TRAUMA SPINAL
Dosen Pembimbing:
Ns Bintari Ratih Kusumaningrum S.Kep M.Kep
KELOMPOK 3A
Epidemiologi
Epidemiologi spinal cord injury yang juga bisa disebut cedera spinal bervariasi pada
berbagai negara, berkisar di antara 13,0 – 220 per 1.000.000 penduduk. Penyebab
tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor diikuti oleh kasus jatuh
Indonesia
Belum terdapat data yang menunjukkan insidensi cedera medula spinal secara
menyeluruh di Indonesia. Penelitian mengenai cedera spinal pernah dilakukan di
RSUP Haji Adam Malik Medan pada Januari 2009 - Desember 2010. Jumlah
penderita cedera spinal pada periode tersebut adalah 44 orang, terbanyak
dialami oleh laki-laki (86,36%) pada usia produktif 21-40 tahun (45,4%) dengan
penyebab tersering berupa kecelakaan lalu lintas (45,5%).[14]
Mortalitas
Mortalitas pada cedera spinal masih tinggi. Pada negara maju angka mortalitas
berkisar 3.1% hingga 22.2%, sedangkan pada negara berkembang antara 1.4%
hingga 20.0%. [13]
Angka mortalitas yang tinggi pada negara maju disebabkan oleh karena populasi
geriatri yang meningkat. Hal ini berbeda dengan negara berkembang,
kebanyakan kejadian cedera spinal berada di populasi usia produktif dimana
kecelakaan kendaraan bermotor menjadi salah satu penyebab cedera spinal.
Etiologi
Trauma Spinal (Cidera Tulang Belakang) disebabkan oleh 2 hal, yang pertama oleh
kasus trauma dan kasus non trauma. Kasus trauma disebabkan oleh
Faktor Risiko
Setiap populasi bisa berbeda untuk faktor risikonya. Berdasarkan jenis kelamin,
laki-laki lebih sering mengalami cedera spinal dengan rasio perbandingan laki-
laki dan perempuan adalah 2:1.
Trauma spinal meningkat di dua populasi berdasar usia
Patofisiologi
a. Cedera Primer
Cedera primer pada medula spinalis dapat bersifat komplit ataupun
inkomplit. Hal ini disebabkan oleh cedera mekanik, berupa :
Kompresi
Distraksi
Laserasi
Transeksi
Cedera tersebut menyebabkan kerusakan pada akson, pembuluh darah,
ataupun membran sel. Kebanyakan, cedera meninggalkan ”subpial
rim” dari akson terdemielinisasi atau tidak terdemielinisasi yang berpotensi
untuk terjadinya regenerasi. Selain itu, timbul edema akut pada medula
yang berkontribusi terhadap kejadian iskemia pada medula spinalis. Fase-
fase ini menyerupai patofisiologi molekuler pada cedera otak traumatik.
Secara seluler, beberapa menit setelah cedera, terjadi peningkatan sitokin
termasuk tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan interleukin 1-beta (IL-
1β). Selanjutnya, terjadi pembuangan cadangan glutamat dan disfungsi
transporter astrosit glutamat yang menyebabkan meningkatnya kadar
sitotoksik glutamat. Periode ini dikenal dengan immediate phase, yang
dapat bertahan hingga 2 jam pasca cedera. [1,10]
b. Cedera Sekunder
Cedera sekunder dimulai setelah cedera primer berlangsung. Proses
patologis ini didasari oleh berbagai mekanisme yang menyebabkan
kekurangan energi akibat gangguan perfusi seluler dan iskemia. Cedera
sekunder dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
Fase Akut
Fase akut berlangsung dalam 48 jam pertama. Kerusakan
vaskularisasi, perdarahan dan iskemia terjadi dalam fase ini.
Gangguan mikrosirkulasi tersebut mengakibatkan perubahan
patologik seperti disregulasi ionik, eksitotoksisitas, produksi radikal
bebas dan respon inflamasi yang berlebihan menyebabkan
kerusakan lebih lanjut pada neuron dan glial.[9,11]
Fase Subakut/Intermediate
Periode subakut diperkirakan terjadi hingga dua minggu setelah
cedera. Karakteristik dari fase ini adalah respons fagositosis untuk
membersihkan debris seluler dan proliferasi aktif dari astrosit yang
membentuk scar yang mencegah regenerasi aksonal. Meskipun
begitu, proliferasi astrosit berperan penting dalam homeostasis
ionik dan pembentukan kembali sawar darah otak, sehingga
membatasi imunitas sel dan edema.[9,10] Minggu kedua hingga
bulan keenam setelah cedera ditandai dengan maturasi scar
astrositik dan regenerasi aksonal yang berkelanjutan.
Fase Kronik
Fase intermediate diikuti oleh fase kronik yang ditandai dengan
maturasi dan stabilisasi scar astrositik, pembentukan syrinx dan
kavitas, dan degenerasi wallerian (degenerasi akson di bagian
distal cedera). Sekuele jangka panjang meliputi nyeri kronik dan
spastisitas. Target terapi pada periode ini adalah remyelinisasi dan
plastisitas sistem saraf.[7,10]
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Keperawatan
Tujuan penatalaksanaan adalah mencegah cedera medula spinalis lumbal agar tidak
berlanjut dan untuk mengobservasi gejala penurunan neurologik. Penatalaksanaan
farmakoterapi dapat dilakukan dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi, khususnya
metilprednisolon karena dapat memperbaiki prognosis dan mengurangi kecacatan bila
diberikan dalam delapan jam pertama cedera. Dosis pemberian diikuti dengan infus
kontinu yang dikaitkan dengan perbaikan klinis bermakna untuk pasien dengan cedera
medula spinalis akut. Nalokson telah teruji dalam mengobati binatang dengan cedera
medula spinalis lumbal, mempunyai efek samping minimal dan dapat meningkatkan
perbaikan neurologik pada manusia. Terapi farmakologik yang masih dalam
penyelidikan adalah pengobatan dengan steroid dosis tinggi, mannitol (untuk
menurunkan edema), dan dekstran (untuk mencegah tekanan darah turun cepat dan
memperbaiki aliran darah kapiler) yang diberikan dalam kombinasi (Brunner dan
Suddarth, 2001).
Persiapan Rujukan
a) Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal
b) Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, Hipotensi,
bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat
c) Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut,
peristaltik hilang
d) Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,
gelisah dan menarik diri
e) Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
f) Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
g) Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid,
Hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi
pupil, ptosi
h) Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma,
dan Mengalami deformitas pada daerah trauma
i) Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
j) Keamanan : suhu yang naik turun (Carpenito (2000), Doenges at al (2000))
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
Definisi: pengalaman emosional dan sensasi yang tidak menyenangkan
yang muncul dari kerusakan jaringan secara aktual atau potensial atau
menunjukan kerusakan yang menyerang secara mendadak atau pelan
dari intensitas ringan sampai berat yang dapat diantisipasi atau
diprediksi dengan durasi nyeri kurang dari 6 bulan (Asosiasi studi Nyeri
Internasional).
Batasan karakteristik:
a. Laporan secara verbal atau non verbal
b. Fakta dari observasi
c. Gerakan melindungi
Kriteria Hasil: Tingkat nyeri
- Keluhan nyeri meringis cukup menurun
- Menarik diri cukup meningkat
- Diaforesis cukup menurun
- Keluhan nyeri cukup menurun
Intervensi:
2. Pola nafas Tidak efektif berhubungan dengan sindrom hipoventilasi
DAFTAR PUSTAKA
12. National Spinal Cord Injury Statistical Center. Spinal Cord Injury (SCI) Facts
and Figures at a Glance. https://www.nscisc.uab.edu/Public/Facts%202016.pdf
13. Kang Y,Ding, H, Zhou H, Wei Z, Liu L, Pan D, et.al. Epidemiology of
worldwide spinal cord injury: a literature review. Journal of Neurorestoratology.
2018(6)1–9. http://dx.doi.org/10.2147/JN.S143236
14. Siregar O. Karakteristik dari penderita cedera medula spinalis traumatik di
RSUP Haji Adam Malik Medan. Majalah Kedokteran Nusantara. 2012(45)101-
104. https://jurnal.usu.ac.id/index.php/jms/article/view/17846
17. Martin AR, Aleksanderek I, Fehlings MG. Diagnosis and Acute Management
of Spinal Cord Injury: Current Best Practices and Emerging Therapies. Curr
Trauma Rep. 2015(1)169–181. doi: 10.1007/s40719-015-0020-0
18. Yue JK, Winkler EA, Rick JW, Deng H, Partow CP, Upadhyayula PS, et al.
Update on critical care for acute spinal cord injury in the setting of polytrauma.
Neurosurg Focus. 2017(43)1-9. doi: 10.3171/2017.7.FOCUS17396