HIPERBILIRUBINEMIA
I. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Menurut Slusher (2013), hiperbilirubin merupakan suatu kondisi di mana produksi
bilirurin yang berlebihan di dalam darah. Menurut Lubis (2013), hiperbilirubinemia
merupakan salah satu fenomena klinis tersering ditemukan pada bayi baru lahir, dapat
disebabkan oleh proses fisiologis, atau patologis, atau kombinasi keduanya.
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.
Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7
mg/dl (Kosim, 2012).
Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit, atau jaringan lainnya akibat adanya
penimbunan bilirubin dalam tubuh. Keadaan ini merupakan tanda penting dari penyakit
hati atau kelainan fungsi hati, saluran empedu, dan penyakit darah. Bila kadar bilirubin
darah 11 melebihi 2 mg%, maka ikterus akan terlihat. Namun pada neonatus ikterus masih
belum terlihat meskipun kadar bilirubin darah sudah melampaui 5 mg%. Ikterus terjadi
karena adanya peninggian kadar bilirubin indirek (unconjugated) dan atau kadar bilirubin
direk (conjugated) (Hasan dan Alatas, 2007).
RATA-RATA SERUM
ZONA BAGIAN TUBUH
INDIREK (Umol/L)
1 Kepala sampai leher 100
2 Kepala, leher, sampai umbilicus 150
3 Kepala, leher, pusar sampai paha 200
4 Lengan + tungkai 250
5 Kepala sampai ke tumit kaki >250
C. Klasifikasi
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis adalah suatu proses normal yang terlihat pada sekitar 40-50 %
bayi aterm/cukup bulan dan sampai dengan 80 % bayi prematur dalam minggu
pertama kehidupan. Ikterus fisiologis adalah perubahan transisional yang memicu
pembentukan bilirubin secara berlebihan di dalam darah yang menyebabkan bayi
berwarna ikterus atau kuning (Kosim, 2012).
Menurut Ridha (2014) ikterus fisiologis memiliki tandatanda, antara lain sebagai
berikut:
a. Warna kuning akan timbul pada hari kedua atau ketiga setelah bayi lahir dan
tampak jelas pada hari kelima sampai keenam dan menghilang sampai hari
kesepuluh.
b. Kadar bilirubin indirek tidak lebih dari 10 mg/dl pada neonatus kurang bulan dan
12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak lebih dari 5 mg/dl per hari.
d. Kadar bilirubin direk tidak lebih dari 1 mg/dl.
e. Tidak memiliki hubungan dengan keadaan patologis yang berpotensi menjadi kern
icterus (ensefalopati biliaris adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan
bilirubin indirek pada otak).
2. Ikterus Patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia (Saifuddin, 2009).
Menurut Kosim (2012) ikterus patologis tidak mudah dibedakan dari ikterus fisiologis.
Keadaan di bawah ini merupakan petunjuk untuk tindak lanjutnya sebagai berikut :
a. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam.
b. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi.
c. Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg/dl pada neonatus kurang bulan dan
12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan.
d. Peningkatan bilirubin total serum > 0,5 mg/dl/jam.
e. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi muntah, letargis,
malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang
tidak stabil.
f. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada
bayi kurang bulan.
g. Ikterus yang disertai keadaan antara lain : BBLR, masa gestasi kurang dari 36
minggu, asfiksia, infeksi, dan hipoglikemia.
Ikterus pada bayi baru lahir terdapat pada 25-50 % neonatus cukup bulan dan lebih
tinggi lagi pada neonatus kurang bulan. Ikterus pada bayi baru lahir dapat merupakan
gejala fisiologis atau dapat merupakan hal yang patologis, misalnya pada
inkompatibilitas Rh dan ABO, sepsis, penyumbatan saluran empedu, dan sebagainya
(Saifuddin, 2009).
D. Etiologi
Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) etiologi ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri
sendiri ataupun disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut :
1. Produksi yang berlebihan, lebih dari kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,
misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO,
defisiensi enzim G6PD, pyruvate kinase, perdarahan tertutup, dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan
oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi
hepar akibat asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glucoronil
transferase (criggler najjar syndrome). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y
dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel-sel hepar.
