Anda di halaman 1dari 76

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

HIPERBILIRUBIN

Disusun oleh :

Maryam latuconsina

1490121127

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XXVII

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL BANDUNG

2021/2022
A. PENGERTIAN
` Peningkatan kadar bilirubin serum dihubungkan dengan hemolisis sel darah
merah dari bilirubin yang tidak terkonjugasi dari usus kecil, yang ditandai dengan
joundice pada kulit, sklera mukosa, dan urine. (Mitayani, 2012 : 191)
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus kearah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin, bila kadar bilirubin
tidak dikendalikan , (Mansjoer,2008)
Hiperbiliruin adalah istilah yang dipakai untuk icterus neonatorum setelah ada
hasil laboratorium yang menunjukan peningkatan kadar serum bilirubin.(Iyan,2009)
B. ANATOMI FISIOLOGI
UJI KRAMER
Menurut Kramer, ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Untuk penilaian
ikterus, Kremer membagi tubuh bayi baru lahir dalam lima bagian yang di mulai dari
kepala dan leher, dada sampai pusat, pusat bagian bawah sampai tumit, tumit pergelangan
kaki dan bahu pergelangan tangan dan kaki serta tangan termasuk telapak kaki dan
telapak tangan.
Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk di tempat yang tulangnya
menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut, dan lain lain. Kemudian penilaian
kadar bilirubin dari tiap tiap nomor di sesuaikan dengan angka rata-rata dalam gambar.
Cara ini juga tidak menunjukkan intensitas ikterus yang tepat di dalam plasma bayi baru
lahir. Nomor urut menunjukkan arah meluasnya ikterus.
Tabel. Derajat ikterus pada neonatus menurut kramer

Derajatikteru Perkiraankadarbilirubi
Daerah icterus
s 1 n
I Kepaladanleher 5,0 mg%
II Sampaibadanatas (di 9,0 mg%
atasumbilikus)
III Sampaibadanbawah (di 11,4 mg/dl
bawahumbilikus)
hinggatungkaiatas (di
ataslutut)
IV Sampailengan, 12,4 mg/dl
tungkaibawahlutut
V Sampaitelapaktanganda 16,0 mg/dl
n kaki
Istilah bilirubin ensefalopati lebih menunjukkan kepada manifestasi klinis yang
mungkin timbul akibat efek toksis bilirubin pada system syaraf pusat yaitu basal ganglia
dan pada berbagai nuclei batang otak. Sedangkan istilah kern ikterus adalah perubahan
neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak
terutama di ganglia basalis, pons, dan serebelum.

1. Ikterus Fisiologis.
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak
mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau
mempunyai potensi menjadi “kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada
bayi. Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang
memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Timbul pada hari kedua - ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup
bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
e. Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
f. Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan
patologis tertentu.
Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubinemia dengan
karakteristik sebagai berikut :
1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam.
3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus < bulan dan 12,5 mg% pada
2
neonatus cukup bulan.
4) Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G6PD dan
sepsis).
5) Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia, hipoksia,
sindrom gangguan pernafasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas
darah.
2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia.
Icterus patologis adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin dalam darah
mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau
tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang
patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai 12 mg%
pada cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan
15 mg%.
3. Kern Ikterus.
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama
pada korpus striatum, talamus, nucleus subtalamus, hipokampus, nukleus merah, dan
nukleus pada dasar ventrikulus IV.
Kern ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus cukup
bulan dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg%) dan disertai penyakit hemolitik
berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus secara klinis
berbentuk kelainan syaraf simpatis yang terjadi secara kronik.

C. ETIOLOGI
Meurut Haws Paulette (2007) penyebab hiperbilirubin yaitu:
1. Hemolysis pada inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidak sesuaian golongan
darah ibu dan anak pada golongan rhesus dan ABO
2. Gangguan konjugasi bilirubin
3. Rusaknya sel-sel hepar, obstruksi hepar
4. Pebentukan bilirubin yang berlebihan
5. Keracunan obat (hemolysis kimia : salsilat, kortiko steroid, kloramfenikol)
6. Bayi dari ibu diabetes, jaundice ASI
7. Penyakit hemolitik yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah merah.
Disebut juga icterus hemolitik

3
8. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan, misalnya
hiperbilirubin atau karena pengaruh obat-obatan.
9. Bayi prematur, hipoksia, BBLR dan kelainan system syaraf pusat akibat trauma
ifeksi
10. Gangguan fungsi hati (infeksi) yang dissebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti : infeksi
toxoplasma,shypilis.

D. Patofisologi
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari pengrusakan sel
darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya kan masuk sirkulasi, diimana
hemoglobin pecah menjadi heme dan globin. Gloobin {protein} digunakan kembali oleh
tubuh sedangkan heme akan diruah menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan
albumin.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin
pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi,
meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi
enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y
terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia,
ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi
menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan
saluran empedu intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak.
Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang
memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar
darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati
biliaris. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus
sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat
keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan
susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel
Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran
Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z
4
berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat
toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek
yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan
terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar
darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut kernikterus. Pada umumnya dianggap
bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin
Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak
ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah
melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan BBLR, hipoksia, dan
hipoglikemia.
E. PATHWAY

Hemoglobin

Hem
globin

Biliverdin Fe co

Peningkatan destruksi eritrosit (gangguan konjugasi bilirubin/ gg transport


bilirubin/peningkatan siklus entero hepatik ) Hb dan eritrosit abnormal

Pemecahan berlebihan / bilirubin yang tidak diberikan dengan


albumin

Suplay bilirubin melebihi kemampuan hepar

Hepar tidak mampu melakukan konjugasi

Sebagian masuk kembali ke siklus entero


hepatik

Peningkatan bilirubin unconjugasi dalam darah pengeluarana


meconium terlambat / obstruksi usus tinja berwarna pucat

Gangguan Ikterus pada sklera , leher dan badan . peningkatan bilirubin


intregritas kulit indirect > 12 mg dl

Indikasi fototerapi

Sinar dengan intensitas tinggi

Resti Injury Kurang Volume gg.suhu tubuh


Cairan tubuh
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium.
a. Test Coomb pada tali pusat BBL
Hasil positif test Coomb indirek menunjukkan adanya antibody Rh-positif,
anti-A, anti-B dalam darah ibu. Hasil positif dari test Coomb direk
menandakan adanya sensitisasi ( Rh-positif, anti-A, anti-B) SDM dari
neonatus.
b. Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi incompatibilitas ABO.
c. Bilirubin total.
- Kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5 mg/dl yang
mungkin -dihubungkan dengan sepsis.
- Kadar indirek (tidak terkonjugasi) tidak boleh melebihi 5 mg/dl dalam 24
jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 1,5
7 tegantung pada berat badan.
mg/dl pada bayi praterm
d. Protein serum total
Kadar kurang dari 3,0 gr/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan terutama
pada bayi praterm.
e. Hitung darah lengkap
- Hb mungkin rendah (< 14 gr/dl) karena hemolisis.
- Hematokrit mungin meningkat (> 65%) pada polisitemia, penurunan (<
45%) dengan hemolisis dan anemia berlebihan.
f. Glukosa
Kadar dextrostix mungkin < 45% glukosa darah lengkap <30 mg/dl atau test
glukosa serum < 40 mg/dl, bila bayi baru lahir hipoglikemi dan mulai
menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam lemak.
g. Daya ikat karbon dioksida
Penurunan kadar menunjukkan hemolisis
h. Meter ikterik transkutan
Mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan bilirubin serum.
i. Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4
hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis.
j. Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl antara 5-7
hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari 14mg/dl tidak fisiologis
k. Smear darah perifer
Dapat menunjukkan SDM abnormal/ imatur, eritroblastosis pada penyakit RH
atau sperositis pada incompabilitas ABO
l. Test Betke-Kleihauer
Evaluasi smear darah maternal tehadap eritrosit janin.
2. Pemeriksaan radiology
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan diafragma
kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma
3. Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra
hepatic.
4. Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar seperti
untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain itu juga
untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.

