Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERBILIRUBIN
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BANDUNG

Diajukan untuk memenuhi salah satu Tugas Praktek Keperawatan Anak

DISUSUN OLEH :

PUTRI AGESTI
P17320120517

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI NERS
2021

1
LAPORAN PENDAHULUAN HIPERBILIRUBIN

A. Definisi
Hiperbilirubinemia ialah terjadinya peningkatan kadar bilirubin dalam
darah>5mg/dL, baik oleh faktor fisiologik maupun non-fisiologik, yang secara
klinis ditandai dengan ikterus. Hiperbilirubinemia merupakan salah satu
fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari
85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan
disebabkan oleh keadaan ini. Bayi dengan hiperbilirubinemia tampak kuning
akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna kuning pada sklera dan kulit
(Mathindas dkk, 2013).
B. Etiologi
Etiologi pada bayi dengan hiperbilirubinemia diantaranya:
1. Produksi bilirubin berlebihan, yang dapatterjadi karena polycethemia,
issoimun, hemolytic disease, kelainanstrukturdanenzimseldarahmerah,
keracunan obat (hemolisiskimia salisilat, kortikosteroid, klorampenikol),
hemolisisekstravaskuler, cephalhematoma, ecchymosis.
2. Gangguan fungsi hati; obstruksi empedu/atresia biliari, infeksi, masalah
metabolik; hypothyroidisme, jaundice ASI.
3. Gangguan pengambilan dan pengangkutan bilirubin dalam hepatosit.
4. Gagalnya proses konjugasi dalam mikrosomhepar.
5. Gangguan dalam ekskresi.
6. Peningkatan reabsorpsi pada saluran cerna (siklus enterohepatik).
C. Faktor resiko
Menurut Mathindas dkk (2013), faktor resiko yang dapat memengaruhi terjadinya
hiperbilirubinea antara lain :
1. ASI yang kurang
ASI yang masuk ke tubuh bayi salah satunya berfungsi untuk memroses
pembuangan bilirubin ke dalam tubuh sehingga pada bayi yang tidak cukup
mendapatkan ASI akan bermasalah. Hal ini biasanya terjadi pada bayi
prematur yang ibunya tidak cukup memproduksi ASI.
2. Peningkatan jumlah sel darah merah
Peningkatan jumlah sel darah merah beresiko untuk terjadinya
hiperbilirubinemia. Misalnya: bayi yang lahir memiliki jenis golongan darah
yang berbeda dengan ibunya, lahir anemia akibat abnormalitas eritrosit

2
(eliptositosis) atau mendapat transfusi darah beresiko tinggi akan mengalami
hiperbilirubinemia.
3. Infeksi/inkompabilitas ABO-Rh
Berbagai infeksi pada bayi atau yang ditularkan ibu ke janinnya di dalam
rahim dapat meningkatkan risiko hiperbilirubinemia. Seperti infeksi
kongenital virus herpes, sifilis kongenital, rubela, dan sepsis.
D. Klasifikasi
Menurut (Nanny Lia Dewi, 2013) klasifikasi ikterus dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang
tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang
membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “kernicterus” dan tidak
menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
a. Timbul pada hari kedua dan ketiga
b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonates cukup bulan
dan 12,5 mg% untuk neonates lebihbulan
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari
d. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama
e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik
2. Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Ikterus
patologis memiliki tanda dan gejala sebagai berikut:
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonates cukup bulan atau melebihi
12,5 mg% pada neonates kurang bulan
c. Peningkatan bilirubin lebihdari 5 mg% perhari
d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama
e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%
f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik

3
Rumus Kramer

Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin (mg%)


1. Kepala dan leher 5
2. Daerah 1 + badan bagian atas 9
3. Daerah 1, 2 + badan bagian 11
bawah dan tungkai
4. Daerah 1, 2, 3 + lengan dan kaki 12
dibawah tungkai
5. Daerah 1, 2, 3, 4 + tangan dan 16
kaki

E. Patofisiologi

Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.


Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancurkan eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y
dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang
memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan
konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya
sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu biliribin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah orak.

4
Kelainan yang terjadi pada otak disebut kern ikterus. Pada umumnya,
dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila
kadar bilirubin inderk lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar bilirubin
melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan
neonatus. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar otak apabila bayi terdapat
keadaan berat badan lahir rendah (BBLR), hipoksia dan hipoglikema.

Pathway

Hemoglobin

Globin Hema

Bilivirdin Feco

Peningkatan destruksi eritrosit (gangguan konjugasi bilirubin/gangguan transport bilirubin/peningkatan siklus enterohepatik), Hb dan eritro
5

Pemecahan bilirubin berlebih / bilirubin yang tidak berikatan dengan albumin meningkat
Suplai bilirubin melebihi kemampuan hepar

Hepar tidak mampu melakukan konjugasi

F. Manifestasi klinis
Menurut Mathindas dkk (2013) menyatakan bahwa gejala yang tampak
Sebagian masuk kembali ke siklus enterohepatik
pada bayi dengan hiperbilirubinemia ialah rasa kantuk, tidak kuat menghisap
ASI/susu formula, muntah, opistotonus, mata terputar-putar ke atas, kejang, dan
Peningkatan bilirubin unconjugned
yang dalamadalah
paling parah darah, pengeluaran meconeumbesar
kematian. Sebagian terlambat, obstruksi usus, tinja
hiperbilirubinemia berwarna pucat
tidak
berbahaya, tetapi hiperbilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan
otak (Kern icterus). Jangka panjang kern icterus adalah retardasi mental,
Gangguan integritas kulitIcterus pada sklera, leher dan badan peningkatan bilirubin indirek> 12 mg/dl
kelumpuhan serebral, tuli dan mata tidak dapat digerakkan ke atas.
G. Pemeriksaan diagnostik
Menurut (Lissauer, Tom. Dkk 2008) menyatakan bahwa pengukuran bilirubin
diindikasikan jika: Indikasi Fototerapi
- Ikterus pada usia kurang dari 24 jam
- Ikterus tampaknya signifikan pada pemeriksaan klinis.
Bilirubin total diplot pada nonogram spesifik-jam untuk menentukan risiko
hiperbilirubinemia signifikan. (Gambar 1.1) Sinar dengan intensitas tinggi

Resiko tinggi injuri Kekurangan volume cairantubuh Gangguan suhu tubuh

Gambar 1.1 : Diagram bilirubin serum berdasar usia untuk bayi dengan usia
gestasi ≥ 35 minggu dan berat lahir ≥ 2,5 kg. Diagram ini dapat digunakan untuk
memprediksi risiko berkembangnya hiperbilirubinemia signifikan.
- Bilirubin direk
- Hitung Darah Lengkap, retikulosit dan apusan untuk darah tepi

6
- Golongan darah dan tes antibodi direk (direct antibody test, DAT atau tes
coombs).
- Konsentrasi G6PD (glucose-6-phosphate dehydrogenase).
- Albumin serum
- Urinalisis untuk mengetahui zat pereduksi (galaktosemia).
Namun demikian, pada sebagian besar bayi penyebabnya tidak
teridentifikasi.
H. Tatalaksana medis
Menurut (Nuarif, A. H & Hardhi K 2015) penatalaksanaan medis pada
hiperbilirubinemia antara lain:
a. Terapi sinar (fototerapi)
Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin
dalam darah kembali ke ambang batas normal
b. Terapi transfusi
Jika setelah menjalani fototerapi tak ada perbaikan dan kadar bilirubin terus
meningkat hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu dilakukan
terapi transfusi darah. Dikhawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan
kerusakan sel saraf otak (kern ikterus).
c. Terapi obat-obatan
Misalnya, obat Phenobartial atau luminal untuk meningkatkan pengikatan
bilirubin di sel-sel hati sehingga bilirubin yang sifatnya indirect berubah
menjadi direct. Ada juga obat-obatan yang mengandung plasma atau
albumin berguna untuk mengurangi timbunan bilirubin dan mengangkut
bilirubin bebas ke organ hati. Biasanya terapi ini dilakukan dengan terapi
seperti fototerapi.
d. Menyusui bayi dengan ASI
Seperti diketahui, ASI memilki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat
memperlancar buang air besar dan kecilnya.
e. Terapi sinar matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya
dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit.

7
Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia pada Neonatus Cukup Bulan yang Sehat
(American Academy of Pediatrics)

*Neonatus cukup bulan dengan ikterus pada umur ≤ 24 jam, bukan neonatus
sehat dan evaluasi ketat.

8
ASUHAN KEPERAWATAN
HIPERBILIRUBIN

A. Anamnese orang tua/keluarga

Ibu dengan rhesus ( - ) atau golongan darah O dan anak yang mengalami
neonatal ikterus yang dini, kemungkinan adanya erytrolastosis fetalis ( Rh, ABO,
incompatibilitas lain golongan darah). Ada sudara yang menderita penyakit
hemolitik bawaan atau ikterus, kemungkinan suspect spherochytosis herediter
kelainan enzim darah merah. Minum air susu ibu ,ikterus kemungkinan karena
pengaruh pregnanediol.

B. Riwayat kelahiran
 Ketuban pecah dini, kesukaran kelahiran dengan manipulasi berlebihan
merupakan predisposisi terjadinya infeksi.
 Pemberian obat anestesi, analgesik yang berlebihan akan mengakibatkan
gangguan nafas (hypoksia) , acidosis yang akan menghambat
konjugasibilirubn.
 Bayi dengan apgar score rendah memungkinkan terjadinya (hypoksia) ,
acidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubin.
 Kelahiran Prematur berhubungan juga dengan prematuritas organ tubuh
(hepar).
C. Pemeriksaanfisik
 Keadaan umum tampak lemah, pucat dan ikterus dan aktivitas menurun
 Kepala leher
- Bisa dijumpai ikterus pada mata (sclera) dan selaput / mukosa pada mulut.
Dapat juga diidentifikasi ikterus dengan melakukan Tekanan langsung
pada daerah menonjol untuk bayi dengan kulit bersih ( kuning)
- Dapat juga dijumpai cianosis pada bayi yang hypoksia
 Dada
- Selain akan ditemukan tanda ikterus juga dapat ditemukan tanda
peningkatan frekuensi nafas.
- Status kardiologi menunjukkan adanya tachicardia, khususnya ikterus
yang disebabkan oleh adanya infeksi.
 Perut

9
- Peningkatan dan penurunan bising usus /peristaltic perlu di cermati. Hal
ini berhubungan dengan indikasi piñata laksanaan photo terapi. Gangguan
Peristaltik tidak diindikasikan photo terapi.
- Perut membuncit, muntah , mencret merupakan akibat gangguan
metabolism bilirubunenterohepatik
- Splenomegali dan hepatomegali dapat dihubungkan dengan Sepsis
bacterial, tixoplasmosis, rubella
 Urogenital
- Urine kuning dan pekat.
- Adanya faeces yang pucat / acholis / seperti dempul atau kapur merupakan
akibat dari gangguan / atresia saluran empedu.
 Ekstremitas
- Menunjukkan tonus otot yang lemah
 Kulit
- Tanda dehidrasi ditunjukkan dengan turgor tang jelek. Elastisitas
menurun.
- Perdarahanbaahkulitditunjukkandenganptechia, echimosis.
 Pemriksaan Neurologis
- Adanya kejang, epistotonus, lethargy dan lain – lain menunjukkan
adanya tanda – tanda kern - ikterus
 Pemerksaan Penunjang
- Darah : DL, Bilirubin > 10 mg %
- Biakan darah, CRP menunjukkan adanya infeksi
- Sekrening enzim G6PD menunjukkan adanya penurunan
- Screnning Ikterus melalui metode Kramer dll
- Skreening ikterus melalui metode kremer.

10
D. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fototerapi
2. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan fototerapi
3. Defisien volume cairan berhubungan dengan asupan cairan kurang, fototerapi
4. Ketidakefektifan pola menyusu bayi berhubungan dengan kemampuan
menghisap menurun
5. Resiko injuri berhubungan dengan efek photo terapi, hepar imatur

11
E. Rencana Keperawatan

DIAGNOSA
NO NOC NIC RASIONAL
KEPERAWATAN
1 Kerusakan integritas Tujuan: Tidak a. Lindungi mata bayi dengan penutup mata a. Menghindari kontak langsung mata
kulit berhubungan mengalami khusus dengan sinar
dengan fototerapi komplikasi dari b. Cek mata bayi setiap shift (drainase dan b. Mencegah keterlambatan penanganan
fototerapi iritasi) c. Pencahayaan maksimum dan merata
Kriteria hasil c. Letakkan bayi telanjang dibawah lampu serta organ vital terlindungi dari
a. Tidak dengan perlindungan mata dan kemaluan kerusakan
memperlihatka d. Monitor temperature aksila d. Pemaparan panas dengan sinar
n iritasi mata, e. Pastikan intake cairan adequate memungkinkan terjadinya ketidakstabilan
dehidrasi, f. Jaga bersihan perianal suhu badan
ketidakstabilan e. Pemaparan panas meningkatkan
temperatur, penguapan yang harus segera diganti
dan kerusakan dengan intake cairan
kulit f. Menekan resiko iritasi kulit
b. Bayi terlindung
dari sumber
cahaya

