Anda di halaman 1dari 21

Kisah wanita islam

Shafiyah Binti Huyai Radhiallaahu ‘Anha


Posted on November 17, 2007 by silahkan kunjungi situs islam yang sangat bermanfaat: www.muslim.or.id ,
www.kajian.net , www.eramuslim.com , www.rumaysho.com , www.pengusahamuslim.com , www.asysyariah.com ,
www.ustadzaris.com
Beliau adalah Shafiyyah binti Huyai binti Akhthan bin Sa’yah cucu dari Al-Lawi bin
Nabiyullah Israel bin Ishaq bin Ibrahim a.s., termasuk keturunan Rasulullah Harun a.s.
Shafiyyah adalah seorang wanita yang cerdas dan memiliki kedudukan yang
terpandang, berparas cantik dan bagus diennya. Sebelum Islamnya beliau menikah
dengan Salam bin Abi Al-Haqiq, kemudian setelah itu dia menikah dengan Kinanah bin
Abi Al-Haqiq. Keduanya adalah penyair yahudi. Kinanah terbunuh pada waktu perang
Kkaibar, maka beliau termasuk wanita yang di tawan bersama wanita-wania lain. Bilal
“Muadzin Rasululllah” menggiring Shafiyyah dan putri pamannya. Mereka meleweti
tanah lapang yang penuh dengan mayat-mayat orang Yahudi. Shafiyyah diam dan
tenang dan tidak kelihatan seduh dan tidak pula meratap mukanya, menjerit dan
menaburkan pasir pada kepalanya.
Kemudian keduanya dihadapkan kepada Rasulullah SAW, Shafiyyah dalam keadaan
sedih namun tetap diam, sedangkan putri pamanya kepalanya penuh pasir, merobek
bajunya karena maresa belum cukup ratapannya. Maka Rasulullah SAW
bersabda, “Enyahkanlah syetan ini dariku.”
Kemudian Rasulullah SAW mendekati Shafiyyah kemudian mengarahkan pandangan
atasnya dengan ramah dan lembut, kemudian bersabda kepada Bilal, “Wahai Bilal aku
berharap engkau mendapat rahmat tatkala engkau bertemu dengan dua orang wanita
yang suaminya terbunuh.”
Selanjutnya Shafiyyah dipilih untuk beliau dan beliau mengulurkan selendang belieu
kepada Shafiyyah, hal itu sebagai pertandan bahwa Rasulullah SAW telah memilihnya
untuk dirinya.Hanya kaum muslimin tidak mengetahui apakah Shafiyyah di ambil oleh
Rasulullah SAW sebagai istri atau sebagai budak atau sebagai anak? Maka tatkala
beliau berhijab Shafiyyah, maka barulah mereka tahu bahwa Rasulullah SAW
mengambilnya sebagai istri. Di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Anas r.a. bahwa
Rasulullah tatkala mengambil Shafiyyah binti Huyai belaiu bertanya
kepadanya,“Maukah engkau menjadi istriku?”Maka Shafiyyah menjawab,“Ya
Rasulullah sungguh aku telah berangan-angan untuk itu tatkala masih
musyrik, maka bagaimana mungkin aku tidak inginkan hal itu manakala Allah
memungkinkan itu saat aku memeluk Islam?”
Kemudian tatkala Shafiyyah telah suci Raslullah SAW menikahinya, sedangkan
maharnya adalah merdekanya Shafiyyah. Nabi SAW menanti sampai Khaibar kembali
tenang. Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan perjalanannya ke Madinah bersama
bala tentaranya, tatkala mereka sampai di Shabba’jauh dari Khaibar mereka berhenti
untuk beristirahat. Pada saat itulah timbul keinginan untuk merayakan walimatul ‘urs.
Maka didatangkanlah Ummu Anas bin Malik r.a, beliau menyisir rambut Shafiyyah,
menghiasi dan memberi wewangian hingga karena kelihaian dia dalam merias, Ummu
Sinan Al-Aslamiyah berkata bahwa beliau belum pernah melihat wanita yang lebih putih
dan cantik dari Shafiyyah yang usianya baru 17 tahun itu. Maka diadakanlah walimatul
‘urs, maka kaum muslimin memakan lezatnya kurma, mentega, dan keju Khaibar
hingga kenyang.
Tatkala rombongan sampai di Madinah Rasulullah perintahkan agar pengantin wanita
tidak langsung di ketemukan dengan istri-istri beliau yang lain. Beliau turunkan
Shafiyyah di rumah sahabatnya yang bernama Haritsah bin Nu’man. Ketika wanita-
wanita Anshar mendengar kabar tersebut, mereka datang untuk melihat
kecantikannya. Nabi SAW memergoki ‘Aisyah keluar sambil menutupi dirinya serta
berhati-hati (agar tidak dilihat Nabi) kemudian beliau masuk kerumah Haritsah bin
Nu’man. Maka beliau menunggunya sampai ‘Aisyah keluar. Maka tatkala beliau keluar,
Rasulullah memegang bajunya seraya bertanya dengan tertawa,“bagaimana menurut
mendapatmu wahai yang kemerah-merahan?” Aisyah menjawab sementara cemburu
menghiasi dirinya, “Aku lihat dia adalah wanita Yahudi.” Maka Rasulullah SAW
membantahnya dan bersabda, “Jangan berkata begitu?.karena sesungguhnya dia telah
Islam dan bagus keislamannya.”
Selajutnya Shafiyyah berpindah ke rumah Nabi menimbulkan kecemburuan istri-istri
beliau yang lain karena kecantikannya. Mereka juga mengucapkan selamat atas apa
yang telah beliau raih. Bahkan dengan nada mengejek mereka mengatakan bahwa
mereka adalah wanita-wanita Quraisy, wanita-wanita Arab sedangkan dirinya adalah
wanita asing.
Bahkan suatu ketika sampai keluar dari lisan Hafshah kata-kata,”Anak seorang Yahudi”
hingga menyebabkan beliau menangis. Tatkala itu Nabi masuk sedangkan Shafiyyah
masih dalam keadaan menangis. Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu
menangis?”Beliau menjawab, Hafshah mengatakan kepadaku bahwa aku adalah anak
seorang Yahudi. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Engkau adalah seorang putri
seorang Nabi dan pamanmu adalah seorang Nabi, suamimu pun juga seorang Nabi
lantas dengan alasan apa dia mengejekmu?” Kemudian beliau bersabda kepada
Hafshah,“Bertakwalah kepada Allah wahai Hafshah!”
Maka kata-kata Nabi itu menjadi penyejuk, keselamatan dan keamanan bagi Shafiyyah.
Selanjutnya manakala dia mendengar ejekan dari istri Nabi yang lain maka diapun
berkata, “Bagaimana bisa kalian lebih baik dariku, padahal suamiku adalah
Muhammad, ayahku adalah Harun dan pamanku adalah Musa?”
Shafiyyah r.a. wafat tatkala berumur sekitar 50 tahun, ketika masa pemerintahan
Mu’awiyah. Beliau dikuburkan di Baqi’ bersama Ummuhatul Mukminin. Semoga Allah
meridhai mereka semua.
Sumber: Al-Sofa
Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

[ [Previous Figure] ] [ Archive Index ] [ Main Index ] [ [Next Figure] ]

Hafshoh binti Umar r.a.


