HIPERBILIRUBIN
Disusun oleh :
Maryam latuconsina
1490121127
2021/2022
A. PENGERTIAN
` Peningkatan kadar bilirubin serum dihubungkan dengan hemolisis sel darah
merah dari bilirubin yang tidak terkonjugasi dari usus kecil, yang ditandai dengan
joundice pada kulit, sklera mukosa, dan urine. (Mitayani, 2012 : 191)
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus kearah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin, bila kadar bilirubin
tidak dikendalikan , (Mansjoer,2008)
Hiperbiliruin adalah istilah yang dipakai untuk icterus neonatorum setelah ada
hasil laboratorium yang menunjukan peningkatan kadar serum bilirubin.(Iyan,2009)
B. ANATOMI FISIOLOGI
UJI KRAMER
Menurut Kramer, ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Untuk penilaian
ikterus, Kremer membagi tubuh bayi baru lahir dalam lima bagian yang di mulai dari
kepala dan leher, dada sampai pusat, pusat bagian bawah sampai tumit, tumit pergelangan
kaki dan bahu pergelangan tangan dan kaki serta tangan termasuk telapak kaki dan
telapak tangan.
Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk di tempat yang tulangnya
menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut, dan lain lain. Kemudian penilaian
kadar bilirubin dari tiap tiap nomor di sesuaikan dengan angka rata-rata dalam gambar.
Cara ini juga tidak menunjukkan intensitas ikterus yang tepat di dalam plasma bayi baru
lahir. Nomor urut menunjukkan arah meluasnya ikterus.
Tabel. Derajat ikterus pada neonatus menurut kramer
Derajatikteru Perkiraankadarbilirubi
Daerah icterus
s 1 n
I Kepaladanleher 5,0 mg%
II Sampaibadanatas (di 9,0 mg%
atasumbilikus)
III Sampaibadanbawah (di 11,4 mg/dl
bawahumbilikus)
hinggatungkaiatas (di
ataslutut)
IV Sampailengan, 12,4 mg/dl
tungkaibawahlutut
V Sampaitelapaktanganda 16,0 mg/dl
n kaki
Istilah bilirubin ensefalopati lebih menunjukkan kepada manifestasi klinis yang
mungkin timbul akibat efek toksis bilirubin pada system syaraf pusat yaitu basal ganglia
dan pada berbagai nuclei batang otak. Sedangkan istilah kern ikterus adalah perubahan
neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak
terutama di ganglia basalis, pons, dan serebelum.
1. Ikterus Fisiologis.
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak
mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau
mempunyai potensi menjadi “kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada
bayi. Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang
memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Timbul pada hari kedua - ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup
bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
e. Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
f. Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan
patologis tertentu.
Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubinemia dengan
karakteristik sebagai berikut :
1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam.
3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus < bulan dan 12,5 mg% pada
2
neonatus cukup bulan.
4) Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G6PD dan
sepsis).
5) Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia, hipoksia,
sindrom gangguan pernafasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas
darah.
2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia.
Icterus patologis adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin dalam darah
mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau
tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang
patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai 12 mg%
pada cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan
15 mg%.
3. Kern Ikterus.
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama
pada korpus striatum, talamus, nucleus subtalamus, hipokampus, nukleus merah, dan
nukleus pada dasar ventrikulus IV.
Kern ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus cukup
bulan dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg%) dan disertai penyakit hemolitik
berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus secara klinis
berbentuk kelainan syaraf simpatis yang terjadi secara kronik.
C. ETIOLOGI
Meurut Haws Paulette (2007) penyebab hiperbilirubin yaitu:
1. Hemolysis pada inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidak sesuaian golongan
darah ibu dan anak pada golongan rhesus dan ABO
2. Gangguan konjugasi bilirubin
3. Rusaknya sel-sel hepar, obstruksi hepar
4. Pebentukan bilirubin yang berlebihan
5. Keracunan obat (hemolysis kimia : salsilat, kortiko steroid, kloramfenikol)
6. Bayi dari ibu diabetes, jaundice ASI
7. Penyakit hemolitik yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah merah.
Disebut juga icterus hemolitik
3
8. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan, misalnya
hiperbilirubin atau karena pengaruh obat-obatan.
9. Bayi prematur, hipoksia, BBLR dan kelainan system syaraf pusat akibat trauma
ifeksi
10. Gangguan fungsi hati (infeksi) yang dissebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti : infeksi
toxoplasma,shypilis.
D. Patofisologi
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari pengrusakan sel
darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya kan masuk sirkulasi, diimana
hemoglobin pecah menjadi heme dan globin. Gloobin {protein} digunakan kembali oleh
tubuh sedangkan heme akan diruah menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan
albumin.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin
pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi,
meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi
enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y
terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia,
ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi
menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan
saluran empedu intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak.
Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang
memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar
darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati
biliaris. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus
sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat
keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan
susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel
Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran
Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z
4
berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat
toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek
yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan
terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar
darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut kernikterus. Pada umumnya dianggap
bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin
Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak
ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah
melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan BBLR, hipoksia, dan
hipoglikemia.
E. PATHWAY
Hemoglobin
Hem
globin
Biliverdin Fe co
Indikasi fototerapi
G. Penatalaksanaan
1. Tindakan umum
a. Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamil, mencegah
truma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru lahir yang dapat
menimbulkan ikhterus, infeksi dan dehidrasi.
b. Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai dengan
kebutuhan bayi baru lahir.
c. Imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat.
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan
Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek
dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :
a. Menghilangkan Anemia
b. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
c. Meningkatkan Badan Serum Albumin
d. Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi
Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
1) Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi
Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya
dengan intensitas yang tinggi akan menurunkan Bilirubin dalam kulit.
Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi
Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi
jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang
disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah
melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan
Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu
dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses
konjugasi oleh Hati Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan
peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab
kekuningan dan hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5
mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus
di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuan
mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama
pada bayi resiko tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
2. Tranfusi Pengganti / Tukar
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
b. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
c. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
d. Tes Coombs Positif.
e. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
f. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
g. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
h. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
i. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
- Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan)
terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
- Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
- Menghilangkan Serum Bilirubin
- Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan
dengan Bilirubin
- Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera
(kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak
mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar
Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai
stabil.
I. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas pasien dan keluarga
2. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Kehamilan
Kurangnya antenatal care yang baik. Penggunaan obat – obat yang
meningkatkan ikterus ex: salisilat sulkaturosic oxitosin yang dapat mempercepat
proses konjungasi sebelum ibu partus.
b. Riwayat Persalinan
Persalinan dilakukan oleh dukun,
10 bidan, dokter. Atau data obyektif ; lahir
prematur/kurang bulan, riwayat trauma persalinan, hipoksia dan asfiksia
c. Riwayat Post natal
Adanya kelainan darah, kadar bilirubin meningkat kulit bayi tampak kuning.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Seperti ketidak cocokan darah ibu dan anak polisitemia, gangguan saluran cerna
dan hati (hepatitis)
e. Riwayat Pikososial
Kurangnya kasih sayang karena perpisahan, perubahan peran orang tua
f. Pengetahuan Keluarga
Penyebab perawatan pengobatan dan pemahan ortu terhadap bayi yang ikterus.
3. Pengkajian Kebutuhan Dasar manusia
a. Aktivitas / Istirahat
Letargi, malas.
b. Sirkulasi
Mungkin pucat menandakan anemia.
c. Eliminasi
Bising usus hipoaktif. Pasase mekonium mungkin lambat. Feses mungkin
lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin. Urin gelap pekat; hitam
kecoklatan (sindrom bayi bronze)
d. Makanan / Cairan
Riwayat perlambatan / makan oral buruk, mungkin lebih disusui daripada
menyusu botol. Pada umumnya bayi malas minum (reflek menghisap dan
menelan lemah sehingga BB bayi mengalami penurunan). Palpasi abdomen
dapat menunjukkan pembesaran limfa, hepar
e. Neuro sensori
Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang parietal
yang berhubungan dengan trauma kelahiran / kelahiran ekstraksi vakum. Edema
umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin ada dengan
inkompatibilitas Rh berat. Kehilangan refleks Moro mungkin terlihat.
Opistotonus dengan kekakuan lengkung punggung, fontanel menonjol, menangis
lirih, aktivitas kejang (tahap krisis)
f. Pernafasan
Riwayat asfiksia
g. Keamanan
Riwayat positif infeksi / sepsis neonates. Dapat mengalami ekimosis berlebihan,
ptekie, perdarahan intracranial. Dapat tampak ikterik pada awalnya pada daerah
wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom
bayi Bronze) sebagai efek samping fototerapi.
h. Seksualitas
Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi dengan retardasi
pertumbuhan intrauterus (LGA), seperti bayi dengan ibu diabetes. Trauma
kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stress dingin, asfiksia, hipoksia,
asidosis, hipoglikemia. Terjadi lebih sering pada bayi pria dibandingkan
perempuan.
i. Penyuluhan / Pembelajaran
Dapat mengalami hipotiroidisme congenital, atresia bilier, fibrosis kistik. Faktor
keluarga; missal riwayat hiperbilirubinemia pada kehamilan sebelumnya,
penyakit hepar, fibrosis kristik, kesalahan metabolisme saat lahir (galaktosemia),
diskrasias darah (sferositosis, defisiensi gukosa-6-fosfat dehidrogenase.
Faktor ibu, seperti diabetes; mencerna obat-obatan (missal, salisilat, sulfonamide
oral pada kehamilan akhir atau nitrofurantoin (Furadantin); inkompatibilitas
Rh/ABO; penyakit infeksi (misal, rubella, sitomegalovirus, sifilis,
toksoplamosis).
Faktor penunjang intrapartum, seperti persalinan praterm, kelahiran dengan
ekstrasi vakum, induksi oksitosin, perlambatan pengkleman tali pusat, atau
trauma kelahiran.
ANALISA DATA
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
Do :
1) Nyeri
2) Perdarahan
3) Kemerahan
4) Hermatoma
DS : -
DO :
DS : - Risiko cedera
Ikterus pada sklera , leher dan badan . peningkatan
bilirubin indirect > 12 mg dl
DO :
Indikasi fototerapi
5. Disfungsi biokimia
6. Hipoksia jaringan
7. Kegagalan mekanisme
pertahanan tubuh
8. Malnutrisi
3. Kejang
4. Takikardi
hipertermi
5. Takipnea
6. Kulit terasa hangat
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan integritas kulit b.d. efek dari phototerapi.
2. Hipovolemia b.d. phototerapi.
3. Resiko cedera b.d. meningkatnya kadar bilirubin toksik dan komplikasi berkenaan phototerapi.
4. (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar lingkungan panas.
Rencana Keperawatan
NO Diagnosa Keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional
Gangguan integritas Setelah dilakukan Observasi Observasi
tindakan selama 3x24
kulit b.d. efek dari
jam diharapkan Identifikasi penyebab
phototerapi gangguan integritas Untuk penyebab
gangguan integritas kulit gangguan integritas kulit
kulit dapat teratasi
(mis. Perubahan (mis. Perubahan sirkulasi,
dengan kriteria hasil :
sirkulasi, perubahan perubahan status nutrisi,
status nutrisi, peneurunan kelembaban,
peneurunan suhu lingkungan ekstrem,
penurunan mobilitas)
kelembaban, suhu
lingkungan ekstrem, Terapeutik
penurunan mobilitas)
tirah baring atau bedrest
Terapeutik yaitu suatu keadaan dimana
1.
pasien berbaring di tempat
Ubah posisi setiap 2 jam tidur selama hampir 24 jam
jika tirah baring setiap harinya dengan
Lakukan pemijatan pada tujuan untuk
area penonjolan tulang, meminimalkan fungsi
semua sistem orang pasien
jika perlu
Perineal
Bersihkan perineal
hygiene merupakan
dengan air hangat, tindakan untuk menjaga
terutama selama periode kebersihan serta kesehatan
diare organ reproduksi.
Gunakan produk Agar dapat
berbahan petrolium atau mempertahankan turgor
minyak pada kulit kulit
kering Agar mempertahankan
Gunakan produk kelembapan kulit yang
berbahan ringan/alami sensitif
dan hipoalergik pada
Edukasi
kulit sensitif
Hindari produk Mengontrol Produksi
berbahan dasar alkohol Sebum Berlebih dan
pada kulit kering mempertahankan
2. Edukasi kelembaban kulit
Anjurkan menggunakan Konsumsi air yang cukup
pelembab (mis. Lotin, dapat memingkatkan
serum) kelebaban kulit
Anjurkan minum air
yang cukup
Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
Anjurkan meningkat
asupan buah dan saur
Anjurkan menghindari
terpapar suhu ektrime
Anjurkan menggunakan
tabir surya SPF minimal
30 saat berada diluar
rumah
Hipovolemia b.d. Setelah dilakukan 1. Observasi
tindakan selama 3x24 Periksa tanda dan gejala
phototerapi.
jam diharapkan hipovolemia (mis.
hipovolemia dapat
frekuensi nadi
teratasi dengan kriteria
hasil : meningkat, nadi teraba
lemah, tekanan darah
menurun, tekanan nadi
menyempit,turgor kulit
menurun, membrane
mukosa kering, volume
urine menurun,
hematokrit meningkat,
haus dan lemah)
2.
Monitor intake dan
output cairan
2. Terapeutik
Hitung kebutuhan cairan
Berikan posisi modified
trendelenburg
Berikan asupan cairan
oral
3. Edukasi
Anjurkan
memperbanyak asupan
cairan oral
Anjurkan menghindari
perubahan posisi
mendadak
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
cairan IV issotonis (mis.
cairan NaCl, RL)
Kolaborasi pemberian
cairan IV hipotonis
(mis. glukosa 2,5%,
NaCl 0,4%)
Kolaborasi pemberian
cairan koloid (mis.
albumin, plasmanate)
Kolaborasi pemberian
produk darah
kolaborasi
Infus cairan
intravena (intravenous fl
uids infusion) adalah
pemberian
sejumlah cairan ke dalam
tubuh, melalui sebuah
jarum, ke dalam pembuluh
vena (pembuluh balik)
untuk menggantikan
kehilangan cairan atau
zat-zat makanan dari
tubuh
DAFTAR PUSTAKA
Price, Wilson, 2006. Patolofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Smeltzer, BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 3 ed.
