Anda di halaman 1dari 25

AUTISME (bahan kuliah)

Posted on August 31, 2007 by klinis


DEFINISI DAN KARAKTERISTIK PERILAKU AUTISME
Kriteria Autisme berdasarkan DSM-IV:
A. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan minimal dua gejala dari (1) dan
masing-masing satu gejala dari (2) dan (3).
(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 gejala
dari gejala di bawah:
a. tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: kontak mata sangat kurang,
ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang terarah,
b. tak bisa bermain dengan teman sebaya,
c. tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain,
d. kurangnya hubungan emosional dan sosial yang timbal balik.
(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti ditunjukkan oleh minimal satu dari
gejala-gejala berikut:
a. bicara terlambat atau bahkan sama sekali tak berkembang (tak ada usaha untuk
mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara),
b. Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi,
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang,
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa meniru.
(3) Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan.
Sedikitnya harus ada satu dari gejala berikut ini:
a. Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang khas dan berlebih-lebihan.
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya.
c. Ada gerakan-garakan yang aneh, khas, dan diulang-ulang.
d. Seringkali terpukau pada bagian-bagian benda tertentu.
B. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang: (1)
interaksi sosial; (2) bicara dan berbahasa; (3) cara bermain yang kurang variatif.
C. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Kanak.
Karakteristik Perilaku Bermain pada Penyandang Autisme
perilaku yang khas
menjaga jarak dengan orang lain
lebih sering sendiri atau paralel
bermain lebih sedikit dibanding non autistik
lebih sedikit menggunakan alat bermain dan kemampuan bermain sangat terbatas
kesulitan dalam bermain pura-pura dan menirukan sesuatu yang dilakukan orang lain.
ATTENTION DEFICITS AND HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD)

DEFINISI
kondisi neurologis yang menimbulkan masalah dalam pemusatan perhatian dan
hiperaktivitas-impulsivitas, dimana tidak sejalan dengan perkembangan usia anak.
lebih kepada kegagalan perkembangan dalam fungsi sirkuit otak yang bekerja dalam
menghambat monitoring dan kontrol diri, bukan semata-mata gangguan perhatian seperti
asumsi selama ini.
2 kategori utama perilaku ADHD
kurangnya kemampuan memusatkan perhatian
hiperaktivitas-impulsivitas.
Manifestasi Perilaku
1. Kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dapat muncul dalam perilaku:
a. Ketidakmampuan memperhatikan detil atau ceroboh
b. Kesulitan memelihara perhatian terhadap tugas atau aktivitas bermain
c. tidak perhatian saat bicara dengan orang lain
d. Tidak mengikuti perintah dan gagal menyelesaikan tugas
e. sulit mengorganisasikan tugas dan aktivitas
2. hiperaktivitas-impulsivitas sering muncul dalam perilaku:
a. gelisah /tidak tenang di tempat duduk
b. sering meninggalkan tempat duduk di kelas / situasi lain dimana seharusnya duduk tenang
c. berlari atau memanjat berlebihan, selalu terburu-buru atau bergerak terus seperti mesin
d. kesulitan bermain/terlibat dalam aktivitas yang menyenangkan
e. sering menjawab pertanyaan sebelum selesai. (Impulsivitas), berbicara terlalu banyak
f. sulit menunggu giliran (Impl) menyela atau memaksakan pendapat kepada orang lain (Imp)
Diagnosa menurut DSM-IV
A. (1) atau (2)
(1) memenuhi 6 atau lebih gejala kurangnya pemusatan perhatian paling tidak selama 6 bulan
pada tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan;
(2) memenuhi 6 atau lebih gejala hiperaktivitas-impulsivitas paling tidak selama 6 bulan pada
tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan
B. Gejala kurangnya pemusatan perhatian atau hiperaktivitas-impulsivitas muncul sebelum
usia 7 tahun.
C. Gejala-gejala tsb muncul dalam 2 seting atau lebih (di sekolah, rumah, atau
pekerjaan)C.Harus ada bukti secara klinis adanya gangguan dalam fungsi sosial, akademik,
atau pekerjaan.
D. Gejala tidak terjadi mengikuti gangguan perkembangan pervasive, skizofrenia, atau
gangguan psikotik lainnya dan tidak dilihat bersama dengan gangguan mental lain (gangguan
suasana hati, gangguan kecemasan, atau gangguan kepribadian).
Mengapa dia ADHD? (FAKTOR PENYEBAB)

aspek genetik atau biologis


kelahiran prematur, penggunaan alkohol dan tembakau pada ibu hamil, dan kerusakan otak
selama kehamilan
zat aditif pada makanan, gula, ragi, atau metode pengasuhan anak yang kering
Tapi semua belum yakin.
TRITMEN BAGI ANAK ADHD
belum ada obat yang dapat menyembuhkan ADHD
Tapi ada harapan.
Dengan terapi: farmasi, perilaku, dan metode multimodal.
Cara terbaik: kombinasi pengobatan farmasi dan terapi perilaku

PENERAPAN TERAPI BERMAIN BAGI


PENYANDANG AUTISME (3)
Posted on August 30, 2007 by klinis
PENDEKATAN TEORITIS PENERAPAN TERAPI BERMAIN PADA PENYANDANG
AUTISME
Sebagian besar teknik terapi bermain yang dilaporkan dalam literatur menggunakan basis
pendekatan psikodinamika atau sudut pandang analitis. Hal ini sangat menarik karena
pendekatan ini secara tradisional dianggap membutuhkan komunikasi verbal yang tinggi,
sementara populasi autistik tidak dapat berkomunikasi secara verbal. Namun terdapat juga
beberapa hasil penelitian yang menunjukkan penggunaan terapi bermain pada penyandang
autisme dengan berdasar pada pendekatan perilakuan (Landreth, 2001). Salah satu contoh
penerapan terapi bermain yang menggunakan pendekatan perilakuan adalah The ETHOS
Play Session dari Bryna Siegel (Schaefer, Gitlin, & Sandgrund, 1991).
Terdapat beberapa contoh penerapan terapi bermain bagi anak-anak autistik, diantaranya
adalah (Landreth, 2001):
1. Terapi yang dilakukan Bromfield terhadap seorang penyandang autisme yang dapat
berfungsi secara baik. Fokus terapinya untuk dapat masuk ke dunia anak agar dapat
memahami pembicaraan dan perilaku anak yang membingungkan dan kadang tidak diketahui
maknanya. Bromfield mencoba menirukan perilaku obsessif anak untuk mencium/membaui
semua objek yang ditemui menggunakan suatu boneka yang juga mencium-cium benda. Apa
yang dilakukan Bromfield dan yang dikatakannya ternyata dapat menarik perhatian anak
tersebut. Bromfield berhasil menjalin komunikasi lanjutan dengan anak tersebut
menggunakan alat-alat bermain lain seperti boneka, catatan-catatan kecil, dan telepon
mainan. Setelah proses terapi yang berjalan 3 tahun, si anak dapat berkomunikasi secara lebih
sering dan langsung.
2. Lower & Lanyado juga menerapkan terapi bermain yang menggunakan pemaknaan

sebagai teknik utama. Mereka berusaha masuk ke dunia anak dengan memaknai bahasa tubuh
dan tanda-tanda dari anak, seperti gerakan menunjuk. Tidak ada penjelasan detil tentang
teknik mereka namun dikatakan bahwa mereka kurang berhasil dengan teknik ini.
3. Wolfberg & Schuler menyarankan penggunaan terapi bermain kelompok bagi anak-anak
autistik dan menekankan pentingnya integrasi kelompok yang lebih banyak memasukkan
anak-anak dengan kemampuan sosial yan tinggi. Jadi mereka memasangkan anak-anak
autistik dengan anak-anak normal dan secara hati-hati memilih alat bermain dan jenis
permainan yang dapat memfasilitasi proses bermain dan interaksi di antara mereka.
Fasilitator dewasa hanya berperan sebagai pendukung dan mendorong terjadinya proses
interaksi yang tepat.
4. Mundschenk & Sasso juga menggunakan terapi bermain kelompok ini. Mereka melatih
anak-anak non-autistik untuk berinteraksi dengan anak-anak autistik dalam kelompok.
5. Voyat mendeskripsikan pendekatan multi disiplin dalam penggunaan terapi bermain bagi
anak autisme, yaitu dengan menggabungkan terapi bermain dengan pendidikan khusus dan
melatih ketrampilan mengurus diri sendiri.
EFEKTIVITAS TERAPI BERMAIN BAGI PENYANDANG AUTISME
Efektivitas penggunaan terapi bermain masih cukup sulit diketahui karena sampai saat ini
kebanyakan literatur masih memaparkan hasil kasus per kasus. Namun Bromfield, Lanyado,
& Lowery menyatakan bahwa klien mereka menunjukkan peningkatan dalam bidang
perkembangan bahasa, interaksi sosial, dan berkurangnya perilaku stereotip, setelah proses
terapi. Mereka dikatakan juga dapat mentransfer ketrampilan ini di luar seting bermain.
Wolfberg & Schuler menyatakan bahwa model terapi bermain yang terintegrasi dalam
kelompok juga dapat berhasil, dimana program ini ditujukan untuk meningkatkan interaksi
sosial dan melatih ketrampilan bermain simbolik. Mundschenk & Sasso juga melaporkan hal
yang sama.
PRINSIP-PRINSIP PENERAPAN TERAPI BERMAIN BAGI ANAK AUTISTIK
Terdapat beberapa hal prinsip yang harus dipahami terapis sebelum menerapkan terapi
bermain bagi anak-anak autistik, yaitu:
1. Terapis harus belajar bahasa yang diekspresikan kliennya agar dapat lebih membantu.
Karena itu metode yang disarankan adalah terapi yang berpusat pada klien.
2. Harus disadari bahwa terapi pada populasi ini prosesnya lama dan sangat sulit sehingga
membutuhkan kesabaran yang sangat tinggi. Apa yang kita latihkan bagi anak normal dalam
waktu beberapa jam mungkin akan memakan waktu bertahun-tahun pada anak autistik.
Kondisi ini kadang membuat terapis bosan dan putus asa.
3. Terapis harus menghindari memandang isolasi diri anak sebagai penolakan diri dan tidak
memaksa anak untuk menjalin hubungan sampai anak betul-betul siap.
4. Terapis juga harus betul-betul sadar bahwa meskipun anak autistik dapat mengalami
kemajuan dalam terapi yang diberikan, ketrampilan sosial dan bermain mereka mungkin tidak
akan bisa betul-betul normal. Jika tujuan umum terapi adalah untuk membantu anak dapat
memaksimalkan potensi mereka dan memberi mereka kesempatan untuk berfungsi lebih baik
dalam hidup mereka, maka keberhasilan sekecil apapun harus dianggap sebagai kemenangan
dan harus disyukuri sepenuh hati.
Berdasarkan luasnya batasan terapi bermain maka penerapannya bagi penyandang autisme
memerlukan batasan-batasan yang lebih spesifik, disesuaikan dengan karakteristik
penyandang autisme sendiri. Pada anak penyandang autisme, terapi bermain dapat dilakukan

