Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERBILIRUBINEMIA

I. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Menurut Slusher (2013), hiperbilirubin merupakan suatu kondisi di mana produksi
bilirurin yang berlebihan di dalam darah. Menurut Lubis (2013), hiperbilirubinemia
merupakan salah satu fenomena klinis tersering ditemukan pada bayi baru lahir, dapat
disebabkan oleh proses fisiologis, atau patologis, atau kombinasi keduanya.
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.
Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7
mg/dl (Kosim, 2012).
Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit, atau jaringan lainnya akibat adanya
penimbunan bilirubin dalam tubuh. Keadaan ini merupakan tanda penting dari penyakit
hati atau kelainan fungsi hati, saluran empedu, dan penyakit darah. Bila kadar bilirubin
darah 11 melebihi 2 mg%, maka ikterus akan terlihat. Namun pada neonatus ikterus masih
belum terlihat meskipun kadar bilirubin darah sudah melampaui 5 mg%. Ikterus terjadi
karena adanya peninggian kadar bilirubin indirek (unconjugated) dan atau kadar bilirubin
direk (conjugated) (Hasan dan Alatas, 2007).

B. Derajat Hiperbilirubin Menurut Kramer(Saifuddin, 2009)

RATA-RATA SERUM
ZONA BAGIAN TUBUH
INDIREK (Umol/L)
1 Kepala sampai leher 100
2 Kepala, leher, sampai umbilicus 150
3 Kepala, leher, pusar sampai paha 200
4 Lengan + tungkai 250
5 Kepala sampai ke tumit kaki >250
C. Klasifikasi
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis adalah suatu proses normal yang terlihat pada sekitar 40-50 %
bayi aterm/cukup bulan dan sampai dengan 80 % bayi prematur dalam minggu
pertama kehidupan. Ikterus fisiologis adalah perubahan transisional yang memicu
pembentukan bilirubin secara berlebihan di dalam darah yang menyebabkan bayi
berwarna ikterus atau kuning (Kosim, 2012).
Menurut Ridha (2014) ikterus fisiologis memiliki tandatanda, antara lain sebagai
berikut:
a. Warna kuning akan timbul pada hari kedua atau ketiga setelah bayi lahir dan
tampak jelas pada hari kelima sampai keenam dan menghilang sampai hari
kesepuluh.
b. Kadar bilirubin indirek tidak lebih dari 10 mg/dl pada neonatus kurang bulan dan
12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak lebih dari 5 mg/dl per hari.
d. Kadar bilirubin direk tidak lebih dari 1 mg/dl.
e. Tidak memiliki hubungan dengan keadaan patologis yang berpotensi menjadi kern
icterus (ensefalopati biliaris adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan
bilirubin indirek pada otak).
2. Ikterus Patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia (Saifuddin, 2009).
Menurut Kosim (2012) ikterus patologis tidak mudah dibedakan dari ikterus fisiologis.
Keadaan di bawah ini merupakan petunjuk untuk tindak lanjutnya sebagai berikut :
a. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam.
b. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi.
c. Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg/dl pada neonatus kurang bulan dan
12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan.
d. Peningkatan bilirubin total serum > 0,5 mg/dl/jam.
e. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi muntah, letargis,
malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang
tidak stabil.
f. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada
bayi kurang bulan.
g. Ikterus yang disertai keadaan antara lain : BBLR, masa gestasi kurang dari 36
minggu, asfiksia, infeksi, dan hipoglikemia.

Ikterus pada bayi baru lahir terdapat pada 25-50 % neonatus cukup bulan dan lebih
tinggi lagi pada neonatus kurang bulan. Ikterus pada bayi baru lahir dapat merupakan
gejala fisiologis atau dapat merupakan hal yang patologis, misalnya pada
inkompatibilitas Rh dan ABO, sepsis, penyumbatan saluran empedu, dan sebagainya
(Saifuddin, 2009).

