Anda di halaman 1dari 13

INSTITUSI HISBAH DALAM PEREKONOMIAN MODERN

Hisbah merupakan suatu lembaga pengawas pasar yang memiliki fungsi sebagai pasar agar
setiap mekanisme pasar berjalan sebagai mana mestinya dan tidak menimbulkan distorsi
pasar
1. PENDAHULUAN
Pasar merupakan suatu roda penggerak perekonomian masyarakat, karena di dalamnya
banyak penjual dan pembeli berkumpul pada suatu tempat yang sama melakukan transaksi
yang sama, yaitu transaksi jual beli. Pasar bisa dijadikan tolak ukur perekonomian
masyarakat itu sendiri, semakin pasar bagus dan sehat dalam transaksinya maka bisa
dipastikan keadilan dan kepuasan transaksi di pasar terjamin.
Menurut M. lutfi hamidi (2013)1[1] pasar yang sehat setidaknya memiliki tiga ciri, pertama
mekanisme suatu pasar berjalan dengan baik, mulai dari sisi supply, sisi demand dan juga
sisi-sisi lainnya seperti bebas masuknya pembeli dan penjual, tiada barrier (penghalang)
untuk masuk pasar. Kedua, pasar yang sehat mempunyai prinsip an taradhin (suka rela)
artinya tidak ada paksaan dalam suatu transaksi dan tidak ada yang merasda dirugikan dalam
transaksinya. Ketiga, keadilan yang terjadi dalam suatu pasar, tiadanya bentuk kedzaliman
yang merugikan beberapa pihak tertentu yang diakibatkan mekanisme pasar yang tidak adil.
Jika tiga hal diatas tidak dipenuji maka bisa dipastikan terjadinya distorsi pasar yang
menyebabkan terjadinya gangguan dalam pelaksanaan mekanisme pasar.
Masalah perekonomian dalam sejarahnya selalu berulang-ulang termasuk dalam distorsi
pasar ini meskipun bentuknya berbeda pada setiap zamannya, namun esensinya tetap sama
yaitu tentang distorsi yang terjadi pada pasar. Distorsi pasar bisa disebabkan karena banyak
hal, diantaranya seperti baI najash, ihtikar (penimbunan), talaqqi rukban, tadlis, dan juga
taghrir. Namun selain itu juga distorsi pasar ini bisa disebabkan juga karena intervensi
pemerintah, adanya bentuk politik dumping, dan juga monopoli perdagangan.
Dalam sejarah perdagangan di negeri ini tidak lepas dari masalah distorsi pasar, pada masa
penjajahan belanda terjadi monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC yang
menyebabkan kerugian yang dialami oleh masyarakat pribumi indonesia dikarenakan VOC
membeli rempah-rempah di indonesia dengan harga murah dan di jual dengan harga yang
jauh lebih mahal. Kondisi saat itu mirip dengan kondisi petani indonesia saat ini, banyak
petani menjual barang hasi panennya dengan harga murah kepada tengkulak, dan tengkulak
menjualnya dengan harga yang mahal. Dengan memanfaatkan ketidak tahuan petani akan
harga pasar, tengkulak membeli hasil panen petani dibawah pasar, jelas ini merupakan
kerugian bagi pihak petani.
Selain itu banyak spekulan yang bermain dengan pasar, seperti meroketnya harga jengkol
pada beberapa tahun lalu, atau melambungnya minyak tanah yang diakibatkan banyak
penimbun dulu pada saat minyak tanah merupakan kebutuhan penting masyarakat. Dan akhirakhir ini kita sering menjumpai banyaknya harga-harga bahan komoditi penting seperti
sayuran naik sampai 100% dari sebelumnya yang berujung merugikan masyarakat. Dan yang
1[1] Data ini diperoleh saat kuliah mikro ekonomi islam tahun 2013
** paper ini pernah di buat sebagai tugas mata kuliah SPEI

