Anda di halaman 1dari 5

Hukum Jual Beli Kredit

Abu Al-Jauzaa' :, 16 Januari 2009

Berikut adalah sedikit ringkasan pembahasan mengenai jual beli secara kredit atau yang
dikenal dengan Al-Baiut-Taqsiith ( ).
Definisi jual beli kredit secara terminologis adalah menjual sesuatu dengan pembayaran
tertunda, dengan cara memberikan cicilan dalam jumlah-jumlah tertentu dalam beberapa
waktu secara tertentu, lebih mahal daripada harga kontan. Atau dengan definisi lain :
Pembayaran secara tertunda dan dalam bentuk cicilan dalam waktu-waktu yang ditentukan.

Jual beli apapun pada asalnya adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Allah taala telah berfirman :



Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. [QS. An-Nisaa : 29].



Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. [QS. Al-Baqarah : 275].

Dua ayat di atas berlaku umum untuk semua jenis jual beli, termasuk jual beli secara kredit.
Sampai ayat ini, para ulama mutabar tidak berbeda pendapat mengenai jual beli kredit.
Hal itu dikarenakan Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam sendiri pernah melakukan jual
beli dengan menunda waktu pembayaran sebagaimana terdapat dalam hadits :




Dari Aisyah radliyallaahu anhaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu alaihi wasallam pernah
membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran tertunda dan menggadaikan
baju besinya sebagai boroh atau gadai [HR. Bukhari no. 2068, 2096, 2200, 2251, 2252,
2386, 2509, 2513, 2916, 4467; Muslim no. 1603; An-Nasai no. 4609, 4650; Ibnu Majah no.
2436; dan Ahmad no. 23626, 24746, 25403, 25467].

Kemudian, para ulama berselisih pendapat mengenai hukum jual beli dengan penundaan
waktu pembayaran plus penambahan harga. Ringkasnya, hal itu terbagi menjadi 2 (dua)
kelompok besar pendapat :
1. Mengharamkannya
2. Membolehkannya

Page 1 of 5
Pendapat pertama merupakan pendapat sebagian ulama, dan pendapat kedua merupakan
pendapat jumhur ulama.

Makna Dua Jual Beli dalam Satu Jual Beli ()


:
Dari Abu Hurairah radliyallaahu anhu ia berkata : Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam
melarang dua jual beli dalam satu jual beli (baca : dua jual beli dalam satu akad/transaksi
Abul-Jauzaa
) [HR. Tirmidzi no. 1231, Ahmad no. 9582, 10153; An-Nasai no. 4632; Ad-Daarimi
no. 1379; Ibnul-Jarud no. 600; Abu Yala no. 6124; Ibnu Hibban no. 4973; Al-Baihaqi
5/343; dan Al-Baghawiy no. 21111 - shahih).

" : "
Ibnu Masud berkata : Transaksi dalam dua penjualan adalah riba [HR. Ibnu Abi Syaibah
dalam Al-Mushannaf 8/192/2; Ahmad no. 3783, dan Ibnu Hibban no. 1053 shahih. Lihat
Irwaaul-Ghalil 5/148-149].
1. Pendapat yang mengharamkannya memaknai hal itu sebagaimana perkataan : Aku jual
barang ini kepadamu, secara kontan 10 ribu rupiah dan jika secara angsuran (kredit) 12
ribu rupiah. Dan inilah kredit pada umumnya sebagaimana yang lazim di jaman
sekarang.
2. Pendapat yang membolehkannya memaknai hal itu dengan dua inti perkataan, yaitu :
a. Aku jual kepadamu baju ini secara kontan seharga 50 ribu rupiah, dan secara kredit
55 ribu rupiah; namun ketika berpisah ia tidak bersepakat dalam satu harga, apakah
akan mengambil yang kontan atau secara kredit. Jadi antara penjual dan pembeli
bersepakat dalam transaksi tanpa menentukan penjualan mana yang akan diambil
(kontan atau kredit).
b. Aku jual sepeda ini padamu seharga 100 ribu dengan syarat kamu menjual
kambingmu. Atau sebaliknya : Aku jual sepeda ini padamu dengan syarat kamu
menjual kambingmu seharha 200 ribu. Ketika pembeli menyepakati, maka otomatis
berlangsung dua akad jual beli dalam satu jual beli. Transaksi ini sangat rentan
terhadap kedhaliman pada harta.
Maka, di sini jumhur ulama mengatakan bahwa jual-beli secara kredit sebagaimana
lazimnya tidak termasuk dalam larangan di atas (kecuali jika sampai berpisah penjual
dan pembeli bersepakat namun tidak menentukan jenis pembayaran yang akan
dilakukan sebagaimana telah dijelaskan).
Inti perkataan tersebut saya modifikasi dari contoh yang dikemukakan Al-Imam At-
Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 1231) [1].
Mana Yang Lebih Kuat ?
InsyaAllah yang lebih kuat adalah Pendapat Kedua (yang membolehkannya).
Sebagaimana yang telah disinggung, jual beli kredit yang berlangsung seperti sekarang
bukanlah dua jual beli dalam satu transaksi. Sebab, ketika berpisah, mereka umumnya
telah menyepakati jenis pembayaran yang akan dilakukan (yaitu bersepakat dengan
akad kredit). Maka pada akhirnya di sini hanya ada satu jual beli saja dalam satu
transaksi. Adapun contoh perkataan dari pendapat kedua (yang membolehkan kredit),
Page 2 of 5
maka sangat jelas bahwa akhir transaksi terdapat dua jual beli dalam satu transaksi dari
pihak penjual maupun pembeli yang penuh gharar (ketidakjelasan) dan manipulasi.