3. Gangguan dalam transportasi. Bilirubin dalam darah terikat oleh albumin kemudian
diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat-obat,
misalnya : salisilat dan sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar
atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar.
5. Obstruksi saluran pencernaan (fungsional atau struktural) dapat mengakibatkan
hiperbilirubinemia unconjugated akibat penambahan dari bilirubin yang berasal dari
sirkulasi enterohepatik.
6. Ikterus akibat Air Susu Ibu (ASI). Ikterus akibat ASI merupakan unconjugated
hiperbilirubinemia yang mencapai puncaknya terlambat (biasanya menjelang hari ke
6-14). Hal ini untuk membedakan ikterus pada bayi yang disusui ASI selama minggu
pertama kehidupan. Sebagian bahan yang terkandung dalam ASI (beta glucoronidase)
akan memecah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam lemak, sehingga bilirubin
indirek akan meningkat, dan kemudian akan diresorbsi oleh usus. Bayi yang mendapat
ASI bila dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula, mempunyai kadar
bilirubin yang lebih tinggi berkaitan dengan penurunan asupan pada beberapa hari
pertama kehidupan. Pengobatannya yaitu bukan dengan menghentikan pemberian ASI
melainkan dengan meningkatkan frekuensi pemberiannya.
E. Patofisiologi
Meningkatnya kadar bilirubin dapat juga disebabkan produksi yang berlebihan.
Sebagian besar bilirubin berasal dari destruksi eritrosit yang menua. Pada neonatus 75 %
bilirubin berasal dari mekanisme ini. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 34 mg
bilirubin indirek (free billirubin) dan sisanya 25 % disebut early labeled bilirubin yang
berasal dari pelepasan hemoglobin karena eritropoeis yang tidak efektif di dalam sumsum
tulang, jaringan yang mengandung protein heme dan heme bebas. Pembentukan bilirubin
diawali dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin. Setelah mengalami reduksi
biliverdin menjadi bilirubin bebas, yaitu zat yang larut dalam lemak yang bersifat lipofilik
yang sulit diekskresi dan mudah melewati membran biologik, seperti plasenta dan sawar
otak (Kosim, 2012).
Di dalam plasma, bilirubin tersebut terikat/bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke
hepar. Dalam hepar menjadi mekanisme ambilan sehingga bilirubin terikat oleh reseptor
membran sel hepar dan masuk ke dalam hepatosit. Di dalam sel bilirubin akan terikat dan
bersenyawa dengan ligandin (protein Y), protein Z, dan glutation S- 16 tranferase
membawa bilirubin ke reticulum endoplasma hati (Kosim, 2012).
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronide dan
sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide. Ada dua enzim yang terlibat dalam
sintesis bilirubin diglukoronide yaitu uridin difosfat glukoronide transferase (UDPG:T)
yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi
diglukoronide terjadi di membran kanalikulus (Hasan dan Alatas, 2007).
F. Faktor Predisposisi
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat disebabkan atau diperberat oleh setiap
faktor yang menambah beban bilirubin untuk dimetabolisasi oleh hati (anemia hemolitik,
waktu hidup sel darah menjadi pendek akibat imaturitas atau akibat sel yang
ditransfusikan, penambahan sirkulasi interohepatik, dan infeksi). Dapat menciderai atau
mengurangi aktivitas enzim transferase (hipoksia, infeksi, kemungkinan hipotermia, dan
defisiensi tiroid) dapat berkompetisi dengan atau memblokade enzim tranferase (obat-obat
dan bahan-bahan lain yang memerlukan konjugasi asam glukuronat untuk ekskresi) atau
dapat menyebabkan tidak adanya atau berkurangnya jumlah enzim yang diambil atau
menyebabkan pengurangan reduksi bilirubin oleh sel hepar (cacat genetik dan
prematuritas) (Arvin, 2012).
Risiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam
serum menjadi bertambah dengan adanya faktor-faktor yang mengurangi retensi bilirubin
dalam sirkulasi (hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada
albumin karena ikatan kompetitif obat-obatan, seperti sulfisoksazole dan moksalaktam,
asidosis, kenaikan sekunder kadar asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan atau
hipotermia) atau oleh faktorfaktor yang meningkatkan permeabilitas sawar darah otak atau
membran sel saraf terhadap bilirubin atau kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya,
seperti asfiksia, prematuritas, hiperosmolalitas, dan infeksi. Pemberian makan yang awal
menurunkan kadar bilirubin serum, sedangkan ASI dan dehidrasi menaikkan kadar
bilirubin serum. Mekonium mengandung 1 mg bilirubin/dl dan dapat turut menyebabkan
ikterus melalui sirkulasi enterohepatik pasca dekonjugasi oleh glukoronidase usus. Obat-
obat seperti oksitosin dan bahan kimia yang diberikan dalam ruang perawatan seperti
detergen fenol dapat juga menyebabkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi (Arvin, 2012).
G. Faktor Risiko
Menurut Kosim (2012) faktor risiko hiperbilirubinemia berat pada bayi usia kehamilan
≥ 35 minggu, antara lain sebagai berikut :
1. Faktor risiko mayor
Faktor risiko mayor dari hiperbilirubinemia adalah ikterus yang muncul dalam 24 jam
pertama kehidupan, inkompabilitas golongan darah dengan tes antiglobulin direk yang
positif atau penyakit hemolitik lainnya (defisiensi G6PD, peningkatan ETCO), umur
kehamilan antara 35-36 minggu, riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi,
ASI eksklusif dengan cara perawatan tidak baik, sefal hemathoma, dan ras Asia
Timur.
2. Faktor risiko minor
Faktor risiko minor dari hiperbilirubinemia adalah umur kehamilan antara 37-38
minggu, sebelum pulang bayi tampak kuning, riwayat anak sebelumnya kuning, bayi
makrosomia dari 20 ibu dengan penyakit Diabetes Mellitus (DM), dan bayi dengan
jenis kelamin laki-laki.
H. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin adalah :
1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik pada
bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi.
3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai puncak pada
hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke lima sampai hari ke tujuh
yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung tampak
kuning terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk) kulit tampak
berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus
yang berat.
5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti dempul
6. Perut membuncit dan pembesaran pada hati
7. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
8. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
9. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus, kejang,
stenosis yang disertai ketegangan otot.
Pengamatan ikterus kadang-kadang agak sulit apalagi dalam cahaya buatan. Paling
baik pengamatan dilakukan dalam cahaya matahari dan dengan menekan sedikit kulit
yang akan diamati untuk menghilangkan warna karena pengaruh sirkulasi darah (Hasan
dan Alatas, 2007).
Cara menegakkan diagnosa ikterus pada bayi baru lahir, antara lain sebagai berikut :
1. Keluhan subjektif yaitu bayi berwarna kuning pada muka dan sebagian tubuhnya dan
kemampuan menghisap bayi lemah (Marmi, 2012).
2. Pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan yang dilakukan dari ujung rambut sampai kaki
dengan hasil bayi berwarna kuning serta pemeriksaan reflek bayi (Hasan dan Alatas,
2007).
3. Pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu pemeriksaan golongan darah, uji coombs
direk, uji coombs indirek, kadar bilirubin total dan direk, darah periksa lengkap
dengan diferensial, protein serum total, dan glukosa serum (Kosim, 2012).
Cara untuk menentukan derajat ikterus yang merupakan risiko terjadinya kern icterus,
salah satunya dengan cara klinis (rumus Kramer) yang dilakukan di bawah sinar biasa
(day light) (Saifuddin, 2009).
Keterangan :
I. Pemeriksaan Diagnostik
1. Tes comb pada tali pusat bayi baru lahir : hasil positif tes comb indirek menandakan
adanya antibody Rh-positif, anti-A, atau anti-B dalam darah ibu. Hasil positif dari tes
comb direk menandakan adanya sentisisasi (Rh-positif, anti-A, anti-B) sel darah
merah dari neonatus.
2. Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
3. Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi bermakna jika melebihi 1,1-1,5 mg/dl, yang
mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tak terkonjugasi) tidak boleh
melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada
bayi yang cukup bulan atau 15 mg/dl pada bayi praterm (tergantung BB bayi).
4. Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 mg/dl menandakan penurunan kapasitas
ikatan, terutama pada bayi praterm.
5. Hitung darah lengkap : hemoglobin mungkin rendah (< 14 mg/dl) karena hemolisis.
Hematokrit mungkin meningkat (> 65%) pada polisitemia, penurunan (< 45%) dengan
hemolisis dan anemia berlebihan.
6. Daya ikat karbondioksida : penurunan kadar menunjukan hemolisis.
7. Meter ikterik transkutan : mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan bilirubin
serum.
8. Jumlah retikulosit : peningkatan retikulosit menandakan peningkatan produksi sel
darah merah dalam respons terhadap hemolisis yang berkenaan dengan penyakit Rh.
9. Smear darah perifer : dapat menunjukan sel darah merah abnormal atau imatur,
eritroblastosis pada penyakit Rh atau sferositis pada inkompabilitas ABO.
10. Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus
neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.
11. Ultrasonografi, digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan
ekstrahepatic.
12. Biopsy hati, digunakan untuk memastikan terutama untuk pada kasus yang sukar
seperti diagnosa membedakan obstruksi ekstrahepatic dengan intra hepatic selain itu
juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hepatis dan hepatomegali.
13. Radioisotop scan, digunakan untuk membantu membedakan hepatitis dan atresia
billiari.
14. Scanning enzim G6PD untuk menunjukan adanya penurunan bilirubin.
(Saifuddin, 2009)
Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) dan Kosim (2012) penatalaksanaan screening
test, antara lain sebagai berikut :
1. Golongan darah : untuk menentukan dan status Rh bayi bila transfusi sulih diperlukan.
2. Uji Coombs direk : untuk menentukan diagnosis penyakit hemolitik pada bayi baru
lahir, hasil positif mengindikasikan sel darah merah bayi telah terpajan (diselimuti
antibodi).
3. Uji Coombs indirek : mengukur jumlah antibodi Rh positif dalam darah ibu.
4. Kadar Bilirubin total dan direk : untuk menegakkan diagnosis heperbilirubinemia.
5. Darah periksa lengkap dengan diferensial : untuk mendeteksi hemolisis, anemia (Hb <
14 gr/dl) atau polisitemia (Ht lebih dari 65%), Ht kurang dari 40 % (darah tali pusat)
mengindikasi hemolisis berat.
6. Protein serum total : untuk mendeteksi penurunan kapasitas ikatan (3,0 mg/dl).
7. Glukosa serum : untuk mendeteksi hipoglikemia (< 40 mg/dl).
Dalam penanganan ikterus cara-cara yang dipakai adalah untuk mencegah dan
mengobati, sampai saat ini cara-cara itu dapat dibagi dalam empat jenis usaha, yaitu
sebagai berikut :
4. Transfusi tukar (exchange transfusion) cara yang paling tepat untuk mengobati
hiperbilirubinemia pada neonatus adalah tranfusi tukar. Dalam beberapa hal terapi
sinar dapat menggantikan transfusi tukar darah akan tetapi pada penyakit hemolitik
neonatus transfusi tukar darah adalah tindakan yang paling tepat (Marmi dan
Rahardjo, 2012). Transfusi tukar dilakukan pada keadaan 32 hiperbilirubinemia yang
tidak dapat diatasi dengan tindakan lain misalnya telah diberikan terapi sinar tetapi
kadar bilirubin tetap tinggi. Pada umumnya transfusi tukar dilakukan pada ikterus
yang disebabkan karena proses hemolisis yang terdapat pada keridakselarasan Rhesus,
ABO, dan defisiensi G-6-PD. Indikasi untuk melakukan transfusi tukar adalah kadar
bilirubin indirek lebih dari 20 mg%, kenaikan kadar bilirubin indirek cepat, yaitu 0,3-1
mg%/jam, anemia berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung, dan hasil
pemeriksaan uji comb positif.