G. Penatalaksanaan
1. Tindakan umum
a. Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamil, mencegah
truma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru lahir yang dapat
menimbulkan ikhterus, infeksi dan dehidrasi.
b. Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai dengan
kebutuhan bayi baru lahir.
c. Imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat.
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan
Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek
dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :
a. Menghilangkan Anemia
b. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
c. Meningkatkan Badan Serum Albumin
d. Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi
Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
1) Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi
Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya
dengan intensitas yang tinggi akan menurunkan Bilirubin dalam kulit.
Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi
Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi
jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang
disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah
melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan
Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu
dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses
konjugasi oleh Hati Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan
peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab
kekuningan dan hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5
mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus
di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuan
mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama
pada bayi resiko tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
2. Tranfusi Pengganti / Tukar
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
b. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
c. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
d. Tes Coombs Positif.
e. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
f. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
g. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
h. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
i. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
- Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan)
terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
- Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
- Menghilangkan Serum Bilirubin
- Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan
dengan Bilirubin
- Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera
(kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak
mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar
Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai
stabil.
I. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas pasien dan keluarga
2. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Kehamilan
Kurangnya antenatal care yang baik. Penggunaan obat – obat yang
meningkatkan ikterus ex: salisilat sulkaturosic oxitosin yang dapat mempercepat
proses konjungasi sebelum ibu partus.
b. Riwayat Persalinan
Persalinan dilakukan oleh dukun,
10 bidan, dokter. Atau data obyektif ; lahir
prematur/kurang bulan, riwayat trauma persalinan, hipoksia dan asfiksia
c. Riwayat Post natal
Adanya kelainan darah, kadar bilirubin meningkat kulit bayi tampak kuning.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Seperti ketidak cocokan darah ibu dan anak polisitemia, gangguan saluran cerna
dan hati (hepatitis)
e. Riwayat Pikososial
Kurangnya kasih sayang karena perpisahan, perubahan peran orang tua
f. Pengetahuan Keluarga
Penyebab perawatan pengobatan dan pemahan ortu terhadap bayi yang ikterus.
3. Pengkajian Kebutuhan Dasar manusia
a. Aktivitas / Istirahat
Letargi, malas.
b. Sirkulasi
Mungkin pucat menandakan anemia.
c. Eliminasi
Bising usus hipoaktif. Pasase mekonium mungkin lambat. Feses mungkin
lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin. Urin gelap pekat; hitam
kecoklatan (sindrom bayi bronze)
d. Makanan / Cairan
Riwayat perlambatan / makan oral buruk, mungkin lebih disusui daripada
menyusu botol. Pada umumnya bayi malas minum (reflek menghisap dan
menelan lemah sehingga BB bayi mengalami penurunan). Palpasi abdomen
dapat menunjukkan pembesaran limfa, hepar
e. Neuro sensori
Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang parietal
yang berhubungan dengan trauma kelahiran / kelahiran ekstraksi vakum. Edema
umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin ada dengan
inkompatibilitas Rh berat. Kehilangan refleks Moro mungkin terlihat.
Opistotonus dengan kekakuan lengkung punggung, fontanel menonjol, menangis
lirih, aktivitas kejang (tahap krisis)
f. Pernafasan
Riwayat asfiksia
g. Keamanan
Riwayat positif infeksi / sepsis neonates. Dapat mengalami ekimosis berlebihan,
ptekie, perdarahan intracranial. Dapat tampak ikterik pada awalnya pada daerah
wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom
bayi Bronze) sebagai efek samping fototerapi.
h. Seksualitas
Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi dengan retardasi
pertumbuhan intrauterus (LGA), seperti bayi dengan ibu diabetes. Trauma
kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stress dingin, asfiksia, hipoksia,
asidosis, hipoglikemia. Terjadi lebih sering pada bayi pria dibandingkan
perempuan.
i. Penyuluhan / Pembelajaran
Dapat mengalami hipotiroidisme congenital, atresia bilier, fibrosis kistik. Faktor
keluarga; missal riwayat hiperbilirubinemia pada kehamilan sebelumnya,
penyakit hepar, fibrosis kristik, kesalahan metabolisme saat lahir (galaktosemia),
diskrasias darah (sferositosis, defisiensi gukosa-6-fosfat dehidrogenase.
Faktor ibu, seperti diabetes; mencerna obat-obatan (missal, salisilat, sulfonamide
oral pada kehamilan akhir atau nitrofurantoin (Furadantin); inkompatibilitas
Rh/ABO; penyakit infeksi (misal, rubella, sitomegalovirus, sifilis,
toksoplamosis).
Faktor penunjang intrapartum, seperti persalinan praterm, kelahiran dengan
ekstrasi vakum, induksi oksitosin, perlambatan pengkleman tali pusat, atau
trauma kelahiran.
ANALISA DATA
NO DATA ETIOLOGI MASALAH

DS : - Gangguan integritas kulit

Do :

1) Nyeri

2) Perdarahan

3) Kemerahan

4) Hermatoma
DS : -

DO :

Ikterus pada sklera , leher dan badan . peningkatan


1. Frekuensi nadi meningkat bilirubin indirect > 12 mg dl

2. Nadi teraba lemah

3. Tekanan darah menurun Indikasi fototerapi

4. Tekanan Nadi menyempit


Sinar dengan intensitas tinggi
5. Turgor kulit menyempit

6. Membran mukosa kering

7. Voluem urin menurun


hipovolemia
8. Hemtokrit meningkat

DS : - Risiko cedera
Ikterus pada sklera , leher dan badan . peningkatan
bilirubin indirect > 12 mg dl
DO :
Indikasi fototerapi

1. Ketidaknormalan profil darah Sinar dengan intensitas tinggi

2. Perubahan orientasi afektif


Resiko cedera
3. Perubahan sensasi
4. Disfungsi autoimun

5. Disfungsi biokimia

6. Hipoksia jaringan

7. Kegagalan mekanisme

pertahanan tubuh

8. Malnutrisi

9. Perubahan fungsi psikomotor

10. Perubahan fungsi kognitif

DS : - Ikterus pada sklera , leher dan badan . peningkatan Hipertermi


bilirubin indirect > 12 mg dl
DO :
Indikasi fototerapi
1. Suhu tubuh diatas batas normal
2. Kulit merah Sinar dengan intensitas tinggi

3. Kejang
4. Takikardi
hipertermi
5. Takipnea
6. Kulit terasa hangat
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan integritas kulit b.d. efek dari phototerapi.
2. Hipovolemia b.d. phototerapi.
3. Resiko cedera b.d. meningkatnya kadar bilirubin toksik dan komplikasi berkenaan phototerapi.
4. (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar lingkungan panas.
Rencana Keperawatan
NO Diagnosa Keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional
Gangguan integritas Setelah dilakukan Observasi Observasi
tindakan selama 3x24
kulit b.d. efek dari
jam diharapkan  Identifikasi penyebab
phototerapi gangguan integritas  Untuk penyebab
gangguan integritas kulit gangguan integritas kulit
kulit dapat teratasi
(mis. Perubahan (mis. Perubahan sirkulasi,
dengan kriteria hasil :
sirkulasi, perubahan perubahan status nutrisi,
status nutrisi, peneurunan kelembaban,
peneurunan suhu lingkungan ekstrem,
penurunan mobilitas)
kelembaban, suhu
lingkungan ekstrem, Terapeutik
penurunan mobilitas)
 tirah baring atau bedrest
Terapeutik yaitu suatu keadaan dimana
1.
pasien berbaring di tempat
 Ubah posisi setiap 2 jam tidur selama hampir 24 jam
jika tirah baring setiap harinya dengan
 Lakukan pemijatan pada tujuan untuk
area penonjolan tulang, meminimalkan fungsi
semua sistem orang pasien
jika perlu
 Perineal
 Bersihkan perineal
hygiene merupakan
dengan air hangat, tindakan untuk menjaga
terutama selama periode kebersihan serta kesehatan
diare organ reproduksi.
 Gunakan produk  Agar dapat
berbahan petrolium atau mempertahankan turgor
minyak pada kulit kulit

kering  Agar mempertahankan
 Gunakan produk kelembapan kulit yang
berbahan ringan/alami sensitif
dan hipoalergik pada
Edukasi
kulit sensitif
 Hindari produk  Mengontrol Produksi
berbahan dasar alkohol Sebum Berlebih dan
pada kulit kering mempertahankan
2. Edukasi kelembaban kulit
 Anjurkan menggunakan  Konsumsi air yang cukup
pelembab (mis. Lotin, dapat memingkatkan
serum) kelebaban kulit
 Anjurkan minum air
yang cukup
 Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
 Anjurkan meningkat
asupan buah dan saur
 Anjurkan menghindari
terpapar suhu ektrime
 Anjurkan menggunakan
tabir surya SPF minimal
30 saat berada diluar
rumah
Hipovolemia b.d. Setelah dilakukan 1. Observasi
tindakan selama 3x24  Periksa tanda dan gejala
phototerapi.
jam diharapkan hipovolemia (mis.
hipovolemia dapat
frekuensi nadi
teratasi dengan kriteria
hasil : meningkat, nadi teraba
lemah, tekanan darah
menurun, tekanan nadi
menyempit,turgor kulit
menurun, membrane
mukosa kering, volume
urine menurun,
hematokrit meningkat,
haus dan lemah)

2.
 Monitor intake dan
output cairan
2. Terapeutik
 Hitung kebutuhan cairan
 Berikan posisi modified
trendelenburg
 Berikan asupan cairan
oral
3. Edukasi
 Anjurkan
memperbanyak asupan
cairan oral
 Anjurkan menghindari
perubahan posisi
mendadak
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
cairan IV issotonis (mis.
cairan NaCl, RL)
 Kolaborasi pemberian
cairan IV hipotonis
(mis. glukosa 2,5%,
NaCl 0,4%)
 Kolaborasi pemberian
cairan koloid (mis.
albumin, plasmanate)
 Kolaborasi pemberian
produk darah

Resiko cedera b.d. Setelah dilakukan Observasi Observasi


meningkatnya kadar
tindakan selama 3x24  Identifikasi area  Untuk mengetahui agar
jam diharapkan risiko lingkungan yang
bilirubin toksik dan cedera dapat teratasi tidak terjadi cedera pada
berpotensi menyebabkan
dengan kriteria hasil :
komplikasi berkenaan cedera pasien.
phototerapi  Identifikasi obat yang  Untuk mengetahui obat-
berpotensi menyebabkan
3. obat yang dapat beresiko
cedera
menyebabkan cedera pda
pasien
Terapeutik Terapeutik
 Sosialisasikan pasien dan  Agar supaya baik pasien
keluarga dengan
maupun keluarga dapat
lingkungan ruang rawat
(mis. penggunaan telepon, tahu menggunakan
tempat tidur, penerangan fasilitas yang tersedia
ruangan dan lokasi kamar
dengn baik
mandi)
 Pastikan barangbarang  Untuk mencegah
pribadi mudah dijangkau terjadinya cedera pada
 Pertahankan posisi tempat
pasien
tidur di posisi terendah
saat digunakan  Agar psien tetap berada
 Gunakan pengaman pada posisinya dengan
tempat tidur sesui dengan baik untuk mencegah
kebijakan fasilits
terjadinya cedera Agar
pelayanan kesehatan
 Diskusi mengenai latihan supaya pasien merasa
dan terapi fisik yang aman dan mencegah
diperlukan
terjadi resiko jatuh
Edukasi
 Jelaskan alasan intervensi  Untuk mengetahui terapi
pencegahan jatuh ke fisik yang baik digunakan.
pasien dan keluarga, Edukasi
 Agar pasien dan keluarga
tahu alasan intervensi untuk
menghindari resiko jatuh.
(Hipertermia) Setelah dilakukan 1. Observasi Observasi
tindakan selama 3x24  Identifkasi penyebab
berhubungan dengan
jam diharapkan hipertermi (mis. o Untuk mengetahui
terpapar lingkungan hipertermi dapat penyebab
dehidrasi terpapar
teratasi dengan kriteria
panas lingkungan panas hipertermi (mis.
hasil :
penggunaan incubator) dehidrasi terpapar
 Monitor suhu tubuh lingkungan panas
 Monitor kadar elektrolit penggunaan
 Monitor haluaran urine incubator)
2. Terapeutik o Untuk mengeahui
 Sediakan lingkungan suhu tubuh
yang dingin o Untuk mengeahui
 Longgarkan atau kadar elektrolit
lepaskan pakaian o Untuk mengetahui
4. haluaran urine
 Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
 Lakukan pendinginan Terapeutik :
eksternal (mis. selimut
hipotermia atau kompres  Untuk memberikan rasa
nyaman pada pasien
dingin pada dahi, leher,
 Dengan melonggarkan
dada, abdomen,aksila) pakaian atau melepaskan
 Hindari pemberian dapat meminimalisir rasa
antipiretik atau aspirin panas yang dirasakan
 Batasi oksigen, jika  Dapat menurunkan suhu
perlu tubuh pasien
3. Edukasi  Menurunkan suhu tubuh
 Anjurkan tirah baring pasien dengan teknik
nonfarmakologis
4. Kolaborasi  antipiretik adalah
 Kolaborasi cairan dan golongan obat berfungsi
elektrolit intravena, jika sebagai antidemam
sekaligus antinyer
perlu
 tirah baring atau bedrest
yaitu suatu keadaan
dimana pasien berbaring
di tempat tidur selama
hampir 24 jam setiap
harinya dengan tujuan
untuk meminimalkan
fungsi semua sistem orang
pasien