02/07/2002 – Arsip Profil/Tokoh
Beliau adalah Hafsah putri dari Umar bin Khaththab, seorang shahabat agung yang
melalui perantara beliau-lah Islam memiliki wibawa. Hafshoh adalah seorang wanita
yang masih muda dan berparas cantik, bertaqwa dan wanita yang disegani.
Pada mulanya beliau dinikahi salah seorang shahabat yang mulia bernama Khunais bin
Khudzafah bin Qais As-Sahmi Al-Quraisy yang pernah berhijrah dua kali, ikut dalam
perang Badar dan perang Uhud namun setelah itu beliau wafat di negeri hijrah karena
sakit yang beliau alami waktu perang Uhud. Beliau meninggalkan seorang janda yang
masih muda dan bertaqwa yakni Hafshoh yang ketika itu masih berumur 18 tahun.
Umar benar-benar merasakan gelisah dengan adanya keadaan putrinya yang menjanda
dalam keadaan masih muda dan beliau masih merasakan kesedihan dengan wafatnya
menantunya yang dia adalah seorang muhajir dan mujahid. Beliau mulai merasakan
kesedihan setiap kali masuk rumah melihat putrinya dalam keadaan berduka. Setelah
berfikir panjang maka Umar berkesimpulan untuk mencarikan suami untuk putrinya
sehingga dia dapat bergaul dengannya dan agar kebahagiaan yang telah hilang tatkala
dia menjadi seorang istri selama kurang lebih enam bulan dapat kembali.
Akhirnya pilihan Umar jatuh pada Abu Bakar Ash-Shidiq radhiallaahu ‘anhu orang yang
paling dicintai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena Abu Bakar dengan sifat
tenggang rasa dan kelembutannya dapat diharapkan membimbing Hafshoh yang
mewarisi watak bapaknya yakni bersemangat tinggi dan berwatak tegas. Maka
segeralah Umar menemui Abu Bakar dan menceritakan perihal Hafshoh berserta ujian
yang menimpa dirinya yakni berstatus janda. Sedangkan ash-Shiddiq memperhatikan
dengan rasa iba dan belas kasihan. Kemudian barulah Umar menawari Abu Bakar agar
mau memperistri putrinya. Dalam hatinya dia tidak ragu bahwa Abu Bakar mau
menerima seorang yang masih muda dan bertakwa, putri dari seorang laki-laki yang
dijadikan oleh Allah penyebab untuk menguatkan Islam. Namun ternyata Abu Bakar
tidak menjawab apa-apa. Maka berpalinglah Umar dengan membawa kekecewaan
hatinya yang hampir-hampir dia tidak percaya (dengan sikap Abu Bakar). Kemudian dia
melangkahkan kakinya menuju rumah Utsman bin Affan yang mana ketika itu istri
beliau yang bernama Ruqqayah binti Rasulullah telah wafat karena sakit yang
dideritanya.
Umar menceritakan perihal putrinya kepada Utsman dan menawari agar mau menikahi
putrinya, namun beliau menjawab: “Aku belum ingin menikah saat ini”. Semakin
bertambahlah kesedihan Umar atas penolakan Utsman tersebut setelah ditolak oleh
Abu Bakar. Dan beliau merasa malu untuk bertemu dengan salah seorang dari kedua
shahabatnya tersebut padahal mereka berdua adalah kawan karibnya dan teman
kepercayaannya yang faham betul tentang kedudukannya. Kemudian beliau
menghadap Rasulullah SAW dan mengadukan keadaan dan sikap Abu Bakar maupun
Utsman. Maka tersenyumlah Rasulllah SAW seraya berkata, “Hafshoh akan dinikahi
oleh orang yang lebih baik dari Abu Bakar dan Utsman sedangkan Ustman akan
menikahi wanita yang lebih baik daripada Hafshoh (yaitu putri beliau Ummu Kultsum
r.a. red.)”
Wajah Umar bin Khaththab berseri-seri karena kemuliaan yang agung ini yang mana
belum pernah terlintas dalam angan-angannya. Hilanglah segala kesusahan hatinya,
maka dengan segera dia menyampaikan kabar gembira tersebut kepada setiap orang
yang dicintainya sedangkan Abu Bakar adalah orang yang pertama kali beliau temui.
Maka tatkala Abu Bakar melihat Umar dalam keadaan gembira dan suka cita maka
beliau mengucapkan selamat kepada Umar dan meminta maaf kepada Umar sambil
berkata “janganlah engkau marah kepadaku wahai Umar karena aku telah mendengar
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebut-nyebut Hafshoh. Hanya saja aku
tidak ingin membuka rahasia Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam; seandainya
beliau menolak Hafshoh maka pastilah aku akan menikahinya. Maka Madinah mendapat
barokah dengan indahnya pernikahan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan
Hafshoh binti Umar pada bulan Sya’ban tahun ketiga Hijriyah. Begitu pula barokah dari
pernikahan Utsman bin Affan dengan Ummu Kultsum binti Muhammad Shallallaahu
‘alaihi wa sallam pada bulan Jumadil Akhir tahun ketiga Hijriyah juga.
Begitulah, Hafshoh bergabung dengan istri-istri Rasulullah dan Ummahatul mukminin
yang suci. Di dalam rumah tangga Nubuwwah ada istri selain beliau yakni Saudah dan
Aisyah. Maka tatkala ada kecemburuan beliau mendekati Aisyah karena dia lebih
pantas dan lebih layak untuk cemburu. Beliau senantiasa mendekati dan mengalah
dengan Aisyah mengikuti pesan bapaknya (Umar) yang berkata: “Betapa kerdilnya
engkau bila dibanding dengan Aisyah dan betapa kerdilnya ayahmu ini apabila
dibandingkan dengan ayahnya”.
Hafshoh dan Aisyah pernah menyusahkan Nabi, maka turunlah ayat: “Jika kamu
berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong
untuk menerima kebaikan dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan
Nabi,maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril” (Q.S. At-
Tahrim: 4).
Telah diriwayatkan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mentalak sekali
untuk Hafshoh tatkala Hafshoh dianggap menyusahkan Nabi namun beliau rujuk
kembali dengan perintah yang dibawa oleh Jibril ‘alaihissalam yang mana dia berkata,
“Dia adalah seorang wanita yang rajin shaum, rajin shalat dan dia adalah istrimu di
surga.”
Hafshoh pernah merasa bersalah karena menyebabkan kesusahan dan penderitaan
Nabi dengan menyebarkan rahasianya namun akhirnya menjadi tenang setelah
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memaafkan beliau. Kemudian Hafshoh hidup
bersama Nabi dengan hubungan yang harmonis sebagai seorang istri bersama
suaminya. Manakala Rasul yang mulia menghadap Ar-Rafiiq Al-A’la dan Khalifah
dipegang oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, maka Hafshoh-lah yang dipercaya diantara
Ummahatul Mukminin termasuk Aisyah didalamnya, untuk menjaga mushaf Al-Qur’an
yang pertama.
Hafshoh radhiallaahu ‘anha mengisi hidupnya sebagai seorang ahli ibadah dan ta’at
kepada Allah, rajin shaum dan juga shalat, satu-satunya orang yang dipercaya untuk
menjaga keamanan dari undang-undang umat ini, dan kitabnya yang paling utama
yang sebagai mukjizat yang kekal, sumber hukum yang lurus dan ‘aqidahnya yang
utuh.
Ketika ayah beliau yang ketika itu adalah Amirul mukminin merasakan dekatnya ajal
setelah ditikam oleh Abu Lu’lu’ah seorang Majusi pada bulan Dzulhijjah tahun 13
hijriyah, maka Hafshoh adalah putri beliau yang mendapat wasiat yang beliau
tinggalkan.
Hafshoh wafat pada masa Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiallaahu ‘anhu setelah
memberikan wasiat kepada saudaranya yang bernama Abdullah dengan wasiat yang
diwasiatkan oleh ayahnya radhiallaahu ‘anhu. Semoga Allah meridhai beliau karena
beliau telah menjaga al-Qur’an al- Karim, dan beliau adalah wanita yang disebut Jibril
sebagai Shawwamah dan Qawwamah (Wanita yang rajin shaum dan shalat) dan bahwa
beliau adalah istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam di surga.
Sumber: Al-Sofwa
Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

[ [Previous Figure] ] [ Archive Index ] [ Main Index ] [ [Next Figure] ]

Saudah Binti Zam’ah r.a.: Sang Isteri yang Merelakan Haknya


02/14/2002 – Arsip Profil/Tokoh
Beliau adalah Saudah binti Zam’ah bin Qais bin Abdi Syams bin Abud Al-Quraisyiyah Al-
Amiriyyah. Ibunya bernama Asy-Syamus binti Qais bin Zaid bin Amru dari bani Najjar.
Beliau juga seorang Sayyidah yang mulia dan terhormat. Sebelumnya pernah menikah
dengan As-Sakar bin Amru saudara dari Suhair bin Amru Al-Amiri. Suatu ketika beliau
bersama delapan orang dari bani Amir hijrah meninggalkan kampung halaman dan
hartanya, kemudian menyebrangi dasyatnya lautan karena ridha menghadapi maut
dalalm rangka memenangkan diennya. Semakin bertambah siksaan dan intimidasi yang
mereka karena mereka menolak kesesatan dan kesyirikan. Hampir-hampir tiada
hentinya ujian menimpa Saudah belum usai ujian tinggal dinegeri asing (Habsyah)
beliau harus kehilangan suami beliau sang muhajirin. Maka beliaupun menghadapi ujian
menjadi seorang janda disamping juga ujian dinegeri asing.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menaruh perhatian yang istimewa terhadap
wanita muhajirah yang beriman dan telah menjanda tersebut. Oleh karena itu tiada
henti-hentinya Khaulah binti Hakim as-Salimah menawarkan Saudah untuk beliau
hingga pada gilirannya beliau mengulurkan tangannya yang penuh rahmat untuk
Saudah dan beliau mendampinginya dan membantunya menghadapi kerasnya
kehidupan. Apalagi umurnya telah mendekati usia senja sehingga membutuhkan
seseorang yang dapat menjaga dan mendampinginya.
Telah tercatat dalam sejarah tak seorang pun sahabat yang berani mengajukan
masukan kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang pernikahan beliau
setelah wafatnya Ummul Mukminin ath-Thahirah yang telah mengimani beliau disaat
menusia mengkufurinya dan menyerahkan seluruh hartanya disaat orang lain menahan
bantuan terhadapnya dan bersamanya pula Allah mengkaruniakan kepada Rasul putra-
putri.
Akan tetapi hampir-hampir kesusahan menjadi berkepanjangan hingga Khaulah binti
Hakim memberanikan diri mengusulkan kepada Rasulullah dengan cara yang lembut
dan ramah:
Khaulah:”Tidakkah anda ingin menikah ya Rasulullah?”
Nabi: (Beliau menjawab dengan suara yang menandakan kesedihan), “Dengan siapa
saya akan menikah setelah dengan Khadijah?”
Khaulah: “Jika anda ingin bisa dengan seorang gadis dan bisa pula dengan seorang
janda.”
Nabi: “Jika dengan seorang gadis, siapakah gadis tersebut?”
Khaulah: “Putri dari orang yang anda cintai, yakni Aisyah binti Abu Bakar.”
Nabi : (Setelah beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam diam untuk beberapa saat
kemudian bertanya), “Jika dengan seorang janda?”
Khaulah : “Dia adalah Saudah binti Zam’ah, seorang wanita yang telah beriman kepada
anda dan mengikuti yang anda bawa.”
Beliau menginginkan Aisyah akan tetapi terlebih dahulu beliau nikahi Saudah binti
Zam’ah yang mana dia menjadi satu-satunya isteri beliau (setelah wafatnya Khadijah)
selama tiga tahun atau lebih baru kemudian masuklah Aisyah dalam rumah tangga
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang di Makkah merasa heran
terhadap pernikahan Nabi dengan Saudah binti Zam’ah. Mereka bertanya-tanya seolah-
olah tidak percaya dengan kejadian tersebut, seorang janda yang telah lanjut usia dan
tidak begitu cantik menggantikan posisi Sayyidah wanita Quraisy dan hal itu menarik
perhatian bagi para pembesar-pembesar diantara mereka.
Akan tetapi kenyataan membuktikan bahwa sesungguhnya Saudah atau yang lain tidak
dapat menggantikan posisi Khadijah, akan tetapi hal itu adalah, kasih sayang dan
penghibur hati adalah menjadi rahmat bagi beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
penuh kasih.
Adapun Saudah radhiallaahu ‘anha mampu untuk menunaikan kewajiban dalam rumah
tangga Nubuwwah dan melayani putri-putri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
mendatangkan kebahagiaan dan kegembiraan di hati Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dengan ringannya ruhnya dan sifat periangnya dan ketidaksukaannya terhadap
beratnya badan.
Setelah tiga tahun rumah tangga tersebut berjalan maka masuklah Aisyah dalam
rumah tangga Nubuwwah, disusul kemudian istri-istri yang lain seperti Hafsah, Zainab,
Ummu Salamah dan lain-lain. Saudah radhiallaahu ‘anha menyadari bahwa Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengawininya dirinya melainkan karena kasihan
melihat kondisinya setelah kepergian suaminya yang lama. Dan bagi beliau hal itu telah
jelas dan nyata tatkala Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ingin menceraikan beliau
dengan cara yang baik untuk memberi kebebasan kepadanya, namun Nabi nerasa
bahwa hal itu akan menyakiti hatinya.Tatkala Nabi mengutarakan keinginannya untuk
menceraikan beliau, maka beliau merasa seolah-olah itu adalah mimpi buruk yang
menyesakkan dadanya, maka beliau merengek dengan merendahkan diri berkata:
“pertahankanlah aku ya Rasulullah !demi Allah tiadalah keinginanku diperistri itu
karena ketamakan saya akan tetapi hanya berharap agar Allah membangkitkan aku
pada hari kiamat dalam keadaan menjadi Istrimu.
Begitulah Saudah radhiallaahu ‘anha lebih mendahulukan keridhaan suaminya yang
mulia, maka beliau berikan giliran beliau kepada Aisyah untuk menjaga hati Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau radhiallaahu ‘anha sudah tidak memiliki
keinginan sebagaimana layaknya wanita lain.
Maka Rasulullah menerima usulan istrinya yang memiliki perasaan yang halus tersebut,
maka turunlah ayat Allah, “Maka tidak mengapa bagi keduannya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (Q.
S. An-Nisa’:128)
Saudah radhiallaahu ‘anha tinggal dirumah tangga nubuwwah dengan penuh keridhaan