untuk membantu mengembangkan ketrampilan sosial, menumbuhkan kesadaran akan


keberadaan orang lain dan lingkungan sosialnya, mengembangkan ketrampilan bicara,
mengurangi perilaku stereotip, dan mengendalikan agresivitas.
Berbeda dengan anak-anak non autistik yang secara mudah dapat mempelajari dunia
sekitarnya dan meniru apa yang dilihatnya, maka anak-anak autistik memiliki hambatan
dalam meniru dan ketrampilan bermainnya kurang variatif. Hal ini menjadikan penerapan
terapi bermain bagi anak autisme perlu sedikit berbeda dengan pada kasus yang lain,
misalnya:
1. Tujuan dan target setiap sesi terapi bermain harus spesifik berdasarkan kondisi dan
ketrampilan anak, dilakukan dengan bertahap dan terstruktur . Misalnya pada penyandang
autisme yang belum terbentuk kontak mata, maka mungkin tujuan terapi bermain dapat
diarahkan untuk membentuk kontak mata. Permainan yang dapat dipilih misalnya ci luk ba,
lempar tangkap dengan bantuan, lihat ini, dan lain-lain.
2. Jika secara umum terapi bermain memberikan kebebasan kepada anak untuk berekspresi
dan eksplorasi, maka pada anak autisme hal ini akan memerlukan usaha yang lebih keras dari
terapis terutama jika anak belum memiliki kesadaran akan dirinya dan dunia sekitarnya
sehingga inisiatif belum muncul. Pada kasus seperti ini maka terapis perlu lebih aktif menarik
anak untuk masuk dalam forum bermain dengan secara aktif menunjukkan contoh dan
menarik anak terlibat. Misalnya dengan menunjuk masing-masing alat bermain yang ada
sambil menyebutkan namanya, memberi contoh bagaimana alat bermain itu digunakan,
terapis bermain pura-pura dengan tetap berusaha menarik anak terlibat.
3. Jika kesadaran diri dan dunia sekitarnya sudah muncul , maka anak dapat diberikan target
yang lebih tinggi misalnya melatih ketrampilan verbal (berbicara) dan ketrampilan sosial.
Pada tahap ini maka pelibatan anak dalam forum yang lebih besar, dengan melibatkan anakanak sebaya lain mungkin lebih membantu. Misalnya anak diajak bernyanyi bersama,
dibacakan cerita bersama anak-anak lain, diajak berbicara, dan permainan lainnya.
4. Terapi bermain bagi penyandang autisme dapat ditujukan untuk
meminimalkan/menghilangkan perilaku agresif, perilaku menyakiti diri sendiri, dan
menghilangkan perilaku stereotip yang tidak bermanfaat. Hal ini dapat dilakukan dengan
melatihkan gerakan-gerakan tertentu kepada anak, misalnya tepuk tangan, merentangkan
tangan, menyusun balok, bermain palu dan pasak, dan alat bermain yang lain. Dengan
mengenalkan gerakan yang lain dan berbagai alat bermain yang dapat digunakan maka
diharapkan dapat digunakan untuk mengalihkan agresivitas yang muncul, juga jika anak
sering menyakiti diri sendiri. Mengenalkan anak pada permainan konstruktif seperti
menyusun balok juga akan memberi kegiatan lain sehingga diharapkan perilaku stereotip
yang tidak bermanfaat dapat diminimalkan.
Demikian beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam terapi bermain bagi
penyandang autisme. Namun, disamping beberapa hal tersebut terdapat beberapa hal prinsip
yang juga harus diperhatikan, yaitu:
1. Terapi bagi anak penyandang autisme tidak dapat dilakukan hanya dengan terapi tunggal.
Mengingat bahwa spektrum hambatan yang dialami anak autism sangat luas dan kompleks,
maka terapi bermain sebaiknya dilakukan bersama-sama dengan terapi yang lain, misalnya
terapi wicara, terapi medis, dan lain-lain. Rencana program terapi yang dijalankan pun harus
disusun dengan terpadu dan terstruktur dengan baik, begitu juga proses evaluasinya.
2. Terapi bermain ini harus dilakukan oleh tenaga terapis yang sudah terlatih dan betul-betul
mencintai dunia anak dan pekerjaannya. Hal ini terlebih pada penyandang autisme karena
menangani anak autisme memerlukan kesabaran dan keteguhan hati yang tinggi. Jika pada
anak non autistik target perubahan perilaku yang dibuat mungkin dapat dicapai dengan cepat
dan lebih mudah, maka bagi penyandang autisme belajar perilaku baru memerlukan usaha

dan perjuangan yang sangat keras dan belum tentu berhasil memuaskan.
3. Keberhasilan program terapi bermain sangat ditentukan oleh bagus tidaknya kerja sama
terapis dengan orang tua dan orang-orang lain yang terlibat dalam pengasuhan anak seharihari. Hal ini berkaitan dengan proses transfer ketrampilan yang sudah diperoleh selama terapi
yang harus terus dipelihara dan ditingkatkan dalam kehidupan di luar program terapi.
Demikianlah beberapa hal yang menurut saya penting diketahui tentang penerapan terapi
bermain bagi anak penyandang autisme. Sekali lagi, harus dicatat bahwa terapi bermain
adalah salah satu alternatif saja diantara sekian banyak program terapi yang sudah
dikembangkan bagi anak autisme. Masukan dan kritik bagi makalah ini sangat diharapkan
demi proses belajar saya dan perbaikan ke depan. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
APA. 1994. DSM-IV, 4th Ed. Washington DC: The American Psychiatric Association
Budiman, M., 1997. Tata Laksana Terpadu pada Autisme. Simposium Tata Laksana Autisme
oleh Yayasan Autisme Indonesia. Jakarta: tidak diterbitkan
Caldera, Y.M., et al., 1999. Children s Play Preferences, Construction Play with Blocks, and
Visual-Spatial Skills: Are They Related? International Journal of Behavior Developmental
Psychology. Vol. 23. No. 4,855-872.
Coplan, R.J, et al., 2004. Do You want to Play? Distinguishing Between Conflicted
Shyness and Social Disinterest in Early Childhood. International Journal of Behavior
Developmental Psychology. Vol. 40. No. 2, 244-258.
Hartini, N., 2004. Pola Permainan Sosial: Upaya Meningkatkan Kecerdasan Emosi Anak,
Anima, Vol. 19, No. 3, 271-285
Hoeksema, S.N., 2004. Abnormal Psychology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill Companies.
Inc.
International Association for Play Therapy (APT), Play Therapy. Diakses dari www. A4pt.org
Landreth, G.L., 2001, Innovations in Play Therapy: Issues, Process, and Special Populations,
Philadelphia, Brounner-Routledge
Lyytinen, P., Dikkens, A. M., dan Laakso, M.L. 1997. Language and Symbolic Play in
Toddlers. International Journal of Behavior Developmental Psychology. Vol. 21. No. 2, 289302.
McConnell, R.S., 2002. Interventions to Facilitate Social Interaction for Young Children with
Autism: Review of Available Research and Recommendations for Educational Intervention
and Future Research. Journal of Autism and Developmental Disorders. Vol. 32. No. 5,
October 2002, 351-372
Openheim, D. 1997. The Attachment Doll-Play Interview for Preschoolers. International
Journal of Behavior Developmental Psychology. Vol. 20. No. 4, 681-697.

Schaefer,C.E., Gitlin, K, & Sandgrund., 1991, Play Diagnosis & Assessment, Canada: John
Wiley & Sons
Sugiarto, S, Prambahan, D.S., & Pratitis, N.T., 2004, Pengaruh Social Story terhadap
Kemampuan Berinteraksi Sosial pada Anak Autis, Anima, Vol. 19, N0. 3, 250-270
Sukmaningrum, E., 2001, Terapi Bermain sebagai Salah Satu Alternatif Penanganan Pasca
Trauma pada Anak, Jurnal Psikologi, Vol. 8, No. 2, 14-23
Sutadi, R., 1997. Tata Laksana Perilaku pada Penyandang Autisme. Simposium Tata Laksana
Autisme oleh Yayasan Autisme Indonesia. Jakarta: tidak diterbitkan

PENERAPAN TERAPI BERMAIN BAGI


PENYANDANG AUTISME (1)

