Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA SPINAL

Disusun untuk memenuhi mata kuliah Departemen Gawat Darurat

Dosen Pembimbing:
Ns Bintari Ratih Kusumaningrum S.Kep M.Kep

Gioni Arthur Ascentis 165070201111003

KELOMPOK 3A

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
Trauma Spinal
Definisi
Trauma adalah respon emosional terhadap peristiwa mengerikan seperti kecelakaan,
pemerkosaan atau bencana alam. Trauma adalah luka pada tubuh atau fisik (kbbi
daring, 2016). Spinal adalah tulang belakang. Trauma spinal adalah cedera atau luka
fisik yang terjadi pada bagian tubuh tulang belakang .

Epidemiologi
Epidemiologi spinal cord injury yang juga bisa disebut cedera spinal bervariasi pada
berbagai negara, berkisar di antara 13,0 – 220 per 1.000.000 penduduk. Penyebab
tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor diikuti oleh kasus jatuh

Indonesia

Belum terdapat data yang menunjukkan insidensi cedera medula spinal secara
menyeluruh di Indonesia. Penelitian mengenai cedera spinal pernah dilakukan di
RSUP Haji Adam Malik Medan pada Januari 2009 - Desember 2010. Jumlah
penderita cedera spinal pada periode tersebut adalah 44 orang, terbanyak
dialami oleh laki-laki (86,36%) pada usia produktif 21-40 tahun (45,4%) dengan
penyebab tersering berupa kecelakaan lalu lintas (45,5%).[14]

Mortalitas
Mortalitas pada cedera spinal masih tinggi. Pada negara maju angka mortalitas
berkisar 3.1% hingga 22.2%, sedangkan pada negara berkembang antara 1.4%
hingga 20.0%. [13]

Angka mortalitas yang tinggi pada negara maju disebabkan oleh karena populasi
geriatri yang meningkat. Hal ini berbeda dengan negara berkembang,
kebanyakan kejadian cedera spinal berada di populasi usia produktif dimana
kecelakaan kendaraan bermotor menjadi salah satu penyebab cedera spinal.

Mortalitas meningkat terutama pada satu tahun pertama pasca cedera,


khususnya pada pasien dengan kerusakan neurologi yang berat. Penyebab
kematian utama adalah komplikasi akibat immobilisasi pasien,penyakit tersering
adalah pneumonia dan sepsis. [12]

Etiologi
Trauma Spinal (Cidera Tulang Belakang) disebabkan oleh 2 hal, yang pertama oleh
kasus trauma dan kasus non trauma. Kasus trauma disebabkan oleh

a. Kecalakaan Lalu Lintas (38%)


b. Kasus Jatuh (30,5%)

c. Kasus kekerasan: terutama luka tembak (13.5%)


d. Olahraga atau aktivitas rekreasi (9%). [1,8,12]

Faktor Risiko
Setiap populasi bisa berbeda untuk faktor risikonya. Berdasarkan jenis kelamin,
laki-laki lebih sering mengalami cedera spinal dengan rasio perbandingan laki-
laki dan perempuan adalah 2:1.
Trauma spinal meningkat di dua populasi berdasar usia

1. pasien laki - laki dewasa muda, cenderung mengalami cedera spinal


terkait trauma kecelakaan bermotor ataupun cedera yang berhubungan
dengan olahraga
2. pasien geriatri. Pasien geriatri mengalami cedera spinal diakibatkan oleh
karena kasus jatuh, infeksi, tumor serta kelainan tulang.[1]