dan ketenangan dan bersyukur kepada Allah yang telah menempatkan posisinya
disamping sabaik-baik makhluk di dunia dan dia bersyukur kepada Allah karena
mendapat gelar ummul mukminin dan menjadi istri Rasul di jannah. Akhirnya wafatlah
Saudah radhiallaahu ‘anha pada akhir pemerintahan Umar bin Khattab radhiallaahu
‘anha.
Ummul mukminin Aisyah radhiallaahu ‘anha senantiasa mengenang dan mengingat
perilaku beliau dan terkesan akan keindahan kesetiaannya. Aisyah berkata, “Tiada
seorang wanitapun yang paling aku sukai agar aku memiliki sifat seperti dia melebihi
Saudah binti Zam’ah tatkala berusia senja yang mana dia berkata, “Ya Rasulullah aku
hadiahkan kunjungan anda kepadaku untuk Aisyah hanya saja beliau berwatak keras.”
Sumber: Al-Sofwah
Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Sumayyah binti Khayyat (Wanita Syahidah Pertama dalam Islam)
Posted on November 17, 2007 by silahkan kunjungi situs islam yang sangat bermanfaat: www.muslim.or.id ,
www.kajian.net , www.eramuslim.com , www.rumaysho.com , www.pengusahamuslim.com , www.asysyariah.com ,
www.ustadzaris.com
Dialah Sumayyah binti Khayyat, hamba sahaya dari Abu Hudzaifah bin Mughirah. Beliau dinikahi oleh Yasir,
seorang pendatang yang kemudian menetap di Mekah. Karenanya, tidak ada kabilah yang dapat membelanya,
menolongnya, dan mencegah kezaliman atas dirinya. Sebab, dia hidup sebatang kara, sehingga posisinya sulit
di bawah naungan aturan yang berlaku pada masa jahiliyah.
Begitulah Yasir mendapatkan dirinya menyerahkan perlindugannya kepada Bani Makhzum. Beliau hidup dalam
kekuasaan Abu Hudzaifah, sehingga akhirnya dia dinikahkan dengan budak wanita bernama Sumayyah. Dia
hidup bersamanya dan tenteram bersamanya. Tidak berselang lama dari pernikahannya, lahirlah anak mereka
berdua yang bernama Ammar dan Ubaidullah.
Tatkala Ammar hampir menjelang dewasa dan sempurna sebagai seorang laki-laki, beliau mendengar agama
baru yang didakwahkan oleh Muhammad bin Abdullah saw kepada beliau. Akhirnya, berpikirlah Ammar bin Yasir
sebagaimana berpikirnya penduduk Mekah. Karena kesungguhan dalam berpikir dan fitrahnya yang lururs, maka
masuklah beliau ke dalam agama Islam.
Ammar kembali ke rumah dan menemui kedua orang tuanya dalam keadaan merasakan lezatnya iman yang
telah terpatri dalam jiwanya. Beliau menceritakan kejadian yang beliau alami hingga pertemuannya dengan
Rasulullah saw, kemudian menawarkan kepada keduanya untuk mengikuti dakwah yang baru tersebut. Ternyata
Yasir dan Sumayyah menyahut dakwah yang penuh barakah tersebut dan bahkan mengumumkan
keislamannya, sehingga Sumayyah menjadi orang ketujuh yang masuk Islam.
Dari sinilah dimulainya sejarah yang agung bagi Sumayyah yang bertepatan dengan permulaan dakwah Islam
dan sejak fajar terbit untuk yang pertama kalinya.
Bani Makhzum mengetahui akan hal itu, karena Ammar dan keluarganya tidak memungkiri bahwa mereka telah
masuk Islam bahkan mengumumkan keislamannya dengan kuat, sehingga orang-orang kafir tidak
menanggapinya, melainkan dengan pertentangan dan permusuhan.
Bani Makhzum segera menangkap keluarga Yasir dan menyiksa mereka dengan bermacam-macam siksaan
agar mereka keluar dari din mereka, mereka memaksa dengan cara mengeluarkan mereka ke padang pasir
tatkala keadaannya sangat panas dan menyengat. Mereka membuang Sumayyah ke sebuah tempat dan
menaburinya dengan pasir yang sangat panas, kemudian meletakkan di atas dadanya sebongkah batu yang
berat, akan tetapi tiada terdengar rintihan ataupun ratapan melainkan ucapan Ahad… Ahad…,
beliau ulang-ulang kata tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Yasir, Ammar, dan Bilal.
Suatu ketika Rasulullah saw menyaksikan keluarga muslim tersebut yang tengah disiksa degan kejam, maka
beliau menengadahkan ke langit dan berseru:
“Bersabarlah wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah Jannah.”
Sumayyah mendengar seruan Rasulullah saw, maka beliau bertambah tegar dan optimis, dan dengan
kewibawaan imannya dia mengulang-ulang dengan berani, “Aku bersaksi bahwa Engkau adalah Rasulullah dan
aku bersaksi bahwa janjimu adalah benar.”
Begitulah, Sumayyah telah merasakan lezat dan manisnya iman, sehingga bagi beliau kematian adalah sesuatu
yang remeh dalam rangka memperjuangkan akidahnya. Di hatinya telah dipenuhi akan kebesaran Allah Azza wa
Jalla, maka dia menganggap kecil setiap siksaan yang dilakukan oleh para taghut yang zalim. Mereka tidak
kuasa menggeser keimanan dan keyakinannya ekalipun hanya satu langkah semut.
Sementara Yasir telah mengambil keputusan sebagaimana yang dia lihat dan dia dengar dari istrinya, Sumayyah
pun telah mematrikan dalam dirinya untuk bersama-sama dengan suaminya meraih kesuksesan yang telah
dijanjikan oleh Rasulullah saw.
Tatkala para taghut telah berputus asa mendengar ucapan yang senantiasa diulang-ulang oleh Sumayyah, maka
musuh Allah Abu Jahal melampiaskan keberangannya kepada Sumayyah dengan menusukkan sangkur yang
berada dalam genggamannya kepada Sumayyah. Maka terbanglah nyawa beliau yang beriman dan suci bersih
dari raganya. Beliau adalah wanita pertama yang mati syahid dalam Islam. Beliau gugur setelah memberikan
contoh baik dan mulia bagi kita dalam hal keberanian dan keimanan. Beliau telah mengerahkan segala apa yang
beliau miliki dan menganggap remeh kematian dalam rangka memperjuangkan imannya. Beliau telah
mengorbankan nyawanya yang mahal dalam rangka meraih keridhaan Rabbnya.“Dan mendermakan jiwa adalah
puncak tertinggi dari kedermawanannya.”
Sumber: Nisaa’ Haular Rasuul, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi
Al-Islam — Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Al-Khansa’ (Ibu Para Syuhada’)