terbaru saat ini saat bahan bakar minyak turun, namun harga-harga barang komoditi tetap
merangkak naik. Hal ini bisa di indikasikan adanya spekulan yang bermain harga di pasar.
Selain itu faktor politik bisa mempengaruhi mempengaruhi terjadinya penyelewengan pasar
ini, seperti kasus yang baru-baru ini terjadinya kelebihan kuota impor sapi, hal ini bisa
menjadi dampak yang merugikan terutama bagi peternak sapi lokal yang mungkin terkena
imbasnya dari impor sapi ini.
Islam adalah agama yang sempurna, termasuk mengatur aspek dalam muamalah seperti jual
beli terkhusus dalam terjadinya distorsi pasar ini. Islam tidak membiarkan segala bentuk
tindak kedzaliman ini merajalela dan merugikan masyarakat. Maka untuk mengatasi
terjadinya kecurangan pada pasar ini islam membuat suatu sistem pengawas pasar yang kita
sebut sebagai al-hisbah yang mengawasi jalannya mekanisme pasar, agar pasar tidak
mengalami distorsi yang bisa menyengsarakan banyak pihak.
2. HISBAH DALAM SEJARAH PEREKONOMIAN ISLAM
Dalam sejarahnya sistem dan lembaga hisbah ini sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw,
namun saat itu belum menjadi sebuah lembaga yang khusus. Menurut syafii antonio, selain
sebagai pemimpin negara dan agama, rasulullah juga dikenal sebagai pengawas pasar yang
aktif hingga akhir hayatnya, sehingga dalam mengawasi pasar ini rasulullah saw bertugas
mengawasi jalannya mekanisme pasar di madinah dan sekitarnya agar tetap dapat
berlangsung secara islami. Dalam aplikasi rasulullah mengawasi pasar dilakukan dengan
berbagai cara, diantaranya memperhatikan fasilitas pasar, menerapkan aturan main di pasar,
dan juga rasulullah mengontrol secara langsung bagaimana pasar berjalan. Selain itu juga
untuk mencegah berbagai bentuk kedzaliman, rasulullah menerapkan kebjiakan ekonomi
pelarangan riba dan penimbunan harta (2007:12)
Dalam satu hadits disebutkan rasulullah melakukan pengawasan pada pasar Dari Abu Said
al-Saidi semoga Allah meridhainya bahwasannya Rasulullah SAW mengunjungi pasar nabit
untuk melakukan pemantauan, kemudian beliau bersabda: ini tidak layak dikatakan pasar
kemudian beliau melakukan pematauan ke pasar yang lain, kemudian bersabda: ini tidak
layak dijadikan pasar, kemudian beliau melakukan pematauan ke pasar yang lainnya lagi
dan bersabda: ini layak dikatakan pasar, tidak boleh ada pengurangan (timbangan atau
takaran) tidak juga dikenakan pajak atasnya (Hadis Riwayat Ibn Ma jah).
Pada masa rasulullah, nabi mengangkat Muhtasib (pengawas pasar), adapun pertama yang
diangkat Nabi adalah Umar ibn Khattab untuk pasar Madinah, dan Said ibn al-As ibn
Umayyah untuk pasar Mekkah. Dapat dikatakan bahwa kedudukan muhtasib ketika itu
setara dengan pejabat yang diangkat Nabi untuk tugas lain seperti panglima perang, amir, dan
lain-lain.
Praktek pengawasan pasar (al hisbah) ini diteruskan oleh para sahabat, oleh abu bakar lalu
dilanjutkan umar bin khattab, Abu Ubaid dalam karyanya al-Amwa l menyatakan bahwa
upaya Umar dalam melakukan pengawasan terhadap pasar tidak dilakukannya sendiri, akan
tetapi Umar mengutus seorang utusan untuk melakukan pengawasan terhadap pasar.
Diantaranya umar mengangkat sahabat wanita yang bernama asy-sifa binti Abdullah, yang
bertugas sebagai pengawas pasar di kota amdinah. Selain itu juga umar mengangkat Abdullah
bin utbah sebagai inspektur pasar sekaligus bertindak sebagai hakim atau qadhi. Lembaga
hisbah pada zaman umar ini sudah menjadi lembaga khusus yang mengawasi hal-hal yang
terjadi di pasar.
Berlanjut kepada masa Dinasti Umawiyyah, pengawasan pasar terkadang dilakukan
langsung oleh seorang Khalifah, hal ini pernah dilakukan oleh al-Walid ibn Abd al-Malik
pada masa pemerintahannya tahun 86-96 H. Dan pada masa kerkhalifahan abbasiyah lembaga
Al-hisbah sudah dilembagakan secara permanen dan independen. Pada tahun 157 H khalifah

al-Mansur mengangkat Abu Zakariya Yahya ibn Abd Allah sebagai muhtasib pasar-pasar
yang ada di Baghdad. Pada masa ini muhtasib (pengawas pasar) tidak hanya mengawasi pasar
saja. Tapi juga melakukan pengawasan kepada produsen bahan makanan dan minuman,
pertukangan, perindustrian, dan lain-lainnya untuk memastikan produk mereka berkualitas
baik.
Pada masa Turki Usmani, lembaga hisbah sejajar dengan lembagalembaga penting lainnya. Penguasa Turki Usmani sendiri menyusun petunjuk
pelaksanaan hisbah berjudul Ihtisab Kanunameleri (untuk pusat), dan Ihtisab Kanunanames
(untuk daerah-daerah taklukan). Pejabat muhtasib pada masa itu disebut dengan Ihtisab
Nahasi atau Ihtisab Emini. Tugas lembaga ini mengawasi pasar dan prilaku masyarakat,
mengawasi organisasi sosial, organisasi ekonomi serta mengarahkan prilaku ahl al-zimmi
agar tidak bertentangan dengan syarak.42 Muhtasib juga diberi tugas
khusus mengutip pajak perdagangan. Muhtasib yang menangani pajak ini
disebut Ihtisab Aghasi, sedangkan stafnya disebut Kol Aghanlari dan
Senedli Pada Kesultanan Mughal di India, muhtasib berkedudukan tingg
langsung bertanggungjawab kepada Sultan. Lembaga ini tetap bertahan
sampai awal abad modern di masa Aurangzeb (1658 M). Lembaga hisbah
dibentuk menjadi diwan yang diketuai oleh Muhtasib -i-Askari.
Setelah memasuki abad ke 19 M, peran lembaga hisbah ini mengalami
kemunduran, hingga saat ini hanya beberapa Negara islam saja yang
menerapkan lembaga hisbah ini yaitu maroko dan arab Saudi saja.
Kemunduran ini menurut Marah Halim (2011) disebabkan beberapa
faktor :
a) Pengaruh terjadinya modernisasi yang menjangkiti Negara-negara islam,
sehingga penguasa islam mengadopsi konsep barat secara utuh tanpa
memikirkan sebab akibatnya.
b) Konsep hisbah tidak dikembangkan menurut tuntutan keadaan dan
zaman, sehingga tidak dipakai oleh sebagian besar Negara-negara islam.
c) Tidak adanya kemauan politik dari penguasa untuk mempertahankan
lembaga hisbah.
3. INSTITUSI HISBAH DI PEREKONOMIAN MASA KINI
Dengan banyaknya jenis penyelewengan pasar yang terjadi di negeri ini, maka dibutuhkan
lembaga pengawas pasar seperti al hisbah di indonesia untuk mengatasi berbagai jenis
penyelewenganan pasar. Dalam sejarah sejak kemerdekaan negeri ini belum ada lembaga
seperti hisbah yang khusus mengawasi pasar, baik itu barang komoditi maupun mekanisme
pasar yang berjalan. Selama ini pengawas perdagangangan hanya ada seperti komisi
pengawas persaingan usaha(KPPU), itupun hanay terbatas pada penanggulangan monopoli
dan persaingan tidak sehat yang mekanismenya diatur melalui UU no5 tahun 1999, tentang
larangan praktek monopoli dan pasar persaingan tidak sehat.
Padahal begitu banyaknya penyelewengan pasar di indonesia merupakan suatu ancaman yang
serius bagi masyarakat indonesia pada umumnya. Maka sudah menjadi tanggung jawab
pemerintah untuk mengatasi berbagai jenis distorsi pasar ini. Karena dalam undang-undang
dasar 1945 di bagian pembukaan dijelaskan tujuan negeri ini salah satunya kesejahteraan
umum, maka sudah selayaknya pemerintah untuk memperhatikan kondisi rakyatnya termasuk