D. Etiologi
Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) etiologi ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri
sendiri ataupun disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut :
1. Produksi yang berlebihan, lebih dari kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,
misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO,
defisiensi enzim G6PD, pyruvate kinase, perdarahan tertutup, dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan
oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi
hepar akibat asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glucoronil
transferase (criggler najjar syndrome). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y
dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel-sel hepar.
3. Gangguan dalam transportasi. Bilirubin dalam darah terikat oleh albumin kemudian
diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat-obat,
misalnya : salisilat dan sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar
atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar.
5. Obstruksi saluran pencernaan (fungsional atau struktural) dapat mengakibatkan
hiperbilirubinemia unconjugated akibat penambahan dari bilirubin yang berasal dari
sirkulasi enterohepatik.
6. Ikterus akibat Air Susu Ibu (ASI). Ikterus akibat ASI merupakan unconjugated
hiperbilirubinemia yang mencapai puncaknya terlambat (biasanya menjelang hari ke
6-14). Hal ini untuk membedakan ikterus pada bayi yang disusui ASI selama minggu
pertama kehidupan. Sebagian bahan yang terkandung dalam ASI (beta glucoronidase)
akan memecah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam lemak, sehingga bilirubin
indirek akan meningkat, dan kemudian akan diresorbsi oleh usus. Bayi yang mendapat
ASI bila dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula, mempunyai kadar
bilirubin yang lebih tinggi berkaitan dengan penurunan asupan pada beberapa hari
pertama kehidupan. Pengobatannya yaitu bukan dengan menghentikan pemberian ASI
melainkan dengan meningkatkan frekuensi pemberiannya.

E. Patofisiologi
Meningkatnya kadar bilirubin dapat juga disebabkan produksi yang berlebihan.
Sebagian besar bilirubin berasal dari destruksi eritrosit yang menua. Pada neonatus 75 %
bilirubin berasal dari mekanisme ini. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 34 mg
bilirubin indirek (free billirubin) dan sisanya 25 % disebut early labeled bilirubin yang
berasal dari pelepasan hemoglobin karena eritropoeis yang tidak efektif di dalam sumsum
tulang, jaringan yang mengandung protein heme dan heme bebas. Pembentukan bilirubin
diawali dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin. Setelah mengalami reduksi
biliverdin menjadi bilirubin bebas, yaitu zat yang larut dalam lemak yang bersifat lipofilik
yang sulit diekskresi dan mudah melewati membran biologik, seperti plasenta dan sawar
otak (Kosim, 2012).
Di dalam plasma, bilirubin tersebut terikat/bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke
hepar. Dalam hepar menjadi mekanisme ambilan sehingga bilirubin terikat oleh reseptor
membran sel hepar dan masuk ke dalam hepatosit. Di dalam sel bilirubin akan terikat dan
bersenyawa dengan ligandin (protein Y), protein Z, dan glutation S- 16 tranferase
membawa bilirubin ke reticulum endoplasma hati (Kosim, 2012).
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronide dan
sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide. Ada dua enzim yang terlibat dalam
sintesis bilirubin diglukoronide yaitu uridin difosfat glukoronide transferase (UDPG:T)
yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi
diglukoronide terjadi di membran kanalikulus (Hasan dan Alatas, 2007).

F. Faktor Predisposisi
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat disebabkan atau diperberat oleh setiap
faktor yang menambah beban bilirubin untuk dimetabolisasi oleh hati (anemia hemolitik,
waktu hidup sel darah menjadi pendek akibat imaturitas atau akibat sel yang
ditransfusikan, penambahan sirkulasi interohepatik, dan infeksi). Dapat menciderai atau
mengurangi aktivitas enzim transferase (hipoksia, infeksi, kemungkinan hipotermia, dan
defisiensi tiroid) dapat berkompetisi dengan atau memblokade enzim tranferase (obat-obat
dan bahan-bahan lain yang memerlukan konjugasi asam glukuronat untuk ekskresi) atau
dapat menyebabkan tidak adanya atau berkurangnya jumlah enzim yang diambil atau
menyebabkan pengurangan reduksi bilirubin oleh sel hepar (cacat genetik dan
prematuritas) (Arvin, 2012).
Risiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam
serum menjadi bertambah dengan adanya faktor-faktor yang mengurangi retensi bilirubin
dalam sirkulasi (hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada
albumin karena ikatan kompetitif obat-obatan, seperti sulfisoksazole dan moksalaktam,
asidosis, kenaikan sekunder kadar asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan atau
hipotermia) atau oleh faktorfaktor yang meningkatkan permeabilitas sawar darah otak atau
membran sel saraf terhadap bilirubin atau kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya,
seperti asfiksia, prematuritas, hiperosmolalitas, dan infeksi. Pemberian makan yang awal
menurunkan kadar bilirubin serum, sedangkan ASI dan dehidrasi menaikkan kadar
bilirubin serum. Mekonium mengandung 1 mg bilirubin/dl dan dapat turut menyebabkan
ikterus melalui sirkulasi enterohepatik pasca dekonjugasi oleh glukoronidase usus. Obat-
obat seperti oksitosin dan bahan kimia yang diberikan dalam ruang perawatan seperti
detergen fenol dapat juga menyebabkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi (Arvin, 2012).
G. Faktor Risiko
Menurut Kosim (2012) faktor risiko hiperbilirubinemia berat pada bayi usia kehamilan
≥ 35 minggu, antara lain sebagai berikut :
1. Faktor risiko mayor
Faktor risiko mayor dari hiperbilirubinemia adalah ikterus yang muncul dalam 24 jam
pertama kehidupan, inkompabilitas golongan darah dengan tes antiglobulin direk yang
positif atau penyakit hemolitik lainnya (defisiensi G6PD, peningkatan ETCO), umur
kehamilan antara 35-36 minggu, riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi,
ASI eksklusif dengan cara perawatan tidak baik, sefal hemathoma, dan ras Asia
Timur.
2. Faktor risiko minor
Faktor risiko minor dari hiperbilirubinemia adalah umur kehamilan antara 37-38
minggu, sebelum pulang bayi tampak kuning, riwayat anak sebelumnya kuning, bayi
makrosomia dari 20 ibu dengan penyakit Diabetes Mellitus (DM), dan bayi dengan
jenis kelamin laki-laki.

H. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin adalah :
1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik pada
bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi.
3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai puncak pada
hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke lima sampai hari ke tujuh
yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung tampak
kuning terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk) kulit tampak
berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus
yang berat.
5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti dempul
6. Perut membuncit dan pembesaran pada hati
7. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
8. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
9. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus, kejang,
stenosis yang disertai ketegangan otot.
Pengamatan ikterus kadang-kadang agak sulit apalagi dalam cahaya buatan. Paling
baik pengamatan dilakukan dalam cahaya matahari dan dengan menekan sedikit kulit
yang akan diamati untuk menghilangkan warna karena pengaruh sirkulasi darah (Hasan
dan Alatas, 2007).
Cara menegakkan diagnosa ikterus pada bayi baru lahir, antara lain sebagai berikut :
1. Keluhan subjektif yaitu bayi berwarna kuning pada muka dan sebagian tubuhnya dan
kemampuan menghisap bayi lemah (Marmi, 2012).
2. Pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan yang dilakukan dari ujung rambut sampai kaki
dengan hasil bayi berwarna kuning serta pemeriksaan reflek bayi (Hasan dan Alatas,
2007).
3. Pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu pemeriksaan golongan darah, uji coombs
direk, uji coombs indirek, kadar bilirubin total dan direk, darah periksa lengkap
dengan diferensial, protein serum total, dan glukosa serum (Kosim, 2012).

Cara untuk menentukan derajat ikterus yang merupakan risiko terjadinya kern icterus,
salah satunya dengan cara klinis (rumus Kramer) yang dilakukan di bawah sinar biasa
(day light) (Saifuddin, 2009).

Daerah kulit bayi yang berwarna kuning untuk


penerapan rumus Kremer, seperti dibawah ini :

Keterangan :

1. Kepala dan leher


2. Daerah 1 (+) Badan bagian atas
3. Daerah 1, 2 (+) Badan bagian bawah dan tungkai
4. Daerah 1, 2, 3 (+) Lengan dan kaki di bawah lutut
5. Daerah 1, 2, 3, 4 (+) Telapak tangan dan kaki

Sumber : Saifuddin, 2009

Ikterus neonatorum patologis dibagi menjadi 5 kramer sesuai dengan daerah


ikterusnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel Pembagian Ikterus Neonatorum menurut metode Kramer

Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin (mg%)


1 Kepala & leher 5
2 Daerah 1 + badan bagian atas 9
3 Daerah 1,2 + badan bagian 11
bawah & tungkai
4 Daerah 1,2,3 + lengan dan kaki 12
di bawah lutut
5 Daerah 1,2,3,4 + telapak tangan 16
& kaki
Sumber : Saifuddin, 2009