Posted on November 17, 2007 by silahkan kunjungi situs islam yang sangat bermanfaat: www.muslim.or.id ,
www.kajian.net , www.eramuslim.com , www.rumaysho.com , www.pengusahamuslim.com , www.asysyariah.com ,
www.ustadzaris.com
Nama beliau adalah Tamadhar binti Amru bin al-Haris bin asy-Syarid, seorang wanita penyair yang tersohor.
Beberapa syair terlantun dari lisan beliau di saat kematian saudaranya Shakhr di masa jahiliyah, maka beliau
meratap dengan ratapan yang menyedihkan, yang akhirnya syair tersebut menjadi syair yang paling terkenal
dalam hal syair duka cita. Di antara syair yang bagus yang beliau ciptakan adalah sebagai berrikut.
Menangislah dengan kedua matamu atau sebelah mata
Apakah aku akan kesepian karena tiada lagi penghuni di dalam rumah
Dan di antara syair beliau yang bagus adalah:
Kedua mataku menangis dan tiada akan membeku
Bagaimana mata tidak menangis untuk Shakhr yang mulia
Bagaimana mata tidak menangis untuk sang pemberani
Bagaimana mata tidak menangis untuk seorang pemuda yang luhur
Beliau mendatangi Rasulullah saw bersama kaumnya dari Bani Salim, kemudian mengumumkan ke-Islamannya
dan menganut akidah tauhid, amat baik keislaman beliau sehingga menjadi lambang yang cemerlang dalam
keberanian, kebesaran jiwa dan merupakan perlambang kemuliaan bagi sosok wanita muslimah.
Rasulullah saw pernah meminta kepadanya untuk bersyair, maka beliau bersyair, Rasulullah saw
menyahut, “Wahai Khansa’ dan hari-hariku di tangan-Nya.”
Ketika Adi bin Hatim datang kepada Rasulullah saw, dia berkata kepada Nabi, “Wahai Rasulullah saw,
sesungguhnya di tengah-tengah kami ada orang yang paling ahli dalam syair, ada juga orang yang paling
dermawan di antara manusia dan orang yang paling ahli dalam menunggang kuda.” Kemudian Nabi saw
bersabda,“Siapakah nama mereka?” Adi bin Hatim berkata, “Adapun orang yang paling ahli bersyair adalah al-
Qais bin Hajar, sedangkan yang paling dermawan adalah Hatim bin Sa’ad (yakni bapaknya Adi), adapun yang
paling ahli dalam berkuda adalah Amru bin Ma’di Karib.” Rasulullah saw bersabda, “Tidak benar apa yang kamu
katakan wahai Adi, adapun orang yang paling ahli dalam syair adalah Khansa’ binti Amru, adapun orang yang
paling dermawan adalah Muhammad (yakni Muhammad saw), sedangkan orang yang paling ahli berkuda
adalah Ali bin Abu Thalib.”
Di samping kelebihan tersebut -hingga karena keistimewaannya dikatakan, ‘Telah dikumpulkan para penyair dan
ternyata tidak didapatkan seorang wanita yang lebih ahli tentang syair daripada beliau- , beliau juga memiliki
kedudukan dan prestasi jihad yang mengagumkan dalam berpartisipasi bagi Islam dan membela kebenaran.
Beliau turut menyertai peperangan-peperangan bersama kaum muslimin dan menyertai pasukan mereka yang
memperoleh kemenangan.
Ketika Mutsanna bin Haritsah asy-Syaibani berangkat ke Qadisiyah di masa Amirul Mukminin Umar bin
Khaththab ra, Khansa’ berangkat bersama keempat putranya untuk menyertai pasukan tersebut.
Di medan peperangan, di saat malam ketika para pasukan sedang siap berperang satu sama lain, Khansa’
mengumpulkan keempat putranya untuk memberikan pengarahan kepada mereka dan mengobarkan semangat
kepada mereka untuk berperang dan agar mereka tidak lari dari peperangan serta agar mereka mengharapkan
syahid di jalan Allah SWT. Maka, dengarkanlah wasiat al-Khansa’ yang mulia tersebut:
“Wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian telah masuk Islam dengan ketaatan, kalian telah berhijrah dengan
sukarela dan Demi Allah, tiada ilah selain Dia, sesungguhnya kalian adalah putra-putra dari seorang wanita yang
tidak pernah berkhianat kepada ayah kalian, kalian juga tidak pernah memerlukan paman kalian, tidak pernah
merusak kehormatan kalian dan tidak pula berubah nasab kalian. Kalian mengetahui apa yang telah Allah
janjikan bagi kaum muslimin berupa pahala yang agung bagi yang memerangi orang-orang kafir, dan ketahuilah
bahwa negeri yang kekal lebih baik dari negeri yang fana (binasa). Allah Azza wa Jalla befirman,“Wahai orang-
orang yang berfirman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di
perbatasan) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (Ali Imran: 20).
Maka, ketika datang waktu esok, jika Allah menghendaki kalian masih selamat, persiapkanlah diri kalian untuk
memerangi musuh dengan penuh semangat dan mohonlah kepada Allah untuk kemenangan kaum muslimin.
Jika kalian melihat perang telah berkecamuk, ketika api telah berkobar, maka terjunlah kalian di medan laga,
bersabarlah kalian menghadapi panasnya perjuangan, niscaya kalian akan berjaya dengan ghanimah (rampasan
perang) dan kemuliaan atau syahid di negeri yang kekal.
Sementara itu keempat putranya mendengarkan wejangan tersebut dengan penuh seksama, mereka keluar dari
kamar ibu mereka dengan menerima nasihatnya dan tekad hatinya untuk melaksanakan nasihat tersebut. Maka,
ketika datang waktu pagi, mereka segera bergabung bersama pasukan dan bertolak untuk menghadapi musuh,
sedangkan mereka berangkat seraya melantunkan syair. Yang paling besar bersenandung:
Wahai saudaraku, sesungguhnya ibunda sang penasehat
Telah berwasiat kepada kita kemarin malam
Dengan penjelasan yang tenang dan gamblang
Maka bersegeralah menuju medan tempur yang penuh bahaya
Yang kalian hadapi hanyalah
kawanan anjing yang sedang menggonggong
Sedang mereka yakin bahwa dirinya akan binasa oleh kalian
Adapun kalian telah dinanti oleh kehidupan yang lebih baik
Ataukah syahid untuk mendapatkan ghanimah yang menguntungkan
Kemudian dia maju untuk berperang hingga terbunuh. Lalu yang kedua bersenandung:
Sesungguhnya ibunda yang tegas dan lugas
Yang memiliki wawasan yang luas dan pikiran yang lurus
Suatu nasihat darinya sebagai tanda berbuat baik terhadap anak
Maka bersegeralah terjun di medan perang dengan jantan
Hingga mendapatkan kemenangan penyejuk hati
Ataukah syahid sebagai kemuliaan abadi
Di Jannah Firdaus dan hidup penuh bahagia
Kemudian dia maju dan berperang hingga menemui syahid. Lalu giliran putra al-Khansa’ yang ketiga
bersenandung:
Demi Allah, aku tak akan mendurhakai ibuku walau satu huruf pun
Beliau telah perintahkan aku untuk berperang
Sebuah nasihat, perlakuan baik, tulus dan penuh kasih sayang
Maka, bersegeralah terjun ke medan perang yang dahsyat
Hingga kalian dapatkan keluarga Kisra (kaisar) dalam kekalahan
Jika tidak, maka mereka akan membobol perlindungan kalian
Kami melihat bahwa kemalasan kalian adalah suatu kelemahan
Adapun yang terbunuh di antara kalian adalah kemenangan dan pendekatan diri kepada-Nya
Kemudian, dia maju dan bertempur hingga mendapatkan syahid. Lalu giliran putra al-Khansa’ yang terakhir
bersenandung:
Bukanlah aku putra al-Khansa, bukan pula milik al-akhram
Bukan pula Amru yang memiliki keagungan
Jika aku tidak bergabung dengan pasukan yang memerangi Persia
Maju dalam kancah yang menakutkan
Hingga berjaya di dunia dan mendapat ghanimah
Ataukah mati di jalan yang paling mulia
Kemudian, dia maju untuk bertempur hingga beliau terbunuh.
Ketika berita syahidnya empat bersaudara itu sampai kepada ibunya yang mukminah dan sabar, beliau tidaklah
menjadi goncang ataupun meratap, bahkan beliau mengatakan suatu perkataan yang masyhur yang dicatat oleh
sejarah dan akan senantiasa diulang-ulang oleh sejarah sampai waktu yang dikehendaki Allah, yakni:
“Segala puji bagi Allah yang memuliakan diriku dengan syahidnya mereka, dan aku berharap kepada Rabb-ku
agar Dia mengumpulkan diriku dengan mereka dalam rahmat-Nya”.
Adalah Umar bin Khaththab mengetahui betul tentang keutamaan al-Khansa’ dan putra-putranya sehingga beliau
senantiasa memberikan bantuan yang merupakan jatah keempat anaknya kepada beliau hingga beliau wafat.
Kemudian, wafatlah al-Khansa’ di Badiyah pada awal kekhalifahan Utsman bin Affan ra pada tahun 24 Hijriyah.
Semoga Allah merahmati al-Khansa’ yang benar-benar beliau sebagai seorang ibu yang tidak sebagaimana
layaknya ibu yang lain, kalau saja para ummahatul Islam setelahnya semisal beliau, niscaya tiada hilang mereka
yang telah hilang, tak akan dapat tidur mata orang yang sedang gelisah.
Sumber: Nisaa’ Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Mushtafa Abu Nashr asy-Syalabi
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