Patofisiologi

a. Cedera Primer
Cedera primer pada medula spinalis dapat bersifat komplit ataupun
inkomplit. Hal ini disebabkan oleh cedera mekanik, berupa :
 Kompresi
 Distraksi
 Laserasi
 Transeksi
Cedera tersebut menyebabkan kerusakan pada akson, pembuluh darah,
ataupun  membran sel. Kebanyakan, cedera meninggalkan ”subpial
rim” dari akson terdemielinisasi atau tidak terdemielinisasi yang berpotensi
untuk terjadinya regenerasi. Selain itu, timbul edema akut pada medula
yang berkontribusi terhadap kejadian iskemia pada medula spinalis. Fase-
fase ini menyerupai patofisiologi molekuler pada cedera otak traumatik.
Secara seluler, beberapa menit setelah cedera, terjadi peningkatan sitokin
termasuk tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan interleukin 1-beta (IL-
1β). Selanjutnya, terjadi pembuangan cadangan glutamat dan disfungsi
transporter astrosit glutamat yang menyebabkan meningkatnya kadar
sitotoksik glutamat. Periode ini dikenal dengan immediate phase, yang
dapat bertahan hingga 2 jam pasca cedera. [1,10]
b. Cedera Sekunder
Cedera sekunder dimulai setelah cedera primer berlangsung. Proses
patologis ini didasari oleh berbagai mekanisme yang menyebabkan
kekurangan energi akibat gangguan perfusi seluler dan iskemia. Cedera
sekunder dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
 Fase Akut
Fase akut berlangsung dalam 48 jam pertama. Kerusakan
vaskularisasi, perdarahan dan iskemia terjadi dalam fase ini.
Gangguan mikrosirkulasi tersebut mengakibatkan perubahan
patologik seperti disregulasi ionik, eksitotoksisitas, produksi radikal
bebas dan respon inflamasi yang berlebihan menyebabkan
kerusakan lebih lanjut pada neuron dan glial.[9,11]
 Fase Subakut/Intermediate
Periode subakut diperkirakan terjadi hingga dua minggu setelah
cedera. Karakteristik dari fase ini adalah respons fagositosis untuk
membersihkan debris seluler dan proliferasi aktif dari astrosit yang
membentuk scar yang mencegah regenerasi aksonal. Meskipun
begitu, proliferasi astrosit berperan penting dalam homeostasis
ionik dan pembentukan kembali sawar darah otak, sehingga
membatasi imunitas sel dan edema.[9,10] Minggu kedua hingga
bulan keenam setelah cedera ditandai dengan maturasi scar
astrositik dan regenerasi aksonal yang berkelanjutan.
 Fase Kronik
Fase intermediate diikuti oleh fase kronik yang ditandai dengan
maturasi dan stabilisasi scar astrositik, pembentukan syrinx dan
kavitas, dan degenerasi wallerian (degenerasi akson di bagian
distal cedera). Sekuele jangka panjang meliputi nyeri kronik dan
spastisitas. Target terapi pada periode ini adalah remyelinisasi dan
plastisitas sistem saraf.[7,10]

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan awal spinal cord injury atau cedera spinal berfokus pada


prosedur life-saving sesuai protokol Advanced Trauma Life Support (ATLS®).
Manajemen jalan napas sangat penting terkait komplikasi sistem respirasi yang
menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada cedera spinal dengan
insidensi antara 36% hingga 83%, hal ini disebabkan oleh berkurangnya
kapasitas vital, retensi sekret dan disfungsi otonom. Karena hipotensi dan
iskemia-reperfusi adalah faktor yang diketahui sebagai cedera sekunder, step B
dan C pada protokol ATLS ® seperti oksigenasi segera dan penggantian volume
secara agresif sangat penting.[6,7]

Penatalaksanaan Keperawatan
Tujuan penatalaksanaan adalah mencegah cedera medula spinalis lumbal agar tidak
berlanjut dan untuk mengobservasi gejala penurunan neurologik. Penatalaksanaan
farmakoterapi dapat dilakukan dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi, khususnya
metilprednisolon karena dapat memperbaiki prognosis dan mengurangi kecacatan bila
diberikan dalam delapan jam pertama cedera. Dosis pemberian diikuti dengan infus
kontinu yang dikaitkan dengan perbaikan klinis bermakna untuk pasien dengan cedera
medula spinalis akut. Nalokson telah teruji dalam mengobati binatang dengan cedera
medula spinalis lumbal, mempunyai efek samping minimal dan dapat meningkatkan
perbaikan neurologik pada manusia. Terapi farmakologik yang masih dalam
penyelidikan adalah pengobatan dengan steroid dosis tinggi, mannitol (untuk
menurunkan edema), dan dekstran (untuk mencegah tekanan darah turun cepat dan
memperbaiki aliran darah kapiler) yang diberikan dalam kombinasi (Brunner dan
Suddarth, 2001).
Persiapan Rujukan

