Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD) PADA ANAK

Disusun untuk memenuhi Tugas Individu Profesi Ners Departemen Anak

Dosen Pembimbing:
Ns. Sholihatul Amaliya, M.Kep., Sp.Kep.An

Oleh:
SAMUEL BAYU SANTOSA
NIM. 200070302111016
Kelompok 2B

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
KONSEP DASAR

A. DEFINISI
Kelainan jantung bawaan yangmemerlukan pembedahan jantung terbuka
adalah defek sekat atrium. Defek Septum Atrium (Atrial Septal Defect/ASD)
adalah adanya suatu lubang abnormal antara atrium kanan dan kiri.
Kelainan ini bersifat kongenital yang terjadi sewaktu foramen ovale gagal
menutup setelah lahir, atau apabila terdapat lubang lain kanan antara atrium
kanan dan kiri akibat kurang sempurnanya penutupan dinding antara kedua
atrium selama masa gestasi sehingga membuat darah atrium kanan dan
atrium kiri bercampur (Corwin, 2000).

B. EPIDEMIOLOGI
Secara umum PJB di negara maju maupun negara berkembang sekitar 6-
10 kejadian dari 1000 kelahiran, dengan rerata persentase sekitar 8 anak
setiap 1000 kelahiran hidup. Prevalensi PJB di Eropa akhir-akhir ini
dilaporkan oleh 2 makalah utama, dari data pusat untuk 29 populasi di 16
Negara menunjukkan prevalensi 8 per 1000 kejadian. Diperkirakan di Eropa,
sekitar 3600 anak lahir dengan PJB dan 3000 meninggal dikarenakan PJB.
Di
Indonesia sendiri terdapat sekitar 40.000 sampai 50.000 bayi lahir dengan
cacat jantung bawaan. Menurut Perimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia (PERKI), penyakit jantung menempati peringkat pertama dari
semua penyakit yang menyerang bayi. Pada penelitian sebelumnya di
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
sepanjang tahun 2009-2013 didapatkan dari 53 anak, dengan 34 anak
berjenis kelamin laki-laki dan 19 anak berjenis kelamin perempuan, usia 1-6
tahun merupakan penderita terbanyak, dengan jenis PJB yang paling
banyak diderita ialah jenis Atrial Septal Defect (ASD) yaitu 34,0%, diikuti
oleh Ventricle Septal Defect (VSD) 28,3% (Manopo et al., 2018).
Per Juli 2019, PERKI menyebutkan bahwa angka kejadian PJB di seluruh
dunia diperkirakan mencapai 1,2 juta kasus dari 135 juta kelahiran hidup
setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, sekitar 300.000 kasus dikategorikan
PJB berat yang membutuhkan operasi kompleks agar dapat bertahan hidup.
Sementara di Indonesia angka kejadian PJB diperkirakan mencapai 43.200
kasus dari 4,8 juta kelahiran hidup (9:1000 kelahiran hidup) setiap tahunnya.

C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Dalam keadaan normal, pada peredaran darah janin terdapat suatu
lubang diantara atrium kiri dan kanan sehingga darah tidak perlu melewati
paru-paru. Pada saat bayi lahir, lubang ini akan menutup. Jika lubang ini
tetap terbuka, darah akan terus mengalir dari atrium kiri ke atrium kanan
(shunt). Penyebab dari tidak menutupnya lubang pada septum atrium ini tidak
diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh pada
peningkatan angka kejadian ASD. Faktor-faktor tersebut diantaranya :
1. Faktor Prenatal:
a. Ibu menderita infeksi Rubella
b. Ibu alkoholisme
c. Umur ibu lebih dari 40 tahun
d. Ibu menderita IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)
e. Ibu meminum obat-obatan penenang
2. Faktor genetik
a. Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB (Penyakit Jantung
Bawaan)
b. Ayah atau ibu menderita PJB (Penyakit Jantung Bawaan)
c. Ayah atau ibu memiliki kelainan kromosom misalnya, Sindroma Down
d. Lahir dengan kelainan bawaan lain.
3. Gangguan hemodinamik
Tekanan di atrium kiri lebih tinggi daripada tekanan di atrium kanan
sehingga memungkinkan aliran darah dari atrium kiri ke atrium kanan
(IMFI, 2018).