www.alislamu.com

Ummu Fadhal
Posted on November 17, 2007 by silahkan kunjungi situs islam yang sangat bermanfaat: www.muslim.or.id ,
www.kajian.net , www.eramuslim.com , www.rumaysho.com , www.pengusahamuslim.com , www.asysyariah.com ,
www.ustadzaris.com
Nama lengkapnya adalah Lubabah binti al-Harits bin Huzn bin Bajir bin Hilaliyah. Beliau adalah Lubabah al-
Kubra, ia dikenal dengan kuniyahnya (Ummu Fadhl). Ummu Fadhl adalah salah satu dari empat wanita yang
dinyatakan keimanannya oleh Rasulullah saw. Keempat wanita tersebut adalah Maimunah, Ummu Fadhl, Asma’
dan Salma.
Adapun Maimunah adalah Ummul Mukminin ra, saudara kandung dari Ummu Fadhl. Adapun Asma’ dan Salma
adalah kedua saudarinya dari jalan ayahnya, sebab keduanya adalah putri dari ‘Umais.
Ummu Fadhl ra adalah istri dari Abbas, pamanda Rasulullah saw dan ibu dari enam orang yang mulia, pandai
dan belum ada seorang
wanita pun yang melahirkan laki-laki semisal mereka. Mereka adalah Fadhl, Abdullah al-Faqih, Ubaidullah al-
Faqih, Ma’bad, Qatsam, dan Abdurrahman. Tentang Ummu Fadhl ini, Abdullah bin Yazid berkata, “Tiada
seorang wanita pun yang melahirkan orang-orang terkemuka yang aku lihat sebagaimana enam putra Ummu
Fadhl, putra dari dua orang tua yang mulia, pamanda Nabiyul Mushthafa yang mulia, penutup para rasul dan
sebaik-baik rasul.”
Ummu Fadhl ra masuk Islam sebelum hijrah, beliau adalah wanita pertama yang masuk Islam setelah Khadijah
(Ummul Mukminin ra), sebagaimana dituturkan oleh putra beliau Abdullah bin Abbas, “Aku dan ibuku adalah
termasuk orang-orang yang tertindas dari wanita dan anak-anak.”
Ummu Fadhal termasuk wanita yang berkedudukan tinggi dan mulia di kalangan para wanita. Rasulullah saw
terkadang mengunjungi beliau dan terkadang tidur siang di rumahnya.
Ummu Fadhal adalah seorang wanita yang pemberani dan beriman yang memerangi Abu Lahab (si musuh
Allah) dan membunuhnya. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishak dari Ikrimah berkata, “Abu Rafi’ budak Rasulullah saw
berkata, ‘Aku pernah menjadi budak Abbas, ketika Islam datang, maka Abbas masuk Islam yang kemudian
disusul oleh Ummu Fadhal, namun Abbas masih disegani terhadap kaumnya. Abu Lahab tidak dapat menyertai
Perang Badar dan mewakilkannya kepada Ash bin Hisyam bin Mughirah, begitulah kebiasaan mereka manakala
tidak dapat mengikuti suatu peperangan, maka dia mewakilkannya kepada orang lain. Tatkala datang kabar
tentang musibah yang menimpa orang-orang Quraisy pada perang Badar yang mana Allah telah menghinakan
dan merendahkan Abu Lahab. Adapun kami merasakan adanya kekuatan dan ‘izzah pada diri kami. Aku adalah
seorang laki-laki yang lemah, aku bekerja membuat gelas yang aku pahat di bebatuan sekitar zam-zam, demi
Allah suatu ketika aku duduk sedangkan di dekatku ada Ummu Fadhal yang sedang duduk, sebelumnya kami
berjalan, namun tidak ada kebaikan yang sampai kepada kami, tiba-tiba datanglah Abu Lahab dengan berlari,
kemudian duduk, tatkala dia duduk tiba-tiba orang-orang berkata, ‘Ini dia Abu Sufyan bin Harits telah datang dari
Badar’. Abu Lahab berkata, ‘Datanglah ke mari, sungguh aku menanti beritamu’. Kemudian duduklah Abu Jahal
dan orang-orang berdiri mengerumuni di sekitarnya. Berkatalah Abu Lahab, ‘Wahai putra saudaraku beritakanlah
kepadaku bagaimana keadaan manusia (dalam perang Badar)?’ Abu Sufyan berkata, ‘Demi Allah, tatkala kami
menjumpai mereka, tiba-tiba mereka tidak henti-hentinya menyerang pasukan kami, mereka memerangi kami
sesuka mereka dan mereka menawan kami sesuka hati mereka. Demi Allah, sekalipun demikian, tatkala aku
menghimpun pasukan, kami melihat ada sekelompok laki-laki yang berkuda hitam-putih berada di tengah-tengah
manusia, demi Allah mereka tidak menginjakkan kakinya di tanah’.”
Abu Rafi’ berkata, “Aku mengangkat batu yang berada di tanganku, kemudian aku berkata, demi Allah itu adalah
malaikat. Tiba-tiba Abu Lahab mengepalkan tangannya dan memukul aku dengan pukulan yang keras, maka
aku telah membuatnya marah, kemudian dia menarikku dan membantingku ke tanah, selanjutnya dia dudukkan
aku dan memukuli aku sedangkan aku adalah laki-laki yang lemah. Tiba-tiba berdirilah Ummu Fadhal mengambil
sebuah tiang dari batu kemudian beliau pukulkan dengan keras mengenai kepala Abu Lahab sehingga
melukainya dengan parah. Ummu Fadhal berkata, ‘Saya telah melemahkannya sehingga jatuhlah
kredibilitasnya’.”
Kemudian bangunlah Abu Lahab dalam keadaan terhina, demi Allah dia tidak hidup setelah itu melainkan hanya
tujuh malam hingga Allah menimpakan kepadanya penyakit bisul yang menyebabkan kematiannya.
Begitulah perlakuan seorang wanita muslimah yang pemberani terhadap musuh Allah sehingga gugurlah
kesombongannya dan merosotlah kehormatannya karena ternoda. Alangkah bangganya sejarah Islam yang
mencatat Ummu Fadhal ra sebagai teladan bagi para wanita yang dibina oleh Islam.
Ibnu Sa’ad menyebutkan di dalam Thabaqat al-Kubraa bahwa Ummu Fadhal suatu hari bermimpi dengan suatu
mimpi yang menakjubkan, sehingga ia bersegera untuk mengadukannya kepada Rasulullah saw, ia berkata,
“Wahai Rasulullah, saya bermimpi seolah-olah sebagian tubuhmu berada di rumahku.” Rasulullah saw
bersabda, “Mimpimu bagus, kelak Fathimah melahirkan seorang anak laki-laki yang nanti akan engkau susui
dengan susu yang engkau berikan buat anakmu (Qatsam).”
Ummu Fadhal keluar dengan membawa kegembiraan karena berita tersebut, dan tidak berselang lama Fathimah
melahirkan Hasan bin Ali ra yang kemudian diasuh oleh Ummu Fadhal.
Ummu Fadhal berkata, “Suatu ketika aku mendatangi Rasulullah saw ra dengan membawa bayi tersebut, maka
Rasulullah saw segera menggendong dan mencium bayi tersebut, namun tiba-tiba bayi tersebut mengencingi
Rasulullah saw, lalu beliau bersabda, “Wahai Ummu Fadhal, peganglah anakku ini, karena dia telah
mengencingiku.”
Ummu Fadhal berkata, “Maka aku ambil bayi tersebut dan aku cubit dia sehingga dia menangis.”
Aku berkata, “Engkau telah menyusahkan Rasulullah saw, karena engkau telah mengencinginya.”
Tatkala melihat bayi tersebut menangis, Rasulullah saw bersabda, “Wahai Ummu Fadhal, justru engkau telah
menyusahkanku, karena engkau membuat anakku menangis.” Kemudian, Rasulullah saw meminta air lalu beliau
percikkan ke tempat yang terkena air kencing tersebut, kemudian bersabda, “Jika bayi laki-laki, maka percikilah
air, akan tetapi apabila bayi itu wanita maka cucilah.”
Di dalam riwayat yang lain, Ummu Fadhal berkata, “Lepaslah sarung Anda dan pakailah baju yang lain agar aku
dapat mencucinya.” Namun, Nabi saw bersabda, “Yang dicuci hanyalah air kencing bayi wanita dan cukuplah
diperciki dengan air apabila terkena air kencing bayi laki-laki.”
Di sisi yang lain, Ummu Fadhal ra mempelajari hadis Nabawi dari Rasulullah saw dan beliau meriwayatkan
sebanyak tiga puluh hadis. Adapun yang meriwayatkan dari beliau adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas),
Tamam (yakni budaknya), Anas bin Malik dan yang lain.
Di antara peristiwa yang mengesankan Ummu Fadhal (Lubabah binti al-Harits) ra adalah tatkala banyak orang
yang bertanya kepada
beliau mengenai hari Arafah, apakah Rasulullah saw berpuasa atau tidak? Untuk menghilangkan problem yang
menimpa kaum muslimin tersebut, beliau dengan kebijakannya memanggil salah seorang anaknya kemudian
menyuruhnya agar mengirimkan segelas susu kepada Rasulullah saw yang sedang berada di Arafah. Kemudian
tatkala dia menemukan Nabi saw dengan dilihat oleh semua orang, beliau menerima segelas susu tersebut
kemudian meminumnya.
Kemudian, wafatlah Ummu Fadhal pada masa khilafah Utsman bin Affan ra setelah meninggalkan untuk kita
contoh yang baik yang patut ditiru sebagai ibu yang shalihah yang telah melahirkan tokoh semisal Abdullah bin
Abbas, tokoh ulama umat ini dan Turjumanul Qur’an (pakar dalam hal tafsir Alquran). Demikian pula, beliau telah
memberikan contoh yang terbaik bagi kita dalam hal kepahlawanan yang memancar dari akidah yang benar
yang muncul darinya keberanian yang mampu menjatuhkan musuh Allah yang paling keras permusuhannya
(yakni Abu Lahab).
Sumber: Nisaa’ Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Mushthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

www.alislamu.com

Ummu Waraqah (Seorang Wanita yang Syahid)


Posted on November 17, 2007 by silahkan kunjungi situs islam yang sangat bermanfaat: www.muslim.or.id ,
www.kajian.net , www.eramuslim.com , www.rumaysho.com , www.pengusahamuslim.com , www.asysyariah.com ,
www.ustadzaris.com
Beliau adalah putri dari Abdullah bin al- Haris bin Uwaimar bin Naufal al-Anshariyah. Beliau dikenal dengan
kunyah (gelar yang diawali dengan Abu atau ummu) Ummu Waraqah binti Abdullah atau dikenal dengan Ummu
Waraqah binti Naufal, dinisbahkan kepada kakeknya.
Beliau termasuk wanita yang mulia dan yang paling mulia pada zamannya. Rasulullah saw telah mengunjungi
beliau beberapa kali dan beliau menjulukinya dengan gelar asy-Syahidah.
Beliau ra adalah seorang wanita yang memiliki ghirah (semangat) tinggi terhadap Islam dan bercita-cita untuk
mati syahid di jalan Allah dalam rangka meninggikan kalimat Allah. Oleh karena itu, beliau tidak terhalang untuk
berjihad bersama kaum muslimin dan mendapatkan pahala mujahidin. Tatkala Rasulullah saw hendak berangkat
Perang Badar, Ummu Waraqah berkata kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, izinkanlah aku berangkat
bersama anda, sehingga aku dapat mengobati orang-orang yang terluka di antara kalian, merawat orang yang
sakit di antara kalian, dan agar Allah mengaruniai diriku syahadah (mati syahid).” Kemudian Nabi saw menjawab,
“Sesungguhnya Allah akan mengaruniai dirimu syahadah, tapi tinggallah kamu di rumahmu, karena
sesungguhnya engkau adalah syahidah (orang yang akan mati syahid).”
Beliau ra turut mengumpulkan Alquran al-Karim, dan beliau adalah seorang wanita yang ahli dalam membaca
Alquran. Karena itu, Nabi saw memerintahkan beliau agar menjadi imam bagi para wanita di daerahnya. Dan,
Rasulullah saw menyiapkan seorang muadzin bagi beliau.
Disebutkan dalam al-Musnad dan as-Sunan dari hadis Abdurrahman bin Khalad dari Ummu Waraqah
mengatakan bahwa Rasulullah saw mengunjungi beliau di rumahnya, kemudian memberikan seorang muadzin
untuknya. Abdurrahman berkata, “Aku melihat muadzin tersebut seorang laki-laki yang sudah tua.”
Jadilah rumah Ummu Waraqah ra, rumah Allah yang di sana, ditegakkan salat lima waktu. Alangkah
terhormatnya seorang wanita yang menduduki posisi sebagaimana seorang wanita mukminah seperti Ummu
Waraqah ra.
Ummu Waraqah senantiasa istiqamah dengan keadaannya, yaitu menjaga syari’at-syari’at Allah hingga pada
suatu ketika budak dan jariyahnya -yang telah dijanjikan oleh beliau akan dimerdekakan setelah beliau wafat-
membunuh beliau. Tatkala pagi Umar bin Khaththab berkata, “Demi Allah, aku tidak mendengar suara bacaan
Alquran dari bibiku semalam.” Kemudian beliau memasuki rumahnya, namun tidak melihat suatu apa pun,
kemudian beliau memasuki kamarnya, ternyata beliau telah terbungkus dengan kain di samping rumah (yakni
telah wafat). Umar berkata, “Alangkah benar sabda Rasulullah saw ketika bersabda, ‘Marilah pergi bersama
kami untuk mengunjungi wanita yang syahid’.”
Selanjutnya, Umar ra naik mimbar dan menyampaikan berita tersebut lantas berkata, “Hadapkanlah dua budak
tersebut kepadaku.”
Maka, datanglah dua orang budak tersebut dan beliau menanyai keduanya dan mereka mengakui bahwa
mereka berdua telah membunuhnya, maka beliau perintahkan agar kedua orang budak tersebut disalib, dan
mereka berdualah orang yang pertama kali disalib dalam sejarah Islam.
Semoga Allah merahmati Ummu Waraqah, semoga Allah membalas semua kebaikannya, dengan istiqamahnya
beliau dalam membaca Alquran dan mengumpulkannya. Beliau adalah imam bagi para wanita di zamannya yang
amat sangat rindu untuk berjihad dengan harapan mendapat pahala mujahidin. Akhirnya, Allah pun
mengabulkan permohonannya dan beliau mendapatkan pahala mujahidin.
Sumber: Nisaa’ Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Mushthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

www.alislamu.com

Ummu Syuraik al-Qurasyiah (Seorang Wanita Da’iyah)


Posted on November 17, 2007 by silahkan kunjungi situs islam yang sangat bermanfaat: www.muslim.or.id ,
www.kajian.net , www.eramuslim.com , www.rumaysho.com , www.pengusahamuslim.com , www.asysyariah.com ,
www.ustadzaris.com
Nama beliau adalah Ghaziyah binti Jabir bin Hakim. Beliau seorang wanita dari Quraisy, wanita dari Bani Amir
bin Lu’ai dan ia pernah menjadi istri Abu al-Akr ad-Dausi. Beliau merasa simpati hatinya dengan Islam sejak
masih di Mekah, hingga menjadi mantaplah iman di hatinya dan beliau memahami kewajiban dirinya terhadap
din yang lurus sehingga beliau mempersembahkan hidupnya untuk menyebarkan dakwah tauhid, meninggikan
kalimat Allah dan mengibarkan panji laa ilaha illallahu muhammadur rasulullahi.
Mulailah Ummu Syuraik bergerak untuk berdakwah dan mengajak wanita-wanita Quraisy secara sembunyi-
sembunyi. Beliau berdakwah kepada mereka, memberikan dorongan-dorongan agar mereka masuk Islam tanpa
kenal lelah dan jemu. Beliau menyadari resiko yang akan menimpa dirinya, baik pengorbanan maupun
penderitaan, serta resiko yang telah menghadangnya, berupa gangguan dan siksaan terhadap jiwa dan harta.
Akan tetapi, iman bukanlah sekedar kalimat yang diucapkan oleh lisan, melainkan iman pada hakikatnya
memiliki konsekuensi dan amanah yang mengandung beban dan iman berarti jihad yang membutuhkan
kesabaran.
Takdir Allah menghendaki setelah masa berlalu beberapa lama, mulailah hari-hari ujian, hari-hari menghadapi
cobaan yang mana aktivitas Ummu Syuraik ra telah diketahui penduduk Mekah. Akhirnya, mereka menangkap
beliau dan berkata, “Kalaulah bukan karena kaum kamu, kami akan tangani sendiri. Akan tetapi, kami akan
menyerahkan kamu kepada mereka.”
Ummu Syuraik berkata, “Maka datanglah keluarga Abu al-Akr (yakni kelurga suaminya) kepadaku kemudian
berkata, ‘Jangan-jangan engkau telah masuk kepada agamanya (Muhammad)?’ Beliau berkata, ‘Demi Allah, aku
telah masuk agama Muhammad’. Mereka berkata, ‘Demi Allah, aku akan menyiksamu dengan siksaan yang
berat’. Kemudian, mereka membawaku dari rumah kami, kami berada di Dzul Khalashah (terletak di Shan’a'),
mereka ingin membawaku ke sebuah tempat dengan mengendarai seekor onta lemah, yakni kendaraan mereka
yang paling jelek dan kasar. Mereka memberiku makan dan madu, akan tetapi tidak memberikan setetes air pun
kepadaku. Hingga manakala tengah hari dan matahari telah terasa panas, mereka menurunkan aku dan
memukuliku, kemudian mereka meninggalkanku di tengah teriknya matahari hingga hampir-hampir hilang
akalku, pendengaranku dan penglihatanku. Mereka melakukan hal itu selama tiga hari. Tatkala hari ketiga,
mereka berkata kepadaku, ‘Tinggalkanlah agama yang telah kau pegang!’ Ummu Syuraik berkata, ‘Aku sudah
tidak lagi dapat mendengar perkataan mereka, kecuali satu kata demi satu kata dan akau hanya mmeberikan
isyarat dengan telunjukku ke langit sebagai isyarat tauhid’.”
Ummu Syuraik melanjutkan, “Demi Allah, tatkala aku dalam keadaan seperti itu, ketika sudah berat aku rasakan,
tiba-tiba aku mendapatkan dinginnya ember yang berisi air di atas dadaku (beliau dalam keadaan berbaring),
maka aku segera mengambilnya dan meminumnya sekali teguk. Kemudian, ember tersebut terangkat dan aku
melihat ternyata ember tersebut menggantung antara langit dan bumi dan aku tidak mampu mengambilnya.
Kemudian, ember tersebut menjulur kepadaku untuk yang kedua kalinya, maka aku minum darinya kemudian
terangkat lagi. Aku melihat ember tersebut berada antara langit dan bumi. Kemudian, ember tersebut menjulur
kepadaku untuk yang ketiga kalinya, maka aku minum darinya hingga aku kenyang dan aku guyurkan ke kepala,
wajah dan bajuku. Kemudian, mereka keluar dan melihatku seraya berkata, ‘Dari mana engkau dapatkan air itu
wahai musuh Allah’. Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya musuh Allah adalah selain diriku yang menyimpang dari
agama-Nya. Adapun pertanyaan kalian dari mana air itu, maka itu adalah dari sisi Allah yang dianugerahkan
kepadaku’. Mereka bersegera menengok ember mereka dan mereka dapatkan ember tersebut masih tertutup
rapat belum terbuka. Lalu, mereka berkata, ‘Kami bersaksi bahwa Rabbmu adalah Rabb kami dan kami bersaksi
bahwa yang telah memberikan rizki kepadamu di tempat ini setelah kami menyiksamu adalah Dia Yang
Mensyari’atkan Islam’.” Akhirnya, masuklah mereka semuanya ke dalam agama Islam dan semuanya berhijrah
bersama Rasulullah saw dan mereka mengetahui keutamaanku atas mereka dan apa yang telah dilakukan Allah
terhadapku.
Semoga Allah merahmati Ummu Syuraik, yang telah mengukir sebaik-baik contoh dalam berdakwah ke jalan
Allah, dalam hal keteguhan dalam memperjuangkan iman dan akidahnya dan dalam bersabar di saat
menghadapi cobaan serta berpegang kepada tali Allah…. Marabahaya tidak menjadikan beliau kendor ataupun
lemah yang mengakibatkan beliau bergeser walaupun sedikit untuk menyelamatkan jiwanya dari kematian dan
kebinasaan. Akan tetapi, hasil dari ketegaran beliau, Allah memuliakan beliau dan menjadikan indah pandangan
matanya dengan masuknya kaumnya ke dalam agama Islam. Inilah target dari apa yang dicita-citakan oleh
seorang muslim dalam berjihad.
Rasulullah saw bersabda yang artinya, “Sungguh, seandainya Allah memberikan hidayah kepada satu orang
karena dakwahmu, maka itu lebih baik dari onta yang merah (harta kekayaan yang paling berharga).”
Sumber: Nisaa’ Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

