Anda di halaman 1dari 18

BAITUL MAAL MASA UMAR IBNU KHATTAB: PERADABAN ISLAM DALAM PENGELOLAAN EKONOMI Oleh: Miftahulhaq

I. PENDAHULUAN Salah satu pilar dalam pembangunan sebuah negara adalah aspek ekonomi. Rostow, seorang ekonom Amerika, pada tahun 1960 menyampaikan teori pertumbuhan ekonomi yang menyatakan bahwa modal (tabungan dan investasi) adalah aspek penting dalam mewujudkan proses modernisasi dan pembangunan yang diajukannya dalam bentuk pertumbuhan pembangunan.1 Teori ini mengasumsikan bahwa bila terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, maka akan terjadi trickle down effect (tetesan rejeki ke bawah). Artinya, melalui pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada modal investasi pengusaha, pembangunan diharapkan tidak hanya dirasakan oleh sebagian orang saja, tetapi juga sampai seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat kecil dan pedesaan. Pada tataran praktek, teori Rostow ini berhasil meningkatkan PDB di negaranegara berkembang secara bertahap. Namun di sisi lain, menimbulkan berbagai persoalan baru dalam kehidupan masyarakat, seperti pengangguran, kemiskinan, migrasi dari desa ke kota, kesenjangan ekonomi, dan sebagainya. Sehingga hal ini menjadi bukti bahwa pembangunan yang mengimplementasikan teori pembangunan kapitalistik tidak menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2001, hal. 55 1

Kritik terhadap teori ini selanjutnya memunculkan konsep negara kesejahteraan (welfare state). Konsep negara kesejahteraan ini merupakan kombinasi antara mekanisme harga dan peranan negara yang lebih besar dalam ekonomi untuk menjamin pertumbuhan ekonomi dan stabilitas serta pemerataan yang lebih besar. Sekilas konsep ini memberikan harapan bagi masyarakat, namun ternyata konsep negara kesejahteraan ini mengalami kesulitan dalam menyeimbangkan antara bagaimana meningkatkan ekonomi melalui mekanisme pasar dan juga memberikan kontribusi pemerataan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.2 Dilema yang muncul adalah apabila pertumbuhan ekonomi lambat, maka negara harus mencoba mengurangi berbagai hal yang tidak memberikan kontribusi bagi negara, dan mendahulukan pembiayaan pada hal yang memberikan kontribusi lebih besar. Kondisi ini selanjutnya akan menghasilkan ketidakseimbangan kehidupan dalam masyarakat. Islam, sebagai agama rahmatan lil alamin, memiliki konsep dan sejarah bagaimana seharusnya sebuah negara dalam melaksanakan pembangunannya, terutama dalam aspek pengelolaan ekonominya. Sebagai agama sempurna, ekonomi dalam Islam adalah inheren dalam kesempurnaanya tersebut. Tujuan ekonomi Islam adalah membawa kepada konsep al-falah (kesejahteraan) di dunia dan akhirat. Hal ini tentunya berbeda dengan ideology kapitalistik yang berorientasi pada kehidupan dunia saja. Praktek pengelolaan ekonomi Islam sesungguhnya telah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Namun pengelolaan modern melalui pembentukan departemen tersendiri baru terjadi pada masa kekhalifahan Umar Ibnu Khattab. Sehingga Baitul Mal atau lembaga keuangan menjadi sejarah peradaban yang pernah dimiliki umat Islam, dan

Chapra, M. Umer, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hal. 21-22 2

terbukti mampu menjadi alat stabilitas dan kemajuan pemerintahan Islam saat itu. Masa kepemimpinan Umar Ibnu Khattab pun diyakini sebagai salah satu tonggak keberhasilan dan kemajuan Islam hingga saat ini.

II. SEKILAS MENGENAI UMAR BIN KHATTAB DAN KEPEMIMPINANNYA Umar bin Khattab (selanjutnya disebut Umar) adalah tokoh paling legendaris yang dimiliki umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW. Umar memiliki kualitas kepribadian yang sulit dicari tandingannya, baik sebagai individu maupun pemimpin umat. Sebagai pribadi, Umar memiliki semua sifat baik dalam dirinya, kepribadiannya sempurna, muslim yang sangat taat yang hatinya dipenuhi nilai-nilai Islam dan direfleksikan dalam setiap detik kehidupannya.Sebagai pemimpin, Umar berhasil meraih sukses yang sulit ditandingi oleh pemimpin-pemimpin lain yang ada sepanjang sejarah manusia, memiliki kecerdasan, keberanian, ketegasan, keadilan, dan cinta kasih.3 Umar bin Khattab (w. 644 M/23 H) adalah putera Nufail ibn Abdil Uzza, ibn Ribaah, ibn Abdillah, ibn Qarth, ibn Razaah, ibn Adiy, bin Kab. Ibunya ialah Hantamah binti Hisyam ibn Al-Mugirah, ibn Abdillah, ibn Umar ibn Makhzum.4 Umar berasal dari suku Bani Adi. Yang sebelum Islam merupakan suku terkenal sebagai suku yang terpandang mulia, megah, dan berkedudukan tinggi.5 Pada masa jahiliyyah Umar dikenal sebagai seorang saudagar, seorang pemberani, yang tidak mengenal takut dan gentar, dan mempunyai ketabahan dan

Aqqad, Abbas Mahmud, Menyusuri Jejak Manusia Pilihan, Umar Bin Khattab, Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003, hal. v
4 5

Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981, hal. 26 Syalabi, A, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1, Jakarta: al-Husna Zikra, 1997, hal. 3

236

kemauan yang keras, yang tiada mengenal bingung dan ragu.6 Dia termasuk seorang bangsawan Quraisy yang selalu diutus ke luar negeri untuk urusan diplomasi. Dia kerap dipilih sebagai perantara apabila terjadi peperangan di antara kabilah Quraisy dengan kabilah lain. Kalaupun terpaksa bertanding kemegahan dan kemuliaan, dia sanggup mempertahankan kemuliaan dan kemegahan kabilahnya.7 Modal inilah yang menjadikan Umar menjadi pemimpin yang berhasil ketika menjadi khalifah yang kedua menggantikan Abu Bakar ash-Ashiddiq. Umar masuk Islam setelah lima tahun Nabi Muhammad SAW berdakwah di Mekkah. Masuknya Umar ke dalam Islam memberikan pengaruh yang signifikan bagi perkembangan dakwah Nabi Muhammad SAW. Karena saat itu, dakwah Islam sangat memerlukan sokongan dan dukungan yang kuat untuk melawan tirani suku Quraisy. Dan masuknya Umar telah menjadikan dakwah Nabi menjadi lebih kuat. Ibnu Atsir meriwayatkan bahwa Abdullah ibnu Masud pernah berkata, Islamnya Umar adalah suatu kemenangan, hijrahnya adalah suatu pertolongan, dan pemerintahannya adalah rahmat. Mulanya kita tidak dapat mengerjakan sholat di rumah kita sendiri, karena takut kepada Quraisy. Tetapi sesudah Umar masuk Islam lalu dilawannya kaum Quraisy itu, sehingga mereka membiarkan kita mengerjakan sholat.8 Umar ditunjuk menjadi khalifah oleh Abu Bakar setelah mendapat masukan dan persetujuan kaum Muslimin saat itu. Pemilihan khalifah kedua ini didasarkan pada pengalaman historis bahwa telah terjadi perbedaan pendapat dan perselisihan antara kaum Muslimin mengenai siapa yang harus menggantikan Nabi Muhammad SAW

6 7 8

Ibid., hal 236 Hamka, Op.Cit, hal. 26 Syalabi, A, Op.Cit, hal. 236 4

setelah beliau wafat. Pengalaman historis ini yang menjadikan Abu Bakar meminta pendapat kaum Muslimin siapa kiranya hak pantas untuk menggantikannya. Ketika nama Umar diajukan maka disetujuilah oleh kaum Muslimin. Piagam penunjukan Umar pun ditulis oleh Abu Bakar sebelum beliau wafat.9 Umar memimpin umat Islam selama 10 tahun, yaitu sejak 13 23 H atau 634 644 M. Selama kemimpinannya banyak sekali kemajuan dan perkembangan peradaban Islam. Selain perluasan wilayah hingga mencapai Irak dan sebagian besar Persia pada akhir jabatannya, Umar pun telah meletakkan dasar dasar pengelolalaan Negara Islam yang modern saat itu. Seiring dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan dan semakin beragamnya persoalan kehidupan umat Islam, Umar pun melakukan berbagai inovasi dalam mengelola pemerintahanya. Dia menyusun dewan-dewan (jawatan-jawatan), di antaranya; 1) Mendirikan Baitul Mal, menempa mata uang, membentuk tentara untuk menjaga dan melindungi tapal batas, mengatur gaji, mengangkat hakim-hakim, mengatur perjalanan pos, menciptakan tahun Hijrah, 2) Mengadakan hisbah (pengawasan terhadap pasar, pengontrolan terhadap timbangan dan takaran, penjagaan terhadap tata tertib dan susila, pengawasan terhadap kebersihan jalan dan sebagainya).Umar pun bukan saja menciptakan peratutan-peraturan baru, tetapi juga memperbaiki dan mengadakan perubahan terhadap peraturan-peraturan yang telah ada, bila kelihatan bahwa peraturan itu perlu diperbaiki dan diubah.10 Ketajaman beliau dalam menggali dasar hukum dari al-Quran, kehati-hatian dalam mengambil sumber dari hadis, kesederhanaan dan keperkasaannya dalam membela Islam membuatnya sangat dikenal dan dikagumi kawan maupun lawan. Ketelitian dan
9

Ibid., hal. 237 238 Ibid., hal. 263 5

10

ketegasannya dalam dalam memutuskan masalah-masalah umat serta sikapnya yang sangat demokratis menjadikan dirinya diakui oleh bangsa Barat sebagai bapak demokrasi. Ketajaman dan keberaniannya dalam berijtihad serta pengaruhnya dalam membangun peradaban dunia menempatkannya dalam deretan salah satu dari seratus tokoh dunia.11

III. SEJARAH PENGELOLAAN BAITUL MAL DAN KONTRIBUSINYA DALAM PERADABAN ISLAM a. Pengertian dan Sejarah Baitul Mal Baitul Mal berasal dari bahasa Arab bait yang berarti rumah, dan al-mal yang berarti harta. Jadi secara etimologis (mana lughawi) Baitul Mal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta. Secara terminologis (istilah), Baitul Mal adalah sebuah departemen tempat penampungan keuangan Negara dan dari sanalah semua kebutuhan keuangan negara akan dibelanjakan.12 Jadi, Baitul Mal dengan makna seperti ini mempunyai pengertian sebagai sebuah lembaga atau pihak yang menangani harta negara, baik pendapatan maupun pengeluaran. Keberadaan Baitul secara historis ada sejak Nabi Muhammad SAW. Munculnya ide Baitul Mal adalah ketika kaum muslimin mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) pada Perang Badar. Pada masa Rasulullah SAW ini Baitul Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Karena saat itu Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta dan harta yang diperoleh belum begitu Qalahji, Muhammad Rawwas, Ensiklopedi Fiqh Umar Bin Khattab, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999, hal. v
12 11

Ibid., hal. 52 6

banyak. Kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagi-bagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka. Bahkan Rasulullah tidak menyimpan hingga sehari semalam, atau dengan kata lain, bila harta itu datang pagipagi, akan segera dibagi sebelum tengah hari tiba. Demikian juga jika harta itu datang siang hari, akan segera dibagi sebelum malam hari tiba. Oleh karena itu, saat itu belum ada atau belum banyak harta tersimpan yang mengharuskan adanya tempat atau arsip tertentu bagi pengelolaannya.13 Keadaan seperti di atas terus berlangsung ketika tahun pertama kekhalifahan Abu Bakar. Kemudian pada tahun Abu Bakar merintis embrio Baitul Mal dalam arti yang lebih luas. Baitul Mal bukan sekedar berarti pihak (al- jihat) yang menangani harta umat, namun juga berarti suatu tempat (al-makan) untuk menyimpan harta negara. Abu Bakar menyiapkan tempat khusus di rumahnya berupa karung atau kantung (ghirarah)

untuk menyimpan harta yang dikirimkan ke Madinah. Pengelolaanya pun diserahkan Abu Ubaidah bin Al Jarrah yang bertugas mewakili beliau dalam mengelola harta Negara.14 Berbeda dengan masa sebelumnya, ketika kekhalifahan Umar Bin Khattab Baitul Mal dikelola dalam sebuah dewan atau departemen khusus. Penyimpanannya pun dilakukan di tempat khusus dengan administrasi yang lebi rapih. Haekal dalam buku Umar bin Khattab menyatakan sebab mengapa Umar memikirkan dan mendirikan Baitul Mal. Dia menyatakan: Disebutkan bahwa Abu Hurairah sekembalinya dari Bahrain ditanya oleh Umar mengenai orang di sana, katanya: Apa yang Anda bawa? Jawab Abu Hurairah: Saya Jati, Sigit Purnawan, Baitul Mal Tinjauan Historis dan Konsep Idealnya, dalam Jurnal MSI-UII.Net - 1/9/2004, diakses tanggal 4 Nopember 2009, pukul 15.38 WIB
14 13

