Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di
dunia. Maka tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan ekonomi
Indonesia juga didominasi dengan nuansa islami atau biasa dikenal
dengan kata syariah, termasuk dalam lembaga keuangan yang ada di
indonesia.
Tentunya dalam lembaga keuangan pada umumnya
(konvensional) akan berbeda dengan lembaga keuangan syariah baik
dalam mekanisme maupun produk-produk yang dihadirkan. Untuk itu,
perlu adanya pengawasan dalam setiap lembaga keuangan syariah yang
ada di Indonesia agar penerapan nilai-nilai syariah yang ada dapat sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di negara Indonesia.
Salah satu bentuk pengawasan terhadap lemmbaga keuangan
syariah adalah Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang disyaratkan harus
ada dalam setiap lembaga keuangan syariah. Selain DPS ada juga
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang
dalam hal ini berperan sebagai payung dari DPS agar dapat
meminimalisir timbulnya fatwa dan pendapat yang berbeda dari masing-
masing DPS yang ada di Indonesia.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas
bagaimana korelasi pengawasan antara DPS dan DSN-MUI dalam
menjalankan tugasnya serta adakah perbedaan dari segi tugas,
wewenang atau sektor pengawasan antar keduanya terhadap lembaga
keuangan di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana korelasi pengawasan antara Dewan Pengawas
Syariah (DPS) dan Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI)?
2. Adakah perbedaan dari segi tugas, wewenang dan sektor
pengawasan antara Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan
Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)?

C. Tujuan
1. Mengetahui tentang Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan
Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
2. Mengetahui tugas dan wewenang Dewan Pengawas Syariah
(DPS) dan Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI)
3. Mengetahui korelasi pengawasan antara Dewan Pengawas
Syariah (DPS) dan Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI)
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEWAN SYARIAH NASIONAL-MAJELIS ULAMA


INDONSESIA (DSN-MUI)
1. Latar Belakang Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI)
Berawal dari peristiwa MUI melakukan lokakarya yang
membahas tentang bunga bank yang berakhir pada kesimpulan
kecenderungan mempersamakan bunga bank dengan riba. Pada
lokakarya yang membahas tentang reksadana syariah
diselenggarakan di Jakarta pada 29-30 Januari 1997, salah satu
rekomendasinya adalah pembentukan Dewan Syariah Nasional
(DSN) yang kemudian gagasan itu dimantapkan pada pertemuan
tanggal 14 Oktober 1997. Namun secara resmi DSN-MUI terbentuk
pada tahun 1998 yang secara structural berada di bawah Majelis
Ulama Indonesia melengkapi lembaga-lembaga lainnya yang ada
sebelumnya.
Dasar pemikiran dan latarbelakang pembentukan DSN-MUI
bertujuan untuk efisiensi dan koordinasi para ulama dalam
menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi
dan keuangan. Selain itu, DSN diharapkan dapat berperan sebagai
pengawas, pengarah, dan pendorong nilai-nilai dan prinsip-prinsip
ajaran Islam di bidang ekonomi dan keuangan.1
Sejalan dengan perkembangan keuangan syariah di Indonesia
yang diiringi dengan berkembangnya jumlah DPS (Dewan Pengawas
Syariah) yang jumlahnya semakin banyak. Maka diperlukan adanya
pemersatu antar DPS yang ada di Indonesia. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang dalam hal ini sebagai payung dari lembaga
organisasi keislaman di Indonesiam menganggap perlu adanya

1
H. Rahman Ambo Masse, “Dewan Pengawas Syariah dan Profesionalisme Sumber Daya
Manusia”, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 16, Nomor 2, Desember 2018, hlm.149-150
dewan syariah yang bersifat nasional yang membawahi lembaga-
lembaga keuangan syariah di Indonesia. Lembaga ini kemudian
dikenal dengan nama DSN (Dewan Syariah Nasional).2
Lembaga ini merupakan lembaga otonom dibawah Majelis
Ulama Indonesia dan dipimpin oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia
dan sekretaris (ex-officio). Kegiatan sehari-hari DSN dijalankan oleh
Badan Pelaksana Harian dengan seorang ketua dan sekretaris serta
beberapa anggota. Namun, secara umum pengurus DSN-MUI
dibedakan menjadi 2 hal yaitu:
1. Pengurus yang bersifat umum (Pengurus Pleno)
Pengurus Pleno terdiri dari ketua, ketua pelaksana, empat
orang wakil ketua, seretaris, dan dua wakil sekretaris dan
anggota
2. Badan Pelaksana Harian
BPH terdiri dari ketua, tiga wakil ketua, sekretaris, dua
wakil sekretaris, bendahara dan anggota.

Secara struktural, DSN adalah lembaga bentukan MUI dan


berada dibawah MUI yang memiliki fungsi melaksanakan tugas-
tugas MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan
dengan akfitas lembaga keuangan syariah di Indonesia. DSN
diharapkan dapat mendorong penerapan ajaran agama islam dalam
kehidupan ekonomi. Oleh karena itu, DSN akan berperan secara pro-
aktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia yang
cenderung dinamis dalam bidang ekonomi dan keuangan. Sikap
proaktif DSN dalam menanggapi prkembangan masyarakat dalam
bidang ekonomi ditunjukkan terus menampung pendapat dan
fenomena yang ada dalam masyarakat, kemudian DSN memberikan
respon terhadap fenomena tersebut.

2
Muhammad Syakir Sula, AAIJ, FIIS, Asuransi Syariah Konsep dan Sistem Operasional,
Jakarta: Gema Insani, 2004, hlm.543
2. Posisi Dewan Syariah Nasional di Indonesia
DSN-MUI merupakan lembaga independen dalam
mengeluarkan fatwa sebagai rujukan yang berhubungan dengan
masalah ekonomi, keuangan dan perbankan.3 Tugas DSN-MUI
dalam bidang keuangan dan perbankan adalah sebagai badan otoritas
yang memberikan saran kepada institusi terkait (Bank Indonesia,
Departemen Keuangan atau Bapepam) berkaitan dengan operasi
perbankan syaariah atau lembaga keuangan syariah lainnya,
mengkoordinasi isu-isu syariah tentang keuangan dan perbankan
syariah, menganalisis dan mengevaluasi aspek-aspek syariah dari
produk baru yang diajukan oleh institusi perbankan dan keuangan
syariah lainnya.
Fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI bukan merupakan hukum
positif,4 sama seperti fatwa-fatwa MUI dalam bidang lainnyaa. Agar
fatwa DSN-MUI dapat berlaku dan mengikat sebagaimana hukum
positif, maka pada UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah disebutkan bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI dapat ditindak
lanjuti sebagaimana peraturan Bank Indonesia.

Adapun kutipan UU Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 26


disebutkan bahwa:
1. Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam PASAL 19,
Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk
kepada Prinsip Syariah
2. Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia
3. Fatwa sebagaimana dimaksud ayat (2) dituangkan dalam
Peraturan Bank Indonesia

3
Imam Abdul Hadi, “Kedudukan dan Wewenang Lembaga Fatwa (DSN-MUI) pada Bank
Syariah, Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.1, No.2 , 2011, hlm.3
4
Ibid, hlm.4
4. Dalam rangka penyusunan Peraturan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) , Bank Indonesia
membentuk Komite Perbankan Syariah
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara pembentukkan,
keanggotaan dan tugas komite perbankan syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan
Bank Indonesia.

Dengan adanya UU Nomor 21 tahun 2008 tersebut, dapat


kita cermati bahwa ada kekuatan hukum yang mengikat antara fatwa
yang dikeluarkan oleh DSN-MUI dengan hukum positif berupa
Peraturan Bank Indonesia yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa peran dari lembaga fatwa di Indonesia
sangat signifikan dan strategis dalam membangun, mengembangkan
dan memajukan lembaga keuangan syariah di Indonesia dengan
tetap memperhatikan hukum-hukum syariah yang harus dipatuhi
oleh LKS.
Pentingnya peran DSN dalam menjaga kepatuhan LKS di
Indonesia termuat dalam UU Nomor 21 tahun 2008 yang
menegaskan bahwa setiap kegiatan usaha (Pasal 19 dan 21) tidak
boleh bertentangan dengan prinsip syariah yang telah dirujuk pada
fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI dan telah terkonfensi dalam
Peraturan Bank Indonesia.
Dengan adanya peraturan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, maka peraturan tersebut akan memperkuat posisi fatwa
DSN-MUI menjadi sumber penting dalam melakukan inovasi
produk perbankan syariah. Walaupun fatwa tersebut belum
diaplikasikan oleh Peraturan Bank Indonesia, tetapi tetap fatwa
tersebut memiliki kekuatan hukum dan harus ditaati oleh LKS yang
ada di Indonesia.
3. Tugas dan Wewenang Lembaga Fatwa di Indonesia
Posisisi kelembagaan DSN-MUI dalam struktural MUI
sangatlah penting guna meningkatkan inovasi produk-produk dalam
lembaga keuangan syariah. Selain inovasi produk, DSN juga
melakukan pengawasan pada lembaga-lembaga keuangan syariah
dengan menempatkan DPS (Dewan Pengawas Syariah) dalam
lembaga tersebut.
Kedudukan DSN adalah sebagai anggota Majelis Ulama
Indonesia yang terdiri dari para ulama, praktisi dan para pakar yang
terkait dalam bidang muamalat syariah.5 Adapun tugas DSN adalah
sebagai berikut:
1. Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah
dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan
keuangan pada khususnnya
2. Mengeluarkan fatwa-fatwa atas jenis-jenis kegiatan
keuangan
3. Mengeluarkan fatwa atas produk jasa keuangan syariah
4. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan

Dari uraian tugaas DSN diatas adaa 2 ftugas pokok DSN


yang sangat signifikan yaitu mengeluarkan fatwa dan mengawasi
penerapan fatwa tersebut. Untuk mempermudah DSN dalam
menjlankan tugasnya, DSN MUI memiliki wewenang yang berlaku
untuk semua Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yaitu:6
1. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas
Syariah di masing-masing lembaga keuangan syariah dan
menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait
2. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi
ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang

5
Ahmad Ifham Solihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2010, hlm.51
6
Imam Abdul Hadi, “Kedudukan dan Wewenang Lembaga Fatwa (DSN-MUI) pada Bank
Syariah, Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.1, No.2 , 2011, hlm.6
berwenang seperti Bank Indonesia dan Departemen
keuangan
3. Memberikan rekomendasi dan atau mencabut
rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai
Dewan Pengawas Syariah pada suatu LKS
4. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah
yang diperlukan dalam pembahasan Ekonomi Syariah
termasuk otoritas moneter atau lembaga keuangan dalam
maupun luar negeri
5. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan
syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa
yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional
6. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk
mengambil tindakkan apabila peringatan tidak
diindahkan.
Kepakaran dalam anggota DSN tidak diragukaan lagi, namun
dalam menetapkan suatu hal DSN-MUI memiliki wewenang untuk
memanggil tenaga ahli guna menelaah isu-isu keuangan islam
dengan lebih profesional.

4. Mekanisme dan Tata kerja DSN MUI


Mekanisme yang berkaitan dengan DSN yaitu:
1. Pleno DSN mengesahkan rancangan fatwa yang diusulkan
oleh BPH DSN
2. DSN melakukan musyaawarah pleno paling tidak tiga bulan
sekali atau apabila diperlukan
3. DSN membuat laporan tahunan yang berisi pernyataan yang
dimuat dalam laporan tahunan atau (annual report) mengenai
lembaga keuangan syariah yang telah atau tidak memenuhi
ketentuan syariah sesuai dengan fatwa yang telah dikeluarkan
DSN-MUI
Tata kerja yang megatur tentang pola kerja DSN yaitu:
1. DSN menyelenggarakan pleno sekali dalam tiga bulan atau
pada masa yang dianggap perlu
2. Bahan, waktu dan tempat musyawarah ditentuka oleh BPH-
DSN dengan persetujuan ketua dan sekretaris
3. Suratundangan musyawarah disampaikan sekurang-
kurangnya 3 hari sebelum musyawaah dilaksanakaan
4. Surat undangan ditandatangani oleh ketua dan sekretaris

Musyawarah pleno yang lakukan oleh DSN adalah dengan tugas


untuk:
1. Menetapkan, mengubah atau mencabut berbagai fatwa dan
pedoman Lembaga Keuangan Syariah
2. Mengesahkan atau menjernihkan hasil kajian terhadap usulan
atau pernyataan suatu produk atau jasa LKS
3. Bahan musyawarah yang dimaksud dalam nomor 1 dan 2
disiapkan dan diajukan oleh BPH DSN kemudian DSN
menerbitkan laporan tahunan secara teratur disertai oleh
pernyataan reesmi LKS yang bersangkutan telah atau tidak
memenuhi ketentuan syariah.

DSN memberikan usulan-ususlan pengembangan LKS kepada


direksi atau manajemen LKS yang berkaitan dan dapat menerima
usulan atau pernyataan hukum mengenai suatu produk atau jasa
lembaga keuangan yang ditunjukkan langsung kepada sekretariat
BPH DSN.7

7
Soemitra Andri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, 2009, Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, hlm.90-92
B. DEWAN PENGAWAS SYARIAH (DPS)
1. Latar Belakang Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Dalam upaya memurnikan pelayanan institusi keuangan
syariah agar benar-benar sejalan dengan ketentuan syariat islam,
maka adanya DPS sangat diperlukan. DPS merupakan lembaga
kunci bahwa kegiatan operasional institusi keuangan syariah sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah.8 Merujuk pada Surat Keputusan
Dewan Syariah Nasional Nomor 3 Tahun 2000, bahwa Dewan
Pengawas Syariah (DPS) adalah bagian dari lembaga keuangan
syariah yang bersangkutan dan penempatannya atas persetujuan
Dewan Syariah Nasional (DSN).
Undang-Undang Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008
menyebutkan bahwa:
1. Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank
Syariah dan Bank Konvensional yang memiliki UUS
2. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimasud ayat (1)
siangkat oleh rapat umum pemegang saham atas
rekomendasi Majelis Ulama Indonesia
3. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada
direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai
dengan prinsip syariah
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukkan Dewan
Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Bank Indonesia

8
Irwan Misbach, “Kedudukan dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah dalam Mengawasi
Transaksi Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia”, Jurnal UIN Alauddin Makasar,
hlm.80
2. Tugas-Tugas DPS
Tugas penting DPS ada 8 macam yaitu:9
1. DPS adalah seorang ahli (pakar) yang menjadi sumber dan
rujukan dalam penerapan prinsip-prinsip syariah termasuk
rujukan fatwa
2. DPS mengawasi pengembangan semua produk untuk
memastikan fitur yang melanggar syariah
3. DPS menganalisa segala sesuatu yang belum pernah terjadi
sebelumnya yang tidak didasari fatwa di transaksaksi
perbankan untuk memastikan kepatuhan dan kesesuaiannya
kepada syariah
4. DPS menganalis segala jenis kontrak dan perjanjian
mengenai transaksi-transaksi di bank syariah untuk
memastikan kepatuhan kepada syariah
5. DPS memastian koreksi pelanggaran dengan segera (jika
ada) untuk mematuhi syariah. Jika ada pelanggaran DPS
harus segera mengoreksi pelanggaran agar disesuaikan
dengan prinsip syariah
6. DPS memberikan supervisi unuk program pelatihan syriah
bagi staf Bank Islam
7. DPS menyusun laporan tahunan tentang neraca bank syariah
tentang kepatuhan kepada syariah. Dengan pernyataan DPS
yang menyatakan kesyariahan laporan keuangan perbankan
syariah
8. DPS melakukan supervisi dalam pengembangan dan
penciptaan investasi yang sesuai syariah dan produk
pembiayaan yang inovatif.

9
Ratna Wiranti, “Peran dan Fungsi MUI DSN dan DPS”, Jurnal Academia, hlm. 19
3. Kualifikasi dan Prosedur Penetapan Anggota DPS yang
Ideal
Melihat tugas DPS yang penting tersebut, seorang DPS tidak
bisa hanya ulama dan cedekiawan muslim yang tidak dibarengi
dengan ilmu keuangan dan perbankan. Namun DPS harusnya adalah
sarjana (ilmuan) yang memiliki reputasi tinggi dalam pengalaman
luas di bidang hukum, ekonomi dan sistem perbankan dan khusus
dalam bidang hukum dan keuuangan.
Pemilihan DPS dengan kualifikasi tersebut mutlak
diperlukan agar peranan DPS bisa lebih dioptimalkan dan
menimbulkan citra positif dalam pengembangan Bank Syariah di
Indonesia.
Adapun prosedur penetapan anggota DPS adalah sebagai
berikut:

1. LKS mengajukan permohonan penetapan DPS kepada


DSN melalui sekretariat DSN, pengajuan tersebut dapat
disertai nama calon DPS atau meminta calon pada DSN
2. Permohonan tersebut dibahas dalam musyawarah BPH
DSN-MUI
3. Apabila diperlukan, maka diadakan silaturrahmi antara
BPH DSN-MUI dengan calon DPS untuk mengenali dan
menilai kepatutannya
4. Hasil musyawarah BPH DSN-MUI dilaporkan kepada
pimpinan DSN-MUI
5. Pimpinan DSN-MUI menetapkan nama-nama yang akan
diletakkan bertugas sebgagai DPS
Anggota DPS terdiri dari ahli syariah yang sedikit banyak
mengasai hukum perniagaan dan telah biasa dengan kontrak bisnis
atau perniagaan, harus bersifat independen. Setiap calon dipilih dari
para ulama, praktisi dan pakar di bidangnya masing-masing yang
bertempat tinggal tidak berjauhan dari lokasi LKS.
4. Mekanisme Kerja DPS
Adapun mekanisme kerja DPS adalah sebgai berikut:
1. DPS melakukan pengawasan secara peridodik kepada LKS
yang berada dalam pengawasannya
2. DPS berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan
LKS kepada pimpinan LKS bersangkutan dan kepada DSN
3. DPS melaporkan perkembangan prduk dan operasional LKS
yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali
dalam satu tahun
4. DPS memutuskan permasalahan yang memerlukan
pembahasan DSN.

C. KORELASI DSN-MUI DAN DPS


Hubungan antara DSN-MUI baik dalam segi pembentukkan,
mekanisme kerja dan tugasnya sebagai lembaga pengawasan sangat
erat. Dalam hal pembentukkan, DSN-MUI dijadikan sebagai wadah
bagi para DSP dan sebagai payung pemersatu terutama dalam hal
fatwa-fatwa yang berkaitn dengan LKS, sehingga pendapat dari DPS
yang ada, dapat solid dan memiliki satu pemahaman fatwa.
Dalam mekanisme kerja, DSN-MUI memerlukan DPS guna
mengetahui kepatuhan syariah LKS pada fatwa yang telah
dikeluarkan oleh DSN-MUI dan DPS memerlukan DSN-MUI untuk
menentukan atau dimintai persetujuan mengenai keanggotaan DPS
dalam LKS.
DSN-MUI dan DPS juga sangat erat kaitannya dalam hal
pengawasan dalam LKS dimana DSN-MUI sebagai pembuat fatwa
guna mengatur kesyariahan LKS diimbangi dengan DPS yang
berperan secara langsung melihat dan menilai kepatuhan LKS pada
fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dasar pemikiran dan latarbelakang pembentukan DSN-MUI


bertujuan untuk efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi
isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi dan keuangan. Selain
itu, DSN diharapkan dapat berperan sebagai pengawas, pengarah, dan
pendorong nilai-nilai dan prinsip-prinsip ajaran Islam di bidang ekonomi
dan keuangan
DPS merupakan lembaga kunci bahwa kegiatan operasional institusi
keuangan syariah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Merujuk pada Surat
Keputusan Dewan Syariah Nasional Nomor 3 Tahun 2000, bahwa Dewan
Pengawas Syariah (DPS) adalah bagian dari lembaga keuangan syariah yang
bersangkutan dan penempatannya atas persetujuan Dewan Syariah Nasional
(DSN).
Hubungan antara DSN-MUI baik dalam segi pembentukkan,
mekanisme kerja dan tugasnya sebagai lembaga pengawasan sangat erat.
Daftar Pustaka

Masse, Rahman Ambo, Desember 2018, “Dewan Pengawas Syariah dan


Profesionalisme Sumber Daya Manusia”, Jurnal Syariah dan Hukum,
Volume 16, Nomor 2

Sula, Muhammad Syakir, 2004, Asuransi Syariah Konsep dan Sistem


Operasional, Jakarta: Gema Insani

Hadi, Imam Abdul , 2011, “Kedudukan dan Wewenang Lembaga Fatwa


(DSN-MUI) pada Bank Syariah, Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.1,
No.2

Solihin, Ahmad Ifham, 2010, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah,


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Andri, Soemitra, 2009, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta:


Kencana Prenadamedia Group,

Misbach, Irwan “Kedudukan dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah dalam


Mengawasi Transaksi Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia”, Jurnal
UIN Alauddin Makasar,

Wiranti, Ratna, “Peran dan Fungsi MUI DSN dan DPS”, Jurnal Academia

Anda mungkin juga menyukai