PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
berikatan dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudiandiekskresikan
melalui traktus gastrointestinal. Bayi memiliki usus yangbelum sempurna, karna
belum terdapat bakteri pemecah, sehinggapemecahan bilirubin tidak berhasil dan
menjadi bilirubin indirek yangkemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga
bilirubin terusbersirkulasi (Atikah & Jaya, 2016 ).Bilirubin yang tak terkonjugasi
larut dalam lemak, kemudian di kirim kehepar, yang mana pada saat itu hepar belum
berfungsi sempurna sehinggaakan meningkatkan produksi bilirubin. Kerusakan pada
sel darah merahakan memperburuk keadaan, karna proses pemecahan bilirubin
akanterganggu, hal ini mengakibatkan bayi akan mengalami
hiperbilirubinemia( Lynn& Sowden , 2009 ).Hiperbilirubinemia dapat terjadi secara
fisiologis dan patologis. Secarafisiologis bayi mengalami kuning pada bagian wajah
dan leher, atau padaderajat satu dan dua (<12mg/dl), dapat diatasi dengan pemberian
intake ASI yang adekuat dan sinar matahari pagi kisaran jam 7.00-9.00 selama
15menit. Secara patologis bayi akan mengalami kining diseluruh tubuhatau derajat
tiga sampai lima (>12mg/dl), di indikasikan untuk pemberianfototerapi, jika kadar
bilirubin >20mg/dl maka bayi akan di indikasikanuntuk transfusi tukar (Aviv, 2015;
Atikah & Jaya, 2015).Pemberian fototerapi akan berdampak pada bayi.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana menguningnya
sklera, kulit atau jaringan lain akibat perlekatan bilirubin dalam tubuh atau
akumulasi bilirubin dalam darah lebihdari 5mg/ml dalam 24 jam,yang
menandakan terjadinya gangguan fungsional dari liver, sistembiliary, atau
sistem hematologi ( Atikah& Jaya, 2016 ).
Hiperbilirubinemia ialah terjadinya peningkatan kadar bilirubin dalam
darah, baik oleh faktor fisiologik maupun non-fisiologik, yang secara klinis
ditandai dengan ikterus( Mathindas, dkk , 2013 ).
B. Klasifikasi
1. Ikterus Fisiologis.
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan
ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar
yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “kernicterus” dan
tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologik adalah
ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai
suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.Ikterus pada neonatus tidak selamanya
patologis.
3
2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia.
3. Kern Ikterus.
C. Etiologi
1. Peningkatan produksi :
a. Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila
terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada
penggolongan Rhesus dan ABO.
b. Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
4
c. Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan
metabolik yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
d. Defisiensi G6PD ( Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase ).
e. Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa),
20 (beta) , diol (steroid).
f. Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar
Bilirubin Indirek meningkat misalnya pada berat badan lahir
rendah.
g. Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin
Hiperbilirubinemia.
D. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari
pengrusakan sel darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya kan
masuk sirkulasi, diimana hemoglobin pecah menjadi heme dan globin. Gloobin
{protein} digunakan kembali oleh tubuh sedangkan heme akan diruah menjadi
bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan albumin.
5
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab
bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan
bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur
eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya
peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan
otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini
yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut
kernikterus atau ensefalopati biliaris.
Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan
neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila
pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia,
hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.
6
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah
apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami
gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu
Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama
ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah
larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak
apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi
pada otak disebut kernikterus.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin
akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya
kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada
keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila
bayi terdapat keadaan BBLR , hipoksia, dan hipoglikemia
E. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin adalah;
1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit
hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi.
3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai
puncak pada hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke lima
sampai hari ke tujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang
cenderung tampak kuning terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi
(bilirubin direk) kulit tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh.
Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang berat.
5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti
dempul
7
6. Perut membuncit dan pembesaran pada hati
7. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
8. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
9. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus,
kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot
F. Penatalsanaan
1. Tindakan umum
a. Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamilü
b. Mencegah truma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru
lahir yang dapat menimbulkan ikhterus, infeksi dan dehidrasi.
c. Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai
dengan kebutuhan bayi baru lahir.
d. Imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat.
2. Tindakan khusus
a. Fototerapi
Dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis dan
berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan
urine dengan oksidasi foto.