dalam perekonomian ini. Dalam suatu kaidah yang disampaikan oleh imam syafii dinyatakan
bahwa tashorruful imam alarroiyyati manutun bil mashlahati.
Sudah selayaknya pemerintah melindugi rakyatnya, seperti dalam permasalahan pasar di
masyarakat. Pemerintah harus memberi solusi atas ketimpangan pasar yang terjadi di
masyarakat berupa membuat undang-undang yang mengawasi jalannya pasar barang
komoditi dan barang lainnya. Untuk itulah pemerintah harus membentuk lembaga
independen seperti hisbah yang mengawasi jalannya pasar.
Membentuk lembaga pengawas pasar begitu diperlukan untuk mengawasi permasalahan
pasar saat ini, dengan dibentuknya lembaga pengawas pasar seperti hisbah ini pemerintah
diharapkan bisa melindungi masyarakat yang memiliki perekonomian jangka kecil maupun
menengah.
Dari hasil pembentukan lembaga pengawas pasar di Indonesia, diharapkan lembaga pasar
memiliki fungsi sebagai berikut :
a. Memberikan solusi atas segala macam bentuk distorsi pasar yang terjadi
Maraknya kasus tentang penyelewengan pasar kerap merugikan kalangan umum dan
menguntungkan pihak-pihak tertentu. Seperti kasus para tengkulak yang membeli hasil
pertanian dari para petani dengan harga murah dan di jual dengan harga yang relatif tinggi
dari pembelian.peristiwa ini terjadi karena petani kurang begitu menguasai harga pasar
pertanian dan hal ini dalam fiqih muamalah disebut dengan talaqqi rukban .
Dari permasalahan riil diatas, maka pemerintah perlu membuat kebijakan yang bisa membuat
kesejahteraan rakyat. Dalam pandangan al-Mawardi, eksistensi negara yang dibangun atas
dasar asas-asas dan politik pemerintah. Asas-asas negara meliputi agama, kekuatan negara,
dan harta negara. Adapun politik negara (siyasah al-mulk) meliputi kebijakan pemerintah
dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat (imarah al-buldan), menciptakan keamanan
bagi warga negara (hirasah al-raiyah), mengelola pasukan (tadbir al-jund), dan mengelola
keuangan negara (taqdir al-amwal).
Maka dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat di masyarakat, pemerintah melalui lembaga
pengawas pasar melakukan kebijakan-kebijakan tertentu, seperti dalam kasus talaqqi rukban
ini, pemerintah harus mensosialisasikan terkait harga pasar barang hasil pertanian kepada
para petani, selain itu juga pemerintah harus memfasilitasi petani dalam hal pemasaran hasil
panennya agar petani tidak merasa dirugikan dan didzalimi.
b. Mencegah para spekulan memainkan harga pasar
Pada kasus awal tahun 2015, harga BBM turun, namun harga bahan sembako merangkak
naik. Hal ini disebabkan adanya spekulan yang memainkan harga pasar, sehingga akhirnya
merugikan masyarakat pada umumnya.
Lewat lembaga pengawas pasar yang dibentuk pemerintah, maka pemerintah perlu
memeberantas segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh para spekulan ini. bisa melalui
intervensi harga maupun bias melakukan sidak pasar seperti yang dialkukan rasulullah dan
khalifah umar bin khattab.
Untuk melakukan intervensi pasar, pemerintah tidaklah sembarang membuat kebijakan,
dalam pengintervensian pasar ini menurut Shiddiqi (1996) perlu memerhatikan beberapa hal :
adanya kebutuhan rakyat yang mendesak untuk komoditi

adanya kasus monopoli


adanya kasus kolusi antara pembeli.
Apabila aspek hal tersebut terpenuhi, makapemerintah dapat melakukan intervensi pasar.,
yaitu dengan pematokan harga dan penetapan harga yang wajar. Secara rincinya, peran dan
tugas institusi hisbah dalam konteks regulasi pasar menurut Ibn al-Dayba yaitu pengawasan
industri, memfasilitasi pasokan dan penyediaan kebutuhan masyarakat, pengawasan
perdagangan, serta pengawasan penimbunan.

c.