Bagaimana dengan Pernyataan : Tafsiran Perawi Lebih Didahulukan daripada


Selainnya ?

Hujjah di atas adalah hujjah yang dipakai oleh para ulama yang mengharamkan kredit
dengan tambahan harga, sebab terdapat perkataan perawi hadits larangan dua jual beli
dalam satu transaksi. Simmak bin Harb - perawi hadits telah membawakan tafsiran
tentang larangan dua jual beli dalam satu transaksi dengan perkataan : [
, ] Apabila dibayar secara kontan maka sekian, dan
apabila secara kredit sekian.

Selain dari apa yang telah dijawab di atas, maka hal itu dapat dijawab sebagai berikut :
1. Tafsiran seorang perawi tidaklah mutlak didahulukan, sebab belum tentu yang
membawakan hadits itu lebih paham daripada yang disampaikan. Rasulullah shallallaahu
alaihi wasallam telah bersabda :


Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar perkataanku,
kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Betapa banyak
orang yang membawa fiqh kepada orang yang lebih paham daripadanya [HR. Tirmidzi
no. 2658; shahih].
Hadits di atas menjelaskan bahwa kedudukan pembawa hadits (rawi) tidak mutlak selalu
lebih unggul dalam pemahaman dibandingkan orang yang disampaikan.
2. Madzhab jumhur ulama ushul-fiqh adalah tidak bertaqlid kepada pendapat shahabat.
Kalau seorang shahabat memberi kekhususan pada sebuah nash umum atau
menafsirkan nash yang masih global pengertiannya dengan salah satu kemungkinan
penafsirannya tanpa penjelasan sebab adanya pengkhususan dan penafsiran tersebut,
maka pendapatnya tidak bisa dijadikan hujjah dalam mengkhususkan nash umum
tersebut atau dalam penafsiran nash yang masih penuh kemungkinan tersebut. Apabila
demikian halnya yang berlaku pada shahabat dengan segala kemuliaan dan
keutamaannya, tentu bagi seorang tabiin atau orang sesudah mereka lebih jelas lagi.
Dan sebagai catatan, Simmak bin Harb ini adalah seorang tabii, bukan seorang
shahabat.

Perkataan seorang perawi dapat didahulukan jika memang terdapat qarinah yang jelas
bahwa perkataannya tersebut merupakan penjelasan yang bersumber pada ujung sanad
(dari Nabi shallallaahu alaihi wasallam atau shahabat untuk kasus hadits mauquf).
Contohnya adalah tentang masalah berdzikir dengan tangan kanan :

Page 3 of 5
Telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Umar bin Maisarah dan Muhammad bin
Qudamah dan yang lainnya mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami Atsaam dari
Al-Amasy dari Atha bin Saib dari ayahnya dari Abdillah bin Amru ia berkata : Aku melihat
Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam menghitung bacaan tasbihnya . Berkata Muhammad
bin Qudamah (perawi hadits) : Yaitu dengan tangan kanannya [HR. Abu Dawud no.
1502].

Perkataan perawi (Muhammad bin Qudamah) : Yaitu dengan tangan kanannya tidaklah
mungkin hanyalah penafsirannya semata. Penjelasan itu didapatkan dari penjelasan rawi di
atasnya sampai di ujung sanad yang merupakan penjelasan dari orang yang melihat fiil
Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam (yaitu Abdullah bin Amru radliyallaahu anhuma).
Hadits tersebut dibawakan oleh Abdullah bin Amr dengan apa yang dilihat, bukan sekedar
interpretasi semata. Sehingga, dari apa yang dilihat tersebut dikatakan/dijelaskan kepada
perawi selanjutnya (murid-muridnya).

Bagaimana Penjelasan Hadits Abu Hurairah ?

Dari Abu Hurairah radliyallaahu anhu : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu alaihi
wasallam :


Barangsiapa yang menjual dengan dua penjualan dalam satu transaksi, maka baginya
harga yang terendah atau riba [HR. Abu Dawud no. 3461, Ibnu Hibban no. 4974, Al-Haakim
no. 2292, dan Al-Baihaqi 3/343; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah
no. 2326].[2]

Adapun pengertiannya adalah bahwa hadits Abu Hurairah (yang terdapat keharusan
memilih harga terendah) merupakan jual-beli ienah yang memang termasuk riba. Ibnul-
Qayyim dalam Tahdzibus-Sunan (9/240) mengatakan : Makna kalimat dalam hadits
terdahulu : barangsiapa yang melakukan dua jual beli dalam satu jual beli, hendaknya ia
mengambil yang termurah, bila tidak ia memakan riba ; yaitu seperti jual beli ienah.
Demikian yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Khaththabi. Karena itu artinya dua jual beli dalam
satu jual beli. Yang termurah adalah harga kontan. Apabila yang diambil adalah yang lebih
mahal, yaitu pembayaran berjangka, maka ia telah mengambil harta riba. Kemungkinan
yang terjadi hanya salah satu dari dua : mengambil harga termurah atau memakan riba. Itu
hanya terjadi pada jual beli ienah

Jual beli ienah gambarannya adalah sebagai berikut :

Si (A) menjual mobil kepada si (B) dengan pembayaran tempo (5 tahun) seharga 50 juta.
Mobil diterima si (B). Kemudian si (A) mensyaratkan untuk membeli kembali mobil tersebut
seharga 40 juta secara kontan dari si (B). Maka di sini terdapat unsur manipulasi dan riba.
Si (A) sebenarnya tidak berkeinginan untuk menjual mobil kepada si (B), melainkan ia
hanya ingin menggandakan uangnya yang 40 juta itu menjadi 50 juta (ada tambahan 10
juta) dalam tempo 5 tahun. Ini riba. Sedangkan si (B) tujuannya tidaklah ingin membeli
mobil si (A), melainkan hanya menginginkan uang kontan 40 juta dengan konsekuensi ia
harus mengembalikan sebesar 50 juta di tahun kelima. Jadi sebenarnya ini hanya
manipulasi riba yang dibungkus atas label jual-beli.

Page 4 of 5
Dalam jual beli ini terdapat dua jual beli dalam satu jual beli. Jika penjual dan pembeli
memilih harga terendah (yaitu 40 juta kontan), maka jual beli itu adalah mubah dan
terbebas dari riba. Namun jika yang disepakati seperti di atas, maka itulah larangan dalam
hadits Abu Hurairah. Wallaahu alam.

Kesimpulan :
1. Jual beli kredit pada asalnya adalah boleh.
2. Walaupun boleh, namun sudah selayaknya kita menghindarinya untuk menghindari
perselisihan yang ada. Harus diakui bahwa hujjah ulama yang mengharamkannya pun
terbilang cukup kuat. Apalagi hal itu didukung oleh para ulama-ulama Ahlus-Sunnah
yang terkenal seperti Ibnu Sirin, Simak bin Harb, Ats-Tsauri, Ibnu Qutaibah, An-Nasai,
Ibnu Hibban, dan yang lainnya.
3. Selayaknya bagi kita untuk menghindari kredit (jangan menggampangkannya), karena
pada hakekatnya kredit itu adalah hutang. Jika kita mati dan tunggakan kredit itu masih
ada, maka statusnya adalah seperti hutang dimana kita tetap tertahan sampai kredit
kita tersebut terselesaikan.
4. Bersikap zuhud dan wara adalah utama. Beli kalau ada uang, dan tidak membeli kalau
memang tidak ada uang.

Semoga ada manfaatnya.

Wallaahu alam bish-shawab.

Muharram 1430 Kamis dinihari di Ciomas Permai.

[1] Tepatnya penjelasan At-Tirmidzi tersebut adalah sebagai berikut :






Sebagian ahli ilmu menafsirkannya, mereka berkata : Aku menjual baju ini dengan kontan senilai sepuluh dan
dengan berangsur senilai dua puluh dan ia tidak berpisah (yaitu tidak bersepakat) dengannya pada salah satu harga.
Kalau ia berpisah dengannya di atas salah satunya, maka itu tidak apa-apa apabila akad berada di atas salah satu dari
keduanya. Berkata Imam Asy-Syafii : Dan dari makna larangan Nabi shallallaahu alaihi wasallam dari dua penjualan
dalam satu transaksi, seseorang berkata : Aku menjual rumahku kepadamu dengan syarat kamu menjual budakmu
kepadaku dengan harga sekian. Kalau budakmu telah wajib untukku maka aku wajibkan rumahku untukmu dan ini
berpisah (yaitu bersepakat) dengan penjualan tanpa harga yang pasti dan setiap dari keduanya tidak mengetahui
bagaimana bentuk transaksinya.
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Al-Khaththabi dalam Maaalimus-Sunan.
[2] Hadits tersebut diriwayatkan dari jalur : Abu Bakr bin Abi Syaibah dari Yahya bin Zakariya dari Muhammad bin
Amru dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.

Page 5 of 5

Anda mungkin juga menyukai