Posted on August 30, 2007 by klinis


PENDAHULUAN
Membicarakan anak tidak dapat meninggalkan pembicaraan tentang bermain. Bermain adalah
dunia anak. Dimanapun anak-anak berada dan di waktu apapun, bermain adalah aktivitas
utama mereka. Bermain juga suatu bahasa yang paling universal, meskipun tidak pernah
dimasukkan sebagai salah satu dari ribuan bahasa yang ada di dunia. Melalui bermain, anakanak dapat mengekspresikan apapun yang mereka inginkan. Tak diragukan bahwa anak-anak
bermain sepanjang waktu yang mereka miliki.
Dilihat dari sudut pandang psikologi, mulai akhir tahun 1800-an bermain dipandang sebagai
aktivitas yang penting untuk anak. Sebelumnya, bermain hanya dipandang sebagai ekspresi
dari kelebihan energi yang dimiliki anak-anak atau sebagai bagian dari ritual budaya dan
agama. Seiring perkembangan waktu, pandangan para ahli tentang bermain berubah dan
bermain dipandang sebagai perilaku yang bermakna. Misalnya, menurut Groos (Schaefer, et
al., 1991) bermain dipandang sebagai ekspresi insting untuk berlatih peran di masa
mendatang yang penting untuk bertahan hidup. Sedang Hall (dalam Schaefer, et al., 1991)
melihat bermain sebagai rekapitulasi perkembangan suatu ras dan merupakan media yang
penting untuk menyatakan kehidupan dalam diri (inner life) anak. Bahkan menurut Hall tidak
ada alat yang dapat mengungkap jiwa anak sebaik permainan boneka.
DEFINISI TERAPI BERMAIN
Sebelum kita sampai pada penjelasan tentang terapi bermain, maka kita perlu memahami
dulu tentang definisi bermain. Bermain adalah bagian integral dari masa kanak-kanak, media
yang unik untuk memfasilitasi perkembangan ekspresi bahasa, ketrampilan komunikasi,
perkembangan emosi, ketrampilan sosial, ketrampilan pengambilan keputusan, dan
perkembangan kognitif pada anak-anak (Landreth, 2001). Bermain juga dikatakan sebagai
media untuk eksplorasi dan penemuan hubungan interpersonal, eksperimen dalam peran
orang dewasa, dan memahami perasaannya sendiri. Bermain adalah bentuk ekspresi diri yang
paling lengkap yang pernah dikembangkan manusia. Bermain adalah rangkaian perilaku yang
sangat kompleks dan multi-dimensional, yang berubah secara signifikan seiring pertumbuhan
dan perkembangan anak, yang lebih mudah untuk diamati daripada untuk didefinisikan
dengan kata-kata. Kesulitan dalam mendefinisikan permainan yang dapat diterima banyak
pihak adalah karena tidak adanya satu set permainan yang dapat mencakup banyak tipe
permainan.
Erikson (dalam Landreth, 2001) mendefinisikan bermain sebagai suatu situasi dimana ego
dapat bertransaksi dengan pengalaman dengan menciptakan situasi model dan juga dapat
menguasai realitas melalui percobaan dan perencanaan. Moustakas (dalam Landreth, 2001)
mendefinisikan permainan sebagai pembiaran pergi, kebebasan untuk mengalami,
membenamkan seseorang secara total dalam momen tersebut sehingga tidak ada lagi beda
antara diri dan objek dan diri sendiri dan orang lain. Energi, hidup, spirit, kejutan, peleburan,
kesadaran, pembaharuan, semuanya adalah kualitas dalam permainan.
Menurut McCune, Nicolich, & Fenson (dalam Schaefer, et al., 1991) bermain dibedakan dari
perilaku yang lain dalam hal: (a) ditujukan demi kesenangan sendiri; (b) fokus lebih pada
makna daripada hasil akhir; (c) diarahkan pada eksplorasi subjek untuk melakukan sesuatu
pada objek; (d) tanpa mengharapkan hasil serius; (e) tidak diatur oleh aturan eksternal; (f)
adanya keterikatan aktif dari pemainnya. Sedangkan Garvey dan Piaget menambahkan bahwa
permainan haruslah: (a) menyenangkan; (b) spontan, sukarela, motivasinya instrinsik; (c)
fleksibel; dan (d) berkait dengan pertumbuhan fisik dan kognitif.

Sementara Landreth (2001) mendefinisikan terapi bermain sebagai hubungan interpersonal


yang dinamis antara anak dengan terapis yang terlatih dalam prosedur terapi bermain yang
menyediakan materi permainan yang dipilih dan memfasilitasi perkembangan suatu
hubungan yang aman bagi anak untuk sepenuhnya mengekspresikan dan eksplorasi dirinya
(perasaan, pikiran, pengalaman, dan perilakunya) melalui media bermain.
International Association for Play Therapy (APT), sebuah asosiasi terapi bermain yang
berpusat di Amerika, dalam situsnya di internet mendefinisikan terapi bermain sebagai
penggunaan secara sistematik dari model teoritis untuk memantapkan proses interpersonal
dimana terapis bermain menggunakan kekuatan terapiutik permainan untuk membantu klien
mencegah atau menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan
dan perkembangan yang optimal (www.a4pt.org).
Beberapa definisi terapi bermain tersebut mengarah pada beberapa hal penting, yaitu: (a) tipe
dan jumlah permainan yang digunakan; (b) konteks permainan; (c) partisipan yang terlibat;
(d) urutan permainan; (e) ruang yang digunakan; (f) gaya bermain; (g) tingkat usaha yang
dicurahkan dalam permainan.
Berdasarkan banyak definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa permainan adalah aktivitas
yang mengandung motivasi instrinsik, memberi kesenangan dan kepuasan bagi siapa yang
terlibat, dan dipilih secara sukarela. Sementara terapi bermain adalah pemanfaatan permainan
sebagai media yang efektif oleh terapis, untuk membantu klien mencegah atau menyelesaikan
kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal,
melalui kebebasan eksplorasi dan ekspresi diri.
PERKEMBANGAN PERILAKU BERMAIN DALAM PENJANGKAAN KONDISI
PSIKOLOGIS ANAK-ANAK
Perilaku bermain kemudian menjadi bagian yang penting dari teori-teori psikologi
perkembangan. Tulisan Freud tentang perkembangan psikoseksual membuat komunitas
ilmiah menaruh perhatian lebih kepada perkembangan awal masa kanak-kanak dan perilaku
anak sebagai jalan untuk memahami perkembangan kepribadian masa dewasa. Freud
berpendapat bahwa perilaku anak yang terlihat adalah refleksi dari masalah-masalah dan
konflik-konflik yang tidak disadari. Kemudian Freud memperluas pandangannya bahwa
perilaku bermain merupakan suatu penguasaan yang spesifik dari anak. Namun sejauh ini
Freud baru melihat perilaku bermain dalam tataran konsep namun dalam pelaksanaan terapi
belum digunakan. Baru oleh Melanie Klein dan Anna Freud (Schaefer, et al., 1991), bermain
dimasukkan dalam proses terapiutik. Menggunakan dasar konsep psikoanalisa, mereka
memasukkan dan mempopulerkan penggunaan alat-alat permainan dalam
penanganan/tritmen yang efektif bagi anak-anak.
Tokoh lain yang mengembangkan permainan sebagai instrument dalam assessmen psikologis
adalah Margaret Lowenfeld, yang memperkenalkan apa yang dia sebut Teknik Miniatur
Dunia. Teknik ini merupakan sistem pertama dalam penggunaan mainan dan objek dalam
bentuk mini (miniatur) secara terorganisasi, yang digunakan dalam terapi bermain. Tekniknya
ini memperluas fokus perhatian para terapis dari sekedar menginterpretasi menjadi lebih
banyak melakukan observasi secara formal dan metodis penggunaan permainan anak dalam
situasi terapi. Namun sejauh itu Lowenfeld belum menganjurkan penggunaan teknik tersebut
sebagai alat diagnostik.
Selanjutnya Erikson juga mulai mempublikasikan karyanya tentang anak dan remaja.
Mendasarkan pada teori perkembangan psikososialnya, Erikson memandang bermain sebagai
sebuah ekspresi kombinasi beberapa kekuatan, yaitu: perkembangan individual, dinamika
keluarga, dan harapan masyarakat. Maka untuk melakukan observasi terhadap perilaku
bermain, seorang observer harus paham betul bagaimana seorang anak dengan usia tertentu

dan dari latar belakang komunitas tertentu harus bermain secara tepat. Hanya dengan cara
tersebut maka observer dapat mengetahui dan memutuskan apakah perilaku subjek dalam
bermain dapat dikatakan memiliki makna umum (normal) atau tidak normal. Seperti juga
Freud, Erikson memandang permainan sebagai jalan mengetahui ketidaksadaran subjek.
Piaget dengan teorinya tentang perkembangan kognitif juga memberi perhatian pada perilaku
bermain. Menurutnya, perubahan perilaku bermain menunjukkan perkembangan intelektual,
sama seperti peningkatan kompetensi individu. Bermain juga menjadi media bagi individu
untuk mempraktekkan apa yang sudah dipelajarinya.
Tokoh lain yang mengembangkan penggunaan permainan dalam assessmen adalah Virginia
Axline. Axline menyatukannya dengan pendekatan nondirective client-centered milik Rogers
yang sebelumnya hanya untuk orang dewasa. Menurut Axline, dalam situasi bermain anakanak menampilkan diri mereka dengan cara yang paling terus terang, jujur, dan jelas.
Perasaan mereka, sikap, dan pikiran-pikiran yang muncul, terbuka dengan jelas dan tanpa
usaha untuk ditutup-tutupi. Anak-anak juga belajar memahami diri mereka dan orang lain
dengan lebih baik lewat bermain. Mereka belajar bahwa ketika bermain mereka dapat
melakukan apapun, menciptakan dunia sendiri, menciptakan atau menghancurkan sesuatu.
Selama tahun-tahun 1930-an sampai 1960-an, bermain oleh para klinisi lebih dipandang
sebagai tritmen daripada instrumen penjangka/assessmen. Namun kemudian beberapa ahli
mengembangkan permainan sebagai alat diagnostik. Salah satu yang terkenal adalah Teknik
miniatur dunia hasil karya Lowenfeld, yang dikatakan dapat menentukan taraf
perkembangan fungsi anak, meliputi perkembangan : kemampuan bicara, motorik,
intelektual, sosial, intrapsikis, dan perkembangan afektif. Setelah mengalami perkembangan
yang bagus di tahun-tahun 1950-an, selanjutnya terapi bermain agak surut dan popularitasnya
mulai menurun. Sekitar tahun 1960-an para profesional mulai beralih kepada tritmen yang
perilakuan, dibatasi waktu, kognitif, dan berorientasi kepada keluarga dan model medis.
Terapi bermain hanya menjadi salah satu diantara sekian banyak cara untuk melihat dan
memperlakukan anak yang mengalami masalah emosional.
Pada tahun-tahun 1970 1980-an permainan anak kembali muncul sebagai teknik utama
dalam memahami dan memberi tritmen pada anak. Kemudian para ahli banyak
mengembangkan lebih banyak standar objektif untuk mengamati anak dan membandingbandingkan perilaku bermain. Dengan standar tersebut maka para klinisi dapat memperoleh
data tentang perilaku anak melalui permainan, dimana datanya lebih reliabel dan objektif.
Saat ini, perilaku bermain anak dipercaya merupakan refleksi dari bermacam aspek inner life
anak, taraf perkembangan fungsi dan kemampuannya. Diantara karakteristik-karakteristik
tersebut, yang dapat diamati melalui perilaku bermain anak adalah: perkembangan ego, corak
kognitif, kemampuan adaptasi, fungsi bahasa, responsitas emosi dan perilaku, tingkat sosial,
perkembangan moral, kemampuan intelektual, gaya coping, teknik pemecahan masalah, dan
bagaimana anak memandang dan memaknai dunia disekitarnya.

