Anda di halaman 1dari 57

KHARAJ JIZYAH DHARIBAH &USHUR

PROPOSAL

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih2 Yang Diampu Oleh H. Moh. Irfan, M.HI

Disusun oleh :
Novanya Agung Wulandari (201904010054)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAM ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS DARUL ‘ULUM
JOMBANG
2021

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas rahmat dan hidayahnya kami dapat menyusun sebuah Proposal yang membahas tentang

“KHARAJ JIZYAH DHARIBAH & USHUR ”.

Selanjutnya salawat dan salam kami kirimkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW

sebagaimana beliau telah mengangkat derajat manusia dari alam kegelapan menuju alam

yang terang benderang.

Kami haturkan Terimaksih yang mendalam kepada Bapak H. Moh. Irfan, MHI ,

dengan bimbingan beliau kami dapat menyelesaikan proposal ini.Dalam penulisan proposal,

kami memberikan sejumlah materi yang terkait dengan materi yang disusun secara langkah

demi langkah, agar mudah dan cepat dipahami oleh pembaca.

Kami juga mengharapkan agar makalah ini dapat dijadikan pedoman apabila,

pembaca melakukan hal yang berkaitan dengan makalah ini, karena apalah gunanya kami

membuat makalah ini apabila tidak dimanfaatkan dengan baik.

Sebagai manusia biasa tentu kami tidak dapat langsung menyempurnakan makalah ini

dengan baik, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya

membangun dari dosen pembimbing mau pun pembaca.

Jombang, 4 Desember 2021


Penulis,

Novanya Agung Wulandari

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i


KATA PENGANTAR.................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii

BAB I : PENDAHULUAN
A. LatarBelakangMasalah.................................................... 4
B. Batasan Masalah.............................................................. 7
C. RumusanMasalah............................................................. 7
D. Tujuanpenelitian.............................................................. 7
E. Manfaatpenelitian............................................................ 8
F. SistematikaPembahasan................................................... 9

BAB II : PEMBAHASAN
A. Pajak Dalam Pandangan Islam……….....……………... 10
B. Kharaj………...........................................……………... 10

C. Jizyah.....................................................…………….…. 20
D. Dharibah………………………………………………... 30
E. Ushur................................................................................ 40

BAB III : KESIMPULAN


A. Saran................................................................................. 50
B. Kesimpulan....................................................................... 50

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 51

3
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seperti halnya zakat yang merupakan rukun Islam, umat Islam sejak abad pertama hijriyah
sebenarnya telah mengenal bahasa pajak dengan sebutan kharraj (pajak hasil bumi atau
bangunan). Sedangkan pajak dengan pengertian umum disebut dharibah yangdalam bahasa
Inggrisnya di kenal dengan Tax. Dalam Islam Pajak terdiri dari Kharraj, Usyur atau lebih
dikenl dengan pajak perdagangan/bea cukai dan jizyah yaitu pajak yang dikenakan terhadap
non muslim yang hidup di dalam nungan Negara/pemerintah Islam. Dengan demikian apabila
ada pendapat yang menyatakan bahwa pajak tidak ada dalam Islam maka pandangan tersebut
memiliki landasan yang lemah. Pajak dan Zakat memang sesuatu hal yang berbeda. Tetapi
membayar pajak yng oleh Negara dibebankan pada setiap warganya, bukan sekedar
keboloehan, melainkan suatu kewajiban. Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa sebab yang
pertama adalah bahwa taat pada ulil amri adalah suatu kewajiban dengan catatan bahwa ulil
amri tersebut adalah taat pada ajaran agama Islam. Seandainya 2 pemerintah mewajibkan
pajak, maka sebagai warga Negara kita harus mentaatinya. Kedua, solidaritas kita sesama
muslim dan sesame manusia dalam kebaikan dan ketaqwaan adalah suatu kewajiban.
Danapajak hrus digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum dan menyeluruh
seperti misalnya pendidikan, rumah sakit, sarana transportasi, infrastruktur dan lainnya, maka
wajib hukumnya kita untuk membayar pajak.2 Dalam Al-quran tidak ada ayat yang secara
khusus menyebutkan tentang zakat. Di dalam Al-Quran hanya menerangkan kewajiban
berzakat, namun hal tersebut tidak berarti bahwa kita tidak wajib membayar pajak, berangkat
dari hal tersebut maka usuliyin menetapkan sebuah kaidah untuk dijadikan landasan dalam
penarikan pajak. Pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 mengenai
Perubahan Ke empat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum
dan tata cara perpajakan, pada pasal satu ayat satu menyebutkan bahwa pajak adalah
kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan Imbalan secara langsung
dan diguynakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.3
Sedangkan menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, pajak adalah iuran rakyat kepada kas
negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) 2 Sri Andriani, Pajak Zakat
Sebagai Pengurang Pajak Penghasilan Pada Badan Amil Zakat, JRAK Vol, 4 no. 1 Februari
2013, hlm. 13-32 3 Mardiasmo, Perpajakan, (Yogyakarta:Penerbit Andi, 2016), hlm, 3. 3
dengan tidak mendapatkan jasa timbul (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.4 Dengan demikian, pajak merupakan
salah satu penghasilan uang negara terbesar di Indonesia jika seluruh warga taat dalam
membayar pajak. Namun hal ini menjadi persoalan karena Indonesia menganut sistem self
assessment dalam penarikan pajak. Self assessment system adalah sistem pemungutan pajak
yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang. Ciri-ciri self assessment system antara lain wewenang untuk menentukan besarnya
pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri, kemudian wajib pajak aktif mulai dari
menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Yang terakhir fiskus
tidak ikut campur dan hanya mengawasi.5 Dalam sistem self assesment terdapat pemberian

4
kepercayaan terhadap wajib pajak untuk melakukan sendiri kewajibannya dalam perpajakan
seperti, mendaftarkan diri, menghitung, menyetor dan melaporkan pajak terutangnya. Pada
sistem Self assesment ini akan diberikan sanksi yang berat jika wajib pajak tidak
melaksanakan kewajibannya. Seperti denda pajak, pidana pajak dan sebagainya. Dalam Self
Assesmentsistem ini terdapat keunggulan yaitu dapat meminimalisir dana operasional, tenaga
dan waktu petugas pajak. Setiap wajib pajak diharuskan patuh terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku, akan tetapi karena di Indonesia menggunakan self assessment
system, 4 Ibid 5 Ibid, hlm. 9 4 masih banyak terjadi ketidaksesuaian dan juga penyimpangan
dalam prakteknya, baikitu disengaja maupun tidak disengaja oleh wajib pajak. Dalam
prakteknya penerapan self assessment systemini tidak hanya menuntut keikutsertaan aktif
wajib pajak dalam menyelenggarakan perpajakannya tetapi juga membutuhkan kepatuhan
wajib pajak yang tinggi, jika demikian maka penerimaan pajak akan maksimal dan hal ini
akan berpengaruh terhadap penerimaan negara yang juga akan semakin besar. Namun, dalam
kenyataannya belum semua potensi pajak yang ada dapat digali. Dikarenakan masih banyak
para Wajib Pajak yang belum memiliki kesadaran akan pentingnya pemenuhan kewajiban
perpajakan baik bagi kemajuan negara maupun bagi mereka pribadi sebagai warga negara
yang baik.6 Sejak tahun 1983, pemerintah Indonesia menggunakan system self assessment,
tentunya hal ini sangat menguntungkan bagi para wajib pajak, karena wajib pajak sendiri
yang melaporkan dan membayarkan sendiri jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada
kantor pelayanan pajak, namun kemudian hal ini menjadi sebuah permasalahan, yaitu apakah
wajib sudah benar-benar jujur dalam melaporkan jumlah pajak yang harus dibayarnya, karena
pada dasarnya tidak ada orang yang rela untuk membayar pajak. Dibutuhkan pemahaman
yang baik terhadap pentingnya membayar pajak, agar kemudian orang menjadi rela untuk
membayarkan pajak tanpa merasa dirinya terpaksa. 6 Fika Agusti. Pengaruh Tingkat Dan
Kepatuhan Wajib Pajak Badan terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak yang Dimoderasi
oleh Pemeriksaan Pajak pada KPP Pratama. Jurnal pada Simposium Akuntansi Nasional 12,
2008 5 Dalam beberapa tahun ini, pajak telah menjadi topic utama karena posisinya yang
sangat penting untuk kemajuan Negara ini. Pemerintah membutuhkan dana yang cukup besar
untuk membiayai berjalannya roda pemerintahan dan pembangunan disegala bidang, jumlah
dana yang dibutuhkan dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan perkembangan
jaman dan kebutuhan masyarakat. Kemudian pada tahun 1983 diadakan sebuah reformasi
pajak, masyarakat ditempatkan ditempatkan pada posisi utama dalam pelaksanaan
pembayaran pajak, sedangkan pemerintah memfungsikan dirinya sebagai pengawas, Pembina
serta penyedia fasilitas saja. Namun dalam pelaksanaannya, hal ini menyebabkan
penyelewengan yang dilakukan oleh para wajib pajak. Para wajib pajak akan berusaha untuk
menekan pembayaran pajaknya, karena hal ini dapat menurunkan perekonomiannya.
Sedangkan pemerintah berusaha menarik pajak secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan
pemerintahan dan pembangunan. Para wajib pajak tentunya harus mendapatkan pengawasaan
yang ketat dari pihak pegawai pajak, agar tidak ada penyimpangan terhadap setoran pajak.
Kelemahan self assessment system yang memberikan kepercayaan pada Wajib Pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutang dalam
praktiknya sulit berjalan sesuai dengan yang diharapkan, bahkan disalahgunakan.7 Hal ini
dibuktikan oleh banyaknya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh wajib pajak yang
menyebabkan 7 Tarjo dan Indra Kusumawati..Analisa Perilaku Wajib Pajak Orang Pribadi

5
Terhadap Proses Pelaksanaan Self Assessment System : Suatu Studi Di Bangkalan. Skripsi
Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoy, 2006 6 tungakan pembayaran pajak dan
mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak seperti yang sudah dijelaskan di atas. Abu
Yusuf merupakan fuqaha pertama yang memilki buku (kitab) yang secara khusus membahas
masalah ekonomi. Kitabnya yang berjudul Al-Kharaj, banyak membahas ekonomi publik,
khususnya tentang perpajakan dan peran negara dalam pembangunan ekonomi. Kitab ini
ditulis atas permintaan Khalifah Harun ArRasyid untuk pedoman dalam menghimpun
pemasukan atau pendapatan negara dari kharaj, usyur, zakat, dan jizyah. Kitab Al-Kharaj
mencakup berbagai bidang antara lain: tentang pemerintahan, keuangan negara, pertanahan,
perpajakan, dan peradilan. 8 Menurut Abu Yusuf, tugas utama penguasa adalah mewujudkan
serta menjamin kesejahteraan rakyatnya. Ia selalu menekankan pentingnya memenuhi
kebutuhan rakyat dan mengembangkan berbagai proyek yang berorientasi kepada
kesejahteraan umum. Seperti halnya dalam pengadaan insfrastruktur. Abu Yusuf menyatakan
bahwa Negara bertanggung jawab untuk memenuhinya agar dapat meningkatkan
produktivitas tanah, kemakmuran rakyat serta pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya ia
berpendapat bahwa semua biaya yang dibutuhkan bagi pengadaan proyek publik, seperti
pembangunan tembok dan bendungan, harus ditanggung oleh Negara. Selanjutnya ia
menegaskan bahwa jika proyek tersebut 8Muhammad Fauzan, Konsep Perpajakan Menurut
Abu Yusuf,Jurnal HUMAN FALAH: Vol 4. No. 2, Juli – Desember 2017 7 hanya
menguntungkan satu kelompok tertentu, maka biaya proyek akan dibebankan kepada mereka
sepantasnya.9 Dalam hal perpajakan, Abu Yusuf telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas
beabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canon of taxation.
Kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak, dan
sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak merupakan beberapa prinsip yang
ditekannya10Abu Yusuf sangat menekankan pengawasan yang ketat terhadap para pemungut
pajak, guna menghindari terjadinya penyelewengan seperti korupsi, tindak penindasan, dan
lain sebagainya. Ia menganggap bahwa penghapusan penindasan dan jaminan kesejahteraan
rakyat adalah sebagai tugas utama penguas.11 Jika Indonesia menggunakan system self
assessment dalam penarikan pajak, maka sebelumnya Abu Yusuf telah lebih dulu
menggunakan system qabalah, namun system ini dilarang oleh Abu Yusuf karena akan
menimbulkan kezhaliman dimasyarakat. System qabalah memungkinkan terjadinya
kebocoran pajak seperti halnya self assessment yang digunakan di Indonesia, para wajib
pajak dapat menurunkan jumlah pajak yang harus disetorkan ke pemerintah. . Dalam berbagai
uraian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut bagaimana aplikasi dari
pemikiran Abu Yusuf terhadap sistem perpajakan di Indonesia tersebut terutama dalam
system yang digunakan oleh Abu Yusuf. 9 Martina Nofra Tilopa, Pemikiran Ekonomi
AbuYusuf dalam kitab Al-Kharrāj, Journal Al- Intaj, Vol. 3, No. 1, Maret 2017 10 Boedi
Abdullah,Peradaban dan Pola Pemikiran Ekonomi Islam.(Bandung: Pustaka Setia), 2010,
hlm.157 11Abu Yusuf, Kitab Al-Kharaj. (Kairo: Al-Matba’ah as-Salafiyah),1302 H, hlm. 132

B. Fokus Bahasan/Pembatasan Masalah


Dari bergagai uraian diatas, maka dapat dilihat beberapa permasalahan dan focus
penelitian yang akan peneliti bahas, yaitu yang berkaitan dengan system perpajakan yang

6
diteorikan oleh Abu Yusuf dalam kitab al-Kharrāj dan aplikasinya didalam perpajakan di
Indonesia. Penbahasan ini berfokus pada:
a. SistemKharaj(Cukai Tanah)
b. Sistem Jizyah(Perpajakan)
c. Dharibah(Pajak)
d. Ushur(Bea Cukai)

C. RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi serta pembatasan masalah tersebut di atas, maka
dapat dirumuskan pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana SistemKharaj?
b. Bagaimana Sistem Jizyah(Perpajakan)?
c. Bagaimana Sistem Dharibah(Pajak)?
d. Bagaimana Sistem Ushur(Bea Cukai)?

D. Tujuan
Tujuan dari sebuah penelitian tokoh sesungguhnya untuk mencapai sebuah pemahaman
yang komprehensif tentang pemikiran, gagasan, konsep dan teori.12 Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah:
a. Untuk mendeskripsikan self assessment system yang dianut oleh Negara Indonesia
dalam penarikan pajak.
b. Mendeskripsikan implikasi pemikiran abu yusuf terhadap sistem self assessment yang
dianut oleh negara Indonesia

E. Manfaat
Manfaat Teoritis Memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu ekonomi Islam khususnya
dalam bidang perpajakan. b. Manfaat Praktis 1) Bagi lembaga atau instansi, sebagai sarana
untuk memperluas wawasan keilmuan serta meningkatkan kinerja terutama yang terkait
dengan perpajakan. 2) Bagi peneliti, karya ini sebagai sarana pembelajaran dalam pembuatan
karya ilmiah mengenai kajian tokoh.

F. Sistematika Pembahasan
Sebagaimana telah dikemukakan dalam latar belakang masalah, maka untuk mendukung
penelaahan yang lebih komprehensip penulis berusaha untuk melakukan kajian terhadap
topik yang akan diteliti. Sebagai rujukan bahwa tesis ini belum pernah diteliti, penulis
memaparkan beberapa hasil penelitian antara lain: Pertama, penelitian yang berjudul
Management Zakat Pasca KebijakanPemerintah Tentang Zakat PengampunPajak; yang
ditulis oleh Uzaifah Vol 4 No.1 tahun 2004, metode yang digunakan yaitu deskriptif dan
interpretatif, hasil dari penelitian ini adalah bahwa kebijakan pemerintah telah diterapkan
dalam organisasi administrasi zakat, dan kantor pelayanan pajak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, management zakat tidak berubah setelah hal ini dibandingkan sebelum
kehadirannya.13 Kedua, penelitian yang berjud Sinkronisasi Konsep Pemungutan Pajak
Penghasilan Orang Pribadi dan Zakat Profesi Sebagai Alternatif Solusi Meningkatkan
Efektifitas pungutan (Studi di KPP Malang Utara dan Kantor Rumah Zakat

7
Malang).Penelitian ini didasarkan pada kerancuan sistem pemungutan pajak penghasilan
(Pph) dan zakat profesi yang menyebabkan belum sepenuhnya membuat zakat dan pajak ini
saling menggantikan. Focus penelitian ini adalah gambaran umum konsep pemungutan pajak
penghasilan orang pribadi dan zakat profesi di kota Malang, model dan cara pemungutan
pajak penghasilan orang pribadi dan zakat profesi di kota malang implementasi model dan
cara pemungutan pajak orang pribadi dan efektifitas pemungutannya. Hasil penelitian ini
adalah sinkronisasi konsep pemungutan pajak orang pribadi dan zakat profesi dapat menjadi
alternative solusi dalam meningkatkan efektifitas dengan memisahkan keduannya, dimana
dengan hal ini pemungutan pajak sedangkan untuk pemungutan zakat profesi dikelola oleh
Lembaga Amil Zakat dan Sodaqoh (LAZIS) yang diakui.
Untuk mengantarkan pada pemahaman yang utuh dan fokus, dalam pembahasan ini
dibuat sistematika penyusunan sebagai berikut: Bab pertama, adalah pendahuluan yang berisi
latar belakang masalah dari pokok bahasan skripsi, yakni penelitian mengenai hukum
membayar pajak. Dari latar belakang tersebut ditarik beberapa rumusan masalah. Dijelaskan
juga tujuan dan kegunaan dalam penelitian ini untuk memastikan manfaat yang nyata dari
hasil penelitian tersebut. Selanjutnya dilakukan telaah pustaka terhadap beberapa literatur
agar didapatkan data-data yang diperlukan berkaitan dengan objek kajian penelitian ini,
kemudian membangun suatu kerangka teoritik sebagai acuan dasar dan menjelaskan metode
atau langkah-langkah yang ditempuh dalam menyusun skripsi ini. Bab Kedua, pajak dalam
kajian hukum Syari‟ah dan Tata Negara meliputi; pengertian pajak, dasar hukum pajak, dan
macam-macam pajak, baik secara Syari‟ah maupun secara hukum Tata Negara . Bab Ketiga,
merupakan perandingan hukum pajak dalam pandangan ulama Yusuf Qardhawi dan Ibnu
Hazm, yaitu meliputi; A. Pajak Menurut Syekh Yusuf Qardawi B. Pajak Menurut Imam Ibnu
Hazm 10 C. Persamaan da Perbedaan Hukum Membayar Pajak Dalam Pandangan Syekh
Yusuf Qardhawi dan Imam Ibnu Hazm Bab Keempat, Penutup berisi penarikan kesimpulan
berdasarkan hasil dari pembahasan skripsi

8
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pajak Dalam Pandangan Islam


Secara etimologi pajak dalam bahasa Arab disebut dengan istilah dharibah yang
berasal dari kata daraba, darban, yang artinya mewajibkan, menetapkan menentukan,
memukul, menerangkan, atau membebankan. Dharibah (tunggal) atau daraib (jama’) disebut
beban karena merupakan kewajiban tambahan atas harta setelah zakat, sehingga dalam
pelaksanannya akan dirasakan sebagai sebuah beban (pikulan yang berat). Secara bahasa
maupun tradisi, daribah dalam pengunannya memang mempunyai banyak arti, namun para
ulama memakai ungkapan daribah untuk menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban.28
Menurut S.I Djajaningrat, pajak adalah kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan ke kas
negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan
tertentu tetapi bukan sebagai hukuman menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta
dapat dipaksakan tetapi tak ada jasatimbal balik dari negara secara langsung, untuk
memelihara kesejahteraan secara umum.29 28 Gusfahmi. Pajak Menurut Syariah, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada), 2007, hlm, 27 29 Diaz Priantara, Perpajakan Indonesia,( Jakarta:
Penerbit Mitra Wacana Media), 2013, hlm. 2 26 Definisi pajak menurut Undang-Undang
Nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan ke-empat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun
1983 tentang Ketentuan Uum dan Tata Cara Perpajakan pada pasal 1 ayat 1 berbunyi adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.30 Dalam
peradaban Islam dikenal dua lembaga yang menjadi pilar kesejahteraan masyarakat dan
kemakmuran negara yaitu lembaga zakat dan lembaga pajak karena sifatnya adalah wajib.
Pada prinsipnya zakat dan pajak adalah dua kewajiban yang mempunyai dasar berpijak
berlainan, zakat mengacu pada ketentuan syariat atau hukum Allah SWT baik dalam
pemungutan dan penggunaannya, sedang pajak berpijak pada peraturan perundang-undangan
yang ditentukan oleh ulil amri/ pemerintah menyangkut pemungutan ataupun
penggunaannya.31 Ada perbedaan pendapat bagi ulama terkait apakah ada kewajibankaum
muslim atas harta yang dimiliki selain mengeluarkan zakat nya. Mayoritas fuqaha
mengatakan bahwa zakat adalah satu-satunya kewajiban kaum muslim atas harta. Barang
siapa telah menunaikan zakat, maka bersihlah hartanya dan bebaslah kewajibannya. Dasarnya
adalah hadis-hadis RasulullahMisalnya hadis riwayat Bukhari dan Muslim, “Apakah ada
kewajiban lain di luar zakat? Nabi 30 Mardiasmo, perpajakan, (Yogyakarta:Penerbit Andi,
2016), hlm. 3. 31 Ilfi Nur Diana, Hadis-Hadis Management, UIN Maliki Press, 2011, hlm. 43
27 menjawab,”Tidak ada, kecuali shadaqah sunnah”.32 Adapun dalam al-quran ada ayat yang
menerangkan penarikan zakat dan menjadi dasar pula munculnya kaidah dalam pemungutan
pajak, anatara lain surat Al-anfal ayat 41 dan surat Al-Hasyr ayat 41, yang berbunyi: َ ‫مٰ ٰ َ ت َ ۡ ۡٱل‬
َ ‫س ُ ُ ِ ُخ َّ ِّلِل َّ ن َ أ َ ٖء ف ۡ ِن َ َشم م ُ ت ۡ نِم َ ا غ َ م َّ ن َ أ ْ ا ٓ و ُ م َ ل ۡ ٱع َ ۞و ۡ و‬ َ ‫ٰ و َ َب ۡ ر ُ ق ۡ ِلي ٱل َ ِول و ُ س َّ لِلر َ ۥ و ُ ه‬
ّ َ َ
ۡ ‫ل ب ٱلسَّ ِ ن‬vv‫ل م ب ُ نت َ ام َ ء ۡ م ُ نت ُ ِن ك إ ِ ِي‬vvِ‫ز َ أ ٓ ا َ م َ ِ و َّ ِٱل‬vv‫ َع ۡ ۡل َ ن‬v‫ِن ي ا َ ق ۡ ر ُ ف ۡ ٱل َ م ۡ و َ ا ي َ ِدن ۡ ب َ ٰ ع ا ل‬
‫ل َ و ِۗ ِن ا َ ع ۡ م َ ۡ ۡٱل‬vvvِ‫َش ٰ ك َُّ لَ َعَٱّل‬
َُ ِ ۡ ‫ر َ ٖء ق‬vvv‫ق ۡ ۡٱل ٌ ِدي‬َ ‫س َ م ۡ ٱل َ و َ م‬
َ ٰ ‫“ ٱب َ ِك ِني و‬Ketahuilah, Sesungguhnya
apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima
untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika

9
kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami
(Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal: 41).33 ٰ ‫ب ِن‬vv‫ۙل َۡكى َال ي ِ ِن ال َّس‬vِِۙ ِ ‫لالُ َعل اَفَٓا ۤ َم َ ا ۡي‬vّ‫ى َر ُۡس ِول ٖه َء ّٰٰه‬
َ ‫ِمن ُۡكم‬
‫ۡال ۡغنِيَٓا ۡي‬ ۡ ‫ق ۡ ُك ِم ۡو َن ۡن ۡاَھ ِل ال ِء‬ ُ َ‫ق ۡ َِولل َّر ُۡسو ِل َِولِذى ال ِه ه ِلل ٰرى ف‬ ُ ‫َواب َم ٰس ِۡكي ۡ ٰمى َوال يَ ٰت ۡ ٰۡربى َوال‬ ۡ
‫ ۡدي ُد‬v ‫لالَ َِش‬vّ‫ا ۡ اِ َّن ۘ ّٰٰه‬vv‫لالَ َو َم‬vّ‫ب ۢ ً ُۡهوا َة نهُ فَاْنتَ َما نَ ٰهٮ ُۡكم َۡع َو ۡ ُدول ْوهُ ٮ ُ ُكم ال َّر ُۡسو ُل فَ ُخ ُذ ٰت ٰ ا ۤ ِعَقا ِب َو ۚ اتَّقُوا ّٰٰه‬
َ ‫َن ا‬
32 ‫ال‬Misalnya hadis riwayat Bukhari dan Muslim, “Apakah ada kewajiban lain di luar zakat?
Nabi menjawab,”Tidak ada, kecuali shadaqah sunnah”. (HR Bukhari dan Muslim).
33Departemen Agama RI, Al-Jumanatul ‘Ali Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV.
Penerbit J-ART, 2005), h. 183. 28 Artinya:”Harta rampasan (fai') dari mereka yang diberikan
Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah,
Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orangorang yang
dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di
antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras
hukuman-Nya”. Diperbolehkannya memungut pajak menurut ulama alasan utamanya adalah
untuk kemaslahatan umat, karena dana pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai
berbagai pengeluaran, yang jika pengeluaran tersebut tidak dibiayai akan timbul
kemudharatan, sedangkan mencegah kemudaratan merupakan sebuah kewajiban,
sebagaimana kaidah usul fiqih : Ma layatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib. Oleh karena itu
pajak tidak boleh dipungut secara paksa tetapi karena ada kewajiban kaum muslim yang
ditanggungkan kepada negara. Seperti memberi rasa aman, pengobatan dan pendidikan,
dengan pengeluaran seperti gaji pegawai pemerintah, hakim, tentara, dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu pajak memang kewajiban warga negara dalam sebuah negara muslim, tetapi
negara mempunyai kewajiban pula untuk memenuhi dua kondisi, yang pertama, penerima
hasil pajak harus dipandang sebagai amanah dan dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk
29 merealisasikan tujuan-tujuan pajak.dan yang kedua, pemerintah harus mendistribusikan
hasil pajak kepada mereka yang wajib membayarnya.
B. JenisJenisPajakDalamIslam
Dalam Islam ada beberapa macam pajak, yaitu sebagai berikut: 1. Jizyah Jizyah
adalah pajak yang dikenakan pada kalangan nonmuslim sebagai imbalan untuk jaminan yang
diberikan oleh suatu Negara Islam pada mereka guna melindungi kehidupannya. 9 Pada masa
Rasulullah Saw.,besarnya jizyah satu dinar pertahun untuk orang dewasa yang mampu
membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orangtua, penderita sakit jiwa dan
semua yang menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini. Pembayaran tidak harus
berupa uang tunai, tetapi dapat juga berupa barang dan jasa. Sistem ini terus berlangsung
hingga masa Harun ar- Rasyid.10 Dasar hukum ini terdapat dalam surat at-Taubah ayat 29
yaitu sebagai berikut:

10
Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada
hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan
rasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agamaAllah), (yaitu orang-orang
yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam keadaan tunduk.(QS.At-Taubah:29) 11 Berdasarkan ayat ini, Fiqh
memandang jizyah sebagai pajak perseorangan. Dengan membayarnya, orang-orang Kristen,
Yahudi dapat dilakukan suatu perjanjian dengan kaum muslim yang memungkinkan mereka
bukan hanya dibiarkan, tetapi juga memperoleh perlindungan. 12 Adapun jizyah terdiri atas
dua macam, yaitu sebagai berikut: a. Jizyah yang diwajibkan berdasarkan persetujuan dan
perjanjian, dengan jumlah yang ditentukan bersesuaian dengan syarat-syarat persetujuan dan
perjanjian tersebut. Jizyah bentuk ini tidak dapat diubah-ubah meskipun pada hari kemudian.
C. Sistem Kharaj
1. Pengertian Kharaj
Dalam bahasa Arab, pajak disebut kharaj yang berarti mengeluarkan. 1 Secara
etimologis kharaj adalah sejenis pajak yang dikeluarkan pada tanah yang ditaklukkan dengan
kekuatan senjata,terlepas dari apakah sipemilik seorang muslim. 2 Dalam pengertian lain,
kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan. Misalnya dengan dikeluarkannya pungutan dari hasil
tanah pertanian. Dapat dikatakan pula bahwa kharaj adalah hasil bumi yang dikenakan pajak
atas tanah yang dimiliki oleh non muslim. 3 Dalam istilah lain kharaj adalah uang sewa yang
menjadi milik negara akibat pembebasan tanah itu oleh tentara Islam. Tanah itu dipandang
sebagai milik negara dan disewakan kepada penduduk muslimin dan yang bukan muslimin. 4
Secara etimologi mempunyai arti sebagai iuran yang wajib dibayar oleh rakyat sebagai
sumbangan kepada negara/pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli
barang dan sebagainya. 5 Prof.Dr.PJA.Adriani, mendefinisikan pajak sebagai iuran pada
negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan
yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum yang berhubungan dengan tugas pemerintah. 6 Prof. Dr. MJH Smeeths,
mendefinisikan pajak sebagai prestasi pemerintah yang tertuang melalui norma-norma umum
dan dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal
individual, maksudnya adalah membiayai pengeluaran pemerintah. 7 Prof. Dr. Rochmat
11
Soemitro, mendefinisikan pajak sebagai iuran rakyat kepada negara berdasarkan
Undangundang (dapat dipaksakan), yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk
membiayai pembangunan. 8 Berdasarkan pengertian diatas dapat dipahami: 1. Pajak adalah
iuran rakyat kepada negara 2. Uang yang dikumpulkan digunakan untuk membiayai
pengeluaran rumah tangga negara 3. Pemungutannya berdasarkan Undang-Undang 4. Tidak
ada jasa timbal balik artinya bahwa antara pembayaran pajak dengan prestasi dari negara
tidak ada hubungan langsung
2. DasarHukumKharaj
Apabila ditelusuri dari dasar hukum mengenai pajak, baik dalam nash al-Qur’an
maupun al-Hadits, maka tidak akan menemukannya, akan tetapi jika menelusurinya lebih
jauh 24Ibid, hlm. 31 48 terhadap kandungan nas tersebut maka secara tersirat terdapat
didalamnya, karena pajak merupakan hasil ijtihad dan pemikiran dari sahabat Umar bin
Khattab yang mengacu pada kemaslahatan umat. Yang selanjutnya pemikiran tersebut
diteruskan dan dikembangkan oleh para ulama dan umara dalam rangka menciptakan kondisi
masyarakat sejahtera dan adil dan makmur. Misalnya praktek Umar bin Khattab ketika
menarik pungutan dengan berlandaskan surat al-Baqarah ayat 267:



 Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih
yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.(al-Baqarah: 267) 25 Dalam hal ini juga disebutkan
dalam hadits nabi sebagai berikut: 25Muhammad Noor,dkk.,Op.Cit.,hlm. 35. 49 Artinya:
Dari Umar bin Harits; bahwasanya Abi Zubair bercerita bahwasanya dia mendengar Jabir bin
Abdillah menuturkan (mengatakan) bahwasanya dia mendengar Nabi saw., bersabda; pada
apa yang diairi dengan sungai dan air hujan adalah 10% dan apa yang diairi dengan bantuan
alat, (zakatnya) menjadi setengahnya 10% (yaitu5%)” . 26(HR.Muslim) Dalam Islam tidak
dibenarkan apabila harta itu berputar pada satu kelompok kecil saja dikalangan masyarakat,
sebab hal ini akan membawa bencana kerusakan dan hilangnya keharmonisan kehidupan
masyarakat seperti firman Allah dalam surat al-Hasyr ayat 7:




 Artinya: Apa saja harta rampasan (fai) yang
diberikan Allah kepada rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk
Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara
kamu. Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarang nya
bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Susungguhnya Allah sangat

12
keras hukumannya.(QS. Al-Hasyr:7)27 Berdasarkan alasan-alasan tersebut jelaslah bahwa
Islam mengakui adanya pungutan lain yang amat penting yang dibutuhkan pemerintah untuk
membiayai tugas kewajiban kenegaraan. 26Muslim, Shahih Muslim, juzI,Mesir:
Qana’ah,tt.,hlm.291. 27Muhammad Noor, dkk. Op. Cit., hlm. 542. 50 Pada masa sekarang ini
negara dengan program pembangunannya sangat luas dan banyak sasarannya yang perlu
mendapat perhatian, sedangkan sumber pendapatan biaya pembangunan dari sektor lain tidak
mencukupinya. Maka untuk dapat terealisirnya program pembangunan yang mulia itu perlu
kita dukung dan kita bantu, hal ini sejalan dengan firman Allah dalam sura tal-Maidah ayat 2:






 Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan
haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari
kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji,
Maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum
Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya
(kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, 51 Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Almaidah:2)28 Dengan
demikian, sebagai konsekuensi dari hal perlindungan warga negara dan segala fasilitas nya
yang telah disediakan pemerintah tersebut, maka warga negara mempunyai pula kewajiban
yang seimbang yaitu mematuhi dan membantu pembangunan dalam pembiayaan
pembangunan tersebut. Berbicara negara pada hakikatnya membicarakan tentang pemerintah
Karena pemerintah yang mempunyai kekuasaan.Kewajiban warga negara patuh dan loyal
pada pemerintah diungkap kan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 59:



 Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taati lah Rasul-(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an)
dan rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS.an-Nisa’:59). 29 Dalam
kaitannya dengan pembahasan skripsi ini, yang dimaksud dengan ulil amri adalah
pemerintah, karena merekalah yang memiliki kekuatan dan kekuasaan sebagaimana yang
digambarkan al-Qur’an. Menurut 74.499 kata atau 325.345 suku kata yang terdapat dalam
Al-Qur’an tidak satupun terdapat kata “pajak”, karena pajak bukan berasal dari bahasa Arab.
Buktinya, konsonan “p” tidak ada dalam bahasa Arab. Karenanya, jika menyebut “liverpool”

13
misalnya, orang arab menyebutnya 28Ibid.,hlm. 102 29Ibid.,hlm. 87. 52 “libirbuul”, padang
disebut badang, dan lain-lain. Jadi, kata “pajak” memang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Namun, sebagai “terjemah” dari kata yang ada dalam Al-Qur’an (bahasa Arab), terdapat kata
pajak, yaitu pada terjemahan Qs AlTaubah (9):29. Hanya satu kali saja kata “pajak” ada
dalam terjemahan Al-Qur’an

3. Pajak dalam Lintasan Sejarah


1. Masa Nabi Muhammad saw Pada zaman Rasulullah saw hampir seluruh pekerjaan
yang dikerjakan tidak mendapat kan upah. Pada masa ini tidak ada tentara yang formal.
Semua muslim yang mampu boleh menjadi tentara. Mereka tidak mendapatkan gaji tetap,
tetapi mereka diperbolehkan mendapatkan bagian dari rampasan perang, seperti senjata,
kuda, unta dan barang-barang bergerak lainnya. 32 Ekonomi Islam itu dimulai sejak rasul
hijrah ke Yatsrib, setelah rasul pindah ke Yatsrib kota tersebut dirubah namanya menjadi
Madinah. Sewaktu Rasul berada di Madinah, mulailah rasul mengatur kehidupan Muhajirin
(mukmin yang hijrah dari Makkah ke Madinah) dan Anshar (mukmin yang berada di
Madinah). 33 Zakat dan ushr merupakan pendapatan utama bagi negara pada masa rasul
hidup. Zakat merupakan kewajiban agama dan termasuk satu pilar Islam pengeluaran untuk
keduanya telah diatur dalam al-Qur’an, sehingga pengeluaran untuk zakat tidak dapat
dibelanjakan untuk pengeluaran umum negara.34 Pada masa Rasulullah, zakat dikenakan
pada hal-hal berikut: 35 a) Benda logam yang terbuat dari emas seperti koin, perkakas,
ornamen/ dalam bentuk lainnya. b) Benda logam yang terbuat dari perak, seperti koin,
perkakas, ornamen/ dalam bentuk lainnya. c) Binatang ternak seperti unta, sapi, domba,
kambing. 31Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Edisi Revisi, Jakarta, Rajawali Pers,, 2011.
Hlm 27 32Muhammad, Op. Cit., hlm. 182. 33Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam suatu Pengantar
I, Jakarta: Radar Jaya Offset, cet.1, 1994, hlm. 8-7. 34Ibid., hlm.184. 35Adiwarman Karim,
Op. Cit., hlm. 34. 54 d) Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan e) Hasil
pertanian termasuk buah-buahan. f) Luqata, harta yang benda yang ditinggalkan musuh g)
Barang temuan. Catatan mengenai pengeluaran secara rinci pada masa rasul hidup juga tidak
tersedia, tetapi tidak bisa diambil kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada tidak
dijalankan sebagaimana mestinya dan membingungkan. Dalam kebanyakannya kasus
pencatatan diserahkan pada pengumpulan zakat. Setiap penghitungan yang ada disimpan dan
diperiksa sendir ioleh Rasulullah dan setiap hadiah yang diterima para pengumpul zakat akan
disita dan rasul pun akan memberi nasihat terhadap hal ini. Rasul sangat menaruh perhatian
terhadap zakat terutama zakat unta. 36 2. Masa Abu Bakar ash-Shiddiq Setelah Rasul
meninggal, Abu Bakar ash-Shiddiq adalah sahabat pertama yang melanjutkan dan
menggantikan kepemimpinannya. Selama sekitar 27 bulan dimasa kepemimpinannya, Abu
Bakar ash-Shiddiq telah banyak menangani masalah murtad, cukai dan orang-orang yang
menolak membayar zakat kepada negara. Abu Bakar sangat memperhatikan keakuratan
perhitungan zakat. 37 Khalifah Abu Bakar dengan sungguh-sungguh melaksanakan keadilan
sosial berdasarkan Qur’an dan Sunnah. Tetapi jika urusan pemerintah dan sosial tidak ada
dalam alQur’an dan Sunnah, maka Abu Bakar bermusyawarah dengan sahabat-sahabat. 38
Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus oleh kekayaan dari Baitul
Maal ini. Namun, saat mendekati wafatnya, beliau menemui banyak kesulitan dalam
mengumpulkan pendapatan negara sehingga beliau menanyakan berapa banyak yang telah

14
diambilnya sebagai upah/gajinya.39 Ketika diberitahukan bahwa jumlah yang telah
diambilnya sebesar 8000 dirham. Ia langsung memerintahkan 36Ibid., hlm. 185.
37Muhammad, Op. Cit., hlm.186. 38Ibrahim Lubis, Op. Cit., hlm. 13. 39Adiwarman Karim,
Op. Cit., hlm. 44. 55 untuk menjual sebagian besar tanah yang dimilikinya dan seluruh hasil
penjualannya diberikan untuk pendanaan negara. 40 Beliau menanyakan lebih lanjut lagi
berapa banyak fasilitas yang telah dinikmatinya selama kepemimpinannya. Diberitahukan
bahwa fasilitas yang diberikan kepadanya adalah seorang budak dan tugasnya memelihara
anak-anaknya dan membersihkan pedang-pedang milik kaum muslimin. Beliau
menginstruksikan untuk mengalihkan semua fasilitas tersebut kepada pemimpin berikutnya
setelah beliau wafat. 41 Semasa khalifah Abu Bakar, tidak perlu mengadakan kas cadangan.
Dari kekayaan yang masuk terus dipergunakan untuk keperluan rakyat. 42 3. Masa Umar bin
Khattab Umar adalah seorang yang memiliki energi yang besar dan karakter yang kuat. Umar
sangat mengagumkan, ia adalah figur utama dalam penyebaran Islam.Tanpa jasanya dalam
menaklukkan daerah, kekuasaan Islam diragukan dapat tersebar seperti sekarang ini. Bahkan
sebagian wilayah yang berhasil dikuasainya tetap bertahan sebagai daerah Arab hingga
sekarang. Selama kekhalifahannya, negara-negara seperti Syiria, Palestina, Mesir, Iraq dan
Persia ditaklukkan. 43 Ada beberapa hal penting yang perlu dicatat berkaitan dengan masalah
kebijakan fiskal pada masa Umar bin Khattab, diantaranya: a. Baitul Maal Kontribusinya
yang terbesar adalah membentuk perangkat administrasi yang baik untuk menjalankan roda
pemerintahan yang besar. Ia mendirikan institusi administratif yang hampir tidak mungkin
dilakukan pada abad ke-7SM. Pada tahun 16H, Abu Hurairah, Amil Bahrain mengunjungi
Madinah dan membawa 500.000 dirham kharaj. Jumlah ini merupakan jumlah yang besar
sehingga khalifah mengadakan pertemuan dengan majelis syura dan kemudian diputuskan
bersama bahwa jumlah 40Muhammad, Op. Cit., hlm.187. 41Adiwarman Karim, Op. Cit.,
hlm. 45. 42Ibrahim Lubis, Op. Cit., hlm. 17. 43Muhammad, Op. Cit., hlm. 187. 56 tersebut
tidak untuk didistribusikan melainkan untuk disimpan sebagai cadangan, membiayai
angkatan perang. Untuk menyimpan dana tersebut maka Baitul Maal reguler dan permanen
didirikan untuk pertama kalinya di Ibu Kota,kemudian dibangun cabang-cabangnya di Ibu
Kota Propinsi. 44 Baitul Maal secara tidak langsung bertugas sebagai pelaksana kebijakan
fiskal negara Islam dan khalifah adalah yang berkuasa penuh atas dana tersebut. Tetapi ia
tidak diperbolehkan menggunakannya untuk pengeluaran pribadi. 45 Walaupun uang dan
properti Baitul Maal dikontrol oleh pejabat keuangan atau disimpan dalam penyimpanan
(seperti zakat dan ushr), mereka tidak memiliki wewenang untuk membuat keputusan.
Kekayaan negara itu ditujukan untuk kelas-kelas tertentu dalam masyarakat dan harus
dibelajakan sesuai dengan prinsip-prinsip al-Qur’an. 46 b. Zakat Pada masa Umar, gubernur
Taif melaporkan bahwa pemilik sarang-sarang tawon tidak membayar ushr, tetapi
menginginkan sarang-sarang tawon tersebut dilindungi secara resmi. Umar katakan bahwa
bila mereka mau membayar ushr, maka sarang tawon mereka akan dilindungi. Apabila tidak,
tidak akan mendapat perlindungan. 47 Umar membedakan madu yang diperoleh dari daerah
pegunungan dan yang diperoleh dari ladang. Zakat yang ditetapkan adalah seperduapuluh
untuk madu yang pertama dan sepersepuluh untuk jenis madu kedua. 48 c. Kepemilikan
Tanah Pada masa Nabi, kharaj dan tanah yang dibayar sangat terbatas dan tidak dibutuhkan
perangkat yang terelaborasi untuk administrasi. Sepanjang pemerintahan Umar, banyak
daerah yang ditaklukkan melalui perjanjian damai. 49 Umar menerapkan 44Adiwarman

15
Karim, Op. Cit., hlm. 46. 45Muhammad, Op. Cit., hlm.188. 46Adiwarman Karim, Op. Cit.,
hlm. 46. 47Muhammad, Op. Cit., hlm.190. 48Adiwarman Karim, Op. Cit., hlm. 51. 49Ibid.,
hlm.81. 57 beberapa peraturan sebagaiberikut:50 a) Wilayah Iraq yang ditaklukkan dengan
kekuatan, menjadi milik muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat. b) Kharaj
dibebankan pada semua tanah c) Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan, sepanjang
mereka membayar kharaj dan jizyah d) Sisa tanah yang tidak ditempati/ ditanami bila
ditanami oleh kaum muslimin diperlakukan sebagai tanah ushr. d. Shadaqah untuk Non
Muslim Tidak ada ahli kitab yang membayar sadaqah atas ternaknya, kecuali orang Kristen.
Mereka membayar 2kali lipat dari yang dibayar kaum muslim. 51 Umar mengenakan jizyah
kepada mereka, tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak membayar jizyah dan malah
membayar sadaqah. 52 4. Masa Utsman bin Affan Utsman bin Affan adalah khalifah ketiga.
Beliau adalah seorang yang jujur dan saleh tetapi sangat tua dan lemah lembut. Dia adalah
salah seorang dari beberapa orang terkaya diantara sahabat Nabi. 53 Kekayaannya membantu
terwujudnya Islam dibeberapa peristiwa penting dalam sejarah. Pada awal pemerintahannya
dia hanya melanjutkan khalifah sebelumnya. Tetapi, ketika menemukan kesulitan dia mulai
menyimpang dari kebijakan yang telah diterapkan pendahulunya yang terbukti fatal baginya
dan juga bagi Islam. 54 Khalifah ketiga tidak mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya,
dia meringankan beban pemerintah dalam hal yang serius. Dia bahkan menyimpan uangnya
dibendahara negara. 55 Pada perkembangan berikutnya keadaan ini bertambah rumit
bersamaan dengan munculnya pernyataan-pernyataan lain yang menimbulkan kontroversi
mengenai pengeluaran uang Baitul Maal dengan tidak hati-hati sedangkan itu merupakan
50Muhammad, Op. Cit., hlm. 190. 51Ibid., hlm. 191. 52Adiwarman Karim, Op. Cit., hlm. 52.
53Muhammad, Op. Cit., hlm. 192. 54Adiwarman Karim, Op. Cit., hlm. 56. 55Muhammad,
Op. Cit., hlm.193. 58 pendapatan personalnya.56 Dilaporkan bahwa tidak mengamankan
zakat dari gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh
beberapa pengumpul yang nakal, khalifah Utsman mendelegasikan kewenangan kepada para
pemilik untuk menaksir kepemilikannya sendiri. 57 Dalam perkembangannya zakat, dalam
sambutan Ramadhan biasanya dia mengingatkan bulan pembayaran zakat telah tiba. 58 Tidak
ada perubahan yang signifikan pada situasi ekonomi secara keseluruhan selama enam tahun
terakhir kekhalifahan Utsman sementara situasi politik negara sangat kacau. Kaum Sabait
meluncurkan kampanye melawan khalifah. Beberapa sahabat utama Nabi tidak simpati lagi
pada pemerintahannya. Para duta dari beberapa provinsi di Ibu Kota mulai menuntut adanya
perbaikan. Akhirnya khalifah dikepung dirumahnya dan dibunuh.59 5. Masa Ali bin Abi
Thalib Setelah Ali terpilih sebagai pengganti Utsman dengan suara bulat. Dia menguraikan
pedoman kebijakannya pada pidato nya yang pertama ."segera setelah pengangkatannya dia
memberi perintah untuk memberhentikan pejabat yang korup yang ditunjuk Utsman,
membuka kembali tanah perkebunan yang sudah diberikan kepada orang-orang kesayangan
Utsman dan mendistribusikan pendapatan sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan
Umar.60 Kebijakan ini telah menyerang orangorang yang telah memperkaya diri nya sendiri
semasa pemerintahan yang lama. Beberapa orang-orang Utsman rela menyerahkan
jabatannya tanpa melakukan perlawanan, sementara yang lainnya menolak. Diantara yang
menolak adalah Muawiyyah, Gubernur Syiria yang kemudian bersama sekutusekutunya
menuntut pembalasan atas kematian Utsman. 61 Menurut sebuah riwayat, Ali bin Abi Thalib
secara suka 56Adiwarman Karim, Op. Cit., hlm. 58. 57Muhammad, Op. Cit., hlm.193.

16
58Adiwarman Karim, Op. Cit., hlm. 158. 59Ibid., hlm. 59. 60Adiwarman Karim, Op. Cit.,
hlm. 159. 61Muhammad, Op. Cit., hlm.195. 59 rela menarik dirinya dari daftar penerima
dana bantuan Baitul Maal, bahkan menurut yang lainnya dia memberikan 5000 dirham setiap
tahunnya. 62 Walaupun kesibukan khalifah Ali namun rakyat dan jaminan sosial harus
diperhatikan. Ali terkenal lemah lembut terhadap orang yang patuh, bertindak keras dan tegas
terhadap setiap orang yang berbuat durhaka, adil terhadap dzimmi, melindungi orang yang
teraniaya, berbuat baik memungut pajak hasil bumi, dan dibagi-bagikan kepada yang berhak
dan haruslah menjalankan pemerintahan atas dasar kebenaran.