Philadelpia: LWW Publisher
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA international Nursing Diagnoses:
Definitions & classification, 2015-2017. Oxford : Wiley Blackwell.
Lewis, SL., Dirksen, SR., Heitkemper, MM, and Bucher, L.(2014).Medical surgical Nursing.
Mosby: ELSIVER
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Edisi
1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
LAPORAN PENDAHULUAN
TENSION PNEUMOTHORAKS
Disusun oleh :
Maryam Latuconsina
1490121127
2021/2022
1. Pengertian
Tension pneumothoraks adalah kondisi medis darurat ketika udara
terperangkap di rongga pleura antara paru-paru kiri dan kanan. Seluruh
bagian dari paru-paru dapat kolaps sehingga dapat menyebabkan
penurunan fungsi jantung dan organ tubuh lain. Kondisi ini akan sangat
berbahaya ketika udara terus menerus masuk ke dalam rongga pleura akan
dapat menekan paru-paru dan jantung sehingga dapat menyebabkan henti
jantung (Malik, 2020).
2. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi paru-paru
Paru adalah stuktur elastic yang dibungkus dalam sangkar toraks, yang
merupakan suatu bilik udara kuat dengan dinding yang dapat menahan
tekanan. Ventilasi membutuhkan gerakan dinding sangkar toraks dan
dasarnya, yaitu diafragma. Efek dari gerakan ini adalah secara
bergantian meningkatkan dan menurunkan kapasitas dada. Ketika
kapasitas dalam dada meningkat, udara masuk melalui trakea
(inspirasi), karena penurunan tekanan di dalam, dan mengembangkan
paru/ ketika dinding dada dan diafragma kembali ke ukurannya semula
(ekspirasi), paru-paru yang elastis tersebut mengempis dan mendorong
udara keluar melalui bronkus dan trakea. Fase inspirasi dari
pernapasan normalnya membutuhkan energi, fase ekspirasi normalnya
pasif. Inspirasi menempati sepertiga dari siklus pernapasan, ekspirasi
menempati dua pertiganya (Syaifudin, 2011).
b. Pleura
Bagian terluar paru-paru dikelilingi oleh membran halus, licin yaitu
pleura yang juga meluas untuk membungkus dinding anterior toraks
dan permukaan superior diafragma. Pleura periatalis melapisi toraks
dan pleura viseralis melapisi paru-paru. Antara kedua pleura
initerdapat ruang yang disebut spasium pleura yang mengandung
sejumlah kecil cairan yang melicinkan permukaan dan memungkinkan
keduanya bergeser dengan bebas selama ventilasi.
c. Mediastinum
Mediastinum adalah dinding yang memabagi rongga toraks menjadi
dua bagian. Mediastinum terbentuk dari dua lapisan pleura. Semua
struktur toraks kecuali paru-paru terletak antara kedua lapisan pleura.
d. Bronkus dan bronkiolus
Terdapat beberapa divisi bronkus didalam setiap lobus paru. Pertama
adalah bronkus lobaris (tiga pada paru kanan dan dua pada paru kiri).
Bronkus lobaris dibagi menjadi bronkus segmental (10 pada paru
kanan dan 8 pada paru kiri), yang merupakan struktur yang dicari
ketika memilih posisi drainage postural yang paling efektif untuk
pasien tertentu. Bronkus segmental kemudian dibagi lagi menjadi
bronkus subsegmental. Bronkus ini dikelilingi oleh jaringan ikat yang
memiliki arteri, limfatik, dan saraf.
3. Etiologi
Etiologi tension pneumothoraks yang paling sering terjadi adalah karena
iatrogenik atau berhubungan dengan trauma (Corwin, 2009), yaitu sebagai
berikut :
a. Trauma benda tumpul atau tajam, meliputi gangguan salah satu pleura
visceral atau parietal dan sering dengan patah tulang rusuk.
b. Pemasangan kateter vena sentral (ke dalam pembuluh darah pusat),
biasanya vena subclavia atau vena jugular interna.
c. Komplikasi ventilator, pneumothoraks spontan, pneumothoraks
sederhana ke tension pneumothoraks.
d. Ketidakberhasilan mengatasi pneumothoraks terbuka ke
pneumothoraks sederhana dimana fungsi pembalut luka sebagai 1-way
katup.
e. Akupuntur, baru-baru ini telah dilaporkan dapat mengakibatkan
pneumothoraks.
4. Patofisiologi
Tension pneumotoraks terjadi ketika udara dalam rongga pleura memiliki
tekanan yang lebih tinggi daripada udara dalam paru sebelahnya.Udara
memasuki rongga pleura dari tempat ruptur pleura yang bekerja seperti
katup satu arah. Udara dapat memasuki rongga pleura pada saat inspirasi
tetapi tidak bisa keluar lagi karena tempat ruptur tersebut akan menutup
pada saat ekspirasi. Pada saat inspirasi akan terdapat lebih banyak udara
lagi yang masuk dan tekanan udara mulai melampaui tekanan
barometrik.Peningkatan tekanan udara akan mendorong paru yang dalam
keadaan recoiling sehingga terjadi atelektasis kompresi. Udara juga
menekan mediastinum sehingga terjadi kompresi serta pergeseran jantung
dan pembuluh darah besar. Udara tidak bisa keluar dan tekanan yang
semakin meningkat akibat penumpukan udara ini menyebabkan kolaps
paru.Ketika udara terus menumpuk dan tekanan intrapleura terus
meningkat, mediastinum akan tergeser dari sisi yang terkena dan aliran
balik vena menurun.Keadaan ini mendorong jantung, trakea, esofagus dan
pembuluh darah besar berpindah ke sisi yang sehat sehingga terjadi
penekanan pada jantung serta paru ke sisi kontralateral yang sehat
(Sudoyo, 2009).
a. Aktivitas / istirahat
Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
b. Sirkulasi
Takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3 atau S4 / irama
jantung gallop, nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya
penyimpangan mediastinal, tanda homman (bunyi rendah
sehubungan dengan denyutan jantung, menunjukkan udara
dalam mediastinum).
c. Psikososial
Ketakutan, gelisah.
d. Makanan / cairan
Adanya pemasangan IV vena sentral / infuse tekanan.
e. Nyeri / kenyamanan
Perilaku distraksi, mengerutkan wajah. Nyeri dada unilateral
meningkat karena batuk, timbul tibatiba gejala sementara batuk
atau regangan, tajam atau nyeri menusuk yang diperberat oleh
napas dalam.
f. Pernapasan
Pernapasan meningkat/takipnea, peningkatan kerja napas,
penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, ekspirasi
abdominal kuat, bunyi napas menurun/ hilang (auskultasi
mengindikasikan bahwa paru tidak mengembang dalam rongga
pleura), fremitus menurun, perkusi dada : hipersonor diatas
terisi udara, observasi dan palpasi dada : gerakan dada tidak
sama bila trauma, kulit : pucat, sianosis, berkeringat, mental:
ansietas, gelisah, bingung, pingsan. Kesulitan bernapas, batuk,
riwayat bedah dada / trauma : penyakit paru kronis, inflamasi /
infeksi paru (empiema / efusi), keganasan (mis. Obstruksi
tumor).
Head To Toe
1) Keadaan umum, kesadaran, BB, dan antropometri. Tidak ada
peruban yang berarti pada klien dari pengkajian ini.
2) Pemeriksaan tanda-tanda vital antara lain: tekanan darah yang
cenderung dibawah 120/80 mmHg, nadi menjadi lebih cepat,
respirasi juga cepat, suhu.
3) Kepala: inspeksi bentuk, kebersihan rambut dan kulit kepala, dan
nyeri tekan yang dirasakan atau adanya luka.lesi.
4) Telinga: dilihat bentuknya, kebersihan telinga, dan fungsi
pendengerannya.
5) Mata: dilihat kesimetrisan mata, dan kebersihan mata serta di test
mengenai reflek pupil mata, dan fungsi penglihatannya.
Konjungtiva akan anemis (pucat).
6) Hidung: dilihat kesimetrisan lubang hidung, apakah ada septum
atau tidak, kebersihan hidungnya dan bagaimana fungsi
penciumannya.
7) Mulut: dilihat bentuk mulutnya apakah ada kelainan atau tidak,
bagaimana mukosa bibir klien.
8) Leher: dilihat bentuk lehernya apakah ada deviasi trakea atau
tidak, apakah ada peningkatan JVP , apakah ada pembesaran
kelenjar tiroid atau KGB, dan bagaimana reflek menelannya
apakah baik atau tidak.
9) Dada: dilihat bagaimana bentuk dadanya simetris atau tidak,
bagaimana perkembangan dadanya sama atau tidak, di auskultasi
suara napas apakah normal (vesikuler), suara jantungnya apakah
normal S1 san S2 reguler (lup-dup) atau tidak.
10) Abdomen: dilihat bagaimana bentuk dari perutnya apakah datar
atau kembung, kemudian di auskultasi bising ususnya apakah
normal atau tidak, ada luka atau lesi, dan apakah ada nyeri tekan
atau tidak. Di palpasi apakah ada pembesaran limfa atau hati dan
apakah ada nyeri pada area ginjal atau tidak.
11) Genetalia: dikaji apakah ada kelainan atau tidak pada genetalia
klien, dan bagaimana kebersihan genetalia klien dapat dikaji
apabila klien bersedia untuk dikaji.
12) Integumen: dilihat keadaan kulit klien, bagaimana turgor
kulitnya, apakah ada luka atau lesi pada integumennya.
13) Ekstremitas atas dan bawah: dilihat kesimetrisannya apakah ada
kelainan atau tidak bagaimana fungsi dari anggota gerak
ektremitas atas klien apakah terdapat nyeri atau tidak dan
bagaimana kekuatan otot dari klien.
b. Analisa Data
Data Etiologi Masalah
Ds : Trauma dada Nyeri akut
- Mengeluh nyeri (D.0077)
Do : Mengakibatkan
- Tampak meringis resiko tinggi fraktur
- Gelisah iga multiple
- Frekuensi nadi
meningkat Robekan pada pleura
- Pola napas berubah viselaris dan dinding
alveolus
Membentuk fistula
yang mengalirkan
udara ke cavitas
pleura
Pergeseran
mediastinum
Hipersonor
Nyeri akut
Ds : Trauma dada Pola napas tidak
- Dispnea efektif (D.0005)
- Ortopnea Mengakibatkan
Do : resiko tinggi fraktur
- Penggunaan otot bantu iga multiple
pernapasan
- Fase ekspirasi Robekan pada pleura
memanjang viselaris dan dinding
- Pola napas abnormal alveolus
- Pernapasan cuping
hidung Membentuk fistula
yang mengalirkan
udara ke cavitas
pleura
Hiperekspansi
cavitas pleura oleh
peningkatan udara
Tekanan di cavum
pleura meningkat
colaps
Gangguan ventilasi
Kadar oksigen
menurun dan kadar
karbondioksida
meningkat
Membentuk fistula
yang mengalirkan
udara ke cavitas
pleura
Hiperekspansi
cavitas pleura oleh
peningkatan udara
Tekanan di cavum
pleura meningkat
colaps
insisi di rongga
thorakal
pemasangan WSD
bedrest total
gangguan mobilitas
fisik
Ds : - Trauma dada Resiko infeksi (D.
Do : 0142)
- Efek prosedur invasif Mengakibatkan
- Kerusakan integritas resiko tinggi fraktur
kulit iga multiple
Membentuk fistula
yang mengalirkan
udara ke cavitas
pleura
Hiperekspansi
cavitas pleura oleh
peningkatan udara
Tekanan di cavum
pleura meningkat
colaps
insisi di rongga
thorakal
pemasangan WSD
resiko infeksi
c. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (trauma) (D.0077)
2. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas (D.0005)
3. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri (D.0054)
4. Resiko infeksi b.d efek prosedur invasif (D.0142)
d. Perencanaan dan Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan & Kriteria Intervensi Rasional
Hasil
1 Nyeri akut b.d agen Tujuan jangka Observasi - Untuk mengetahui karakteristik
pencedera fisik panjang: - Identifikasi karakteristik nyeri (mis. nyeri yang dialami klien
(trauma) (D.0077) Setelah dilakukan Pencetus, pereda, kualitas, lokasi - Untuk menghindari konsumsi
tindakan keperawatan intensitas, frekuensi, durasi) obat yang membuat alergi pada
selama 3x24 jam - Identifikasi riwayat alergi obat klien
diharapkan tingkat - identifikasi kesesuaian jenis analgesik - Untuk menyesuaikan dengan
nyeri menurun. dengan tingkat keparahan nyeri tingkat keparahan nyeri klien
Tujuan jangka - monitor tanda-tanda vital sebelum dan - Untuk mengetahui kondisi
pendek: sesudah pemberian analgesik terkini klien
Setelah dilakukan - monitor efektifitas analgesik - Untuk mengetahui efektifitas
tindakan keperawatan Terapeutik analgesik yang digunakan
selama 1x24 jam - diskusikan jenis analgesik yang disukai, - Untuk mengetahui analgesik
diharapkan tingkat jika perlu yang sering digunakan klien
nyeri menurun dengan - pertimbangkan penggunaan infus - Untuk memperthankan kadar
kriteria hasil: kontinu atau bokus oploid dalam serum
1. frekuensi nasi - dokumentasikan respons terhadap efek - Untuk memantau efek
membaik analgesik dan efek yang tidak diinginkan analgesik
2. pola napas membaik Edukasi - Untuk memberikan informasi
3. keluhan nyeri - jelaskan efek terapi dan efek samping terkait efek terapi dan efek
menurun obat samping obat
4. meringis menurun Kolaborasi - Untuk mengurangi nyeri klien
5. gelisah menurun - kolaborasi pemberian dosis dan jenis
6. kesulitan tidur analgesik, sesuai indikasi
menurun
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
LAPORAN PENDAHULUAN
Disusun oleh :
Maryam latuconsina
1490121127
A. PENGERTIAN
Acut lung oedema (Alo) edema paru adalah penumpukkan abnormal cairan didalam
paru-paru baik dalam sasium interstitial atau dalam alveoli (Baughman. D. C. 2000, Maria.
M, 2019)
Acute Lung Oedema (Alo) Adalah Terjadinya Penumpukan Cairan Secara Masif Di
Rongga Alveoli Yang Menyebabkan Pasien Berada Dalam Kedaruratan Respirasi Dan
Ancaman Gagal Napas.
B. ANATOMI FISIOLOGI
Anatomi paru-paru
Paru adalah stuktur elastic yang dibungkus dalam sangkar toraks, yang merupakan
suatu bilik udara kuat dengan dinding yang dapat menahan tekanan. Ventilasi
membutuhkan gerakan dinding sangkar toraks dan dasarnya, yaitu diafragma.
Efek dari gerakan ini adalah secara bergantian meningkatkan dan menurunkan
kapasitas dada. Ketika kapasitas dalam dada meningkat, udara masuk melalui
trakea (inspirasi), karena penurunan tekanan di dalam, dan mengembangkan paru/
ketika dinding dada dan diafragma kembali ke ukurannya semula (ekspirasi),
paru-paru yang elastis tersebut mengempis dan mendorong udara keluar melalui
bronkus dan trakea. Fase inspirasi dari pernapasan normalnya membutuhkan
energi, fase ekspirasi normalnya pasif. Inspirasi menempati sepertiga dari siklus
pernapasan, ekspirasi menempati dua pertiganya (Syaifudin, 2011).
Pleura
Bagian terluar paru-paru dikelilingi oleh membran halus, licin yaitu pleura
yang juga meluas untuk membungkus dinding anterior toraks dan permukaan
superior diafragma. Pleura periatalis melapisi toraks dan pleura viseralis melapisi
paru-paru. Antara kedua pleura initerdapat ruang yang disebut spasium pleura
yang mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan permukaan dan
memungkinkan keduanya bergeser dengan bebas selama ventilasi.
Mediastinum
Mediastinum adalah dinding yang memabagi rongga toraks menjadi dua
bagian. Mediastinum terbentuk dari dua lapisan pleura. Semua struktur toraks
kecuali paru-paru terletak antara kedua lapisan pleura.
Bronkus dan bronkiolus
Terdapat beberapa divisi bronkus didalam setiap lobus paru. Pertama adalah
bronkus lobaris (tiga pada paru kanan dan dua pada paru kiri). Bronkus lobaris
dibagi menjadi bronkus segmental (10 pada paru kanan dan 8 pada paru kiri),
yang merupakan struktur yang dicari ketika memilih posisi drainage postural yang
paling efektif untuk pasien tertentu. Bronkus segmental kemudian dibagi lagi
menjadi bronkus subsegmental. Bronkus ini dikelilingi oleh jaringan ikat yang
memiliki arteri, limfatik, dan saraf.
Bronkus subsegmental kemudian membentuk percabangan menjadi
bronkiolus, yang tidak mempunyai kartilago dalam dindingnya. Patensi bronkiolus
seluruhnya tergantung pada recoil elastik otot polos sekelilinginya dan pada
tekanan alveolar. Brokiolus mengandung kelenjar submukosa, yang memproduksi
lendir yang membentuk selimut tidak terputus untuk lapisan bagian dalam jalan
napas. Bronkus dan bronkiolus juga dilapisi oleh sel-sel yang permukaannya
dilapisi oleh “rambut” pendek yang disebut silia. Silia ini menciptakan gerakan
menyapu yang konstan yang berfungsi untuk mengeluarkan lendir dan benda
asing menjauhi paru menuju laring, (Syaifudin. 2011).
Bronkiolus kemudian membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis,
yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus terminalis kemudian
menjadi bronkiolus respiratori, yang dianggap menjadi saluran transisional antara
jalan udara konduksi dan jalan udara pertukaran gas. Sampai pada titik ini, jalan
udara konduksi mengandung sekitar 150 ml udara dalam percabangan
trakeobronkial yang tidak ikut serta dalam pertukaran gas.
Ini dikenal sebagai ruang rugi fisiologik. Bronkiolus respiratori kemudian
mengarah ke dalam duktus alveolar dan sakus alveolar kemudian alveoli.
Pertukaran oksigen dan karbon dioksida terjadi dalam alveoli, (Syaifudin. 2011).
