Anda di halaman 1dari 15

BAB I

KONSEP MEDIS

A. DEFINISI
Menurut Slusher (2013) Hiperbilirubin merupakan suatu kondisi di mana
produksi bilirurin yang berlebihan di dalam darah. Menurut Lubis (2013),
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis tersering ditemukan pada
bayi baru lahir, dapat disebabkan oleh proses fisiologis, atau patologis, atau kombinasi
keduanya.
Ikterus neonatorum adalah suatu keadaan pada bayi baru lahir dimana kadar
bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama dengan ditandai adanya
ikterus yang bersifat patologis (Alimun,H,A : 2005). Jadi, dari beberapa pengertian di
atas dapat di simpulkan bahwa hiperbilirubin merupakan suatu kondisi di mana kadar
bilirubin yang berlebihan dalam darah yang biasa terjadi pada neonatus baik secara
fisologis, patologis maupun keduanya.
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin
tidak dikendalikan. Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap
tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excess Physiological Jaundice’.
Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice)
apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram
Bhutani

.
Gambar Kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram
Bhutani
Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatarum adalah
keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera
akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Pada orang dewasa, ikterus
akan tampak apabila serum bilirubin >2 mg/dl(>17μmol/L) sedangkan pada neonatus
baru tampak apabila serum bilirubin >5mg/dl(86μmol/L). Ikterus lebih mengacu pada
gambaran klinis berupa pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia
lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum total.
Terdapat 2 jenis ikterus yaitu yang fisiologis dan patologis.

1. Ikterus fisiologi
Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga serta
tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai potensi menjadi karena
ikterus. Adapun tanda-tanda sebagai berikut :
a. Timbul pada hari kedua dan ketiga
b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.
d. Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.
e. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
f. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.
2. Ikterus Patologi
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-
tandanya sebagai berikut :
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b. Kadar bilirurubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau
melebihi 12,5% pada neonatus kurang bulan.
c. Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg%/hari.
d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
DERAJAT HIPERBILIRUBIN MENURUT KRAMER

RATA-RATA SERUM
ZONA BAGIAN TUBUH
INDIREK (Umol/L)
1 Kepala sampai leher 100
2 Kepala, leher, sampai umbilikus 150
3 Kepala, leher, pusar sampai paha 200
4 Lengan + tungkai 250
5 Kepala sampai ke tumit kaki >250
(Sumber : Pengantar Ilmu Kesehatan Anak I, 2005)
Untuk menilai kadar bilirubin secara klinis, Kremer memperkenalkan penilaian
klinis derajat ikterus neonatal. Penilaian tersebut sebagai berikut :
1. Kramer I : daerah kepala (Bilirubin total ± 5 – 7 mg)
2. Kramer II : daerah dada - pusat (Bilirubin total ± 7 – 10 mg)
3. Kramer III : daerah perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total ± 10 – 13 mg)
4. Kramer IV : daerah lengan sampai pergelangan tangan, tunggkai bawah sampai
pergelangan kaki (Bilirubin total ± 13 – 17 mg)
5. Kramer V : hingga telapak tangan dan kaki (Bilirubin total > 17 mg)

