Anda di halaman 1dari 7

SISTEM PENGELOLAAN ZAKAT PADA MASA PEMERINTAHAN

KHULAFAUR RASYIDIN

Erriza Aidatul C.

(33020180098)

Pendahuluan

Para ulama berbeda pendapat tentang waktu disyariatkan zakat. Ibnu


Khuzaimah memprediksi bahwa zakat mulai diwajibkan ketika Rasulullah
‫ ﷺ‬masih bermukim di Mekah, sebelum umat muslim hijrah ke
Habasyah. Mayoritas ulama berpendapat bahwa syariat zakat diterapkan pasca
hijrahnya umat muslim ke Madinah. Imam al-Nawawi mengatakan bahwa hal itu
terjadi pada tahun kedua Hijriyah. Ibnu Asir berpendapat tahun kesembilan Hijriyah.
Akan tetapi, pendapat terkuat adalah bahwa syariat zakat dimulai pada tahun kedua
Hijriyah. Harta yang wajib dizakati pada masa Rasulullah ‫ ﷺ‬terbatas
pada emas dan perak, hewan ternak, dan tumbuh-tumbuhan. Jenis zakat lain yang
diwajibkan adalah zakat fitrah, zakat barang tambang dan zakat aset perniagaan.

Sistem pengelolaan zakat pada masa Rasulullah ‫ ﷺ‬masih manual,


yaitu pembayaran dilakukan di hadapan Rasulullah ‫ ﷺ‬atau amil yang
ditunjuk dan diperintahkan untuk membagikannya kepada delapan kelompok
penerima zakat secara langsung. Zakat yang dikontrol oleh negara pada masa
Rasulullah ‫ ﷺ‬hanya zakat pertanian atau perkebunan saja. Adapun jenis
zakat lain, umat Islam mengelola zakat tersebut secara individu dan berdasarkan
inisiatif atau kesadaran sendiri. Ada sekitar 25 amil zakat yang khusus ditunjuk oleh
Rasulullah ‫ ﷺ‬pada masa itu dan amil tersebut yang mendistribusikan
zakat ke daerah kewenangannya masing-masing. Distribusi zakat masih bersifat lokal.
Artinya, jika zakat dikumpulkan dari daerah Madinah, distribusinya hanya sebatas
kota Madinah. Pendapatan zakat tidak dapat dipakai untuk membiayai pengeluaran
negara.1

Persyariatan zakat tampak seiring dengan upaya pembinaan tatanan sosial


yang baru dibangun oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬setelah hijrah ke Madinah,
apabila di Mekkah bangunan keislaman terfokus pada bidang aqidah, qashah, dan
1
Mayyadah, Praktik Manajemen Zakat Perspektif Hukum Islam (Analisis Komparatif Fikih Klasik dan Fikih
Kontemporer), Mazahibuna (Vol.1 No.1, 2019) hlm.44-45
akhlaq. Maka keberadaan Rasulullah ‫ ﷺ‬di Madinah, dilakukan
pembangunan dalam segala bidang di luar hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya,
di periode Madinah ditunjukkan bangunan Mu’amalat yang konteksnya luas dan
menyeluruh, salah satunya adalah di bidang perekonomian, Rasulullah ‫ﷺ‬
tercatat membentuk Baitul Maal yang dimaksudkan untuk pengumpulan dan
pendistribusian zakat, dimana amil sebagai pegawai pengelolanya.2

Rumusan Masalah

Setelah mengetahui sejarah disyariatkannya zakat, menjadi pertanyaan tentang


bagaimana sistem pengelolaan zakat yang berjalan pasca wafatnya Rasulullah
‫?ﷺ‬. Dengan demikian, akan dibahas sistem pengelolaan zakat pasca
wafatnya Rasulullah, khususnya pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidiin,

Pembahasan

Setelah wafatnya Rasulullah ‫ﷺ‬, bermunculan kabilah-kabilah


yang menunjukkan keengganan untuk membayar zakat, bahkan terang-terangan
menolak untuk membayarkannya, dengan dalih bahwa zakat merupakan perjanjian
mereka dengan Rasulullah ‫ﷺ‬, sehingga dengan wafatnya beliau gugurlah
kewajiban tersebut.