Alveoli
Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli, yang tersusun dalam kluster antara
15 sampai 20 alveoli. Begitu banyaknya alveoli ini sehingga jika mereka bersatu
untuk membentuk satu lembar, akan menutupi area 70 meter persegi (seukuran
lapangan tennis). Terdapat tiga jenis sel-sel alveolar. Sel-sel alveolar tipe I adalah
sel epitel yang membentuk dinding alaveolar. Sel-sel alveolar tipe II, sel-sel yang
aktif secara metabolic, mensekresi surfaktan, suatu fosfolid yang melapisi
permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveoli tipe III
adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagositis yang besar yang memakan
benda asing (mis., lender, bakteri) dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan
yang penting, Selama inspirasi, udara mengalir dari lingkungan sekitar ke dalam
trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveoli. Selama ekspirasi, gas alveolar menjalani
rute yang sama dengan arah yang berlawanan. Faktor fisik yang mengatur aliran
udara masuk dan keluar paru-paru secara bersamaan disebut sebagai mekanisme
ventilasi dan mencakup varians tekanan udara, resistensi terhadap aliran udara,
dan kompliens paru. Udara mengalir dari region yang tekanannya tinggi ke region
dengan tekanan lebih rendah. Selama inspirasi, gerakan diafragma dan otot-otot
pernapasan lain memperbesar rongga toraks dan dengan demikian menurunkan
tekanan dalam toraks sampai tingkat di bawah atmosfir. Karenanya, udara tertarik
melalui trakea dan bronkus ke dalam alveoli. Selama ekspirasi normal, diafragma
rileks, dan paru mengempis, mengakibatkan penurunan ukuran rongga toraks.
Tekanan alveolar kemudian melebihi tekanan atmosfir, dan udara mengalir dari
paru-paru ke dalam atmosfir, (Syaifudin. 2011)
C. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya alo dibagi menjadi 2, yaitu:
Ketidakseimbangan
Staling Force
Sesak nafas
Penekanan
Kurang Pengetahuan Paru tertekan
Abdomen
1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1) Airways
a) Sumbatan atau penumpukan secret.
b) Wheezing atau krekles.
c) Kepatenan jalan nafas.
2) Breathing
a) Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat.
b) RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal.
c) Ronchi, krekles.
d) Ekspansi dada tidak penuh.
e) Penggunaan otot bantu nafas.
3) Circulation
a) Nadi lemah, tidak teratur.
b) Capillary refill.
c) Takikardi.
d) TD meningkat / menurun.
e) Edema.
f) Gelisah.
g) Akral dingin.
h) Kulit pucat, sianosis.
i) Output urine menurun.
4) Disability
Status mental : Tingkat kesadaran secara kualitatif dengan Glascow Coma Scale
(GCS) dan secara kwantitatif yaitu Compos mentis : Sadar sepenuhnya, dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya. Apatis : keadaan
kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan kehidupan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh. Somnolen : keadaan kesadaran yang mau tidur saja.
Dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri, tetapi jatuh tidur lagi. Delirium :
keadaan kacau motorik yang sangat, memberontak, berteriak-teriak, dan tidak
sadar terhadap orang lain, tempat, dan waktu. Sopor/semi koma : keadaan
kesadaran yang menyerupai koma,reaksi hanya dapat ditimbulkan dengan
rangsang nyeri. Koma : keadaan kesadaran yang hilang sama sekali dan tidak
dapat dibangunkan dengan rangsang apapun.
5) Exposure
Keadaan kulit, seperti turgor / kelainan pada kulit dsn keadaan
ketidaknyamanan (nyeri) dengan pengkajian PQRST.
b. Pengkajian Sekunder
1) AMPLE
a) Alergi : Riwayat pasien tentang alergi yang dimungkinkan pemicu terjadinya
penyakitnya.
b) Medikasi : Berisi tentang pengobatan terakhir yang diminum sebelum sakit
terjadi (Pengobatan rutin maupun accidental).
c) Past Illness : Penyakit terakhir yang diderita klien, yang dimungkinkan
menjadi penyebab atau pemicu terjadinya sakit sekarang.
d) Last Meal : Makanan terakhir yang dimakan klien.
e) Environment/ Event : Pengkajian environment digunakan jika pasien dengan
kasus Non Trauma dan Event untuk pasien Trauma.
2) Pemeriksaan fisik
a) Sistem Integumen
Subyektif :-
b) Sistem Pulmonal
c) Sistem Cardiovaskuler
d) Sistem Neurosensori
e) Sistem Musculoskeletal
f) Sistem genitourinaria
Subyektif :-
g) Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
3) Pemeriksaan Penunjang :
a) Hb : menurun/normal
b) Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen
darah, kadar karbon darah meningkat/normal
c) Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal
2. ANALISA DATA
DS :
Akumulasi cairan
berlebihan
Gangguan pertukaran
gas
DO : - Ketidak seimbangan Hipervolemia
staling force
DS :
Tekanan onkotiok
1. Ditensi vena jugularis
plasma
2. Terdengar suara nafas tembahan
3. Hepatomegali
Cairan berpindah ke
interstitial
4. Kadar Hb/Ht turun
5. Oliguria
Akumulasi cairan
6. Intake lebih banyak dari output
berlebihan
(balans cairan positif)
7. Kongesti paru
Hipervolemia
3. Merasa lemah
Gangguan pertukaran
gas
DO :
4. Sianosis
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Kolaborasi