B. ETIOLOGI
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena keadaan
sebagai berikut;
1. Polychetemia (Peningkatan jumlah sel darah merah)
2. Isoimmun Hemolytic Disease
3. Kelainan struktur dan enzim sel darah merah
4. Keracunan obat (hemolisis kimia; salisilat, kortikosteroid, kloramfenikol)
5. Hemolisis ekstravaskuler
6. Ecchymosis
7. Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi empedu
(atresia biliari), infeksi, masalah metabolik galaktosemia, hipotiroid jaundice
ASI
8. Adanya komplikasi; asfiksia, hipotermi, hipoglikemi. Menurunnya ikatan
albumin; lahir prematur, asidosis.
C. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari pengrusakan
sel darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya kan masuk sirkulasi,
diimana hemoglobin pecah menjadi heme dan globin. Gloobin {protein} digunakan
kembali oleh tubuh sedangkan heme akan dirubah menjadi bilirubin unkonjugata dan
berikatan dengan albumin.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab
bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila
terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit
janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan
sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y
terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan
anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii
transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis
neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan
otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang
memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus
sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau
ensefalopati biliaris.
Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus
sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi
terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan
kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel
Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat
menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar
protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan
ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan
bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada
Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat
ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut kernikterus.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan
timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar
Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan
neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat
keadaan BBLR , hipoksia, dan hipoglikemia.
(Sumber: IDAI,2011)
D. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin adalah;
1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi.
3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai puncak
pada hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke lima sampai
hari ke tujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung
tampak kuning terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk)
kulit tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat
dilihat pada ikterus yang berat.
5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti dempul
6. Perut membuncit dan pembesaran pada hati
7. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
8. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
9. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus,
kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.
(Sumber: Fundamental Keperawatan, 2005)
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin lebih
dari 14 mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl merupakan
keadaan yang tidak fisiologis.
b. Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
c. Protein serum total.
Pemeriksaan serum bilirubin(direk dan indirek) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit
atau bayi-bayi yang tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia
berat.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi
menentukan penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan
‘Coombs test’, darah lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit,
skrining G6PD dan bilirubin direk. Pemeriksaan serum bilirubin total harus
diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin.
Kadar serum albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan terapi
sinar atau transfusi tukar.
Penegakan diagnosis ikterus neonatarum berdasarkan waktu
kejadiannya :
Waktu Diagnosis Banding Anjuran Pemeriksaan
Hari ke- Penyakit hemolitik (bilirubin indirek) a. Kadar bilirubin serum berkala,
1 a. Inkompatibilitas darah (Rh, Hb,Ht, retikulosit, sediaan apus
ABO). darah.
b. Sferositosis. b. Golongan darah ibu/bayi, uji
c. Anemia hemolitik non Coomb
sferositosis (misalnya defisiensi c. Uji tapis defisiensi enzim.
G6PD) d. Uji serologi terhadap TORCH
d. Ikterus Obstruktif (bilirubin
direk)
e. Hepatitis neonatal o.k TORCH.
a. Kuning pada bayi prematur. a. Hitung jenis darah lengkap.
b. Kuning fisiologik. b. Urin mikroskopik dan biakan
Hari ke- c. Sepsis urin.
2 s/d ke- d. Darah ektravaskular. c. Pemeriksaan terhadap infeksi
5 e. Polisitemia bakteri.
f. Sferositosis kongenital d. Golongan darah ibu/bayi, uji
Coomb
a. Sepsis. a. Uji fungsi tiroid.
b. Kuning karena ASI. b. Uji tapis enzim G6PD.
Hari ke-
c. Defisiensi G6PD. c. Gula dalam urin.
5 s/d ke-
d. Hipotiroidisme. d. Pemeriksaan terhadap sepsis.
10
e. Galaktosemia.
f. Obat-obatan
a. Atresia biliaris. a. Urin mikroskopik dan biakan
b. Hepatitis neonatal. urin.
c. Kista koledokus. b. Uji serologic terhadap TORCH.
Hari ke- d. Sepsis (terutama infeksi saluran c. Alfa feto protein, alfa-
10 atau kemih). 1antitriptisan.
lebih e. Stenosis pilorik. d. Biopsi hati.
e. Kolesistografi.
f. Uji Rose-Bengal

2. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.

F. KOMPLIKASI
1. Bilirubin encephalopathi
2. Kern ikterus
Kern ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang diakibatkan
oleh tingginya kadar bulirubin sehingga bersifat toksik terhadap otak, ditandai
dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian,
gangguan penglihatan, dan mental retardasi.
Tanda-tanda dan gejala-gejala kern ikterus biasanya muncul 2-5 hari
sesudah lahir pada bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi
prematur, tetapi hiperbilirubinemia dapat menyebabkan sindroma setiap saat
selama masa neonatus. Tanda-tanda awal bisa tidak terlihat jelas dan tidak dapat
dibedakan dengan sepsis, asfiksia, hipoglikemia, pendarahan intrakranial dan
penyakit sistemik akut lainnya pada bayi neonatus. Lesu, nafsu makan jelek dan
hilangnya refleks Moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim. Selanjutnya,
bayi dapat tampak sangat sakit, tidak berdaya disertai refleks tendo yang menjadi
negatif dan kegawatan pernapasan. Opistotonus, dengan fontanela yang
mencembung, muka dan tungkai berkedut, dan tangisan melengking bernada
tinggi dapat menyertai. Pada kasus yang lanjut terjadi konvulsi dan spasme,
kekakuan pada bayi dengan lengan yang terekstensi dan berotasi ke dalam serta
tangannya menggenggam. Rigaditas jarang terjadi pada stadium lanjut.
3. Asfiksia
4. Hipotermi
5. Hipoglikemia
G. PENATALAKSANAAN
1. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini (pemberian
ASI).
2. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran, misalnya
sulfa furokolin.
3. Pencegahan dan pengobatan hipoksia pada neonatus dan janin.
4. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan memperbesar
konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang mana dapat
meningkatkan billirubin konjugasi dan clereance hepatik pigmen dalam empedu.
Fenobarbital tidak begitu sering digunakan.
5. Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.
6. Fototerapi
Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin patologis dan
berfungsi untuk menurunkan billirubin dikulit melalui tinja dan urine dengan
oksidasi foto pada billirubin dari billiverdin.
Fototerapi pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah sakit. Dalam
perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
a. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin
dengan membuka pakaian bayi.
b. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat
memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel
reproduksi bayi.
c. Bayi diletakkan 40-60 cm di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak
yang terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.
d. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi
yang terkena cahaya dapat menyeluruh.
e. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
f. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
g. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan
hemolisis.
Usia Berat <1500g kadar Berat 1500-2000 g Berat >2000 g
bilirubin kadar bilirubin kadar bilirubin
(µMOL/L) (µMOL/L) (µMOL/L)
< 24 jam >70 >70 >85
24 – 48 jam >85 >120 >140
49 – 72 jam >120 >155 >200
>72 jam >140 >170 >240
1 mg/dL = 17,1 µMOL/L
The Royal Women’s Hospital Neonatal Services : Clinician’s Handbook. February
2007
7. Transfusi tukar.
Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan foto
terapi. Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:
a. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤20mg%
b. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam
c. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
d. Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14mg% dan uji Coombs direct
positif.
Usia Berat <1500g kadar Berat 1500-2000 g Berat >2000 g
bilirubin kadar bilirubin kadar bilirubin
(µMOL/L) (µMOL/L) (µMOL/L)
< 24 jam >170 - 255 >255 >270 – 310
24 – 48 jam >170 - 255 >255 >270 – 310
50 – 72 jam >170 - 255 >270 >290 – 320
>72 jam >255 >290 >310 – 340
1 mg/dL = 17,1 µMOL/L
The Royal Women’s Hospital Neonatal Services : Clinician’s Handbook. February
2007
BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Riwayat orang tua :


Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia,
Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
2. Pemeriksaan Fisik :
Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks
menyusui yang lemah, Iritabilitas.
3. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa
bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
4. Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal
keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan
mempelajari Hiperbilirubinemia
B. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko cedera, faktor risiko: pemecahan produk sel darah merah dalam jumlah
besar daripada hati normal atau hati imatur
2. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
3. Risiko Kerusakan integritas kulit, faktor risiko: terapi radiasi
4. Risiko terjadi gangguan suhu tubuh akibat efek samping fototerapi berhubungan
dengan efek mekanisme regulasi tubuh.
5. Risiko tinggi kekurangan volume cairan akibat efek samping
fototerapi berhubungan dengan pemaparan sinar dengan intensitas tinggi
C. Rencana Keperawatan

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Risiko cedera Setelah dilakukan tindakan 1. Berikan makanan awal untuk meningkatkan
Factor risiko: pemecahan keperawatan selama … tidak eksresi bilirubin dalam feses
produk sel darah merah terjadi cedera dengan kriteria 2. Kaji kulit akan adanya tanda-tanda ikterik,
dalam jumlah besar hasil: yag mengindikasikan peningkatan kadar
daripada hati normal atau bilirubin
hati imatur 1. Tidak ada tanda-tanda 3. Perhatikan waktu ikterik awal untuk
ikterik membedakan ikterik fisiologis (tampak
2. Kadar bilirubin dalam setelah 24 jam) dari ikterik yang disebabkan
batas normal oleh penyakit hemolitik atau penyebab lain
3. Status umum bayi normal (tampak sebelum 24 jam)
4. Kaji status umum bayi, khususnya factor-
faktor (mis, hipotermi, hipoksia,
hipoglikemi) yang meningkatkan risiko
kerusakan otak karena hiperbilirubinemia
5. Lakukan fototerapi sesuai ketentuan

Gangguan integritas kulit Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor warna dan keadaan kulit setiap 4-
berhubungan dengan keperawatan selama ......x24 8 jam
peningkatan kadar bilirubin jam, diharapkan integritas 2. Monitor keadaan bilirubin direk dan
kulit kembali baik/ normal indirek ( kolaborasi dengan dokter dan
indirek dalam darah, ikterus
dengan analis )
pada sclera leher dan badan. kriteria hasil : 3. Ubah posisi miring atau tengkurap.
 Kadar bilirubin dalam Perubahan posisi setiap 2 jam berbarengan
batas normal ( 0,2 – 1,0 dengan perubahan posisi lakukan massage
mg/dl ) dan monitor keadaan kulit
 Kulit tidak berwarna 4. Jaga kebersihan kulit dan kelembaban
kuning/ warna kuning kulit/ Memandikan dan pemijatan bayi
mulai berkurang
 Tidak timbul lecet akibat
penekanan kulit yang
terlalu lama
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Risiko tinggi kekurangan Setelah diberikan asuhan 1. Pantau masukan dan haluan cairan;
volume cairan akibat efek keperawatan selama .....x 24 timbang berat badan bayi 2 kali sehari.
samping jam, cairan tubuh neonatus 2. Perhatikan tanda- tanda dehidrasi (mis:
adekuat dengan kriteria hasil : penurunan haluaran urine, fontanel
fototerapi berhubungan
 Tugor kulit baik tertekan, kulit hangat atau kering dengan
dengan pemaparan sinar turgor buruk, dan mata cekung).
 Membran mukosa lembab
dengan intensitas tinggi 3. Perhatikan warna dan frekuensi defekasi
 Intake dan output cairan
seimbang dan urine.
 Nadi, respirasi dalam 4. Tingkatkan masukan cairan per oral
batas normal (N: 120- sedikitnya 25%. Beri air diantara
160 x/menit, RR : 35 menyusui atau memberi susu botol.
x/menit ), suhu ( 36,5- 5. Pantau turgor kulit
37,5 C ) 6. Berikan cairan per parenteral sesuai
indikasi

Risiko terjadi Setelah diberikan asuhan 1. Pantau kulit neonates dan suhu inti setiap
gangguan suhu tubuh akibat keperawatan selama ......x 24 2 jam atau lebih sering sampai
efek samping jam, diharapkan tidak terjadi setabil( mis; suhu aksila) dan Atur suhu
gangguan suhu tubuh dengan incubator dengan tepat
fototerapi berhubungan
kriteria hasil : 2. Monitor nadi, dan respirasi
dengan efek mekanisme
 Suhu tubuh dalam
regulasi tubuh. rentang normal (36,50C- 3. Monitor intake dan output
370C )
 Nadi dan respirasi dalam
batas normal ( N : 120-
160 x/menit, RR : 35
x/menit )
 Membran mukosa lembab

Ansietas berhubungan NOC : NIC :


dengan perubahan status - Kontrol kecemasan
Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
kesehatan - Koping
Setelah dilakukan asuhan  Gunakan pendekatan yang menenangkan
selama ……………klien  Nyatakan dengan jelas harapan terhadap
kecemasan teratasi dgn kriteria pelaku pasien
hasil:  Jelaskan semua prosedur dan apa yang
 Klien mampu dirasakan selama prosedur
mengidentifikasi dan  Temani pasien untuk memberikan
mengungkapkan gejala keamanan dan mengurangi takut
cemas  Berikan informasi faktual mengenai
 Mengidentifikasi, diagnosis, tindakan prognosis
mengungkapkan dan  Libatkan keluarga untuk mendampingi
menunjukkan tehnik klien
untuk mengontol cemas
 Instruksikan pada pasien untuk
 Vital sign dalam batas
menggunakan tehnik relaksasi
normal
 Dengarkan dengan penuh perhatian
 Postur tubuh, ekspresi
wajah, bahasa tubuh dan  Identifikasi tingkat kecemasan
tingkat aktivitas  Bantu pasien mengenal situasi yang
menunjukkan menimbulkan kecemasan
berkurangnya kecemasan  Dorong pasien untuk mengungkapkan
perasaan, ketakutan, persepsi
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Hidayat A. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta: Salemba medika.

Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan Maternal /
Bayi. EGC. Jakarta

NANDA International. 2012. Nursing Diagnoses : Definitions & Classifications 2012-2014.


Jakarta : EGC

Price, S. A.,Wilson, L.M.,(2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.EGC:


Jakarta

Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter Pratama.
Jakarta.

Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai