Disusun Oleh
Irzam Masriadi
1704120664
Khairunnisa
1704120620
Luluk Farida
1704120652
Noor Annisa Ahla
1704120632
i
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
G. Contoh Penerapan akad Mustahdatsah dan Akad Murakkabah dalam Fatwa DSN 18
A. Kesimpulan .............................................................................................................. 22
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang mayoritas penduduknya
beragama Islam. Dalam kegiatan perekonomian, lembaga keuangan di Indonesia
terbagi menjadi dua yaitu lembaga keuangan bank dan non bank. Lahirnya
perbankkan syariah Islam adalah suatu sistem perbankkan dalam bentuk
keuangan syariah. Ajaran-ajaran Islam tersebut mutlak harus di taati dan di
pedomani oleh seluruh orang Islam dan menjadikan aktivitas kehidupan sehari-
hari termasuk dalam keggiatan transaksi dan penanaman modal.
Perbankkan syariah atau perbankkan islam adalah suatu sistem perbankkan
yang pelaksanaanya berdasarkan hukum islam (syari’ah). Pembentukan sistem
ini berdasarkan adanya larangan dalam agama islam untuk meminjamkan atau
memungut pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha
pada kategori terlarang (haram).
Seiring dengan berjalanya waktu, kegiatan transaksi ekonomi berkembang
pesat, sehingga bermunculan berkembang model transaksi yang tidak di kenal
pada masalalu tapi berkembang di masa kini. Salah satu di antaranya adalah
penggunaan dua akad atau lebih menjadi satu transaksi, yang dalam fiqih
kontemporer,di sebut al-uqud al-murakkabah (hybrid contact/multiakad). Multi
akad (hybrid contract) adalah kesepakatan dua pihak untuk melakukan suatu
muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya satu transaksi yang terdiri
dari akad jual-beli dan ijarah, akad jual-beli dan hibah dan seterusnya, sehingga
semua akibat hukum dari akad-akad hubungan itu, serta semua hak dan
kewajiban yang di timbulkanya, di anggap satu kesatuan yang tak dapat di pisah-
pisahkan, yang sama kedudukanya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad.
1
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan. Maka disusunlah
rumusan makalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Al Uqud AlMurakkabah/ Hybrid contracts/ multi
akad ?
2. Jelaskan macam-macam multi akad ?
3. Apa saja hukum transaksi multi akad ?
4. Apa saja batasan dan standar multi akad?
5. Bagaimana implementasi/ penerapan multi akad dalam lembaga keuangan
syariah ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas. Maka tujuan dari
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan Al Uqud
AlMurakkabah/ Hybrid contracts/ multi akad.
2. Untuk mengetahui dan memahami apa saja macam-macammulti akad.
3. Untuk mengetahui dan memahami apa saja hukum transaksi multi akad.
4. Untuk mengetahui dan memahami apa saja batasan dan standar multi akad.
5. Untuk mengetahui dan memahami bagaiman implementasi/penerapan multi
akad dalam lembaga keuangan syariah.
D. Metode Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
1
Oni Sahroni, M.Hasanuddin, Fiqih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan Implementasi
dalam Ekonomi Syariah, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2016, h. 201.
3
4
2
Imron Rosyadi, JAMINAN Kebendaan Berdasarkan Akad Syariah (Aspek perikatan,
Prosedur Pembebanan dan Eksekusi), Depok: Kencana, 2017, h. 21.
6
3
Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis Untu Perusahaan, (Jakarta,Kencana,2014), h. 61-
62.
7
B. Rukun-rukun Akad
Menurut Jumhur Fuqaha rukun akad terdiri atas;
1. ‘Aqid yaitu orang yang berakad(bersepakat). Pihak yang melakukan akad ini
dapat terdiri dua orang atau lebih. Pihak yang berakad dalam transaksi jual
beli di pasar biasanya terdiri dari dua orang yaitu pihak penjual dan pembeli.
2. Ma’qud ‘alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang
ada dalam transaksi jual beli, dalam akad hibah, dalam akad gadai dan bentuk-
bentu akad lainya.
3. Maudu’ al-‘aqd yaitu tujuan pokok dalam melakukan akad. Seseorang ketika
melakukan akad, biasanya mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Karena itu,
berbeda dalam bentuk akadnya, maka berbeda pula tujuanya.
4. Shighat al-‘aqd yang terdiri dari ijab dan qabul. Pengertian ijab adalah
permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai
gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad. Sedangkan qabul adalah
perkataaan yang keluar dari pihak yang lain, yang di ucapkan setelah adanya
ijab. Adapun pengertian ijab –qabul pada sekarang ini dapat dipahami sebagai
bentuk bertukarnya sesuatu dengan yang lain, sehingga sekarang ini
berlangsungnya ijab-qabul dalam transaksi jual beli tidak harus berhadapan
(bertemuan langsung), misalnya berlangganan majalah, pembeli menerima
barang beliannya tersbut dari pertugas pos (jasa kurir).
C. Syarat-syarat Akad
Setiap pembentukan akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib di
sempurnakan, syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam:
8
D. Ragam Multiakad
Ada dua jenis multiakad yaitu:
1. Multiakad yang menggunakan rangkaian berurutan (akad pertama diikuti
dengan akad kedua dan sterusnya). Contoh akad murabahah yang disertai
akad wakalah. Dalam multi akad ini, semua rukun dan syarat harus dipenuhi
secara formal dan tertib dan setiap akad harus ada ijab qabul-Nya.
Dalam akad IMBT, akad Ijarah harus dilakukan sendiri dan selesai secara
sempurna, kemudian diikuti dengan akad tamlik (ba’i atau hibah).
Sewa beli adalah seseorang yang menyewa manfaat barang, dan kemudian
secara otomatis menjadi milik penyewa. Akad sewa beli ini tidak dibolehkan
dalam islam karena termasuk yang dilarang, maka makhrajnya adalah dengan
multiakad IMBT, yang dimulai dengan akad ijarah, kemudian setelah selesai
akad ijarah, kemudian dijual, disertai wa’d (sebelum sewa atau setelah sewa)
akan dibeli setelah ijarah.
2. Multiakad yang tidak menggunakan rangkaian berurutan (akad pertama
dilengkapi dengan akad kedua dan seterusnya). Contohnya, akad dalam produk
kartu kredit syariah.
Dalam multiakad ini, rukun dan syarat setiap akad yang dikandungnya tidak
harus dilakukan secara formal dan tertib, bahkan rukun dari setiap akadnya dapat
digabung dengan syarat tidak ada yang membatalkan satu sama lain.
4
Qomarul Huda, Fiqih Muamalah, (Yogyakarta,teras, 2011) h. 28-32.
9
Misalnya, rukun ijab qabul cukup dilakukan satu kali, sehingga multiakad ini
sebagai satu akad (shafqah wahidah).
Dalam produk kartu kredit syariah, akad ijarah, kafalah, dan qardh
dilakukan dengan satu akad saja. Tidak boleh mensyaratkan akad ba’i , akad
ijarah (atau akad-akad mu’awadhah yang lain) dalam akad qardh berdasarkan
dalil-dalil berikut:
Sabda Rasulullah Saw. : “tidak boleh (digabungkan) akad pinjaman dan
akad ba’i, tidak boleh ada dua syarat dalam ba’i, tidak boleh ada keuntungan
yang tidak dijamin, tidak boleh menjual barang yang tidak dimiliki.”
Wajh Istidlal : lafadz salaf dalam hadis di atas adalah qard. Hadis diatas
melarang akad qardh digabung dengan akad jual beli seperti meminjamkan (akad
qardh) dengan syarat ada akad jual beli, dan sebaliknya akad jual beli dengan
syarat meminjamkan (akad qardh) itu tidak boleh.
a. Meminjamkan (akad qardh) dengan syarat akad jual beli itu menjadi sarana
untuk melakukan riba karena mungkin pembeli meminta discount dengan
imbalan pengurangan pinjaman, dan ini termasuk dzariah yang dilarang oleh
seluruh ulama.
b. Meminjamkan (akad qardh) dengan syarat ada akad jual beli itu berarti akad
qardh bukan lagi bermakna sosial (irfaq) tetapi bisnis, karena akad qardh itu
bukan akad mu’awadhah, maka tidak boleh ada imbalan.5
Adapun macam-macam multi akad (hybrid contracti) dapat dibagi menjadi sebagai
berikut:
Pertama, Hybrid contract yang mukhtalithah (bercampur) yang memunculkan
nama baru, seperti ba’i istighlal, bai’ tawarruq, musyarakah mutanaqishah, dan bai’
wafa. Jual beli istighlal merupakan percampuran tiga akad, yaitu dua akad jual beli
dan ijarah, sehingga bercampur tiga akad. Akad ini disebut three in one. Jual beli
tawwaruq adalah percampuran dua akad jual beli. Jual beli dengan pihak petama, jual
5
Oni Sahroni, M.Hasanuddin.h. 208
10
beli kedua dengan pihak ketiga. Musyarakah mutanaqishah adalah akad campuran
antara akad syirkah milik dengan ijarah yang mutanaqishah atau jual beli yang disifati
dengan mutanaqishah (decreasing). Bai’ wafa adalah percampuran (gabungan) dua
akad jual beli yang melahirkan nama baru.
Kedua, hybrid contract yang mujtami’ah dengan nama akad baru, tetapi
menyebut nama akad yang lama, seperti sewa beli (bai’ at-takjiry) Lease and
purchase.
Ketiga, hybrid contract, yang akad-akadnya tidak becampur dan tidak
melahirkan nama akad baru. Tetapi nama akad dasarnya tetap ada dan eksis di
praktikkan dalam suatu transaksi.
Keempat, hybrid contract yang mutanaqidhah (akad-akadnya berlawanan).
Bentuk ini dilarang dalam syariah.6
6
Moh.Mufid, Uhul Fikih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer Jakarta: Prenamedia Group,
2016, hlm. 112.
11
Al-’uqûd al-mujtami’ah adalah multi akad yang terhimpun dalam satu akad.
Dua atau lebih akad terhimpun menjadi satu akad. Seperti contoh "Saya jual rumah
ini kepadamu dan saya sewakan rumah yang lain kepadamu selama satu bulan
dengan harga lima ratus ribu".
Multi akad yang mujtami'ah ini dapat terjadi dengan terhimpunnya dua akad
yang memiliki akibat hukum berbeda di dalam satu akad terhadap dua objek
dengan satu harga, dua akad berbeda akibat hukum dalam satu akad terhadap dua
objek dengan dua harga, atau dua akad dalam satu akad yang berbeda hukum atas
satu objek dengan satu imbalan, baik dalam waktu yang sama atau waktu yang
berbeda.
3. Akad berlawanan (al-’uqûdal-mutanâqidhahwaal-mutadhâdahwaal-mutanâfiyah)
Ketiga istilah al-mutanâqidhah, al-mutadhâdah, al-mutanâfiyah memiliki
kesamaan bahwa ketiganya mengandung maksud adanya perbedaan. Tetapi
ketiga istilah ini mengandung implikasi yang berbeda.
Mutanâqidhah mengandung arti berlawanan, seperti pada contoh seseorang
berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi yang berlawanan dengan yang pertama.
Seseorang mengatakan bahwa sesuatu benar, lalu berkata lagi sesuatu itu salah.
Perkataan orang ini disebutmutanâqidhah, saling berlawanan.
Dikatakanmutanâqidhah karena antara satu dengan yang lainnya tidak saling
mendukung, melainkan mematahkan.
4. Akad berbeda (al-’uqûd al-mukhtalifah)
Yang dimaksud dengan multi akad yang mukhtalifah adalah terhimpunnya
dua akad atau lebih yang memiliki perbedaan semua akibat hukum di antara
kedua akad itu atau sebagiannya. Seperti perbedaan akibat hukum dalam akad
jual beli dan sewa, dalam akad sewa diharuskan ada ketentuan waktu, sedangkan
dalam jual beli sebaliknya. Contoh lain, akad ijârah dan
salam. Dalam salam, harga salam harus diserahkan pada saat akad (fi al-majlis),
sedangkan dalam ijârah, harga sewa tidak harus diserahkan pada saat akad.
12
7
Hasanudin, Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan
Syariah di Indonesia, Ciputat : UIN Syahid, 2009, h. 7.
13
mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram”
“ Pada dasarnya,semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.”
Kedua, Maqashid disyaratkannya akad-akad tersebut adalah memperjelas hak
dan kewajiban para pihak akad, sehingga setiap pihak mendapatkan haknya tanpa
didzalimi.
Nash-nash Al-Qur’an dan Al hadis menyebutkan beberapa akad-akad seperti
jual beli, rahn, dan lain-lain, kemudian para ulama menjelaskan rukun, syarat dan
ketentuan hukum akad-akad tersebut.
akad yang disebutkan dalam nash dan kitab turats itu adalah transaksi yang
muncul sesuai dengan hajat masyarakat pada saat itu. Jika masyarakat saat ini
membutuhkan akad baru untuk memenuhi hajatnya,maka berarti dibolehkan
selama tidak melanggar ketentuan pokok (tsawabit) dalam masalah muamalah,
diantaranya wudhuh, adil dan tidak ada dalil yang melanggar.