PENERAPAN TERAPI BERMAIN BAGI


PENYANDANG ADHD (2)

Posted on August 30, 2007 by klinis


PENGGUNAAN TERAPI BERMAIN SEBAGAI TEKNIK PSIKOTERAPI
1. Nilai Terapiutik dari Permainan
Bermain pada anak-anak ibarat berbicara pada orang dewasa. Jika diberikan kesempatan,
maka anak akan mengeluarkan perasaan dan kebutuhan dengan ekpresi atau tindakan atau
proses takut, puas, marah, bahagia, frustasi menyerupai orang dewasa. Mungkin anak
tidak dapat mengatakan apa yang dia rasakan atau bagaimana mereka terpengaruh oleh
peristiwa-peristiwa dalam hidupnya. Tapi dengan adanya orang dewasa yang peduli, sensitif,
dan empati, mereka akan memperlihatkan perasaan atau peristiwa yang mempengaruhi
dirinya melalui permainan (Landreth,2001). Saat anak mengeluarkan perasaannya melalui
permainan, maka mereka membawa perasaan tersebut ke dalam tingkat kesadaran, sehingga
akhirnya mereka akan terbuka, menerima, dan belajar mengendalikan atau menolaknya
(Axline dalam Landreth, 2001). Hartup & Smothergill (dalam Landreth, 2001) menyatakan
bahwa dalam bermain, anak dapat mengurangi tegangan, mengendalikan kecemasan,
merespon secara wajar, atau memanifestasikannya dalam penerimaan. Saat anak mengulang
kembali pengalamannya dalam bermain imajinatif, mereka dapat mengatasi masalah atau
mengatasi ketakutannya, dan menyembuhkan luka hatinya (Weissbourd dalam Landreth,
2001).
Permainan untuk memfasilitasi ekspresi diri dapat berupa bentuk-bentuk berikut:
Mainan kehidupan nyata. Boneka yang terdiri atas keluarga (ibu, bapak, anak), boneka
rumah-rumahan, binatang peliharaan, atau tokoh kartun dapat menjadi media untuk
mengekpresikan perasaan secara langsung. Terapis juga dapat menggunakan mainan
keseharian seperti mobil-mobilan, alat masak memasak tiruan, kartu bergambar , atau kapalkapalan untuk melihat pengalaman hidup klien.
Mainan pelepas agresivitas-bermain peran. Klien dapat mengkomunikasikan emosi yang
terpendam melalui mainan atau materi seperti karung tinju, boneka tentara, boneka
dinosaurus dan hewan-hewan buas, pistol dan pisau mainan, boneka orang, dan balok kayu.
Mainan pelepas emosi dan ekspresi kreativitas. Pasir, air, balok, atau lilin dapat menjadi
sarana klien mengekspresikan emosi atau kreativitasnya.
2. Kepada Siapa Terapi Bermain Diberikan
Terapi bermain dapat dipakai baik sebagai asesmen maupun sebagai terapi. Sebagai sebuah
terapi, terapi bermain dapat diberikan antara lain kepada anak yang:
Mempunyai pengalaman diperlakukan dengan kejam & diabaikan
Perlakuan yang kejam (seperti perkosaan, serangan fisik, pukulan) dan pengabaian
menyebabkan konflik diri dan masalah hubungan yang serius, dan terapi bermain
memungkinkan klien mengembangkan mekanisme penyelesaian masalah dan adaptasi (Klem
dan Peres dalam Landreth, 2001). Hal ini dikemukakan juga dalam tulisan Sukmaningrum
(2001) yang menunjukkan efektivitas terapi bermain sebagai alternatif penanganan anak-anak
yang mengalami trauma karena kekerasan massal.
Agresif
Perilaku agresif seringkali berakar dari keinginan, harapan, atau perasaan yang tidak dapat
diekspresikan. Dalam terapi bermain, klien dapat bebas bereksprimen melakukan perilaku
yang lebih efektif (Levy dalam Landreth, 2001).
Gangguan emosi dan skizofren
Terapi bermain memberikan suasana yang aman dimana anak yang emosinya terganggu dapat
bermain peran mengungkapkan emosi terpendamnya dan belajar untuk mengatasi

lingkungannya dengan lebih baik (Gumaer dan Landreth dalam Landreth, 2001). Penelitian
Irwin (dalam Landreth, 2001) menunjukkan bahwa terapi bermain juga dapat diterapkan pada
anak dengan gangguan mental seperti skizofren.
Takut dan cemas
Terapi bermain menyediakan lingkungan yang aman dan penerimaan sehingga klien bebas
mengekspresikan ketakutan dan kecemasannya, misalnya pada anak yang fobia sekolah. Saat
rasa takut dan cemas terekspresikan maka selanjutnya klien akan mampu mengendalikan
perasaan tersebut dan berkembang lebih sehat (Levy, Straughan, Landreth dkk, dan Milos &
Reis dalam Landreth, 2001).
Mengalami masalah Penyesuaian sosial
Penelitian Coplan, Prakash, ONeil, dan Armer (2004) pada anak-anak usia 3-5 tahun
menunjukkan bahwa terapi bermain dapat digunakan untuk melihat penarikan diri secara
sosial berdasarkan kecemasan sosial dan ketidaktertarikan sosial. Penelitian Openheim (1997)
menunjukkan bahwa terapi bermain dengan boneka mengurangi gangguan berpisah
(separation) anak prasekolah, terutama berpisah dari ibu.
Kesulitan bicara
Penelitian Lyytinen, Dikkens, dan Laakso (1997) menunjukkan bahwa bermain simbolik
terbukti dapat meningkatkan kemampuan berbahasa anak usia dini.
Mengalami gangguan visual spatial
Penelitian yang dilakukan oleh Caldera, Culp, OBrien, Tonglio, Alvaren, dan Huston (1999)
menunjukkan bahwa bermain dengan menggunakan permainan yang maskulin dan
manipulatif, misalnya bermain bola, dapat meningkatkan kemampuan visual-spatial pada
anak. Jadi anak dengan gangguan koordinasi tubuh (clumcy) dapat diterapi dengan bermain
maskulin dan manipulatif.
Anak penyandang Autism
Penyandang autism biasanya hidup dalam dunia sendiri dan terisolasi dari dunia sosialnya.
Menurut hasil penelitian McConnell (2002) prosedur intervensi melalui permainan dengan
teman sebaya dapat membantu penyandang autisme membangun kesadarannya akan dunia
sekitarnya dan akan keberadaan orang lain. Kemampuan berinteraksi sosial anak autism ini
juga dapat ditingkatkan melalui permainan dalam bentuk pemberian cerita sosial (social
story) kepada mereka (Sugiarto, dkk., 2004).
Disamping diberikan kepada mereka sebagai bentuk terapi, ternyata sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Hartini (2004) menunjukkan bahwa bentuk permainan sosial dapat
meningkatkan kecerdasan emosi pada anak-anak pra-sekolah. Hal ini ditunjukkannya dari
hasil penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak pra-sekolah di Surabaya.
3. Prosedur dalam Terapi Bermain
Fase Persiapan
Sebelum memasuki fase terapi bermain anak harus disiapkan sehingga mereka tahu apa yang
akan dihadapi dan akan dilakukannya. Beberapa orang tua tidak cukup menyiapkan anak
mereka, karena mereka tidak tahu apa yang harus dikatakan, atau takut anak tidak mau
mengikuti terapi saat mereka memberi tahu bahwa anak akan menjalani terapi. Orang tua
sebaiknya memberi tahu bahwa anak akan bertemu dengan terapis dalam ruang khusus
dimana disana banyak mainan setiap minggu dan menjelaskan bahwa proses ini akan
membantu anak menemukan hal yang lebih baik.
Proses Terapi Bermain
Moustakas (dalam Landreth, 2001) menggambarkan lima tahap dimana anak yang
mengalami gangguan emosi berkembang menuju ekspresi diri dan kesadaran diri dalam

proses terapi permainan:


1) Emosi negatif terekspresikan secara menyebar ditempat klien bermain. Misalnya ekspresi
dari reaksi terhadap kekerasan tersebar pada ruang bermain, alat permainan, atau pada
terapis.
2) Anak mengekspresikan emosi yang bertentangan, misalnya antara kecemasan dengan
kekasaran.
3) Anak lebih fokus dalam mengekspresikan emosi negatif, misalnya pada orang tua, diri
sendiri, atau orang lain dalam hidupnya.
4) Emosi dan sikap yang bertentangan, negatif dengan positif, kembali terjadi dengan fokus
pada orang tua, diri anak, atau orang lain.
5) Anak mengekspresikan tilikan diri dan pemahaman atas emosi negatif ataupun positif yang
ada pada dirinya dengan jelas, terbedakan, terpisah, dan realistik dengan sikap positif yang
lebih dominan.
Axline (dalam Landreth, 2001) menggambarkan proses tahapan ekspresi diri klien melalui
permainan sebagai berikut: pada saat sesi terapi berkembang, banyak sikap dan emosi klien
yang diekspresikan secara simbolik dari permainan ke permainan, dari klien ke orang
khayalan, dari klien ke orang yang sesungguhnya, dan dari anak ke objek emosinya. Pada
akhir terapi, klien bertanggung jawab atas emosinya tersebut, dan mengekspresikan diri
secara jujur dan terbuka melalui permainan. Klien akan menyadari emosinya, dan belajar
mengontrol ataupun menghilangkan emosi tersebut. Dalam terapi ini dibutuhkan lingkungan
yang menerima tanpa syarat dan aman.
Hal Penting Sesudah Terapi Bermain
Terapis harus menjelaskan pada orang tua bahwa setelah sesi terapi selesai mereka jangan
bertanya pada anak tentang apa yang terjadi atau bagaimana perasaan anak selama sesi
berlangsung. Ini untuk menjamin anak merasa aman, privasinya terjaga, dan dipercaya. Akan
tetapi hal tersebut diperbolehkan jika anak yang lebih dulu memulai pembicaraan tentang sesi
yang berlangsung. Terapis juga harus mengkomunikasikan kepada orang tua jika memberikan
pekerjaan rumah seperti menggambar atau melukis.
Karakteristik Kepribadian Terapis Bermain yang Efektif
a. Secara tulus tertarik pada dunia anak dan mampu mengembangkan hubungan yang hangat
dan menyenangkan
b. Penerimaan tanpa syarat terapis terhadap anak dan tidak mengharapkan adanya hal yang
lain pada anak
c. Terapis menciptakan rasa aman dan kebebasan dalam hubungan dengan anak sehingga
anak merasa bebas bereksplorasi dan mengekspresikan diri sepenuhnya.
d. Terapis selalu sensitif terhadap perasaan anak dan dengan hati-hati merefleksikan perasaan
tersebut sehingga anak mengembangkan pengertian diri
e. Terapis percaya bahwa anak dapat bertanggung jawab dalam bertindak, menghargai, dan
membiarkan anak menunjukkan kemampuannya menyelesaikan masalah pribadi.
f. Terapis percaya pengarahan diri anak, membiarkan anak memimpin di segala area
hubungan dan tidak mengarahkan anak dalam bermain atau berbicara.
g. Terapis menghargai peningkatan proses terapiutik yang alami dan tidak terburu-buru.
h. Terapis membangun batasan terapiutik yang membantu anak menerima tanggung jawab
dari hubungan personal yang tepat.
DEFINISI DAN KARAKTERISTIK PERILAKU ANAK DENGAN ADHD (ATTENTION
DEFICITS & HIPERACTIVITY DISORDER)

ADHD adalah salah satu kondisi neurologis yang melibatkan gangguan pada proses
memusatkan perhatian dan perilaku hiperaktivitas dan impulsivitas, yang tidak sejalan
dengan tingkat usia anak. Hal ini menunjukkan bahwa ADHD bukan semata-mata gangguan
perhatian seperti asumsi yang selama ini ada, namun lebih kepada kegagalan perkembangan
fungsi sirkuit otak yang memonitor kontrol diri dan inhibisi. Hilangnya regulasi diri ini
mengganggu fungsi otak yang lain yang penting untuk memelihara perhatian, termasuk
kemampuan untuk menunda imbalan (Barkley, 1998). Perilaku anak dengan ADHD juga
meliputi aktivitas motorik yang berlebihan. Anak-anak yang mengalami ADHD menunjukkan
beberapa macam gejala dan tingkat keparahan yang berbeda-beda.
Anak-anak dengan ADHD umumnya menunjukkan perilaku yang secara umum dibagi dalam
dua kelompok, yaitu: kurangnya kemampuan memelihara perhatian dan hiperaktivitasimpulsivitas. Hal ini membuat APA (American Psychiatric Association) dalam DSM-IV
membagi gangguan ini dalam 3 jenis, yaitu: yang gejala utamanya kurang perhatian; gejala
utama hiperaktivitas-impulsivitas; dan kombinasi kedua tipe tersebut (Barkley, 1997). Anak
yang hiperaktif akan selalu tampak tidak tenang, sulit duduk tenang dan bermain dengan
diam, dan selalu bergerak seolah-olah digerakkan oleh mesin. Anak-anak yang impulsive
kadang kesulitan berpartisipasi dalam tugas yang mengharuskan antri (menunggu giliran).
Kadang juga terlihat selalu berpindah-pindah dari satu tugas ke tugas yang lain sebelum
menyelesaikan tugas-tugas sebelumnya atau menjawab pertanyaan yang diajukan seelum
diminta atau sebelum pertanyaan selesai. Kurangnya kemampuan memusatnya perhatian pada
anak ADHD mempengaruhi proses belajar karena membuat mereka kesulitan memperhatikan
instruksi, sulit memelihara perhatian untuk suatu tugas tertentu, dan sering salah meletakkan
benda pada tempatnya. Anak-anak ini biasanya sulit memperhatikan hal-hal detil, ceroboh,
dan menolak tugas-tugas yang menuntut konsentrasi.
Beberapa gejala yang muncul dalam gangguan ADHD ini menimbulkan akibat yang
mempengaruhi beberapa aspek dalam perkembangan anak, diantaranya dalam proses belajar
kemungkinan memunculkan kesulitan belajar; dalam kehidupan sosial anak-anak dengan
ADHD sering mengalami isolasi sosial sehingga harga dirinya cenderung rendah. Isolasi
sosial dapat muncul karena anak-anak yang hiperaktif terkadang cenderung agresif dan
kurang dapat mengikuti aturan atau menunggu giliran, sementara anak-anak yang inattentive
cenderung menarik diri (NIMH, 1999).
Berdasarkan data yang disampaikan Departemen Pendidikan Amerika tahun 2003,
diperkirakan di USA terdapat 1,46 sampai 2,46 juta anak (3%-5% dari populasi pelajar) yang
mengalami ADHD. Anak laki-laki 4 sampai 9 kali lebih banyak didiagnosa ADHD, dan
gangguan ini dapat ditemukan di semua budaya, meski dengan prevalensi yang berbeda-beda
(U.S. Department of Education, 2003). Sayangnya, data tentang jumlah dan prevalensi anak
Indonesia yang mengalami ADHD belum dapat saya temukan.
Anak-anak dengan ADHD biasanya menampakkan perilaku yang dapat dikelompokkan
dalam 2 kategori utama, yaitu: kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dan
hiperaktivitas-impulsivitas.
Kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dapat muncul dalam perilaku:
a. ketidakmampuan memperhatikan detil atau melakukan kecerobohan dalam mengerjakan
tugas, bekerja, atau aktivitas lain.
b. Kesulitan memelihara perhatian terhadap tugas atau aktivitas bermain
c. Kadang terlihat tidak perhatian ketika berbicara dengan orang lain
d. Tidak mengikuti perintah dan kegagalan menyelesaikan tugas
e. Kesulitan mengorganisasikan tugas dan aktivitas
f. Kadang menolak, tidak suka, atau enggan terlibat dalam tugas yang memerlukan proses
mental yang lama, misalnya: tugas sekolah
g. Sering kehilangan barang miliknya, misal: mainan, pensil, buku, dll

h. Mudah terganggu stimulus dari luar


i. Sering lupa dengan aktivitas sehari-hari
Sedangkan hiperaktivitas-impulsivitas sering muncul dalam perilaku:
a. gelisah atau sering menggeliat di tempat duduk
b. sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau situasi lain dimana seharusnya duduk
tenang
c. berlari berlebihan atau memanjat-manjat yang tidak tepat situasi (pada remaja atau dewasa
terbatas pada perasaan tidak dapat tenang/gelisah)
d. kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas yang menyenangkan
e. seolah selalu terburu-buru atau bergerak terus seperti mesin
f. berbicara terlalu banyak
g. sering menjawab pertanyaan sebelum selesai diberikan. (Impulsivitas)
h. kesulitan menunggu giliran (Impulsivitas)
i. menyela atau memaksakan pendapat kepada orang lain (Impulsivitas)
Terkadang gejala tersebut juga diikuti oleh agresivitas dalam bentuk :
a. sering mendesak, mengancam, atau mengintimidasi orang lain
b. sering memulai perkelahian
c. menggunakan senjata tajam yang dapat melukai orang lain
d. berlaku kasar secara fisik terhadap orang lain
e. menyiksa binatang
f. menyanggah jika dikonfrontasi dengan korbannya
g. memaksa orang lain melakukan aktivitas seksual

PENERAPAN TERAPI BERMAIN BAGI


PENYANDANG ADHD (1)

Posted on August 30, 2007 by klinis


PENDAHULUAN
Membicarakan anak tidak dapat meninggalkan pembicaraan tentang bermain. Bermain adalah
dunia anak. Dimanapun anak-anak berada dan di waktu apapun, bermain adalah aktivitas
utama mereka. Bermain juga suatu bahasa yang paling universal, meskipun tidak pernah
dimasukkan sebagai salah satu dari ribuan bahasa yang ada di dunia. Melalui bermain, anakanak dapat mengekspresikan apapun yang mereka inginkan. Tak diragukan bahwa anak-anak
bermain sepanjang waktu yang mereka miliki.
Dilihat dari sudut pandang psikologi, mulai akhir tahun 1800-an bermain dipandang sebagai
aktivitas yang penting untuk anak. Sebelumnya, bermain hanya dipandang sebagai ekspresi
dari kelebihan energi yang dimiliki anak-anak atau sebagai bagian dari ritual budaya dan
agama. Seiring perkembangan waktu, pandangan para ahli tentang bermain berubah dan
bermain dipandang sebagai perilaku yang bermakna. Misalnya, menurut Groos (Schaefer, et
al., 1991) bermain dipandang sebagai ekspresi insting untuk berlatih peran di masa
mendatang yang penting untuk bertahan hidup. Sedang Hall (dalam Schaefer, et al., 1991)
melihat bermain sebagai rekapitulasi perkembangan suatu ras dan merupakan media yang
penting untuk menyatakan kehidupan dalam diri (inner life) anak. Bahkan menurut Hall tidak
ada alat yang dapat mengungkap jiwa anak sebaik permainan boneka.
DEFINISI TERAPI BERMAIN
Sebelum kita sampai pada penjelasan tentang terapi bermain, maka kita perlu memahami
dulu tentang definisi bermain. Bermain adalah bagian integral dari masa kanak-kanak, media
yang unik untuk memfasilitasi perkembangan ekspresi bahasa, ketrampilan komunikasi,
perkembangan emosi, ketrampilan sosial, ketrampilan pengambilan keputusan, dan
perkembangan kognitif pada anak-anak (Landreth, 2001). Bermain juga dikatakan sebagai
media untuk eksplorasi dan penemuan hubungan interpersonal, eksperimen dalam peran
orang dewasa, dan memahami perasaannya sendiri. Bermain adalah bentuk ekspresi diri yang
paling lengkap yang pernah dikembangkan manusia. Bermain adalah rangkaian perilaku yang
sangat kompleks dan multi-dimensional, yang berubah secara signifikan seiring pertumbuhan
dan perkembangan anak, yang lebih mudah untuk diamati daripada untuk didefinisikan
dengan kata-kata. Kesulitan dalam mendefinisikan permainan yang dapat diterima banyak
pihak adalah karena tidak adanya satu set permainan yang dapat mencakup banyak tipe
permainan.
Erikson (dalam Landreth, 2001) mendefinisikan bermain sebagai suatu situasi dimana ego
dapat bertransaksi dengan pengalaman dengan menciptakan situasi model dan juga dapat
menguasai realitas melalui percobaan dan perencanaan. Moustakas (dalam Landreth, 2001)
mendefinisikan permainan sebagai pembiaran pergi, kebebasan untuk mengalami,
membenamkan seseorang secara total dalam momen tersebut sehingga tidak ada lagi beda
antara diri dan objek dan diri sendiri dan orang lain. Energi, hidup, spirit, kejutan, peleburan,
kesadaran, pembaharuan, semuanya adalah kualitas dalam permainan.
Menurut McCune, Nicolich, & Fenson (dalam Schaefer, et al., 1991) bermain dibedakan dari
perilaku yang lain dalam hal: (a) ditujukan demi kesenangan sendiri; (b) fokus lebih pada
makna daripada hasil akhir; (c) diarahkan pada eksplorasi subjek untuk melakukan sesuatu
pada objek; (d) tanpa mengharapkan hasil serius; (e) tidak diatur oleh aturan eksternal; (f)
adanya keterikatan aktif dari pemainnya. Sedangkan Garvey dan Piaget menambahkan bahwa
permainan haruslah: (a) menyenangkan; (b) spontan, sukarela, motivasinya instrinsik; (c)
fleksibel; dan (d) berkait dengan pertumbuhan fisik dan kognitif.

Sementara Landreth (2001) mendefinisikan terapi bermain sebagai hubungan interpersonal


yang dinamis antara anak dengan terapis yang terlatih dalam prosedur terapi bermain yang
menyediakan materi permainan yang dipilih dan memfasilitasi perkembangan suatu
hubungan yang aman bagi anak untuk sepenuhnya mengekspresikan dan eksplorasi dirinya
(perasaan, pikiran, pengalaman, dan perilakunya) melalui media bermain.
International Association for Play Therapy (APT), sebuah asosiasi terapi bermain yang
berpusat di Amerika, dalam situsnya di internet mendefinisikan terapi bermain sebagai
penggunaan secara sistematik dari model teoritis untuk memantapkan proses interpersonal
dimana terapis bermain menggunakan kekuatan terapiutik permainan untuk membantu klien
mencegah atau menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan
dan perkembangan yang optimal (www.a4pt.org).
Beberapa definisi terapi bermain tersebut mengarah pada beberapa hal penting, yaitu: (a) tipe
dan jumlah permainan yang digunakan; (b) konteks permainan; (c) partisipan yang terlibat;
(d) urutan permainan; (e) ruang yang digunakan; (f) gaya bermain; (g) tingkat usaha yang
dicurahkan dalam permainan.
Berdasarkan banyak definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa permainan adalah aktivitas
yang mengandung motivasi instrinsik, memberi kesenangan dan kepuasan bagi siapa yang
terlibat, dan dipilih secara sukarela. Sementara terapi bermain adalah pemanfaatan permainan
sebagai media yang efektif oleh terapis, untuk membantu klien mencegah atau menyelesaikan
kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal,
melalui kebebasan eksplorasi dan ekspresi diri.
PERKEMBANGAN PERILAKU BERMAIN DALAM PENJANGKAAN KONDISI
PSIKOLOGIS ANAK-ANAK
Perilaku bermain kemudian menjadi bagian yang penting dari teori-teori psikologi
perkembangan. Tulisan Freud tentang perkembangan psikoseksual membuat komunitas
ilmiah menaruh perhatian lebih kepada perkembangan awal masa kanak-kanak dan perilaku
anak sebagai jalan untuk memahami perkembangan kepribadian masa dewasa. Freud
berpendapat bahwa perilaku anak yang terlihat adalah refleksi dari masalah-masalah dan
konflik-konflik yang tidak disadari. Kemudian Freud memperluas pandangannya bahwa
perilaku bermain merupakan suatu penguasaan yang spesifik dari anak. Namun sejauh ini
Freud baru melihat perilaku bermain dalam tataran konsep namun dalam pelaksanaan terapi
belum digunakan. Baru oleh Melanie Klein dan Anna Freud (Schaefer, et al., 1991), bermain
dimasukkan dalam proses terapiutik. Menggunakan dasar konsep psikoanalisa, mereka
memasukkan dan mempopulerkan penggunaan alat-alat permainan dalam
penanganan/tritmen yang efektif bagi anak-anak.
Tokoh lain yang mengembangkan permainan sebagai instrument dalam assessmen psikologis
adalah Margaret Lowenfeld, yang memperkenalkan apa yang dia sebut Teknik Miniatur
Dunia. Teknik ini merupakan sistem pertama dalam penggunaan mainan dan objek dalam
bentuk mini (miniatur) secara terorganisasi, yang digunakan dalam terapi bermain. Tekniknya
ini memperluas fokus perhatian para terapis dari sekedar menginterpretasi menjadi lebih
banyak melakukan observasi secara formal dan metodis penggunaan permainan anak dalam
situasi terapi. Namun sejauh itu Lowenfeld belum menganjurkan penggunaan teknik tersebut
sebagai alat diagnostik.
Selanjutnya Erikson juga mulai mempublikasikan karyanya tentang anak dan remaja.
Mendasarkan pada teori perkembangan psikososialnya, Erikson memandang bermain sebagai
sebuah ekspresi kombinasi beberapa kekuatan, yaitu: perkembangan individual, dinamika
keluarga, dan harapan masyarakat. Maka untuk melakukan observasi terhadap perilaku
bermain, seorang observer harus paham betul bagaimana seorang anak dengan usia tertentu

dan dari latar belakang komunitas tertentu harus bermain secara tepat. Hanya dengan cara
tersebut maka observer dapat mengetahui dan memutuskan apakah perilaku subjek dalam
bermain dapat dikatakan memiliki makna umum (normal) atau tidak normal. Seperti juga
Freud, Erikson memandang permainan sebagai jalan mengetahui ketidaksadaran subjek.
Piaget dengan teorinya tentang perkembangan kognitif juga memberi perhatian pada perilaku
bermain. Menurutnya, perubahan perilaku bermain menunjukkan perkembangan intelektual,
sama seperti peningkatan kompetensi individu. Bermain juga menjadi media bagi individu
untuk mempraktekkan apa yang sudah dipelajarinya.
Tokoh lain yang mengembangkan penggunaan permainan dalam assessmen adalah Virginia
Axline. Axline menyatukannya dengan pendekatan nondirective client-centered milik Rogers
yang sebelumnya hanya untuk orang dewasa. Menurut Axline, dalam situasi bermain anakanak menampilkan diri mereka dengan cara yang paling terus terang, jujur, dan jelas.
Perasaan mereka, sikap, dan pikiran-pikiran yang muncul, terbuka dengan jelas dan tanpa
usaha untuk ditutup-tutupi. Anak-anak juga belajar memahami diri mereka dan orang lain
dengan lebih baik lewat bermain. Mereka belajar bahwa ketika bermain mereka dapat
melakukan apapun, menciptakan dunia sendiri, menciptakan atau menghancurkan sesuatu.
Selama tahun-tahun 1930-an sampai 1960-an, bermain oleh para klinisi lebih dipandang
sebagai tritmen daripada instrumen penjangka/assessmen. Namun kemudian beberapa ahli
mengembangkan permainan sebagai alat diagnostik. Salah satu yang terkenal adalah Teknik
miniatur dunia hasil karya Lowenfeld, yang dikatakan dapat menentukan taraf
perkembangan fungsi anak, meliputi perkembangan : kemampuan bicara, motorik,
intelektual, sosial, intrapsikis, dan perkembangan afektif. Setelah mengalami perkembangan
yang bagus di tahun-tahun 1950-an, selanjutnya terapi bermain agak surut dan popularitasnya
mulai menurun. Sekitar tahun 1960-an para profesional mulai beralih kepada tritmen yang
perilakuan, dibatasi waktu, kognitif, dan berorientasi kepada keluarga dan model medis.
Terapi bermain hanya menjadi salah satu diantara sekian banyak cara untuk melihat dan
memperlakukan anak yang mengalami masalah emosional.
Pada tahun-tahun 1970 1980-an permainan anak kembali muncul sebagai teknik utama
dalam memahami dan memberi tritmen pada anak. Kemudian para ahli banyak
mengembangkan lebih banyak standar objektif untuk mengamati anak dan membandingbandingkan perilaku bermain. Dengan standar tersebut maka para klinisi dapat memperoleh
data tentang perilaku anak melalui permainan, dimana datanya lebih reliabel dan objektif.
Saat ini, perilaku bermain anak dipercaya merupakan refleksi dari bermacam aspek inner life
anak, taraf perkembangan fungsi dan kemampuannya. Diantara karakteristik-karakteristik
tersebut, yang dapat diamati melalui perilaku bermain anak adalah: perkembangan ego, corak
kognitif, kemampuan adaptasi, fungsi bahasa, responsitas emosi dan perilaku, tingkat sosial,
perkembangan moral, kemampuan intelektual, gaya coping, teknik pemecahan masalah, dan
bagaimana anak memandang dan memaknai dunia disekitarnya.

PENERAPAN TERAPI BACK IN CONTROL (BIC)


PADA ANAK ADHD (ATTENTION DEFICITS
HIPERACTIVITY DISORDER)
Posted on August 30, 2007 by klinis
DEFINISI, PENYEBAB, DAN KARAKTERISTIK PERILAKU ANAK ADHD
Gangguan yang berupa kurangnya perhatian dan kiperaktivitas atau yang lebih dikenal
dengan Attention Deficits Hiperactivity Disorder (ADHD) dapat kita temui dalam banyak
bentuk dan perilaku yang tampak. Sampai saat ini ADHD masih merupakan persoalan yang
kontroversial dan banyak dipersoalkan di dunia pendidikan. Beberapa bentuk perilaku yang
mungkin pernah kita lihat seperti: seorang anak yang tidak pernah bisa duduk di dalam kelas,
dia selalu bergerak; atau anak yang melamun saja di kelas, tidak dapat memusatkan perhatian
kepada proses belajar dan cenderung tidak bertahan lama untuk menyelesaikan tugas; atau
seorang anak yang selalu bosan dengan tugas yang dihadapi dan selalu bergerak ke hal lain.
ADHD sendiri sebenarnya adalah kondisi neurologis yang menimbulkan masalah dalam
pemusatan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas, dimana tidak sejalan dengan
perkembangan usia anak. Jadi disini, ADHD lebih kepada kegagalan perkembangan dalam
fungsi sirkuit otak yang bekerja dalam menghambat monitoring dan kontrol diri, bukan
semata-mata gangguan perhatian seperti asumsi selama ini. Hilangnya regulasi diri ini
mengganggu fungsi otak yang lain dalam memelihara perhatian, termasuk dalam kemampuan
membedakan reward segera dengan keuntungan yang akan diperoleh di waktu yang akan
datang (Barkley, 1998).
Anak-anak dengan ADHD biasanya menampakkan perilaku yang dapat dikelompokkan
dalam 2 kategori utama, yaitu: kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dan
hiperaktivitas-impulsivitas.
Kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dapat muncul dalam perilaku:
a. Ketidakmampuan memperhatikan detil atau melakukan kecerobohan dalam mengerjakan
tugas, bekerja, atau aktivitas lain.
b. Kesulitan memelihara perhatian terhadap tugas atau aktivitas bermain
c. Kadang terlihat tidak perhatian ketika berbicara dengan orang lain
d. Tidak mengikuti perintah dan kegagalan menyelesaikan tugas
e. Kesulitan mengorganisasikan tugas dan aktivitas
f. Kadang menolak, tidak suka, atau enggan terlibat dalam tugas yang memerlukan proses
mental yang lama, misalnya: tugas sekolah
g. Sering kehilangan barang miliknya, misal: mainan, pensil, buku, dll
h. Mudah terganggu stimulus dari luar
i. Sering lupa dengan aktivitas sehari-hari
Sedangkan hiperaktivitas-impulsivitas sering muncul dalam perilaku:
a. gelisah atau sering menggeliat di tempat duduk
b. sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau situasi lain dimana seharusnya duduk
tenang
c. berlari berlebihan atau memanjat-manjat yang tidak tepat situasi (pada remaja atau dewasa
terbatas pada perasaan tidak dapat tenang/gelisah)
d. kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas yang menyenangkan
e. seolah selalu terburu-buru atau bergerak terus seperti mesin
f. berbicara terlalu banyak
g. sering menjawab pertanyaan sebelum selesai diberikan. (Impulsivitas)

h. kesulitan menunggu giliran (Impulsivitas)


i. menyela atau memaksakan pendapat kepada orang lain (Impulsivitas)
Terkadang gejala tersebut juga diikuti oleh agresivitas dalam bentuk:
a. sering mendesak, mengancam, atau mengintimidasi orang lain
b. sering memulai perkelahian
c. menggunakan senjata tajam yang dapat melukai orang lain
d. berlaku kasar secara fisik terhadap orang lain
e. menyiksa binatang
f. menyanggah jika dikonfrontasi dengan korbannya
g. memaksa orang lain melakukan aktivitas seksual
Menurut DSM-IV definisi ADHD sendiri adalah sebagai berikut:
A. (1) atau (2)
(1) memenuhi 6 atau lebih gejala kurangnya pemusatan perhatian paling tidak selama 6 bulan
pada tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan;
(2) memenuhi 6 atau lebih gejala hiperaktivitas-impulsivitas paling tidak selama 6 bulan pada
tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan
B. Gejala kurangnya pemusatan perhatian atau hiperaktivitas-impulsivitas muncul sebelum
usia 7 tahun.
C. Gejala-gejala tersebut muncul dalam 2 seting atau lebih (di sekolah, rumah, atau
pekerjaan)
D. Harus ada bukti nyata secara klinis adanya gangguan dalam fungsi sosial, akademik, atau
pekerjaan.
E. Gejala tidak terjadi mengikuti gangguan perkembangan pervasive, skizofrenia, atau
gangguan psikotik lainnya dan tidak dilihat bersama dengan gangguan mental lain (gangguan
suasana hati, gangguan kecemasan, atau gangguan kepribadian).
Gejala-gejala yang muncul sebagai bentuk kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dan
hiperaktivitas-impulsivitas terkadang berpengaruh terhadap pengalaman belajar anak karena
anak yang menunjukkan gejala-gejala tersebut biasanya akan terlihat selalu gelisah, sulit
duduk dan bermain dengan tenang, kesulitan terlibat dalam kegiatan yang mengharuskan
antri, menjawab pertanyaan sebelum selesai ditanyakan, kesulitan mengikuti instruksi detail,
kesulitan memelihara perhatian dalam waktu panjang ketika mengerjakan tugas, dan sering
salah meletakkan barang.
Penelitian terakhir menyebutkan bahwa gejala-gejala pada anak ADHD muncul karena
mereka tidak dapat menghambat respon-respon impulsif motorik terhadap input-input yang
diterima, bukan ketidakmampuan otak dalam menyaring input sensoris seperti cahaya dan
suara (Barkley, 1998).
Walaupun banyak penelitian sudah dilakukan namun sampai saat ini para ahli belum yakin
apa penyebab ADHD, namun mereka curiga bahwa sebabnya berkait dengan aspek genetik
atau biologis, walaupun mereka juga percaya bahwa lingkungan tumbuh anak juga
menentukan perilaku spesifik yang terbentuk. Beberapa faktor yang banyak diduga memicu
munculnya gejala ADHD adalah: kelahiran prematur, penggunaan alkohol dan tembakau
pada ibu hamil, dan kerusakan otak selama kehamilan. Beberapa faktor lain seperti zat aditif
pada makanan, gula, ragi, atau metode pengasuhan anak yang kering juga diduga mendukung
munculnya gejala ADHD walaupun belum didukung fakta yang meyakinkan.
TRITMEN BAGI ANAK ADHD
Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan ADHD, namun telah tersedia

beberapa pilihan tritmen yang telah terbukti efektif untuk menangani anak-anak dengan
gejala ADHD. Strategi penanganan tersebut melibatkan aspek farmasi, perilaku, dan metode
multimodal.
Metode perubahan perilaku bertujuan untuk memodifikasi lingkungan fisik dan sosial anak
untuk mendukung perubahan perilaku (AAP, 2001). Pihak yang dilibatkan biasanya adalah
orang tua, guru, psikolog, terapis kesehatan mental, dan dokter. Tipe pendekatan perilakuan
meliputi training perilaku untuk guru dan orang tua, program yang sistematik untuk anak
(penguatan positif dan token economy), terapi perilaku klinis (training pemecahan masalah
dan ketrampilan sosial), dan tritmen kognitif-perilakuan/CBT (monitoring diri, selfreinforcement, instruksi verbal untuk diri sendiri, dan lain-lain) (AAP, 2001).
Metode farmasi meliputi penggunaan psikostimulan, antidepresan, obat untuk cemas,
antipsikotik, dan stabilisator suasana hati (NIMH, 2000). Harus diperhatikan bahwa
penggunaan obat-obatan ini harus dibawah pengawasan ketat dokter dan ahli farmasi yang
terus-menerus melakukan evaluasi terhadap efektivitas penggunaan dan dampaknya terhadap
subjek tertentu.
Beberapa penelitian terakhir membuktikan bahwa cara terbaik untuk menangani anak ADHD
adalah dengan mengkombinasikan beberapa pendekatan dan metode penanganan. Penelitian
yang dilakukan NIMH terhadap 579 anak ADHD menunjukkan bahwa kombinasi terapi obat
dan perilaku lebih efektif dibandingkan jika digunakan sendiri-sendiri. Tritmen multimodal
khususnya efektif untuk meningkatkan ketrampilan sosial pada anak-anak ADHD yang
diikuti gejala kecemasan atau depresi. Ternyata dosis obat yang digunakan lebih rendah jika
diikuti dengan terapi perilaku daripada jika diberikan tanpa terapi perilaku.
TERAPI BACK IN CONTROL (BIC)
Program terapi Back in Control dikembangkan oleh Gregory Bodenhamer. Program terapi
ini unik karena dikatakan lebih baik daripada intervensi reward/punishment bagi anak-anak
dengan ADHD. Program ini berbasis kepada sistem yang berdasar pada aturan, jadi tidak
tergantung pada keinginan anak untuk patuh. Jadi, program ini lebih kepada sistem training
bagi orang tua yang kemudian diharapkan dapat menciptakan sistem tata aturan yang berlaku
dirumah sehingga dapat merubah perilaku anak. Demi efektivitas program, maka nantinya
orang tua akan bekerja sama dengan pihak sekolah untuk melakukan proses yang sama bagi
anaknya, ketika dia di sekolah. Orang tua harus selalu melakukan monitoring dan evaluasi
secara berkelanjutan dan konsisten atas program yang dijalankan. Begitu juga ketika program
ini dilaksanakan bersama-sama dengan pihak sekolah maka orang tua sangat memerlukan
keterlibatan guru dan petugas di sekolah untuk melakukan proses monitoring dan evaluasi.
Dalam program ini, tugas orang tua adalah:
1. Orang tua mendefinisikan aturan secara jelas dan tepat (kita perjelas apa yang kita mau,
tidak kurang tidak lebih). Kita buat aturan sejelas mungkin sehingga pengasuh pun dapat
mendukung pelaksanaannya tanpa banyak penyimpangan.
2. Jalankan aturan tersebut dengan ketat.
3. Jangan memberi imbalan atau hukuman pada sebuah aturan. Jalankan saja.
4. Jangan pernah berdebat dengan anak tentang sebuah aturan. Gunakan kata-kata kunci yang
tidak akan diperdebatkan, misalnya kamu harus.meskipun..
Beberapa masalah yang muncul dalam pelaksanaan program ini antara lain :
1. Kebanyakan orang tua kurang bersedia memberikan reward, sedikit yang benar-benar tidak
memberikan hukuman.
2. Kebanyakan orang tua kesulitan menahan untuk berteriak ketika marah kepada anak
mereka. Sebenarnya, hal ini justru membuat anak merasa menang dan mengalihkan anak dari
aturan yang sebenarnya.

Demikian paparan ringkas tentang terapi BIC untuk penyandang ADHD dan untuk lebih
jelasnya, saya mencoba menyusun satu program untuk satu kasus ADHD sebagai ilustrasi
bagaimana terapi BIC diterapkan.
ILUSTRASI : KASUS BONA
Bona adalah anak laki-laki berusia 5 tahun dan bersekolah di sebuah TK ternama di Yogya.
Penampilan fisiknya gemuk dan tinggi, jauh lebih besar dibandingkan teman-teman
seusianya. Ayah ibunya bekerja sebagai karyawan swasta yang bekerja sepanjang hari
sehingga Bona lebih banyak diasuh pembantunya. Bona dibawa ke sebuah biro konsultasi
psikologi oleh ibunya karena adanya keluhan yang disampaikan pembantu, para tetangga, dan
terutama guru-guru di sekolahnya. Pembantu rumah tangga di keluarga tersebut sering sekali
berganti karena kebanyakan dari mereka tidak tahan dengan perilaku Bona yang selalu
berlarian tanpa henti, membuat berantakan seluruh mainan tanpa menggunakannya untuk
bermain (hanya dilempar-lempar kemana saja), sering memukul dan menendang tanpa alasan
bahkan terkadang saat memegang benda juga digunakan untuk melempar atau memukul,
makan sambil berlarian dan berantakan seluruh makanannya, tidak memperhatikan jika
diberitahu sesuatu, suka berteriak-teriak kasar, dan membanting benda-benda terutama jika
permintaannya tidak segera dipenuhi.
Orang tua Bona sering merasa tidak nyaman dan serba salah dengan tetangga karena hampir
setiap hari ada saja tetangga yang mengadu tentang perilaku Bona kepada anak-anak mereka.
Perilaku Bona yang merebut mainan temannya hingga rusak, Bona yang memukul temannya
hingga benjol, Bona yang melempar-lempar batu mengenai kaca tetangga, sampai Bona yang
memanjat pagar tetangga dan merusakkan tanaman hias mereka, dan masih banyak lagi yang
lainnya.
Sementara itu guru di sekolah juga sering sekali menyampaikan keluhan tentang perilaku
Bona di sekolah, bahkan Bona beberapa kali diantarkan pulang guru sebelum waktunya. Di
sekolah, Bona terlihat kesulitan mengikuti proses belajar karena dia selalu saja berlari dan
sulit sekali diminta duduk di kursinya. Guru dan teman-teman lain merasa terganggu karena
setiap kali Bona diminta duduk, beberapa detik kemudian sudah berlari-lari lagi keliling
ruang kelas sambil mengganggu temannya atau sampai keluar kelas. Ketika teman-temannya
belajar mewarnai atau menggambar maka Bona akan meninggalkan kertas gambarnya dalam
keadaan kosong atau dengan sedikit coretan yang terlihat asal-asalan. Bona juga sulit sekali
diminta melakukan sesuatu oleh gurunya karena setiap kali gurunya berbicara, Bona tidak
tahan mendengarkannya sampai selesai. Juga ketika guru mengajukan pertanyaan, terkadang
Bona berteriak menjawab meski pertanyaan belum selesai, dan akhirnya jawabannya pun
tidak tepat. Beberapa waktu terakhir bahkan gurunya secara implisit menyatakan bahwa Bona
sebaiknya di pindah ke sekolah lain yang dapat menanganinya dengan lebih baik karena
guru-guru di sekolahnya yang sekarang sudah kewalahan. Orang tuanya bingung sekali
dengan kondisi ini sehingga merasa perlu minta bantuan tenaga terapis anak untuk
membantu. Mengingat bahwa Bona adalah anak tunggal dan efek dari perilakunya sudah
dipandang meresahkan maka ibunya berniat cuti selama beberapa bulan dari pekerjaannya
untuk mengatasi masalah anaknya ini.
PROSES TATA LAKSANA PERILAKU BAGI BONA
A. TARGET PERILAKU
Mengingat usia Bona yang 5 tahun dimana kebutuhan sosialisasinya dengan teman sebaya
sudah cukup tinggi dan hampir memasuki usia sekolah, sementara Bona masih memiliki
masalah dalam memusatkan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas, maka beberapa
perilaku yang menjadi target dalam perubahan perilaku ini adalah:
1. Mampu membereskan mainan dan barang-barang milik Bona sendiri.

2. Mendengarkan orang lain bicara sampai selesai.


3. Mengerjakan aktivitas sampai selesai.
Karena program ini berbasis pada sistem aturan maka perilaku yang menjadi target dapat
beberapa (tidak hanya satu) dengan catatan setiap target perilaku akan dibuatkan aturan yang
detil dan jelas tentang perilaku yang diharapkan dan tidak diharapkan (dalam program yang
direncanakan).
B. RENCANA WAKTU
Waktu yang direncanakan adalah 6 bulan, mengingat bahwa selama waktu itu ibunya akan
cuti dari kantor dan dapat secara penuh terlibat dalam program ini untuk terus berada di
samping Bona. Waktu 6 bulan ini akan dibagi dalam beberapa tahap untuk memudahkan
proses monitoring dan evaluasi.
Tahap pertama adalah training yang dilaksanakan oleh terapis bagi orang tua Bona untuk
melatih mereka agar dapat menciptakan aturan dan mengelola program di rumah. Training ini
dilakukan selama 1 minggu dilanjutkan dengan membuat program.
Minggu kedua orang tua Bona mulai membuat aturan-aturan yang harus dipatuhi Bona di
rumah dengan kontrol dari seluruh warga rumah termasuk pembantu. Jadi seluruh aturan ini
secara detil dan jelas disosialisasikan kepada semua orang di rumah. Untuk memudahkan
sosialisasi, orang tua Bona menempelkan aturan-aturan tersebut di beberapa tempat di
dinding rumah.
Sejalan dengan sosialisasi maka aturan mulai dijalankan dengan monitoring setiap saat oleh
ibunya Bona dibantu siapa saja yang di rumah. Evaluasi dilakukan oleh orang tua bersama
pembantu setiap hari dan oleh orang tua bersama terapis setiap akhir minggu.
C. PELAKSANA PROGRAM
Program ini dilaksanakan oleh Ibu Bona sebagai manajer program dibantu oleh seluruh
anggota keluarga dengan didampingi terapis anak sebagai pemandu program dan nara sumber
proses.
D. PROGRAM YANG DIRENCANAKAN
Berdasarkan target perilaku tersebut di bagian A maka dibuatlah aturan-aturan yang detil
tentang perilaku yang diharapkan dan tidak diharapkan dari Bona, yaitu:
1. Membereskan mainan dan barang milik Bona sendiri.
Aturan:
a. Memasukkan pensil, penghapus, dan buku ke tas setelah digunakan. (Tidak meninggalkan
pensil, penghapus, dan buku di meja belajar, meja tamu, atau di ruang lain)
b. Mengembalikan mainan ke wadahnya setelah digunakan. (Tidak melempar-lempar mainan
jika tidak digunakan. Jika melempar-lempar maka harus mengambil kembali dan
dikembalikan ke wadahnya.)
2. Mendengarkan orang lain bicara sampai selesai.
Aturan:
a. Menunggu Bapak, Ibu, pembantu, atau teman selesai ketika sedang berbicara tanpa
memotong.
b. Tidak pergi ketika Bapak, Ibu, teman, atau pembantu sedang berbicara kepada Bona.
c. Menjawab pertanyaan Bapak, Ibu, teman, atau pembantu jika sudah selesai diucapkan.
(Tidak menjawab pertanyaan sebelum selesai.)
d. Menatap wajah Bapak, Ibu, teman, atau pembantu yang sedang berbicara kepada Bona.
(Tidak memalingkan muka ketika diajak berbicara.)
3. Mengerjakan aktivitas sampai selesai.
Aturan:

a. Memasang-masang mainan lego sampai berbentuk sesuatu baru dilepas kembali. (Tidak
berganti mainan sebelum selesai dimainkan.)
b. Menggambar sampai selesai. (Tidak berganti kertas gambar atau meninggalkannya
sebelum gambar selesai dibuat.)
c. Mewarnai bentuk sampai selesai baru berganti kertas.
d. Makan sambil duduk sampai selesai. (Tidak makan sambil berlari-lari keluar rumah.)
Keseluruhan aturan ini disampaikan kepada Bona dengan jelas dan harus yakin bahwa Bona
mengerti dengan jelas yang dimaksud dengan aturan ini. Aturan ini kemudian ditulis besarbesar dan ditempel di beberapa bagian rumah, seperti di kamar Bona, ruang bermain, dan
dapur untuk selalu mengingatkan orang tua dan pembantu agar terus mendorong pelaksanaan
aturan tersebut secara konsisten.
E. EVALUASI PROGRAM
Program bagi Bona ini akan selalu dievaluasi dan dimonitor menggunakan lembar evaluasi
dan lembar monitoring yang dibuat saat perencanaan program (contoh lembar evaluasi dan
lembar monitoring terlampir). Evaluasi dan monitoring dilakukan ibu Bona sebagai manajer
program dan secara berkala akan didiskusikan bersama terapis untuk melihat efektivitas dan
kemajuan program.
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (4th ed.). Washington, DC: American Psychiatric Association.
Barkley, R. A. (September, 1998). Attention-deficit hyperactivity disorder. Scientific
American, 279: 3.
Barkley, R. A. (1998). Handbook of Attention Deficit Hyperactivity Disorder (2nd ed.).
New York: Guilford Press.
Cantwell, D. P., & Baker, L. (1991). Association between attention deficit-hyperactivity
disorder and learning disorders. Journal of Learning Disabilities, 24, 88-95.
Carlson, C. L., Pelham, W. E., Jr., Milich, R., & Dixon, J. (1992). Single and combined
effects of methylphenidate and behavior therapy on the classroom performance of children
with attention-deficit hyperactivity disorder. Journal of Abnormal Child Psychology, 20, 213232.
DSM-III-R symptoms for the disruptive behavior disorders. Journal of the American
Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 31, 210-218.
Hinshaw, S. P., Owens, E. B., Wells, K. C., Kraemer, H. C., Abikoff, H. B., Arnold, L. E., et
al. (2000). Family processes and treatment outcome in the MTA: Negative/ineffective
parenting practices in relation to multimodal treatment. Journal of Abnormal Child
Psychology, 28(6), 555-568.
Jensen, P. S., Martin, D., & Cantwell, D. (1997). Comorbidity in ADHD: Implications for
research, practice, and DSM-IV. Journal of the American Academy of Child Adolescent
Psychiatry, 36(8), 1065-1079.

Jensen, P. S., Hinshaw, S. P., Kraemer, H. C., Lenora, N., Newcorn, J. H., Abikoff, H. B., et
al. (2001). ADHD Comorbidity findings from the MTA Study: Comparing Comorbid
Subgroups. Journal of the American Academy of Child Adolescent Psychiatry, 40(2), 147158.
MTA Cooperative Group. (1999a). Fourteen-month randomized clinical trial of treatment
strategies for attention-deficit hyperactivity disorder. Archives of General Psychiatry,
56,1073-1086.
National Institute of Mental Health (NIMH). (1999). Questions and answers. NIMH
Multimodal Treatment Study of Children With ADHD. Bethesda, MD: NIMH.
National Institute of Mental Health. (2000). NIMH Research on Treatment for Attention
Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD): The Multimodal Treatment StudyQuestions and
Answers. [Online]. Available: http://www.nimh.nih.gov/events/mtaqa.cfm.

Anda mungkin juga menyukai