D. KLASIFIKASI
ASD dibagi menjadi 3 bentuk anatomis yaitu:
1. Defek sinus venosus atau defek vena cava superior Letak defek diatas
fosa ovalis, tidak mempunyai tepi atas yang jelas dan biasanya disertai
dengan vena pulmonalis yang bermuara rendah di vena cava superior.
2. Defek fosa ovalis atau ASD II (ASD sekundum) Letak defek difosa
ovalis.
Defek ini, pada daerah fosa ovalis, adalah bentuk ASD yang paling
sering dan bersama dengan katup atrioventrikuler normal. Walaupun
perubahan mikso matosa lambat pada katup mitral telah diuraikan,
keadaan ini jarang menjadi pertimbangan klinik yang penting. Defek ini
mungkin tunggal atau multipel, dan pada anak bergejala yang lebih tua,
lubang dengan diameter 2 cm atau lebih. Defek besar dapat meluas ke
inferior kearah vena cava inferior dan ostium sinus coronarius, ke
superor ke arah vena cava superior, atau keposterior. Wanita melebihi
pria 3:1, anomalin parsial muara vena pulmonalis dapat merupakan lesi
yang menyertai.
3. Defek atrioventrikular (endokardial cushion defek, ECD) atau ASD I
(ASD primum). Biasanya disertai dengan kelainan katup atrioventrikular.
Bergantung pada saat timbulnya perkembangan, maka akan terjadi
bermacam-macam bentuk. Pada gangguan ringan embrional
endokardial cushion, letak ASD rendah katup mitral terbelah (ECD
derajat 1). Pada gangguan berat, letak ASD rendah dan katup mitral
terbelah, katup tricuspid terbelah (ECD derajat II). Pada gangguan yang
menyeluruh, letak ASD rendah, katup-katup mitral dan atau trikuspid
terbelah dan letak defek septum ventrikel(VSD) tinggi (ECD derajat III),
dulu dikenal dengan nama atrioventrikular komunis.
E. PATOFISIOLOGI
Pada cacat septum atrium, shunting dibiarkan ke kanan pada awalnya (lihat
gambar Cacat septum atrium). Beberapa ASD kecil, seringkali hanya
foramen ovale paten yang ditarik, menutup secara spontan selama
beberapa tahun pertama kehidupan. ASDs sedang-ke-besar yang persisten
menghasilkan pirau besar, yang menyebabkan kelebihan volume ventrikel
atrium kanan dan kanan. Jika tidak diperbaiki, pirau besar ini dapat
menyebabkan hipertensi arteri pulmonalis, peningkatan resistensi pembuluh
darah paru, dan hipertrofi ventrikel kanan pada saat orang berusia 30-an
atau 40-an. Aritmia atrium, seperti takikardia supraventrikular (SVT), flutter
atrium, atau fibrilasi atrium juga dapat terjadi. Pada akhirnya, peningkatan
tekanan arteri pulmonalis dan resistensi vaskular dapat menyebabkan pirau
atrium dua arah dengan sianosis (sindrom Eisenmenger) selama masa
dewasa pertengahan hingga akhir (paling sering di atas usia 40). (Marie
Baffa, Jeanne, 2018).
Patway
F. MANIFESTASI KLINIS
a. Pertumbuhan dan perkembangan biasa seperti tidak ada kelainan
b. Pada stress: cepat lelah, mengeluh dispneu, sering mendapat infeksi
saluran pernafasan
c. Pada palpasi: terdapat kelainan ventrikel kanan hiperdinamik di
parasternal kiri
d. Pada auskultasi: photo thoraks, EKG: jelas terlihat ada kelainan
e. Ekhokardiografi: pasti ada kelainan jantung.
Penderita ASD sebagian besar menunjukkan gejala klinis sebagai berikut:
a. Detak jantung berdebar-debar (palpitasi)
b. Tidak memiliki nafsu makan yang baik
c. Sering mengalami infeksi saluran pernafasan
d. Berat badan yang sulit
e. Sianosis pada kulit di sekitar mulut atau bibir dan lidah
f. Cepat lelah dan berkurangnya tingkat aktivitas
g. Demam yang tak dapat dijelaskan penyebabnya
h. Respon tehadap nyeri atau rasa sakit yang meningkat (IMFI, 2018)

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan pulsasi ventrikel kanan pada
daerah para sterna kanan, wide fixed splitting bunyi jantung kedua
walaupun tidak selalu ada, bising sistolik tipe ejeksi pada daerah
pulmonal pada garis sterna kiri atas, bising mid diastolik pada daerah
tricuspid, dapat menyebar ke apeks. Bunyi jantung kedua mengeras di
daerah pulmonal, oleh karena kenaikan tekanan pulmonal, dan perlu
diingat bahwa bising-bising yang terjadi pada DSA merupakan bising
fungsional akibat adanya beban volume yang besar pada jantung kanan.
Sianosis jarang ditemukan, kecuali bila defek besar atau common
atrium, defek sinus coronarius, kelainan vascular paru, stenosis
pulmonal, atau bila disertai anomaly Ebstein.
b. Pemeriksaan Elektrokardiografi
EKG menunjukkan aksis ke kanan, blok bundel kanan, hipertrofi
ventrikel kanan, Interval PR memanjang, aksis gelombang P abnormal,
aksis ke kanan secara ekstrim biasanya akibat defek ostium primum.
Gambar 3. Perekaman pada anak umur 3 tahun dengan Atrial Septal Defect

c . Pemeriksaan Radiologi 
Pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan pada penderita ASD
adalah
1. Foto Thorax
Jika jantung membesar atau hipertensi pulmonal ada, itu
mungkin yang disebabkan oleh ASD. Jika kita mencurigai sebuah
ASD kita harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
a. Jantung mungkin membesar. Penentuan CTR yaitu dengan
membandingkan lebar thorax dan lebar dari pada jantung. Jika
diameter jantung lebih besar daripada diameter thorax, itu adalah
pembesaran jantung
b. Perhatikan bentuk jantung.pertama, perhatikan apexnya yang
mana sering terjadi pembesaran pada ventrikel kanan dan
kadang-kadang terlihat jelas diafragma terangkat. Selanjutnya lihat
batas dari jantung kanan. Karena atrium kanan membesar, batas
dari jantung kanan terlihat lebih lebar dari normalnya
c. Perhatikan posisi dari jantung dengan membandingkan pada
posisi dari vertebra. Pada ASD, jantung kadang bergeser ke kiri
dan terlihat juga ke tepi kanan dari columna vertebra
d. Perhatikan tonjolan dan lengkungan aorta. Itu sering mengecil jika
ASD ada, karena darah dialirkan melalui atrium kanan, tidak
melalui aorta.
Pada penderita ASD dengan pirau yang bermakna, foto toraks
AP menunjukkan atrium kanan yang menonjol, dan dengan konus
pulmonalis yang menonjol. Jantung hanya sedikit membesar dan
corakan vaskularisasi paru yang prominent sesuai dengan besarnya
pirau.
Batang arteri pulmonalis membesar sehingga pada hilus tampak
denyutan (pada fluoroskopi) dan disebut sebagai hilar dance. Hilar
dance ini terjadi karena arteri pulmonalis penuh darah dan melebar,
sehingga pulsasi ventrikel kanan merambat sampai ke hilus. Makin
besar defeknya, makin kecil jumlah darah yang mengalir ke ventrikel
kiri, karena sebagian besar darah dari atrium kiri mengalir ke atrium
kanan melalui defek. Aorta menjadi kecil, hampir sukar dilihat,
sedangkan arteri pulmonalis menjadi 3-5 kali lebih besar. Pembuluh
darah hilus melebar demikian juga cabang-cabangnya. Lambat laun
pembuluh darah paru bagian tepi menyempit dan tinggal pembuluh
dari sentral (hilus) saja yang melebar. Bentuk hilus lebar, meruncing
ke bawah berbentuk sebagai tanda koma terbalik (‛).

B C
Gambar 4. (A). Foto PA: Kebocoran Septum Atrium (ASD),
hemodinamika, belum ada HP, atrium kanan membesar dan atrium kiri
tidak. (B). Foto PA: hilus melebar sekali, berbentuk koma terbalik.
Vaskular paru bagian tepi sempit. Tanda hipertensi pulmonal. (C). Foto
lateral: tampak ventrikel kanan yang membesar sekali. Atrium kiri dan
ventrikel kiri normal.
2. Ekokardiografi
Echocardiography adalah dasar diagnosis pada kondisi ini.
pencitraan dua-dimensi akan menunjukkan defek dalam hampir
semua kasus (Gambar 10.A). Tipe defek secundum yang terbaik
dilihat dari gambaran subkostal, yang menempatkan septum
interatrial pada sudut yang signifikan terhadap berkas pemeriksaan
dan mengurangi kemungkinan diagnosis artefactual yang positif
palsu. Karakteristik dilatasi dari ruang sisi kanan jantung baik terlihat
dan dominasi volume overload ventrikel kanan akan sering dilihat
sebagai gerakan septum ‘paradoxical’. Ini adalah gerakan anterior
abnormal dari septum interventrikular selama sistole ventricular.
Defek ostium primum (juga dikenal sebagai defek septum
atrioventrikular parsial) juga baik terlihat, seperti anatomi katup
atrioventrikular. Defek sinus venosus yang kurang umum lebih sulit
untuk divisualisasikan, karena letaknya tinggi pada atrium yaitu dekat
muara vena kava superior. Studi transesophageal sering digunakan
menunjukkan lesi yang sulit ini. Semua studi dari ASD harus disertai
dengan pemeriksaan yang teliti yaitu memeriksa hubungan dari vena
pulmonal dan sistemik, karena ini sering abnormal.
Studi doppler akan melengkapi informasi diagnostik. Pemetaan
aliran warna sangat membantu dalam diagnosis dari setiap defek
dan anomali vena (Gambar 10.C). waktu akselerasi yang singkat
dalam aliran arteri pulmonal kadang-kadang bisa menunjukkan
adanya hipertensi pulmonal, seperti kecepatan tinggi jet pada
regurgitasi trikuspid. Rasio aliran sistemik untuk paru dapat dihitung
menggunakan teknik dopler, tetapi ini sangat memakan waktu dan
rentan terhadap kesalahan. Sederhana dan lebih akurat penilaian
dengan non invasif pada tingkat shunting kiri ke kanan dapat dicapai
dengan terlebih dahulu studi radionuklide sebelumnya. Studi
radionuklida sebelumnya juga membantu pada anak yang lebih tua
dengan kecurigaan ASD yang mana pencitraan subkostal bukan
sebuah diagnostik.
Transthoracis echocardiography, kadang-kadang ditambah
dengan transesophageal, merupakan diagnostic dalam kebanyakan
kasus. Shunt yang besar akan menyebabkan kelebihan volume
ventrikel kanan dengan pembalikan gerakan septum. Defek Ostium
primum dan ostium sekundum dapat dibedakan dengan mudah ;
defek sinus venosus mungkin sulit untuk digambarkan. Warna aliran
dopler akan menunjukkan shunt dan setiap regurgitasi katup.
Kecepatan dari setiap regurgitasi tricuspid akan memperkirakan
tekanan arteri pulmonalis. Dengan pengalaman, operator dapat
menetapkan tambahan katup AV cordal pada cacat primum dan
mendeteksi anomaly drainase pembuluh darah lobus kanan atas
untuk SVC yang sering mempersulit defek sinus venosus dan terlihat
sesekali pada ASDs lainnya.

C
Gambar 5. (A).
Modifikasi apikal echocardiogram empat ruang dari pasien dengan
ASD secundum. Ruang sisi kanan jauh diperbesar. (B). M-Mode
echocardiogram dari seorang pasien dengan ASD dan volume
overload pada ventrikel kanan. Ada gerakan paradoks dari Septum
interventriculare (tanda panah). (C). Studi aliran warna Doppler pada
pasien dengan ASDs. Mengalir melalui defek menuju katup tricuspid
yang berwarna merah (arah transduser)
3. Katerisasi Jantung Dan Angiocardiografi
Diagnosis echocardiographic komprehensif akan sering
menghilangkan keperluan untuk penyelidikan invasif, tetapi akan ada
saat ketika ada keperluan untuk kateterisasi, baik untuk menghitung
rasio shunt yang akurat atau untuk mengkonfirmasi atau
mengecualikan beberapa detail anatomi. injeksi atrium kiri dengan
media kontras kadang-kadang membantu, tetapi biasanya angiografi
digunakan untuk menilai abnormalnya anatomi vena atau untuk
menilai fungsi ventricel kiri. ASD tentu umumnya terkait dengan
bentuk lain dari penyakit jantung bawaan yang mana diperlukan
kateterisasi jantung untuk diagnosis.
Kateterisasi jantung sekarang jarang diindikasikan pada ASD
(kecuali untuk terapi intervensi), karena sebagian besar untuk
diagnosis telah beralih ke echocardiogrphy. Sebuah kateter dari
pembuluh darah di kaki biasanya lewat dari RA melalui ASD ke LA.
Suntikan media kontras ke LA akan menunjukkan shunt kiri-ke kanan
atrium. Suntikan ke PA akan menunjukkan shunt kiri-ke-kanan
selama fase laevo. Sekali shunt atrium telah dibuktikan, tidak
mungkin untuk mengidentifikasi distal shunt lagi (misalnya VSD atau
PDA).
Defek Ostium primum ini dapat didiagnosis dengan angiografi
LV pada film frontal sebagai batas kanan atas LV ini sangat melekuk
dengan kurva cekungan halus yang disebabkan oleh kesalahan
tempat katup mitral. Karakteristik penampilan 'leher angsa '
seringkali disertai dengan regurgitasi mitral, aliran inkompeten sering
diarahkan melalui defek ostium primum ke RA.
Pada angiocardiography ECD yang lengkap dapat menunjukkan
refluks dari kedua ventrikel sampai ke kedua atrium dan shunt kiri-ke-
kanan pada level kedua atrium dan ventrikel. Beberapa Suntikan
angiografik akan diperlukan dan LAO 30° dengan 40° dengan
kemiringan caudocranial merupakan proyeksi yang optimal.
Penyimpangan vena pulmonalis kadang-kadang dapat dideteksi
dengan angiografi jantung kanan pada tahap laevo tetapi hanya tipe
sinus venosus atau vena yang berbentuk seperti pedang dapat
divisualisasikan.
Bedah penutupan paling sering dilakukan pada ASD (ASD
sekundum) - sekarang telah banyak bukti dilakukannya
echodiagnostic, ini untuk menyingkirkan diagnostik kateterisasi
jantung dan angiografi.2
4. Trans Esophageal Echocardiography
Trans Esofagus Echocardiograf (TEE) berguna dalam mengevaluasi
defek septum atrium (ASD) untuk menilai rincian atau bagian yang
halus pada saat memutuskan untuk penutupan defek. Hal ini juga
berguna dalam menggambarkan ASDs yang tidak terlihat oleh trans
toraks echocardiography (TTE) baik karena echo window yang jelek
atau karena lokasi dari ASD seperti dalam ASD sinus venosus. TEE
sering digunakan pada saat mengevaluasi hipertensi pulmonal
dengan etiologi yang tidak jelas pada orang dewasa. Pemeriksaan
TEE gambarannya sangat dekat dengan jantung tanpa ada intervensi
dari jaringan paru-paru, dapat memberikan gambar yang sangat baik.
Selain itu, jarak yang pendek memungkinkan penggunaan frekuensi
transduser yang lebih tinggi dengan resolusi gambar yang lebih baik.
Biasanya frekuensi transduser yang lebih tinggi tidak dapat
digunakan untuk TTE karena kedalaman penetrasi ultrasound di
frekuensi yang lebih tinggi pada orang dewasa.

Gambar 6. Atrial septal defect pada trans esofagus


echocardiography
Gambar TEE dalam tampilan axis pendek menunjukkan aorta (Ao),
bagian dari intra atrium septum (IAS) dan ASD. Hal ini dapat dilihat
bahwa hampir tidak ada rim aorta (aorta rim botak). Bagian dari
atrium kiri terlihat di bagian atas IAS (tidak ditandai dalam gambar).
Di bawah IAS, atrium kanan yang besar dapat terlihat.

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Non Bedah
Menutup ASD pada masa kanak-kanak bisa mencegah terjadinya
kelainan yang serius di kemudian hari.Pada beberapa anak, ASD dapat
menutup spontan tanpa pengobatan.Jika gejalanya ringan atau tidak
ada gejala, tidak perlu dilakukan pengobatan.Jika lubangnya besar atau
terdapat gejala, dilakukan pembedahan untuk menutup ASD.
Pengobatan pencegahan dengan antibiotik sebaiknya diberikan setiap
kali sebelum penderita menjalani tindakan pencabutan gigi untuk
mengurangi risiko terjadinya endokarditis infektif. Pada ASD dengan
rasio left to right shunt lebih besar dari 2:1 perlu dilakukan tindakan
operasi untuk mengkoreksi keadaan tersebut. Ada 2 jenis tindakan
operasi yang digunakan untuk melakukan koreksi pada ASD ini, yaitu:
a) Bedah jantung terbuka
b) Amplatzer septal occlude (ASO)
ASO merupakan alat dengan cakram ganda yang dapat
mengembang sendiri (self expandable), terbuat dari kawat nitinol
berdiameter 0,004-0,0075 inci yang teranyam kuat menjadi dua
cakram dengan pinggang penghubung 3-4 mm. Di dalamnya terdapat
lapisan dakron terbuat dari benang polyester yang dapat merangsang
trombosis sehingga lubang/hubungan antara atrium kiri dan kanan
akan tertutup sempurna. Tindakan pemasangan ASO telah mendapat
persetujuan dari American Food and Drug Administration (FDA) pada
bulan Desember 2001. Di Indonesia, tindakan ASO mulai dilakukan
pada tahun 2002.
Kriteria pasien DSA yang akan dilakukan pemasangan ASO, antara
lain :
 ASD sekundum
 Diameter kurang atau sama dengan 34 mm
 Flow ratio lebih atau sama dengan 1,5 atau terdapat tanda-tanda
beban volume pada ventrikel kanan
 Mempunyai rim posterior minimal 5 mm dari vena pulmonalis
kanan
 Defek tunggal dan tanpa kelainan jantung lainnya yang
memerlukan intervensi bedah
 Muara vena pulmonalis normal ke atrium kiri
 Hipertensi pulmonal dengan resistensi vaskuler paru (Pulmonary
Artery Resistance Index = PARI) kurang dari 7 - 8 Wood Unit
 Bila ada gagal jantung, fungsi ventrikel (EF) harus lebih dari 30%.
Pada dewasa sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk
keluhan, umur, ukuran dan anatomi defek, adanya kelainan yang
menyertai, tekanan arteri pulmonal serta resistensi vascular paru.
Indikasi penutupan ASD:
a) Pembesaran jantung foto toraks, dilatasi ventrikel
kanan,kenaikan arteri pulmonalis 50% atau kurang dari tekanan
aorta, tanpa mempertimbangkan keluhan.
b) Adanya riwayat iskemik transient atau stroke pada DSA atau
foramen ovale persisten.
b. Pembedahan
1. Kateterisasi Jantung
Prosedur dilakukan untuk memperbaiki ASD sekundum, namun
untuk ASD sekundum besar mungkin tidak dapat diperbaiki melalui
kateterisai jantung, dan mungkin memerlukan operasi jantung
terbuka
2. Operasi jantung terbuka
Prosedur ini adalah pengobatan pilihan untuk jenis ASD tertentu
(primum, venosus sinus dan sinus coroner), dan jenis-jenis cacat
atrium yang hanya dapat diperbaiki melalui operasi jantung terbuka

c. Terapi Medis
1. Pemberian beta blocker untuk menjaga detak jantung agar tetap
teratur
Misal: Lopressor
Dosis:
a) Hipertensi : awalnya 100-200 mg sebagai dosis tunggal atau
dalam 2 dosisi terbagi. Pemberian dosis di atas 200 mg dibagi
menjadi 2 kali pemberian dalam sehari
b) Angina pectoris : 2 x sehari 100-200 mg
c) Gangguan denyut jantung : 100-150 mg dalam 2-3 dosisi
terbagi
2. Pemberian anti koagulan untuk mengurangi resiko pembekakan
darah
3. Pemberian obat untuk meningkatkan kekuatan kontraksi
Misal: Digoxin (lanoxin). Dosis: Dewasa : Untuk digitalisasi cepat
(24-36 jam) : 4-6 tablet , kemudian 1 tablet pada interval tertentu
sampai kompensasi tercapai. Untuk digitalisasi lambat (3-5 hari) : 2-
6 tablet/hari dalam dosis terbagi. Pemeliharaan : 1/2-3 tablet/hari.
Anak : Untuk digitalisasi cepat : 25 mcg/kg berat badan dengan
selang waktu tertentu sampai kompensasi tercapai. Pemeliharaan :
10-20 mcg/kg berat badan/hari.
4. Pemberian obat untuk mengurangi jumlah cairan dalam sirkulasi
dan paru-paru, disebut diuretic
Misal: Furosemide (Lasix).
Dosis: furosemide diberikan dengan dosis :
Dosis lazim dewasa untuk ascites, gagal jantung kongestif,
edema, hipertensi, oliguria nonobstruktif, edema paru, gagal
ginjal, dan oliguria :
oral : awal : 20 –  80 mg / dosis
Pemeliharaan : tingkatkan secara bertahap dari 20 –  40 mg / dosis
setiap 6 – 8 jam. Berikan 1 – 2 x sehari, dengan dosis harian
maksimum 600 mg.
Intravena / intramuskular : 10 –  20 mg sekali selama 1 –  2 menit.
ulangi dalam waktu 2 jam jika respon tidak memadai.
infus Intravena : 0.1 mg / kg sebagai dosis bolus awal, selanjutnya
tingkatkan dua kali lipat setiap 2 jam sampai maksimal 0.4 mg / kg /
jam.
Dosis lazim dewasa untuk hiperkalsemia
Oral : 10 –  40 mg 4 x sehari.
Intravena : 20 – 100 mg setiap 1 – 2 jam selama 1 –  2 menit.
d. Keperawatan
1. Pantau tanda dan gejala penurunan curah jantung
2. Jika pasien sesak beri posisi semi fowler
3. Tenangkan pasien jika cemas dan bantu pasien untuk melakukan
nafas dalam
4. Berikan lingkungan yang man dan nyaman
5. Jika pasien nyeri lakukan teknik distraksi dan relaksasi
6. Observasi tanda-tanda vital pasien

I. KOMPLIKASI
Ada beberapa Komplikasi yang di timbulkan oleh penyakit Jantung Bawaan ,
antara Lain :
1. Sindrom Eisenmenger merupakan komplikasi yang terjadi pada PJB non
sianotik yang meyebabkan alairan darah ke paru yang meningkat.
Akibatnya lamakelaman pembuluh kapiler diparu akan bereksi dengan
meningkatkan resistensinya sehingga tekanan di arteri pulmonal dan
diventrikel kanan meningkat.
2. Serangan sianotik, pada serangan ini anak atau pasien menjadi lebih
biru dari kondisi sebelumnya tampak sesak bahkan dapat menimbulkan
kejang.
3. Abses otak, biasanya terjadi pada PJB sianotik biasanya abses otak
terjadi pada anak yang berusia diatas 2 tahun yang diakibatkan adanya
hipoksia dan melambatkanya aliran darah diotak.
4. Endokarditis
5. Obstruksi pembuluh darah pulmonal
6. CHF
7. Hepatomegali (jarang terjadi pada bayi prematur)
8. Enterokolitis nekrosis
9. Gangguan paru yang terjadi bersamaan (misalnya sindrom gawat nafas
atau displasia bronkkopulmoner)
10. Perdarahan gastrointestinal (GI), penurunan jumlah trombosit
11. Hiperkalemia (penurunan keluaran urin.
12. Aritmia
13. Gagal tumbuh
Daftar Pustaka

Cecily Lynn Betz, Linda A. Sowden. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri.
EGC : Jakarta
Corwin E. (2000). Patofisiologi. Jakarta: EGC
IMFI. 2018. Atrial Septal Defect. Diakses padahttp://wilayah3.imfi.or.id/2018/
10/24/atrial-septal-defect/.
IMFI. 2018. Atrial Septal Defect. http://wilayah3.imfi.or.id/2018/ 10/24/atrial-
septal-defect/
Manopo, B. R., Kaunang, E. D., & Umboh, A. (2018). Gambaran Penyakit
Jantung Bawaan di Neonatal Intensive Care Unit. E-Clinic (ECl), 6(2), 87–
93.
PERKI. 2019. Education For Patient: Penyakit Jantung Bawaan. Diakses pada 6
Oktober 2020 di
http://www.inaheart.org/education_for_patient/2019/7/10/penyakit_jantung
_bawaan.

Anda mungkin juga menyukai