Ketiga, dengan alasan kedua dan ketiga di atas,jumhur ulama menegaskan
bahwa jika setiap unsur akad yang ada dalam multiakad itu hukumnya sah, maka
gabungan akad tersebut itu sah juga (qiyas al-majmu ‘ala ahadiha).
Atas dasar ini, Hanabilah dan Syafi’iyah membolehkan multiakad
sebagaiman Ibnu Qayyim mengatakan: “Pada prinsipnya, setiap akad dan syarat
yang disepakati dalam akad itu hukumnya sah kecuali akad dan syarat yang
dilarang syara’ inilah pendapat yang benar”.8
Status hukum multi akad belum tentu sama dengan status hukum dari akad-
akad yang membangunnya. Seperti contoh akad bai’ dan salaf yang secara jelas
dinyatakan keharamannya oleh Nabi. Akan tetapi jika kedua akad itu berdiri
sendiri-sendiri, maka baik akad bai’ maupun salaf diperbolehkan. Begitu juga
dengan menikahi dua wanita yang bersaudara sekaligus haram hukumnya, tetapi
8
Oni Sahroni, M.Hasanuddin,.h. 202.
14
jika dinikahi satu-satu (tidak dimadu) hukumnya boleh. Artinya, hukum multi
akad tidak bisa semata dilihat dari hukum akad-akad yang membangunnya. Bisa
jadi akad-akad yang membangunnya adalah boleh ketika berdiri sendiri, namun
menjadi haram ketika akad-akad itu terhimpun dalam satu transaksi. Dapat
disimpulkan bahwa hukum dari multi akad belum tentu sama dengan hukum dari
akad-akad yang membangunnya. Dengan kata lain, hukum akad-akad yang
membangun tidak secara otomatis menjadi hukum dari multi akad.
Meski ada multi akad yang diharamkan, namun prinsip dari multi akad ini
adalah boleh dan hukum dari multi akad diqiyaskan dengan hukum akad yang
membangunnya. Artinya setiap muamalat yang menghimpun beberapa akad,
hukumnya halal selama akad-akad yang membangunnya adalah boleh. Ketentuan
ini memberi peluang pada pembuatan model transaksi yang mengandung multi
akad.
Mengenai status hukum multi akad, ulama berbeda pendapat terutama
berkaitan dengan hukum asalnya. Perbedaan ini menyangkut apakah multi akad
sah dan diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk dipraktikkan. Mengenai hal
ini ulama berada dalam dua pendapat tersebut; membolehkan dan melarang.
Mayoritas ulama Hanâfiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama
Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum multi akad sah dan
diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang membolehkan beralasan bahwa
hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan
selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya.9
Menurut Ibnu Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah
boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang haram kecuali
yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan.
Hukum asal dari syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi multi akad,
selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri
9
Hasanudin,.h. 13
15
hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang
melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan
pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan
sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan
melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati.
Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari
akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama.
Karena hukum asalnya adalah boleh, maka setiap akad dan syarat yang belum
dijelaskan keharamannya oleh Allah tidak bisa dinyatakan sebagai haram. Allah
telah menjelaskan yang haram secara rinci, karenanya setiap akad yang
dinyatakan haram harus jelas keharamannya seperti apa dan bagaimana. Tidaklah
boleh mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Allah atau dimaafkan, begitu
pula tidak boleh menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya.10
10
Hasanudin, Ibid, hlm. 18.
16
Hadis 2
“Rasulullah Saw melarang dua akad dalam satu akad”.
Menurut Dr.Nazih Hammad, diantara bentuk bai’ataian
baiah/shafqatain fi shafqah adalah bai’ al-‘inah karena substansi akad ini
adalah mensyaratkan terjadinya satu akad dalam akad lain (isytirath aqdin
fi aqdin).
Hadis 3
“Rasulullah Saw melarang akad jual beli dalam pinjaman”.
Jual beli dan pinjaman diatas dilarang untuk di gabung karena (‘illatnya)
harganya menjadi tidak jelas dan karena unsur riba.
Para ulama menjelaskan bahwa yang dilarang adalah jika akad
qardh menjadi akad inti dan menjadi hajat utama pelaku akad, sedangkan
bai’ menjadi akad pelengkap.
Akad-akad lain seperti ijarah juga tidak dibolehkan jika
digabungdengan akad qardh selama akad qardh menjadi akad inti.
Dalam fatwa-fatwa DSN, jika yang terjadi sebaliknya, akad ijarah
menjadi akad inti dan qardh menjadi pelengkap, maka hukumnya menjadi
boleh.
2. ”Tidak termasuk dalam hilah ribawiyah, seperti bai’ al ‘inah”.
Hilah ribawiah yang dimaksud yaitu mengubah hukum menjadi
hukum baru dengan cara yang tidak dibenarkan syariah. Seperti bai’
‘inah, para pihak bertransaksi bai’ al-inah untuk mendapatkan uang
dengan bunga, maka cara mengubah transaksi pinjaman menjadi transaksi
jual beli. Singkatnya, ingin mendapatkan bunga atas pinjaman dengan
modus jual beli.
3. “Tidak boleh menyebabkan kepada riba seperti menggambarkan qardh dan
akad mu’awadhah”.
Diantara contoh menggabungkan antara qardh dan mu’awadhah,
misalnya menjual sesuatu dengan syarat pembeli meminjamkan sesuatu
17
4. Bai’ al-kali bi al-kali dibolehkan terjadi pada akad pelengkap yang ada
pada multiakad, misalnya membeli saham perusahaan (yang memiliki
utang) dengan piutang.
5. Beberapa syarat dibolehkan terjadi pada akad pelengkap yang ada pada
multiakad, seperti syarat ijab dan qabul.11
11
Oni Sahroni, M.Hasanuddin,.h. 204
19
12
Oni Sahroni, M.Hasanuddin, Fiqih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan Implementasi
dalam Ekonomi Syariah, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2016, h. 211
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Multi akad adalah: beberapa akad yang didesain menjadi satu paket akad yang
memiliki tahapan-tahapan dan bagian-bagian akad. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa hybrid contract dalam istilah fikih disebut dengan al-‘aqd al-
murakkabah, terdiri dari dua kata, yaitu al ‘aqd dan al-murakkabah. Kata al-‘aqdu,
telah dikupas dalam pembahasan sebelumnya, sedangkan kata al-murakkabuh, jam'u
yakni mengumpulkan atau menghimpun.
Secara istilah, akad murakkabah didefinisikan dengan kesepakatan dua pihak
untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya
akad jual beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah dan seterusnya, sehingga
semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban
yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang
sama kedudukannya dengan akibat hukum dari satu akad.
Menurut Jumhur Fuqaha rukun akad terdiri atas; Aqid, Ma’qud,Ma’qud ‘alaih,
Maudu’ al-‘aqd dan Shigahat. Adapun syarat-syarat akad yaitu, bersifat umum dan
khusus. Ragam multi akad terbagi menjadi dua; multiakad yang menggunakan
rangkaiana berurutan dan multi akad yang tidak mengguanakan rangkaian tiada
berurutan.
Contoh penerapan akad Mutahdatsah dan akad murakkabah dalam fatwa
DSN; Akad ijarah muntaha bin Tamlik (IMBT), yang terdiri dari akad ijarah, wa’d
dan akad tamlik (ba’iatau hibah). Penerapan kaidah multiakad dalam fatwa-fatwa
DSN; akad musyarakah mutanasiqah, istishan dan istishsan paralel, akad salam dan
salam paralel, akad ijarah mutaiyah bit tamlik (IMBT), produk pembayaran
pengurusan haju, akad berlaku dalam sauransi syariah dan akad yang berlaku dalam
pergadaian syraiah.
22
DAFTAR PUSTAKA
Hasanudin. 2009. Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga
Keuangan Syariah di Indonesia. Ciputat : UIN Syahid.
Huda, Qomarul. 2011. Fiqih Muamalah. Yogyakarta: teras.
Mufid,Moh. 2016. Ushul Fiqih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer.
Jakarta: Prenamedia Group.
Rosyidi, Imron. 2017. Jaminan Kebendaan Berdasarkan Akad Syariah (Aspek
perikatan, Prosedur Pembebanan dan Eksekusi). Depok: Kencana.
Sahroni, Oni, M.Hasanuddin. 2016. Fiqih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan
Implementasi dalam Ekonomi Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Saliman, Abdul Rasyid. 2014. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan. Jakarta,Kencana.
23