk mengetahui keseimbangan


cairan
dalam batas normal pemakaian radiant warmer.
9. Untuk mengetahui warna dan
(80/45 mmHg)
jumlah urine yang keluar
7. Nadi dalam batas
10. Untuk Monitor ketat cairan
normal (120-
dan elektrolit jika bayi menjalani
160x/menit)
terapi yang meningkatkan IWL
8. Suhu dalam batas
seperti fototerapi, pemakaian
normal (36,5-
radiant warmer.
37,5ºC)
9. Mata tidak cekung.
3. Resiko injury berhubungan Setelah dilakukan tindakan Konservasi integritas struktural 1. Untuk mengetahui adanya tanda-
dengan masuknya bilirubin keperawatan selama 3 x 24 1. Kaji kulit akan adanya tanda-tanda tanda peningkatan bilirubin
dalam jaringan otak. jam bayi tidak ikterik yang menandai peningkatan
memperlihatkan tanda bilirubin
peningkatan tekanan 2. Pantau kadar bilirubin total, direk dan 2. Untuk memantau kadar bilirubin
intrakranial atau indirek
perdarahan intraventrikuler 3. Kaji status umum hipoksia, 3. Untuk mrngetahui status umum
bayi:
dengan kriteia hasil: hipotermi, hipoglikemia dan asidosis pada bayi hipoksia, hipotermi,
1. Suhu aksila 36,5- metabolik untuk meningkatkan resiko hipoglikemia dan asidosis
37,5 C kerusakan otak karena metabolik untuk meningkatkan
2. Tidak kejang hiperbilirubinemia resiko kerusakan otak karena
3. Bilirubin normal < 4. Tempatkan bayi dibawah sinar dengan hiperbilirubinemia
8 mg/dl jarak antara lampu dengan bayi 35-40 4. Untuk mengatasi kuning pada bayi
4. Tidak ikterus, kulit cm
merah normal 5. Pantau suhu tubuh 5. Untuk memantau suhu tubuh pada
5. Toleransi minum 6. Ubah posisi bayi dengan sering terutama bayi
baik selama beberapa jam pertama 7. Agar meningkatkan pemajanan
pengobatan untuk meningkatkan permukaan tubuh.
pemajanan permukaan tubuh.

4. Kerusakan integritas kulit Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pressure Management


berhubungan dengan jaundice selama 3 x 24 jam diharapkan integritas kulit 1. Anjurkan pasien untuk 1. Meminimalisir adanya lecet
atau radiasi kembali baik/normal dengan kriteia hasil: menggunakan pakaian yang atau luka
1. Integritas kulit yang baik bisa longgar 2. Tempat tidur yang berkerut
dipertahankan 2. Hindari kerutan pada tempat akan merusak jaringan pada
2. Tidak ada luka/lesi pada kulit tidur kulit
3. Perfusi jaringan baik 3. Jaga kebersihan kulit agar 3. Mempertahankan keutuhan kulit
4. Menunjukkan pemahaman dalam tetap bersih dan kering 4. Menghindari tekanan dan
proses perbaikan kulit dan mencegah 4. Mobilisasi pasien setiap 2 meningkatkan tekanan darah
terjadinya cedera berulang jam sekali 5. Menandakan adanya area
5. Mampu melindungi kulit dan 5. Monitor kulit akan adanya sirkulasi buruk yang dapat
mempertahankan kelembaban kulit kemerahan menimbulkan infeksi
dan perawatan alami. 6. Monitor pemberian ASI 6. Untuk memberikan nutrisi pada
secara adekuat bayi
7. Oleskan lotion/ minyak/ baby 7. Melindungi kulit dan
oil pada daerah yang tertekan mempertahankan vkelembapan
8. Mandikan pasien dengan kulit
sabun dan air hangat. 8. Untuk menjaga sirkulasi pada
kulit
DAFTAR PUSTAKA
Imron, R. & Metti, D. 2017. Hiperbilirubin Pada Bayi, Jitowiyono, S. dan Kristiyanasari,
W. 2017. Asuhan Keperawatan Neonatus Dan Anak. Yogyakarta: Nuha Medika.
Mulyati, Iswati, N. & Wirastri, U. 2019. Analisis Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Neonatus Dengan Hiperbilirubinemia,
Oktiawati, A. dan Julianti, E. 2019. Buku Ajar Konsep Dan Aplikasi Keperawatan Anak.
Jakarta: Cv Trans Info Media.
Rukiyah, A.Y dan Yulianti, L. 2019. Asuhan Kebidanan Neonatus Bayi Dan Anak Pra
Sekolah. Jakarta: Cv Trans Info Media.
Rukiyah, A.Y dan Yulianti, L. 2019. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Cv Trans Info Media.
Sowwan, M. & Aini, S.N. 2018. Hiperbilirubin bayi, (Online),
(https://scholar.google.co.id/scholar/hl=id&as_sdt=0%2C5&q=hiperbilirubin&btnG=
Sukarni, I. dan Sudarti. 2014. Patologi Kehamilan Persalinan Nifas Dan Neonatus Risiko
Tinggi. Yogyakarta: Nuha Medika.
Suriadi dan Rita Yuliani. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2.Jakarta: Cv
Sagung Seto.
Susilaningrum, R., Nursalam, & Utami, S. 2019. Asuhan Keperawatan Bayi Dan Anak.
Jakarta: Salemba Medika.
Widagdo. 2017. Tatalaksana Masalah Penyakit Anak Dengan Ikterus. Jakarta: Cv
Sagung Seto.
Yanti, S. 2016. Faktor Yang Berhubungan Dengan Hiperbilirubinemia Patologis Pada
Bayi Baru Lahir,

Anda mungkin juga menyukai