kolaborasi

 Infus cairan
intravena (intravenous fl
uids infusion) adalah
pemberian
sejumlah cairan ke dalam
tubuh, melalui sebuah
jarum, ke dalam pembuluh
vena (pembuluh balik)
untuk menggantikan
kehilangan cairan atau
zat-zat makanan dari
tubuh
DAFTAR PUSTAKA

Hudak&Gallo, 2005. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC

Price, Wilson, 2006. Patolofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC

Smeltzer, BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 3 ed.
Philadelpia: LWW Publisher

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA international Nursing Diagnoses:
Definitions & classification, 2015-2017. Oxford : Wiley Blackwell.

Lewis, SL., Dirksen, SR., Heitkemper, MM, and Bucher, L.(2014).Medical surgical Nursing.
Mosby: ELSIVER

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Edisi
1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

TENSION PNEUMOTHORAKS

Disusun oleh :

Maryam Latuconsina

1490121127

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XXVII

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL BANDUNG

2021/2022
1. Pengertian
Tension pneumothoraks adalah kondisi medis darurat ketika udara
terperangkap di rongga pleura antara paru-paru kiri dan kanan. Seluruh
bagian dari paru-paru dapat kolaps sehingga dapat menyebabkan
penurunan fungsi jantung dan organ tubuh lain. Kondisi ini akan sangat
berbahaya ketika udara terus menerus masuk ke dalam rongga pleura akan
dapat menekan paru-paru dan jantung sehingga dapat menyebabkan henti
jantung (Malik, 2020).
2. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi paru-paru

Paru adalah stuktur elastic yang dibungkus dalam sangkar toraks, yang
merupakan suatu bilik udara kuat dengan dinding yang dapat menahan
tekanan. Ventilasi membutuhkan gerakan dinding sangkar toraks dan
dasarnya, yaitu diafragma. Efek dari gerakan ini adalah secara
bergantian meningkatkan dan menurunkan kapasitas dada. Ketika
kapasitas dalam dada meningkat, udara masuk melalui trakea
(inspirasi), karena penurunan tekanan di dalam, dan mengembangkan
paru/ ketika dinding dada dan diafragma kembali ke ukurannya semula
(ekspirasi), paru-paru yang elastis tersebut mengempis dan mendorong
udara keluar melalui bronkus dan trakea. Fase inspirasi dari
pernapasan normalnya membutuhkan energi, fase ekspirasi normalnya
pasif. Inspirasi menempati sepertiga dari siklus pernapasan, ekspirasi
menempati dua pertiganya (Syaifudin, 2011).
b. Pleura
Bagian terluar paru-paru dikelilingi oleh membran halus, licin yaitu
pleura yang juga meluas untuk membungkus dinding anterior toraks
dan permukaan superior diafragma. Pleura periatalis melapisi toraks
dan pleura viseralis melapisi paru-paru. Antara kedua pleura
initerdapat ruang yang disebut spasium pleura yang mengandung
sejumlah kecil cairan yang melicinkan permukaan dan memungkinkan
keduanya bergeser dengan bebas selama ventilasi.
c. Mediastinum
Mediastinum adalah dinding yang memabagi rongga toraks menjadi
dua bagian. Mediastinum terbentuk dari dua lapisan pleura. Semua
struktur toraks kecuali paru-paru terletak antara kedua lapisan pleura.
d. Bronkus dan bronkiolus
Terdapat beberapa divisi bronkus didalam setiap lobus paru. Pertama
adalah bronkus lobaris (tiga pada paru kanan dan dua pada paru kiri).
Bronkus lobaris dibagi menjadi bronkus segmental (10 pada paru
kanan dan 8 pada paru kiri), yang merupakan struktur yang dicari
ketika memilih posisi drainage postural yang paling efektif untuk
pasien tertentu. Bronkus segmental kemudian dibagi lagi menjadi
bronkus subsegmental. Bronkus ini dikelilingi oleh jaringan ikat yang
memiliki arteri, limfatik, dan saraf.

Bronkus subsegmental kemudian membentuk percabangan menjadi


bronkiolus, yang tidak mempunyai kartilago dalam dindingnya.
Patensi bronkiolus seluruhnya tergantung pada recoil elastik otot polos
sekelilinginya dan pada tekanan alveolar. Brokiolus mengandung
kelenjar submukosa, yang memproduksi lendir yang membentuk
selimut tidak terputus untuk lapisan bagian dalam jalan napas. Bronkus
dan bronkiolus juga dilapisi oleh sel-sel yang permukaannya dilapisi
oleh “rambut” pendek yang disebut silia. Silia ini menciptakan gerakan
menyapu yang konstan yang berfungsi untuk mengeluarkan lendir dan
benda asing menjauhi paru menuju laring, (Syaifudin. 2011).

Bronkiolus kemudian membentuk percabangan menjadi bronkiolus


terminalis, yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus
terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori, yang dianggap
menjadi saluran transisional antara jalan udara konduksi dan jalan
udara pertukaran gas. Sampai pada titik ini, jalan udara konduksi
mengandung sekitar 150 ml udara dalam percabangan trakeobronkial
yang tidak ikut serta dalam pertukaran gas. Ini dikenal sebagai ruang
rugi fisiologik. Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam
duktus alveolar dan sakus alveolar kemudian alveoli. Pertukaran
oksigen dan karbon dioksida terjadi dalam alveoli, (Syaifudin. 2011).
e. Alveoli
Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli, yang tersusun dalam
kluster antara 15 sampai 20 alveoli. Begitu banyaknya alveoli ini
sehingga jika mereka bersatu untuk membentuk satu lembar, akan
menutupi area 70 meter persegi (seukuran lapangan tennis). Terdapat
tiga jenis sel-sel alveolar. Sel-sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang
membentuk dinding alaveolar. Sel-sel alveolar tipe II, sel-sel yang
aktif secara metabolic, mensekresi surfaktan, suatu fosfolid yang
melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps.
Sel alveoli tipe III adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagositis
yang besar yang memakan benda asing (mis., lender, bakteri) dan
bekerja sebagai mekanisme pertahanan yang penting, Selama inspirasi,
udara mengalir dari lingkungan sekitar ke dalam trakea, bronkus,
bronkiolus, dan alveoli. Selama ekspirasi, gas alveolar menjalani rute
yang sama dengan arah yang berlawanan. Faktor fisik yang mengatur
aliran udara masuk dan keluar paru-paru secara bersamaan disebut
sebagai mekanisme ventilasi dan mencakup varians tekanan udara,
resistensi terhadap aliran udara, dan kompliens paru. Udara mengalir
dari region yang tekanannya tinggi ke region dengan tekanan lebih
rendah. Selama inspirasi, gerakan diafragma dan otot-otot pernapasan
lain memperbesar rongga toraks dan dengan demikian menurunkan
tekanan dalam toraks sampai tingkat di bawah atmosfir. Karenanya,
udara tertarik melalui trakea dan bronkus ke dalam alveoli. Selama
ekspirasi normal, diafragma rileks, dan paru mengempis,
mengakibatkan penurunan ukuran rongga toraks. Tekanan alveolar
kemudian melebihi tekanan atmosfir, dan udara mengalir dari paru-
paru ke dalam atmosfir, (Syaifudin. 2011)

3. Etiologi
Etiologi tension pneumothoraks yang paling sering terjadi adalah karena
iatrogenik atau berhubungan dengan trauma (Corwin, 2009), yaitu sebagai
berikut :
a. Trauma benda tumpul atau tajam, meliputi gangguan salah satu pleura
visceral atau parietal dan sering dengan patah tulang rusuk.
b. Pemasangan kateter vena sentral (ke dalam pembuluh darah pusat),
biasanya vena subclavia atau vena jugular interna.
c. Komplikasi ventilator, pneumothoraks spontan, pneumothoraks
sederhana ke tension pneumothoraks.
d. Ketidakberhasilan mengatasi pneumothoraks terbuka ke
pneumothoraks sederhana dimana fungsi pembalut luka sebagai 1-way
katup.
e. Akupuntur, baru-baru ini telah dilaporkan dapat mengakibatkan
pneumothoraks.
4. Patofisiologi
Tension pneumotoraks terjadi ketika udara dalam rongga pleura memiliki
tekanan yang lebih tinggi daripada udara dalam paru sebelahnya.Udara
memasuki rongga pleura dari tempat ruptur pleura yang bekerja seperti
katup satu arah. Udara dapat memasuki rongga pleura pada saat inspirasi
tetapi tidak bisa keluar lagi karena tempat ruptur tersebut akan menutup
pada saat ekspirasi. Pada saat inspirasi akan terdapat lebih banyak udara
lagi yang masuk dan tekanan udara mulai melampaui tekanan
barometrik.Peningkatan tekanan udara akan mendorong paru yang dalam
keadaan recoiling sehingga terjadi atelektasis kompresi. Udara juga
menekan mediastinum sehingga terjadi kompresi serta pergeseran jantung
dan pembuluh darah besar. Udara tidak bisa keluar dan tekanan yang
semakin meningkat akibat penumpukan udara ini menyebabkan kolaps
paru.Ketika udara terus menumpuk dan tekanan intrapleura terus
meningkat, mediastinum akan tergeser dari sisi yang terkena dan aliran
balik vena menurun.Keadaan ini mendorong jantung, trakea, esofagus dan
pembuluh darah besar berpindah ke sisi yang sehat sehingga terjadi
penekanan pada jantung serta paru ke sisi kontralateral yang sehat
(Sudoyo, 2009).

Dalam keadaan normal pleura parietal dan visceral seharusnya dapat


dipertahankan tetap berkontak karena ada gabungan antara tekanan
intraprgleura yang negative dan tarikan kapiler oleh sejumlah kecil cairan
pleura. Ketika udara masuk ke ruang pleura factor-faktor ini akan hilang
dan paru di sisi cedera mulai kolaps, dan oksigenasi menjadi terganggu.
Jika lebih banyak udara yang memasuki ruang pleura pada saat inspirasi di
bandingkan dengan yang keluar pada saat ekspirasi akan tercipta efek bola
katup dan tekanan pleura terus meningkat sekalipun paru sudah kolaps
total dan akhirnya tekanan ini menjadi demikian tinggi sehingga
mendiastinum terdorong ke sisi berlawanan dan paru sebelah juga
terkompresi dan dapat menyebabkan hipoksia yang berat dapat timbul dan
ketika tekanan pleura meninggi dan kedua paru tertekan, aliran darah yang
melalui sirkulasi sentral akan menurun secara signifikan yang
mengakibatkan hipotensi arterial dan syok. (Kowalak, 2011).
5. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilaukan pada pasien untuk menentukan
mengalami cedera tension pneumothoraks sebagai berikut : (Simamora,
2020)
a. Pemeriksaan foto thorax AP (anterior-posterior)
Pemeriksaan tersebut dilakukan pada posisi pasien tidur terlentang
diatas meja pemeriksaan, kedua tangan disisi tbuh. Dengan film
diletakkan dibawah punggung dan arah sinar dari arah depan dada.
b. Analisis gas darah
Analisis gas darah (AGD) adalah prosedur pemeriksaan medis yang
bertujuan untuk mengukur jumlah oksigen dan karbondioksida dalam
darah.
c. Compoted Tomograph (CT) Scan
CT scan lebih sensitif dari radiografi dada dalam mengevaluasi adanya
pneumothoraks. CT scan digunakan untuk mendeteksi pneumothoraks
yang tidak terlihat pada foto rontgen dada.
6. Penatalaksanaan
a. Aspirasi jarum atau pemasangan selang dada
Aspirasi jarum atau pemasangan selang dada adalah tindakan yang
dilakukan untuk mengeluarkan kumpulan udara yang ada di rongga
pleura. Tindakan tersebut berupa :
1) Aspirasi jarum, yaitu menusukkan jarum ke dalam dada pasien
2) Pemasangan selang dada, yaitu dengan memasukkan selang
melalui sayatan di sela-sela tulang dada, sehigga udara bisa keluar
melalui selang
b. Tindakan nonbedah
Tindakan lanjutan yang dapat dilakukan jika paru-paru masih belum
mengembang dapat dilakukan tindakan lain yaitu dengan :
1) Mengiritasi pleura agar melekat ke dinding dada, sehingga udara
tidak bisa masuk lagi ke rongga pleura
2) Mengambil darah dari lengan pasien dan memasukkannya ke
selang dada untuk menyumbat kebocoran udara
3) Memasang katup satu arah di saluran napas melalui selang kecil
(bronkoskop) yang dimasukkan melalui tenggorokan, sehingga
paru-paru dapat mengembang dengan baik dan tidak ada lagi udara
yang bocor ke rongga pleura
c. Tindakan bedah
Tindakan bedah dilakukan jika metode penanganan lain tidak efektif
atau pneumothoraks kembali kambuh. Operasi dilakukan untuk
memperbaiki bagian paru-paru yang kolaps (Cunha, 2019).
7. Asuhan keperawatan
a. Pengkajian
1. Identitas
a. Identitas pasien: nama, umur, jenis kelamin, alamat pendidikan,
agama, bangsa
b. Identitas penanggung jawab: nama, umur, jenis kelamin, alamat
pendidikan, agama, bangsa, hubungan dengan pasien
2. Pengkajian primer
a) Airway
Kaji:
1) Perhatikan patensi airway.
2) Dengar suara napas.
3) Perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan
dinding dada
b) Breathing
Kaji
1) Periksa frekwensi napas
2) Perhatikan gerakan respirasi
3) Palpasi toraks
4) Auskultasi dan dengarkan bunyi napas
c) Circulation
Kaji
1) Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi
2) Periksa tekanan darah
3) Pemeriksaan pulse oxymetri
4) Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
d) Disability
Kaji
1) Tingkat kesadaran
2) Gerakan ekstremitas
3) GCS
4) Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya
3. Pengkajian sekunder
Pengkajian sekunder dilakukan dengan menggunakan metode
SAMPLE, yaitu sebagai berikut :
S : Sign and Symptom
Tanda gejala terjadinya tension pneumothoraks, yaitu ada jejas
pada thorak, Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi,
Pembengkakan lokal dan krepitasi pada saat palpasi, Pasien
menahan dadanya dan bernafas pendek, Dispnea, hemoptisis, batuk
dan emfisema subkutan, Penurunan tekanan darah
A : Allergies
Riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien. Baik alergi
obat-obatan ataupun kebutuhan akan makan/minum.
M : Medications
Pengobatan yang diberikan pada klien sebaiknya yang sesuai
dengan keadaan klien dan tidak menimbulka reaksi alergi.
Pemberian obat dilakukan sesuai dengan riwayat pengobatan klien.
P : Previous medical/surgical history.
Riwayat pembedahan atau masuk rumah sakit sebelumnya.

L : Last meal (Time)

Waktu klien terakhir makan atau minum.

E : Events /Environment surrounding the injury

Pengkajian sekunder dapat dilakukan dengan cara mengkaji data


dasar klien

a. Aktivitas / istirahat
Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
b. Sirkulasi
Takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3 atau S4 / irama
jantung gallop, nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya
penyimpangan mediastinal, tanda homman (bunyi rendah
sehubungan dengan denyutan jantung, menunjukkan udara
dalam mediastinum).
c. Psikososial
Ketakutan, gelisah.
d. Makanan / cairan
Adanya pemasangan IV vena sentral / infuse tekanan.
e. Nyeri / kenyamanan
Perilaku distraksi, mengerutkan wajah. Nyeri dada unilateral
meningkat karena batuk, timbul tibatiba gejala sementara batuk
atau regangan, tajam atau nyeri menusuk yang diperberat oleh
napas dalam.
f. Pernapasan
Pernapasan meningkat/takipnea, peningkatan kerja napas,
penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, ekspirasi
abdominal kuat, bunyi napas menurun/ hilang (auskultasi
mengindikasikan bahwa paru tidak mengembang dalam rongga
pleura), fremitus menurun, perkusi dada : hipersonor diatas
terisi udara, observasi dan palpasi dada : gerakan dada tidak
sama bila trauma, kulit : pucat, sianosis, berkeringat, mental:
ansietas, gelisah, bingung, pingsan. Kesulitan bernapas, batuk,
riwayat bedah dada / trauma : penyakit paru kronis, inflamasi /
infeksi paru (empiema / efusi), keganasan (mis. Obstruksi
tumor).

Head To Toe
1) Keadaan umum, kesadaran, BB, dan antropometri. Tidak ada
peruban yang berarti pada klien dari pengkajian ini.
2) Pemeriksaan tanda-tanda vital antara lain: tekanan darah yang
cenderung dibawah 120/80 mmHg, nadi menjadi lebih cepat,
respirasi juga cepat, suhu.
3) Kepala: inspeksi bentuk, kebersihan rambut dan kulit kepala, dan
nyeri tekan yang dirasakan atau adanya luka.lesi.
4) Telinga: dilihat bentuknya, kebersihan telinga, dan fungsi
pendengerannya.
5) Mata: dilihat kesimetrisan mata, dan kebersihan mata serta di test
mengenai reflek pupil mata, dan fungsi penglihatannya.
Konjungtiva akan anemis (pucat).
6) Hidung: dilihat kesimetrisan lubang hidung, apakah ada septum
atau tidak, kebersihan hidungnya dan bagaimana fungsi
penciumannya.
7) Mulut: dilihat bentuk mulutnya apakah ada kelainan atau tidak,
bagaimana mukosa bibir klien.
8) Leher: dilihat bentuk lehernya apakah ada deviasi trakea atau
tidak, apakah ada peningkatan JVP , apakah ada pembesaran
kelenjar tiroid atau KGB, dan bagaimana reflek menelannya
apakah baik atau tidak.
9) Dada: dilihat bagaimana bentuk dadanya simetris atau tidak,
bagaimana perkembangan dadanya sama atau tidak, di auskultasi
suara napas apakah normal (vesikuler), suara jantungnya apakah
normal S1 san S2 reguler (lup-dup) atau tidak.
10) Abdomen: dilihat bagaimana bentuk dari perutnya apakah datar
atau kembung, kemudian di auskultasi bising ususnya apakah
normal atau tidak, ada luka atau lesi, dan apakah ada nyeri tekan
atau tidak. Di palpasi apakah ada pembesaran limfa atau hati dan
apakah ada nyeri pada area ginjal atau tidak.
11) Genetalia: dikaji apakah ada kelainan atau tidak pada genetalia
klien, dan bagaimana kebersihan genetalia klien dapat dikaji
apabila klien bersedia untuk dikaji.
12) Integumen: dilihat keadaan kulit klien, bagaimana turgor
kulitnya, apakah ada luka atau lesi pada integumennya.
13) Ekstremitas atas dan bawah: dilihat kesimetrisannya apakah ada
kelainan atau tidak bagaimana fungsi dari anggota gerak
ektremitas atas klien apakah terdapat nyeri atau tidak dan
bagaimana kekuatan otot dari klien.
b. Analisa Data
Data Etiologi Masalah
Ds : Trauma dada Nyeri akut
- Mengeluh nyeri (D.0077)
Do : Mengakibatkan
- Tampak meringis resiko tinggi fraktur
- Gelisah iga multiple
- Frekuensi nadi
meningkat Robekan pada pleura
- Pola napas berubah viselaris dan dinding
alveolus

Membentuk fistula
yang mengalirkan
udara ke cavitas
pleura

Udara mengalir dari


alveolus melalui
fistula menuju cavita
pleura

Pergeseran
mediastinum

Hipersonor

Paru-paru dan organ


disekitarnya tertekan

Nyeri akut
Ds : Trauma dada Pola napas tidak
- Dispnea efektif (D.0005)
- Ortopnea Mengakibatkan
Do : resiko tinggi fraktur
- Penggunaan otot bantu iga multiple
pernapasan
- Fase ekspirasi Robekan pada pleura
memanjang viselaris dan dinding
- Pola napas abnormal alveolus
- Pernapasan cuping
hidung Membentuk fistula
yang mengalirkan
udara ke cavitas
pleura

Udara mengalir dari


alveolus melalui
fistula menuju cavita
pleura

Hiperekspansi
cavitas pleura oleh
peningkatan udara

Tekanan di cavum
pleura meningkat

colaps

Gangguan ventilasi
Kadar oksigen
menurun dan kadar
karbondioksida
meningkat

Pola nafas tidak


efektif
Ds : Trauma dada Gangguan
- Nyeri saat bergerak mobilitas fisik
Do : Mengakibatkan (D.0054)
- Kekuatan otot menurun resiko tinggi fraktur
- Gerakan terbatas iga multiple
- Fisik lemah
Robekan pada pleura
viselaris dan dinding
alveolus

Membentuk fistula
yang mengalirkan
udara ke cavitas
pleura

Udara mengalir dari


alveolus melalui
fistula menuju cavita
pleura

Hiperekspansi
cavitas pleura oleh
peningkatan udara
Tekanan di cavum
pleura meningkat

colaps

insisi di rongga
thorakal

pemasangan WSD

bedrest total

gangguan mobilitas
fisik
Ds : - Trauma dada Resiko infeksi (D.
Do : 0142)
- Efek prosedur invasif Mengakibatkan
- Kerusakan integritas resiko tinggi fraktur
kulit iga multiple

Robekan pada pleura


viselaris dan dinding
alveolus

Membentuk fistula
yang mengalirkan
udara ke cavitas
pleura

Udara mengalir dari


alveolus melalui
fistula menuju cavita
pleura

Hiperekspansi
cavitas pleura oleh
peningkatan udara

Tekanan di cavum
pleura meningkat

colaps

insisi di rongga
thorakal

pemasangan WSD

resiko infeksi

c. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (trauma) (D.0077)
2. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas (D.0005)
3. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri (D.0054)
4. Resiko infeksi b.d efek prosedur invasif (D.0142)
d. Perencanaan dan Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan & Kriteria Intervensi Rasional
Hasil
1 Nyeri akut b.d agen Tujuan jangka Observasi - Untuk mengetahui karakteristik
pencedera fisik panjang: - Identifikasi karakteristik nyeri (mis. nyeri yang dialami klien
(trauma) (D.0077) Setelah dilakukan Pencetus, pereda, kualitas, lokasi - Untuk menghindari konsumsi
tindakan keperawatan intensitas, frekuensi, durasi) obat yang membuat alergi pada
selama 3x24 jam - Identifikasi riwayat alergi obat klien
diharapkan tingkat - identifikasi kesesuaian jenis analgesik - Untuk menyesuaikan dengan
nyeri menurun. dengan tingkat keparahan nyeri tingkat keparahan nyeri klien
Tujuan jangka - monitor tanda-tanda vital sebelum dan - Untuk mengetahui kondisi
pendek: sesudah pemberian analgesik terkini klien
Setelah dilakukan - monitor efektifitas analgesik - Untuk mengetahui efektifitas
tindakan keperawatan Terapeutik analgesik yang digunakan
selama 1x24 jam - diskusikan jenis analgesik yang disukai, - Untuk mengetahui analgesik
diharapkan tingkat jika perlu yang sering digunakan klien
nyeri menurun dengan - pertimbangkan penggunaan infus - Untuk memperthankan kadar
kriteria hasil: kontinu atau bokus oploid dalam serum
1. frekuensi nasi - dokumentasikan respons terhadap efek - Untuk memantau efek
membaik analgesik dan efek yang tidak diinginkan analgesik
2. pola napas membaik Edukasi - Untuk memberikan informasi
3. keluhan nyeri - jelaskan efek terapi dan efek samping terkait efek terapi dan efek
menurun obat samping obat
4. meringis menurun Kolaborasi - Untuk mengurangi nyeri klien
5. gelisah menurun - kolaborasi pemberian dosis dan jenis
6. kesulitan tidur analgesik, sesuai indikasi
menurun

2 Pola napas tidak Tujuan jangka Observasi - Mengetahui adanya


efektif b.d hambatan panjang: - Monitor pola napas (frekuensi, ketidakefektifan pola napas
upaya napas Setelah dilakukan kedalaman, usaha napas) - Mengetahui adanya suara napas
(D.0005) tindakan keperawatan - Monitor bunyi napas tambahan tambahan
selama 3x24 jam (gurgling, mengi, wheezing, ronchi - Mengetahui adanya produksi
diharapkan pola napas kering) sputum berlebih
membaik. - Monitor sputum (jumlah, warna) - Mencegah hambatan jalan
Tujuan jangka Terapeutik napas
pendek: - Pertahankan kepatenan jalan napas - Mempermudah pernapasan
Setelah dilakukan dengan head-tilt chin-lift (jaw trust - Membuka jalan napas
tindakan keperawatan jika dicurigai trauma servikal) - Mengatasi keadaan hipoksemia
selama 1x24 jam - Posisikan semi fowler atau fowler
diharapkan pola napas - Keluarkan sumbatan
membaik dengan - Berikan oksigen
kriteria hasil: Edukasi
1. Dispnea menurun - Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari,
2. Penggunaan otot jika kontraindikasi
bantu pernapasan Kolaborasi
menurun - Kolaborasi pemberian bronkodilator,
3. Ortopnea menurun ekspektoran, mukolitik, jika perlu
4. Pernapasan cuping
hidung menurun
5. Frekuensi
pernapasan
membaik
6. Ekskursi dada
membaik
3 Gangguan mobilitas Tujuan jangka Observasi - Menentukan adanya keluhan
fisik b.d nyeri panjang: - Identifikasi adanya nyeri atau fisik
(D.0054) Setelah dilakukan keluhan fisik lainnya - Menentukan keterbatasan
tindakan keperawatan - Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
selama 3x24 jam pergerakan - Mengetahui adanya
diharapkan mobilitas - Monitor frekuensi jantung dan peningkatan frekuensi jantung
fisik meningkat. tekanan darah dan tekanan darah
Tujuan jangka - Monitor kondisi umum - Mengetahui adanya penurunan
pendek: Terapeutik kondisi
Setelah dilakukan - Fasilitasi ativitas mobilisasi - Memudahkan kegiatan
tindakan keperawatan - Libatkan keluarga untuk membantu mobilisasi
selama 1x24 jam pasien dalam meningkatkan - Memberikan informasi terkait
diharapkan mobilitas pergerakan prosedur mobilisasi
fisik meningkat dengan Edukasi - Memudahkan mobilisasi
kriteria hasil: - Jelaskan tujuan dan prosedur
1. Pergerakan mobilisasi
meningkat - Ajarkan mobilisasi sederhana yang
2. Nyeri menurun dapat dilakukan
3. Gerakan terbatas
menurun
4 Resiko infeksi b.d Tujuan jangka Observasi - Menentukan adanya infeksi
efek prosedur invasif panjang: - Monitor tanda dan gejala infeksi lokal - Menentukan skala pada luka
(D.0142) Setelah dilakukan - Periksa luka dengan skala (mis, skala - Menentukan adanya infeksi
tindakan keperawatan noton, skala branden) - Mengurangi resiko infeksi
selama 3x24 jam - Monitor suhu kulit - Memberikan informasi terkait
diharapkan tingkat Terapeutik tanda dan gejala infejsi
infeksi menurun. - Berikan perawatan kulit pada area - Mengurangi terjadinya infeksi
Tujuan jangka edema
pendek: - Keringkan daerah kulit yang lembab
Setelah dilakukan akibat keringan, cairan luka
tindakan keperawatan Edukasi
selama 1x24 jam - Jelaskan tanda dan gejala infeksi
diharapkan tingkat - Ajarkan cara memeriksa kondisi luka
infeksi menurun dengan - Anjurkan meningkatkan asupan
kriteria hasil: cairan
1. Nyeri menurun
2. Bengkak menurun
3. Cairan berbau
menurun
4. Kultur area luka
membaik
e. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan. Kegiatan
evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah
implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam
perencanaan. Dalam dokumentasi dikenal 2 cara yaitu secara sumatif
dan formatif. Biasanya evaluasi menggunakan acuan SOAP atau
SOAPIER sebagai tolak ukur pencapaian implementasi. Perawat
mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana tujuan
tercapai :
1. Berhasil : perilaku klien sesuai pernyataan tujuan dalam waktu atau
tanggal yang ditetapkan pada tujuan.
2. Tercapai sebagian : pasien menunjukkan perilaku tetapi tidak
sebaik yang ditentukan dalam pernyataan tujuan.
3. Belum tercapai : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan
perilaku yang diharapkan sesuai dengan pernyataan tujuan.
DAFTAR PUSTAKA

Hudak&Gallo, 2005. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC

Price, Wilson, 2006. Patolofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta: EGC

Smeltzer, BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical


Nursing 3 ed. Philadelpia: LWW Publisher

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA international Nursing


Diagnoses: Definitions & classification, 2015-2017. Oxford : Wiley Blackwell.