Pemberian fenobarbital
b. Mempercepat konjugasi dan mempermudah ekskresi. Namun
pemberian ini tidak efektif karena dapat menyebabkan gangguan
metabolic dan pernafasan baik pada ibu dan bayi.
c. Memberi substrat yang kurang untuk transportasi/ konjugasi,misalnya
pemberian albumin karena akan mempercepat keluarnya bilirubin dari
ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin lebih mudah
dikeluarkan dengan transfuse tukar.
d. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi,untuk mencegah
efek cahaya berlebihan dari sinar yang ditimbulkan dan dikhawatirkan
8
akan merusak retina. Terapi ini juga digunakan untuk menurunkan
kadar bilirubin serum pada neonatus dengan hiperbilirubin jinak
hingga moderat.
e. Terapi transfuse,digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin yang
tinggi.
f. Terapi obat-obatan,misalnya obat phenorbarbital/luminal untuk
meningkatkan bilirubin di sel hati yang menyebabkan sifat indirect
menjadi direct, selain itu juga berguna untuk mengurangi timbulnya
bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hari.
g. Menyusui bayi dengan ASI
h. Terapi sinar matahari
3. Tindak lanjut
9
2) Riwayat kesehatan keluarga
3) Riwayat kehamilan
c. Pemeriksaan Fisik
1) KU : biasanya lesu, biasanya letargi coma
2) TTV
TD : -
N : biasanya 120-160x/i
R : biasanya 40x/i
S : biasanya 36,5 – 37 ºC
10
4) Kepala, mata dan leher
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ikterik Neonatus Berhubungan dengan Penurunan berat badan
b. Hipertermi Berhubungan dengan Terpapar Lingkungan Panas
c. Gangguan Integritas Kulit/Jaringan Berhubungan dengan Perubahan
Pigmentasi
11
3. Intervensi Keperawatan
NO Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI
1 Ikterik Neonatus Setelah dilakukan tindakan 1. Fototerapi Neonatus
Berhubungan dengan keperawatan selama 3x4 a. Monitor ikterik pada
Penurunan berat badan jam diharapkan ikterik skleradan kulit bayi
pada bayi bekurang b. Identifikasi kbutuhan
KH cairan sesuai dengan usia
1. Elastisitas :Menurun gestasi dan berat badan
Menjadi Sedang (1-3) c. Monitor Suhu tubuh dan
2. Pigmentasi dan tanda vital setiap 4 jam
Abnormal :Meningkat sekali
menjadi cukup d. Monitor Efek Samping
menurun (1-4) fototerapi
3. abrasi Kornea : e. Siapkan lampu fototerapi
Meningkat menjadi dan inkubator atau kotak
Cukup menurun (1-4) bayi
4. Suhu kulit: Membruk f. Lepas kan pakaian
menjadi Cukup bayi,kecuali popok
menurun (1-4) g. Beri penutup mata pada
5. Berat Badan : bayi
Memburuk mejadi h. Ukur jarak antara lampu
sedang(1-3) dan permukaan kulit bayi
i.
2. Hipertermi Berhubungan Setealah dilakukan 1. Regulasi Temprature
dengan Terpapar tindakan keperawatan a. Monitor suhu bayi sampai
Lingkungan Panas selama 3x24 jam stabil
diharapkan suhu tubuh b. Monitor suhu tu h anak tiap
bayi menurun 2 jam
KH c. Monitor warna kulit dan
12
1. Suhu Tubuh : sahu kulit
Meningkat menjadi d. Monitor dan catat tanda
Cukup Menurun(1-4) dan gejala hipertermi
2. Suhu kulit : Meningkat e. Pasang alat kontinu,jika
menjadi Cukup perlu
menurun (1-4) f. Tingkatkan asupan cairan
3. Pengisian kapiler : dan nutrisi yang adekuat
Meningkat menjadi g. Pertahankan kelembaban
Cukup Menurun (1-4) inkubator 50% atau lebih
4. Frekuensi Nadi : untuk mengurangi
Meningkat menjadi kehilangan panas karena
Cukup menurun(1-4) evaporasi
h. Sesuaikan suhu lingkungan
dengan kebutuhan pasien
i. Kolbaorasi pemberian
antipiretik,jika perlu
13
3. Suhu kulit: Membruk alergik pada kulit sensitif
menjadi Cukup f. Anjurkan mengunggunkan
menurun (1-4) pelembab
g. Anjurkan minum air yang
cukup
h. Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
i. Anjurkan menghindari
suhu ekstrim
j. Anjurkan mandi
menggunakan sabun
secukupnya
14
perkembangan keaktifan
pengobatan
g. Anjurkan mengkonsumsi
obat sesuai indikasi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
15
Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma
bilirubin 2 stansar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan
umur atau lebih dari presentil 90.Hiperbilirubinemia dapat disebabkan proses
fisiologis atau patologis atau kombinasi keduanya. Hiperbilirubinemia
menyebabkan neonatus terlihat berwarna kuning, keadaan ini timbul akibat
akumulasi pigmen bilirubin.Tanda dan gejala yang muncul antara lain
Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa,Perut
membuncit dan pembesaran pada hati,Pada permulaan tidak jelas, yang
tampak mata berputar-putar,Letargik (lemas), kejang, tidak mau
menghisap,Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental,Bila bayi hidup
pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus, kejang,
stenosis yang disertai ketegangan otot
B. Saran
Dengan adanya makalah diharapkan mahasiswa,parawat da masyarakat
dapat mengerti tentang hiperbilirubinemia yang dapat terjadi pada bayi baru
lahir atau bayi dengan berat badan rendah (BBLR)
DAFTAR PUSTAKA
16
Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter Pratama.
Jakarta.
Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.
17