Menjadi lembaga pengawas bagi lembaga lain yang berkaitan dengan pasar
Kasus yang terjadi di negeri ini salah satunya adalah begitu banyaknya barang impor, seperti
kasus baru-baru ini, kuota impor sapi melebihi kuota yang ditetapkan. Begitu banyaknya
barang impor dari Negara lain seringkali merugikan pertanian dan perindutrian local.
Adanya lembaga pengawas pasar ini bukan hanya sekedar pengawas pasar semata, namun
dengan adanya lembaga pengawas pasar ini bias menjadi koreksi bagi lembaga pemerintah
lainnya, seperti lembaga kementrian pertanian. Lembaga pengawas pasar harus memiliki
fungsi pengawasan (controlling) terhadap lembaga tersebut, Karena dampak kelebihan kuota
impor ini bukan hanya merugikan petani dan perindustrian lokal saja, namun juga
mempengaruhi ekonomi suatu Negara jangka panjang.
Dengan adanya fungsi pengawasan kepada lembaga-lembaga lain yang berkaitan dengan
jalannya mekanisme pasar ini, diharapkan mampu mencegah para spekulan pasar bermain,
ataupun menghindari kebijakan dari pemerintah melalui lembaga tertentu yang merugikan
masyarakat pada umumnya.
4. KESIMPULAN
Dengan begitu banyaknya terjadi distorsi pasar pada masa modern ini, peran suatu hisbah
sangat diperlukan dan ditegakkan di suatu Negara, hal ini dikarenankan untuk melindungi
perekonomian masyarakat suatu Negara. Adanya mekanisme pasar yang sehat akan
mengasilkan perekonomian yang sehat pula. Pembentukan lembaga hisbah berdasarkan
sistem yang dilakukan rasulullah hingga masa kekhalifahan terakhir utsmaniyah, pada saat
ini cukup relevan untuk diaplikasikan di perekonomian modern. Denagn di bentuknya
lembaga pengawas pasar ini diharapkan pemerintah bisa membuat kesejahteraan bagi
masyarakat, terutama dalam hal transaksi ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, syafii bank islam dalam teori ke praktik gema insani press, 2003
Al-Mawardi, Tashil al-Nadzar wa-Tajil al-Zafr fi Akhlaq al-Malik Beirut: Dar al-Nashr/Dar
al-Nahdhah al-Arabiyah, 1981
Antonio, syafii muhammad saw super leader super manager tazkia publising, 2007
Halim, marah eksistensi wilayatul hisbah dalam sistem pemerintahan islam, 2011
Ibn al-Dayba, Abd al-Rahman bin Ali al-Shaybani. Kitab Bughyah al-Arbah fi Marifat
Ahkam al-Hisbah. Makkah: Markaz Ihya' al-Turath al-Islami, Umm al-Qura University, 2001.
Jaelani, aan hisbah dan mekanisme pasar: studi moralitas pelaku pasar perspektif ekonomi
Islam
Karim, adiwarman ekonomi mikro islam , jakarta : PT rajagrafindo persada, 2010
Karim, adiwarman sejarah pemikiran ekonomi islam, jakarta : PT rajagrafindo persada, 2010
Shiddiqi, M.N. Role of the State in the Economy:-An Islamic Perspective. The Islamic
Foundation, UK., 1996.

Wilayah Hisbah
Abstract: Wilayah hisbah is a jurisdiction institute (qadha) orienting to advocate
righteous deed and prevent the evil one. During Prophet SAW and khalifah alRasyidin periods, this institute still merged on khalifah's (government) power,
although afterwards Prophet SAW and khalifah al-Rasyidin delegate this authority
to several people. Later then, at period of Daulah Umaiyyah and Abbasiyah
Wilayah hisbah separated from khalifah's (government) power. In execution of its
duty, this institute had given authority to executing punishment (ta'zir) to
lawbreaker. Keywords: Wilayah hisbah and Islam Governance.
Pendahuluan
Penetapan syariat Islam bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan.1 Dalam
penerapannya (syariat Islam/hukum) memerlukan lembaga untuk
penegakannya. Karena tanpa lembaga (al-qadha) tersebut, hukum-hukum itu
tidak dapat diterapkan.
Dalam sistem pemerintah Islam, kewenangan peradilan (al-qadha) terbagi ke
dalam tiga wilayah, yaitu wilayah mazhalim, wilayah qadha, dan wilayah hisbah.
Kewenangan wilayah hisbah sesungguhnya merupakan kewenangan untuk
menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar, serta menjadikan
kemaslahatan dalam masyarakat.2 Upaya ini digolongkan pada usaha untuk
memberikan penekanan terhadap ketentuan-ketentuan hukum agar dapat
terealisir dalam masyarakat secara maksimal. Di samping itu, wilayah hisbah
dapat memberikan tindakan secara langsung bagi pihak-pihak yang melakukan
pelanggaran. Artinya, terlihat betapa urgen keberadaban wilayah hisbah dalam
membina masyarakat untuk menaati aturan-aturan syara.
Wilayah Hisbah dan Kewenangannya
Wilayah hisbah terdiri dari dua kata, yaitu kata wilayah dan hisbah, yang secara
harfiah diartikan dengan kewenangan melakukan sesuatu perbuatan baik
dengan penuh perhitungan.3
Upaya pendefinisian wilayah hisbah telah banyak dilakukan seperti yang dikutip
oleh al-Farakhi, yaitu menyuruh berbuat baik apabila nyata perbuatan itu
ditinggalkan, dan melarang berbuat mungkar apabila nyata perbuatan itu
dikerjakan.4 Ini mengindikasikan wilayah hisbah
Ibda` Vol. 3 No. 1 Jan-Jun 2005 33-44 2 P3M STAIN Purwokerto Iin Solikhin
merupakan jabatan keagamaan yang mencakup menyuruh berbuat baik dan
melarang berbuat mungkar, di mana kewenangan ini merupakan kewajiban
untuk menegakkan atau melaksanakan bagi orang tertentu yang diyakini bahwa
ia mampu untuk melaksanakan hal tersebut. Artinya, definisi wilayah hisbah
tersebut hanya menggambarkan wilayah hisbah sebagai tugas pribadi muslim,
belum menggambarkan pengertian wilayah hisbah sebagai bagian dari
kekuasaan peradilan.
Definisi berbeda dikemukakan Ibnu Taimiyah5 bahwa yang dimaksud dengan
wilayah hisbah adalah muhtasib yang kewenangannya adalah menyuruh berbuat
baik dan melarang berbuat mungkar, yang tidak termasuk wilayah qadha dan
wilayah lainnya.
Yang dimaksud dengan muhtasib adalah petugas yang diangkat oleh pemerintah
seperti yang diungkap oleh Bernard Lewis, A muhtasib who policed business
transaction and public morality.6 Hal senada juga disitir oleh Ross E. Dunn
Muhtasib a government appointed inspector of markets and morals whose task is
defined by the oft repeated quranic injunction incumbent on all muslim to
command good and forbid evil.7 Dengan demikian, yang dimaksud dengan
muhtasib petugas wilayah hisbah diangkat oleh sulthan (pemerintah),8 dan
wilayah ini khusus menangani masalah moral dan kesusilaan.