Pasien dengan cedera spinal sebaiknya dirujuk ke rumah sakit


dengan trauma center yang kompeten. Rumah sakit harus memiliki
kemampuan modalitas neuroimaging  dengan  ketersediaan ahli bedah
ortopedi atau bedah saraf [17,18]

Konsep asuhan keperawatan


A. Pengkajian
1. Identitas : identitas adalah tanda pengenal bagi klien, identitas dibagi
menjadi 2 yaitu identitas pribadi dan identitas sosial. Identitas pribadi yaitu
identitas yang   melekat pada pribadi pasien ( termasuk ciri-cirinya)
misalnya Nama,Tanggal Lahir/Umur,Jenis Kelamin,Alamat, Status
Perkawinan dan lain-lain termasuk.Sedangkan identitas sosial meliputi
identitas yang menjelaskan tentang sosial,ekonomi dan budaya pasien
misalnya, agama, pendidikan,pekerjaan,identitas orang tua,identitas
penanggung jawab pembayaran dan lain-lain.
2. Data subyektif
a. Keluhan utama: kaji keluhan utama pasien yang biasa berupa rasa
nyeri yang hebat dan nyeri tekan pada bagian abdomen.
 Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang
membuat nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya
lebih buruk? apa yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu
membuat anda terbangun saat tidur?
 Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti
diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik,
diremas? (biarkan pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
 Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah
nyeri terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
 Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan
0 tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
 Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat?
Berapa lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang
timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah
nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?
b. Mekanisme Trauma :
M : Mekanisme
I : Dugaan adanya cedera
V : TTV di tempat kejadian
T : Perawatan yang telah diterima
c. SAMPLE
S : Tanda dan gejala trauma abdomen
A : Riwayat alergi yang diderita klien. Baik alergi obat-obatan atau
makanan dan minuman
M : obat yang saat ini dikonsumsi klien
P : Riwayat pembedahan atau masuk rumah sakit sebelumnya.
L : Waktu klien terakhir makan/minum
E : peristiwa yang menyebabkan cedera abdomen
d. Riwayat penyakit dahulu
3. Data obyektif
 Airway, memperhatikan cedera pada leher,mendiagnosa secara cepat
adanya patensi, refleks protektif, benda asing, sekresi dan cedera.
Kontrol Tulang Belakang, buka jalan napas menggunakan teknik
’head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu,
periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya
jalan napas, misal muntahan, makanan, darah atau benda asing
lainnya.
   Breathing, dengan ventilasi yang adekuat, memeriksa pernapasan
dengan menggunakan cara ’lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10
detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak, selanjutnya
lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan
adekuat tidaknya pernapasan).
 Circulation, dengan melakukan evaluasi pada status mental, warna