I. Pemeriksaan Diagnostik
1. Tes comb pada tali pusat bayi baru lahir : hasil positif tes comb indirek menandakan
adanya antibody Rh-positif, anti-A, atau anti-B dalam darah ibu. Hasil positif dari tes
comb direk menandakan adanya sentisisasi (Rh-positif, anti-A, anti-B) sel darah
merah dari neonatus.
2. Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
3. Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi bermakna jika melebihi 1,1-1,5 mg/dl, yang
mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tak terkonjugasi) tidak boleh
melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada
bayi yang cukup bulan atau 15 mg/dl pada bayi praterm (tergantung BB bayi).
4. Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 mg/dl menandakan penurunan kapasitas
ikatan, terutama pada bayi praterm.
5. Hitung darah lengkap : hemoglobin mungkin rendah (< 14 mg/dl) karena hemolisis.
Hematokrit mungkin meningkat (> 65%) pada polisitemia, penurunan (< 45%) dengan
hemolisis dan anemia berlebihan.
6. Daya ikat karbondioksida : penurunan kadar menunjukan hemolisis.
7. Meter ikterik transkutan : mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan bilirubin
serum.
8. Jumlah retikulosit : peningkatan retikulosit menandakan peningkatan produksi sel
darah merah dalam respons terhadap hemolisis yang berkenaan dengan penyakit Rh.
9. Smear darah perifer : dapat menunjukan sel darah merah abnormal atau imatur,
eritroblastosis pada penyakit Rh atau sferositis pada inkompabilitas ABO.
10. Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus
neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.
11. Ultrasonografi, digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan
ekstrahepatic.
12. Biopsy hati, digunakan untuk memastikan terutama untuk pada kasus yang sukar
seperti diagnosa membedakan obstruksi ekstrahepatic dengan intra hepatic selain itu
juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hepatis dan hepatomegali.
13. Radioisotop scan, digunakan untuk membantu membedakan hepatitis dan atresia
billiari.
14. Scanning enzim G6PD untuk menunjukan adanya penurunan bilirubin.

(Saifuddin, 2009)

J. Penatalaksanaan dan Pengobatan


Menurut Ridha (2014) mencegah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati biliaris
dalam hal ini yang penting ialah pengamatan yang ketat dan cermat perubahan
peningkatan kadar ikterus/bilirubin bayi baru lahir khususnya ikterus yang kemungkinan
besar menjadi patologis, yaitu :
1. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama.
2. Ikterus dengan kadar bilirubin >12,5 mg pada neonatus cukup bulan atau >10 mg%
pada neonatus kurang bulan.
3. Ikterus dengan peningkatan kadar bilirubin >5 mg%/hari.

Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) dan Kosim (2012) penatalaksanaan screening
test, antara lain sebagai berikut :

1. Golongan darah : untuk menentukan dan status Rh bayi bila transfusi sulih diperlukan.
2. Uji Coombs direk : untuk menentukan diagnosis penyakit hemolitik pada bayi baru
lahir, hasil positif mengindikasikan sel darah merah bayi telah terpajan (diselimuti
antibodi).
3. Uji Coombs indirek : mengukur jumlah antibodi Rh positif dalam darah ibu.
4. Kadar Bilirubin total dan direk : untuk menegakkan diagnosis heperbilirubinemia.
5. Darah periksa lengkap dengan diferensial : untuk mendeteksi hemolisis, anemia (Hb <
14 gr/dl) atau polisitemia (Ht lebih dari 65%), Ht kurang dari 40 % (darah tali pusat)
mengindikasi hemolisis berat.
6. Protein serum total : untuk mendeteksi penurunan kapasitas ikatan (3,0 mg/dl).
7. Glukosa serum : untuk mendeteksi hipoglikemia (< 40 mg/dl).

Dalam penanganan ikterus cara-cara yang dipakai adalah untuk mencegah dan
mengobati, sampai saat ini cara-cara itu dapat dibagi dalam empat jenis usaha, yaitu
sebagai berikut :

1. Mempercepat metabolisme dan pengeluaran bilirubin dengan early breast feeding


yaitu menyusui bayi dengan ASI (Air Susu Ibu).
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urine. Untuk itu
bayi harus mendapat cukup ASI. Seperti diketahui ASI memiliki zat-zat terbaik bagi
bayi yang dapat memperlancar BAB dan BAK. Akan tetapi pemberian ASI juga harus
dibawah pengawasan dokter karena pada beberapa kasus ASI justru meningkatkan
kadar bilirubin bayi (breast milk jaundice) (Marmi dan Rahardjo, 2012).
Pemberian fenobarbital yang yang dapat memperbesar konjugasi dan ekskresi
bilirubin. Pemberiannya akan membatasi perkembangan ikterus fisiologis pada bayi
baru lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam sebelum persalinan atau
pada bayi saat lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam. Meskipun demikian, fenobarbital
tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati ikterus pada bayi neonatus karena
pengaruhnya pada metabolisme bilirubin biasanya tidak terlihat sebelum mencapai
beberapa hari pemberian, efektivitas obat ini lebih kecil dari pada fototerapi dalam
menurunkan kadar bilirubin, dan dapat mempunyai pengaruh sedatif yang tidak
menguntungkan serta tidak menambah respon terhadap fototerapi (Nelson, 2012).
2. Terapi sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya dianjurkan setelah
bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya bisa di jemur selama setengah jam
dengan posisi yang berbeda. Lakukan pada jam 07.00-09.00 WIB karena inilah waktu
di mana sinar ultraviolet belum cukup efektif mengurangi kadar bilirubin. Hindari
posisi yang membuat bayi melihat langsung ke arah matahari karena dapat merusak
matanya.
3. Terapi sinar (Fototerapi)
Terapi sinar atau fototerapi dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar
bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi bilirubin
dalam tubuh bayi dapat dipecah dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah
dahulu oleh organ hati dan dapat dikeluarkan melalui urin dan feses sehingga kadar
bilirubin menurun (Dewi, 2010; Marmi dan Rahardjo, 2012).
Di samping itu pada terapi sinar ditemukan pula peninggian konsentrasi bilirubin
indirek dalam cairan empedu duodenum dan menyebabkan bertambahnya pengeluaran
cairan empedu ke dalam usus sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan
keluar bersama feses. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak
terus meningkat sehingga menimbulkan risiko yang lebih fatal.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan fototerapi, yaitu :
a. Alat-alat yang diperlukan menurut Dewi (2010), antara lain : Unit terapi sinar ,
yaitu:
1) Lampu fluoresensi 10 buah masing-masing 20 watt dengan gelombang sinar
425-475 nm, seperti pada sinar cool white, daylight, vita kite blue, dan special
blue.
2) Jarak sumber cahaya ke bayi ± 45 cm, di antaranya diberi kaca pleksi setebal
0,5 inci untuk menahan sinar ultraviolet.
3) Lampu diganti setiap 200-400 jam.
b. Pelaksanaan pemberian terapi sinar menurut Marmi dan Rahardjo (2012), yaitu :
1) Pemberian terapi sinar biasanya selama 100 jam.
2) Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin terkena sinar.
3) Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk
mencegah kerusakan retina. Penutup mata dilepas saat pemberian minum dan
kunjungan orang tua untuk memberikan rangsang visual pada neonatus.
4) Daerah kemaluan ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya
untuk melindungi daerah kemaluan dari cahaya fototerapi.
5) Posisi lampu diatur dengan jarak 45-50 cm di atas tubuh bayi, untuk
mendapatkan energi yang optimal.
6) Posisi tubuh bayi diubah tiap 8 jam agar tubuh mendapat penyinaran seluas
mungkin.
7) Pertahankan suhu bayi agar selalu 36,5-37 ºC dan observasi suhu setiap 4-6
jam sekali. Jika terjadi kenaikan suhu matikan sementara lampunya dan bayi
diberikan banyak minum. Setelah 1 jam kontrol kembali suhunya. Jika tetap
tinggi hubungi dokter.
8) Perhatikan asupan cairan agar tidak terjadi dehidrasi dan peningkatan suhu
tubuh bayi.
9) Pada waktu memberi minum bayi dikeluarkan, dipangku, dan penutup mata
dibuka. Perhatikan apakah terjadi iritasi atau tidak.
10) Periksa kadar bilirubin setiap 8 jam setelah pemberian terapi 24 jam.
11) Apabila kadar bilirubin telah turun menjadi 7,5 % atau kurang terapi
dihentikan walaupun belum 100 jam.
12) Jika setelah pemberian terapi 100 jam bilirubin tetap tinggi atau kadar bilirubin
dalam serum terus naik, coba lihat kembali apakah lampu belum melebihi 500
jam digunakan. Selanjutnya hubungi dokter, mungkin perlu transfusi tukar.
13) Hentikan terapi sinar bila kadar bilirubin turun di bawah batas untuk dilakukan
terapi sinar atau mendekati nilai untuk dilakukan transfusi tukar.
c. Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) hal-hal yang perlu diperhatikan pada
pemberian fototerapi, yaitu :
1) Apabila kadar bilirubin cenderung naik pada bayi-bayi yang mendapat
fototerapi intensif, kemungkinan besar terjadi proses hemolisis.
2) Kebutuhan cairan bayi meningkat selama pemberian terapi sinar, yaitu :
- Anjurkan ibu menyusui sesuai keinginan bayi, paling tidak setiap 3 jam,
tidak perlu menambah atau mengganti ASI dengan air, dekstrosa, atau
formula.
- Apabila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan
menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minum. Selama
dilakukan terapi sinar, naikkan kebutuhan hariannya dengan menambah 25
ml/kg BB.
- Apabila bayi mendapat cairan IV, naikkan kebutuhan hariannya 10-20 %.
- Apabila bayi mendapat cairan IV atau diberi minum melalui pipa lambung,
bayi tidak perlu dipindahkan dari lampu terapi sinar.
- Selama dilakukan terapi sinar, feses bayi menjadi cair dan berwarna
kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan tindakan khusus.
- Bayi dipindahkan dari alat terapi sinar bila akan dilakukan tindakan yang
tidak memungkinkan dikerjakan di bawah lampu terapi sinar.
- Apabila bayi mendapat terapi oksigen, matikan lampu saat memeriksa bayi
untuk mengetahui sianosis sentral.
- Warna kulit tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan
kadar bilirubin serum selama bayi dilakukan fototerapi dan selama 24 jam
setelah dihentikan.

