DEFINISI
kondisi neurologis yang menimbulkan masalah dalam pemusatan perhatian dan
hiperaktivitas-impulsivitas, dimana tidak sejalan dengan perkembangan usia anak.
lebih kepada kegagalan perkembangan dalam fungsi sirkuit otak yang bekerja dalam
menghambat monitoring dan kontrol diri, bukan semata-mata gangguan perhatian seperti
asumsi selama ini.
2 kategori utama perilaku ADHD
kurangnya kemampuan memusatkan perhatian
hiperaktivitas-impulsivitas.
Manifestasi Perilaku
1. Kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dapat muncul dalam perilaku:
a. Ketidakmampuan memperhatikan detil atau ceroboh
b. Kesulitan memelihara perhatian terhadap tugas atau aktivitas bermain
c. tidak perhatian saat bicara dengan orang lain
d. Tidak mengikuti perintah dan gagal menyelesaikan tugas
e. sulit mengorganisasikan tugas dan aktivitas
2. hiperaktivitas-impulsivitas sering muncul dalam perilaku:
a. gelisah /tidak tenang di tempat duduk
b. sering meninggalkan tempat duduk di kelas / situasi lain dimana seharusnya duduk tenang
c. berlari atau memanjat berlebihan, selalu terburu-buru atau bergerak terus seperti mesin
d. kesulitan bermain/terlibat dalam aktivitas yang menyenangkan
e. sering menjawab pertanyaan sebelum selesai. (Impulsivitas), berbicara terlalu banyak
f. sulit menunggu giliran (Impl) menyela atau memaksakan pendapat kepada orang lain (Imp)
Diagnosa menurut DSM-IV
A. (1) atau (2)
(1) memenuhi 6 atau lebih gejala kurangnya pemusatan perhatian paling tidak selama 6 bulan
pada tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan;
(2) memenuhi 6 atau lebih gejala hiperaktivitas-impulsivitas paling tidak selama 6 bulan pada
tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan
B. Gejala kurangnya pemusatan perhatian atau hiperaktivitas-impulsivitas muncul sebelum
usia 7 tahun.
C. Gejala-gejala tsb muncul dalam 2 seting atau lebih (di sekolah, rumah, atau
pekerjaan)C.Harus ada bukti secara klinis adanya gangguan dalam fungsi sosial, akademik,
atau pekerjaan.
D. Gejala tidak terjadi mengikuti gangguan perkembangan pervasive, skizofrenia, atau
gangguan psikotik lainnya dan tidak dilihat bersama dengan gangguan mental lain (gangguan
suasana hati, gangguan kecemasan, atau gangguan kepribadian).
Mengapa dia ADHD? (FAKTOR PENYEBAB)
sebagai teknik utama. Mereka berusaha masuk ke dunia anak dengan memaknai bahasa tubuh
dan tanda-tanda dari anak, seperti gerakan menunjuk. Tidak ada penjelasan detil tentang
teknik mereka namun dikatakan bahwa mereka kurang berhasil dengan teknik ini.
3. Wolfberg & Schuler menyarankan penggunaan terapi bermain kelompok bagi anak-anak
autistik dan menekankan pentingnya integrasi kelompok yang lebih banyak memasukkan
anak-anak dengan kemampuan sosial yan tinggi. Jadi mereka memasangkan anak-anak
autistik dengan anak-anak normal dan secara hati-hati memilih alat bermain dan jenis
permainan yang dapat memfasilitasi proses bermain dan interaksi di antara mereka.
Fasilitator dewasa hanya berperan sebagai pendukung dan mendorong terjadinya proses
interaksi yang tepat.
4. Mundschenk & Sasso juga menggunakan terapi bermain kelompok ini. Mereka melatih
anak-anak non-autistik untuk berinteraksi dengan anak-anak autistik dalam kelompok.
5. Voyat mendeskripsikan pendekatan multi disiplin dalam penggunaan terapi bermain bagi
anak autisme, yaitu dengan menggabungkan terapi bermain dengan pendidikan khusus dan
melatih ketrampilan mengurus diri sendiri.
EFEKTIVITAS TERAPI BERMAIN BAGI PENYANDANG AUTISME
Efektivitas penggunaan terapi bermain masih cukup sulit diketahui karena sampai saat ini
kebanyakan literatur masih memaparkan hasil kasus per kasus. Namun Bromfield, Lanyado,
& Lowery menyatakan bahwa klien mereka menunjukkan peningkatan dalam bidang
perkembangan bahasa, interaksi sosial, dan berkurangnya perilaku stereotip, setelah proses
terapi. Mereka dikatakan juga dapat mentransfer ketrampilan ini di luar seting bermain.
Wolfberg & Schuler menyatakan bahwa model terapi bermain yang terintegrasi dalam
kelompok juga dapat berhasil, dimana program ini ditujukan untuk meningkatkan interaksi
sosial dan melatih ketrampilan bermain simbolik. Mundschenk & Sasso juga melaporkan hal
yang sama.
PRINSIP-PRINSIP PENERAPAN TERAPI BERMAIN BAGI ANAK AUTISTIK
Terdapat beberapa hal prinsip yang harus dipahami terapis sebelum menerapkan terapi
bermain bagi anak-anak autistik, yaitu:
1. Terapis harus belajar bahasa yang diekspresikan kliennya agar dapat lebih membantu.
Karena itu metode yang disarankan adalah terapi yang berpusat pada klien.
2. Harus disadari bahwa terapi pada populasi ini prosesnya lama dan sangat sulit sehingga
membutuhkan kesabaran yang sangat tinggi. Apa yang kita latihkan bagi anak normal dalam
waktu beberapa jam mungkin akan memakan waktu bertahun-tahun pada anak autistik.
Kondisi ini kadang membuat terapis bosan dan putus asa.
3. Terapis harus menghindari memandang isolasi diri anak sebagai penolakan diri dan tidak
memaksa anak untuk menjalin hubungan sampai anak betul-betul siap.
4. Terapis juga harus betul-betul sadar bahwa meskipun anak autistik dapat mengalami
kemajuan dalam terapi yang diberikan, ketrampilan sosial dan bermain mereka mungkin tidak
akan bisa betul-betul normal. Jika tujuan umum terapi adalah untuk membantu anak dapat
memaksimalkan potensi mereka dan memberi mereka kesempatan untuk berfungsi lebih baik
dalam hidup mereka, maka keberhasilan sekecil apapun harus dianggap sebagai kemenangan
dan harus disyukuri sepenuh hati.
Berdasarkan luasnya batasan terapi bermain maka penerapannya bagi penyandang autisme
memerlukan batasan-batasan yang lebih spesifik, disesuaikan dengan karakteristik
penyandang autisme sendiri. Pada anak penyandang autisme, terapi bermain dapat dilakukan
dan perjuangan yang sangat keras dan belum tentu berhasil memuaskan.
3. Keberhasilan program terapi bermain sangat ditentukan oleh bagus tidaknya kerja sama
terapis dengan orang tua dan orang-orang lain yang terlibat dalam pengasuhan anak seharihari. Hal ini berkaitan dengan proses transfer ketrampilan yang sudah diperoleh selama terapi
yang harus terus dipelihara dan ditingkatkan dalam kehidupan di luar program terapi.
Demikianlah beberapa hal yang menurut saya penting diketahui tentang penerapan terapi
bermain bagi anak penyandang autisme. Sekali lagi, harus dicatat bahwa terapi bermain
adalah salah satu alternatif saja diantara sekian banyak program terapi yang sudah
dikembangkan bagi anak autisme. Masukan dan kritik bagi makalah ini sangat diharapkan
demi proses belajar saya dan perbaikan ke depan. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
APA. 1994. DSM-IV, 4th Ed. Washington DC: The American Psychiatric Association
Budiman, M., 1997. Tata Laksana Terpadu pada Autisme. Simposium Tata Laksana Autisme
oleh Yayasan Autisme Indonesia. Jakarta: tidak diterbitkan
Caldera, Y.M., et al., 1999. Children s Play Preferences, Construction Play with Blocks, and
Visual-Spatial Skills: Are They Related? International Journal of Behavior Developmental
Psychology. Vol. 23. No. 4,855-872.
Coplan, R.J, et al., 2004. Do You want to Play? Distinguishing Between Conflicted
Shyness and Social Disinterest in Early Childhood. International Journal of Behavior
Developmental Psychology. Vol. 40. No. 2, 244-258.
Hartini, N., 2004. Pola Permainan Sosial: Upaya Meningkatkan Kecerdasan Emosi Anak,
Anima, Vol. 19, No. 3, 271-285
Hoeksema, S.N., 2004. Abnormal Psychology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill Companies.
Inc.
International Association for Play Therapy (APT), Play Therapy. Diakses dari www. A4pt.org
Landreth, G.L., 2001, Innovations in Play Therapy: Issues, Process, and Special Populations,
Philadelphia, Brounner-Routledge
Lyytinen, P., Dikkens, A. M., dan Laakso, M.L. 1997. Language and Symbolic Play in
Toddlers. International Journal of Behavior Developmental Psychology. Vol. 21. No. 2, 289302.
McConnell, R.S., 2002. Interventions to Facilitate Social Interaction for Young Children with
Autism: Review of Available Research and Recommendations for Educational Intervention
and Future Research. Journal of Autism and Developmental Disorders. Vol. 32. No. 5,
October 2002, 351-372
Openheim, D. 1997. The Attachment Doll-Play Interview for Preschoolers. International
Journal of Behavior Developmental Psychology. Vol. 20. No. 4, 681-697.
Schaefer,C.E., Gitlin, K, & Sandgrund., 1991, Play Diagnosis & Assessment, Canada: John
Wiley & Sons
Sugiarto, S, Prambahan, D.S., & Pratitis, N.T., 2004, Pengaruh Social Story terhadap
Kemampuan Berinteraksi Sosial pada Anak Autis, Anima, Vol. 19, N0. 3, 250-270
Sukmaningrum, E., 2001, Terapi Bermain sebagai Salah Satu Alternatif Penanganan Pasca
Trauma pada Anak, Jurnal Psikologi, Vol. 8, No. 2, 14-23
Sutadi, R., 1997. Tata Laksana Perilaku pada Penyandang Autisme. Simposium Tata Laksana
Autisme oleh Yayasan Autisme Indonesia. Jakarta: tidak diterbitkan
dan dari latar belakang komunitas tertentu harus bermain secara tepat. Hanya dengan cara
tersebut maka observer dapat mengetahui dan memutuskan apakah perilaku subjek dalam
bermain dapat dikatakan memiliki makna umum (normal) atau tidak normal. Seperti juga
Freud, Erikson memandang permainan sebagai jalan mengetahui ketidaksadaran subjek.
Piaget dengan teorinya tentang perkembangan kognitif juga memberi perhatian pada perilaku
bermain. Menurutnya, perubahan perilaku bermain menunjukkan perkembangan intelektual,
sama seperti peningkatan kompetensi individu. Bermain juga menjadi media bagi individu
untuk mempraktekkan apa yang sudah dipelajarinya.
Tokoh lain yang mengembangkan penggunaan permainan dalam assessmen adalah Virginia
Axline. Axline menyatukannya dengan pendekatan nondirective client-centered milik Rogers
yang sebelumnya hanya untuk orang dewasa. Menurut Axline, dalam situasi bermain anakanak menampilkan diri mereka dengan cara yang paling terus terang, jujur, dan jelas.
Perasaan mereka, sikap, dan pikiran-pikiran yang muncul, terbuka dengan jelas dan tanpa
usaha untuk ditutup-tutupi. Anak-anak juga belajar memahami diri mereka dan orang lain
dengan lebih baik lewat bermain. Mereka belajar bahwa ketika bermain mereka dapat
melakukan apapun, menciptakan dunia sendiri, menciptakan atau menghancurkan sesuatu.
Selama tahun-tahun 1930-an sampai 1960-an, bermain oleh para klinisi lebih dipandang
sebagai tritmen daripada instrumen penjangka/assessmen. Namun kemudian beberapa ahli
mengembangkan permainan sebagai alat diagnostik. Salah satu yang terkenal adalah Teknik
miniatur dunia hasil karya Lowenfeld, yang dikatakan dapat menentukan taraf
perkembangan fungsi anak, meliputi perkembangan : kemampuan bicara, motorik,
intelektual, sosial, intrapsikis, dan perkembangan afektif. Setelah mengalami perkembangan
yang bagus di tahun-tahun 1950-an, selanjutnya terapi bermain agak surut dan popularitasnya
mulai menurun. Sekitar tahun 1960-an para profesional mulai beralih kepada tritmen yang
perilakuan, dibatasi waktu, kognitif, dan berorientasi kepada keluarga dan model medis.
Terapi bermain hanya menjadi salah satu diantara sekian banyak cara untuk melihat dan
memperlakukan anak yang mengalami masalah emosional.
Pada tahun-tahun 1970 1980-an permainan anak kembali muncul sebagai teknik utama
dalam memahami dan memberi tritmen pada anak. Kemudian para ahli banyak
mengembangkan lebih banyak standar objektif untuk mengamati anak dan membandingbandingkan perilaku bermain. Dengan standar tersebut maka para klinisi dapat memperoleh
data tentang perilaku anak melalui permainan, dimana datanya lebih reliabel dan objektif.
Saat ini, perilaku bermain anak dipercaya merupakan refleksi dari bermacam aspek inner life
anak, taraf perkembangan fungsi dan kemampuannya. Diantara karakteristik-karakteristik
tersebut, yang dapat diamati melalui perilaku bermain anak adalah: perkembangan ego, corak
kognitif, kemampuan adaptasi, fungsi bahasa, responsitas emosi dan perilaku, tingkat sosial,
perkembangan moral, kemampuan intelektual, gaya coping, teknik pemecahan masalah, dan
bagaimana anak memandang dan memaknai dunia disekitarnya.
lingkungannya dengan lebih baik (Gumaer dan Landreth dalam Landreth, 2001). Penelitian
Irwin (dalam Landreth, 2001) menunjukkan bahwa terapi bermain juga dapat diterapkan pada
anak dengan gangguan mental seperti skizofren.
Takut dan cemas
Terapi bermain menyediakan lingkungan yang aman dan penerimaan sehingga klien bebas
mengekspresikan ketakutan dan kecemasannya, misalnya pada anak yang fobia sekolah. Saat
rasa takut dan cemas terekspresikan maka selanjutnya klien akan mampu mengendalikan
perasaan tersebut dan berkembang lebih sehat (Levy, Straughan, Landreth dkk, dan Milos &
Reis dalam Landreth, 2001).
Mengalami masalah Penyesuaian sosial
Penelitian Coplan, Prakash, ONeil, dan Armer (2004) pada anak-anak usia 3-5 tahun
menunjukkan bahwa terapi bermain dapat digunakan untuk melihat penarikan diri secara
sosial berdasarkan kecemasan sosial dan ketidaktertarikan sosial. Penelitian Openheim (1997)
menunjukkan bahwa terapi bermain dengan boneka mengurangi gangguan berpisah
(separation) anak prasekolah, terutama berpisah dari ibu.
Kesulitan bicara
Penelitian Lyytinen, Dikkens, dan Laakso (1997) menunjukkan bahwa bermain simbolik
terbukti dapat meningkatkan kemampuan berbahasa anak usia dini.
Mengalami gangguan visual spatial
Penelitian yang dilakukan oleh Caldera, Culp, OBrien, Tonglio, Alvaren, dan Huston (1999)
menunjukkan bahwa bermain dengan menggunakan permainan yang maskulin dan
manipulatif, misalnya bermain bola, dapat meningkatkan kemampuan visual-spatial pada
anak. Jadi anak dengan gangguan koordinasi tubuh (clumcy) dapat diterapi dengan bermain
maskulin dan manipulatif.
Anak penyandang Autism
Penyandang autism biasanya hidup dalam dunia sendiri dan terisolasi dari dunia sosialnya.
Menurut hasil penelitian McConnell (2002) prosedur intervensi melalui permainan dengan
teman sebaya dapat membantu penyandang autisme membangun kesadarannya akan dunia
sekitarnya dan akan keberadaan orang lain. Kemampuan berinteraksi sosial anak autism ini
juga dapat ditingkatkan melalui permainan dalam bentuk pemberian cerita sosial (social
story) kepada mereka (Sugiarto, dkk., 2004).
Disamping diberikan kepada mereka sebagai bentuk terapi, ternyata sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Hartini (2004) menunjukkan bahwa bentuk permainan sosial dapat
meningkatkan kecerdasan emosi pada anak-anak pra-sekolah. Hal ini ditunjukkannya dari
hasil penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak pra-sekolah di Surabaya.
3. Prosedur dalam Terapi Bermain
Fase Persiapan
Sebelum memasuki fase terapi bermain anak harus disiapkan sehingga mereka tahu apa yang
akan dihadapi dan akan dilakukannya. Beberapa orang tua tidak cukup menyiapkan anak
mereka, karena mereka tidak tahu apa yang harus dikatakan, atau takut anak tidak mau
mengikuti terapi saat mereka memberi tahu bahwa anak akan menjalani terapi. Orang tua
sebaiknya memberi tahu bahwa anak akan bertemu dengan terapis dalam ruang khusus
dimana disana banyak mainan setiap minggu dan menjelaskan bahwa proses ini akan
membantu anak menemukan hal yang lebih baik.
Proses Terapi Bermain
Moustakas (dalam Landreth, 2001) menggambarkan lima tahap dimana anak yang
mengalami gangguan emosi berkembang menuju ekspresi diri dan kesadaran diri dalam
ADHD adalah salah satu kondisi neurologis yang melibatkan gangguan pada proses
memusatkan perhatian dan perilaku hiperaktivitas dan impulsivitas, yang tidak sejalan
dengan tingkat usia anak. Hal ini menunjukkan bahwa ADHD bukan semata-mata gangguan
perhatian seperti asumsi yang selama ini ada, namun lebih kepada kegagalan perkembangan
fungsi sirkuit otak yang memonitor kontrol diri dan inhibisi. Hilangnya regulasi diri ini
mengganggu fungsi otak yang lain yang penting untuk memelihara perhatian, termasuk
kemampuan untuk menunda imbalan (Barkley, 1998). Perilaku anak dengan ADHD juga
meliputi aktivitas motorik yang berlebihan. Anak-anak yang mengalami ADHD menunjukkan
beberapa macam gejala dan tingkat keparahan yang berbeda-beda.
Anak-anak dengan ADHD umumnya menunjukkan perilaku yang secara umum dibagi dalam
dua kelompok, yaitu: kurangnya kemampuan memelihara perhatian dan hiperaktivitasimpulsivitas. Hal ini membuat APA (American Psychiatric Association) dalam DSM-IV
membagi gangguan ini dalam 3 jenis, yaitu: yang gejala utamanya kurang perhatian; gejala
utama hiperaktivitas-impulsivitas; dan kombinasi kedua tipe tersebut (Barkley, 1997). Anak
yang hiperaktif akan selalu tampak tidak tenang, sulit duduk tenang dan bermain dengan
diam, dan selalu bergerak seolah-olah digerakkan oleh mesin. Anak-anak yang impulsive
kadang kesulitan berpartisipasi dalam tugas yang mengharuskan antri (menunggu giliran).
Kadang juga terlihat selalu berpindah-pindah dari satu tugas ke tugas yang lain sebelum
menyelesaikan tugas-tugas sebelumnya atau menjawab pertanyaan yang diajukan seelum
diminta atau sebelum pertanyaan selesai. Kurangnya kemampuan memusatnya perhatian pada
anak ADHD mempengaruhi proses belajar karena membuat mereka kesulitan memperhatikan
instruksi, sulit memelihara perhatian untuk suatu tugas tertentu, dan sering salah meletakkan
benda pada tempatnya. Anak-anak ini biasanya sulit memperhatikan hal-hal detil, ceroboh,
dan menolak tugas-tugas yang menuntut konsentrasi.
Beberapa gejala yang muncul dalam gangguan ADHD ini menimbulkan akibat yang
mempengaruhi beberapa aspek dalam perkembangan anak, diantaranya dalam proses belajar
kemungkinan memunculkan kesulitan belajar; dalam kehidupan sosial anak-anak dengan
ADHD sering mengalami isolasi sosial sehingga harga dirinya cenderung rendah. Isolasi
sosial dapat muncul karena anak-anak yang hiperaktif terkadang cenderung agresif dan
kurang dapat mengikuti aturan atau menunggu giliran, sementara anak-anak yang inattentive
cenderung menarik diri (NIMH, 1999).
Berdasarkan data yang disampaikan Departemen Pendidikan Amerika tahun 2003,
diperkirakan di USA terdapat 1,46 sampai 2,46 juta anak (3%-5% dari populasi pelajar) yang
mengalami ADHD. Anak laki-laki 4 sampai 9 kali lebih banyak didiagnosa ADHD, dan
gangguan ini dapat ditemukan di semua budaya, meski dengan prevalensi yang berbeda-beda
(U.S. Department of Education, 2003). Sayangnya, data tentang jumlah dan prevalensi anak
Indonesia yang mengalami ADHD belum dapat saya temukan.
Anak-anak dengan ADHD biasanya menampakkan perilaku yang dapat dikelompokkan
dalam 2 kategori utama, yaitu: kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dan
hiperaktivitas-impulsivitas.
Kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dapat muncul dalam perilaku:
a. ketidakmampuan memperhatikan detil atau melakukan kecerobohan dalam mengerjakan
tugas, bekerja, atau aktivitas lain.
b. Kesulitan memelihara perhatian terhadap tugas atau aktivitas bermain
c. Kadang terlihat tidak perhatian ketika berbicara dengan orang lain
d. Tidak mengikuti perintah dan kegagalan menyelesaikan tugas
e. Kesulitan mengorganisasikan tugas dan aktivitas
f. Kadang menolak, tidak suka, atau enggan terlibat dalam tugas yang memerlukan proses
mental yang lama, misalnya: tugas sekolah
g. Sering kehilangan barang miliknya, misal: mainan, pensil, buku, dll
dan dari latar belakang komunitas tertentu harus bermain secara tepat. Hanya dengan cara
tersebut maka observer dapat mengetahui dan memutuskan apakah perilaku subjek dalam
bermain dapat dikatakan memiliki makna umum (normal) atau tidak normal. Seperti juga
Freud, Erikson memandang permainan sebagai jalan mengetahui ketidaksadaran subjek.
Piaget dengan teorinya tentang perkembangan kognitif juga memberi perhatian pada perilaku
bermain. Menurutnya, perubahan perilaku bermain menunjukkan perkembangan intelektual,
sama seperti peningkatan kompetensi individu. Bermain juga menjadi media bagi individu
untuk mempraktekkan apa yang sudah dipelajarinya.
Tokoh lain yang mengembangkan penggunaan permainan dalam assessmen adalah Virginia
Axline. Axline menyatukannya dengan pendekatan nondirective client-centered milik Rogers
yang sebelumnya hanya untuk orang dewasa. Menurut Axline, dalam situasi bermain anakanak menampilkan diri mereka dengan cara yang paling terus terang, jujur, dan jelas.
Perasaan mereka, sikap, dan pikiran-pikiran yang muncul, terbuka dengan jelas dan tanpa
usaha untuk ditutup-tutupi. Anak-anak juga belajar memahami diri mereka dan orang lain
dengan lebih baik lewat bermain. Mereka belajar bahwa ketika bermain mereka dapat
melakukan apapun, menciptakan dunia sendiri, menciptakan atau menghancurkan sesuatu.
Selama tahun-tahun 1930-an sampai 1960-an, bermain oleh para klinisi lebih dipandang
sebagai tritmen daripada instrumen penjangka/assessmen. Namun kemudian beberapa ahli
mengembangkan permainan sebagai alat diagnostik. Salah satu yang terkenal adalah Teknik
miniatur dunia hasil karya Lowenfeld, yang dikatakan dapat menentukan taraf
perkembangan fungsi anak, meliputi perkembangan : kemampuan bicara, motorik,
intelektual, sosial, intrapsikis, dan perkembangan afektif. Setelah mengalami perkembangan
yang bagus di tahun-tahun 1950-an, selanjutnya terapi bermain agak surut dan popularitasnya
mulai menurun. Sekitar tahun 1960-an para profesional mulai beralih kepada tritmen yang
perilakuan, dibatasi waktu, kognitif, dan berorientasi kepada keluarga dan model medis.
Terapi bermain hanya menjadi salah satu diantara sekian banyak cara untuk melihat dan
memperlakukan anak yang mengalami masalah emosional.
Pada tahun-tahun 1970 1980-an permainan anak kembali muncul sebagai teknik utama
dalam memahami dan memberi tritmen pada anak. Kemudian para ahli banyak
mengembangkan lebih banyak standar objektif untuk mengamati anak dan membandingbandingkan perilaku bermain. Dengan standar tersebut maka para klinisi dapat memperoleh
data tentang perilaku anak melalui permainan, dimana datanya lebih reliabel dan objektif.
Saat ini, perilaku bermain anak dipercaya merupakan refleksi dari bermacam aspek inner life
anak, taraf perkembangan fungsi dan kemampuannya. Diantara karakteristik-karakteristik
tersebut, yang dapat diamati melalui perilaku bermain anak adalah: perkembangan ego, corak
kognitif, kemampuan adaptasi, fungsi bahasa, responsitas emosi dan perilaku, tingkat sosial,
perkembangan moral, kemampuan intelektual, gaya coping, teknik pemecahan masalah, dan
bagaimana anak memandang dan memaknai dunia disekitarnya.
beberapa pilihan tritmen yang telah terbukti efektif untuk menangani anak-anak dengan
gejala ADHD. Strategi penanganan tersebut melibatkan aspek farmasi, perilaku, dan metode
multimodal.
Metode perubahan perilaku bertujuan untuk memodifikasi lingkungan fisik dan sosial anak
untuk mendukung perubahan perilaku (AAP, 2001). Pihak yang dilibatkan biasanya adalah
orang tua, guru, psikolog, terapis kesehatan mental, dan dokter. Tipe pendekatan perilakuan
meliputi training perilaku untuk guru dan orang tua, program yang sistematik untuk anak
(penguatan positif dan token economy), terapi perilaku klinis (training pemecahan masalah
dan ketrampilan sosial), dan tritmen kognitif-perilakuan/CBT (monitoring diri, selfreinforcement, instruksi verbal untuk diri sendiri, dan lain-lain) (AAP, 2001).
Metode farmasi meliputi penggunaan psikostimulan, antidepresan, obat untuk cemas,
antipsikotik, dan stabilisator suasana hati (NIMH, 2000). Harus diperhatikan bahwa
penggunaan obat-obatan ini harus dibawah pengawasan ketat dokter dan ahli farmasi yang
terus-menerus melakukan evaluasi terhadap efektivitas penggunaan dan dampaknya terhadap
subjek tertentu.
Beberapa penelitian terakhir membuktikan bahwa cara terbaik untuk menangani anak ADHD
adalah dengan mengkombinasikan beberapa pendekatan dan metode penanganan. Penelitian
yang dilakukan NIMH terhadap 579 anak ADHD menunjukkan bahwa kombinasi terapi obat
dan perilaku lebih efektif dibandingkan jika digunakan sendiri-sendiri. Tritmen multimodal
khususnya efektif untuk meningkatkan ketrampilan sosial pada anak-anak ADHD yang
diikuti gejala kecemasan atau depresi. Ternyata dosis obat yang digunakan lebih rendah jika
diikuti dengan terapi perilaku daripada jika diberikan tanpa terapi perilaku.
TERAPI BACK IN CONTROL (BIC)
Program terapi Back in Control dikembangkan oleh Gregory Bodenhamer. Program terapi
ini unik karena dikatakan lebih baik daripada intervensi reward/punishment bagi anak-anak
dengan ADHD. Program ini berbasis kepada sistem yang berdasar pada aturan, jadi tidak
tergantung pada keinginan anak untuk patuh. Jadi, program ini lebih kepada sistem training
bagi orang tua yang kemudian diharapkan dapat menciptakan sistem tata aturan yang berlaku
dirumah sehingga dapat merubah perilaku anak. Demi efektivitas program, maka nantinya
orang tua akan bekerja sama dengan pihak sekolah untuk melakukan proses yang sama bagi
anaknya, ketika dia di sekolah. Orang tua harus selalu melakukan monitoring dan evaluasi
secara berkelanjutan dan konsisten atas program yang dijalankan. Begitu juga ketika program
ini dilaksanakan bersama-sama dengan pihak sekolah maka orang tua sangat memerlukan
keterlibatan guru dan petugas di sekolah untuk melakukan proses monitoring dan evaluasi.
Dalam program ini, tugas orang tua adalah:
1. Orang tua mendefinisikan aturan secara jelas dan tepat (kita perjelas apa yang kita mau,
tidak kurang tidak lebih). Kita buat aturan sejelas mungkin sehingga pengasuh pun dapat
mendukung pelaksanaannya tanpa banyak penyimpangan.
2. Jalankan aturan tersebut dengan ketat.
3. Jangan memberi imbalan atau hukuman pada sebuah aturan. Jalankan saja.
4. Jangan pernah berdebat dengan anak tentang sebuah aturan. Gunakan kata-kata kunci yang
tidak akan diperdebatkan, misalnya kamu harus.meskipun..
Beberapa masalah yang muncul dalam pelaksanaan program ini antara lain :
1. Kebanyakan orang tua kurang bersedia memberikan reward, sedikit yang benar-benar tidak
memberikan hukuman.
2. Kebanyakan orang tua kesulitan menahan untuk berteriak ketika marah kepada anak
mereka. Sebenarnya, hal ini justru membuat anak merasa menang dan mengalihkan anak dari
aturan yang sebenarnya.
Demikian paparan ringkas tentang terapi BIC untuk penyandang ADHD dan untuk lebih
jelasnya, saya mencoba menyusun satu program untuk satu kasus ADHD sebagai ilustrasi
bagaimana terapi BIC diterapkan.
ILUSTRASI : KASUS BONA
Bona adalah anak laki-laki berusia 5 tahun dan bersekolah di sebuah TK ternama di Yogya.
Penampilan fisiknya gemuk dan tinggi, jauh lebih besar dibandingkan teman-teman
seusianya. Ayah ibunya bekerja sebagai karyawan swasta yang bekerja sepanjang hari
sehingga Bona lebih banyak diasuh pembantunya. Bona dibawa ke sebuah biro konsultasi
psikologi oleh ibunya karena adanya keluhan yang disampaikan pembantu, para tetangga, dan
terutama guru-guru di sekolahnya. Pembantu rumah tangga di keluarga tersebut sering sekali
berganti karena kebanyakan dari mereka tidak tahan dengan perilaku Bona yang selalu
berlarian tanpa henti, membuat berantakan seluruh mainan tanpa menggunakannya untuk
bermain (hanya dilempar-lempar kemana saja), sering memukul dan menendang tanpa alasan
bahkan terkadang saat memegang benda juga digunakan untuk melempar atau memukul,
makan sambil berlarian dan berantakan seluruh makanannya, tidak memperhatikan jika
diberitahu sesuatu, suka berteriak-teriak kasar, dan membanting benda-benda terutama jika
permintaannya tidak segera dipenuhi.
Orang tua Bona sering merasa tidak nyaman dan serba salah dengan tetangga karena hampir
setiap hari ada saja tetangga yang mengadu tentang perilaku Bona kepada anak-anak mereka.
Perilaku Bona yang merebut mainan temannya hingga rusak, Bona yang memukul temannya
hingga benjol, Bona yang melempar-lempar batu mengenai kaca tetangga, sampai Bona yang
memanjat pagar tetangga dan merusakkan tanaman hias mereka, dan masih banyak lagi yang
lainnya.
Sementara itu guru di sekolah juga sering sekali menyampaikan keluhan tentang perilaku
Bona di sekolah, bahkan Bona beberapa kali diantarkan pulang guru sebelum waktunya. Di
sekolah, Bona terlihat kesulitan mengikuti proses belajar karena dia selalu saja berlari dan
sulit sekali diminta duduk di kursinya. Guru dan teman-teman lain merasa terganggu karena
setiap kali Bona diminta duduk, beberapa detik kemudian sudah berlari-lari lagi keliling
ruang kelas sambil mengganggu temannya atau sampai keluar kelas. Ketika teman-temannya
belajar mewarnai atau menggambar maka Bona akan meninggalkan kertas gambarnya dalam
keadaan kosong atau dengan sedikit coretan yang terlihat asal-asalan. Bona juga sulit sekali
diminta melakukan sesuatu oleh gurunya karena setiap kali gurunya berbicara, Bona tidak
tahan mendengarkannya sampai selesai. Juga ketika guru mengajukan pertanyaan, terkadang
Bona berteriak menjawab meski pertanyaan belum selesai, dan akhirnya jawabannya pun
tidak tepat. Beberapa waktu terakhir bahkan gurunya secara implisit menyatakan bahwa Bona
sebaiknya di pindah ke sekolah lain yang dapat menanganinya dengan lebih baik karena
guru-guru di sekolahnya yang sekarang sudah kewalahan. Orang tuanya bingung sekali
dengan kondisi ini sehingga merasa perlu minta bantuan tenaga terapis anak untuk
membantu. Mengingat bahwa Bona adalah anak tunggal dan efek dari perilakunya sudah
dipandang meresahkan maka ibunya berniat cuti selama beberapa bulan dari pekerjaannya
untuk mengatasi masalah anaknya ini.