4. Pemikiran Para Tokoh Tentang Ketentuan Pajak


Adapun para tokoh yang sangat responsif terhadap ketentuan pajak ini, penulis
kemukakan beberapa yang sekiranya bisa mewakili yang lainnya. Adapun para tokoh tersebut
adalah sebagai berikut: 1. Didin Hafid huddin Dalam masalah yang dibicarakan ini beliau
mengatakan bahwa pajak yang ditetapkan oleh pemerintah melalui UndangUndang wajib
ditunaikan oleh kaum Muslimin, selama itu untuk kepentingan pembangunan dimasyarakat
secara lebih luas, seperti sarana dan prasarana pendidikan kesehatan, sarana dan prasarana
transportasi, pertahanan dan keamanan, atau bidang-bidang lainnya yang telah ditetapkan
bersama.64 Tetapi apabila dana pajak dipergunakan untuk hal-hal yang secara diametral
bertentangan dengan nilai-nilai Islam, dan bertentangan pula dengan kemaslahatan bersama,
maka tidak ada alasan bagi umat Islam untuk membayar pajak. 65 2. Masdar Fari dMas’udi
Masdar memisahkan antara zakat dan pajak. Zakat adalah dana agama yang ada dalam
kewenangan ulama, sedang pajak adalah dana negara yang ada dalam kewenangan umara
(penguasa). Dengan kata lain, Masdar mengatakan bahwa zakat 62Adiwarman Karim, Op.
Cit., hlm. 59. 63Ibrahim Lubis, Op. Cit., hlm. 24-25. 64Didin Hafidudin, Zakat dalam
Perekonomian Modern, Jakarta, Gema Insani Press, cet.1, 2002, hlm. 61. 65Ibid, hlm. 63 60
adalah ruhnya dan pajak adalah badannya. Zakat dan pajak memang beda, tapi bukan untuk
dipisahkan, apalagi diperhadapkan dan dipersaingkan. Sebagai konsep keagamaan, zakat
bersifat ruhaniah dan personal. Sementara konsep kelembagaan dari zakat itu sendiri, yang
bersifat sosial, tidak lain adalah apa yang kita selama ini dengan sebutan “pajak”. Oleh sebab
itu, barang siapa dari umat beriman yang telah membayarkan pajaknya (dengan zakat).
Kepada negara, maka terpenuhi kewajiban kepada agamanya. 66 Disini Masdar mengajak
bagaimana menghayati bahwa pajak sebagai piutang negara, melainkan sebagai amanat
Tuhan untuk menegakkan cita keadilan dan kemaslahatan semesta atas pundak negara dan
suatu dukungan yang harus dihayati sebagai perintah suci dari tuhannya. 67 3. M. Ali Hasan
Bahwa zakat adalah salah satu sumber keuangan negara (Islam), disamping sumber-sumber
lainnya seperti tambang, minyak, batubara dan sebagainya. Sekiranya dari sumbersumber
tersebut, belum memadai untuk membiayai negara dan pembangunan, masih dapat dipungut
dari warga negara, pajak bumi, penghasilan dan pajak-pajak lainnya. Jadi, selama masih
diperlukan dana tetap dibenarkan memungut pajak 68 4. Syekh Ulaith Dalam fatwa beliau
dari madzhab Maliki disebutkan, bahwa beliau pernah memberi fatwa mengenai orang yang
memiliki ternak yang sudah sampai nisabnya. Kepada orang tersebut dipungut uang setiap
tahunnya, tetapi tidak atas nama zakat. Apakah orang itu boleh berniat atas nama zakat, dan
apakah kewajiban berzakat telah gugur karena itu? Syekh Ulaith dengan tegas menjawab:“ia
tidak boleh berniat zakat.Jika dia berniat zakat, maka kewajibannya tidak menjadi gugur,

17
sebagaimana telah difatwakan oleh Nasiral- 66Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan Risalah
Zakat (Pajak) Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus,1993, hlm. xiii. 67Ibid., hlm. xvi.
68M.Ali Hasan, Fiqhiyyah, edisi revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet.4, 2003, hlm.
68-69 61 Haqanidanal-Hatab”. 69 5. Sayid Rasyid Ridla Sayid Rasyid Ridla ditanya
mengenai pungutan orang Nasrani (Inggris) di India terhadap tanah, ada yang separuh dan
seperempat dari tanah tersebut. Bolehkah hal itu dianggap sebagai kewajiban agama (zakat),
seperti 1/10 atau 1/20? Beliau menjawab :“ sesungguhnya yang wajib dari 1/10 atau 1/20 itu
dari hasil bumi adalah dari harta zakat yang wajib dikeluarkan pada delapan sasaran (delapan
Ashnaf) menurut nash. Apabila dipungut oleh Amil dari Imam dalam negara Islam, maka
bebaslah pemilik tanah itu dari kewajibannya dan imam atau amil-nya wajib membagikan
zakat itu kepada mustahik-nya. Apabila tidak dipungut oleh amil, maka wajib bagi pemilik
harta untuk mengeluarkannya, sesuai dengan perintah Allah. Harta yang dipungut oleh orang
Nasrani tadi, dianggap sebagai pajak dan tidak menggugurkan kewajiban zakat. Orang itu
tetap mengeluarkan zakat. Hal ini berarti, bahwa pajak tidak dapat dianggap sebagai zakat. 70
6. Mahmud Syaltut Dalam masalah yang dibicarakan ini beliau mengatakan bahwa zakat
bukan lah pajak. Zakat pada dasarnya adalah ibadah harta. Memang antara zakat dan pajak
ada persamaannya, tetapi ada perbedaannya dalam banyak hal. Pada prinsipnya pendapat
beliau itu sama dengan ulamaulama yang mengatakan bahwa zakat dan pajak berbeda asas
dan sasarannya. Zakat kewajiban kepada Allah sedangkan pajak kewajiban kepada
pemerintah (negara).71 7. Syekh Abu Zahrah Ketika ditanya oleh seseorang mengenai pajak
dan zakat Syekh Abu Zahrah menjawab, bahwa pajak itu sampai sekarang tidak memiliki
nilai-nilai khusus, yang dapat memberikan jaminan sosial padahal tujuan pokok pajak adalah
menanggulangi masalah sosial kemasyarakatan. Zakat dapat memenuhi tuntutan sebagai
pajak. Tetapi pajak tidak mungkin 69Ibid., hlm. 72. 70Ibid., hlm. 72-73. 71Ibid., hlm. 73. 62
dapat memenuhi zakat, karena pajak tidak menanggulangi kebutuhan fakir miskin yang
menuntut dipenuhi. Zakat adalah merupakan kewajiban dari Allah dan tidak mungkin
dihapuskan oleh hamba-Nya. Zakat tetap dipungut sepanjang zaman, walaupun fakir miskin
telah tiada. Pemanfaatannya disalurkan untuk “fisabilillah”. Bagi umat Islam yang merasa
keberatan mengeluarkan zakat dan pajak (beban ganda), pada saat ini sudah ada solusinya,
sesudah keluar undang-undang tentang pengeluaran zakat.

5. KEBIJAKAN KHARAJ PADA MASA RASULULLAH SAW SERTA KAITANNYA


DENGAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI INDONESIA
Abstrak
Dalam Al-Qur’an maupun Sunnah memberikan tekanan pada pembudidayaan tanah
secara baik. Islam menganjurkan agar tanah yang kosong digarap menjadi kebun dengan
menanaminya tanaman yang baik dan bermanfaat. Kharaj secara sederhana dapat diartikan
sebagai pajak tanah. Pajak tanah ini dibebankan atas tanah nonmuslim dan dalam hal-hal
tertentu dapat dibebankan juga kepada umat Islam. Dari sistem kharaj yang diterapkan di
masa Rasul ternyata ada nilai-nilai atau konsep yang bisa diterapkan untuk masa sekarang,
terutama bila dikaitkan dengan Pajak Bumi dan Bangunan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kaitan antara kebijakan kharaj pada masa Rasulullah SAW dengan pajak bumi
dan bangunan serta mekanisme penerapan nilai-nilai kharaj dalam pajak bumi dan bangunan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu dengan

18
mengadakan perbandingan antara realita yang terjadi sekarang dengan aturan yang ada dalam
ekonomi Islam serta praktek yang ada di masa Rasulullah SAW. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penerapan kharaj pada masa Rasulullah SAW berkaitan erat dengan
penerapan Pajak Bumi dan Bangunan di masa sekarang. Praktek kharaj yang dimulai di masa
Rasul merupakan awal mula dari adanya ketetapan mengenai penarikan pajak untuk masa
sekarang. Kharaj lebih berorientasi kepada pembayaran Jurnal MEDIASAS : Media Ilmu
Syari’ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah 2 Volume 4. No. 01. Januari- Juni 2021 atau iuran yang
dikutip dari si pemilik ataupun si penggarap tanah, baik zimmi maupun muslim. Sedangkan
Pajak Bumi dan Bangunan, objeknya tidak hanya ditujukan terhadap permukaan bumi yang
meliputi tanah dan perairan pedalaman saja, tetapi mencakup juga bangunan yang dilekatkan
secara tetap pada tanah dan atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang
diusahakan Pajak bukan sesuatu yang baru dicetuskan di masa sekarang, tetapi telah dimulai
dan diprakarsai jauh sebelum masa sekarang, yaitu di masa Rasulullah SAW, meskipun
mekanisme kharaj di masa Rasul baru sekedar pelaksanaannya saja dan belum di atur secara
sistematis seperti yang ada di masa kini

B. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu mengumpulkan data
secara detail, mendalam dan juga aktual. Di dalam penelitian ini menjelaskan mengenai
gejala-gejala yang sudah ada, misalnya penelitian ini menjadikan perbandingan tentang apa
yang bisa dilakukan untuk menentukan sebuah solusi dalam menghadapi sebauh
permasalahan. Untuk memperoleh informasi dan data di diperpustakaan, penulis
menggunakan alat pengumpulan data sebagai berikut; Menelaah beberapa buku referensi
yang berhubungan dengan judul penelitian, baik dari buku, majalah, jurnal, buku undang-
undang, dan lainnya yang telah di dekumentasikan. Setelah data terkumpul, maka
pengolahannya menggunakan dengan :
1. Induktif yaitu: dengan cara menarik keputusan-keputusan data dari yang khusus
kepada permasalahan yang umum, kemudian ditarik suatu kesimpulan yang umum.
2. Deduktif yaitu: dengan cara menguraikan dan menganalisa data dari permasalahan
yang umum, kemudian ditarik kesimpulannya yang bersifat khusus. Jurnal MEDIASAS :
Media Ilmu Syari’ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah 5 Volume 4. No. 01. Januari- Juni 2021

C. Hasil dan Pembahasan


1. Pengertian Kharaj Kharaj yakhruju-khurujan yang artinya keluar atau pajak Pajak
tanah, secara terminologi berarti pajak yang dikenakan atas tanah yang ditaklukkan oleh
pasukan Islam.7 Pajak tanah yaitu pemberian yang dibebankan atas atau hasil-hasilnya
sebagai pajak. Kata pajak tanah merupakan bentuk kata jadian dari kata pajak tanah, yang
artinya keluar, yang disewa atau hasil tanah. Di dalam Islam, pajak tanah adalah pajak tanah
daerah-daerah yang ditundukkan oleh pemerintah Islam, seperti yang dipraktekkan oleh
khalifah Umar bin Khatab pada masa pemerintahannya.8 Secara harfiah pajak tanah berarti
menyewa atau secara sederhana menghasilkan. Mengarah pada istilah pajak tanah, Abu
Ubayd mengatakan bahwa orang Arab biasa menyebutnya sebagai penyerahan tanah, rumah
atau budak pajak tanah dalam pengertian pendapatan9. Al-Mawardi juga mengilustrasikan
bahwa istilah pajak tanah adalah kata yang berarti menyewa atau meneruskan (ghallah).

19
Dalam terminologi fiskal Islam, pajak tanah adalah retribusi atas tanah atau hasil produksi
tanah di mana para pemilik dari tanah taklukan Islam itu membayarnya kepada negara Islam.
Abu Ubayd menekankan bahwa setelah penaklukkan sawad dan wilayah lainnya, negara
Islam menjadi pemilik tanah dan tuan tanah menjadi tuan tanah negara Islam. Mereka
mengolah tanah untuk kemudian dibayar dan menyimpan sisanya bagi mereka sendiri. Jelas
bahwa bagi Abu Ubayd, tuan tanah yang memiliki tanah tersebut pada saat penaklukan
berubah status menjadi penyewa tanah tersebut dan ia harus membayar kepada pemiliknya.
Hal ini menunjukkan bahwa pajak tanah bukanlah pajak dalam pengertian modern, yaitu
pembayaran kepada negara dianggap sebagai biaya. Namun lebih kepada pembayaran sewa
untuk memanfaatkan nilai dari tanah tersebut.10 Pajak tanah adalah sejenis pajak yang
dikenakan pada tanah yang terutama ditaklukkan oleh kekuatan senjata, terlepas dari apakah
si pemilik itu seorang yang di 7 Abdul Azis Dahlan, dkk., Ensklopedi Hukum Islam,
(Jakarta :Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 901. 8 Nogarsyah Moede Gayo, Buku Pintar
Islam, (Jakarta: Ladang Pustaka dan Intimedia, t.t), hlm. 256. 9 Muhammad Saddam,
Ekonomi Islam, (Jakarta : Taramedia. 2002), hlm. 78. 10 Ibid., hlm. 78-79. Jurnal
MEDIASAS : Media Ilmu Syari’ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah 6 Volume 4. No. 01. Januari-
Juni 2021 bawah umur, seorang yang bebas/merdeka, budak, muslim ataupun tidak beriman.
Cara memungut pajak tanah terbagi jadi dua jenis yaitu: pajak tanah menurut perbandingan
(muqasimah) dan pajak tanah tetap (wazifah). Pajak tanah menurut perbandingan ditetapkan
porsi hasil seperti setengah atau sepertiga hasil itu. Sebaliknya, pajak tanah menurut
perbandingan pada umumnya dipungut pada setiap kali panen, sedangkan pajak tanah tetap
menjadi wajib setelah lampau satu tahun.11
2. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan Pajak atau darabah, diambil dari kata daraba
yang artinya utang, pajak tanah atau upeti dan sebagainya yang mesti dibayar; sesuatu yang
menjadi beban. Kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak yang harus disetorkan
kepada negara dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi atau imbalan langsung dari negara.
Hasilnya ditujukan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk
merealisir tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh
negara. Bagi yang tidak mematuhinya akan dikenakan sanksi hukum. Pajak ini diwajibkan
kepada semua orang sesuai dengan ketentuan wajib setor. Kebijakan yang berkenaan dengan
masalah pajak ini sepenuhnya berada pada kebijaksanaan dan keputusan penguasa, baik
mengenai objek, persentase, harga dan ketentuannya. Bahkan pemerintah berwenang untuk
menetapkan atau bahkan menghapuskannya, tergantung atau sesuai dengan kebutuhan.
Dalam bahasa Indonesia, pajak diartikan sebagai pungutan wajib, biasanya berupa uang, yang
harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah
sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang dan sebagainya. Dalam kaitan
ini pajak dibagi dua, yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung yaitu
pajak yang dikenakan atau dikutip langsung dari si wajib pajak, seperti pajak
rumah/bangunan, pajak kenderaan bermotor dan lain-lain. Pajak tidak langsung ialah pajak
yang secara tidak langsung dikenakan kepada wajib pajak, seperti cukai rokok dan
sebagainya.12 Sedangkan pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas objek
pajak bumi dan bangunan yang diatur pengenaannya berdasarkan Undang-Undang 11
Muhammad Abdul Mannan, Terj. M. Nastangin, Ekonomi Islam, Teori dan Praktek,
Dasardasar Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), hlm. 250. 12 Ibid.

20
Jurnal MEDIASAS : Media Ilmu Syari’ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah 7 Volume 4. No. 01.
Januari- Juni 2021 nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan. 3. Dasar Hukum Kharaj dan PBB
1). Dasar Hukum Pajak Tanah Pada Masa Rasul. Sebelum dibahas mengenai dasar hukum
Pajak Tanah Pada Masa Rasul, berikut ini akan dikemukakan sejarah awal mula pemungutan
pajak dimasa Rasul yang menjadi dasar pedoman penarikan pajak di masa-masa seterusnya.
Setelah Mekkah dibebaskan dan penduduk kota itu menerima Islam persoalan-persoalan di
luar ibadah praktis mulai terpikirkan karena telah terasa penting. Misalnya persoalan rumah
suci (Ka’bah) yang sudah merupakan tempat suci buat orang-orang Arab dan tempat
berziarah sejak berabad-abad, yang mulai perlu penjagaan, penyediaan makanan dan air serta
hal-hal yang berhubungan dengan masalah haji dan pelbagai macam upacara lainnya. Hal
semacam ini mulai ditangani oleh pemerintahan di bawah kepemimpinan Muhammad SAW.
Dengan bertambahnya masalah-masalah umum seperti itu dengan sendirinya berimplikasi
pada meningkatnya pengeluaranpengeluaran oleh negara. Untuk kebutuhan ini menurut
Haekal kaum muslimin harus mengeluarkan pajak ‘usyr (persepuluh atau sepersepuluh).
Sedangkan bagi orangorang Arab yang masih bertahan dengan jahiliyahnya diharuskan
membayar pajak tanah.13 Penetapan kewajiban ‘usyr dan Pajak Tanah Pada Masa Rasul
tersebut pada awalnya menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat Arab. Mereka
memperlihatkan ketidak senangan pada kebijakan baru tersebut, bahkan ada yang
memprotesnya secara keras. Dihadapkan pada situasi demikian, Nabi Muhammad SAW
kemudian mengutus para sahabatnya untuk memungut ‘usyr secara terbatas hanya dari
penghasilan para kabilah yang sudah beragama Islam. Para kabilah yang dituju menyambut
para utusan ini dengan ramah sekali dan mereka tidak keberatan untuk mengeluarkan pajak
‘usyr yang telah diwajibkan kepada mereka. Sedangkan Pajak Tanah Pada Masa Rasul yang
dipungut pada non muslim akhirnya juga dibayarkan dengan senang hati setelah diadakan
pendekatan. Namun, penentangan 13 Muhammad Husein Haekal, Sejarah Hidup
Muhammad, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2001), hlm. 503-504. Jurnal MEDIASAS : Media
Ilmu Syari’ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah 8 Volume 4. No. 01. Januari- Juni 2021 keras
sempat dilakukan oleh kabilah Banu Tamim dan Banul Musthaliq yang konon bahkan sampai
mengangkat senjata melawan petugas yang mendatangi daerah.14 Nabi Muhammad SAW
menanggapi sikap kelompok ini dengan menugaskan ‘Uyaina bin Hishn bersama lima puluh
orang anggota pasukan berkuda untuk memaksa para pemberontak tersebut membayar pajak
yang telah ditentukan itu. Peristiwa itu berujung pada penawaran lebih dari lima puluh orang
yang dibawa ke Madinah, untuk dipenjarakan di kalangan Banu Tamim ini terdapat sejumlah
kaum muslimin yang pernah ikut berperang di samping Nabi dalam membebaskan Mekah
dan Hunain, sebagian lagi masih tetap dalam jahiliyah. Setelah tawanan ini mengubah
pendiriannya dan bersedia mematuhi kewajiban yang telah ditetapkan oleh negara, mereka
pun dibebaskan bahkan sebahagian diantaranya memilih masuk Islam. Sejak itu pengaruh
Muhammad SAW sebagai kepala negara mulai dirasakan kepelosok-pelosok jazirah. Setiap
ada golongan atau kabilah yang mencoba-coba hendak menantang ketentuan yang telah
ditetapkan, Nabi selalu mengirimkan kekuatan kesana dan mengharuskan mereka tunduk
membayar pajak tanah. Tetapi Nabi Muhammad SAW tetap membiarkan mereka berada
dalam kepercayaan yang dianutnya.15 Sejak masa awal Islam yaitu pada masa Nabi SAW
telah menjadi pemimpin negara, dia telah memikirkan dana pembangunan negara. Pajak dan

21
Zakat telah dimulai pewajibannya sejak masa Rasulullah. Kebijaksanaan ini juga dilanjutkan
pada masa-masa khalifah selanjutnya, setidak-tidaknya pada masa khalifah Abu bakar dan
khalifah Umar bin Khattab. Memperhatikan pada sejarah Islam nampaknya kewajiban umat
membantu pendanaan kepada negara agak berbeda antara warga muslim dengan non muslim.
Kepada muslim diwajibkan membayar zakat dan mungkin juga kewajiban lain dikala tertentu
seperti infaq atau sedeqah-sedeqah lainnya. Sedangkan kepada penduduk non muslim ada
bentuk pembayaran yaitu kharai dan jizyah. Pajak Tanah Pada Masa Rasul (Pajak tanah)
adalah hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh (dan menjadi bagian ganimah) dari orang
kafir, baik melalui peperangan maupun perjanjian damai. Oleh karena itu ada pajak tanah
‘unwah (pajak 14 Ibid., hlm. 504. 15 Ibid., hlm. 505. Jurnal MEDIASAS : Media Ilmu
Syari’ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah 9 Volume 4. No. 01. Januari- Juni 2021 tanah paksaan)
dan pajak tanah sulhi (pajak tanah damai). Pajak tanah ‘unwah adalah pajak tanah yang
diambil dari seluruh tanah, yang dikuasai kaum muslim (dan diperoleh) dari orang-orang
kafir secara paksa melalui peperangan. Contohnya adalah tanah Irak, Syam, dan Mesir.
Seperti tersebut dalamAl-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 7. Ayat itu pula yang dijadikan dalil
oleh Khalifah Umar bin Khathab untuk mendukung pendapatnya tentang peniadaan
pembagian tanah Irak, Syam dan Mesir kepada (pasukan) tentara, setelah Bilal, Abdurrahman
dan Zubair menuntutnya untuk membagikan tanah yang telah diberikan Allah kepada mereka
dengan pedang mereka, seperti yang telah dilakukan Rasulullah saw dengan membagikan
tanah Khaibar kepada (pasukan) tentara yang turut dalam penaklukannya.16 Ayat ini juga
yang disampaikan Umar kepada orang-orang Anshar yang dikumpulkannya untuk dimintai
pendapatnya. Beliau berkata: “Aku telah memutuskan untuk menahan tanah rampasan ini
beserta hewan liarnya, kemudian menetapkan atas mereka (penduduknya) pungutan pajak
tanah bagi tanah tersebut, jizyah dari budakbudaknya. Selain itu tanah ini menjadi fai bagi
kaum muslim, (pasukan) tentara dan keturunannya, serta orang-orang yang datang setelah
mereka. Apakah kalian mengira pembagian tanah ini tidak lebih pantas dari pada orang-orang
yang menempatinya? Apakah kalian mengira kota besar seperti Syam, Jazirah, Kufah,
Bashrah dan Mesir ini lebih pantas dipenuhi oleh tentara, dan kekayaan berputar-putar di
antara mereka? Darimana akan diberikan kepada mereka (kaum muslim generasi berikutnya)
jika tanah dan hewan liarnya telah dibagi-bagikan?” Kemudian Umar mengungkapkan dalil
untuk mendukung pendapatnya kepada mereka dengan membacakan ayat-ayat fai ini sampai
pada firman Allah SWT, “serta orang-orang yang datang setelah mereka.“ Umar berkata lebih
lanjut: ‘Ini merupakan pengertian (yang mencakup) semua manusia sampai hari kiamat dan
sesungguhnya tidak seorang pun dari kaum muslim, kecuali baginya ada hak dan bagian dari
fai ini.” Mereka semua sepakat dengan pendapat Umar dan berkata: “Pendapat engkau adalah
pendapat yang paling baik dan apa yang engkau ungkapkan adalah benar yaitu jika tidak
dipenuhi pelabuhan dan kota-kota ini dengan tentara serta tidak memberikan upah kepada
mereka atas penjagaan terhadap kota ini, maka pastilah akan kembali 16 Abdul Qadim
Zallum, Sistem Keuangan Di Negara Khalifah, (Jakarta: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), hlm.
40. Jurnal MEDIASAS : Media Ilmu Syari’ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah 10 Volume 4. No.
01. Januari- Juni 2021 lagi orang-orang kafir ke kota mereka.” Umar berkata:
“Sesungguhnyalah urusan ini ada padaku, maka adakah seseorang yang berakal kuat dan
mampu menempatkan tanah ini pada tempatnya dan menempatkan hewan liar juga pada
tempat yang mendukungnya?” Mereka menjawab: “Serahkanlah hal itu kepada Ustman bin

22
Hanif, karena sesungguhnya dia adalah seseorang yang memiliki pengertian, berakal dan
berpengalaman.” Maka Umar segera menemuinya dan menyerahkan urusan pengukuran
tanah subur (di Irak) kepadanya.17 Maka berangkatlah Utsman untuk mengukur tanah
tersebut dan memberikan tanda batas kerja. Kemudian dia memberikan laporan kepada Umar
dan membacakannya. Sebelum Umar wafat, hanya dari tanah hitam yang subur di Kufah
telah diperoleh 100 juta dirham, sementara saat itu nilai satu dirham sama dengan satu
mitsqal. Dengan demikian Umar telah menetapkan tanah tersebut ditangan pemiliknya dan
mewajibkan pajak tanah atas tanah tersebut untuk mengisi baitul mal kaum Muslim, serta
menjadikannya (bagian) fai bagi kaum Muslim sampai hari kiamat. Ini berarti tetaplah status
Pajak Tanah Pada Masa Rasul yang telah diberikan Allah SWT dan segala sesuatu yang ada
di atasnya, tidak berubah menjadi ‘usyur walaupun pemiliknya berubah menjadi muslim atau
dijualnya kepada seorang muslim. Karena sifat tanah yang telah ditaklukkan secara paksa dan
ditetapkan atasnya pajak tanah adalah tetap tidak dapat berubah. Dari Thariq bin Syihab
berkata: “Umar bin Khathtab telah menulis surat kepadaku (dan ditujukan) kepada kepala
saudagar sungai (saat itu aku telah masuk Islam), yaitu Umar mewajibkan untuk menahan
tanahnya dan diambil dari tanah tersebut pajak tanah.” Maka jelaslah Umar bin Khaththab
tidak membatalkan pajak tanah dari tanah yang ditaklukkan secara paksa, walaupun
penduduknya telah masuk Islam dan mewajibkannya untuk terus membayar pajak tanah dari
tanah tersebut setelah ke-Islamannya.18 Jumhur ulama berpendapat bahwa orang muslim
yang menggarap tanah Kharaj wajib membayar zakat apabila hasil tanah itu sampai nisab. Di
samping itu, mereka juga membayar pajak tanah atas tanah yang digarap itu. Alasannya
adalah bahwa kewajiban zakat diatur dengan dalil umum, baik dalam Al-Quran maupun
hadits. Kewajiban zakat yang ditetapkan dengan dalil yang kuat tidak mungkin 17 Ibid., hlm.
41. 18 Ibid. Jurnal MEDIASAS : Media Ilmu Syari’ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah 11
Volume 4. No. 01. Januari- Juni 2021 diganti dengan kewajiban pajak tanah yang hanya
ditetapkan berdasarkan jihad. Namun Mazhab Hanafi berpendapat bahwa zakat tidak
diwajibkan atas orang yang sudah membayar pajak tanah. Karena yang menjadi syarat wajib
zakat, menurut mazhab ini, di antaranya adalah bahwa lahan menghasilkan nisab itu bukan
lahan pajak tanah. Cara memungut pajak tanah terbagai atas dua bentuk, yaitu muqasamah
(bagi hasil) dan wazifah (tetap), cara pemungutan pajak tanah muqasamah ditetapkan
berdasarkan porsi hasilnya. Pajak tanah muqasamah umumnya dipungut pada setiap kali
panen. Sedangkan cara pemungutan pajak tanah wazifah menjadi wajib setelah lewat tarif
pajak tanah wazifah berbeda menurut hasilnya. Untuk kebun kurma adalah sebesar 10 dirham
setiap jarib (sekitar 60 hasta); untuk tebu 6 dirham setiap jarib; untuk kebun sayur-sayuran 5
sampai 10 dirham setiap jarib; sedangkan untuk kebun tanaman gandum sebanyak 4 dirham
untuk setiap jarib. Kemudian tanah yang menghasilkan jagung dan biji-bijian lainnya, pajak
tanah-nya satu dirham setiap jarib. Tanah kebun anggur dan buah-buahan lebih besar sedikit
jarib-nya, misalnya, 10 dirham setiap panen. Di samping itu, tarif pajak tanah untuk produksi
tanaman baru dikenakan 8 dirham setiap jarib.19 Pajak tanah dibebankan atas tanah tanpa
membedakan apakah pemiliknya anak-anak atau orang dewasa, merdeka atau budak, laki-laki
atau perempuan dan muslim atau kafir. Pajak tanah hanya dibayar setahun sekali, kendati
lahan ditanami dan dipaneni lebih dari satu kali dalam setahun. Umar menarik pajak tanah
atas tanah-tanah orang zimmi sekali dalam setahun. Namun ketentuan ini berlaku terhadap
pajak tanah wazifah saja. Sedangkan terhadap pajak tanah muqasamah harus dikumpul pada

23
setiap musim panen sebanyak 10%. Tanah yang sudah terkena pajak tanah wazifah tidak
wajib dikenakan 10%.20 Imam al-Mawardi, membahas faktor yang menentukan kemampuan
seseorang memikul beban pajak bumi. Orang yang menaksir pajak tanah atas sebidang tanah
menurut tiga faktor. Salah satu faktor yang berkaitan dengan tanah itu sendiri adalah mutu
tanah yang mempengaruhi hasil panen. Faktor kedua berhubungan dengan 19 Ibid. 20 Ibid.
Jurnal MEDIASAS : Media Ilmu Syari’ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah 12 Volume 4. No. 01.
Januari- Juni 2021 jenis panen, kerena seperti padi-padian dan buah-buahan berbeda
harganya. Faktor ketiga mengenai irigasi, karena panen yang dihasilkan dengan cara irigasi
air dipikul hewan atau diperoleh dengan kincir berbeda dengan tanah diairi dari menadah
hujan. Selama kualitas tetap sama dengan cara irigasi, maka pajaknya tidak bertambah
ataupun berkurang. Tetapi apabila gangguan pada cara irigasi disebabkan oleh faktor alam
dan merugikan pengelola, maka negara harus mengusahakan perbaikan dan pemilik tanah
tidak dikenakan pajak tanah selama tanah tidak dapat ditanami. Demikian juga dalam hal
karena perubahan cara irigasi yang hasilnya merugikan tanah, negara bisa saja atau bahkan
tidak menaikkan nilai pajak tanah, maka ia diberi waktu sampai keuangannya membaik.
Tetapi jika seseorang mempunyai itikad tidak baik untuk tidak “membayar pajak tanah”,
maka diapun dipaksa untuk membayar pajak.21 Menurut Sayid Sabiq, ulama konteporer dari
Mesir, jika pajak tanah ini merupakan sewa tanah, maka ukuran atau besarnya diserahkan
kepada pengusaha untuk menetapkannya. Karena, pajak tanah itu bisa berubah dengan
perubahan situasi, kondisi, dan waktu. Jumlah pajak tanah ini tidak harus merujuk kepada apa
yang telah ditetapkan Umar bin al-Khatab dan juga kepada ketetapan para imam yang
lainnya. Merujuk kepada pendapat mereka tidak ada masalah sepanjang pendapat itu masih
cocok dan sebab-sebabnya sama (tidak berubah).22 Dalam hal pajak tanah tetap, tarif yang
ditetapkan Khalifah Umar atas tanah sawad pada umumnya dianggap menentukan. Tapi bila
terdapat sesuatu yang belum pernah ditetapkan Umar, maka kemampuan memikul pajaklah
yang akan menjadi tolok ukur untuk mengenakan pajak. Kemampuan memikul pajak
maksimum ditetapkan sejumlah setengah dari hasil.23 Al-Mawardi membicarakan faktor
yang menentukan kemampuan memikul pajak (Taqah) bumi sebagai berikut: orang yang
menaksir pajak tanah atas sebidang tanah harus mempertimbangkan kemampuan tanah, yang
berbeda menurut tiga faktor, tiap faktor sedikit banyaknya mempengaruhi jumlah pajak
tanah. “Salah satu 21Ibid. 22 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Terj. Kamaluddin A. Marzuki,
(Bandung: Al- Maarif, 1996), hlm. 120. 23 Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara Dalam
Takaran Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 271. Jurnal MEDIASAS : Media
Ilmu Syari’ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah 13 Volume 4. No. 01. Januari- Juni 2021 faktor
yang berkaitan dengan tanah itu sendiri adalah mutu tanah yang dapat menghasilkan panen
yang besar, atau cacat yang menyebabkan hasil kecil. Faktor kedua berhubungan dengan jenis
panen, karena padi-padian dan buah-buahan berbeda harganya, pada yang lebih tinggi hanya
dari yang lain, dan karena itu pajak tanah harus ditaksir sesuai dengan itu. Faktor ketiga
mengenai cara irigasi karena panen yang dihasilkan dengan sistem irigasi air yang dipikul
hewan atau diperoleh dengan kincir, tidak dapat dikenakan pajak tanah yang sama dengan
panen yang dihasilkan oleh tanah yang diairi oleh air yang mengalir atau hujan.24 Selama
kualitas tanah tetap sama dengan cara irigasi dan keuntungannya, maka pajaknya tidak
bertambah maupun berkurang. Tetapi bila gangguan pada cara irigasi disebabkan oleh faktor
alam dan merugikan si pengolah, maka negara harus mengusahakan perbaikan dan si pemilik

24
tanah tidak dikenakan pajak tanah selama tanah tetap tidak dapat ditanami. Demikian juga
dalam hal perubahan tetap dalam cara irigasi yang hasilnya merugikan tanah, negara mungkin
atau bahkan tidak menaikkan tingkat pajak tanah. Bila seluruh panen musnah atau karena
beberapa faktor di luar kuasa si pemilik maka ia tidak dikenakan pajak tanah. Bila seseorang
tidak mampu membayar pajak, maka ia diberi waktu sehingga keuangannya membaik. Tapi
bila seseorang punya suatu itikad tidak baik untuk tidak membayar pajak tanah, maka iapun
dipaksa untuk membayar pajak. Demikianlah kita lihat bahwa pajak pajak tanah bukan saja
progresif tetapi juga bersifat luwes. Dan pajak ini konsisten dengan peraturan modern
perpajakan. Praktek modern untuk memberikan pembebasan pajak dalam hal-hal yang khusus
dan layak, atau menyita harta benda si pengolah karena tidak membayar pajak, tampaknya
berasal dari administrasi sesungguhnya dari pajak pajak tanah. 2). Dasar Hukum Pajak Bumi
dan Bangunan Di Indonesia Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang membangun,
membutuhkan dana atau pendapatan negara yang cukup besar untuk membiayai berbagai
kegiatan pembangunan, sehingga penerimaan pendapatan yang berasal dari sektor perpajakan
perlu ditingkatkan. Usaha peningkatan pendapatan ini haruslah didasarkan pada undang-
undang atau peraturan lain yang menjadi dasar hukum.25 Sebagai tindakan 24 Ibid., hlm. 251
25 Pemerintah Republik Indonesia, Himpunan Undang-undang Perpajakan, (Jakarta: Majalah
Berita Pajak, 1997). Jurnal MEDIASAS : Media Ilmu Syari’ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah
14 Volume 4. No. 01. Januari- Juni 2021 lanjut dari pembaharuan sistem perpajakan nasional,
pemerintah pada tanggal 4 November 1985 menyampaikan rancangan undang-undang PBB
kepada DPR untuk membahas lebih lanjut. Setelah pembahasan secara intensif maka pada
tanggal 27 Desember 1985 ditetapkan UU No. 12 tahun 1985 dan mulai berlaku pada tanggal
1 Januari 1986, sebagai dasar hukum pelaksanaan PBB. Berdasarkan UU tersebut,
pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Untuk
penyelarasan pengenaan pajak diatur kembali ketentuan-ketentuan mengenai PBB yang
dituangkan dalam UU No. 12 Tahun 1994 tentang PBB yang ditetapkan tanggal 9 November
1994 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995. Pajak Bumi dan Bangunan disebut juga
dengan pajak perponding, yaitu pajak yang dikenakan atas tanah dan juga bangunan-
bangunan. Dasar hukum pengenaan pajak bumi dan bangunan adalah sebagai berikut: ▪
Undang-undang No.12 Tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang No.12 Tahun 1994. ▪ Peraturan pemerintah No.25 Tahun
2002 tentang penetapan persentase nilai jual kena pajak untuk pajak bumi dan bangunan. ▪
Keputusan Menteri Keuangan No.1002/KMK.04/1985 tentang tata cara pendaftaran objek
pajak PBB. ▪ Keputusan Menteri Keuangan No.1006/ KMK.04/1985 tentang tata cara
penagihan PBB dan penunjukan pejabat yang berwenang mengeluarkan surat paksa. ▪
Keputusan Menteri Keuangan No.1007/KMK.04/1985 tentang pelimpahan gubernur kepala
daerah tingkat I dan/atau bupati/walikota madya kepala daerah tingkat II. ▪ Keputusan
Menteri Keuangan No.523/KMK.04/1998 tentang penentuan klasifikasi dan besarnya nilai
jual objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan. ▪ Keputusan Menteri
Keuangan No.201/KMK.04/2000 tentang penyesuaian Besarnya NJOPTKP sebagai dasar
penghitungan pajak bumi dan bangunan.26 4. Kaitan Kharaj Pada Masa Rasul dengan
Kebijakan PBB Pajak sebagai “iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa kembali (kontra-prestasi), yang 26 Achmad
Tjahjono Triyono Wahyudi, Perpajakan Indonesia:Pendekatan Soal Jawab dan Kasus,

25
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 346. Jurnal MEDIASAS : Media Ilmu Syari’ah
dan Ahwal Al-Syakhsiyyah 15 Volume 4. No. 01. Januari- Juni 2021 langsung dapat
ditujukan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah (negara)”.27 Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan beberapa ciri yang melekat pada pajak, yaitu: (1) pajak
dipungut berdasarkan undang-undang yang sifatnya dapat dipaksakan dengan menggunakan
kekuatan negara; (2) dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra-prestasi
individual oleh pemerintah; (3) pendistribusian pajak diperuntukkan bagi pengeluaran negara
dalam rangka melayani kepentingan warga negara; (4) bila terjadi surplus, pendanaan
digunakan untuk membiayai public-investment, (5) selain fungsi penerimaan (budgeter),
pajak juga dapat berfungsi untuk mengatur (reguler), yaitu melaksanakan kebijakan dibidang
sosial-ekonomi.28 Konsep perpajakan dalam Islam merupakan bagian dari konsep harta dan
kepemilikan yang dikuasai oleh umat. Pemerintah dibenarkan membuat berbagai kebijakan
untuk mengenakan pajak, lalu mendistribusikannya menurut kepentingan dan keutamaan
berdasarkan skala prioritas sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syari’at.
Dalam pemungutan dan pendistribusian pajak, secara vertikal pemerintah harus meyakini
bahwa Allah SWT merupakan pemilik harta yang sesungguhnya. Oleh karena itu, pejabat
dibidang perpajakan harus senantiasa berprilaku amanah untuk mempertanggungjawabkan
pendapatan negara yang bersumber pada sektor pajak ini. Sedangkan dalam hubungan
horizontal, pembiayaan yang menyangkut kemaslahatan umat harus menjadi prioritas utama
dari pemanfaatan dana pajak ini. 5. Aplikasi Kebijakan Fiskal Terhadap Kharaj dan PBB
Kebijakan fiskal atau secara tradisional dikenal dengan keuangan publik, merupakan suatu
kebijakan yang berkaitan dengan ketentuan, pemeliharaan dan pembayaran dari sumber-
sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi fungsi-fungsi publik dan pemerintahan.
Penghasilan dan pembiayaan otoritas publik dan administrasi keuangan. Di dalam sejarah
Islam, keuangan publik berkembang bersamaan dengan pengembangan masyarakat muslim
dan pembentukan negara 27 R. Santoso Brotodihardjo, Pendistribusian Pajak Dalam Islam,
(Bandung: PT. Eresco, 1993), hlm. 5 28 Ibid. Jurnal MEDIASAS : Media Ilmu Syari’ah dan
Ahwal Al-Syakhsiyyah 16 Volume 4. No. 01. Januari- Juni 2021 Islam oleh Rasulullah
SAW, kemudian diteruskan oleh para sahabat (khulafaurrasyidin).29 Aplikasi kebijakan
fiskal dalam sistem pemerintahan Islam terhadap Kharaj dan PBB, bila dirincikan adalah
sebagai berikut: a. Peningkatan pendapatan nasional dan tingkat partisipasi kerja Kebijakan
pertama yang diambil Rasulullah SAW dalam rangka meningkatkan permintaan agregat
masyarakat muslim di Madinah setelah hijrah adalah dengan mempersaudarakan muhajjirin
dengan anshar. Kesepakatan ini, yang menempatkan setiap anshar bertanggung jawab atas
saudara muhajjirinnya, menyebabkan terjadinya distribusi pendapatan dari anshar kepada
muhajjirin. Karena orang-orang muhajjirin mempunyai kecenderungan konsumsi yang lebih
besar dibandingkan orang-orang anshar, distribusi pendapatan cara ini telah meningkatkan
permintaan total di Madinah.30 Kebijakan lain yang diterapkan Rasulullah di Madinah pada
era permulaan Islam setelah hijrah adalah menyediakan lapangan kerja bagi orang-orang
muhajirin sekaligus meningkatkan pendapatan nasioanal muslim dengan menerapkan
kontrakkontrak muzara’ah, musaqat dan mudharabah serta kerja sama terbatas anatar
muhajirin yang menyediakan tenaga kerja dengan anshar yang memiliki tanah pertanian,
perkebunan dan tabungan. Secara alami, perluasan produksi dan fasilitas perdagangan
meningkatkan produksi total kaum muslimin dan menghasilkan peningkatan pemanfaatn

26
sumber daya tenaga kerja, lahan dan modal. Selanjutnya, pada periode yang sama Rasulullah
SAW membagikan tanah kepada kaum muhajirin untuk pembangunan pemukiman.
Kebijakan ini juga meningkatkan partisipasi kerja dan aktiviyas pembangunan pemukiman di
Madinah sekaligus memenuhi kebutuhan penting muhajirin akan tempat tinggal. Dengan cara
ini tingkat kesejahteraan umum kaum muslimin meningkat.31 Selama masa Rasulullah SAW,
empat perlima harta rampasan dari setiap peperangan dibagi kepada setiap mujahidin yang
ikut serta dalam peperangan 29 M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf,
Relevansinya Dengan Ekonomi Kekinian, (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI)-
STIS, 2003), hlm. 172. 30 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
Terj. Tim IIIT Indonesia, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2002), hlm. 112. 31 Ibid. Jurnal
MEDIASAS : Media Ilmu Syari’ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah 17 Volume 4. No. 01.
Januari- Juni 2021 tersebut. Pembagian harta rampasan meningkatkan kekayaan dan
pendapatan kaum muslimin yang pada akhirnya meningkatkan permintaan agregat. Porsi
terbesar pengeluaran Baitul Mal adalah untuk pembangunan infrastruktur. Pada masa
pemerintahan Umar, ketika penerimaan Baitul mal meningkat, pembangunan infrastruktur ini
mencapai tingkat yang luar biasa. Dengan pembangunan infrastruktur ini supply dan
kapasitas produksi ekonomi negara Islamberkembang pesat.32 Pada akhirnya, dapat
dipahami bahwa kebijakan yang diterapkan pada era permulaan Islam adalah untuk
memenuhi kebutuhan hidup minimal setiap orang termasuk non muslim dan meningkatkan
pertumbuhan pendapatan dan permintaan total masyarakat. b. Kebijakan pajak Penerimaan
pajak yang terpenting pada era permulaan Islam, seperti yang telah dijelaskan, terdiri atas
khums, zakat dan kharaj. Khums pada dasarnya adalah pajak proporsional yang jumlahnya
tidak konstan. Ini menyebabkab kestabilan harga dan menurunkan inflasi dalam kondisi
terjadi kelebihan permintaan atas penawaran. Pada saat yang sama, pada masa stagnasi dan
penurunan tingkat permintaan agregat, khums mendorong stabilitas pendapatan dan produksi
total.33 Seperti telah dijelaskan, zakat dikumpulkan berupa persentase tertentu dari perbedaan
antara produksi dengan biaya variabel, sehingga tidak mempunyai dampak pada harga atau
jumlah produksi dan tidak menyebabkan penurunan supply total hasil pertanian. Kharaj
adalah seperti sewa atas tanah. Pajak ini juga tidak mempunyai dampak pada harga dan
jumlah produksi sehingga penarikannya tidak mempengaruhi penawaran. c. Anggaran
Sekalipun mengalami banyak perang besar yang membutuhkan dana yang besar selama masa
Rasulullah SAW, anggaran baitul mal jarang mengalami defisit. Pengeluaran dilakukan
secara proporsional sehingga keseimbangan dana ini selalu 32 Ibid., hlm. 113. 33 Ibid. Jurnal
MEDIASAS : Media Ilmu Syari’ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah 18 Volume 4. No. 01.
Januari- Juni 2021 terjaga. Pada pemerintahan Khalifah yang empat, baitul mal tidak pernah
mengalami defisit, bahkan pada masa Umar dan Ustman menunjukkan surplus yang besar.34
d. Kebijakan Fiskal Khusus Pengeluaran negara, khususnya selama masa Rasulullah SAW
dilakukan dengan beberapa cara yang merupakan implementasi kebijakan fiskal Rasulullah
SAW. Cara pertama ditempuh untuk memenuhi kebutuhan dengan meminta bantuan dari
kaum muslimin sehingga kebutuhan pasukan untuk gazwa dan sariya kerap terpenuhi dengan
bantuan sukarela kaum muslimin atas permintaan Rasulullah SAW. Cara kedua dilakukan
dengan meminjam peralatan dari non muslim dengan jaminan pengembalian dengan memberi
ganti rugi atas peralatan yang rusak tanpa membayar sewa atas penggunaanya. Hal yang
terakhir ini biasanya merupakan bagian dari klausul perjanjian damai antara Rasulullah

27
dengan suku-suku non muslim.35 Cara ketiga adalah meminjam uang dari orang-orang
tertentu dan memberikannya kepada orang-orang yang baru masuk Islam di Makkah.
Pinjaman ini dilakukan dalam jangka pendek. Setelah perang Hunain, dan setelah harta
rampasan dari perang tersebut dibagikan, hutang tersebut dilunasi. Bilal, diperintahkan
Rasulullah membantu orang-orang yang membutuhkan dan melunasi utang orangorang yang
tidak dapat membayar utangnya sendiri. Bilal dibenarkan meminjam iang untuk memenuhi
kebutuhan pengeluaran tersebut jika dibutuhakan. Kendatipun tindakan meminjam hanya
dilakukan sekali oleh Rasulullah dan melunasinya sebelum akhir tahun, hal ini menunjukkan
salah satu cara yang dibenarkan untuk menjalankan kebijakan fiskal. Cara keempat ditempuh
Rasulullah SAW dengan menerapkan kebijakan insentif. Kebijakan ini diterapkan untuk
menjaga pengeluaran serta untuk meningkatkan partisipasi kerja dan produksi masyarakat
muslim. Kebijakan ini adalah menghargai orang yang bekerja, beraktivitas, serta menafkahi
keluarga dan praktis mencela penganggur. Selain itu perbuatan baik, seperti pinjaman tanpa
bunga, waqaf dan sadaqah, menghasilkan redistribusi pendapatan dan meningkatkan efisiensi
pertukaran serta permintaan total. Pengharaman monopoli, riba dan 34 Muhammad Abdul
Mannan, Ekonomi Islam, Teori dan Praktek, Dasar-dasar Ekonomi Islam, Terj. M. Nastangin
(Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1993), hlm. 250-251. 35 Ibid, hlm. 251. Jurnal
MEDIASAS : Media Ilmu Syari’ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah 19 Volume 4. No. 01.
Januari- Juni 2021 penjualan kaliy (transaksi ijon atau penjualan di masa yang akan datang
dengan pembayaran di masa yang akan datang pula), serta transaksi-transaksi lain, termasuk
kecaman terhadap konsumsi secara berlebihan, sia-sia dan berbahaya; selain meningkatkan
efisiensi sektor swasta juga meningkatkan penawaran total serta kesejahteraan ekonomi
umum.36 D. Kesimpulan Islam telah membuka zaman baru dalam sejarah kehidupan
manusia. Kelahiran Nabi Muhammad SAW merupakan satu peristiwa dan sebagai pembawa
kebaikan bagi seluruh umat manusia. Muhammad SAW adalah seorang pribadi yang hebat
dan istimewa serta paling berpengaruh, karena beliau merupakan satu-satunya manusia yang
memiliki kesuksesan yang paling baik di dalam kedua bidang yaitu agama dan dunia. Islam
telah mengakui tanah sebagai suatu faktor produksi tetapi tidak setepat dalam arti sama yang
digunakan dalam zaman modern. Dalam tulisan klasik, tanah yang dianggap sebagai suatu
faktor produksi penting mencakup semua sumber daya alam yang digunakan dalam faktor
produksi, permukaan bumi, kesuburan tanah, air, mineral dan seterusnya. Al-Qur’an maupun
Sunnah memberikan tekanan pada pembudidayaan tanah secara baik. Islam menganjurkan
agar tanah yang kosong digarap menjadi kebun dengan menanaminya tanaman yang baik dan
bermanfaat. Kharaj pertama kali dikenal dalam Islam setelah perang Khaibar, pada saat itu
Rasulullah SAW, memberikan dispensasi kepada penduduk Yahudi Khaibar untuk tetap
memiliki tanah mereka, dengan syarat mereka membayar sebagian hasil panennya kepada
pemerintah Islam. Khaibar dikuasai pada tahun ke-7 H, di mana sebelumnya penduduknya
menentang dan memerangi kaum muslim. Penerapan kharaj pada masa Rasulullah SAW
berkaitan erat dengan penerapan Pajak Bumi dan Bangunan di masa sekarang. Praktek kharaj
yang dimulai di masa Rasul merupakan awal mula dari adanya ketetapan mengenai penarikan
pajak untuk masa sekarang. kebijakan kharaj di masa Rasulullah dapat diterapkan untuk masa
sekarang, terutama nilai-nilai positif serta prinsip-prinsip yang terkandung dalam konsep
kharaj yang dijalankan pertama di masa Rasulullah saw.

28
D. Sistem Jizyah
Pengertian
Dalam kaitannya dengan pajak, Islam memiliki dua defenisi yang hampir serupa dengan
pajak, yaitu jiżyah dan adh-dharibah. Pertama Jizyah, jiżyah berasal dari bahasa arab ‫جزئ‬
yang berarti upeti, membalas jasa atau mengganti kerugian.6 Menurut Djazuli, jizyah
dikatakan sebagai iuran negara yang diwajibkan atas orang ahil al-kitab setiap satu tahun
sekali, sebagai imbangan membela dan melindungi mereka. Jizyah diistilahkan juga dengan
pajak kepala bagi semua orang laki-laki non-muslim, merdeka, balig, berakal, sehat, dan
kuat.7 Sedangkan jizyah dalam ilmu fiqh berarti pajak kepala atau pajak perseorangan yang
dikeluarkan terhadap orang orang non-muslim (ahl alzimmah) tertentu yang telah mengikat
perjanjian dengan pemerintah.8 Dengan kata lain, jizyah merupakan pajak per kepala yang
dipungut oleh pemerintah islam dari orang laki-laki non-islam, merdeka, balig, berakal, sehat,
dan kuat, sebagai imbangan bagi keamanan diri mereka. Sementara istilah pajak diartikan
sebagai iuran yang diberikan kepada negara oleh orang/lembaga yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan yang dapat dipaksakan dan tidak mendapatkan timbal balik
(kontraprestasi), yang dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
yang berhubungan dengan tugas negara dalam menyelenggarakan pemerintahan
Jurnal IlmiahJizyah
Konsep al-Jizyah dan Status Kewarganegaraan Non-Muslim dalam Prespektif Fikih
Klasik
A. Pendahuluan Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan berpolitik, fikih (produk
pemikiran hukum Islam) klasik mempunyai konsep tentang negara, yang dikenal dengan
terma al-daulah al-isla>miyyah; yaitu sebuah bentuk pemerintahan yang berdaulat
berdasarkan teologi Islam.1 Secara geografis, wilayah daulah Isla>miyyah tersebut
dikategorikan sebagai da>r al-Isla>m yang berarti dunia Islam. Penulis adalah Dosen pada
Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya. 1Yu>suf al-Qard}a>wy, Ghair al-Muslim fi>
al-Mujtama' al-Isla>my (Beirut: Da>r al Fikr, 1998), h. 4. Konsep al-Jizyah dan Status
Kewarganegaraan … Al-Qānūn, Vol. 10, No. 2, Desember 2007 382 Sedangkan di luar da>r
al-Isla>m tersebut dianggap sebagai da>r al-kufr, yakni dunia orang kafir. Bagi wilayah
geografissosiologis yang mengikat perdamaian dan bergabung secara politis dengan da>r al-
Isla>m dikategorikan sebagai wilayah aman, yang disebut sebagai da>r al-'ahd.2 Sudah
menjadi karakteristik pandangan fikih klasik bahwa status relegiusitas individu menjadi
sangat penting untuk diketahui, sehingga dengan demikian penduduk negeri Islam
dikategorisasikan menjadi dua. Yaitu, pertama sebagai penduduk muslim, dan kedua sebagai
penduduk non-muslim. Kaum non-muslim yang hidup dalam wilayah da>r alIsla>m diberi
status ahl al-dhimmah. Yaitu sebuah status sipil yang berkonsekwensi terhadap kewajiban
membayar iuran wajib yang –dalam pandangan fikih klasik- disebut dengan aljizyah.3 Al-
Jizyah, sebagai produk pemikiran fikih klasik, merupakan tema yang menarik untuk dikaji. Ia
menjadi sumber persoalan yang memberikan asumsi terhadap para fuqaha' (ahli hukum
Islam) kontemporer bahwa tema tersebut tidak dapat diterapkan pada era sekarang karena
bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).4 Bahkan lebih ironis lagi, muncul
penilaian dari kalangan luar Islam, bahwa syariah Islam mempunyai watak diskriminatif.
Penilaian-penilaian seperti di atas agaknya tidak tepat, karena tidak didukung dengan latar
belakang historis yang kuat, sehingga wajar jika terjadi bias pandang seperti itu. Melalui

29
tulisan ini, penulis mencoba mencermati tema persoalan di atas untuk dapat mengetahui
duduk permasalahan yang sebenarnya. Dengan demikian, rumusan masalah yang mendasar
adalah benarkah ketentuan al-jizyah 2Abu> al-H}asan 'Aly ibn Muh}ammad al-Ma>wardy,
al-Ah}ka>m alSult}a>niyyah (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.), h. 138-138. 3Ann Alizabeth Mayer,
Islam and Human Rights: Tradition and Politics (London: West View Press, tt.), h. 127.
4HAM, terutama artikel nomor 18, menentang sebuah diskriminasi penduduk suatu negara
yang didasarkan atas perbedaan agama dan keyakinan. Lihat Tohir Mahmood, Text of
Human Rights (Delhi: University of Delhi, 1993), h. 155. Muflikhatul Khairah Al-Qānūn,
Vol. 10, No. 2, Desember 2007 383 yang berimplikasi terhadap status dhimmy tersebut
bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM), dan mengandung sifat
diskriminatif? Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis membuat pemetaan sub-sub
pembahasan dengan sistematika sebagai berikut: (1) pengertian al-jizyah, (2) tujuan dan
hikmah ditetapkannya al-jizyah, (3) hubungan antara al-jizyah, dhimmy dan bias pandang
kontemporer terhadap al-jizyah, dan (4) perspektif HAM terhadap posisi dhimmy. B.
Pengertian al-Jizyah Secara etimologis, terma al-jizyah terambil dari kata aljaza>' yang
berarti balasan, imbalan dan atau ganjaran setimpal "al-muka>fa'ah 'ala> al-shay'". Dengan
demikian, al-jaza>' tersebut dapat berupa ganjaran ataupun juga sanksi hukuman.5 Secara
lugha>wy, jizyah dapat berarti pajak penghasilan bumi, dan dapat juga diartikan sesuatu
pungutan yang diambil dari nonmuslim atau ahl al-dhimmah.6 Secara terminologis, jizyah
adalah iuran wajib atas seorang non-muslim atau dhimmy sebagai d}ari>bah atau pajak
personal.7 Ada juga yang mengatakan bahwa jizyah adalah sebuah bentuk kompensasi dari
wajib zakat atas seorang dhimmy, atau sebagai iuran wajib bela negara dan cinta tanah air
yang terartikulasikan sebagai wajib berjihad. 8 Berangkat dari adanya variasi pengertian yang
diberikan para ulama' terhadap al-jizyah tersebut, nampaknya mereka berspekulasi terhadap
filosofi pengundangan jizyah tersebut. Kalau dicermati arti etimologisnya, nampak bahwa
jizyah merupakan kata ambiguis atau mushtarak, karena ia 5Jama>l al-Di>n Muh}ammad ibn
Mukram ibn Manzu>r, Lisa>n al-Lisa>n: Tahdhi>b al-Lisa>n al-‘Arab, juz I (Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), h. 187. 6Ibid. 7Yu>suf al-Qarda>wy, Ghair al-Muslimi>n, h. 4.
8Abd al-Kha>liq al-Nawawy, al-Niza>m al-Ma>ly fi> al-Isla>m (Kairo: Maktabat al-Anjal
al-Mis}riyyah, 1971), h. 152-154. Konsep al-Jizyah dan Status Kewarganegaraan … Al-
Qānūn, Vol. 10, No. 2, Desember 2007 384 mengandung dua pengertian yang kontradiksi,
yaitu antara artian sebagai balasan dan artian sebagai siksaan. Untuk lebih jelasnya,
pemahaman tentang jizyah tersebut memang harus kembali merujuk dasar teks al-Qur'an
yang menjadi dasarnya, yaitu terdapat pada QS. al-Taubah (9): 29, dengan memperhatikan
latar belakang atau sabab al-nuzu>l dan makna kontekstual ayat, serta latar belakang
sosiohistoris yang mengitari turunnya ayat tersebut.
C. Tujuan dan Hikmah Pengundangan al-Jizyah Untuk dapat memahami filosofi
pengundangan jizyah memang harus memahami konteks dan latar belakang sosiohistoris ayat
al-Qur'an yang mendasari ketentuan hukum atau tashri>’ al-jizyah tersebut, yaitu QS. al-
Taubah (9): 29: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat
dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan RasulNya dan tidak
beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-
Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, dan mereka dan
mereka dalam keadaan tunduk". Ayat tersebut merupakan perintah untuk memerangi orang-

30
orang ahl al-Kita>b, baik dari kalangan orang yang beragama Yahudi, Nasrani maupun
Majusi selain kaum pagan Arab sampai mereka menyatakan kalah dan mohon perlindungan
serta tunduk kepada undang-undang pemerintahan Islam dengan membayarkan pajak jizyah,
dan untuk selanjutnya mereka diberikan kedudukan sebagai ahl aldhimmah. 9 Perintah
perang dari ayat di atas bukan bersifat ofensif, tetapi sebaliknya, bersifat defensive. Ini
dikarenakan orangorang Yahudi ahl al-Kita>b selalu melanggar perjanjian damai untuk hidup
berkeadilan dan berkeamanan dalam negara Madinah yang heterogen dan baru saja dibangun
berdasarkan piagam yang telah disepakati bersama. 9Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhshary,
Tafsi>r al-Kashsha>f, juz 2 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), h. 254-255.
Muflikhatul Khairah Al-Qānūn, Vol. 10, No. 2, Desember 2007 385 Menurut al-
Zamakhshary, jizyah dalam ayat tersebut merupakan perimbangan bagi non-muslim atau
dhimmy untuk tidak dibunuh. Artinya, mereka dilindungi dan diberi keamanan hidup sebagai
penduduk yang memiliki hak dan kewajiban di tengah-tengah pemerintahan Islam untuk
melakukan peribadatan sesuai dengan agama dan keyakinannya. Zamakhshary menafsirkan
ungkapan ‫ حتى يعطوا الجز ية عن يد‬bahwa mereka menyerahkan jizyah tersebut secara rela dan
kontan. Selanjutnya, ungkapan ‫ صـاغرون وهـم‬dimaksudkan, bahwa mereka harus menyerahkan
jizyah tersebut dengan dasar ketundukan dan menyerahkan sendiri kepada pemerintah.10
Muh}ammad Aly al-S}a>bu>ny, dalam S}afwat al-Tafa>si>r, menjelaskan bahwa jizyah
tersebut merupakan bukti ketundukan ahl al-dhimmah kepada pemerintah untuk ikut serta
bertanggung jawab pada ketentraman masyarakat. Karena itu, menurut al-S}a>bu>ny,
mereka harus menyerahkannya secara terpaksa dan hina di bawah kekuasaan Islam.11
Menurut al-Mara>gy, kewajiban membayarkan jizyah atas ahl al-Kita>b itu merupakan
jaminan bagi kebebasan untuk hidup sesuai dengan ajaran keyakinan mereka dalam wilayah
negara Islam secara aman. Ungkapan ‫ يـد عـن‬menunjukkan bahwa jizyah diwajibkan atas yang
mampu dan memiliki penghasilan yang cukup.12 Pendapat-pendapat para mufassir tersebut,
menurut penulis, mengandung spekulasi tentang maksud dan tujuan ditetapkannya jizyah.
Penulis kurang setuju terhadap 10Ibid. 11Muh}ammad ‘Aly al-S}a>bu>ny, Safwat al-
Tafa>si>r, juz I (Beirut: Da>r alRasha>d, tt.), h. 530-531. 12Ah}mad Mus}t}afa> al-
Mara>ghy, Tafsi>r al-Mara>gy, Jild. 4 (Beirut: Da>r alFikr, 1974), h. 94-95. Konsep al-
Jizyah dan Status Kewarganegaraan … Al-Qānūn, Vol. 10, No. 2, Desember 2007 386
pendapat yang mengatakan bahwa jizyah ditetapkan untuk menyiksa dan menghinakan kaum
dhimmy. Penulis lebih sependapat dengan al-S}a>bu>ny bahwa jizyah merupakan sarana
keikutsertaan kaum dhimmy terhadap keberlangsungan dan kewibawaan negara, tetapi tidak
sependapat dengannya bahwa penyerahan jizyah harus secara hina dan terpaksa. Menurut
penulis, penyerahan jizyah tersebut harus secara sadar dan suka rela, sebagaimana pendapat
al-Zamakhshary. Oleh karena itu, pendapat al-Mara>gy di atas sangat tepat bahwa jizyah
hanya diwajibkan pada yang mampu saja. Al-Jurja>wy mengatakan, bahwa keadilan Islam
tampak ketika suatu wilayah telah dikuasai Islam, maka semua penduduknya diwajibkan
untuk menjaga kedaulatan dan kewibawaan negara. Bagi kaum muslim, disamping
berkewajiban membayar zakat, mereka diwajibkan berjuang mempetahankan ideologi
negaranya. Sedangkan kaum nonmuslim yang menjadi dhimmy, juga sama diupayakan dan
diwajibkan seperti kewajiban penduduk muslim. Namun bagi kaum non-muslim tersebut ada
kewajiban membayar jizyah sebagai kompensasi kewajiban bela negara.13 Dari pendapat di
atas dapat dipahami, bahwa diundangkannya al-jizyah bagi kaum dhimmy adalah untuk

31
memberikan rasa keadilan pada mereka sebagai warga negara yang sama-sama diikutsertakan
dalam bertanggung jawab terhadap keberlangsungan negara. D. Hubungan Jizyah dengan
Dhimmy Dhimmy adalah personil individual dari ahl al-dhimmah. Secara bahasa, dhimmah
berarti perjanjian jaminan perlindungan.14 Ia merupakan perikatan yang permanen 13‘Ali>
Ah}mad al-Jurja>wy, H}ikmah al-Tashri>’ wa Falsafatuh, juz 2 (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.), h.
353. 14Secara hukum, istilah dhimmah menunjuk pada status tertentu yang dengannya
seseorang mendapatkan hak-hak tertentu yang harus dijamin oleh negara. Lihat Majid
Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (Baltimore: The Johns Hopkins Press, 1962),
h. 976-977. Muflikhatul Khairah Al-Qānūn, Vol. 10, No. 2, Desember 2007 387 antara
seorang dhimmy dengan pemerintah Islam,15 sehingga dengan demikian, ahl al-dhimmah
yaitu orang-orang nonmuslim yang bertanah air di bawah perlindungan negara Islam yang
mendapatkan jaminan memperoleh hak-haknya sebagai warga negara. Mereka disebut juga
dengan almu’a>hadu>n,16 artinya, bahwa mereka adalah orang-orang yang diikat perjanjian
damai dan aman dengan negara Islam. Mereka memiliki hak-hak sipil sebagaimana penduduk
muslim. Akan tetapi, perikatan atau aqd al-dhimmah tersebut mewajibkan mereka membayar
iuran yang ditetapkan negara sebagai jizyah. Hak-hak sipil yang dimiliki kaum dhimmy
tersebut antara lain:17 1. Persamaan perlindungan dengan kaum muslim dalam hal: a. Harga
denda. Misalnya, seorang muslim membunuh seorang dhimmy harus diqisas sebagaimana ia
membunuh seorang muslim.18 b. Hukuman pidana. Misalnya, seorang muslim mencuri harta
orang dhimmy, harus dikenakan sanksi h}add sebaimana ia mencuri harta seorang warga
muslim. c. Hukum dan hak-hak perdata. Misalnya, seorang dhimmy yang memiliki ternak
babi dan celeng tidak boleh diganggu dan dicuri. Kalau terjadi pencurian hartanya seperti itu
harus diberikan ganti rugi. Berkaitan dengan itu, imam ‘Aly berkata: ‫إنما قابلوا عقد الذ مة لتكون‬
15 ‫أموالهم كأموالنا‬H}usayn Mu'nis, A>lam al-Isla>m (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, tt.), h. 295-296.
16Ibid., 298. 17Abu> al-Ala> al-Maudu>dy, Shari>ah al-Isla>m fi> al-Jiha>d wa
al-‘Ala>qah alDuwaliyyah (Kairo: Da>r al-Sah}wah, 1985), h. 222-225. 18Ketentuan seperti
itu telah dipraktekkan Rasulullah saw bahwa pada satu ketika ada seorang muslim yang
membunuh seorang dhimmy, sebagai hukumannya, Rasul memerintahkan para sahabat agar
menghukum qisas terhadap muslim tersebut, seraya bersabda: ‫ وفى من أحق أنا‬v‫ بذمته‬. Lihat hadis
Ibnu ‘Umar dari al-Da>ruqut}ny dalam al-Da>ruqut}ny, Al-Ina>yah: Sharh} alHida>yah
(Beirut: Da>r al-Fikr, 1996), h. 256. Konsep al-Jizyah dan Status Kewarganegaraan … Al-
Qānūn, Vol. 10, No. 2, Desember 2007 388 yang artinya: mereka (non-muslim atau kaum
dhimmy) memperoleh perikatan dhimmah atau akad jaminan itu hanyalah dimaksudkan agar
harta benda mereka menjadi sama kedudukannya dengan harta benda kita. 2. Memiliki hak-
hak kebebasan/h}urriyyah, misalnya: a. Kebebasan personal law, artinya mereka mempunyai
kebebasan melakukan mu’a>malah sesuai dengan ketentuan dan undang-undang perdata
agama mereka. b. Kebebasan beragama, h}urriyyah al-tadayyun. Kebebasan tersebut
memberikan hak-hak kepada mereka untuk melakukan peribadatan yang sesuai dengan
keyakinan mereka. Mereka diperkenankan membangun tempattempat ibadah sesuai dengan
kebutuhan, selama tidak melanggar perasaan kaum muslim. Yu>suf al-Qard}a>wy, membagi
hak-hak kaum dhimmy menjadi tiga kelompok, yaitu: 1. Hak al-h}ima>ya>t, yaitu berupa
perlindungan negara yang meliputi; perlindungan dari penganiyaan, perlindungan harga diri,
dan perlindungan hak milik. 2. Hak h}urriyya>t, yaitu berupa kebebasan yang meliputi;
kebebasan beragama dan kebebasan berkarya dan bermuamalah. 3. Hak istih}qa>q, yaitu hak

32
untuk menjadi obyek dan subyek politik, artinya, mereka berhak menjadi pegawai negeri dan
menduduki jabatan pemerintahan yang bersifat mandat, yaitu wila>yat tafwi>d}iyyah dan
jabatan-jabatan lain yang bersifat administratif.19 Berangkat dari keterangan adanya hak-hak
bagi kaum dhimmy tersebut, penulis berkesimpulan, bahwa ‘aqd aldhimmah yang berakibat
adanya membayar jizyah yang merupakan produk pemikiran fikih Islam klasik tersebut
memuat apresiasi nilai-nilai kemanusiaan yang berkeadilan. Sebab dengan demikian seorang
dhimmy dianggap sebagai person yang eksis dalam posisinya sebagai warga negara yang
terbukti memiliki hak-hak dan kewajiban yang seimbang. 19Yu>suf al-Qard}a>wy, Ghair al-
Muslimi>n, h. 9-19. Muflikhatul Khairah Al-Qānūn, Vol. 10, No. 2, Desember 2007 389
Hak-hak tersebut, menurut penulis, tampaknya bersifat komunikatif antara dhimmy dan kaum
muslimin. Ini dikarenakan adanya perimbangan yang berupa kewajiban membayar jizyah
tersebut. Dengan demikian, sangat dimungkinkan terwujudnya kemaslahatan bersama antara
warga negara yang muslim dan non-muslim yang berstatus menjadi penduduk dhimmy dalam
naungan negara Islam. E. Kontroversi terhadap Konsep al-Jizyah Kembali pada soal
pemaknaan klasik terhadap aljizyah, bahwa secara etimologis, terma jizyah terambil dari kata
jaza>' yang berarti: balasan, imbalan dan atau ganjaran setimpal. Selanjutnya para fuqaha'
klasik saling berspekulasi. Menurut sebagian mereka bahwa jizyah tersebut sebagai balasan
setimpal dari kekufuran seorang dhimmy. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa
jizyah merupakan bukti tuntutan agar mereka tunduk dan bersikap hina di bawah negara
Islam. Sedangkan secara terminologis, jizyah dimaknai sebagai iuran wajib atas dhimmy
sebagai d}ari>bah atau pajak personal,20 atau sebagai bentuk kompensasi dari wajib zakat
atas orang dhimmy, atau juga sebagai iuran wajib bakti dan bela negara serta cinta tanah air
yang terartikulasikan sebagai kewajiban berjihad membela negara.21 Berangkat dari
pandangan klasik terhadap konsep aljizyah di atas, al-Na’i>m berpandangan, bahwa dengan
ketentuan jizyah seperti itu, syariat Islam nampaknya berkeinginan untuk
mendiskualifikasikan non-muslim dengan indikasi sebagai berikut: 1. Mereka dipaksa untuk
melakukan kewajiban agama yang di luar keyakinan mereka. 20Mah}mu>d H{ilmy, Niza>m
al-H}ukm al-Isla>my, (Kairo: Da>r al-Huda>, tt.), h. 10-13. 21Ibid. Konsep al-Jizyah dan
Status Kewarganegaraan … Al-Qānūn, Vol. 10, No. 2, Desember 2007 390 2. Mereka
dicabut dari hak bela negara yang sekaligus sebagai kewajiban moral bagi mereka, sementara
mereka dibebani dengan iuran atas nama kewajiban jihad.22 Menurut al-Na’i>m, konsep al-
jizyah tersebut mengandung watak ambivalence yang sangat mengaburkan serta tidak
memuaskan pandangan konstitusi modern, sehingga agaknya tidak layak diterapkan dalam
era modern seperti sekarang yang tidak memberi alternatif lain pada umat Islam dalam
membangun sistem pemerintahannya selain dengan menggunakan bentuk nation state.
Ditambah lagi, bahwa teks-teks ayat yang menopang konsep al-jizyah tersebut berkategori
ayat-ayat yang turun di Madinah atau ayat Madaniyyah yang dinilai bersifat diskriminatif dan
temporal.23 Al-Na’i>m agaknya mempunyai pandangan yang berbeda tentang syariah.
Menurutnya, syariah adalah seperangkat pemahaman manusia tentang ketentuanketentuan
agama yang bersifat evolusif, dalam arti, bahwa pemahaman tersebut dapat saja berubah
antara satu periode dengan periode berikutnya, sehingga syariah tersebut mengandung nilai
historisitas yang menjadi sangat penting untuk diperhatikan.24 Menurutnya, syariah yang ada
pada periode Madinah –seperti timbulnya konsep dhimmy dikarenakan adanya ayat jizyah-
adalah sebuah shari>’ah histories, dalam arti, bahwasanya ia hanya dapat sesuai dan berlaku

33
pada periode waktu itu, yang kondisi dan konteks sosio-historisnya berbeda dengan periode
sebelum dan sesudahnya.25 Tegasnya, al-Na’i>m menginginkan reformasi pengembangan
hukum Islam, khususnya, berkenaan dengan 22Abdullah Ah}med al-Na’i>m, Toward an
Islamic Reformation Civil liberties, Human Rights and International law (New York:
Hippocrene Book, 1986), h. 21. Pemikiran al-Na’i>m tersebut juga diungkapkan oleh Abu>
al-Ala> al-Mawdu>dy, The Islamic Law and Constitution, ter. Khurshid Ahmad (Lahore:
Islamic Publication LTD, tt.), h. 279. 23Abdullah Ah}med al-Na’i>m, Toward an Islamic
Reformation Civil liberties, h. 21. 24Ibid. 25Ibid. Muflikhatul Khairah Al-Qānūn, Vol. 10,
No. 2, Desember 2007 391 reorientasi terhadap konsep dhimmy. Ia mengajak secara serius
untuk merujuk kepada ayat-ayat Makkiyyah dalam persoalan politik pemerintahan negara
Islam terhadap warga negara dan toleransi beragama yang pada umumnya bersifat universal,
eternal dan non-diskriminatif. Menurut penulis, tesis al-Na’i>m tersebut logis, sebab ia
bertujuan menolak pemahaman tradisional dan klasik tentang makna al-jizyah. Penulis tidak
berarti mendukung al-Na’i>m, akan tetapi, menyayangkan dia yang menjadikan pijakan
tesisnya pada pemahaman klasik tersebut. Penulis berkeyakinan bahwa para fuqaha' awal
melakukan pemaknaan spekulatif yang ekstrem dan diskriminatif terhadap teks-teks al-jizyah,
misalnya, ungkapan: ‫ حتى يعطوا الجز ية وهم صاغرون‬yang berarti bahwa orang-orang non-muslim
(dhimmy) yang hidup di negara Islam harus selalu berada dalam kondisi hina dan terpaksa.26
Pemaknaan seperti itu, jelas memberi kesan bahwa tujuan jizyah adalah menghinakan kaum
dhimmy. Penulis lebih setuju dengan Yu>suf al-Qard}a>wy yang mengartikan ungkapan ayat
‫ صـاغرون وهـم‬di atas dengan arti bahwa mereka dalam kondisi tunduk patuh dalam membayar
jizyah. Yakni bahwasanya kaum dhimmy tersebut menyatakan tunduk terhadap konstitusi
negara Islam yang mereka artikulasikan dengan membayar jizyah tersebut.27 Dengan
demikian, konsep jizyah itu tidak mengandung muatan diskriminasi sedikitpun. Menurut
penulis, nas}s}-nas}s} jizyah yang berkategori Madaniyyah tersebut masih tetap dapat
dijadikan pijakan dalam konteks kedudukan dhimmy sebagai penduduk negara Islam.
Persoalan intinya terletak pada pemaknaan yang proporsional dan adil tentang jizyah. Konsep
jizyah yang 26Penafsiran seperti itu membawa dampak pemahaman bahwa kaum dhimmy
tidak boleh dimuliakan, mereka tidak boleh diberi salam dan pandangan-pandangan lain yang
diskriminatif. Lihat Isma>’i>l Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur'a>n al-‘Az}i>m, juz. 2 (Beirut:
Da>r al-Ma’rifah, 1987), h. 360-361. 27Yu>suf al-Qarda>wy, Ghair al-Muslimi>n, h. 31-33.
Konsep al-Jizyah dan Status Kewarganegaraan … Al-Qānūn, Vol. 10, No. 2, Desember 2007
392 berimplikasi pada penentuan status dhimmy tersebut masih relevan dengan era
kontemporer yang sangat memperhatikan pasal 18 dari universal declaration of human rights.
Sebab ketentuan jizyah tersebut dapat menjadi pemantap status dhimmy sebagai penduduk
yang resmi berdasarkan konstitusi. Sehingga dengan demikian, mereka mendapatkan status
kebangsaan dan kewarganegaraan yang jelas dalam wilayah daulah isla>miyyah. F. Bias
Pandang terhadap Konsep al-jizyah Al-Jizyah merupakan ketentuan syariah yang berdasarkan
pada teks al-Qur'an dan al-Sunnah.28 Menurut alS}an'a>ny, jizyah tersebut diundangkan atau
disyariatkan pada tahun kesembilan hijriyah.29 Ia mempunyai kaitan erat dengan konsep
dhimmah yang menurut Akh. Minhaji, bahwa sebenarnya dhimmah tersebut berasal dari
tradisi Arab jahiliyah berupa al-jiwa>r, yaitu suatu bentuk perlindungan terhadap individu
atau suatu komunitas agar tidak diperangi atau dibunuh.30 Berdasarkan keterangan tersebut,
menurut penulis, terdapat hal mendasar yang harus diketahui. Pertama, bahwa munculnya

34
ketentuan jizyah tersebut adalah pada periode Madinah, artinya, ia belum muncul pada
periode awal Islam. Kedua, bahwa diundangkannya jizyah tersebut tidak dapat 28Dasar al-
Qur'annya terdapat pada QS. al-Taubah (9): 29. Sedangkan dasar sunnahnya adalah berupa
praktek Rasul menetapkan dan memerintahkan untuk mengambil jizyah tersebut dari
penduduk Yaman, Daumah al-Jandal dan kaum Majusi tanah Hajar. Lihat al-S}an’a>ny,
Subul alSala>m (Beirut: Da>r al-Fikr, 1986), h. 65. 29Ibid., h. 55. 30Jiwa>r adalah suatu
tradisi Arab jahiliyah yang mana peperangan telah menjadi fenomena yang biasa. Sehingga
suku atau qabilah yang kalah perang menjalin akad perjanjian pada pihak yang menang untuk
melindunginya dengan imbalan membayar sejumlah harta tertentu. Tradisi seperti itu
agaknya mirip dengan tradisi modern sekarang ini dengan konsep "suaka politik". Lihat
Akhmad Minhaji, “Hak-hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam; Penafsiran Baru tentang
minoritas non-muslim”, dalam Jurnal ‘Ulu>m al-Qur'a>n, no. 2, vol. 5, 1993, h. 19.
Muflikhatul Khairah Al-Qānūn, Vol. 10, No. 2, Desember 2007 393 dilepaskan dari latar
belakang sosio-historis yang mengitarinya. Secara garis besar, periode Madinah dapat
dibedakan menjadi dua: pertama, yaitu periode pembentukan masyarakat Madinah
berdasarkan pada Piagam Madinah secara murni,31 dalam arti, belum ada penghianatan-
penghianatan terhadapnya, berlangsung hingga munculnya ketentuan jizyah. Kedua, yaitu
periode al-Mujtama’ al- Isla>my dengan ditandai adanya ketentuan jizyah sampai
berakhirnya periode al-Khulafa> al-ra>shidu>n. Ketentuan al-Jizyah memang berkaitan erat
dengan latar belakang pengkhianatan-pengkhianatan dari anggota masyarakat Madinah,
khususnya, dari kalangan ahl al-Kita>b, Yahudi dan Nasrani baik berupa pengingkaran
perjanjian perdamaian maupun berupa rentetan makar dan tipu muslihat untuk membunuh
Rasulullah.32 Penghianatan tersebut mendorong turunnya perintah memerangi orangorang
kafir yang menghalang-halangi dakwah Islam, khususnya Yahudi Madinah sendiri, misalnya
QS. al-Baqarah (2):193 dan al-Anfa>l (8): 37. Dalam melakukan peperangan dan pengusiran
terhadap orang-orang kafir, Rasulullah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Ini semisal
Rasulullah memberi kesempatan beberapa hari untuk pindah dan memberikan souverignity
perbekalan perjalanan evakuasi. Bahkan, Rasulullah juga memikirkan lahan sebagai tempat
tinggal orang-orang kafir yang terusir tersebut. Hanya saja bagi yang menentang dan berlaku
zalim, maka harus dihukum.33 Kemudian bagi yang masih menginginkan bertempat tinggal
dan bergabung hidup dalam wilayah politik daulah Isla>miyah, 31Piagam Madinah
merupakan konstitusi yang rumusannya mengandung prinsip-prinsip keadilan, persamaan dan
egaliter yang secara teoritis bercita-cita menyatukan masyarakat Madinah yang sangat
heterogen, yang didalamnya terdapat minoritas dan mayoritas dalam bingkai kehidupan yang
damai, aman dan saling melindungi. Lihat Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1990), h. 16. 32Akh. Minhaji, Hak-hak Asasi
Manusia, h. 22. 33Abu> al-Ala> al-Maudu>dy, Shari>ah al-Isla>m, h. 222-225. Konsep al-
Jizyah dan Status Kewarganegaraan … Al-Qānūn, Vol. 10, No. 2, Desember 2007 394
dengan mengikat perjanjian dhimmah sebagai dhimmy, maka Rasul memberikan sambutan
yang menyejukkan, sehingga ia pernah menginstruksikan dalam hadisnya, bahwa siapa yang
mengganggu dhimmy maka sama artinya dengan mengganggu saya.34 Dalam mengambil
jizyah dari kaum dhimmy, Rasulullah sangat memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan
kemanusiaan, sebagaimana ketentuan, bahwa orang tua renta, orang sakit, orang fakir-miskin,
anak-anak kecil dan orangorang perempuan tidak diwajibkan membayar jizyah. Begitu juga

35
para khalifah sesudahnya, seperti Abu> Bakr, ‘Umar, ‘Uthma>n dan ‘Aly ra. Bahkan pada
periode awal ‘Abba>siyyah konon ada beberapa dhimmy yang diberi hak menduduki jabatan
politis strategis, seperti Jirjis ibn Bukhtayshu' yang menjabat wila>yah al-Tafwi>d} sebagai
ketua dokter pada pemerintahan Abu> Ja’far al-Mans}u>r dan sebagainya.35 Hal itu
menunjukkan bahwa syariah Islam tidak bermaksud menghinakan dan bersikap diskriminatif
terhadap kaum dhimmy dalam hal kewajiban jizyah. Dalam perjalanan historis, pasca
Rasulullah, memang tidak dapat dipungkiri, terdapat perlakuan diskriminatif dan berbau
menzalimi terhadap dhimmy yang dilakukan sebagian oknum penguasa muslim yang
mengatasnamakan Islam. Ini seperti adanya keharusan berpakaian khusus bagi dhimmy,
adanya larangan pada mereka mengenakan pakaian orangorang Islam, atau adanya paksaan
dan penekanan terhadap mereka. Semua penyelewengan itu nampaknya telah direkam oleh
para juris dan fuqaha' klasik, yaitu baru setelah usai paruh pertama periode ‘Abba>siyyah,36
secara subyektif sehingga ketentuan fikih yang mereka rumuskan tentang kaum dhimmy
berbau diskriminatif. Sebagai bukti, harga dam 34Yu>suf al-Qard}a>wy, Ghair al-
Muslimi>n, h. 32-35. 35Ibid., h. 54. 36Ann K.S Lambton, State and Government in Medievel
Islam (Oxford University Press, 1991), h. 204-205. Muflikhatul Khairah Al-Qānūn, Vol. 10,
No. 2, Desember 2007 395 mereka adalah setengah dari harga seorang muslim, begitu juga
kesaksiannya, dan lain-lain. Ironisnya lagi, ketentuan fikih klasik tentang dhimmy dan jizyah
tersebut diekspos oleh kaum orientalis dan fuqaha' kontemporer sebagai bahan untuk
mendiskriditkan syariah Islam yang bersifat diskriminatif dan tidak sesuai lagi dengan hak-
hak asasi manusia. 37 Menurut penulis, penilaian seperti itu tidak mempunyai dasar dan
bukti-bukti yang kuat sehingga terkesan sangat ceroboh. Hal itu terjadi, menurut hemat
penulis, adalah karena adanya bias pandang mereka terhadap konsep dhimmy dan al-jizyah,
yang semestinya harus dilihat dengan paradigma klasik. Tetapi sebaliknya, mereka
memperkosanya dengan meletakkan keduanya pada pola pandang dan paradigma modern
dengan barometer HAM (Hak-hak Asasi manusia). G. Perlakuan Islam terhadap Non-Muslim
(Dhimmy) dalam Sorotan HAM Pada dasarnya, rumusan-rumusan hukum Islam yang
menyangkut non-muslim (dhimmy) adalah merupakan upaya rasionalisasi dari praktek-
praktek para penguasa Islam pada masa awal sejarahnya yang kemudian para juris (fuqaha')
baru dapat merumuskannya pada masa awal pemerintahan rezim ‘Abba>siyyah.38 Dengan
demikian, pemahaman para juris tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh fenomena yang
ada ketika itu, dan boleh jadi tidak sesuai dengan perlakuan yang telah dipercontohkan oleh
Rasulullah Muhammad saw dan para khalifah empat sesudahnya (alKhulafa>’ al-
Ra>shidu>n). Perlakuan para penguasa Islam pasca Muhammad saw seperti itu memang
sangat beragam, dan konfigurasi politik pada saat itu sangat berpengaruh terhadap
kebijakankebijakan hukum, terutama, mengenai posisi dhimmy tersebut. Atas fakta seperti
itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan 37Yu>suf al-Qard}a>wy, Ghair al-Muslimi>n, h. 57-
59. 38Ann K.S Lambton, State and Government, h. 202, 205. Konsep al-Jizyah dan Status
Kewarganegaraan … Al-Qānūn, Vol. 10, No. 2, Desember 2007 396 bahwa, dalam melihat
dhimmy harus disesuaikan dengan konteks sosio-politiknya, sehingga dengan begitu, tidak
ada salah penilaian terhadap Islam bahwa tatanan pemerintahannya sangat bertentangan
dengan HAM. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwasanya Islam dalam memposisikan
dhimmy dalam komunitas masyarakat Islam itu semata-mata didasarkan pada nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan dan persamaan derajat sebagai makhluk manusia, dan hal itu tentu

36
saja sejalan dengan HAM. Hal itu dapat dilihat dari kronologi sejarah perkembangan Islam
yang selalu berusaha untuk membebaskan manusia dari keterpurukan harkat dan martabatnya
yang disebabkan oleh terjadinya peperangan yang berkepanjangan pada pra Islam. Jauh
sebelum Islam datang, memang pelaksanaan sovereignity (usaha untuk mendapatkan
kekuasaan) didasarkan pada tradisi hukum rimba yang dibumbui dengan tradisi persaingan
antar suku atau antar berbagai kekuatan dengan kekerasan. Dengan demikian, pihak yang
kuat selalu ingin mengalahkan dan menguasai pihak yang lemah. Sejarah juga menunjukkan
bahwa berbagai kekuatan, misalnya Ancient Rome dan Medievel Cristendom, pernah
berambisi menguasai dunia di bawah satu bendera yang mereka kibarkan; berbagai kelompok
atau kekuatan yang ada mereka upayakan berada di bawah pengaruhnya.39 Dan sebenarnya
masih banyak fenomena-fenomena yang ditunjukkan oleh sejarah bahwa kekuatan menjadi
sesuatu yang didewakan dan peperangan menjadi senjata utamanya, sehingga pihak yang
kalah selalu dirampas hak-hak asasinya, bahkan dijadikan sebagai budak-budak yang hina.
Berbeda dengan beberapa Empire yang tidak membawa bendera agama, kekuasaan Islam
secara tegas saat itu muncul 39Bandingkan dengan Howard yang menyatakan, bahwa Islam
jauh lebih toleran terhadap minoritas agama daripada Eropa-kristen pada dekade sebelum
abad keempat belas ketika orang-orang Katolik dan Yahudi di Inggris tidak diberi hak
kewarganegaraan; ketika Eropa menyiksa, membakar dan meyingkirkan umat muslim dan
lain-lain. Periksa Rhoda E. Howard, HAM: Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, terj.
Karjosungkoso (Jakarta: Pustaka Utama Grafika, 2000), h. 146-147. Muflikhatul Khairah Al-
Qānūn, Vol. 10, No. 2, Desember 2007 397 dengan mengatasnamakan agama. Sebagaimana
pula yang dikatakan al-Na’i>m, bahwa kehadiran Islam adalah berupaya untuk membebaskan
manusia dari krisis harga diri dan suasana mencekam yang menyelimuti masyarakat luas. Dia
memberi contoh kedatangan Islam pertama kali di Mesir pada tahun 640 M. Sebelum itu
masyarakat setempat senantiasa berada dalam situasi pertumpahan darah, misalnya, konflik
yang berkepanjangan antara penganut Egyptian Church of Alexandria dengan penganut
Byzantine Ortodox Church. Dalam kondisi seperti itu tidaklah mengherankan jika masyarakat
setempat menyambut hangat kedatangan Islam, yang ketika itu, menawarkan suasana
toleransi yang sangat tinggi pada masyarakat Koptik pada umumnya.40 Sejalan dengan
peristiwa di atas adalah masuknya Islam ke wilayah lembah Yordan. Pada saat itu Islam
dipimpin oleh Abu> ‘Ubaidah. Di lembah tersebut mereka mendirikan bangunan tenda
perkampungan di Fil. Masyarakat setempat ketika itu beragama Kristen dan mengirimkan
surat kepada pemimpin Islam yang berbunyi sebagai berikut: "Wahai kaum muslimin! Kami
lebih menyukai anda dari pada orang-orang Bizantium, walaupun mereka itu seagama dengan
kami. Karena –di samping anda menghargai keyakinan kami- anda juga lebih baik dan
bertindak lebih adil terhadap kami, dan peraturan yang anda rumuskan untuk kami lebih baik
daripada peraturanperaturan yang diberlakukan oleh penguasa Bizantium. Lebih dari itu lagi,
mereka telah banyak merampas kekayaan dan rumah-rumah kami".41 Kedatangan Islam di
berbagai wilayah telah memperbaiki dan mengangkat kondisi masyarakat setempat. Sehingga
di samping mereka menikmati toleransi yang tinggi dan kesenangan hidup yang memadai,
mereka juga dapat 40Abdullah Ah}med al-Na’i>m, “Religious Freedom in Egypt: Under the
Shadow of the Islamic Dhimmah System”, dalam Religious Liberty and Human Rights in
Nation and Religion, ed. Leonard Swidler (New York: Hippcrene Book, 1986), h. 50. 41T.W.
Arnold,The Preaching of Islam (Lahore: AshrafPublication, 1961), h. 55. Konsep al-Jizyah

37
dan Status Kewarganegaraan … Al-Qānūn, Vol. 10, No. 2, Desember 2007 398
berkesempatan memegang posisi penting dalam bidang administrasi pemerintahan Islam
seperti di pengadilan ataupun di lembaga-lembaga ekonomi. Berdasar pada deskripsi di atas,
maka adanya penilaian selama ini, bahwa Islam –dalam memperlakukan non-muslim
(dhimmy)- telah jauh melanggar nilai keadilan dan HAM adalah tidak dapat diterima.
Adanya perlakuan dan kebijakan yang berbeda dari sebagian penguasa pemerintahan Islam
terhadap dhimmy, misalnya –dalam mengambil jizyah- para penguasa tersebut bermaksud
menghinakan dan menghukum kaum dhimmy tersebut atas ketidaksetujuannya dengan
ideologi Islam sebagaimana yang memang pernah terjadi pada beberapa periode
pemerintahan rezim klasik Bani ‘Umayyah dan ‘Abba>siyyah, dan pernah terjadi pada rezim
Shah Pahlevi di Iran di era modern dan selainnya.42 Sebaliknya, pembayaran jizyah itu
dimaksudkan untuk memberi kesempatan kaum dhimmy agar dapat berpartisipasi terhadap
negara, sebagaimana yang pernah dipraktikkan Rasul Muhammad dan al-Khulafa>’ al-
Ra>shidu>n, yang -menurut Hamidullah- dapat disejajarkan dengan kewajiban membayar
zakat bagi penduduk muslim pada setiap tahunnya.43 Lebih dari itu, pembayaran jizyah
tersebut hanya dikenakan bagi yang mampu saja, yang hal itu menjadi indikasi bahwa
fungsinya adalah sebagai zakat atas penduduk muslim. Dan sebagai bentuk kesamaan dan
kesetaraan, bahwa kaum dhimmy yang tidak mampu akan diberi santunan dari bait al-ma>l
sebagaimana orang-orang muslim yang lain. H. Penutup Dari uraian di atas dapat dipahami,
bahwa ketentuan syariah Islam tentang jizyah yang berkolerasi dengan status non-muslim
(dhimmy) memiliki dasar yang kuat dalam hukum Islam. 42Muhammad Hamidullah, The
Muslim Conduct of State (Lahore: Ashraf Publication, tt.), h. 106. 43Ibid. Muflikhatul
Khairah Al-Qānūn, Vol. 10, No. 2, Desember 2007 399 Ketentuan jizyah tersebut merupakan
produk fikih klasik dengan paradigma pemikiran fikih klasik pula yang tidak dapat dipandang
dan dianalisis dengan barometer modern dengan merujukkan pada prinsip human rights.
Ketentuan jizyah sebagaimana ditunjukkan al-Qur'an dan al-Hadis tidak mengandung
sedikitpun nilai diskriminatif apalagi memojokkan posisi dhimmy. Bahkan ia merupakan
indikasi keadilan hukum Islam dalam memandang kesamaan derajat manusia. Hukum Islam,
sebetulnya memberi ruang gerak kehidupan politik yang sangat lentur dan fleksibel, memberi
kesempatan hidup rukun dan damai dalam persemakmuran secara common wealth dengan
berbagai ragam etnis dan agama sebagaimana dicontohkan Rasulullah pada periode awal
masyarakat Madinah yang berdasar pada Madinah Charter yang terdapat unsur persamaan
dengan bentuk Nation State di era kontemporer ini. Dan penyelewengan sebagian penguasa
Islam tentang perlakuan tidak adil pada kaum dhimmy karena konfigurasi politik yang ia
mainkan tidak dapat dijadikan indikasi untuk memberi justifikasi bahwa Islam telah berlaku
tidak adil, menyetujui diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak-hak Asasi
Manusia.

38
E. Sistem Dharobah
Adh-Dharibah berasal dari bahasa Arab ‫ ةَيبْ ِ ضر َّل‬atau bisa juga disebut Al-Maks berasal
dari bahasa Arab ‫ س ك ْ َم ْ ال‬yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para
penarik pajak.” (Lihat Lisanul Arab IX/217-218 dan XIII/160, dan Shahih Muslim dengan
syarahnya oleh Imam Nawawi XI/202). Sedangkan para pemungutnya disebut َ‫ْكس ْ َع َّشا ر‬ ِ ‫م‬
atau) Maks Shahibulَ (‫ )صا ِح ب ال ْ ال‬Al-Asysyar). 9 Namun demikian Adh-Dharibah hanya
terbatas pada negara non muslim yang menggarap tanah negara. Ketentuan-ketentuan syar’i,
baik yang tertuang di dalam Al-qur’an maupun Hadits Nabi SAW, yang mengatur pajak
secara langsung memang tidak ada, 10 yang ada adalah atsar para sahabat yang berbentuk
praktek penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin, sejak Khalifah
Umar bin Khattab.
Pembiayaan Mudharabah BankSyariah
Pada   saat  kehadiran   bank  syariah,  kesan   yang  paling melekat dengan bank syari'ah
adalah "bank bagi hasif'.Hal ini dilakukan untuk membedakan bank syari'ah dengan bank
konvensional yang operasionalnya berbasis  bunga.Opini tersebut tidak salah, tetapi tidak 
sepenuhnya  benar.Karena sesungguhnya bagi hasil itu hanya merupakan  salah satu bagian
saja  dari sistim operasi bank syari'ah. Mekanisme bagi hasil di bank syari'ah dijalankan  
berdasarkan   prinsip   mudharabah    dan/atau musyarakah.  Namun  dalam  penelitian   ini
fokus  pengkajiannya pada prinsip mudharabah pada pembiayaan  atau penyaluran  dana
bank syari 'ah kepada masyarakat.
I.    Pengertian  pembiayaan  mudharabah
Sebeium  dijelaskan pengertian  pembiayaan  mudharabah,   perlu dijelaskan terlebih
dahulu:  pengertian "pembiayaan".  Pembiayaan selalu  berkaitan  dengan aktivitas  bisnis
(usaha  produktif).  Bisnis adalah aktifitas yang   mengarah  pada  peningkatan  nilai  tambah 
melalui proses penyerahan jasa,  perdagangan atau  pengolahan barang  (produksi). Pelaku
bisnis  dalam  menjalankan usahanya membutuhkan  sumber  modal.  Jika  pelaku  usaha
tidak  memiliki  modal  secara  cukup, maka  ia akan berhubungan dengan pihak lain seperti
bank, untuk mendapatkan suntikan  dana,  dengan melakukan pembiayaan. Jadi bisnis
merupakan aktivitas berupa pengembangan aktivitas ekonomi dalam bidang jasa,
perdagangan dan industri guna mengoptimalkan nilai keuntungan. Dari pengertian tersebut,
maka pengertian pembiayaan (financing) adalah  pendanaan  yang diberikan oleh   suatu  
pihak   kepada   pihak   lain  untuk  mendukung investasi  yang  telah  direncanakan, baik
dilakukan  sendiri (orang  perorang)  mapun lembaga (organisasi)
Sedangkan  pengertian"mudharabah   (sebagai salan  satu  prinsip dalam  produk  bank syari
'ah,  baik produk  pendanaan  maupun   produk  pembiayaan), dapat dij elaskan  sebagai
bernkut: Murinde, Naser,  dan Wal ace (1995) dalam Muhammad  (2005),"  mengatakan   
bahwa,  bentuk   khusus kontrak keungan yang telah dikembangkan untuk menggantikan    
mekanisme      bunga     dalam     transaksi keuangan  adalah  mekanisme  bagi hasil.
Mekanisme bagi hasil    mm     merupakan     core   product    bagi    lembaga keuangan 
syariah,  seperti  bank   syariah.   Sebab   bank syariah   secara    eksplisit    rnelarang 
penerapan   tingkat bunga   pada  semua   transaksi   keuangannya.  Mekanisme bagi   hasil   
yang   dimaksud   adalah    bagi  hasil  dalam pembiayaan mudharabah
Secara  etimologi  al-mudharabah berasal dari kata dharb   sebagaimana  terdapat   dalam
Al-Qur'an'Kata dharb,   artinya  memukul  atau  berjalan. Pengertian memukul atau berjalan
ini lebih tepatnya berarti proses seseorang   memukulkan  kakinya dalam menjalankan usaha.

39
Secara  terminologi  pengertian mudharabah, seperti dikemukakan para
fuqaha   mengartikan mudharabah secara praktek,  sebagaimana  yang dipraktekan antara
Nabi saw. dan Khadijah sebelum pernikahannya, ketika  Nabi saw.,  mendapat  kepercayaan
mengadakan perjalanan dagang  ke Syiria untuk Khadijah
Dalam ha! ini Khadijah sebagai shahibul maal yang memberikan pembiayaan, sedangkan 
Nabi saw., berperan sebagai pelaksana  usaha atau mudharib.
Wiroso'  mengutip  Kamus  lstilah  Keuangan   dan Perbankan    Syari' ah  yang   diterbitkan
Bank   Indonesia, menjelaskan istilah mudharabah, sebagai usaha yang beresiko  (risky
business)   adalah  akad  kerja  sama  usaha antara pihak pemilik  dana dengan pihak
pengelola  dimana keuntungan  dibagi  sesuai dengan  nisbah yang  disepakati, sedang
kerugian   ditanggung   pemilik   dana.   
Selanjutnya Karim19 menjelaskan, mudharabah adalah akad kerja sama usaha  antara  dua
pihak  dimana  pihak pertama  (shahibul maal)  menyediakan  seluruh  (100%) modal, 
sedangkan pihak      lainnya menjadi pengelola.   Keuntungan mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam  kontrak,  sedangkan apabila  rugi  ditanggung oleh
pemilik   modal    sepanjang   kerugian    itu   bukan    akibat kelalaian  pengelola. Apabila
kerugian  itu akibat  kelalaian atau    kecurangan    pengelola,    maka    pengelola     harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut Hasan"  dan   Anshori   ?'   menjelaskan,  salah
satu bentuk kerja sama bagi hasil antara pemilik modal dan seseorang  yang  dilandasi  rasa 
tolong  menolong, dikarenakan ada orang mempunyai modal, tetapi tidak mempunyai
keahlian dalam menjalankan roda perusahaan Ada  juga   orang  yang mempunyai modal  dan
keahlian tetapi tidak mempunyai waktu. Sebaliknya  ada orang yang mempunyai  keahlian
dan waktu  tetapi  tidak  mempunyai modal.   Apabila   ada   kerja   sama  dalam   
menggerakkan suatu usaha, maka kedua  belah  pihak  akan  mendapatkan keuntungan  modal
dan skill (keterampilan) dipadukan menjadi satu. Kerja sama seperti inilah yang
disebut mudharabah   atau  qiradh.  Dalam  ha!  pembagian,  model kerja  sama  ini
menggunakan metoda  bagi untung  (profit sharing)  atau pembagian dengan cara metoda
bagi pendapatan (revenue  sharing)'antara  kedua  belah  pihak berdasarkan  nisbah (rasio
bagi hasil)  yang  telah disepakati.
Dalam  sistim  bank  syari 'ah,  bagi  hasil  merupakan suatu  mekanisme yang  dilakukan
para  pihak  baik shahibul ma!   maupun   mudharib   dalam   upaya   memperoleh  hasil
usaha  sesuai  kontrak  yang  disepakati bersama  pada  awal akad. Penentuan porsi bagi
hasil  antara  kedua  belah  pihak ditentukan  sesuai kesepakatan  bersama   dan  harus  terjadi
dengan  adanya  kerelaan  (at-tarodhin) oleh masing-masing pihak tanpa  adanya  unsur
paksaan.Selain itu  dalam perbankan     syari 'ah      penera pan      bagi      hasil      harus
memperhatikan   prinsip   at-Ta'awun,  yaitu   saling membantu dan sating bekerjasama
diantara anggota masyarakat untuk  kebaikan. Disamping itu juga  harus menghindari   
prinsip    al-Iktinaz,    yaitu    menahan    uang (dana)  dan  membiarkannya menganggur
(tidak  digunakan untuk   transaksi)   sehingga   tidak  berrnanfaat bagi masyarakat umum.'
Berdasarkan uraian pengertian "pembiayaan" dan pengertian "mudharabah" di atas, maka
pembiayaan mudharabah   dapat   didefenisikan   sebagai   bentuk    kerja sama  antara  dua
pihak  untuk  melakukan usaha produktif (bisnis),  dimana  salah  satu  pihak  (shahibul
maal)  menyerahkan  dana  (100%)  untuk  dijadikan modal  dalam usaha  produktif (bisnis)
tersebut  kepada  pihak  lain (mudharib)   sebagai   pengelola    usaha  produktif  (bisnis)
dengan sistim bagi basil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati  pada  awal  kontrak  
atau perjanjian.  Bilamana dalam  usaha  produktif (bisnis)  tersebut   terjadi  kerugian,
maka     seluruhnya     ditanggung    oleh     pemilik      modal (shahibul  maal),  dengan  

40
syarat  bahwa  kerugian   tersebut bukan  karena    kesalahan    atau   kelalaian    dari   
pengelola usaha     (mudharib).Jika     kerugian      itu     timbul    akibat kesalahan    atau   
kelalaian   pengelola  usaha    (mudharib), maka  kerugian  tersebut  menjadi
tanggungjawabnya
Dalam pembiayaan mudharabah, bank syari'ah menggunakan dua jenis skema, yaitu
pembiayaan mudharabah mutalaqah dan
pembiayaan mudharabah muqayyadah. Pembiayaan mudharabah  mutalaqah  adalah
pemodal  (bank  syari'ah) tidak  mensyaratkan kepada pengelola     (mudharib)    untuk    
melakukan   jenis    usaha tertentu. Jenis  usaha  yang  akan  dijalankan  oleh
mudharib sepenuhnya   atas  pilihannya.  Namun,  ada  ha! yang  tidak boleh   dilakukan    
oleh   mudharib   tanpa   seizin   pemodal (bank   syari'ah),   antara   lain:  meminjam    
modal, meminjamkan    modal,     dan    me-mudharabah-kan    lagi kepada   orang  lain. 
Sedangkan   pembiayaan  mudharabah muqayyadah   adalah   pemodal   (bank   syariah)
mensyaratkan kepada pengelola  usaha  (mudharib)  untuk melakukan  jenis  usaha  tertentu
pada  tempat  dan  waktu tertentu. Dengan bentuk pembiayaan mudharabah muqayyadah ini,
menurut  Anshori, bank syari'ah selaku shahibul maal  lebih mudah dalam melakukan
kegiatan monitoring terhadap  usaha  yang  dilakukan   oleh  nasabah sebagai mudharib
2.    Karakteristik Pembiayaan Mudharabah
Bank syari 'ah atau biasa disebut "bank tanpa bunga adalah lembaga keuangan/perbankan
yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada  Qur'an dan Hadits.
Dengan kata lain, bank syari'ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya menghimpun
dana dan menyalurkan dana melalui pembiayaan sertajasa-jasa lainnya dalam lalulintas
pembayaran dan peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syari'at
Islam. Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008  tentang Perbankan Syari 'ah,
disebutkan  bahwa: "Perbankan Syari'ah dalam  melakukan kegiatan usahanya berasaskan
prinsip syariah, demokrasi  ekonomi, dan prinsip  kehati• hatian"Selanjutnya dalam
penjelasannya diuraikan bahwa; yang  dimaksud  dengan prinsip syari'ah"adalah kegiatan
yang tidak mengadung  unsur-unsur (riba26, maisir, gharar, haram, dan zalim") yang
dilarang syara.Sedangkan yang dimaksud dengan "demokrasi ekonomi"  adalah kegiatan
ekonomi  syari 'ah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan
kemanfaatan.Selanjutnya yang dimaksud  dengan "prinsip  kehati-hatian   adalah  pedoman
pengelolaan  bank yang  wajib   dianut   guna  mewujudkan  perbankan   yang sehat, kuat dan
efisien  sesuai dengan  ketentuan  peraturan perundang-undangan
Karakteristik umum bank  syari'ah  sebagaimanadisebutkan  dalam  pasal 2 UU No.  21 
tahun  2008 di  atas tentunya    berpengaruh     pada    produk-produknya  salah satunya
produk pembiayaan, seperti pembiayaan mudharabah.       Bank     syari ah     merupakan      
lembaga keuangan     yang     berfungsi     meperlancar   mekanisme ekonomi  disektor  riil
melalui  aktivitas  kegiatan  usahanya dalam  ha]  ini  pembiayaan mudharabah  yang
berdasarkan prinsip syari'ah
Pembiayaan  mudharabah   yang berdasarkan prinsip syariah, yaitu aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam  antara   bank   dengan   pihak   lain   untuk pembiayaan usaha
yang  dinyatakan   sesuai  dengan  nilai• nilai syari'ah, baik yang
bersifat makro mapun mikro. Menurut Ali'', nilai-nilai makro yang dimaksud adalah
keadilan,   maslahah,    sistim   zakat,   bebas   riba   (bunga), bebas dari maisir, bebas
dari gharar,  tidak bathil,  dan mempergunakan uang sebagai alat tukar. Sedangkan  nilai•
nilai yang bersifat mikro, adalah sifat-sifat mulia yang dicontohkan Nabi  saw.,  yaitu
shiddiq   (bersih),  amanah, tabligh (transparan), dan fathonah (professional).

41
Sistim bagi hasil merupakan ciri-ciri  khusus dari investasi  pembiayaan mudharabah yang
menjamin keadilan dan kemanfaatan, yang dalam operasional pembiayaan tersebut tidak ada
pihak yang tereksploitasi atau terzalimi.  Karakter  bagi  hasil dalam prinsip syari 'ah dapat
dijumpai pada bentuk pembiayaan mudharabah dengan berbagai  ragam  variasinya Antonio
(2000) menjelaskan variasi bagi hasil dalam bank syari'ah ada empat macam, yaitu al-
Musyarakah, al-Mudharabah, al Muzara'ah, dan al-Mushaqah.  Namun yang banyak dipakai
dalam bank syari'ah adalah al-Musyarakah,dan al-Mudharabah. Sistim bagi hasil merupakan
sistim pelaksanaan perjanjian atau akad bersama dalam melakukan kerja sama dalam
kegiatan suatu usaha produktif (bisnis).Bisnis tersebut diperjanjikan suatu pembagian hasil
keuntungan yang akan didapat antara kedua  belah  pihak. Penentuan porsi bagi hasil  atau
nisbah disesuaikan dengan kesepakatan para pihak dan harus terjadi dengan suatu
kerelaan (an-tarodhin)  dimasing-masing  pihak tanpa ada unsur paksaan.
Pembiayaan   mudharabah   dengan    konsep    bagi hasil merupakanproduk investasi dalam
operasional bank syari' ah. Bank  syari'ah  berorientasi pada  kerj a sama  dan instrumen-
instrumen pembiayaan syari'ah, secara ideal didasakan  atas bagi  hasil, memperlihatkan suatu
hubungan kemitraan  dan kesejajaran antara  pemilik modal  (shahibul maal)  dengan   
pengelola   usaha   (mudharib)  yang   sesua dengan  prinsip keadilan  Kesamaan status
dalarn hubungan  kerjasama  tersebut,  menunjukan  kedua  belah pihak memiliki posisi
tawar  menawar yang seimbang serta
mencerminkan transparansi dan kejujuran dalam setiap tindakan yang dilakukan Faktor-
faktor inilah yang menjadi pembeda  antara  operasional bank  syari'ah dengan bank 
konvesional, sehingga  hal  utama dalarn bank syariah  khususnya   pada  investasi
pembiayaan mudharabah   adalah   adanya   kepercayaan  antara  kedua belah pihak dalam
kerja  sama tersebut
3.  Rukun dan Syarat Pembiayaan Mudharabah
Salah saru pembiayaan bank syari 'ah  adalah melalui akad  mudharabah, atau disebut 
dengan kerja sama  usaha sistim bagi hasil, yang kemudian dalam produknya disebut dengan
pembiayaan mudharabah. Pembiayaan  mudharabah merupakan kegiatan  kerja sama usaha
produktif (bisnis) antara shahibul maal dengan mudharib.   Dalam  kerja sama tersebut ada
beberapa ketentuan syari 'at yang harus dipenuhi dalam rangka mengikat kedua belah  pihak
dalam kerangka  hukum.  Sah tidaknya perjanjian kerja  sama  bagi hasil sangat tergantung
pada pencapaian rukunnya. Apabila rukunnya tidak sesuai, kerja  sama dapat dibatalkan atau
tidak sah.Dalam ha! rukun ini, memang diakui terdapat perbedaan  pandangan diantara para
fuqaha. Menurut madzhab Hanafi  dalam kontrak mudharabah,  unsur  yang  paling
mendasar adalah adanya ijab  dan qabl (offer and acceptance), artinya bersesuaiannya
keinginan dan maksud  dari  dua pihak tersebut untuk menjalin ikatan kerja sama Namum
beberapa  madzhab  lain, seperti  Syafi'i  mengajukan beberapa  unsur mudharabah  yang
tidak hanya adanya  ijab dan qabul,  tetapi  juga  adanya  dua pihak, adanya  kerja, adanya
laba, dan adanya modal. Ascarya''  menyebutkan, ada beberapa  rukun  dari akad
mudharabah   yang  harus  dipenuhi  dalam  transaksi, yaitu: (1)  pelaku  akad,
yaitu  shahibul  maal  (pemodal) dan mudharib  (pengelola); (2) obyek  akad, yaitu: 
modal (maal),  kerja  (dharabah), dan keuntungan  (ribh);  dan (3) shighah,   yaitu   (jab  dan
qabul.   Selanjutnya Asro dan Kholid" menjelaskan ada empat hal mendasar
dalam mudharabah,  yaitu: (1)  adanya  akad  kerja  sama;  (2) adanya  pemilik  modal;  (3)
adanya  pengelola modal;  dan (4) adanya pembagian  keuntungan  dari hasil  usaha
Macam-macam Pembiayaan pada Perbankan Syariah

42
Senin, 15 Januari 2018 | 11:20 WIB BAGIKAN: Pembiayaan menurut definisi UU Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan adalah usaha perbankan dalam menyediakan uang atau “tagihan
yang dipersamakan dengan itu” kepada nasabahnya berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai (nasabah) mengembalikan
uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Tujuan
dari pembiayaan ini berdasarkan prinsip syariahnya adalah peningkatan kesempatan kerja dan
kesejahteraan ekonomi nasabah/pihak yang dibiayai. Pembiayaan ini dalam bank konvensional
disebut kredit perbankan dengan penetapan bunga.  Sifat dari pembiayaan suatu perbankan
adalah harus bisa dinikmati oleh semua kalangan termasuk pengusaha yang bergerak di bidang
industri, manufacture, pertanian, perdagangan dan beberapa segi bidang lainnya. Langkah ini
merupakan mutlak harus dilakukan seiring pembangunan nasional membutuhkan upaya
membuka seluas-luasnya kesempatan kerja, lembaga yang mampu menunjang produksi dan
distribusi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, ruang
gerak perbankan syariah harus mencakup juga upaya permodalan sehingga tidak hanya berkutat
pada aspek industri kecil rumah tangga atau kebutuhan-kebutuhan skala domestik. Ini mutlak
harus dilakukan jika berharap perbankan syariah mampu menggantikan segmen perbankan
konvensional dari segi pembiayaan. Kebutuhan nasional di bidang ekspor dan impor sementara
waktu masih bergantung kepada aplikasi bank konvensional. Fasilitas yang dilegalkan oleh fiqih
untuk kebutuhan pembiayaan ini ada tiga, yaitu (1) murabahah, (2) mudharabah, dan 3)
musyarakah.  Pembiayaan Murabahah Untuk pembiayaan murabahah, sebagaimana telah
dijelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya, adalah dilaksanakan dengan instrumen jual beli
dengan mengambil keuntungan. Murabahah juga berpeluang memberikan permodalan usaha
lewat aqad bai’ murabahah bil wa’di lisy syira’ dan bai’ murabahah lil amiri lisy syira’. Praktik
tentang ini bisa dilihat pada tulisan yang lalu tentang Tas’ir Bai’ Murabahah ‘Adiyah di
Lembaga Berbasis Syari’ah. (Baca: Tas’ir Bai’ Murabahah ‘Adiyah di Lembaga Berbasis
Syariah) Karena pembiayaan murabahah ini dilakukan dengan basis ribhun (laba), baik melalui
jual beli secara kredit maupun secara tunai, maka nilai keuntungan (profitabilitas) yang dimiliki
oleh perbankan adalah bergantung pada besaran margin keuntungan. Besaran margin ini berasal
dari nilai ra’su al-maal ditambah dengan ribhun serta kemungkinan tambahan biaya-biaya
administrasi yang dilegalkan oleh syariat.  Pembiayaan Mudharabah Pembiayaan mudharabah
merupakan produk perbankan yang diterapkan untuk kepentingan murni memodali suatu
pendirian lapangan usaha. Modal adalah 100% berasal dari pihak bank, sementara partner yang
dimodali hanya sekedar menjalankan usaha. Dengan kata lain, pihak perbankan mendirikan
perusahaan, sementara yang menjalankan adalah partnernya tersebut.  Berbeda dengan sifat
penyediaan modal lewat jalur murabahah, maka pada permodalan mudharabah, pihak perbankan
bisa mendapatkan bagi hasil secara terus menerus selama usaha tersebut masih dijalankan.
Besaran keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan pada awal kontrak. Dan apabila terjadi
kerugian dalam usaha, maka pihak pemodal (bank), yang sepenuhnya akan menanggungnya.
Adapun pelaksana (‘amil), hanya akan dimintai pertanggungan jawab bilamana kerugian
tersebut disebabkan karena keteledorannya.  Wilayah yang bisa diambah oleh paket mudharabah
ini adalah istishna’iy, yaitu pendirian lapangan usaha. Terhadap apakah suatu investasi harus
ditentukan oleh “nasabah yang menyerahkan uangnya kepada bank untuk diinvestasikan”
ataukah perbankan sendiri yang melaksanakan, maka dalam kesempatan ini bergantung pada
jenis mudharabah yang diikuti.  Ada dua jenis aqad pembiayaan mudharabah, yaitu: mudharabah

43
muqayyadah dan mudharabah muthlaqah.  1. Mudharabah muqayyadah merupakan jenis usaha
yang ditentukan oleh pemilik modal atau shohibu al-maal. Istilah lain dari shahibu al-maal
adalah rabbu al-maal (pemodal). Dalam wilayah ini yang berperan selaku shahibu al-maal
adalah bank itu sendiri. Adapun partner yang dibiayai, berperan selaku mudlarib (pengelola). Ia
hanya berhak menjalankan usaha tersebut. Contoh dalam hal ini adalah produk Reksadana
Syariah. Suatu misal:  Pak Ahmad memiliki beberapa mobil. Ia berkeinginan mendirikan rental
mobil. Kemudian ia menunjuk salah satu saudaranya (Si Udin) untuk menjalankan bisnis
tersebut. Semua mobil yang ditentukan Pak Ahmad, bisa dipergunakan untuk disewakan oleh
saudaranya. Dari setiap kali ada orang yang menyewa mobil, Si Udin akan diberi besaran
penghasilan sebesar 25% dari harga sewa.  Dalam contoh kasus ini, maka Pak Ahmad berperan
selaku shahibu al-maal, sementara Si Udin berperan sebagai mudlarib. Mobil yang disewakan
merupakan al-maal (harta). Kerja atau usaha Si Udin dalam menjalankan merupakan dharabah
dan nisbah pembagian hasil merupakan ribhhun. Pasrah Pak Ahmad kepada Si Udin dengan
disertai menunjukkan nisbah keuntungan 25% pemasukan, dan disanggupi oleh Si Udin
merupakan ijab-qabul. 2. Mudharabah muthlaqah, merupakan jenis usaha yang diajukan oleh
seorang partner (mudlarib), kemudian disetujui oleh pihak shahibu al-maal (bank). Artinya,
pihak perbankan di sini bersifat tidak menentukan suatu jenis usaha apapun. Ia hanya bersifat
memodali dan menerima nisbah pembagian hasil dari perjalanan usaha tersebut. Jenis
mudharabah seperti ini yang paling banyak dijumpai pada industri perbankan, baik perbankan
syariah maupun konvensional. Contoh dalam hal ini adalah produk Deposito Syariah. Suatu
misal: Pak Ahmad ingin mendirikan Industri Tahu. Karena Ia tidak memiliki modal, akhirnya, ia
membuat sebuah proposal yang lengkap disertai dengan rincian dan prospek usaha serta peluang
keuntungan kepada pihak perbankan syariah. Kemudian, pihak bank menyetujuinya dengan
mengucurkan sejumlah dana yang dibutuhkan oleh Pak Ahmad.  Dana yang diberikan oleh Bank
ini sifatnya adalah bukan pinjaman, melainkan amanah kepada Pak Ahmad untuk mengelolanya
demi kebutuhan pendirian industri sebagaimana yang diajukan oleh Pak Ahmad kepada Bank.
Jika untung, maka Bank akan terus menerima nisbah pembagian keuntungannya. Sementara jika
rugi, pihak Bank selaku pemodal yang menanggungnya. Pak Ahmad tidak berkewajiban
menanggung kerugian tersebut, selagi kerugian bukan disebabkan karena faktor keteledoran dia. 
Lantas bagaimana hubungannya antara “bank” dengan pihak “nasabah” yang dalam hal ini
adalah “shâhibu al-mâl” (pemilik harta) sebenarnya? Bilamanakah ada kerugian? Dan
bilamanakah ada keuntungan? Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan
Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

44
F. Sistem Ushur
USYR merupakan salah satu sumber keuangan yang pernah popular di dunia Islam. ‘Usyr
jamaknya ‘usyur dalam bahasa Arab berarti sepersepuluh. Dalam tradisi masyarakat Arab,
‘usyr merupakan pungutan sepersepuluh dari harta yang diperdagangkan ketika seseorang
melintasi perbatasan suatu negara. Jadi ‘usyr mirip dengan bea cukai sekarang.

Misalnya serombongan kafilah pedagang melintasi perbatasan suatu wilayah, kafilah harus
menyerahkan seper sepuluh dari harta dagangan untuk diserahkan kepada penguasa setempat
sebagai konpensasi jaminan keamanan, sewa tempat, dan berbagai fasilitas uang lazimnya
menjadi tradisi di wilayah itu. Termasuk penggunaan sumber air untuk keperluan kafilah dan
untuk binatang yang dipergunakan sebagai kendaraan pengangkut.

Semula ‘usyr menjadi tradisi masyarakat bangsa Arab jahiliyah kemudian di masa permulaan
Islam dilarang, namun di masa Khalifah Umar bin Khaththab, setelah melalui musyawarah
intensif dengan para sahabat senior yang lain, akhirnya ‘usyr dihidupkan kembali dengan
modifikasi tertentu, karena kondisi perdagangan semakin pesat dan lalu litas perdagangan
antara daerah ternyata menyedot energi dan menimbulkan beberapa cost.

Sebagian ulama mengatakan ‘usyr tidak pernah dilarang, yang terlarang ialah pungutan liar
dan tidak terukur (mukus). Di masa jahiliyah, sistem koleksi dana masyarakat banyak sekali.
Mulai dari yang legal seperti jizyah sampai kepada perampokan (hirabah).

Keamanan kafilah merupakan prioritas. Itulah sebabnya berbagai macam pungutan liar
(Pungli) santa marak dan banyak jenisnya di masa jahiliyah. Setelah Islam datang, Nabi
Muhammad Saw menerapkan system ekonomi yang adil. Termasuk pengharaman dari
berbagai bentuk rentenir, cukai yang memberatkan, apalagi pencurian dan perampokan,
hukumannya sangat berat: Potong tangan dan salib.

Ketika Umar bin Khaththab menjadi khalifah dan dunia Islam semakin luas dan masyarakat
semakin mobile, maka sejumlah pranata yang pernah dihapuskan tetapi ternyata dipandang
relevan untuk diaktifkan kembali, maka Umar mengakomodirnya.

Ketentuan penerapan ‘usyr masih terdapat beberapa riwayat yang berbeda. Ada pendapat
yang mengatakan ‘usyr hanya diperuntukkan kepada non-muslim seperti ahl al-
harb dan ahlal-dzimmi, dan tidak berlaku bagi para pedagang muslim. Pendapat lain juga
mengatakan umat Islam tidak terkecuali karena itu juga untuk kepentingan mereka juga.

Besarnya pungutan juga bervariasi. Dalam riwayat disebutkan Umar bin al-Khaththab pernah
menurunkan ‘usyr pada suatu komoditas demi kemaslahatan umat Islam. Umar juga pernah
memungut gandum dan minyak zaitun (nabth) separoh dari ‘usyr (5%) agar mereka lebih
banyak membawanya ke Madinah. Sedangkan comoditi lain seperti biji-bijian (quthniyah)
seperti adas, buncis, dan sejenisnya dipungut ‘usyr (10%).

Ijtihad umar tentang ‘usyr menarik untuk dikaji dalam konteks sekarang. Sistem bea cukai
dan semacamnya, termasuk pemanfaatan udara, darat, dan laut Indonesia oleh negara-negara
lain mungkin dapat dianalogikan dengan konsep ‘usyr.

Penggunaan bahasa agama untuk mengoleksi dana umat akan mendatangkan keuntungan
ganda. Satu sisi umat dan warga bangsa mempunyai keyakinan bahwa pengeluarannya itu
bernilai ibadah dan sisi lain memperkaya pundi-pundi pembinaan umat. Bayangkan kalau

45
berbagai bentuk penghimpunan dana umat sebagaimana dijelaskan di dalam rangkaian artikel
terdahulu, bias dipastikan umat dan warga bangsa pasti sangat positif.[*]

Oleh: Nasaruddin Umar

Pemikiran Abu Yusuf soal Ekonomi Negara dalam Kitab Al-Kharaj


Sabtu, 26 Januari 2019 | 07:30 WIB BAGIKAN: Nama lengkapnya adalah Abû Yûsuf
Ya’qûb ibn Ibrâhîm ibn Habîb ibn Khunais ibn Sa’ad al-Anshârî al-Jalbi al-Kûfî al-Baghdâdî.
Beliau lahir di Kûfah, sebuah kota di Irak pada tahun 731 M (113 H) dan wafat pada tahun
798 M (182 H) dalam usia 63 tahun. Nisbah al-Anshâri diperoleh karena ibunya masih
memiliki hubungan kekerabatan dengan kaum Anshâr, Madînah. Bapaknya sendiri berasal
dari kabilah Bujailah.  Abû Yûsuf al-Kûfi (w. 182 H) berasal dari keluarga sederhana dan
tumbuh kembang di Kûfah, yang pada masanya merupakan pusat peradaban Islam sehingga
banyak cendekiawan Muslim yang berkumpul di sana, salah satunya adalah Imam Abû
Hanîfah (w. 148 H) dan Abû Yûsuf (w. 182 H) sendiri tercatat sebagai salah satu santrinya.
Ditilik dari tahun kelahiran, Abû Yûsuf hidup di masa peralihan kekuasaan dari Daulah Bani
Umayyah ke Daulah Bani Abbasiyah. Sekilas gambaran suasana Kûfah di masa Abû Yûsuf,
di era Bani Umayyah, Kûfah merupakan tempat yang sering dipergunakan untuk debat oleh
para intelektual Muslim melawan intelektual yang berasal dari Yunâni dan Româwi. Sampai
di sini maka bisa dibayangkan, bahwa Kûfah memang sudah berkembang tradisi intelektual
dan tradisi pemikiran Muslim kala itu.  Perjalanan rihlah ilmiah yang pernah dilakukannya
antara lain adalah ia berguru kepada Imam Abû Hanîfah selama kurang lebih 17 tahun. Guru
beliau yang lain adalah Abu Muhammad ‘Athâ Ibn al-Saib Al-Kûfi, Sulaimân bin Mahram
Al-A’mâsy, Hisyâm Ibn Urwah, Muhammad Ibn Abd al-Rahmân Ibn Abî Lailâ, Muhammad
Ibn Ishâq Ibn Yassâr Ibn Jabbâr, dan Al-Hajjâj bin Arthâh. Abû Yusuf juga dicatat pernah
berguru kepada Imam Mâlik bin Anas (w. 179 H).  Beberapa karya Abû Yûsuf yang terkenal
antara lain antara lain adalah kitab al-Atsâr. Kitab ini syarat dengan paradigma fiqih mazhab
Hanâfi, termasuk pemikiran dari Abû Yûsuf sendiri. Kitab ini sekaligus menunjukkan
supremasi beliau sebagai seorang yang pantas menyandang qâdli al-qudlât (hakim agung)
pada masa Daulah Abbasiyah. Karya lainnya adalah Ikhtilâf Abî Hanîfah wa Ibn Lailâ yang
berisikan kitab muqâran (perbandingan pendapat) antara Abû Hanîfah dan Abû Lailâ, yang
keduanya sama-sama merupakan guru dari Abû Yûsuf. Kitab Al-Radd ‘ala Siyâr al-Auza’î,
berisikan sebuah narasi yang berisi bantahan atas pendapat al-Auzâ’i yang saat itu, al-Auzâ’i
adalah seorang qâdlî di Syam (Siria). Adab al-Qadlî berisikan narasi tata krama seorang
qâdli, menyerupai kitab adab berfatwanya Imam al-Nawâwi dari kalangan Syafî’iyah.
Sementara itu kitab al-Kharrâj menjelaskan tentang hukum perpajakan dan cukai dan ditulis
atas permintaan langsung dari Khalîfah Harûn al-Râsyîd, sebagai kitab pedoman dalam
menghimpun pemasukan dan pendapatan negara yang berasal dari kharrâj, ‘usyr dan jizyah.
Kitab ini sekaligus merupakan kitab panduan tata kelola keuangan negara yang pertama
sebelum Yahya Ibn Adam Al-Qurasyi (w. 203 H) menulis kitab dengan judul yang sama.
Kitab al-Jawâmi’ merupakan kitab yang berisi perdebatan tentang kedudukan ra’yu dan rasio
(‘aql) dalam penggalian hukum Islam. Asal-asalnya kitab ini merupakan surat yang ditulis
dan ditujukan langsung kepada Yahya ibn Khâlid al-Barmâki, Perdana Menteri dari Khalifah
Harun al-Râsyîd.  Karena Abû Yûsuf terkenal sebagai ahli tata kelola keuangan negara, maka
dalam kesempatan ini, pembahasan kita spesifikkan ke al-Kharrâj sebagai salah satu kitab

46
karyanya. Di tangan penulis, kitab al-Kharrâj diterbitkan tahun 1979 oleh peneribit Dâr al-
Ma’rifah, Beirut, Libanon. Kitab ini tersusun setebal 244 halaman lengkap dengan daftar isi
dan indeks kitab.  Kitab al-Kharrâj merupakan jawaban dari beberapa masalah yang diajukan
oleh Khalifah Harûn al-Rasyîd dan beberapa di antaranya adalah masalah yang dibuat sendiri
oleh Abû Yûsuf. Di awal muqaddimahnya, Abû Yûsuf menegaskan: ‫أن أمير الزمنين أيده هللا تعالى‬
‫ه‬vv‫ر في‬vv‫ه النظ‬vv‫ا يجب علي‬vv‫ك مم‬vv‫ير ذل‬vv‫سألني أن اضع كتابا جامعا يعمل به في جباية الخراج العشور والصدقات والجوالي وغ‬
‫رهم‬vvv‫الح ألم‬vvv‫ه والص‬vvv‫ع الظلم عن رعيت‬vvv‫ذلك رف‬vvv‫ا أراد ب‬vvv‫ه وإنم‬vvv‫ل ب‬vvv‫ والعم‬Artinya: “Sesungguhnya Amirul
Mukminin - semoga Allah SWT meneguhkannya – telah memintaku untuk menyusun sebuah
kitab kumpulan pedoman aplikatif penerapan al-kharaj, al’usyur, shadaqat, jawâli dan
semacamnya, yang memuat hal-hal yang wajib untuk diperhatikan dan terapkan. Khalifah
menghendaki penyusunan ini guna menghindari tindakan al-dhulm terhadap rakyatnya dan
mengupayakan reformasi terhadap urusan mereka.” (Abû Yûsuf, Kitab Al-Kharrâj li al-Qâdli
Abû Yûsuf Ya’qûb ibn Ibrâhîm Shâhib al-Imâm Abî Hanîfah, Beirut: Dâr al-Ma’rifah li al-
Thabâ’ah wa al-Nasyr, 1979: 3) Dasar yang dipergunakan untuk berargumen oleh penulisnya
adalah sintesa antara ‘aqlî (rasio) dan naqli (wahyu) yang sekaligus menunjukkan
perbedaaannya dengan al-Kharrâj yang ditulis oleh Ibn Adam. Ibn Adam hanya
memanfaatkan dalil naqli guna mengulas pendapatnya dengan metode tautsiq
(penguatan/dokumentasi) terhadap riwayat-riwayat hadits, pendapat sahabat dan tabi’in.
Mungkin disebabkan karena saat itu, metode kritik hadits belum berkembang, maka Ibn
Adam tidak melakukan kritik sanad dan matannya. Tapi karyanya menjadi bagian dari
perbendaharaan kekayaan intelektual Muslim.  Metode Ibn Adam ini tidak dipergunakan oleh
Abû Yûsuf. Beliau lebih memilih upaya merasionalisasikan i’lal al-hadits sehingga hadits-
hadits yang dinukil oleh Abû Yûsuf sedikit banyak sudah mendapatkan koreksi dan kritik
sehingga al-Kharrâj merupakan kitab hasil seleksi data. A’mâlu al-shahâbi (praktik sahabat)
mendapatkan bagian tersendiri dari data yang dipergunakan oleh Abû Yûsuf, jadi seolah
bahwa kitab al-Kharrâj ini adalah buah dari hasil studi kasus.  Menurut pengertian leksikal,
sebenarnya al-Kharrâj memiliki arti pajak tanah yang dipungut dari wilayah yang dikuasai
oleh Islam. Namun, dalam praktiknya, menurut Abû Yûsuf al-Kharrâj memiliki dua dimensi
makna, pertama dipandang sebagai al-amwâl al-‘âmmah (keuangan publik) dan al-amwâl al-
khâshah (keuangan khusus). Sumber keuangan publik bagi pemerintahan meliputi: ghanimah,
fai’, al-kharaj, al-jizyah, ‘usyr al-tijârah dan shadaqah. Adapun sumber keuangan khusus,
dapat diketahui saat beliau mengupas soal sewa tanah atau kompensasi pemanfaatan tanah
negara oleh asing. Menilik dua dimensi ini, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan al-Kharrâj menurut Abû Yûsuf adalah kurang lebih sama dengan istilah pajak
penghasilan saat ini (common taxation). Kedua dimensi ini merupakan sumber finansial
negara.  Di dalam kitab ini, Abû Yûsuf menjelaskan bahwa sumber perekonomian negara
juga bisa diperoleh melalui: (1) pengelolaan sumber daya alam (tanah dan air) dan (2)
peningkatan efektivitas lapangan kerja dan penyediaan tenaga kerja. Swakelola sumber daya
alam dimaksimalkan melalui pembukaan lahan pertanian, dan pemanfaatan tanah. Sementara
untuk meningkatkan efektivitasnya, perlu diupayakan pembuatan sistem irigasi pertanian. 
Persoalan masyarakat kecil kurang mendapat perhatian dari Abû Yûsuf. Sumber penghasilan
negara lebih mengedepankan pada jalinan relasi produktif antara umat Islam dengan kaum
dzimmi dalam dâr al-islâm atau relasi produktif antara umat Islam dengan komunitas non
Muslim dalam dâr al-harb. Untuk penghasilan dari relasi level pertama, diperoleh dari al-
kharaj dan jizyah. Sementara penghasilan dari akibat relasi level kedua, diperoleh dari
ghanîmah. Cukai ditetapkan oleh pemerintah terhadap para pedagang kâfir harbî (orang kafir

47
yang memerangi umat Islam) yang membawa barang dagangannya ke negara Islam.
Sementara itu, umat Islam hanya berkewajiban mengeluarkan zakat sebagai bagian dari
membangun solidaritas antara sesama Muslim.  Menurut Abû Yûsuf, ada tiga pemegang hak
kuasa atas diri kaum Muslim di Dâr al-Islâm, antara lain: rakyat, pemimpin (imam) dan
lembaga-lembaga negara atau lembaga pemerintahan, seperti Hizb al-jaisy (Departemen
Angkatan Bersenjata), Dawâwîn (Para Dewan). Setiap departemen memiliki tugas dan peran
masing-masing yang sudah ditetapkan. Job diskripsi secara umum mencakup penetapan rasio
jizyah yang boleh diterima, pengelolaan harta ghanîmah dalam perbendaharaan negara,
penetapan gaji dan tunjangan bagi khalifah dan seluruh perangkatnya, penetapan hak guna
tanah dan hak guna bangunan, membuat saluran irigasi dan reboisasi tanah.  Konsep
kepemilikan dalam negara sudah dibagi menjadi beberapa macam, mencakup banyak aspek
di antaranya: kepemilikan permodalan yang juga diatur oleh negara (istighlâl), kepemilikan
aktual, kepemilikan individu, kepemilikan khusus terhadap barang bergerak, kepemilikan
umum dan kepemilikan bersama. Semua jenis kepemilikan ini bersifat tidak permanen.  Ada
tiga relasi elemen yang mendapat perhatian serius oleh Abû Yûsuf agar semua sistem negara
tersebut dapat berjalan dengan baik. Ketiga faktor ini harus saling bekerjasama dalam
menjaga dan mewujudkan tujuan negara, yaitu agama (religi), ekonomi dan militer. Tiga
faktor ini merupakan penopang kuat atau lemahnya suatu negara.  Ustadz Muhammad
Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai
Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU JATIM dan
Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim

Sumber: https://nu.or.id/pustaka/pemikiran-abu-yusuf-soal-ekonomi-negara-dalam-kitab-al-
kharaj-8ANzQ

48
BAB 3
KESIMPULAN

49
DAFTAR PUSTAKA
Sri Andriani, Pajak Zakat Sebagai Pengurang Pajak Penghasilan Pada Badan Amil Zakat,
JRAK Vol, 4 no. 1 Februari 2013, hlm. 13-32 3
Mardiasmo, Perpajakan, (Yogyakarta:Penerbit Andi, 2016), hlm, 3.
Ibid 5 Ibid, hlm. 9
Fika Agusti. Pengaruh Tingkat Dan Kepatuhan Wajib Pajak Badan terhadap Peningkatan
Penerimaan Pajak yang Dimoderasi oleh Pemeriksaan Pajak pada KPP Pratama. Jurnal
pada Simposium Akuntansi Nasional 12, 2008
Tarjo dan Indra Kusumawati..Analisa Perilaku Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap Proses
Pelaksanaan Self Assessment System : Suatu Studi Di Bangkalan. Skripsi Fakultas
Ekonomi Universitas Trunojoy, 2006
Muhammad Fauzan, Konsep Perpajakan Menurut Abu Yusuf,Jurnal HUMAN FALAH: Vol
4. No. 2, Juli – Desember 2017
Martina Nofra Tilopa, Pemikiran Ekonomi AbuYusuf dalam kitab Al-Kharrāj, Journal Al-
Intaj, Vol. 3, No. 1, Maret 2017 10 Boedi Abdullah,Peradaban dan Pola Pemikiran
Ekonomi Islam.(Bandung: Pustaka Setia), 2010, hlm.157 11Abu Yusuf, Kitab Al-
Kharaj. (Kairo: Al-Matba’ah as-Salafiyah),1302 H, hlm. 132
Abdul Mustaqim, Model Penelitian Tokoh (Dalam Teori dan Aplikasi), Jurnal Studi Ilmu
Islam dan Hadis, Vol. 15 , no. 2, Juli 2014, hlm. 265
Uzaifah, Management Zakat Pasca Kebijakan Pemerintah Tentang Zakat Pengampunan
Penghasilan Kena Pajak, Vol. 4 , No. 1, Tahun 2010 14Alfiansyah, Mochamad Al
Musadiq, Yuniadi Mayoan, Sinkronisasi Konsep Pemungutan Pajak Penghasilan orang
pribadi dan zakat profesi sebagai Alternatif Solusi meningkatkan efektifitas
Pemungutan (Studi di KPP Malang Utara dan Kantor Rumah Zakat Malang), JAB Vol.
5, Nomor. 1, April 2015
hadis riwayat Bukhari dan Muslim, “Apakah ada kewajiban lain di luar zakat? Nabi
menjawab,”Tidak ada, kecuali shadaqah sunnah”. (HR Bukhari dan Muslim).
33Departemen Agama RI, Al-Jumanatul ‘Ali Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung:
CV. Penerbit J-ART, 2005), h. 183.
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir: Kamus Arab – Indonesia, Yogyakarta: Pon.Pes. Al-
Munawir, 1984, hlm. 356. 2M. Abdul Mannan, Teori & Praktek Ekonomi Islam,
Jakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1993,hlm. 250. 3 Irfan Mahmud Ra’ana, Sistem
Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn Khattab, Yogyakarta: Pustaka Firdaus, cet.1, 1990,
hlm.118. 4Rodney Wilson, “Islamic Business Theory and Practice”, (terj.)J.T.Salim,

50
Bisnis Islam Menurut Islam Teori dan Praktik, Jakarta: PT.Intermasa, cet.1, 1988,
hlm.128. 5Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus umum bahasa Indonesia,
Jakarta: balai pustaka, 1994, hlm. 812

Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 23. 7 Ibid.,
hlm. 24. 8 Ibid., hlm. 25. 9 Ibid., hlm.249

A.A. Ishlahi, Konsep Ekonomi Ibn Taimiyah, Surabaya: Bina Ilmu Offset

Abdul Azis Dahlan, dkk., Ensklopedi Hukum Islam, Jakarta :Ichtiar Baru Van Hoeve,

1996.

Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Di Negara Khalifah, Jakarta: Pustaka

Thariqul Izzah, 2002.

Achmad Tjahjono Triyono Wahyudi, Perpajakan Indonesia:Pendekatan Soal Jawab

dan Kasus,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Terj. Tim IIIT

Indonesia, Jakarta: IIIT Indonesia, 2002.

Departemen Keuangan RI, Pemerintah, Undang-Undang Republik Indonesia No.

12 Tahun 1994,Tentang Perubahan Undang-Undang No. 9 Tahun 1985.

Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara Dalam Takaran Islam, Jakarta: Raja

Grafindo Persada,1999.

Iskandar Budiman, Pendistribusian Pajak Dalam Islam, Pajak Dalam Islam, (Belum

diterbitkan), Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry Press.

M. Abdul Manan, Teori Dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,

1995

M. Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), Jakarta: Gaya Media

Pratama, 2001

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, Relevansinya Dengan

51
Ekonomi Kekinian, (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI)- STIS,

2003.

M. Umer Chapra, The Future Of Economics: An Islamic Perspective (Landscape baru

Perekonomian Masa Depan), Jakarta: Syari’ah Economics And Banking

Institute (S E B I)

Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam, Teori dan Praktek, Dasar-dasar

Ekonomi Islam, Terj. M. Nastangin, Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1993.

Muhammad Abdul Mannan, Terj. M. Nastangin, Ekonomi Islam, Teori dan Praktek,

Dasar-dasar Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993.

Muhammad Ashraf, Economic System Under Umar The Great, Sistem Ekonomi

Pemerintahan Umar bin Al-Khaththab, (Terj. Irfan Muhammad Ra’na), Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1992

Muhammad Husein Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Litera Antar Nusa,

2001.

Muhammad Saddam, Ekonomi Islam, Jakarta : Taramedia. 2002.

Muhammad, Kebijakan Moneter dan Fiskal Dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Salemba

Empat, 2002

Nogarsyah Moede Gayo, Buku Pintar Islam, (Jakarta: Ladang Pustaka dan

Intimedia, t.t.

Pemerintah Republik Indonesia, Himpunan Undang-undang Perpajakan, Jakarta:

Majalah Berita Pajak, 1997.

R. Santoso Broto Dihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung : Eresco, 1993

---------------, Pendistribusian Pajak Dalam Islam, Bandung: PT. Eresco, 1993.

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Terj. Kamaluddin A. Marzuki, Bandung: Al- Maarif,

52
1996

Ali> Ah}mad al-Jurja>wy, H}ikmah al-Tashri>’ wa Falsafatuh, juz 2, Beirut, Da>r al-Fikr,
tt. Abd al-Kha>liq al-Nawawy, al-Niza>m al-Ma>ly fi> al-Isla>m, Kairo, Maktabat al-
Anjal al-Mis}riyyah, 1971. Abdullah Ah}med al-Na’i>m, “Religious Freedom in
Egypt: Under the Shadow of the Islamic Dhimmah System”, dalam Religious Liberty
and Human Rights in Nation and Religion, ed. Leonard Swidler, New York, Hippcrene
Book, 1986. Abdullah Ah}med al-Na’i>m, Toward an Islamic Reformation Civil
liberties, Human Rights and International law, New York, Hippocrene Book, 1986.
Konsep al-Jizyah dan Status Kewarganegaraan … Al-Qānūn, Vol. 10, No. 2, Desember
2007 400 Abu> al-Ala> al-Maudu>dy, Shari>ah al-Isla>m fi> al-Jiha>d wa al-
‘Ala>qah al-Duwaliyyah (Kairo: Da>r al-Sah}wah, 1985 Abu> al-Ala> al-Mawdu>dy,
The Islamic Law and Constitution, ter. Khurshid Ahmad, Lahore, Islamic Publication
LTD, tt. Abu> al-H}asan 'Aly ibn Muh}ammad al-Ma>wardy, al-Ah}ka>m
alSult}a>niyyah, Beirut, Da>r al-Fikr, tt. Ah}mad Mus}t}afa> al-Mara>ghy, Tafsi>r
al-Mara>gy, Jilid. 4, Beirut, Da>r al-Fikr, 1974. Akhmad Minhaji, “Hak-hak Asasi
Manusia dalam Hukum Islam; Penafsiran Baru tentang minoritas non-muslim”, dalam
Jurnal ‘Ulu>m al-Qur'a>n, no. 2, vol. 5, 1993. Al-Da>ruqut}ny, Al-Ina>yah: Sharh} al-
Hida>yah, Beirut, Da>r al-Fikr, 1996. Al-S}an’a>ny, Subul al-Sala>m, Beirut, Da>r al-
Fikr, 1986. Ann Alizabeth Mayer, Islam and Human Rights: Tradition and Politics,
London, West View Press, tt. Ann K.S Lambton, State and Government in Medievel
Islam, Oxford, University Press, 1991. H}usayn Mu'nis, A>lam al-Isla>m, Kairo, Da>r
al-Ma’a>rif, tt. Isma>’i>l Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur'a>n al-‘Az}i>m, juz 2, Beirut,
Da>r al-Ma’rifah, 1987. Jama>l al-Di>n Muh}ammad ibn Mukram ibn Manzu>r,
Lisa>n alLisa>n: Tahdhi>b al-Lisa>n al-‘Arab, juz I, Beirut, Da>r alKutub
al-‘Ilmiyyah, 1993. Mah}mu>d H{ilmy, Niza>m al-H}ukm al-Isla>my, Kairo, Da>r al-
Huda>, tt. Mah}mu>d ibn ‘Umar al-Zamakhshary, Tafsi>r al-Kashsha>f, juz 2, Beirut,
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995. Majid Khadduri, War and Peace in the Law of
Islam, Baltimore, The Johns Hopkins Press, 1962. Muh}ammad ‘Aly al-S}a>bu>ny,
Safwat al-Tafa>si>r, juz I, Beirut, Da>r al-Rasha>d, tt. Muhammad Hamidullah, The
Muslim Conduct of State, Lahore, Ashraf Publication, tt. Munawir Sadzali, Islam dan
Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta, UI Press, 1990. Muflikhatul
Khairah Al-Qānūn, Vol. 10, No. 2, Desember 2007 401 Rhoda E. Howard, HAM:
Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, terj. Karjosungkoso, Jakarta, Pustaka Utama

53
Grafika, 2000. T.W. Arnold,The Preaching of Islam, Lahore, AshrafPublication, 1961.
Tohir Mahmood, Text of Human Rights, Delhi, University of Delhi, 1993. Yu>suf al-
Qard}a>wy, Ghair al-Muslim fi> al-Mujtama' al-Isla>my, Beirut, Da>r al Fikr, 1998

http://elibrary.iain-ternate.ac.id/konsep-mudharabah-dalam-pembiayaan-bank-syariah

Departemen  Agama RI, Al-Qur 'an  dan Terjemahan.

Antonio,  M.   Syafi'i,  Bank   Syari'ah:   Teori  dan  Praktek,   Gema lnsani Press, Jakarta,
200 l  .

Ali,  Zainuddin,  Hukum  Perbankan  Syari 'ah,   Cet.  Kedua.  Sinar Grafika. Jakarta, 2010

Ascarya,  Akad  dan   Produk   Bank  Syari 'ah,   PT  Raja   Grafindo Persada. Jakarta, 2011

Asro,   Muhamad    dan   Kholid,    Muhamad,    Fiqih   Perbankan, Pustaka  Seti a,


Bandung, 2011.

Anshori,   Abdul    Ghofur,   Perbankan   Syari'ah   di   Indonesia. Gaj ahmada University


Press. Yogyakarta, 2007.

Bank  Indonesia   (BI),  Kamus  Istilah  Keuangan  dan Perbankan Syari'ah,   Direktorat   


Perbankan    Syari' ah  BI,   Jakarta, 2006.

---------,   Otlok   Perbankan  Syari'ah Indonesia  2012, Direktorat Perbankan  Syari 'ah


BI,Jakarta, 20 l l.

H.  Sudarsono  dan  Prabowo   Hendi  Y,  Istilah-Istilah Bank  dan Lembaga  Keuangan   


Syari'ah.   Edisi  Pertama,Cet.II  UII Press,  Yogyakarta, 2004.

Hasan,    M.    Ali,   Berbagai    Transakst   Dalam   Islam    (Fiqih Muamalat)   


(diterjemahkan    Saifurrahman   Barito).    PT Raja Grafindo  Persada. Jakarta, 2004

Isretno,    R.A.   Evita,    Pembiayaan   Mudharabah   dalam   Sistim  Perbankan


Syari'ah,   Cet.  Ke-I,  Cintya   Press,   Jakarta, 2011.

arim,    Adiwarman    A.,   Bankslam:Analisis    Fiqih   dan Keuangan,   Edisi   ke  3. PT.
Raja   Grafindo Persada Jakarta. 2007

Muhammad,  Manajemen Pembiyaan Bank Syari'ah,  UPP  AMP YKPN,  Yogyakarta,


2005.

54
---------,   Manajemen Pembiayaan Mudharabah di Bank Syari'ah, Rajawali  Pers, Jakarta,
2008.

Rivai,  H. Veithzal  dan  Arifin,  Harvian, Islamic Banking:  Sistim Bank  Islam  Bukan   


Hanya   Solusi Menghadapi   Krisis Namun Solusi Menghadapi Berbagai
Persoalan Perbankandan   Ekonomi   Global,   Bumi Aksara,Jakarta, 2010

Wiroso,   Produk   Perbankan   Syari'ah,   LPEF  Uskati,   Jakarta, 2009.

Sumber: https://islam.nu.or.id/ekonomi-syariah/macam-macam-pembiayaan-pada-perbankan-
syariah-JxXDx

Al-Kaaf, Abdullah Zakiy. Ekonomi dalam Perspektif Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2002.
al-Qardhawi, Yusuf. Karakteristik Islam (Jakarta: Rabbani press: tthn) Amelia, Euis,
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari masa klasik hingga kontemporer.. Pustaka
Asatruss, 2005. Arfah, Tina; Jamilah, Putri, "Keuangan Publik Dalam Perspektif
Ekonomi Islam". Jurnal ISLAMIKA, Vol. 3, No. 2 (2020) Brinton, Crane, Pengantar
Ilmu Politik. Bandung: Binacipta, 1980. Casavera, Perpajakan. Yogyakarta : Graha
Ilmu , 2009 Gushfahmi, Pajak Menurut Syriah, (jakarta. Rajawali Pers, 2007) Karim,
Adi Warman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: ITT Indonesia, Karim,
Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: RGP: 2004)
Khoerulloh, Abd. Kholik; Komarudin, Omay; Abdillah, Lukman Fauzi, ¥Konsep Pajak
Dalam Perspektif Abu Yusuf dan Asy-Syatibiµ. An-Nisbah: Jurnal Ekonomi Syariah
Volume 07, Nomor 01, April 2020 Maksum, Muh., Ekonomi Islam Perspektif Abu
Yusuf. El-Wasathiya: Jurnal Studi Agama, Vol 2 No 1 (2014) Mesr, Alimin, "Kajian
atas Kredibilitas Imam Abu Hanifah di Bidang Hadis". AL-FIKR Volume 14 Nomor 3
Tahun 2010 Arif Zunaidi DOI: 10.35719/fenomena.v20i1.49 FENOMENA, Vol. 20
No. 1 (Januari - Juni 2021) | 75 Muti, Ahmad, Keuangan Publik Islam Menurut kitab Al
Kharaj Abu Yussuf Relevansinya dengan APBN, Jakarta : UI, 2001. Oky,
Rachmatullah, ¥Teori Pajak Menurut Abu Yusuf Sebuah Alternatif Solusi Perpajakan
Di Indonesiaµ. Iqtishoduna Vol. 8 No. 1 April 2019 P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi
Islam (Jakarta, Rajagrafindo Persada: 2008) pada tanggal 17 Februari 2021.
Rahmawati, Naili, Pemikiran Ekonomi Islami Abu Yusuf, makalah disajikan pada situs
pemikiran ekonomi Abu Yusuf, 03 rabiul awal 1431 H, Mataram, Sadam, Muhammad,
Ekonomi Islam (Jakarta: Taramedia, 2002) Sumardi, Dedy, ¥Legitimasi Pemungutan
Jizyah Dalam Islam:Otoritas Agama Dan Penguasaµ. Media Syariah, Vol. XV No. 2

55
Juli-Desember 2013 Tandilino Albertus, ¥Penerapan Pajak Dalam Meningkatkan
Penerimaan pajak Penghasilan Final Sektor Umkm Di Kota kendariµ. Jurnal Progres
Ekonomi PembangunanVoume 1 Nomor 1, 2016 Tilopa, Martina Nofra, ¥Pemikiran
Ekonomi Abu Yusuf Dalam Kitab Al-Kharajµ. AL-INTAJ Vol. 3, No. 1, Maret 2017
Wikipedia, Pajak Bumi dan Bangunan, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/ diakses
Yulianti, Rahmani Timorita, "Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf". MUQTASID
Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah, Vol 1, No 1 (2010) Yusuf, Abu, Kitab al-
Kharaj, (Kairo: al-Matba·ah as-Salafiyah, tt). "Fungsi Pajak",
https://www.pajak.go.id/id/fungsi-pajak, diakses pada 15 Februari 2021. "Menkeu:
Pajak Merupakan Tulang Punggung Nasional",
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/menkeu-pajak-merupakan-
tulangpunggung-nasional/ diakses pada 15 Februari 2021. ¥Pemikiran Abu Yusuf soal
Ekonomi Negara dalam Kitab Al-Kharajµ,
https://www.nu.or.id/post/read/101873/pemikiran-abu-yusuf-soal-ekonomi-
negaradalam-kitab-al-kharaj diakses pada 20 Februari 2021

Al-Kaaf, Abdullah Zakiy. Ekonomi dalam Perspektif Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2002.
al-Qardhawi, Yusuf. Karakteristik Islam (Jakarta: Rabbani press: tthn) Amelia, Euis,
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari masa klasik hingga kontemporer.. Pustaka
Asatruss, 2005. Arfah, Tina; Jamilah, Putri, "Keuangan Publik Dalam Perspektif
Ekonomi Islam". Jurnal ISLAMIKA, Vol. 3, No. 2 (2020) Brinton, Crane, Pengantar
Ilmu Politik. Bandung: Binacipta, 1980. Casavera, Perpajakan. Yogyakarta : Graha
Ilmu , 2009 Gushfahmi, Pajak Menurut Syriah, (jakarta. Rajawali Pers, 2007) Karim,
Adi Warman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: ITT Indonesia, Karim,
Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: RGP: 2004)
Khoerulloh, Abd. Kholik; Komarudin, Omay; Abdillah, Lukman Fauzi, ¥Konsep Pajak
Dalam Perspektif Abu Yusuf dan Asy-Syatibiµ. An-Nisbah: Jurnal Ekonomi Syariah
Volume 07, Nomor 01, April 2020 Maksum, Muh., Ekonomi Islam Perspektif Abu
Yusuf. El-Wasathiya: Jurnal Studi Agama, Vol 2 No 1 (2014) Mesr, Alimin, "Kajian
atas Kredibilitas Imam Abu Hanifah di Bidang Hadis". AL-FIKR Volume 14 Nomor 3
Tahun 2010 Arif Zunaidi DOI: 10.35719/fenomena.v20i1.49 FENOMENA, Vol. 20
No. 1 (Januari - Juni 2021) | 75 Muti, Ahmad, Keuangan Publik Islam Menurut kitab Al
Kharaj Abu Yussuf Relevansinya dengan APBN, Jakarta : UI, 2001. Oky,
Rachmatullah, ¥Teori Pajak Menurut Abu Yusuf Sebuah Alternatif Solusi Perpajakan

56
Di Indonesiaµ. Iqtishoduna Vol. 8 No. 1 April 2019 P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi
Islam (Jakarta, Rajagrafindo Persada: 2008) pada tanggal 17 Februari 2021.
Rahmawati, Naili, Pemikiran Ekonomi Islami Abu Yusuf, makalah disajikan pada situs
pemikiran ekonomi Abu Yusuf, 03 rabiul awal 1431 H, Mataram, Sadam, Muhammad,
Ekonomi Islam (Jakarta: Taramedia, 2002) Sumardi, Dedy, ¥Legitimasi Pemungutan
Jizyah Dalam Islam:Otoritas Agama Dan Penguasaµ. Media Syariah, Vol. XV No. 2
Juli-Desember 2013 Tandilino Albertus, ¥Penerapan Pajak Dalam Meningkatkan
Penerimaan pajak Penghasilan Final Sektor Umkm Di Kota kendariµ. Jurnal Progres
Ekonomi PembangunanVoume 1 Nomor 1, 2016 Tilopa, Martina Nofra, ¥Pemikiran
Ekonomi Abu Yusuf Dalam Kitab Al-Kharajµ. AL-INTAJ Vol. 3, No. 1, Maret 2017
Wikipedia, Pajak Bumi dan Bangunan, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/ diakses
Yulianti, Rahmani Timorita, "Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf". MUQTASID
Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah, Vol 1, No 1 (2010) Yusuf, Abu, Kitab al-
Kharaj, (Kairo: al-Matba·ah as-Salafiyah, tt). "Fungsi Pajak",
https://www.pajak.go.id/id/fungsi-pajak, diakses pada 15 Februari 2021. "Menkeu:
Pajak Merupakan Tulang Punggung Nasional",
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/menkeu-pajak-merupakan-
tulangpunggung-nasional/ diakses pada 15 Februari 2021. ¥Pemikiran Abu Yusuf soal
Ekonomi Negara dalam Kitab Al-Kharajµ,
https://www.nu.or.id/post/read/101873/pemikiran-abu-yusuf-soal-ekonomi-
negaradalam-kitab-al-kharaj diakses pada 20 Februari 2021

57

Anda mungkin juga menyukai