Lewis, SL., Dirksen, SR., Heitkemper, MM, and Bucher, L.(2014).Medical


surgical Nursing. Mosby: ELSIVER

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


ALO (Acut lung oedema)

Disusun oleh :
Maryam latuconsina
1490121127

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XXVII


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL BANDUNG
2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN
Acut lung oedema (Alo) edema paru adalah penumpukkan abnormal cairan didalam
paru-paru baik dalam sasium interstitial atau dalam alveoli (Baughman. D. C. 2000, Maria.
M, 2019)
Acute Lung Oedema (Alo) Adalah Terjadinya Penumpukan Cairan Secara Masif Di
Rongga Alveoli Yang Menyebabkan Pasien Berada Dalam Kedaruratan Respirasi Dan
Ancaman Gagal Napas.
B. ANATOMI FISIOLOGI
Anatomi paru-paru

Paru adalah stuktur elastic yang dibungkus dalam sangkar toraks, yang merupakan
suatu bilik udara kuat dengan dinding yang dapat menahan tekanan. Ventilasi
membutuhkan gerakan dinding sangkar toraks dan dasarnya, yaitu diafragma.
Efek dari gerakan ini adalah secara bergantian meningkatkan dan menurunkan
kapasitas dada. Ketika kapasitas dalam dada meningkat, udara masuk melalui
trakea (inspirasi), karena penurunan tekanan di dalam, dan mengembangkan paru/
ketika dinding dada dan diafragma kembali ke ukurannya semula (ekspirasi),
paru-paru yang elastis tersebut mengempis dan mendorong udara keluar melalui
bronkus dan trakea. Fase inspirasi dari pernapasan normalnya membutuhkan
energi, fase ekspirasi normalnya pasif. Inspirasi menempati sepertiga dari siklus
pernapasan, ekspirasi menempati dua pertiganya (Syaifudin, 2011).
 Pleura
Bagian terluar paru-paru dikelilingi oleh membran halus, licin yaitu pleura
yang juga meluas untuk membungkus dinding anterior toraks dan permukaan
superior diafragma. Pleura periatalis melapisi toraks dan pleura viseralis melapisi
paru-paru. Antara kedua pleura initerdapat ruang yang disebut spasium pleura
yang mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan permukaan dan
memungkinkan keduanya bergeser dengan bebas selama ventilasi.
 Mediastinum
Mediastinum adalah dinding yang memabagi rongga toraks menjadi dua
bagian. Mediastinum terbentuk dari dua lapisan pleura. Semua struktur toraks
kecuali paru-paru terletak antara kedua lapisan pleura.
 Bronkus dan bronkiolus
Terdapat beberapa divisi bronkus didalam setiap lobus paru. Pertama adalah
bronkus lobaris (tiga pada paru kanan dan dua pada paru kiri). Bronkus lobaris
dibagi menjadi bronkus segmental (10 pada paru kanan dan 8 pada paru kiri),
yang merupakan struktur yang dicari ketika memilih posisi drainage postural yang
paling efektif untuk pasien tertentu. Bronkus segmental kemudian dibagi lagi
menjadi bronkus subsegmental. Bronkus ini dikelilingi oleh jaringan ikat yang
memiliki arteri, limfatik, dan saraf.
Bronkus subsegmental kemudian membentuk percabangan menjadi
bronkiolus, yang tidak mempunyai kartilago dalam dindingnya. Patensi bronkiolus
seluruhnya tergantung pada recoil elastik otot polos sekelilinginya dan pada
tekanan alveolar. Brokiolus mengandung kelenjar submukosa, yang memproduksi
lendir yang membentuk selimut tidak terputus untuk lapisan bagian dalam jalan
napas. Bronkus dan bronkiolus juga dilapisi oleh sel-sel yang permukaannya
dilapisi oleh “rambut” pendek yang disebut silia. Silia ini menciptakan gerakan
menyapu yang konstan yang berfungsi untuk mengeluarkan lendir dan benda
asing menjauhi paru menuju laring, (Syaifudin. 2011).
Bronkiolus kemudian membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis,
yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus terminalis kemudian
menjadi bronkiolus respiratori, yang dianggap menjadi saluran transisional antara
jalan udara konduksi dan jalan udara pertukaran gas. Sampai pada titik ini, jalan
udara konduksi mengandung sekitar 150 ml udara dalam percabangan
trakeobronkial yang tidak ikut serta dalam pertukaran gas.
Ini dikenal sebagai ruang rugi fisiologik. Bronkiolus respiratori kemudian
mengarah ke dalam duktus alveolar dan sakus alveolar kemudian alveoli.
Pertukaran oksigen dan karbon dioksida terjadi dalam alveoli, (Syaifudin. 2011).
 Alveoli
Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli, yang tersusun dalam kluster antara
15 sampai 20 alveoli. Begitu banyaknya alveoli ini sehingga jika mereka bersatu
untuk membentuk satu lembar, akan menutupi area 70 meter persegi (seukuran
lapangan tennis). Terdapat tiga jenis sel-sel alveolar. Sel-sel alveolar tipe I adalah
sel epitel yang membentuk dinding alaveolar. Sel-sel alveolar tipe II, sel-sel yang
aktif secara metabolic, mensekresi surfaktan, suatu fosfolid yang melapisi
permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveoli tipe III
adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagositis yang besar yang memakan
benda asing (mis., lender, bakteri) dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan
yang penting, Selama inspirasi, udara mengalir dari lingkungan sekitar ke dalam
trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveoli. Selama ekspirasi, gas alveolar menjalani
rute yang sama dengan arah yang berlawanan. Faktor fisik yang mengatur aliran
udara masuk dan keluar paru-paru secara bersamaan disebut sebagai mekanisme
ventilasi dan mencakup varians tekanan udara, resistensi terhadap aliran udara,
dan kompliens paru. Udara mengalir dari region yang tekanannya tinggi ke region
dengan tekanan lebih rendah. Selama inspirasi, gerakan diafragma dan otot-otot
pernapasan lain memperbesar rongga toraks dan dengan demikian menurunkan
tekanan dalam toraks sampai tingkat di bawah atmosfir. Karenanya, udara tertarik
melalui trakea dan bronkus ke dalam alveoli. Selama ekspirasi normal, diafragma
rileks, dan paru mengempis, mengakibatkan penurunan ukuran rongga toraks.
Tekanan alveolar kemudian melebihi tekanan atmosfir, dan udara mengalir dari
paru-paru ke dalam atmosfir, (Syaifudin. 2011)

C. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya alo dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Edema paru kardiogenik


Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem
kardiovaskuler.
a. Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya deposit
lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah pada arteri
dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung yang disuplai oleh arteri
tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan tidak mampu
memompa darah lagi seperti biasa.
b. Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli
diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh infeksi
pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek racun dari
obat-obatan seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan
ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu mengkompensasi suatu keadaan
dimana kebutuhan jantung memompa darah lebih berat pada keadaan infeksi.
Apabila ventrikel kiri tidak mampu mengkompensasi beban tersebut, maka darah
akan kembali ke paru-paru. Hal inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk
di paru-paru (flooding).
c. Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk mengatur
aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau tidak mampu
menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan darah mengalir
kembali melalui katub menuju paru-paru.
d. Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot
ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.

2. Edema paru non kardiogenik


Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi paru itu
sendiri. Pada non-kardiogenik, alo dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

a. Infeksi pada paru


b. Lung injury, seperti emboli paru, smoke inhalation dan infark paru.
c. Paparan toxic
d. Reaksi alergi
e. Acute respiratory distress syndrome (ards)
D. Patofisiologis
alo kardiogenik dicetuskan oleh peningkatan tekanan atau volume yang mendadak
tinggi di atrium kiri, vena pulmonalis dan diteruskan (peningkatan tekanannya) ke kapiler
dengan tekanan melebihi 25 mmhg. Mekanisme fisiologis tersebut gagal mempertahankan
keseimbangan sehingga cairan akan membanjiri alveoli dan terjadi oedema paru. Jumlah
cairan yang menumpuk di alveoli ini sebanding dengan beratnya oedema paru. Penyakit
jantung yang potensial mengalami alo adalah semua keadaan yang menyebabkan
peningkatan tekanan atrium kiri >25 mmhg.
Sedangkan alo non-kardiogenik timbul terutama disebabkan oleh kerusakan dinding
kapiler paru yang dapat mengganggu permeabilitas endotel kapiler paru sehingga
menyebabkan masuknya cairan dan protein ke alveoli. Proses tersebut akan
mengakibatkan terjadinya pengeluaran sekret encer berbuih dan berwarna pink froty.
Adanya sekret ini akan mengakibatkan gangguan pada alveolus dalam menjalankan
fungsinya.
PATHWAY

Faktor kardiogenik Faktor non- kardiogenik

Gagal ventrikkel kiri ARSD Insufufisiensi limfatik Unknown

↓ ejeksi ventrikel kiri  Post. Lung  Pulmonary Embolism


transplant  Eclamasia
 Lymphangitic  High altitude
 Pnemonia
carsinomiclosis Pulmonary edema
↑ EDV, EDP ventrikel kiri  Aspirasi As. Lambung  Silicosis
 Bahan Toksik inhalan

↑ Tek. atrium kiri

↑ tek volume& tek vena


pulmonalis

Ketidakseimbangan
Staling Force
Sesak nafas

Tekanan Tekanan Tekanan Tekanan


Ketidakefektifan pola
Kapiler Onkotik Negative Onkotik
nafas
Paru ↑ Plasma ↓ Interstitial ↑ Interstitial ↑
Akumulasi cairan berlebih (transudat / eksudat)
MRS
Sakit krisis/
Alveoli terisi Cardiac Cedera membrane ancaman kematian
cairan Output ↓ Pasien Anak Keluarga
kapiler Respon stress

Sekresi Psiko : kecemasan yang dirasakan


Gangg ↓ curah Edema alveolar
katekolamin pasien, anak & keluarga
pertukaran gas jantung
Interaksi sel Ansietas
radang yg aktif Kesepian Stress >> Hambatan
Suplai O2 ke Asupan oksigen ke
jantung ↓ komunikasi verbal
jaringan ↓ Pengaktifan sel
peradangan Hambatan Interaksi
Kelemahan Hipoksia Tidak mampu beribadah
sosial
miokard Jaringan seperti biasanya
Bed Rest
sistemik Distress Sosio : klien tidak bisa
Distress Spiritual
berkumpul bersama dengan
Intoleransi Krisis situasional Kegagalan
keluarga di rumah
aktivitas multiorgan
Kesalahan interpretasi Distensi
informasi Adanya desakan
intrapulmonal >>