1. Abu Bakar Ash-Shiddiq


Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai ditunjuk sebagai khalifatur-rasulullah yang
pertama. Dikarenakan munculnya beberapa kabilah yang menolak menunaikan
kewajibannya untuk membayar zakat, mereka dianggap sebagai orang yang murtad,
bahkan Khalifah Abu Bakar RA lah yang pertama memutuskan untuk memerangi
mereka. Perang tersebut dikenal sebagai Harbu Riddah, atau perang melawan
kemurtadan. Perang ini tercatat sebagai perang pertama di dunia yang dilakukan
sebuah Negara demi membela hak kaum miskin atas orang kaya.3
Pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq, hukuman bagi yang tidak membayar
zakat adalah diperangi hal itu berdasarkan hasil musyawarah dengan para sahabat
yang lain, yaitu memutuskan untuk memerangi kelompok tersebut melalui apa yang
disebut sebagai perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Penetapan hukuman

2
Modul Penyuluhan Zakat, (Jakarta : Kementrian Agama Republik Indonesia, 2013) hlm.19
3
Ibid., hlm.21
tersebut demi memaksimalkan pengumpulan zakat dari kalangan mampu yang
enggan membayar zakat kepada kalangan tidak mampu.
Selama pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, harta Bait Al-Māl tidak pernah
menumpuk dalam jangka waktu yang lama, karena langsung didistribusikan kepada
seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq wafat, hanya
ditemukan 1 dirham dalam perbendaharaan Negara. Seluruh kaum Muslimin
diberikan bagian yang sama dari hasil pendapatan negara. Apabila pendapatan
meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada
seorang pun yang dibiarkan dalam kemiskinan.4
Beberapa langkah pengelolaan zakat yang diterapkan pada masa pemerintahan
Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, adalah sebagai berikut :
a. Menegakan hukum dengan memerangi mereka yang tidak mau membayar
b. Tidak merubah kebijakan Rasullah SAW dalam masalah jizyah.
Sebagaimana Rasullah ‫ﷺ‬, Abu Bakar tidak membuat
ketentuan khusus tentang jenis dan kadar jizyah , maka pada masanya,
jizyah dapat berupa emas, perhiasan, pakaian, kambing, onta, atau benda
benda lainya
c. Memperhatikan akurasi penghitungan Zakat. Hasil penghitungan zakat
dijadikan sebagai pendapatan negara yang disimpan dalam Baitul Maal
dan langsung di distribusikan seluruhnya pada kaum Muslimin.5
2. Umar ibn Khattab
Salah satu, ciri khas utama pengelolaan zakat pada masa pemerintahan
Khalifah Umar bin Khattab adalah, dengan diberdirikannya Baitul Maal, beberapa
kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan Baitul Maal, adalah :
a. Khalifah Umar mengambil inisiatif tentang penggunaan dana Baitul Maal
tersebut untuk tidak mendistribusikan harta Baitul Maal, tetapi disimpan
sebagai cadangan, baik untuk keperluan darurat, pembayaran gaji para
tentara maupun berbagai kebutuhan umat lainnya.
b. Membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif tidak boleh turut campur
dalam mengelola harta Baitul Maal.
c. Pejabat Propinsi yang bertanggung jawab terhadap harta umat tidak
bergantung kepada Gubernur dan mereka mempunyai otoritas penuh
4
Abdul Wahab, Alokasi Belanja Negara (Studi Komparasi Era Rasulullah dan Khulafaurrasyidin dengan Era
Pemerintahan Joko Widodo Periode 2014-2019), Wahana Islamika (Vol. 5 No.2,2019) hlm.77
5
Ibid., hlm.78
dalam melaksanakan tugasnya serta bertanggung jawab langsung kepada
pemerintah pusat

Selain itu, Khalifah Umar juga mengklasifikasikan pendapatan dan


pendistribusian pendapatan, menjadi 4 macam, yaitu :

a. Pendapatan zakat dan ‘usyr. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat


lokal. Dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut di simpan di Bait
Al-Māl pusat dan dibagikan kepada delapan ashnaf, seperti yang telah
ditentukan dalam Al-Qur’an.
b. Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada
para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa
membedakan apakah ia seorang Muslim atau bukan. Dalam sebuah
riwayat, di perjalanan menuju Damaskus, Khalifah Umar bertemu dengan
seorang Nasrani yang menderita penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut,
Khalifah Umar segera memerintahkan pegawainya agar memberikan dana
kepada orang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah dan
makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
c. Pendapatan kharaj, fai’, jizyah, ‘usyr (pajak perdagangan), dan sewa
tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana
bantuan serta untuk menutupi biaya operasional administrasi, kebutuhan
militer, dan sebagainya.
d. Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para
pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya6
Umar bin Khattab RA dikenal sebagai salah satu sahabat Rasulullah
‫ ﷺ‬yang menetapkan suatu hukum berdasarkan realitas sosial. Di antara
ketetapan Umar RA. adalah menghapus zakat bagi golongan mu’allaf, enggan
memungut sebagian ‘usyr (zakat tanaman) karena merupakan ibadah pasti,
mewajibkan kharraj (sewa tanah), menerapkan zakat kuda yang tidak pernah terjadi
pada masa Nabi Muhammad ‫ﷺ‬.
Tindakan Umar bin Khattab menghapus kewajiban zakat pada mu’allaf, bukan
berarti mengubah hukum agama dan mengenyampingkan ayat-ayat al-Qur’an. Ia
hanya mengubah fatwa sesuai dengan perubahan zaman yang jelas berbeda dari
zaman Rasulullah ‫ﷺ‬.
6
Ibid., hlm.78-79
Sementara itu Khalifah Umar tetap membebankan kewajiban zakat dua kali
lipat terhadap orang-orang Nasrani Bani Taglab, hal ini disebut zakat muda‘afah.
Zakat muda‘afah itu adalah terdiri dari jizyah (cukai perlindungan) dan beban
tambahan. Jizyah sebagai imbangan kebebasan bela negara, kebebasan Hankamnas,
yang diwajibkan kepada warga negara muslim. Sedangkan beban tambahannya adalah
sebagai imbangan zakat yang diwajibkan secara khusus kepada umat Islam. Umar bin
Khattab tidak merasa ada yang salah dalam menarik pajak atau jizyah dengan nama
zakat dari orang-orang Nasrani karena mereka tidak setuju dengan istilah jizyah
tersebut.7
3. Usman ibn ‘Affan

Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah Utsman bin Affan mendelegasikan


kewenangan menaksir harta yang dizakati dari berbagai gangguan dan masalah dalam
pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat. Di
samping itu, Khalifah Utsman berpendapat bahwa zakat dikenakan terhadap harta
milik seseorang setelah dipotong seluruh utang-utang yang bersangkutan. Ia juga
mengurangi zakat dari dana pensiun.8

Pengelolaan zakat pada masa Usman dibagi menjadi dua macam:

a. Zakat al-amwal az-zahirah (harta benda yang tampak), seperti binatang


ternak dan hasil bumi, dan zakat kategori ini dikumpulkan oleh negara
b. Zakat al-amwal al-batiniyah (harta benda yang tidak tampak atau
tersembunyi), seperti uang dan barang perniagaan, sedangkan zakat
kategori kedua ini, diserahkan kepada masing-masing individu yang
berkewajiban mengeluarkan zakatnya sendiri sebagai bentuk self-
assessment.9
4. ‘Ali ibn Abi Talib
Situasi politik pada masa kepemimpinan Khalifah Ali ibn Abi Talib ra.
berjalan tidak stabil, penuh peperangan dan pertumpahan darah. Akan tetapi, Ali ibn
Abi Talib ra. tetap mencurahkan perhatiannya yang sangat serius dalam mengelola
zakat. Ia melihat bahwa zakat merupakan urat nadi kehidupan bagi pemerintahan dan
agama.
7
Faisal, Sejarah Pengelolaan Zakat di Dunia Muslim dan Indonesia (Pndekatan Teori Investigasi-Sejarah
Charles Peirce dan Defisit Kebenaran Lieven Boeve), Analisis (Vol. XI, No.2, 2011), hlm.249
8
Abdul Wahab, Op. Cit., hlm.83
9
Faisal, Loc. Cit.
Ketika Ali ibn Abi Talib ra. bertemu dengan orang-orang fakir miskin dan
para pengemis buta yang beragama non-muslim (Nasrani), ia menyatakan biaya hidup
mereka harus ditanggung oleh Baitul Mal. Khalifah Ali ibn Abi Talib ra. juga ikut
terjun langsung dalam mendistribusikan zakat kepada delapan ashnaf (delapan
golongan yang berhak menerima zakat). Harta kekayaan yang wajib zakat pada masa
Khalifah Ali ini sangat beragam. Jenis barang-barang yang wajib zakat pada waktu
itu berupa dirham, dinar, emas dan jenis kekayaan apapun tetap dikenai kewajiban
zakat.10
Beberapa kebijakan moneter yang diterapkan pada masa pemerintahan Ali ibn
Abi Thalib antara lain:
a. Kebijakan moneter di masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib meneruskan
kebijakan yang diterapkan pada masa pemerintahan Rasulullah
b. Pada umumnya mata uang yang digunakan adalah dinar dan dirham,
namun pada masa pemerintahannya, Khalifah Ali ibn Abi Thalib membuat
gagasan baru, yaitu mencetak mata uang sendiri.
c. Terobosan Ali ibn Abi Thalib di bidang moneter yang sangat monumental
adalah mencetak mata uang dinar yang mempunyai ciri khusus tidak
meniru dinar romawi.
Selanjutnya, dalam bidang fiskal, khususnya dari segi pemasukan kas Negara,
Khalifah Ali ibn Abi Thalib menetapkan pajak pemilikan hutan sebesar 4000 dirham
dan mengijinkan Ibnu Abbas, yang pada saat itu merupakan Gubernur di Kuffah,
untuk memungut zakat atas sayuran segar yang akan digunakan sebagai bumbu
masakan.11
Kesimpulan
Terdapat beberapa kebijakan yang menampakkan perbedaan pada sistem
pengelolaan zakat pada masa khulafaurrasyidin. Pada masa pemerintahan Abu Bakar,
terlihat ketegasan dalam menindak kelompok-kelompok yang enggan membayar
zakat, menjadi kesepakatan adalah untuk memerangi kelompok-kelompok tersebut,
inilah yang kemudian dikenal sebagai harbu riddah.
Adapun pada masa Umar ibn Khattab, tentu identic dengan perombakan dalam
hal kepengurusan Baitul maal, yang kemudian diketahui adanya klasifikasi
pendapatan negara berikut dengan pengklasifikasian pendistribusian keuangan negara.

10
Ibid., hlm.249-250
11
Abdul Wahab, Op.Cit., hlm.83-84
Selain itu, Khalifah Umar juga menghapuskan mu’allaf dari golongan mustahiq,
mu’allaf yang dimaksud adalah yang mampu dan memiliki harta.
Pada masa Khalifah Usman ibn ‘Affan diketahui bahwa warga negara diberi
kewenangan dalam hal zakat al-amwal al-bathiniyyah. Sedangkan dalam hal zakat al-
amwal azh-zhahiriyyah pengumpulan dan pendistribusiannya dikelola oleh negara.
Sedangkan pada masa pemerintahan Khalifah Ali ibn Abi Thalib, kebijakan
paling monumental adalah dicetaknya uang dinar, yang berbeda dengan dinar romawi,
serta memberikan izin kepada Gubernur Kuffah, Ibnu Abbas, untuk memungut zakat
atas sayuran segar yang digunakan sebagai bumbu masakan.

Referensi

Faisal. (2011). Sejarah Pengelolaan Zakat di Dunia Muslim dan Indonesia (Pndekatan
Teori Investigasi-Sejarah Charles Peirce dan Defisit Kebenaran Lieven Boeve). Analisis,
Vol.XI No.2.

Mayyadah. (2019). Praktik Manajemen Zakat Perspektif Hukum Islam (Analisis


Komparatif Fikih Klasik dan Fikih Kontemporer). Mazahibuna, Vol. 1 No.1.

Modul Penyuluhan Zakat. (2013). Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia.

Wahab, A. (2019). Alokasi Belanja Negara (Studi Komparasi Era Rasulullah dan
Khulafaurrasyidin dengan Era Pemerintahan Joko Widodo Periode 2014-2019). Wahana
Islamika, Vol.5 No.2.

Anda mungkin juga menyukai