Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PENDAHULUAN HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS

Disusun untuk memenuhi tugas Pendidikan Profesi Ners Departemen Anak


Dosen Pembimbing Akademik:
Ns. Sholihatul Amaliya M.Kep. Sp.Kep.An

Disusun oleh:
Samuel Bayu Santosa Hari Susilo
200070302111016
Kelompok 2B

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS

I. DEFINISI
Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar bilirubin serum yang
dihubungkan dengan hemolisis sel darah merah dari bilirubin yang tidak
terkonjugasi dari usus kecil, yang ditandai dengan jaundice pada kulit, sclera
mukosa, dan urine (Mitayani, 2012). Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana
terjadi peningkatan kadar bilirubin dalam darah >5mg/dL, yang secara klinis
ditandai oleh adanya ikterus, dengan faktor penyebab fisiologis dan non-fisiologis
(Mathindas, 2013). Hiperbilirubinemia adalah berlebihnya kadar bilirubin dalam
darah lebih dari 10mg% pada minggu pertama yang mengakibatkan jaundice
(kekuningan), warna kuring terlihat jelas pada kulit, mukosa, sklera dan urin,
serta organ lain, sedangkan pada bayi normal kadar bilirubin serum totalnya 5mg
% (Sembiring, 2019).
Jadi dapat disimpulkan bahwa hiperbilirubin adalah suatu keadaan
dimana kadar bilirubin dalam darah melebihi batas atas nilai normal bilirubin
serum. Untuk bayi yang baru lahir cukup bulan batas aman kadar bilirubinnya
adalah 12,5 mg/dl, sedangkan bayi yang lahir kurang bulan, batas aman kadar
bilirubinnya adalah 10 mg/dl. Jika kemudian kadar bilirubin diketahui melebihi
angka-angka tersebut, maka ia dikategorikan hiperbilirubin.

II. EPIDEMIOLOGI
Maisels dkk melaporkan bahwa 60% dari neonatus >35 minggu akan
mengalami hiperbilirubinemia dan 80% pada neonatus. 3%-5% neonatus yang
mengalami hiperbilirubinemia merupakan proses patologis yang berisiko tinggi
terhadap terjadinya kernikterus. Kejadian hiperbilirubinemia pada bayi cukup
bulan sekitar 60-70%, bahkan pada bayi kurang bulan (BKB)/bayi berat lahir
rendah (BBLR) jauh lebih tinggi. Lebih dari 85% BCB yang dirawat kembali
dalam minggu pertama kehidupan karena hiperbilirubinemia neonatal tersebut
(Rohsiswanto, 2018).

III. ETIOLOGI
a. Peningkatan produksi :
 Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan
Rhesus dan ABO.
 Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
 Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan
metabolic yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
 Defisiensi G6PD ( Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase ).
 Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa),
20 (beta) , diol (steroid).
 Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin
Indirek meningkat misalnya pada berat badan lahir rendah.
 Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
b. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan
misalnya pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat
tertentu misalnya Sulfadiasine.
c. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme
atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah
seperti infeksi, Toksoplasmosis, Siphilis.
d. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
e. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif

IV. FAKTOR RISIKO


1. ASI yang kurang
Bayi yang tidak mendapat ASI cukup saat menyusui dapat bermasalah
karena tidak cukupnya asupan ASI yang masuk ke usus untuk
memroses pembuangan bilirubin dari dalam tubuh. Hal ini dapat terjadi
pada bayi prematur yang ibunya tidak memroduksi cukup ASI.
2. Peningkatan jumlah sel darah merah
Peningkatan jumlah sel darah merah dengan penyebab apapun berisiko
untuk terjadinya hiperbilirubinemia. Sebagai contoh, bayi yang memiliki
jenis golongan darah yang berbeda dengan ibunya, lahir dengan anemia
akibat abnormalitas eritrosit (antara lain eliptositosis), atau mendapat
transfusi darah; kesemuanya berisiko tinggi akan mengalami
hiperbilirubinemia.
3. Infeksi/inkombalitas ABO-Rh
Bermacam infeksi yang dapat terjadi pada bayi atau ditularkan dari ibu
ke janin di dalam rahim dapat meningkatkan risiko hiperbilirubinemia.
Kondisi ini dapat meliputi infeksi kongenital virus herpes, sifilis
kongenital, rubela, dan sepsis (Mathindas, 2013).

V. KLASIFIKASI
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga serta tidak
mempunyai dasar patologis dan tidak ada kemungkinan menjadi
kernikterus. Ikterus akan menghilang dengan sendirinya pada minggu
pertama kelahiran bayi atau pada hari ke-10 (Sembiring, 2019).
Bayi dapat diklasifikasikan ikterus fisiologi jika:
a. Ikterus timbul pada hari kedua dan ketiga
b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi dari 10mg% pada bayi cukup
bulan dan 12,5 mg% pada bayi kurang bulan
c. Peningkatan kecepatan kadar bilirubin tidan melebihi 5mg% perhari
d. Kadar bilirubin indirek tidak meleibihi 1mg%
e. Tidak berhubungan pada keadaan patologis
2. Ikterus Patologis
Bayi dapat diklasifikasikan pada ikterus patologis jika:
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama setelah kelahiran
b. Kadar bilirubin melebihi 10mg% pada bayi cukup bulan atau 12,5mg
% pada bayi kurang bulan
c. Peningkatan kadar bilirubin lebih dari 5mg% perhari. Ikterus menetap
setelah 2 minggu pertama
d. Kadar bilirubin direk melebihi 1mg%
e. Berkaitan dengan proses hemolitik
3. Ikterus prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis sel
darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi terbatas
terutama pada disfungsi hati sehingga menyebabkan kenaikan bilirubin
yang tidak terkonjugasi.
4. Ikterus hepatik
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat
kerusakan hati maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk
ke dalam hati serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang tidak
sempurna dikeluarkan ke dalam doktus hepatikus karena terjadi retensi
dan regurgitasi.
5. Ikterus kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga empedu
dan bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus.
Akibatnya adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum dan
bilirubin dalam urin, tetapi tidak didaptkan urobilirubin dalam tinja dan
urin.
6. Kern Ikterus
Kern Ikterus adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin
Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus
Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar
Ventrikulus IV.

VI. PATOFISIOLOGI
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia. Gangguan pemecahan bilirubin
plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat
terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia,
asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah
apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami
gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat
sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan
terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus
sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut kern ikterus. Pada
umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusa tersebut mungkin akan
timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar
bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada
keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar otak apabila bayi
terdapat keadaan berat badan lahir rendah (BBLR), hipoksia dan hipoglikemia.
(Markum, 1991).

Pathway Hiperbilirubinemia

VII. MANIFESTASI KLINIK


Ikterus dapat ada pada saat lahir atau dapat muncul pada setiap saat
selama masa neonates, bergantung pada keadaan yang menyebabkannya.
Icterus biasanya mulai pada muka dan ketika kadar serum bertambah, ia akan
menyebar ke abdomen dan kaki. Adapun aturan Kramer menggambarkan
perkiraan tingkat prubahan warna kulit antara lain
a. Derajat 1, luas icterus kepala dan leher dengan perkiraan kadar bilirubin 5
mg/dl
b. Derajat 2, luas icterus sampai badan atas (di atas umbilicus) dengan
perkiraan kadar bilirubin 9 mg/dl.
c. Derajat 3, sampai badan bawah hingga di atas lutut dengan perkiraan
kadar bilirubin 11 mg/dl.
d. Derajat 4, sampai lengan dan kaki di bawah lutut dengan perkiraan kadar
bilirubin 12 mg/dl.
e. Derajat 5, sampai telapak tangan dan kaki dengan perkiraan kadar
bilirubin 16 mg/dl.

Gambar 1. Perkiraan tingkat penyakit kuning sesuai dengan aturan Kramer

VIII. PENATALAKSANAAN
Menurut Hidayat (2008), penatalaksanaan keperawatan pada klien
dengan hiperbilirubinemia adalah sebagai berikut
1. Apabila terjadi risiko tinggi cedera karena dampak peningkatan kadar
bilirubin, maka intervensi yang dapat dilakukan adalah mengkaji dan
mengawasi dampak perubahan kadar bilirubin, seperti adanya jaundice,
konsentrasi urine, letargi, kesulitan makan, refleks moro, adanya tremor,
iritabilitas, memantau haemoglobin dan hematokrit, serta pencatatan
penurunan; melakukan fototerapi dengan mengatur waktu sesuai dengan
prosedur; dan menyiapkan untuk melakukan transfuse tukar. Dengan
mempertimbangkan risiko cedera karena efek dari transfuse tukar, maka
intervensi yang dapat dilakukan adalah memantau kadar bilirubin,
hemoglovin, hematokrit sebelum dan sesudah transfuse tukar setiap 4-6
jam selama 24 jam pasca transfusi tukar, memantau tekanan darah, nadi,
dan temperature; mempertahankan system kardiovaskular dan
pernafasan; mengkaji kulit pada abdomen, ketegangan, muntah, dan
sianosis, mempertahankan kalori, kebutuhan cairan sampai dengan
pasca transfuse tukar, serta melakukan kolaborasi dalam pemberian obat
seperti albumin atau plasma dengan dosis 15/20 ml/kgBB.
2. Fototerapi merupakan tindakan dengan memeberikan terapi melalui sinar
yang menggunakan lampu. Lampu yang digunakan sebaiknya tidak lebih
dari 500 jam untuk menghindari turunnya energy yang dihasilkan oleh
lampu.
3. Transfuse tukar merupakan cara yang dilakukan dengan tujuan
mencegah peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Pemerian ini
dilakukan apabila kadar bilirubin indirek 20 mg%, kenaikan kadar bilirubin
yang cepat yaitu 0,3-1 mg/jam, anemia berat dengan gejala gagal jantung
dan kadar haemoglobin tali pusat 14 mg% dan uji coombs direk positif.