Sebagai salah satu lembaga peradilan dalam sistem pemerintahan Islam,


wilayah hisbah mempunyai kewenangan-kewenangan sebagai berikut.9
Dalam Bidang Aqidah
Hisbah berlaku dalam masalah-masalah penyimpangan aqidah, yaitu
permasalahan-permasalahan yang terkait erat dengan unsur-unsur aqidah Islam.
Pada saat terjadi praktek-praktek aqidah yang bertentangan dengan aqidah
Islam, Muhtasib berwenang untuk melarang perbuatan-perbuatan tersebut,
seperti penyembahan kepada Allah dilakukan dengan ber-tawasul kepada pohonpohon besar, batu-batuan, mendatangi dukun-dukun untuk melihat garis
keberuntungan nasib, perusakan terhadap al-Quran (dengan mengubah makna
atau menukar ayat dengan unsur lain), dan lain-lain yang dilarang dalam Islam.
Dalam Bidang Ibadah
Dalam bidang ibadah muhtasib memiliki kewenangan untuk menerapkan hisbah,
antara lain, menyuruh melaksanakan shalat, memakmurkan masjid, menyeru
untuk berzakat, berpuasa, melarang minuman khamar diperjualbelikan, berkhalwat antarlawan jenis, dan lain-lain.
Dalam Bidang Muamalah
Yang dimaksud dengan muamalah adalah aturan-aturan yang mengatur
hubungan antarsesama manusia, seperti jual-beli, syirkah, dan lain-lain. Dalam
masalah ini kewenangan wilayah hisbah, antara lain, melarang dan mengawasi
terjadinya kecurangan, seperti pengurangan ukuran dan timbangan, praktekpraktek yang mengandung unsur mengatur ketertiban jalan, dan hal-hal yang
berkaitan dengan moral, seperti melarang perempuan memakai pakaian yang
kelihatan aurat-nya.
Ibda` Vol. 3 No. 1 Jan-Jun 2005 33-44 3 P3M STAIN Purwokerto Iin Solikhin
Historisitas Wilayah Hisbah
Masa Nabi Muhammad SAW
Satu hal yang dilakukan oleh Nabi SAW di Madinah setelah hijrah dari Makkah
ke Madinah adalah mempererat persaudaraan antara kaum Muhajirin dan
Anshar dengan mengeluarkan shahifah yang dikenal dengan shahifah al-rasul
yang berisi tentang :
a. Pernyataan persatuan antara Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang
berhubungan dan berjuang bersama mereka;
b. Orang-orang yang berlaku zalim atau mengadakan permusuhan di antara
orang mukmin, harus sama-sama diatasi walaupun keluarga sendiri;
c. Orang Yahudi saling membantu dengan orang mukmin dalam menghadapi
musuh, dan bebas menjalankan agamanya masing-masing;
d. Orang-orang yang bertetangga seperti satu jiwa dan tidak boleh untuk saling
berbuat dosa;
e. Orang-orang yang bermukim di Madinah berstatus aman kecuali yang berlaku
zalim dan dosa.10
Dengan keluarnya shahifah al-rasul ini mengindikasikan telah berdiri satu daulah
Rasul sebagaimana terlihat dalam penyusunan strategi dalam menghadapi
musuh (orang-orang Quraisy).
Kondisi peradilan pada masa ini sudah terlihat dengan adanya sahabat yang
diutus oleh Nabi SAW untuk menjadi qadhi, seperti Muadz Ibn Jabbal sebagai
qadhi di Yaman, dan Umar Ibn al-Khaththab di Madinah. Namun demikian,
walaupun kewenangan untuk menyelesaikan persoalan diberikan kepada
shahabat (qadhi), Akan tetapi, apabila terjadi ketidakpuasan terhadap putusan
tersebut, boleh mengajukan keputusan kembali kepada Nabi SAW. Wilayah
Hisbah pada masa ini sebagai suatu lembaga belum terbentuk sebagai suatu
lembaga, hanya praktek-praktek yang mengarah pada kewenangan hisbah
dilakukan sendiri oleh Nabi SAW, seperti ketika Nabi SAW berjalan-jalan di pasar
Madinah dan melewati penjual makanan, kemudian Nabi SAW memasukkan