K. Prognosis
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah
melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kern ikterus atau
ensefalopati biliaris. Kern ikterus (ensefalopati biliaris) adalah sindrom neurologis akibat
pengendapan bilirubin tak terkonjugasi di dalam sel-sel otak. Risiko pada bayi dengan
eritroblastosis foetalis secara langsung berkaitan dengan kadar bilirubin serum : hubungan
antara kadar bilirubin serum dan kern ikterus pada bayi cukup bulan yang sehat masih
belum pasti. Bilirubin indirek yang larut dalam lemak dapat melewati sawar darah otak
dan masuk ke otak dengan cara difusi apabila kapasitas albumin untuk mengikat bilirubin
dan protein plasma lainnya terlampaui dan kadar bilirubin bebas dalam plasma bertambah
(Nelson, dkk, 2012).
Pada setiap bayi nilai persis kadar bilirubin yang bereaksi indirek atau kadar bilirubin
bebas dalam darah yang jika dilebihi akan bersifat toksik tidak dapat diramalkan, tetapi
kern ikterus jarang terjadi pada bayi cukup bulan yang sehat (Nelson, dkk, 2012).
Manifestasi klinis akut bilirubin ensefalopati pada fase awal bayi dengan ikterus berat
akan tampak letargis, hipotonik, dan reflek menghisap buruk, sedangkan pada fase
intermediate ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas, hipertoni. Untuk selanjutnya
bayi akan demam, high-pitced cry, kemudian akan menjadi drowsiness dan hipotoni
(Kosim, 2012).
Pada kern ikterus, gejala klinik pada permulaan tidak jelas, antara lain dapat
disebutkan yaitu bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar, gerakan tidak menentu
(involuntary movements), kejang, tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya
opistotonus (Saifuddin, 2009).
L. Komplikasi
1. Bilirubin encephahalopathi
2. Kernikterus ;kerusakan neurologis ; cerebral palis, retardasi mental, hyperaktif, bicara
lambat, tidak ada koordinat otot dan tangisan yang melengking
3. Asfiksia
4. Hipotermi
5. Hipoglikemi
(Kosim, 2012)
M. Pathway(Sumber: Marmi & Rahardjo, 2012)
Konjugasi bilirubin
indirek menjadi bilirubin
direk lebih rendah
Bilirubin indirek
meningkat > 12 mg/dl
Hiperbilirubinemia
ikterik Fototerapi
Resiko cidera
Ansietas Kerusakan
integritas kulit Kurang informasi
(pada orang tua)
ke orang tua
B. DIAGNOSA
1. Hipertermi b.d. paparan lingkungan panas (efek fototerapi), dehidrasi
2. Kerusakan integritas kulit b.d. efek dari fototerapi
3. Resiko kekurangan volume cairan dengan faktor resiko fototerapi
4. Resiko cedera dengan faktor resiko meningkatnya kadar bilirubin toksik dan
komplikasi berkenaan phototerapi.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, H. & Hassan R. 2007.Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak; cetakan 11, hal 1. Jakarta :
Fakultas Kedokteran UI.
Arvin, BK. 2012. Ilmu Keperawatan Anak Nelson Edisi 15. Jakarta : EGC.
Dewi, VNL. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta : Salemba Medika.
Kosim , dkk. 2012. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Marmi & Rahardjo. 2012. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah. Yogyakarta :
Pustaka Belajar.
Ridha N. 2014. Buku Ajar Keperawatan Pada Anak. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Saifuddin, AB. 2009. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal & Neonatal. Jakarta :
EGC.
Slusher, et all. 2013. Treatment Of Neonatal Jaundice With Filtered Sunlight In Nigerian
Neonates: Study Protocol Of A Non-Inferiority, Randomized Controlled Trial.
http://www.trialsjournal.com/content/14/1/446: TRIALS