IX. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada hiperbilirubinemia
adalah (Huda, 2015)
a. Kadar bilirubin serum (total). Kadar bilirubin serum direk dianjurkan untuk
diperiksa, bila dijumpai bayi kuning dengan usia kurang lebih dari 10 hari
dan tau dicurigai adanya suatu kolestatis.
b. Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat
morfologi eritrosit dan hitumg retikulosit
c. Penentuan golongan darah dan factor Rh dari ibu dan bayi. Bayi yang
berasal dari ibu dengan Rh negative harus dilakukan pemeriksaan
golongan darah, faktor Rh uji coombs pada saat bayi dilahirkan, kadar
hemoglobin dan bilirubin tali pusat juga diperiksa (Normal bila Hb
>14mg/dl dan bilirubin Tali Pusat , < 4 mg/dl ).
d. Pemeriksaan enzim G-6-PD (glukuronil transferase).
e. Pada Ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati (dapat dilanjutkan dengan
USG hati, sintigrafi system hepatobiliary, uji fungsi tiroid, uji urine
terhadap galaktosemia.
f. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, dan
pemeriksaan C reaktif protein (CRP)

X. KOMPLIKASI
Kadar bilirubin indirek yang sangat tinggi dapat menembus sawar otak
dan sel-sel otak, hal ini dapat menyebabkan terjadinya disfungsi saraf bahkan
kematian. Mekanisme dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disfungsi
saraf ini masih belum jelas. Bilirubin ensefalopati adalah manifestasi klinis yang
timbul akibat efek toksik bilirubin pada sistem saraf pusat yaitu basal ganglia dan
pada beberapa nuklei batang otak (Lauer dan Nancy, 2011). Kern ikterus adalah
perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada
beberapa daerah di otak terutama di ganglia basalis, pons dan serebelum. Akut
bilirubin ensefalopati terdiri dari 3 fase yaitu:
a. Fase Inisial: ditandai dengan letargis, hipotonik, berkurangnya gerakan
bayi dan reflek hisap buruk.
b. Fase Intermediate: tanda-tanda kardinal fase ini adalah moderate stupor,
iritabilitas dan peningkatan tonus (retrocollis dan opisthotonus). Demam
muncul selama fase ini.
c. Fase Lanjut: ditandai dengan stupor yang dalam atau koma, peningkatan
tonus, tidak mampu makan, high-pitch cry dan kadang kejang.

Manifestasi klinis kernikterus: pada tahap kronis bilirubin ensefalopati,


bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa bentuk athetoid
cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran, paralisis upward gaze dan
displasia dentalenamel (American Academy of Pediatrics, 2004).
DAFTAR PUSTAKA

Sembiring, J. Br. 2019. Buku Ajar Neonatus, Bayi, Balita, Anak Pra Sekolah.
Yogyakarta: CV Budi Utama
Mathindas, S., et al. 2013. Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Jurnal Biomedik,
Volume 5, Nomor 1, Suplemen, hlm. S4-10
Rohsiswanto, R., et al. 2018. Hiperbilirubinemia pada Neonatus >35 Minggu di
Indonesia: Pemeriksaan dan Tatalaksana Terkini. Sari Pediatri, Vol. 20
Markum, H. 1991. Ilmu Kesehatan Anak. Buku I. FKUI, Jakarta.
Hidayat. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan.
Jakarta: Salemba Medika.
American Academy of Pediatrics. 2004. ―Subcomittee on Hyperbilirubinemia.
Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn 35 or more weeks of
Gestation‖. Journal of the American Academy of Pediatrics, Vol. 104,
No.1, PP 297-316,
http://pediatrics.aappublications.org/content/114/1/297.
Huda, A., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Yogyakarta: Mediaction
Publishing.

Anda mungkin juga menyukai