tangannya ke dalam setumpukan gandum dan menemukan bagian gandum yang


basah, Nabi SAW kemudian bersabda: Bahwa barangsiapa yang menipu
umatnya maka bukan termasuk umatnya.11
Masa Khulafa al-Rasyidin
Setelah Nabi SAW wafat kewenangan sebagai pemimpin masyarakat (negara)
digantikan oleh Abu Bakar, Umar Ibn al Khaththab, Utsman Ibn Affan, dan Ali Ibn
Ali Thalib. Secara umum kondisi peradilan pada masa ini tidak banyak
mengalami perubahan. Hanya pada masa Umar Ibn al-Khaththab dan Ali Ibn Abi
Thalib diberikan bimbingan dan petunjuk kepada qadhi yang diangkat.12
Ibda` Vol. 3 No. 1 Jan-Jun 2005 33-44 4 P3M STAIN Purwokerto Iin Solikhin
Begitu juga dengan lembaga hisbah, pada masa ini tidak banyak mengalami
perubahan, artinya muhtasib dipegang sendiri oleh khalifah.13
Masa Daulah Umayyah
Setelah Ali Ibn Abi Thalib wafat kekhalifahan digantikan oleh Hasan Ibn Ali Ibn
Abi Thalib. Melihat kepada perdebatan dan kurangnya dukungan masyarakat
terhadap kepemimpinannya, akhirnya ia serahkan kekhalifahan kepada
Muawiyah Ibn Abi Sufyan, maka dimulailah masa imperium Daulah Umayyah
dari 661 750 M.14
Keberadaban peradilan pada masa ini memiliki keistimewaan terpisah dengan
kekuasaan pemerintah- dengan adanya penentuan qadhi yang dipilih khalifah,
dengan memiliki kewenangan memutus perkara kecuali dalam bidang hudud.
Pelaksanaan peradilan itu sendiri sesungguhnya masih sama dengan peradilan
pada masa khalifah al-rasyidin. Wilayah hisbah (muhtasib) pada masa ini tidak
melembaga dan diangkat oleh khalifah dan lembaga disebut Shahib al-Sauq.
Joeseph Schacht dalam an Introduction to Islamic law menjelaskan bahwa
wilayah hisbah diadopsi dari lembaga peradilan di masa Bizantium yang
fungsinya merupakan bagian dari peradilan, yaitu spector of market.15 Apa yang
dikatakan oleh Schacht itu sesungguhnya tidak dapat diterima, tentunya antara
wilayah hisbah dengan spector of market memiliki perbedaan-perbedaan yang
sangat tajam. Pada spector of market hanya bertugas untuk mengumpulkan
bayaran wajib para pedagang (collective obligation) atau pajak jualan, dan
kewenangan seperti ini tidak terdapat pada wilayah hisbah. Dilihat dari segi
berdirinya pun tidak dapat diterima karena hisbah sudah ada pada masa Rasul
walaupun dalam bentuk embrio, sedangkan terbentuk sebagai lembaga terjadi
pada masa Umayyah setelah melalui proses sejarah.16
Dengan demikian, wilayah hisbah pada periode ini sudah menjadi satu lembaga
khusus dari lembaga peradilan yang ada dengan kewenangan mengatur dan
mengontrol pasar dari perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat
Islam.
Masa Daulah Abbasiyah
Setelah Daulah Umayyah runtuh dan digantikan oleh Daulah Abbasiyah dari
kurun waktu 750 M 1225 M (132 H 656 H), umat Islam banyak mengalami
kemajuan dalam segala bidang termasuk dalam lembaga peradilan, pada
periode ini telah terjadi pemisahan kekuasaan, lembaga peradilan dikepalai oleh
qadhi al-qudhah yang berkedudukan di ibukota, dengan kewenangan mengawasi
para qadhi yang berkedudukan di daerah kekuasaan Islam.
Begitu juga dengan lembaga hisbah sudah terlaksana dengan baik, lembaga ini
berada di bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk memperkecil perkaraperkara yang harus diselesaikan oleh wilayah qadha. Hal ini dijelaskan oleh
Schacht bahwa pada saat yang sama ketika hakim-hakim peradilan menghadapi
perkara yang semakin banyak, ada keharusan untuk akomodasi dan muhtasib.17
Artinya, keberadaan lembaga ini pada periode Abbasiyah sudah melembaga
seperti lembaga pemerintahan lainnya, yang secara struktural berada di bawah
lembaga peradilan (qadha).

Ibda` Vol. 3 No. 1 Jan-Jun 2005 33-44 5 P3M STAIN Purwokerto Iin Solikhin
Penetapan Wilayah Hisbah dalam Sistem Pemerintahan Islam
Wilayah hisbah sebagai salah satu wilayah qadha dalam sistem pemerintahan
Islam, memiliki perbedaan dalam mendefinisikan dan menggambarkannya
antara konsep-konsep dengan realitas dalam konteks sejarah. Abu Yala
Muhammad Ibn al-Husein al-Farakhi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah menyatakan
bahwa wilayah hisbah adalah menyuruh berbuat baik, dengan melarang berbuat
mungkar.18 Definisi ini terlalu umum untuk menggambarkan wilayah hisbah itu
sendiri dengan alasan bahwa pemerintahan Islam pun selalu berupaya untuk
menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat mungkar. Sementara dalam
konteks sejarah, wilayah hisbah merupakan salah satu lembaga dari lembaga
peradilan yang kewenangannya terpusat pada tempat-tempat transaksi
sebagaimana terlihat dalam sejarah Daulah Umayyah dan Abbasiyah, bahkan
pada masa Nabi SAW. Akan tetapi, yang jelas bahwa wilayah hisbah bukan
merupakan bentukan pengaruh budaya imperium Romawi seperti yang diungkap
oleh Schacht. Namun, lembaga ini lahir secara alami yang kemungkinan
dilatarbelakangi oleh: a) adanya aturan-aturan dalam nash yang mengatur
sistem jual beli secara ketat, b) adanya isyarat syara membentuk pasar yang
sesuai dengan syariat Islam.
Untuk melihat lebih jelas kapan wilayah hisbah ini terlepas dari kekuasaan
khalifah (pemerintah), maka perlu dilihat dalam periodisasi sejarah. Taufiq Abd.
al-Gani al-Rasyasyi memberikan pernyataan bahwa Rasulullah dan para khalifah
al-rasyidin pada awal pemerintahan Islam langsung terjun dalam melaksanakan
fungsi hisbah. Namun, ketika urusan pemerintahan semakin banyak,
kewenangan ini dikhususkan pada lembaga tertentu yang pada masa berikutnya
disebut wilayah hisbah.19
Pernyataan di atas dapat diterima karena secara faktual terlihat embrio lembaga
ini sudah ada pada masa Nabi SAW yang ketika itu kewenangannya masih
dilaksanakan oleh Nabi SAW dan setelah Futuhat al-Makkah tugas pengawasan
pasar didelegasikan kepada Umar Ibn al-Khaththab di Madinah, dan Shaid Ibn
Shaid Ibn al-Ash untuk Makkah.
Pada masa Khulafa al-Rasyidin, hisbah masih dipegang oleh khalifah di samping
mengangkat petugas hisbah (muhtasib) untuk melaksanakan kewengan hisbah
tersebut, sebagaimana dilakukan oleh Umar Ibn al-Khathab yang mengangkat
Said Ibn Yazid, Abdullah Ibn Uthbah, dan Ummu al-Syifa sebagai muhtasib.
Begitu juga pada masa Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn Thalib. Dengan demikian
pada masa Nabi SAW dan Khulafa al-Rasyidin belum secara jelas adanya
pemisahan antara wilayah hisbah dengan kekuasaan khalifah.
Periode selanjutnya pada masa Daulah Umayyah, wilayah hisbah sudah terpisah
kekuasaannya dengan kekuasaan khalifah. Ini terlihat pada eksistensi wilayah
hisbah sebagai salah satu lembaga peradilan (qadha), walaupun pengangkatan
muhtasib masih berada dalam kekuasaan khalifah, sebagaimana yang dilakukan
Muawiyah Ibn Abi Sufyan yang mengangkat Qais Ibn Hamzah al-Mahdaq sebagai
muhtasib. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah hisbah sudah terpisah dari
kekuasaan khalifah, hanya saja penetapan peraturan pelaksanaan hisbah masih
menjadi tugas khalifah. Oleh karena itu, pertanyaannya kapankah wilayah hisbah
ini resmi dinyatakan sebagai suatu lembaga? Menurut Hassan Ibrahim Hassan,
yang dikuatkan oleh Muhammad Salam
Ibda` Vol. 3 No. 1 Jan-Jun 2005 33-44 6 P3M STAIN Purwokerto Iin Solikhin
Madzkur dalam bukunya al-Qadha fi al-Islam bahwa wilayah hisbah sebagai
suatu lembaga dengan muhtasib petugasnya, yaitu pada masa khalifah al-Mahdi
al-Abbasiyah (158 169 H / 775 785 M).20
Pada masa pemerintahan Abbasiyah, kelembagaan hisbah masih sama dengan
kelembagaan hisbah pada periode Umayyah, Namun kewenangan mengangkat

muhtasib sudah tidak lagi dalam kekuasaan khalifah, tetapi diserahkan kepada
qadhi al-qudhah, baik mengangkat maupun memberhentikannya.21
Sistem penerapan wilayah hisbah, muhtasib tidak berhak untuk memutuskan
hukum sebagaimana halnya pada wilayah qadha, muhtasib hanya dapat
bertindak dalam hal-hal skala kecil dan pelanggaran moral yang jika dianggap
perlu muhtasib dapat memberikan hukuman tazir terhadap pelanggaran moral.
Berdasarkan hal ini kewenangan muhtasib lebih mendekati kewenangan polisi,
tetapi bedanya, ruang gerak muhtasib hanyalah soal kesusilaan dan
keselamatan masyarakat umum, sedangkan untuk melaksanakan penangkapan,
penahanan, dan penyitaan tidak termasuk dalam kewenangannya. Di samping
itu, muhtasib juga berwenang melakukan pencegahan terhadap kejahatan
perdagangan dalam kedudukannya sebagai pengawas pasar, termasuk
mencegah gangguan dan hambatan, pelanggaran di jalan, 7memakmurkan
masjid, dan mencegah kemungkaran seperti minum-minuman keras, perjudian,
dan lain-lain.
Kesimpulan
Wilayah hisbah merupakan salah satu lembaga peradilan (qadha) dalam sistem
pemerintahan Islam, yang memiliki kewenangan untuk amar maruf nahi
mungkar. Embrio lembaga ini telah ditemui sejak masa Nabi SAW sebagai salah
satu kewajiban agama, dan pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan
Abbasiyah lembaga ini menjelma menjadi sebuah lembaga terpisah dari
kekuasaan khalifah.
Wilayah hisbah ini berwenang untuk memberikan hukuman terhadap pelanggar
hukum. Walaupun demikian, muhtasib tidak memberikan hukuman tersebut
secara langsung, tetapi melalui tahapan-tahapan seperti menasehati,
mengingatkan, yang kesemuanya itu termasuk dalam kategori tazir. *dikutip
dari makalah iin sholihin
Endnote
1 Manna Khalil al-Qaththan, al-Tasyri wa al-Fiqh al-Islam (Mesir: Dar al-Fikr, TT),
hal. 89.
2 Athiyah Musyarrafah, al-Qadha fi al-Islam (Mesir: Dar al-Fikr, TT), hal. 179.
3Kata wilayah berarti kekuasaan dan kewenangan, dan hisbah adalah imbalan,
pujian melakukan sesuatu perbuatan dengan penuh perhitungan. Lihat Louis
Maluf, Munjid fi al-Lughah wa al-Ilm (Beirut: al-Maktabah al-Syarqiyah, 1986),
hal. 282.
4Abu Yala Muhammad Ibn al-Husein al-Farakhi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah (Mesir:
Dar al-Fikr, TT), hal. 320.
Ibda` Vol. 3 No. 1 Jan-Jun 2005 33-44 7 P3M STAIN Purwokerto Iin Solikhin
5Abd. al-Rahman Ibn Muhammad Qasim al-Asimi, Majmu al-Fatawa Sayyid alIslam Ibn al-Taimiyyah (Mesir: Dar al-Fikr, 1984), hal. 69.
6Bernard Lewis, The Middle East: A Brief History of The Last 2000 Years (New
York: Scribner, 1995), hal. 66.
7Ross E. Dunn, The Adventure of Ibn Batutah, a Muslim Traveller of The
Fourteenth Century (California: University of California Press, 1986), hal. 188.
8 Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah (Mesir: Dar al-Fikr, TT), hal. 240.
9Abd. al-Karim Zaidan, Ushul al-Aqidah (Beirut: Dar al-Kabir, 1989), hal. 193-194.
Lihat juga, Ibn al-Taimiyyah, al-Hisbah fi al-Islam (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah,
TT), hal. 17-18.
10Ahmad Ibrahim al-Syarief, Daulah al-Rasul fi al-Madinah (Kuwait: Dar al-Bayan,
1972), hal. 81.
11Muhammad Mahdi Syams al-Din, Nizham al-Hukm wa al-Idarah fi al-Islam
(Beirut: Dar al-Hamra, 1991), hal. 593.
12Ibid., hal. 620.
13Rasyad Abbas Matuq, Nizham al-Hisbah fi al-Irak (Jeddah: Dar al-Bilad, 1982),

hal. 45.
14Amir Ali, dkk, Short History of Saracens (New Delhi: Lahoti Fine Art Press,
1990), hal. 45.
15Joeseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: Clarendon Press, TT),
hal. 25.
16Lihat Muhammad Jalal Syarief dan Ali Abd. al-Muthi Muhammad, al-Fikr alSiayasi fi al-Islam: Syakhshiyah wa al-Madzahib (Iskandariyah: Dar al-Jamiah alMishriyah, 1978), hal. 158.
17Joeseph Schacht, An Introduction, hal. 52.
18Abu Yala Muhammad Ibn al-Husein al-Farakhi, Al- Ahkam, hal. 320.
19Taufiq Abd. al-Gani al-Rasyasyi, Usus al-Hukm al-Siyasi al-Daulah al-Syariyah
al-Islamiyah (Mesir: al-Haiah al-Mishriyah li al-Kitab, 1986), hal. 130.
20Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh al-Islam: al-Siyasi wa al-Din wa al-Tsaqafi wa alIjtihadi (Kairo: Dar al-Nahdhah al-Mishriyah, TT), hal. 489.
21Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh al-Daulah al-Fathimiyah (Kairo: Al-Maktabah alMukhashshah al-Mishriyah, 1993), hal. 363.
Daftar Pustaka
Abdullah, Syamsuddin. 1997. Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi
Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Ali, Amir. 1980. Short History of Saracens. New Delhi: Lahoti Fine Arts Press.
Al-Qaththan, Manna Khalil. TT. Al-Tasyri wa al-Fiqh al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Rasyasyi, Taufiq Abd. al-Gani. 1986. Usus al-Hukm al-Siyasi al-Daulah alSyariyah al-Islamiyah. Mesir: al-Haiah al-Mishriyah li al-Kutub.
Al-Syarief, Ahmad Ibrahim. 1972. Daulah al-Rasul fi al-Madinah, Kuwait: Dar alBayan.
Dunn, Ross E. 1986. The Adventure of Ibn Batutah: a Muslim Traveller of The
Fourtenth Century. California: University of California.
Al-Farakhi, Abu Yala Muhammad Ibn al-Husein. TT. Al-Ahkam al-Sulthaniyah.
Beirut: Dar al-Fikr.
Hassan, Ibrahim Hassan. TT. Tarikh al-Islam: al-Siyasi wa al-Din wa al-Tsaqafi wa
al-Ijtihadi. Kairo: Dar al-Nahdhah al-Mishriyah.
Ibda` Vol. 3 No. 1 Jan-Jun 2005 33-44 8 P3M STAIN Purwokerto Iin Solikhin
_________ 1993. Tarikh al-Daulah al-Fathimiyah. Kairo: Al-Maktabah alMakhshushah al-Mishriyah.
Ibn Taimiyyah. TT. Al-Hisbah fi al-Islam. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah.
Lewis, Bernard. 1995. The Middle East: a Brief History of The last 2000 Years.
New York: Scribner.
Matuq, Rasyad Abbas. 1982. Nizham al-Hisbah fi al-Iraq. Jeddah: Dar al-Bilad.
Maluf, Louis. 1986. Munjid fi al-Lughah wa al-Ilm. Beirut: Maktabah al-Syarqiyah.
Musyarrafah, Athiyah. TT. Al-Qadha fi al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr.
Syam al-Din, Muhammad Mahdi. 1991. Nizham al-Hukmi wa al-Idarah fi al-Islam,
Beirut: Dar al-Hamrah.
Schacht, Joeseph. TT. An Introduction to Islamic Law. Oxford: Clarendon Press.
Syarief, Muhammad Jalal, dan Ali Abd al-Muthi Muhammad. 1987. Al-Fikr alSiyasi fi al-Islam: Syakhshiyah wa al-Madzahib. Iskandariyah: Dar al-Jamiah alMishriyah.

View Full-Size HISBAH. SISTEM PENGAWASAN DAN ETIKA


PENGURUSAN ISLAM
Image
ISBN: 978-983-3827-61-9
( Mardzelah Makhsin )
RM 31.00
RM 27.90
You Save: 10.00%
Quantity:

Year : 2008

Pages : 1125
Hisbah Sistem Pengawasan dan Etika Pengurusan Islam menjelaskan tentang
implementasi al-amr bi al-makruf wa alnahy an al-munkar. Dengan kata lain, ia
memastikan pelaksanaan perintah Allah SWT dan meninggalkan larangan-Nya, telah
dibentuk suatu pengawasan yang dipertanggungjawabkan dalam bentuk Hisbah.
Keistimewaan Hisbah dilihat sebagai kesempurnaan Islam kerana Hisbah mendidik
umat Islam sentiasa patuh perintah Allah SWT dengan berhati-hati, berwaspada,
mempertikaikan setiap amalan yang dilakukan agar umat Islam tidak tergelincir
daripada melakukan kemungkaran. Oleh itu, kesedaran kita memahami Hisbah amat
penting untuk mengetahui kepentingannya dalam sistem dan etika pengurusan Islam
dan diri sendiri.
Buku ini menjelaskan tentang sistem Hisbah yang bertindak sebagai pengawasan luaran
yang berasaskan kepada pengawasan dalaman yang dikenali sebagai muhasabat al-nafs.
Melalui buku ini juga, didokumentasikan sejarah dan perbandingan dalam amalan
semasa terutamanya dengan institusi pengawasan lain seperti al-Qada, Wilayat
Mazalim dan Niyabat al-Ammah. Semoga buku ini dapat memberi sumbangan
dalam keilmuan Islam dan mempertingkatkan pengetahuan kita tentang Hisbah yang
berperanan dalam mengawasi tingkah laku manusia dalam melakukan al-amr bi almaruf wa al-nahy an al-munkar. Insya-Allah.

Anda mungkin juga menyukai