PROSES TATA LAKSANA PERILAKU BAGI BONA
A. TARGET PERILAKU
Mengingat usia Bona yang 5 tahun dimana kebutuhan sosialisasinya dengan teman sebaya
sudah cukup tinggi dan hampir memasuki usia sekolah, sementara Bona masih memiliki
masalah dalam memusatkan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas, maka beberapa
perilaku yang menjadi target dalam perubahan perilaku ini adalah:
1. Mampu membereskan mainan dan barang-barang milik Bona sendiri.
a. Memasang-masang mainan lego sampai berbentuk sesuatu baru dilepas kembali. (Tidak
berganti mainan sebelum selesai dimainkan.)
b. Menggambar sampai selesai. (Tidak berganti kertas gambar atau meninggalkannya
sebelum gambar selesai dibuat.)
c. Mewarnai bentuk sampai selesai baru berganti kertas.
d. Makan sambil duduk sampai selesai. (Tidak makan sambil berlari-lari keluar rumah.)
Keseluruhan aturan ini disampaikan kepada Bona dengan jelas dan harus yakin bahwa Bona
mengerti dengan jelas yang dimaksud dengan aturan ini. Aturan ini kemudian ditulis besarbesar dan ditempel di beberapa bagian rumah, seperti di kamar Bona, ruang bermain, dan
dapur untuk selalu mengingatkan orang tua dan pembantu agar terus mendorong pelaksanaan
aturan tersebut secara konsisten.
E. EVALUASI PROGRAM
Program bagi Bona ini akan selalu dievaluasi dan dimonitor menggunakan lembar evaluasi
dan lembar monitoring yang dibuat saat perencanaan program (contoh lembar evaluasi dan
lembar monitoring terlampir). Evaluasi dan monitoring dilakukan ibu Bona sebagai manajer
program dan secara berkala akan didiskusikan bersama terapis untuk melihat efektivitas dan
kemajuan program.
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (4th ed.). Washington, DC: American Psychiatric Association.
Barkley, R. A. (September, 1998). Attention-deficit hyperactivity disorder. Scientific
American, 279: 3.
Barkley, R. A. (1998). Handbook of Attention Deficit Hyperactivity Disorder (2nd ed.).
New York: Guilford Press.
Cantwell, D. P., & Baker, L. (1991). Association between attention deficit-hyperactivity
disorder and learning disorders. Journal of Learning Disabilities, 24, 88-95.
Carlson, C. L., Pelham, W. E., Jr., Milich, R., & Dixon, J. (1992). Single and combined
effects of methylphenidate and behavior therapy on the classroom performance of children
with attention-deficit hyperactivity disorder. Journal of Abnormal Child Psychology, 20, 213232.
DSM-III-R symptoms for the disruptive behavior disorders. Journal of the American
Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 31, 210-218.
Hinshaw, S. P., Owens, E. B., Wells, K. C., Kraemer, H. C., Abikoff, H. B., Arnold, L. E., et
al. (2000). Family processes and treatment outcome in the MTA: Negative/ineffective
parenting practices in relation to multimodal treatment. Journal of Abnormal Child
Psychology, 28(6), 555-568.
Jensen, P. S., Martin, D., & Cantwell, D. (1997). Comorbidity in ADHD: Implications for
research, practice, and DSM-IV. Journal of the American Academy of Child Adolescent
Psychiatry, 36(8), 1065-1079.
Jensen, P. S., Hinshaw, S. P., Kraemer, H. C., Lenora, N., Newcorn, J. H., Abikoff, H. B., et
al. (2001). ADHD Comorbidity findings from the MTA Study: Comparing Comorbid
Subgroups. Journal of the American Academy of Child Adolescent Psychiatry, 40(2), 147158.
MTA Cooperative Group. (1999a). Fourteen-month randomized clinical trial of treatment
strategies for attention-deficit hyperactivity disorder. Archives of General Psychiatry,
56,1073-1086.
National Institute of Mental Health (NIMH). (1999). Questions and answers. NIMH
Multimodal Treatment Study of Children With ADHD. Bethesda, MD: NIMH.
National Institute of Mental Health. (2000). NIMH Research on Treatment for Attention
Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD): The Multimodal Treatment StudyQuestions and
Answers. [Online]. Available: http://www.nimh.nih.gov/events/mtaqa.cfm.