Penekanan
Kurang Pengetahuan Paru tertekan
Abdomen

Distress Resiko pada keluarga untuk berfikir Peradangan pleura


Anorexia, Nausea
Kultural mengenai proses penyakit yang diderita
Nyeri
oleh klien bukan karena logis tetapi
Gangguan nutrisi
melalui hal yang tidak masuk akal
E. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Fisik
a) Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
b) Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan
paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat
bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale.
c) Takikardia dengan S3 gallop.
d) Murmur bila ada kelainan katup.
2) Elektrokardiografi. Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi
atrium, tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri
atau aritmia bisa ditemukan.
3) Laboratorium
a) Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.
b) Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
c) Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim
jantung (CK-MB, Troponin T), angiografi koroner.
d) Foto thoraks Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada.
Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang
menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang
dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-
bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur
tulang dari dinding dada. X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin
menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada
biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan
opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang
minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian
dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan
informasi yang minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.
4) Gambaran Radiologi yang ditemukan :
a) Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)
b) Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
c) Kranialisasi vaskuler
d) Hilus suram (batas tidak jelas)
e) Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier)
5) Ekokardiografi Gambaran penyebab gagal jantung : kelainan katup, hipertrofi ventrikel
(hipertensi), Segmental wall motion abnormally (Penyakit Jantung Koroner), dan
umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan atrium kiri.
6) Pengukuran plasma B-type natriuretic peptide (BNP)
Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang mendasari
dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma B-type natriuretic peptide
(BNP) atau N-terminal pro-BNP. Ini adalah penanda protein (hormon) yang akan timbul
dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung. Peningkatan
dari BNP nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari beberapa ratus (300
atau lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac pulmonary edema. Pada sisi lain,
nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya menyampingkan gagal jantung sebagai
penyebabnya.
7) Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz)
Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis
(kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan dimajukan
melalui ruang – ruang sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-kapiler
paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh
darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur
tekanan dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure.
Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic
pulmonary edema, sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya
menyokong non-cardiogenic cause of pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-
Ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU).
F. Penatalaksanaan.
1) Posisi ½ duduk.
2) Oksigen (90 – 100%) sampai 12 liter/menit bila perlu dengan masker NRBM.
3) Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
4) Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
5) Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10
menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena
mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.
6) Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis
0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai
didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada
pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan
perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
7) Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
8) Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4
jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
9) Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Doppamin 2 – 5 ug/kgBB/menit
atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
10) Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
11) Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.
12) Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur
dinding ventrikel / corda tendinae.
G. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Pengkajian Primer
1) Airways
a) Sumbatan atau penumpukan secret.
b) Wheezing atau krekles.
c) Kepatenan jalan nafas.
2) Breathing
a) Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat.
b) RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal.
c) Ronchi, krekles.
d) Ekspansi dada tidak penuh.
e) Penggunaan otot bantu nafas.
3) Circulation
a) Nadi lemah, tidak teratur.
b) Capillary refill.
c) Takikardi.
d) TD meningkat / menurun.
e) Edema.
f) Gelisah.
g) Akral dingin.
h) Kulit pucat, sianosis.
i) Output urine menurun.
4) Disability
Status mental : Tingkat kesadaran secara kualitatif dengan Glascow Coma Scale
(GCS) dan secara kwantitatif yaitu Compos mentis : Sadar sepenuhnya, dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya. Apatis : keadaan
kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan kehidupan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh. Somnolen : keadaan kesadaran yang mau tidur saja.
Dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri, tetapi jatuh tidur lagi. Delirium :
keadaan kacau motorik yang sangat, memberontak, berteriak-teriak, dan tidak
sadar terhadap orang lain, tempat, dan waktu. Sopor/semi koma : keadaan
kesadaran yang menyerupai koma,reaksi hanya dapat ditimbulkan dengan
rangsang nyeri. Koma : keadaan kesadaran yang hilang sama sekali dan tidak
dapat dibangunkan dengan rangsang apapun.
5) Exposure
Keadaan kulit, seperti turgor / kelainan pada kulit dsn keadaan
ketidaknyamanan (nyeri) dengan pengkajian PQRST.
b. Pengkajian Sekunder
1) AMPLE
a) Alergi : Riwayat pasien tentang alergi yang dimungkinkan pemicu terjadinya
penyakitnya.
b) Medikasi : Berisi tentang pengobatan terakhir yang diminum sebelum sakit
terjadi (Pengobatan rutin maupun accidental).
c) Past Illness : Penyakit terakhir yang diderita klien, yang dimungkinkan
menjadi penyebab atau pemicu terjadinya sakit sekarang.
d) Last Meal : Makanan terakhir yang dimakan klien.
e) Environment/ Event : Pengkajian environment digunakan jika pasien dengan
kasus Non Trauma dan Event untuk pasien Trauma.
2) Pemeriksaan fisik
a) Sistem Integumen

Subyektif :-

Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi


sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat,
kemerahan

b) Sistem Pulmonal

Subyektif : sesak nafas, dada tertekan

Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk


(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot
bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut
meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar stridor,
ronchii pada lapang paru,

c) Sistem Cardiovaskuler

Subyektif : sakit dada

Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi,


kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara
jantung tambahan

d) Sistem Neurosensori

Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang

Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi

e) Sistem Musculoskeletal

Subyektif : lemah, cepat lelah

Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan


penggunaan otot aksesoris pernafasan

f) Sistem genitourinaria

Subyektif :-

Obyektif : produksi urine menurun,

g) Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah

Obyektif : konsistensi feses normal/diare

3) Pemeriksaan Penunjang :
a) Hb : menurun/normal
b) Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen
darah, kadar karbon darah meningkat/normal
c) Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal
2. ANALISA DATA

NO DATA ETIOLOGI MASALAH


1. DS : - Ketidakefektifan pola
nafas
DO :

1) Penggunaan otot bantu


pernapasan.
2) Fase ekspirasi memanjang.
3) Pernapasan pursed-lip.
4) Pernapasan cuping hidung.
5) Diameter thoraks anterior—
posterior meningkat
6) Ventilasi semenit menurun
7) Kapasitas vital menurun
8) Tekanan ekspirasi menurun
9) Tekanan inspirasi menurun
10) Ekskursi dada berubah

2. DO : klien mengatakan Pusing. Ketidak seimbangan Gangguan pertukaran


dan Penglihatan kabur. staling force gas

DS :

1) PCO2 meningkat / menurun. Tekanan onkotiok


2) PO2 menurun. plasma
3) Takikardia.
4) pH arteri meningkat/menurun.
5) Bunyi napas tambahan.
Cairan berp[indah ke
interstitial

Akumulasi cairan
berlebihan

Alveoli terisi cairan

Gangguan pertukaran
gas
DO : - Ketidak seimbangan Hipervolemia
staling force
DS :

Tekanan onkotiok
1. Ditensi vena jugularis
plasma
2. Terdengar suara nafas tembahan

3. Hepatomegali
Cairan berpindah ke
interstitial
4. Kadar Hb/Ht turun

5. Oliguria
Akumulasi cairan
6. Intake lebih banyak dari output
berlebihan
(balans cairan positif)

7. Kongesti paru
Hipervolemia

4. DS : Akumulasi cairan Intoleransi aktivitas


berlebihan
1. Dispnea saat/setelah aktivitas

2. Merasa tidak nyaman setelah


Alveoli terisi cairan
beraktivitas

3. Merasa lemah
Gangguan pertukaran
gas
DO :

1. Tekanan darah berubah >20%


Kelemahan
dari kondisi istirahat

2. Gambaran EKG menunjukan


Bedrest
aritmia saat/setelah aktivitas

3. Gambaran EKG menunjukan

iskemia Intoleransi aktivitas

4. Sianosis
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat


bantu nafas
2. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar
3. Hipervolemia berhubungan dengan kelebihan asupan cairan yamg ditandai dengan
gangguan pola nafas
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.
INTERVENSI KEPERAWATAN
Rencana keperawatan
No Diagnosa keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional
1. Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan 1. Observasi Observasi :
nafas berhubungan tindakan selama 3x24  Monitor pola napas (frekuensi,  Untuk mengetahui pola nafas
dengan kelelahan dan jam diharapkan kedalaman, usaha napas) pasien
pemasangan alat bantu ketidakefektifan pola  Monitor bunyi napas tambahan  Untuk mengetahui bunyi nafas
nafas nafas dapat teratasi (mis. Gurgling, mengi, weezing, tambahan pasien
dengan kriteria hasil : ronkhi kering)  Untuk mengetahui adanya sputum
1. Dispnea menurun  Monitor sputum (jumlah, warna, Terapeutik
2. Penggunaan otot aroma)  kepatenan jalan nafas atau airway
bantu nafas 2. Terapeutik dapat mencegah terjadinya
menurun  Pertahankan kepatenan jalan gangguan airway dengan cara
3. Pemanjangan fase napas dengan head-tilt dan chin- melakukan pemasangan alat jalan
ekspirasi lift (jaw-thrust jika curiga nafas.
menururn trauma cervical)  Untuk memberikan posisi yang
4. Frekuensi nafas  Posisikan semi-Fowler atau nyaman bagi pasien
menurun Fowler  Air hangat dapat mempermudah
5. Kedalaman nafas  Berikan minum hangat pengenceran secret dan
menurun  Lakukan fisioterapi dada, jika mempermudah pengeluaran secret
perlu pada jalan nafas
 Lakukan penghisapan lendir  Fisioterapi dada adalah tindakan
kurang dari 15 detik untuk membersihkan jalan nafas
 Lakukan hiperoksigenasi dengan mencegah akumulasi
sebelum sekresi paru
 Penghisapan endotrakeal  Penghisapan lendir (suction)
 Keluarkan sumbatan benda merupakan tindakan keperawatan
padat dengan forsepMcGill yang dilakukan pada klien yang
 Berikan oksigen, jika perlu tidak mampu mengeluarkan secret
3. Edukasi atau lender secara mandiri
 Anjurkan asupan cairan 2000  Untuk tindakan suction dilakukan
ml/hari, jika tidak selama 15 detik. Hal ini tidak tepat
kontraindikasi. karena pemberian hiperoksigenasi
 Ajarkan teknik batuk efektif maksimal diberikan 2 menit pada
4. Kolaborasi prosedur suction.
 Kolaborasi pemberian  Hiperoksigenasi adalah teknik
bronkodilator, ekspektoran, terbaik untuk menghindari
mukolitik, jika perlu. hipoksemia akibat penghisapan dan
harus digunakan pada semua
prosedur penghisapan.
 Endotracheal Tube (ETT) adalah
sejenis alat yang digunakan di dunia
medis untuk menjamin saluran
napas tetap bebas
 Untuk membebaskan jalan nafas
pasien
 Untuk meningkatkan saturasi klien
Edukasi
 Untuk memenuhi asupan cairan
pasien
 Batuk efektif adalah suatu
metode batuk dengan benar dimana
dapat menggunakan energi
untuk batuk dengan seefektif
mungkin sehingga tidak mudah
lelah dalam pengeluaran dahak
secara maksimal.
Kolaborasi
 Bronkodilator adalah
kelompok obat yang digunakan
untuk melegakan pernapasan,
terutama pada penderita
penyakit asma. Penderita asma
akan mengalami penyempitan
dan penumpukan lendir atau
dahak di saluran pernapasan.
2. Gangguan pertukaran Setelah dilakukan Observasi Observasi
Gas berhubungan dengan tindakan selama 3x24
distensi kapiler pulmonar jam diharapkan  Monitor kecepatan aliran  Untuk mengetahui kecepatan aliran
gangguan pertukaran oksigen oksigen
gas dapat teratasi  Monitor posisi alat terapi  Untuk mengetahui posisi alat terapi
dengan kriteria hasil : oksigen oksigen yang benar
1. Dispnea menurun  Monitor aliran oksigen secara  Untuk mengetahui aliran oksigen
2. Bunyi nafas periodic dan pastikan fraksi secara periodic dan pastikan fraksi
tambahan yang diberikan cukup yang diberikan cukup
menurun  Monitor efektifitas terapi  Untuk mengetahui efektifitas terapi
3. Pco2 membaik oksigen (mis. oksimetri, analisa oksigen (mis. oksimetri, analisa gas
4. Po2 membaik gas darah ), jika perlu darah ), jika perlu
5. Takikardi  Monitor kemampuan  Untuk mengetahui kemampuan
membaik melepaskan oksigen saat makan melepaskan oksigen saat makan
6. Ph arteri membaik  Monitor tanda-tanda  Untuk mengetahui tanda-tanda
hipoventilasi hipoventilasi
 Monitor tanda dan gejala  Untuk mengetahui tanda dan gejala
toksikasi oksigen dan atelektasis toksikasi oksigen dan atelektasis
 Monitor tingkat kecemasan  Untuk mengetahui tingkat
akibat terapi oksigen kecemasan akibat terapi oksigen
 Monitor integritas mukosa  Untuk mengetahui integritas mukosa
hidung akibat pemasangan hidung akibat pemasangan oksigen
oksigen Terapeutik

Terapeutik  Untuk membebaskan jalan anfas


pasien
 Bersihkan secret pada mulut,  kepatenan jalan nafas atau
hidung dan trachea, jika perlu airway dapat mencegah
 Pertahankan kepatenan jalan terjadinya gangguan airway
nafas dengan cara melakukan
 Berikan oksigen tambahan, jika pemasangan alat jalan nafas.
perlu  Untuk menjaga kestabilan
 Tetap berikan oksigen saat oksigen pasien
pasien ditransportasi  Untuk mencegah menurunnya
 Gunakan perangkat oksigen suplai oksigen pasien saat
yang sesuai dengat tingkat ditransportasi
mobilisasi pasien  Untuk memberikan oksigen
sesuai indikasi
Edukasi Edukasi
 Agar keluarga dan pasien dapat
 Ajarkan pasien dan keluarga mengaplikasikan pemberian
cara menggunakan oksigen oksigen di rumah secara mandiri
dirumah Kolaborasi
 Dosis oksigen harus sesuai
Kolaborasi dengan kebutuhan klien
 Penggunaan oksigen pada saat
 Kolaborasi penentuan dosis beraktivitas dan tidur dapat
oksigen mengontrol perkembangan
 Kolaborasi penggunaan oksigen oksigen pasien
saat aktivitas dan/atau tidur
3. Hipervolemia Setelah dilakukan Observasi Observasi
berhubungan dengan tindakan selama 3x24
kelebihan asupan cairan jam diharapkan  Periksa tanda dan gejala  Untuk mengetahui tanda dan
yamg ditandai dengan hipovolemia dapat hypervolemia gejala hypervolemia
gangguan pola nafas teratasi dengan kriteria  Identifikasi penyebab  Untuk mengetahui penyebab
hasil : hypervolemia hypervolemia
1. Kekuatan nadi  Monitor status hemodinamik,  Untuk mengetahui status
meningkat tekanan darah, MAP, CVP, hemodinamik, tekanan darah,
2. Turgor kulit PAP, PCWP, CO jika tersedia MAP, CVP, PAP, PCWP, CO
meningkat  Monitor intaje dan output cairan jika tersedia
3. Output urine  Monitor tanda hemokonsentrasi  Untuk mengetahui intake dan
meningkat ( kadar Natrium, BUN, output cairan
4. Ortopneamenurun hematocrit, berat jenis urine)  Untuk mengetahui tanda
5. Dispnea menurun  Monitor tanda peningkatan hemokonsentrasi ( kadar
6. Frekuensi nadi tekanan onkotik plasma Natrium, BUN, hematocrit,
membaik  Monitor kecepatan infus secara berat jenis urine)
7. Membaran ketat  Untuk mengetahui tanda
mukosa memabik  Monitor efek samping diuretik peningkatan tekanan onkotik
kadar hb membaik 2. Therapeutik plasma
8. Kadar ht membaik  Timbang berat bada setiap hari  Untuk mengetahui kecepatan
pada waktu yang sama infus secara ketat
 Batasi asupan cairan dan garam  Untuk mengetahui efek
3. Edukasi samping diuretik
1. Anjurkan melapor jika haluaran
urine <0.5 ml/kg/jam dalam 6 jam Terapeutik
2. Anjurkan melapor jika BB
bertambah > 1 kg dalam sehari  Untuk mengetahui perkembangan
3. Ajarkan cara mengukur dan berat badan pasien setiap hari
mencatat asupan dan haluaran cairan  Menunjukkan ketidak pastuhan
4. Ajarkan cara membatasi cairan terhadap cairan
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian diuritik Edukasi
 Kolaborasi penggantian  Untuk mengetahui haluran urine
kehilangan kalium akibat tiap 6 jam
diuretic  Untuk mengetahui
 Kolaborasi pemberian perkembangan berat badan
continuous renal replacement pasien dalam sehari
therapy  Agar perhitungan asupan dan
haluaran tepat
 Membatasi cairan dapat
mengurangi volume cairan

4. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan Observasi Observasi


berhubungan dengan tindakan selama 3x24
ketidakseimbangan jam diharapkan  Identifkasi gangguan fungsi tubuh  Untuk mengetahui gangguan fungsi
antara suplai dan intoleransi aktivitas yang mengakibatkan kelelahan tubuh yang mengakibatkan
kebutuhan oksigen. dapat teratasi dengan  Monitor kelelahan fisik dan kelelahan
kriteria hasil : emosional  Untuk mengetahui kelelahan fisik
1. Frekuensi nadi  Monitor pola dan jam tidur dan emosional
meningkat  Monitor lokasi dan ketidaknyamanan  Untuk mengetahui pola dan jam
2. Keluhan lelah selama melakukan aktivitas tidur
menurun  Untuk mengetahui lokasi dan
3. Dispea saat Terapeutik ketidaknyamanan selama
beraktivitas melakukan aktivitas
menurun  Sediakan lingkungan nyaman dan
4. Dispnea setelah rendah stimulus (mis. cahaya, suara, Terapeutik
beraktivitas kunjungan)
menurun  Lakukan rentang gerak pasif  Untuk memberikan rasa nyaman
5. Warna kulit dan/atau aktif bagi pasien
membaik  Fasilitas duduk di sisi tempat tidur,  Rentang gerak aktif (klien
jika tidak dapat berpindah atau menggerakan semua sendinya
berjalan dengan rentang gerak tanpa
bantuan), rentang gerak Pasif (klien
tidak dapat menggerakan setiap
Edukasi sendi dengan rentang gerak)

 Anjurkan tirah baring Edukasi


 Anjurkan melakukan aktivitas
secara bertahap  tirah baring atau bedrest yaitu suatu
 Ajarkan strategi koping untuk keadaan dimana pasien berbaring di
mengurangi kelelahan tempat tidur selama hampir 24 jam
setiap harinya dengan tujuan untuk
Kolaborasi meminimalkan fungsi semua sistem
orang pasien
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang  aktivitas secara bertahap dapat
cara meningkatkan asupan makanan memulihkan aktivitas secara baik
 Strategi Coping merupakakan
upaya mengelola keadaan dan
mendorong usaha untuk
menyelesaikan permasalahan
kehidupan seseorang, dan mencari
cara untuk menguasai dan
mengatasi stress

Kolaborasi

 Untuk meningkatkan asupan


nutrisi klien
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC


Colquhaun, M. C, 2004. ABC of Resusitation 5th Edition. London: BMJ Publishing
Frizzell, et all, 2001. Handbook of Pathophysiology. New York: Springhouse corp
Griffiths, M. J. D, 2004. Respiratory Management in Critical Care. London: BMJ Publishing
Hudak&Gallo, 2005. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC
Price, Wilson, 2006. Patolofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Smeltzer, BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 3 ed. Philadelpia: LWW Publisher
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA international Nursing Diagnoses: Definitions & classification, 2015-2017. Oxford :
Wiley Blackwell.
Lewis, SL., Dirksen, SR., Heitkemper, MM, and Bucher, L.(2014).Medical surgical Nursing. Mosby: ELSIVER
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai