Anda di halaman 1dari 7

WAKAF PADA ZAMAN NABI DAN SAHABAT

A. Pengertian Wakaf

Kata “wakaf” atau “wacf” berasal dari bahasa Arab “waqafa”. Asal kata waqafa berarti
menahan atau berhenti atau diam di tempat atau tetap berdiri. Kata “waqafa-yaqifu-waqfan”
sama artinya dengan “habasa-yahbisu-tahbisan”. Kata al-Waqf dalam bahasa arab
mengandung beberapa pengertian menurut istilah ahli fiqih

 Abu Hanafiah

Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik si wakif
dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi tersebut
maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan untuk
menariknya kembali dan menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta
warisan untuk ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “Menyumbangkan
manfaat”

 Mazhab Maliki

Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan
dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang
dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif
bekewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.
Perbuatan wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mustahiq (penerima
wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk
dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz
wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik
harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan
pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar
sedang benda itu tetap menjadi milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa
tertentu, dan karenanya tidak boleh diisyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).1

1
Sumuran Harahap, Fikiqih wakaf, departemen agama RI, Jakarta: 2007, hal.1
 Mazhab Syafi’I dan Ahmad bin Hambal

Syafi’I dan Ahmad brprndapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang di wakafkan
dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh
melakukan apa saja terhadap harta yang di wakafkan, seperti : perlakuan pemilik dengan
cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wafat, harta
yang di wakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan
manfaat harta yang di wakafkannya kepada mauquf’alaih (yang diberi wakaf) sebagai
sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya
tersebut. 2

B. Hukum Wakaf di Indonesia

 Peraturan Perwakafan Pada Masa Penjajahan

Peraturan perwakafan pada masa belanda bermula pada tanggal 31 januari 1905
dengan dikeluarkan surat sekertariat gorvernamen pertama No.435 dengan bijblad 1905 N0.
6196 yang ditujukan kepada kepala wilayah Jawa dan Madura kecuali wilayah-wilayah
Vostenladen Surakarta dan Yogyakarta. Inti surat edaran ditunjukan kepada para Bupati.
Dalam edaran itu para bupati membuat daftar rumah-rumah ibadah islam yang ada di
kabupaten masing-masing, yang memuat asal usul tiap rumah seperti dipakai shalat jumat
atau tidak, ada pekarangan atau tidak, ada wakaf atau tidak. Maksud dari surat edaran ini
adalah untuk mengawasi agar tanah-tanah yang diatasnya didirikan bangunan jika tidak
lagi dipergunakan sebagi wakaf agar tidak ditelantarkan, dan supaya diadakan pendaftaran
agar dapat diatasi jika kepentingan umum menghendaki

Surat edaran ini menimbulkan reaksi dari pergerakan-pergerakan dan umat islam, karena
orang-orang yang melaksanakan wakaf harus meminta izin terlebih dahulu kepada bupati.
Reaksi tersebut merupakan suatu penentangan terhadap campur tangan pemerintah kolonial
terhadap urusan-urusan yang berhubungan dengan Islam.3

 Peraturan Wakaf sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977

Peraturan wakaf di Indonesia sudah di lakukan sejak masa kolonial Belanda. Hal
tersebut sangat beralasan, mengingat umat islam di Indonesia telah melaksanakan sejak

2
Sumuran Harahap, Fikiqih wakaf, departemen agama RI, Jakarta: 2007, hal.3
3
Somat, Hukum Islam, kencana, Jakarta:2010
masuknya Islam di Indonesia. Dalam rangka menjalankan ibadah mahdah, maka umat
islam membutuhkan tempat ibadah, baik berupa masjid, mushalla atau langgar. Untuk
mewujudkan hal tersebut, maka umat islam mewakafkan tanah serta bangunan di atasnya
berupa masjid, mushalla atau langgar.

Selama pemerintah kolonial berkuasa di Indonesia, setidaknya ada 3 macam peraturan yang
berhubungan dengan perwakafan, khususnya tanah, yakni:

a. Surat Edaran Sekretaris Gorvernamen tanggal 31 janiari 1905, Nomor 435

Peraturan dimaksud sebagaimana termuat di dalam Bijblad 1905 nomor6169. Peraturan


ini hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Vostalanden
Surakarta dan Yogyakarta. Sedangkan maksud yang dikandungnya adalah untuk
mengawasi agar tanah-tanah yang diatasnya telah didirikan suatu bangunan yang sudah
tidak lagi dipergunakan sebagai wakaf jangan di telantarkan, supaya diadakan pendaftaran
agar dapat dibatasi kalau kepentingan umum menghendaki. Akibat dari peraturan tersebut
maka dalam perakteknya, bagi seorang yang hendak mewakafkan tanahnya harus minta izin
terlebih dahulu kepada Bupati setempat. Surat edaran ini mendapatkan reaksi yang cukup
keras dari umat Islam.

b. Surat Edaran Sekretaris Governamen tanggal 24 Desember 1934, Nomor 3088/A


yang termuat dalam Bijblad 1935 Nomor 13390
c. Surat Edaran Sekretaris Governamen tanggal 27 Mei 1935, Nmor 1273/A yang
termuat di dalam Bijblad 1935 Nomor 13480

Kedua surat edaran tersebut berisi bahwa untuk sahnya suatu wakaf tidak disyaratkan
lagi harus minta izin terlebih dahulu kepada bupati, akan tetapi cukup memberitahukannya
dengan maksud untuk mempertimbangkan apakah ada atau tidak peraturan-peraturan
umum atau daerah (setempat) yang menghalang-halangi pelaksanaan tujuan wakaf.

Dengan demikian diharapkan tanah wakaf tidak akan terkena dengan perubahan-
perubahan dan rencana-rencana yang akan dibuat dimasa yang akan datang, sehingga tidak
terkena gangguan atau kepentingan pemerintah lainnya dengan tujuan agar tanah wakaf
dapat berfungsi selama-lamanya.4

4
Suhairi, Wakaf Produktif, STAIN Jurai Siwo Metro Lampung:2014. Hal 14-16
 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977

Sedemikian pentingnya masalah perwakafan tanah milik dalam perspektif Undang-


Undang Pokok agrarian (UU No. 5/1960 ), diperlukan peraturan lebih lanjut dalam bentuk
peraturan pemerintah, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 49 ayat (3) UUPA. Sebagai
realisasinya, diterbitkannya PP No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik yang
disahkan presiden pada tanggal 17 Mei 1977. Sebagaimana termuat dalam lembaran Negara
RI Tahun 1977 Nomor 38 dan penjelasan atas PP No.3107. 5

C. Wakaf pada Masa Nabi dan Sahabat

 Masa Rasulullah dan Sahabat

Dalam sejarah islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf
diisyaratkan setelah Nabi SAW berhijrah ke Madinah, pada tahun kedua Hijriah. Ada dua
pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa
yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama
mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rsulullah SAW ialah
tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid. Pendapat ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Umar Bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Maud berkata “ Kami
bertanya tentang mula-mula wakaf dalam islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah
wakaf Umar, sedangkan orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW. (Asy-
Syaukani: 129)

Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriah pernah mewakafkan tujuh kebun kurma
di Madinah diantaranya ialah kebun A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah, dan kebun lainnya.
Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan
syariat wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan
Ibnu Umar ra. Ia berkata: “ bahwa sahabat Umar ra. Memperoleh sebidang tanah di
Khaibar, kemudian Umar ra menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk. Umar
berkata: “Hai Rasulullah SAW, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum
mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?”
Rasulullah SAW bersabda: “bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau
sedekahkan (hasilnya). Kemudian umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak
dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “ Umar

5
Suhairi, Wakaf Produktif, STAIN Jurai Siwo Metro Lampung:2014. Hal 17
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat,
hamba sahaya, sabililah, ibnu sabil dan tamu, dan tidak dilarang bagi yang mengelola
(nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik atau memberi makan orang
lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR MUSLIM).

Kemudian Syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab disusul oleh
Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangnnya yaitu kebun “ Bairaha”. Selanjutnya
oleh sahabat Nabi SAW lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya
di Mekkah yang diperuntukan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman
menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur.
Mu’adz bin Jabal mewakafkan rumahnya yang popular dengan sebutan “Dar al-Anshar”.
Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin
Awwam dan Aisyah istri Rasulullah.

 Masa Dinasti-Dinasti Islam

Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah,
semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk
orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga
pendidikan, membangun perpustakaan, dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan
beasiswa untuk para siswa dan mahasiswanya. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan
wakaf telah menrik perhatian Negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sector
untuk membangun solidaritas social dan ekonomi masyarakat.

Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar al-
Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik
terhadap pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga lainnya dibawah pengawasan
Hakim. Lembaga wakaf inilah yang perlama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di
Mesir, bahkan diseluruh Negara Islam. Pada saat itu juga, hakim Taubah mendirikan
lembaga wakaf di Basrah. Sejak itu lah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen
Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan
yang membutuhkan.6

Pada masa dinasti Abbsiyah terhadap lembaga wakaf yang disebut dengan “ Shadr
al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga lembaga
wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Abbasiyah yang manfaatnya

6
Sumuran Harahap, Fikiqih wakaf, departemen agama RI, Jakarta: 2007.Hal 4
dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan
pengaturan administrasinya.

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup


mengembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan
semuanya dikelola oleh Negara dan menjadi milik Negara (baitulmal). Ketika Shalahudin
Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakfkan tanah-tanah milik Negara
diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan social sebagaimana yang dilakukan
oleh dinasti Fathimiyyah sebelumnya,meskipun secara fikih islam hukum mewakafkan
harta baitulmal masih berbeda pendapat diantara para ulama.

Shalahuddin al-Ayyuby banyak mewakafkan lahan milik Negara untuk kegiatan


pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah
mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebundan lahan pertanian,
seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy disamping makam imam Syafi’i dengan
cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.7

D. Macam-Macam Wakaf

 Wakaf Ahli

Yaitu wakaf yang ditijukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih,
keluarga si wakif atau bukan. Wakaf seperti ini juga disebut wakaf Dzurri. Apabila ada
seseorang sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan yang
berhak mengambil mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan
wakaf. Wakaf jenis ini juga kadang disebut ‘alal aulad, yaitu wakaf yang diperuntukan bagi
kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga atau lingkungan kerabat sendiri.
Dalam satu segi, wakaf ahli ini baik sekali, karena si wakif akan mendapat dua kebaikan,
yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikan dari silahturahmi terhadap
keluarga yang diberikan harta wakaf.

 Wakaf Khairi

Yaitu, wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau
kemasyarakatan (kebajikan umum) seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan
pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan dan lain sebagainya.
Jenis wakaf ini seperti yang dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang
menceritakan tentang wakaf sahabat Umar bin Khattab. Beliau memberikan hasil kebunnya

7
Sumuran Harahap, Fikiqih wakaf, departemen agama RI, Jakarta: 2007.Hal 6
kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu, dan hamba sahaya yang berusaha
menebus dirinya. Wakaf ini ditujukan kepada umum dengan tidak terbatas penggunaanya
yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada
umumnya. Dalam tinjauan penggunaanya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya
disbanding jenis wakah ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihakyang ingin mengambil
manfaat. Dan jenis wakaf inilah yang sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan
perwakafan itu sendiri secara umum. 8

8
Sumuran Harahap, Fikiqih wakaf, departemen agama RI, Jakarta: 2007.Hal 17

Anda mungkin juga menyukai