kulit, dan suhu badan serta nilai tanda-tanda vital. Kontrol perdarahan
hebat, jika pernapasan korban tersengal-sengal dan tidak adekuat,
makabantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda
sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada
dan bantuan napas dalam RJP adalah 15 : 2 (15 kali kompresi dada
dan 2 kali bantuan napas.
 Disability, untuk melihat adanya defisit neurologik sebelum diberikan
suatu sedativa dan obat-obat yang bersifat paralitik, menilai kesadaran
seseorang dengan Glasgow Coma Score (GCS).
 Exposure, untuk melihat mekanisme cedera terutama pada cedera
yang mengancam nyawa. Pemeriksaan pada exposure dapat
dikerjakan dengan head to toe examination yang dikerjakan dengan
lengkap baik pada primary maupun pada secondary survey
 Full Vital signs, terdiri dari tekanan darah, RR, Nadi, suhu, dan
saturasi oksigen klien.
 Five interventions
1) Pemasangan monitor jantung
2) Pasang nasogastrik tube
3) Pasang foley kateter
4) Pemeriksaan laboratorium
5) Pasang oksimetri
 Family presence
Memfasilitasi kehadiran keluarga berarti memberikan kesempatan
untuk bersama klien walaupun klien dalam keadaan gawat darurat.
Berdasarkan kesepakatan emergency nurses association, keluarga
diberikan kesempatan untuk bersama dengan pasien selama proses
invasive dan resusitasi. Pihak medis harus mempunyai standar
prosedur tentang bagaimana cara menenangkan, mendukung dan
memberikan informasi pada anggota keluarga.
 Give comfort measures
Korban trauma sering mengalami masalah terkait dengan kondisi
fisik dan psikologisnya. Metode farmakologis dna non farmakologis
banyak digunakan untuk menurunkan rasa nyeri dan kecemasan.
Dokter dan perawat yang terlibat dalam tim trauma harus bias
mengenali keluhan dan melaukan intervensi bila dibutuhkan.
 Pengkajian Head to toe
 Keadaan umum
 Kepala dan wajah :
Kesimetrisan wajah
Rambut : warna, distribusi, tekstur, tengkorak/kulit kepala
Mata : Inspeksi bola mata, kelopak mata, konjungtiva, sklera, pupil,
reaksi pupil terhadap cahaya, lensa, tes singkat visus
Telinga: Letak, bentuk, serumen, kemampuan mendengar : uji
berbisik
Hidung: Deviasi septum nasi, kepatenan jalan napas lewat hidung
Mulut : Bibir sumbing, mukosa mulut, tonsil, gigi, gusi, lidah, bau
mulut
Leher : deviasi/simetris
 Dada :
I : Kesimetrisan, penggunaan otot bantu napas, ictus cordis
P : Taktil fremitus, pengembangan paru simetris/tdk, ada/tidaknya
massa, ictus cordis teraba/tidak
P : Ada atau tidak cairan di paru, suara perkusi paru dan jantung
A : Suara paru dan jantung
 Perut dan pinggang
I: - Adanya ekimosis
- Adanya hematom
A: - Menurun/tidak adanya suara bising usus
P: - Pembengkakan pada abdomen
- Adanya spasme pada abdomen
- Adanya masa pada abdomen
- Nyeri tekan
P : - Suara dullness
 Pelvis dan perineum
-Daerah pubik, Stabilitas pelvis, krepitasi dan nyeri tekan.
 Ekstremitas
Rentang gerak
Kekuatan otot
Deformitas
Kontraktur
Edema
Nyeri
Krepitasi
4. Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan laboratorium
CT abdomen, FAST, DPL
5. Terapi Medis
Pengkajian pada klien dengan trauma tulang belakang meliputi:

a) Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal
b) Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, Hipotensi,
bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat
c) Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut,
peristaltik hilang
d) Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,
gelisah dan menarik diri
e) Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
f) Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
g) Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid,
Hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi
pupil, ptosi
h) Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma,
dan Mengalami deformitas pada daerah trauma
i) Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
j) Keamanan : suhu yang naik turun (Carpenito (2000), Doenges at al (2000))

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
Definisi: pengalaman emosional dan sensasi yang tidak menyenangkan
yang muncul dari kerusakan jaringan secara aktual atau potensial atau
menunjukan kerusakan yang menyerang secara mendadak atau pelan
dari intensitas ringan sampai berat yang dapat diantisipasi atau
diprediksi dengan durasi nyeri kurang dari 6 bulan (Asosiasi studi Nyeri
Internasional).
Batasan karakteristik:
a. Laporan secara verbal atau non verbal
b. Fakta dari observasi
c. Gerakan melindungi
Kriteria Hasil: Tingkat nyeri
- Keluhan nyeri meringis cukup menurun
- Menarik diri cukup meningkat
- Diaforesis cukup menurun
- Keluhan nyeri cukup menurun
Intervensi:
2. Pola nafas Tidak efektif berhubungan dengan sindrom hipoventilasi

Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam,


masalah ketidakefektifan pola nafas teratasi.
Kriteria Hasil:
- Kapasitas vital cukup meningkat
- Tekanan ekspirasi cukup meningkat
- Tekanan inspirasi cukup meningkat
- Dipsnea cukup menurun

Intervensi: Dukungan ventilasi

- Identifikasi adanya kelelahan otot bantu nafas


- Identifikasi efek perubahan posisi terhadap status pernapasan
- Monitor status respirasi dan oksigenasi
- Pertahankan kepatenan jalan nafas
- Berikan posisi semifowler atau Fowler
- Fasilitasi mengubah posisi senyaman mungkin
- Ajarkan melakukan teknik relaksasi nafas dalam

3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan


ketidakmampuan jantung memompa sejumlah darah untuk
mencukupi kebutuhan jaringan tubuh

Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan kepada pasien


selama 3x24 jam diharapkan curah jantung adekuat dengan kriteria
hasil:
Kriteria Hasil: Curah Jantung

- Palpitasi Cukup menurun


- Gambaran EKG aritmia cukup menuurun
- Edema cukup menurun
- Batuk Cukup menurun
- Distensi vena jugularis cukup menurun
Intervensi: Perawatan Jantung

- Identifikasi tanda/gejala primer menurunan curah jantung


(meliputi dispnea, kelelahan, edema, ortopnea, peningkatan
CVP)
- Monitor tekanan darah (termasuk tekanan darah ortostatik, jika
perlu)
- Monitor intake dan output cairan
- Monitor saturasi oksigen
4.

DAFTAR PUSTAKA

1. Alizadeh A, Dyck SM, Abdolrezaee SK. Traumatic Spinal Cord Injury: An


Overview of Pathophysiology, Models and Acute Injury Mechanisms. Front
Neurol. 2019(10)1-25. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6439316/

6. Rouanet C, Reges D, Rocha E, Gagliardi V, Silva GS. Traumatic spinal cord


injury: current concepts and treatment update. Arq Neuropsiquiatr. 2017(75)387-
393. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28658409

7. Malhotra M, Bhatoe HS, Sudambrekar SM. Spinal Cord Injuries. MJAFI


2010(66)325-328. http://medind.nic.in/maa/t10/i4/maat10i4p325.pdf

8. Nas K, Yazmalar L, Şah V, Aydın A, Öneş K. Rehabilitation of spinal cord


injuries. World J Orthop. 2015(18)8–16
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4303793/pdf/WJO-6-8.pdf

12. National Spinal Cord Injury Statistical Center. Spinal Cord Injury (SCI) Facts
and Figures at a Glance. https://www.nscisc.uab.edu/Public/Facts%202016.pdf
13. Kang Y,Ding, H, Zhou H, Wei Z, Liu L, Pan D, et.al. Epidemiology of
worldwide spinal cord injury: a literature review. Journal of Neurorestoratology.
2018(6)1–9. http://dx.doi.org/10.2147/JN.S143236
14. Siregar O. Karakteristik dari penderita cedera medula spinalis traumatik di
RSUP Haji Adam Malik Medan. Majalah Kedokteran Nusantara. 2012(45)101-
104. https://jurnal.usu.ac.id/index.php/jms/article/view/17846

17. Martin AR, Aleksanderek I, Fehlings MG. Diagnosis and Acute Management
of Spinal Cord Injury: Current Best Practices and Emerging Therapies. Curr
Trauma Rep. 2015(1)169–181. doi: 10.1007/s40719-015-0020-0
18. Yue JK, Winkler EA, Rick JW, Deng H, Partow CP, Upadhyayula PS, et al.
Update on critical care for acute spinal cord injury in the setting of polytrauma.
Neurosurg Focus. 2017(43)1-9. doi: 10.3171/2017.7.FOCUS17396

Anda mungkin juga menyukai