12
2 Ketidakefektifan Setelah diberikan a. Observasi suhu tubuh tiap 4-6 jam a. Suhu terpantau secara rutin
termoregulasi tindakan b. Matikan lampu sementara bila terjadi b. Mengurangi paparan sinar sementara
berhubungan keperawatan kenaikan suhu dan berikan kompres
dengan fototerapi selama ...x24 jam dingin serta ekstra minum
diharapkan tidak c. Kolaborasi dengan tenaga medis lainnya
terjadi gangguan
termoregulasi
dengan kriteria
hasil:
Suhu aksila yang
stabil antara 36,5-
37,7 oC

3 Defisien volume Setelah diberikan a. Kaji reflek hisap bayi a. Mengetahui kemampuan menghisap
cairan berhubungan tindakan b. Beri minum per oral/menyusui bila reflek bayi
dengan asupan keperawatan hisap adekuat b. Menjamin intake yang adekuat
cairan kurang, selama ...x24 jam c. Catat jumlah intake dan output, c. Mengetahui cukup atau tidaknya
fototerapi diharapkan tidak frekuensi, dan konsistensi feses intake
terjadi defisit d. Monitor turgor kulit, suhu, HR tiap 4 jam d. Mengetahui tanda-tanda dehidrasi

13
volume cairan e. Timbang BB tiap hari agar dapat dicegah
dengan kriteria e. Mengetahui cukup atau tidaknya
hasil: cairan dan nutrisi
a. Intake dan
output
seimbang
b. Turgor
kulit, TTV
dalam
batas
normal
c. Penurunan
BB tidak
lebih dari
10% BB

4 Ketidakefektifan pola Setelah diberikan a. Berikan nutrisi secara adequate a. Menganti cairan dan nutrisi yang hilang
menyusu bayi tindakan b. Berikan minum tepat waktu dan sesuai akibat terapi sinar
berhubungan keperawatan ukuran dan kebutuhan b. Pemasukan nutrisi adequate bila

14
dengan kemampuan selama ...x24 jam c. Observasi kemampuan menghisap kemampuan mengisap baik
menghisap menurun diharapkan tidak d. Pasang Sonde bila kemampuan mengisap c. Meningkatkan intake melalui sonde
terjadi gangguan turun karena gagal melalui mulut
pemenuhan e. Timbang BB setiap hari d. Memantau perkembangan kebutuhan
nutrisindengan f. Kolaborasi ahli gizi nutrisi
kriteria hasil:
a. Porsi minum
habis
b. BB naik
c. Menghisap kuat

5 Resiko injuri Setelah diberikan a. Tempatkan neonatus 40-45 cm dari a. Mencegah iritasi yang berlebihan
berhubungan tindakan sumber cahaya b. Mencegah paparan sinar pada daerah
dengan keperawatan b. Biarkan neonatus telanjang kecuali mata yang sensitif
efekphototerapi, selama ...x24 jam dan area genital serta bokong ditutup c. Pemantauan dini terhadap kerusakan
hepar imatur diharapkan tidak dengan kain yang dapat memantulkan daerah mata
terjadi injury cahaya dan usahakan agar penutup mata d. Memberi kesempatan pada bayi untuk
dengan kriteria tidak menutupi hidung dan bibir kontak mata dengan ibu
hasil: c. Matikan lampu lalu buka penutup mata
Tidak ada untuk mengkaji adanyat konjungtivitis

15
konjungtivitis, tiap 8 jam
kerusakan d. Buka penutup mata setiap akan diberikan
jariangan kornea susu

16
DAFTAR PUSAKA

Herdman, T.H., &ShigemiKamitsur. (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan(11th ed.)


Jakarta: EGC

Lissauer, T. & A. a. F. (2008). At a Glance NEONATOLOGI. Jakarta: Erlangga

Mathindas, Stervy, D. (2013). HIPERBILIRUBINEA PADA NEONATUS. 5, 84–90

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & DKK. (2013a). Nursing Incomes
Classification (6th ed). Kidlington: Elsevier

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & DKK. (2013a). Nursing Incomes
Classification (6th ed). Kidlington: Elsevier

Nanny Lia Dewi, V. (2013). Asuhan Neonatus Bayi Dan Anak Balita. Jakarta: Salemba
Medika.

17

Anda mungkin juga menyukai