d. Efek samping terapi sinar


Tabel Efek samping terapi sinar
Efek Samping Perubahan Spesifik
Perubahan suhu & metabolik lainnya Peningkatan suhu lingkungan & tubuh,
peningkatan konsumsi oksigen,
peningkatan laju respirasi, peningkatan
aliran darah ke kulit
Perubahan kardiovaskuler Perubahan sementara curah jantung &
penurunan curah ventrikel kiri
Status cairan Peningkatan aliran darah perifer &
peningkatan IWL
Fungsi saluran cerna Peningkatan jumlah dan frekuensi
buang air besar, feses cair, berwarna
hijau kecokelatan, penurunan waktu
transit usus, penurunan absorpsi, retensi
nitrogen, air dan elektrolit, perubahan
aktivitas laktosa, riboflavin
Perubahan aktivitas Lethargi, gelisah
Perubahan berat badan Penurunan nafsu makan dan penurunan
pada awalnya namun terkejar dalam 2-4
minggu
Efek okuler Tidak ada penelitian pada manusia,
namun perlu perhatian antara efek
cahaya dibandingkan dengan efek
penutup mata
Perubahan kulit Tanning, rashes, burns, bronze baby
syndrome
Perubahan endokrin Perubahan kadar gonadotropin serum
(peningkatan LH & FSH)
Perubahan hematologi Peningkatan turnover trombosit dan
cedera pada sel darah merah dalam
sirkulasi dengan penurunan kalium dan
peningkatan aktivitas ATP
Sumber : Kosim, 2012

4. Transfusi tukar (exchange transfusion) cara yang paling tepat untuk mengobati
hiperbilirubinemia pada neonatus adalah tranfusi tukar. Dalam beberapa hal terapi
sinar dapat menggantikan transfusi tukar darah akan tetapi pada penyakit hemolitik
neonatus transfusi tukar darah adalah tindakan yang paling tepat (Marmi dan
Rahardjo, 2012). Transfusi tukar dilakukan pada keadaan 32 hiperbilirubinemia yang
tidak dapat diatasi dengan tindakan lain misalnya telah diberikan terapi sinar tetapi
kadar bilirubin tetap tinggi. Pada umumnya transfusi tukar dilakukan pada ikterus
yang disebabkan karena proses hemolisis yang terdapat pada keridakselarasan Rhesus,
ABO, dan defisiensi G-6-PD. Indikasi untuk melakukan transfusi tukar adalah kadar
bilirubin indirek lebih dari 20 mg%, kenaikan kadar bilirubin indirek cepat, yaitu 0,3-1
mg%/jam, anemia berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung, dan hasil
pemeriksaan uji comb positif.

K. Prognosis
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah
melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kern ikterus atau
ensefalopati biliaris. Kern ikterus (ensefalopati biliaris) adalah sindrom neurologis akibat
pengendapan bilirubin tak terkonjugasi di dalam sel-sel otak. Risiko pada bayi dengan
eritroblastosis foetalis secara langsung berkaitan dengan kadar bilirubin serum : hubungan
antara kadar bilirubin serum dan kern ikterus pada bayi cukup bulan yang sehat masih
belum pasti. Bilirubin indirek yang larut dalam lemak dapat melewati sawar darah otak
dan masuk ke otak dengan cara difusi apabila kapasitas albumin untuk mengikat bilirubin
dan protein plasma lainnya terlampaui dan kadar bilirubin bebas dalam plasma bertambah
(Nelson, dkk, 2012).
Pada setiap bayi nilai persis kadar bilirubin yang bereaksi indirek atau kadar bilirubin
bebas dalam darah yang jika dilebihi akan bersifat toksik tidak dapat diramalkan, tetapi
kern ikterus jarang terjadi pada bayi cukup bulan yang sehat (Nelson, dkk, 2012).
Manifestasi klinis akut bilirubin ensefalopati pada fase awal bayi dengan ikterus berat
akan tampak letargis, hipotonik, dan reflek menghisap buruk, sedangkan pada fase
intermediate ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas, hipertoni. Untuk selanjutnya
bayi akan demam, high-pitced cry, kemudian akan menjadi drowsiness dan hipotoni
(Kosim, 2012).
Pada kern ikterus, gejala klinik pada permulaan tidak jelas, antara lain dapat
disebutkan yaitu bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar, gerakan tidak menentu
(involuntary movements), kejang, tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya
opistotonus (Saifuddin, 2009).

L. Komplikasi
1. Bilirubin encephahalopathi
2. Kernikterus ;kerusakan neurologis ; cerebral palis, retardasi mental, hyperaktif, bicara
lambat, tidak ada koordinat otot dan tangisan yang melengking
3. Asfiksia
4. Hipotermi
5. Hipoglikemi
(Kosim, 2012)
M. Pathway(Sumber: Marmi & Rahardjo, 2012)

Penyakit hemolitik Obat-obatan:


Gangguan fungsi hepar
salisilat

Hemolysis defisiensi Jaundice ASI


Jumlah bilirubin (pregnanediol)
yang akan diangkut
ke hati berkurang
Pembentukan
bilirubin meningkat Defisiensi G-6-PD

Konjugasi bilirubin
indirek menjadi bilirubin
direk lebih rendah

Bilirubin indirek
meningkat > 12 mg/dl

Hiperbilirubinemia

Dalam jaringan ekstravaskular Otak


(kulit, konjungtiva, mukosa, &
alat tubuh lain)
Kern ikterus

ikterik Fototerapi
Resiko cidera

Ansietas Kerusakan
integritas kulit Kurang informasi
(pada orang tua)
ke orang tua

Defisiensi pengetahuan Persepsi yang salah


II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN (Sumber: NANDA NOC NIC, 2015)
A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas / Istirahat
Letargi, malas.
2. Sirkulasi
a. Mungkin pucat, menandakan anemia
b. Bertempat tinggal di atas ketinggian 500 ft
3. Eliminasi
a. Bising usus hipoaktif
b. Pasase mekonium mungkin lambat
c. Feses mungkin lunak / coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin
d. Urine gelap pekat; hitam kecoklatan (sindroma bayi bronze)
4. Makanan / Cairan
a. Riwayat pelambatan / makan oral buruk, lebih mungkin disusui dari pada menyusu
botol
b. Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar
5. Neurosensori
a. Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang parietal yang
berhubungan dengan trauma kelahiran / kelahiran ekstraksi vakum.
b. Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin ada dengan
inkompatibilitas Rh berat.
c. Kehilangan reflex Moro mungkin terlihat.
d. Opistotonus dengan kekuatan lengung punggung, fontanel menonjol, menangis
lirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
6. Pernapasan
a. Riwayat asfiksia.
b. Krekels, mucus bercak merah muda (edema pleura, hemoragi pulmonal)
7. Keamanan
a. Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus.
b. Dapat mengalami ekimosis berlebihan, petekie, perdarahan intra cranial
c. Dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan berlanjut pada bagian distal
tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze) sebagai efek samping
fototerapi.
8. Seksualitas
a. Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi dengan reterdasi
pertumbuhan intrauterus (IUGR), atau bayi besar untuk usia gestasi (LGA), seperti
bayi dengan ibu diabetes.
b. Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stress dingin, asfiksia, hipoksia,
asidosis, hipoglikemia, hipoproteinemia.
c. Terjadi lebih sering pada bayi pria dari pada bayi wanita.

B. DIAGNOSA
1. Hipertermi b.d. paparan lingkungan panas (efek fototerapi), dehidrasi
2. Kerusakan integritas kulit b.d. efek dari fototerapi
3. Resiko kekurangan volume cairan dengan faktor resiko fototerapi
4. Resiko cedera dengan faktor resiko meningkatnya kadar bilirubin toksik dan
komplikasi berkenaan phototerapi.

C. NURSING CARE PLAN


No Diagnosa NOC NIC
1 Hipertermi b.d. Thermoregulasi Pengaturan suhu
paparan lingkungan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor suhu & tanda-
panas (efek keperawatan selama … x tanda vital lainnya
fototerapi), dehidrasi 24 jam hipertermi teratasi. 2. Tingkatkan intake cairan &
Kriteria hasil: nutrisi adekuat
- Suhu tubuh dalam 3. Tingkatkan sirkulasi udara
rentang normal (36,5- 4. Monitor asupan dan
37,5 ̊C) keluaran, sadari perubahan
- Nadi, RR dalam kehilangan cairan yang tak
rentang normal(nadi: dirasakan
120-130x/menit, RR: 5. Lembabkan bibir dan
30-40x/menit) mukosa hidung yang kering
- Tidak ada perubahan 6. Kolaborasi pemberian
warna kulit antipiretik
(kemerahan/sianosis)
2 Kerusakan integritas Tissue Integrity: Skin & Pressure Management
kulit b.d. efek dari Mucous Membranes 1. Monitor adanya kerusakan
fototerapi Setelah dilakukan tindakan integritas kulit
keperawatan selama … x 2. Bersihkan kulit bayi dari
24 jam diharapkan kotoran setelah BAB, BAK
integritas kulit kembali 3. Lakukan perubahan posisi
membaik/normal. setiap 2 jam
Kriteria hasil: 4. Jelaskan keluarga tentang
- Integritas kulit yang pentingnya menjaga
baik bisa kelembaban kulit
dipertahankan 5. Kolaborasi dengan dokter
- Tidak ada luka/lesi untuk pemberian salep
pada kulit
- Perfusi jaringan baik
- Menunjukkan
pemahaman dalam
proses perbaikan kulit
dan mencegah
terjadinya cedera
berulang (untuk orang
tua bayi)
- Mampu melindungi
kulit &
mempertahankan
kelembaban kulit
&perawatan alami
(untuk orang tua bayi)
3 Resiko kekurangan Setelah dilakukan tindakan Monitor Cairan
volume cairan dengan keperawatan selama … x 1. Tentukan riwayat jumlah &
faktor resiko 24 jam diharapkan resiko tipe intake cairan &
fototerapi kekurangan volume cairan eliminasi
tidak terjadi. 2. Tentukan kemungkinan
Kriteria hasil: faktor resiko dari
- Berat badan stabil ketidakseimbangan cairan
- Vital sign dalam (hipertermia, terapi
rentang yang diuretic, kelainan renal,
diharapkan gagal jantung, diaphoresis,
- Keseimbangan intake disfungsi hati)
& output dalam 24 3. Monitor BB & status
jam hemodinamik
- Tidak ada tanda-tanda 4. Kolaborasi tentang terapi
dehidrasi pemberian cairan
- Turgor baik
- Tidak terjadi
penurunan kesadaran
4 Resiko cedera dengan Risk Control Pencegahan jatuh
faktor resiko Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji status neurologis
meningkatnya kadar keperawatan selama …x 2. Observasi tingkat
bilirubin toksik dan 24 jam resiko cedera tidak kesadaran & TTV
komplikasi berkenaan terjadi. 3. Kaji BBL terhadap adanya
fototerapi. Kriteria hasil : hiperbilirubinemia setiap 2-
- Klien terbebas dari 4 jam lima hari pertama
cedera kehidupan
- Klien tidak 4. Jaga keamanan lingkungan
menunjukkan gejala pasien
sisa neurologis dan 5. Berikan phototerapy
berlanjutnya 6. Jelaskan fungsi fototherapy
komplikasi fototerapi 7. Kolaborasi pemberian
transfusi tukar

DAFTAR PUSTAKA
Alatas, H. & Hassan R. 2007.Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak; cetakan 11, hal 1. Jakarta :
Fakultas Kedokteran UI.
Arvin, BK. 2012. Ilmu Keperawatan Anak Nelson Edisi 15. Jakarta : EGC.

Dewi, VNL. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta : Salemba Medika.

Kosim , dkk. 2012. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Lubis, N.L.2013.Pengantar Psikologi Untuk Kebidanan.Jakarta : Kencana Prenada Media Group

Marmi & Rahardjo. 2012. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah. Yogyakarta :
Pustaka Belajar.

Ridha N. 2014. Buku Ajar Keperawatan Pada Anak. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Saifuddin, AB. 2009. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal & Neonatal. Jakarta :
EGC.

Slusher, et all. 2013. Treatment Of Neonatal Jaundice With Filtered Sunlight In Nigerian
Neonates: Study Protocol Of A Non-Inferiority, Randomized Controlled Trial.
http://www.trialsjournal.com/content/14/1/446: TRIALS

Anda mungkin juga menyukai