Ibid 7

membawa lima ratus ribu dirham. Umar terkejut, lalu tanya lagi: Sadarkah Anda apa yang Anda katakan? Abu Hurairah mengulangi lagi bahwa dia membawa lima ratus ribu dirham. Umar mengira bahwa bicara orang ini sudah berlebihan sehingga mengulangi lagi pertanyaan itu. Setelah mendengar jawaban yang pertama ia berkata: Rupanya Anda masih mengantuk. Pulanglah dulu dan tidurlah. Besok Anda datang lagi. Keesokan harinya sesudah Abu Hurairah datang lagi dan menegaskan lagi bahwa dia membawa lima ratus ribu dirham, Umar mengumumkan kepada orang banyak bahwa dia datang membawa uang dalam jumlah besar. Kalau kalian mau akan kami hitungkan satu persatu untuk kalian atau akan kami timbang. Salah seorang di antara mereka berkata: Amirulmukninin, saya melihat orang-orang asing membentuk sebuah lembaga keuangan. Sejak saat itu Umar membentuk lembaga keuangan.15

Namun dalam pelaksanaannya Umar tidak serta merta langsung mendirikan Baitul Mal ini. Dia bermusyawarah dahulu dengan para sahabat. Setelah mendengar berbagai argumentasi para sahabat, Umar lebih memilih pendapat Walid bin Hisyam yang berpendapat bahwa di negeri Syam para raja telah membentuk lembaga keuangan dan memobilisasi tentara, sehingga dia mengusulkan kepada Umar untuk membentuk lembaga keuangan dan mengadakan mobilisasi. Berdasar usul ini, Umar mengundang Aqil bin Abi Thalib, Makhramah bin Naufal dan Jubair bin Mutim yang semuanya merupakan ahli nasab dari kalangan Quraisy untuk mencatat orang-orang berdasar urutan kekeluargaan.16 Sejak saat itu berdirilah Baitul Mal yang reguler dan permanen di ibu kota, kemudian dibangun cabang-cabang dan di ibu kota provinsi. Selain sebagai bendahara negara, Baitul Mal juga bertugas sebagai pelaksana kebijakan fiskal dan khalifah adalah yang berkuasa penuh atas dana tersebut. Bersamaan dengan reorganisasi Baitul Mal, Umar mendirikan Diwan Islam yang pertama, yang disebut al-Diwan, sebagai sebuah kantor yang ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiun serta tunjangan lainnya dalam basis yang reguler dan tepat. Khalifah juga menunjukkan sebuah
15

Haikal, Muhammad Husain, Umar bin Khattab, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2003, hal. 672-673
16

Ibid., hal. 673 8

komite yang terdiri dari Nassab ternama untuk membuat laporan sensus penduduk Madinah sesuai dengan tingkat kepentingan dan kelasnya.17 Anggota komite inilah yang bernama Aqil bin Abi Thalib, Makhramah bin Naufal dan Jubair bin Mutim, sebagaimana telah disebut di atas.

b. Pengelolaan Baitul Mal dan Kontribusinya dalam Peradaban Islam Koentjaraningrat menyatakan bahwa kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai kompleks ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kelakukan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Adapun istilah peradaban biasanya dipakai untuk bagian-bagian dari unsur-unsur kebudayaan yang halus dan indah.18 Berdasar pemikiran di atas, Baitul Mal sebagai sebuah pemikiran, nilai, dan peraturan merupakan bagian dari peradaban luhur terkait pengelolaan ekonomi yang lahir dari umat Islam. Di samping itu, pengelolaan ekonomi negara melalui Baitul Mal merupakan bagian dari aktifitas manusia yang mampu menjadikan kehidupan masyarakat dan negara pada saat itu pada tingkat kesejahteraan dan kemajuan yang tinggi. Baitul Mal tidak hanya dapat menjadikan pemerintah Islam yang sangat kuat, tetapi juga mampu menciptakan kehidupan masyarakat dan negara yang adil dan merata dalam bidang ekonomi. Dan karena yang mendorong dan menggerakkan pengelolaan Baitul Mal adalah
17

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008, hal. 102-103 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1986, hal. 5 9
18

ajaran agama Islam, yaitu al-Quran dan al-Hadits, maka Baitul Mal pada masa Umar adalah bagian dari peradaban Islam yang pernah lahir dalam sejarah perkembangan Islam. Hal ini sesuai pendapat H.A.R Gibb yang menyatakan bahwa karena yang menjadi pokok kekuatan dan sebab timbulnya kebudayaan adalah agama Islam, maka kebudayaan yang ditimbulkannya dinamakan kebudayaan atau peradaban Islam.19 Sebagai sebuah lembaga keuangan negara, Baitul Mal memiliki sumber pendapatan dan mekanisme penyaluran yang bersumber pada al-Quran dan Hadits. Baitul Mal menjadi lembaga keuangan yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan kebijakan fiskal yang memiliki peranan penting dalam membangun negara. Dalam sejarah Islam, kebijakan fiskal yang dilakukan oleh Baitul Mal memberikan dampak kesejahteraan kehidupan masyarakat yang tidak hanya meliputi aspek material saja, tetapi juga dalam aspek kebutuhan spiritual. Hal ini dikarenakan kebijakan fiskal yang diterapkan Baitul Mal berorientasi pada pencapaian tujuan syariat Islam sebagaimana dijelaskan Imam Al-Ghazali termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan, dan kepemilikan. Hal inilah yang membedakan dengan kebijakan fiskal dalam ekonomi sekuler, di mana aspek kehidupan spiritual diabaikan.20

Ismail, Faisal, Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan Refleksi Historis, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997, hal. 36 Nasution, Mustafa Edwin, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana, 2007, hal. 203. Dalam ekonomi konvensional kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam pembelanjaan (dalam konsep makro disebut dengan government expenditure) yang bertujuan untuk tercapainya kesejahteraan dalam arti adanya benefit maksimal bagi individu dalam kehidupan. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang mempengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja suatu Negara (APBN). Kebijakan ini bersama dengan kebijakan lainnya seperti: kebijakan moneter dan perdagangan, diperlukan untuk mengoreksi gangguan-ganguan yang menghambat jalannya roda perekonomian. Karena ekonomi konvensional sangat tergantung mekanisme pasar, maka apabila terjadi 10
20

19

Adapun sumber-sumber pendapatan dalam menopang Baitul Mal pada masa Umar didapatkan dari:21 1) Zakat. Zakat secara bahasa berarti berkembang (an-namaau), berarti juga pensucian (tathhir). Sedangkan menurut istilah syara, zakat memiliki dua makna tersebut. Karena dengan mengeluarkan zakat menjadi sebab timbulnya berkah dan bersihnya pada harta. Zakat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh para muzakki. Dalam hal ini, negara wajib memaksa siapa pun yang termasuk muzakki untuk membayarkan zakatnya. Sehingga zakat dapat menjadi ibadah yang berperan dan berdampak ekonomi, yaitu berperan sebagai intsrumen distribusi kekayaan di antara manusia.22 2) Harta Fai. Fai adalah sesuatu yang diambil dari harta orang-orang kafir dengan hak tanpa perang, seperti jizyah, kharaj, sepersepuluh harta perdagangan dan harta yang dibawa seorang duta yang membawa surat untuk pemerintah, harta yang ditinggalkan oleh orang-orang kafir yang lari tunggang langgang karena takut kepada tentara Islam sebelum peperangan dimulai, harta yang ditinggalkan oleh orang yang sudah meninggal dan tidak ada ahli warisnya serta harta karun, dan lain sebagainya, seperti hewan yang tersesat yang bisa menjaga dirinya sendiri seperti unta jika tidak diketahui pemiliknya, barang temuan lainnya yang tidak diketahui pemiliknya dan penemu tidak mau mengambilnya. Adapun banyaknya harta yang wajib diserahkan kepada Baitul

gangguan terhadap jalannya mekanisme pasar, maka diperlukan berbagai macam usaha untuk mengoreksi jalannya perekonomian, agar mekanisme pasar berjalan secara sempurna.
21 22

Qalahji, Muhammad Rawwas, Op. Cit., hal. 52

Sholahuddin, M, Asas Asas Ekonomi Islam, Jakata: PT RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 221-222 11

Mal menurut Umar adalah seperlima (khumus) yang diqiyaskan dengan harta ghanimah (rampasan perang).23 3) Seperlima Harta Rampasan Perang (Ghanimah). Ghanimah adalah harta yang dirampas orang-orang Islam dari tentara kafir dengan jalan berperang. Harta rampasan ini tidak meliputi tanah, tawanan manusia, dan harta yang bisa dipindah-pindah, seperti dirham, pedang, kuda, dan sebagainya, termasuk juga makanan dan minuman. Sedangkan yang termasuk juga ke dalam harta rampasan adalah harta orang-orang Islam yang baru masuk Islam setelah selesai perang dan kemenangan di tangan kaum Muslimin.24 4) Harta-harta lain yang diwajibkan kepada manusia (dharibah). Dharibah adalah sesuatu yang diwajibkan oleh negara atas harta orang-orang atau uang

pokoknya/modalnya. Adapun dharibah yang diwajibkan pada masa Umar adalah zakat, pajak kafir zimmi (jizyah), pajak (kharaj), dan sepersepuluh (usyr).25 Sedangkan dalam aspek distribusi harta Baitul Mal diberikan kepada; 1) delapan ashnaf penerima zakat, 2) pembayaran gaji khalifah, tentara, dan pegawai negeri, 3) jaminan pembunuhan yang tidak diketahui siapa pembunuhnya, dan 4) memberikan nafkah kepada orang yang tidak ada yang memberinya nafkah hidup sehari-hari.26 Sholahuddin memberikan kesimpulan bahwa pemanfaatan kepemilikan harta negara dalam Baitul Mal ditetapkan berdasar enam kaidah, yaitu sebagai berikut: 1) Harta yang menjadi kas tersendiri di Baitul Mal, yaitu harta zakat. Harta tersebut adalah hak orang yang akan dibelanjakan kepada mereka, berdasarkan ada dan
23 24 25 26

Qalahji, Muhammad Rawwas, Op. Cit., hal. 65 Ibid., hal. 83 Ibid., hal. 61-62 Ibid., hal. 52 12

tidaknya. Apabila harta dari kas zakat tersebut ada pada Baitul Mal, maka pembelanjaannya disalurkan pada objek-objeknya, yaitu delapan ashnaf yang disebutkan dalam al-Quran, sebagai pihak yang berhak, dan wajib dibelanjakan pada mereka. Apabila harta tersebut tidak ada, maka kepemilikan orang yang mendapatkan bagian atas harta tersebut telah gugur. Dengan kata lain, apabila di dalam Baitul Mal tidak terdapat harta dari bagian zakat, maka tidak seorang pun dari delapan ashnaf tersebut yang berhak mendapatkan bagian dari zakat tadi. Dan tidak akan dicarikan pinjaman untuk membayar zakat, berapa pun jumlah hasil pengumpulannya. 2) Baitul Mal sebagai pihak yang berhak akibat terjadinya kekurangan, atau untuk melaksanakan kewajiban jihad. Contohnya adalah seperti pembelanjaan untuk para fakir miskin, ibnu sabil, serta keperluan jihad. Hak mendapatkan pembelanjaan untuk keperluan ini tidak ditentukan berdasarkan adanya harta tersebut karena hak tersebut merupakan hak yang bersifat paten, baik ketika hartanya ada maupun tidak, yakni baik harta tersebut ada maupun tidak ada di dalam Baitul Mal. Apabila harta tersebut ada di Baitul Mal maka seketika itu wajib diberikan. Namun bila tidak ada harta tersebut, dan dikhawatirkan akan terjdi kerusakan atau gejolak sosial karena pemberiannya ditangguhkan, maka negara wajib meminjam untuk disalurkan seketika, berapapun hasil pengumpulannya dari kaum Muslimin, dan setelah itu dilunasi. Sedangkan apabila tidak dikhawatirkan terjadinya kerusakan, maka dapat ditunda dan ditunggu hingga ada pengumpulan harta. 3) Baitul Mal sebagai pihak yang berhak karena suatu kompensasi, yaitu adanya harta yang menjadi hak orang-orang yang telah memberikan jasa, lalu mereka diberi upah atas jasanya. Contohnya adalah seperti amirulmukminin, tentara, pegawai negeri, dan

13

sebagainya. Prinsip pelaksanaan hak ini sebagaimana hak yang diberikan akibat terjadinya kekurangan, atau untuk melaksanakan kewajiban jihad di atas. 4) Baitul Mal sebagai pihak yang berhak, dan pembelanjaannya untuk suatu kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai kompensasi apapun. Dengan kata lain, pembelanjaannya diberikan untuk barang, bukan sebagai nilai pengganti harta-harta yang telah dihasilkan. Contohnya adalah semacam jalan utama, air, masjid, rumah sakit, dan hal lain yang dianggap vital, di mana umat akan mengalami penderitaan apabila fasilitas ini tidak ada. 5) Baitul Mal sebagai pihak yang berhak, dan pembelanjaannya diserahkan karena adanya kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai kompensasi apapun. Hanya saja umat tidak sampai tertimpa penderitaan disebabkan tidak adanya pembelanjaan tersebut. Seperti membuka rumah sakit baru padahal yang lama masih cukup layak, dan sebagainya. 6) Hak pembelanjaannya karena ada unsur keterpaksaan, semisal ada peristiwa yang menimpa kaum muslimin, seperti paceklik, gempa bumi, serangan musuh dan sebagainya. Hak mendapatkan pembelanjaan untuk keperluan ini tidak ditentukan berdasarkan adanya harta tersebut karena hak tersebut merupakan hak yang bersifat paten, baik ketika hartanya ada maupun tidak, yakni baik harta tersebut ada maupun tidak ada di dalam Baitul Mal.27 Berdasar praktek kebijakan pengelolaan ekonomi melalui Baitul Mal, umat Islam pada masa Umar mencapai tingkat kesejahteraan (falah) yang sesungguhnya. Pencapaian ini tentunya merupakan perwujudan komitmen Islam yang demikian mendalam terhadap persaudaraan dan keadilan. Kesejahteraan yang diraih tidak hanya bersifat materi atau
27

Sholahuddin, M, Op. Cit., hal. 158-162 14

kepuasan fisik, tetapi juga terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan spiritual sebagai modal pembangunan moral masyarakat.28 Apabila dikaji dari aspek politik, pencapaian kesejahteraan dan kemajuan umat Islam dan masa Umar tidak terlepas dari kebijakan fiskal yang dilakukan oleh khalifah adalah berorientasi pada sikap mengurusi dan melayani umat. Dari berbagai instrumen kebijakan yang dilakukan Baitul Mal, seperti jizyah, kharaj, dan usyr merupakan instrumen yang tidak memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat. Pada saat perekonomian sedang krisis yang membawa dampak terhadap keuangan negara, sehingga menyebabkan warga negara jatuh miskin, maka mereka tidak dikenakan pajak, tetapi justeru negara akan menyantuni mereka dari hasil zakat kaum muslimin yang kaya. Di samping itu, Baitul Mal juga telah mampu memecahkan problematika ekonomi melalui mekanisme distribusi harta dan jasa di tengah masyarakat secara adil.29 Karena, berdasarkan kajian fakta permasalahan ekonomi secara mendalam terungkap bahwa permasalahan distribusi yang tidak adil merupakan penyebab kemorosotan ekonomi suatu masyarakat/negara yang ditunjukkan adanya kesenjangan antara si kaya dan miskin.

IV. PELAKSANAAN BAITUL MAL DI INDONESIA Dewasa ini di Indonesia telah berkembang Baitul Mal sebagai alternatif sumber pembiayaan dan modal bagi masyarakat. Perkembangan Baitul Mal didasari upaya umat Islam untuk kembali berekonomi sesuai syariah dan berkontribusi menanggulangi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Namun Baitul Mal atau BMT ternyata dipahami
28 29

Chapra, M. Umer, Op. Cit., hal. 7-8 Nasution, Mustafa Edwin, dkk, Op. Cit., hal. 204-205 15

secara sempit sebagai lembaga ekonomi privat yang mengurusi sebagian aspek ekonomi umat, seperti wadhiah atau mudharabah. Padahal, Baitul Mal sesungguhnya bukanlah lembaga privat atau swasta, melainkan sebuah lembaga yang mengurusi segala pemasukan dan pengeluaran dari negara Islam (Khilafah).30 Istilah Baitul Mal di Indonesia saat ini lebih banyak dipakai oleh sebuah lembaga khusus (dalam sebuah perusahaan atau instansi) yang bertugas menghimpun dan menyalurkan ZIS (zakat, infaq, shadaqah) dari para pegawai atau karyawannya. Kadang istilah tersebut dipakai pula untuk sebuah lembaga ekonomi berbentuk koperasi serba usaha yang bergerak di berbagai lini kegiatan ekonomi umat, yakni dalam kegiatan sosial, keuangan (simpan-pinjam), dan usaha pada sektor riil.31 Semangat ini pada satu sisi harus diapresiasi secara positif bagi pengembangan ekonomi Islam dan upaya tingkat kesejahteraan umat Islam. Terlebih lagi dengan dukungan pemerintah melalui berbagai kebijakan dan dukungan lain, baik moril maupun materiil. Pada tataran praktis pun, keberadaan Baitul Mal memberikan dampak positif bagi pengembangan usaha kecil menengah dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal yang perlu dibangun adalah bagaimana semangat dari fungsi dan kemanfaatan keberadaan Baitul Mal itu sendiri. Sehingga keberadaannya tidak hanya sebagai simbolis di mana prakteknya masih bertentangan dengan aturan ekonomi Islam. Banyaknya Baitul Mal yang ada harus dikoordinasikan secara baik oleh pemerintah sebagai satu kekuatan alternatif pemberdayaan ekonomi umat. Melalui koordinasi yang ada diharapkan akan terciptanya sinergi antar Baitul Mal dan berorientasi dan berproses
30 31

Jati, Sigit Purnawan, Op. Cit.

Tim DD-FES-BMT, Pedoman Kemitraan Dompet Dhuafa Republika-FES-BMT, Jakarta : Dompet Dhuafa Republika, 1997 16

pada kebijakan yang sama. Upaya ini juga sebagai alternatif langkah politik karena tidak mungkin akan menyelenggarakan Baitul Mal yang dikelola negara sebagaimana masa Umar di negara Indonesia tercinta.

V. PENUTUP Berdasar pemaparan di atas mengenai ide dan proses pelaksanaan Baitul Mal pada masa Umar bin Khattab maka dapat diambil kesimpulan bahwa Baitul Mal pada masa ini merupakan dari peradaban Islam terkait pengelolaan ekonomi. Sebagai suatu hasil kebudayaan maka tidak mustahil hal itu dapat diungkap dan direalisasikan kembali saat ini sebagai sebuah alternatif dari berbagai persoalan sosial ekonomi yang ada. Upaya replikasi Baitul Mal ini juga harus disesuaikan dengan kondisi historis kehidupan masyarakat dewasa ini. Pelaksanaan Baitul Mal yang marak di Indonesia dalam satu sisi patut diberi apresiasi yang positif sebagai bagian pengembangan ekonomi Islam saat ini. Walaupun bersifat privat, namun dalam prakteknya dapat memberi kontribusi positif bagi pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi, terutama dalam sektor riil. Upaya yang perlu saat ini adalah menjaga bagaimana semangat pengelolaan ekonomi Islam tetap terjaga, tidak justeru terjebak pada kegiatan simpan pinjam yang dalam prakteknya tidak jauh berbeda dengan Bank Konvensional. Sehingga Baitul Mal di masa depan dapat berjalan efektif dan berhasil guna bagi mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera sebagaimana dicitakan oleh Islam.

17

DAFTAR PUSTAKA Aqqad, Abbas Mahmud. 2003, Menyusuri Jejak Manusia Pilihan, Umar Bin Khattab, Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri Chapra, M. Umer. 2000, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani Press Fakih, Mansour. 2001, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar Haikal, Muhammad Husain. 2003, Umar bin Khattab, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa Hamka. 1981, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang Ismail, Faisal. 1997, Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan Refleksi Historis, Yogyakarta: Titian Ilahi Press Jati, Sigit Purnawan, Baitul Mal Tinjauan Historis dan Konsep Idealnya, dalam Jurnal MSI-UII.Net - 1/9/2004, diakses tanggal 4 Nopember 2009, pukul 15.38 WIB Koentjaraningrat. 1986, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Nasution, Mustafa Edwin, dkk. 2007, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI). 2008, Ekonomi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Qalahji, Muhammad Rawwas. 1999, Ensiklopedi Fiqh Umar Bin Khattab, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Syalabi, A. 1997, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1, Jakarta: al-Husna Zikra Sholahuddin, M. 2007, Asas Asas Ekonomi Islam, Jakata: PT RajaGrafindo Persada Tim DD-FES-BMT. 1997, Pedoman Kemitraan Dompet Dhuafa Republika-FESBMT, Jakarta : Dompet Dhuafa Republika

18

Anda mungkin juga menyukai