www.alislamu.com
<!——

Ummu ‘Imarah
Posted on November 17, 2007 by silahkan kunjungi situs islam yang sangat bermanfaat: www.muslim.or.id ,
www.kajian.net , www.eramuslim.com , www.rumaysho.com , www.pengusahamuslim.com , www.asysyariah.com ,
www.ustadzaris.com
Ia adalah seorang wanita dari Bani Mazin an-Najar yang nama lengkapnya adalah Nusaibah binti Ka’ab bin Amru
bin Auf bin Mabdzul al-Anshaiyah.
Beliau wanita yang bersegera masul Islam, salah seorang dari dua wanita yang bersama para utusan Anshar
yang datang ke Mekah untuk melakukan bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disamping
memiliki sisi keuatmaan dan kebaikan, ia juga suka berjihad, pemberani, ksatia, dan tidak takut mati di jalan
Allah.
Nusaibah ra ikut pegi berperang dalam Perang Uhud besama suaminya (Ghaziyah bin Amru) dan bersama
kedua anaknya dari suami yang prtama (Zaid bin Ashim bin Amru), kedua anaknya bernama Abdullah dan
Hubaib. Di siang harri beliau membeikan minuman kepada yang terluka, namun tatkala kaum muslimin porang-
poranda beliau segera mendekati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa pedang (untuk
menjaga keselamatan Rasulullah) dan menyerang musuh dengan anak panah. Beliau beperang dengan
dahsyat. Beliau menggunakan ikat pinggang pada peutnya hingga teluka sebanyak tiga belas tempat. Yang
paling parah adalah luka pada pundaknya yang tekena senjara dai musuh Allah yang bernama Ibnu Qami’ah
yang akhirnya luka tersebut diobati selama satu tahun penuh hingga sembuh.
Nusaimah ra sempat mengganggap ringan lukanyayang berbahaya ketika penyeu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berseru agar kaum muslimin menuju Hamraul Asad, maka Nusaibah mengikat lukanya dengan
bajunya, akan tetapi tidak mampu untuk menghentikan cucuran daahnya.
Ummu Umarah menutukan kejadian Perang Uhud demikian kisahnya, “Aku melihat orang-oang sudah menjauhi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga tinggal sekelompok kecil yang tidak sampai bilangan sepuluh
orang. Saya, kedua anakku, dan suamiku berada di depan beliau untuk melindunginya, sementara orang-orang
koca-kacir. Beliau melihatku tidak memiliki perisai, dan beliau melihat pula ada seorang laki-laki yang mundu
sambil membawa perisai. Beliau besabda, ‘Beikanlah peisaimu kepada yang sedang berperang!’ Lantas ia
melempakannya, kemudian saya mengambil dan saya pegunakan untuk melindungi Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ketika itu yang menyerang kami adalah pasukan bekuda, seandainya mereka berrjalan kaki
sebagaimana kami, maka dengan mudah dapat kami kalahkan insya Allah. Maka tatkala ada seorang laki-laki
yang berkuda mendekat kemudian memukulku dan aku tangkis dengan pisaiku sehingga dia tidak bisa berbuat
apa-apa degan pedangnya dan akhirnya dia hendak mundu, maka aku pukul urat kaki kudanya hingga jatuh
teguling. Kemudian ketika itu Nabi berseu, ‘Wahai putra Ummu imarah, bantulah ibumu… bantulah ibumu….’
Selanjutnya putraku membantuku untuk mengalahkan musuh hingga aku berhasil membunuhnya.”
(Lihat Thabaqat Ibnu Sa’ad VIII/412).
Putra beliau yang bernama Abdullah bin Zaid bekata, “Aku teluka. Pada saat itu dengan luka yang parah dan
darah tidak berhenti mengalir, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Balutlah lukamu!’ Sementara
ketika itu Ummu Imarh sedang menghadapi musuh, tatkala mendenga seuan Nabi, ibu menghampiriku dengan
membawa pembalut dari ikat pinggangnya. Lantas dibalutlah lukaku sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdiri, ketika itu ibu bekata kepadaku, ‘Bangkitlah besamaku dan tejanglah musuh!’Hal itu membuat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapakah yang mampu berbuat dengan apa yang engkau pebuat ini
wahai Ummu Imarah?’
Keudian datanglah orang yang tadi melukaiku, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Inilah
yang memukul anamu whai Ummu Imarah!” Ummu Imarah becerita, “Kemudian aku datangi orang tersebut
kemudian aku pukul betisnya hingga roboh.” Ummu Imarah melihat ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tersenyum karena apa yang telah diperbuat olehnya hingga kelihata gigi geraham beliau, beliau
bersabda, “Engkau telah menghukumnya wahai Ummu Imarah.”
Kemudian mereka pukul lagi dengan senjata hingga dia mati. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Segala puji bagi Allah yang telah memenangkanmu dan meyejukkan pandanganmu dengan kelelahan musuh-
musuhmu dan dapat membalas musuhmu di depan matamu.” (Lihat Thabaqat Ibnu Sa’ad VIII/413 — 414).
Selain pada Perang Uhud, Ummu Imarah juga ikut pada dalam bai’atur ridwanbersama Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam Perang Hudaibiyah, dengan demikian beliau ikut serta dalam Perang Hunain.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, ada bebeapa kabilah yang mutad dari Islam di bawah
pimpinan Musailamah al-Kadzab, selanjutnya khalifah Abu Bakar ash-Shidiq mengambil keputusan untuk
memerangi orang-orang yang murtad tesebut. Maka, bersegeralah Ummu Imarah mendatangi Abu Bakar dan
meminta ijin kepada beliau untuk begabung bersama pasukan yang akan memerangi orang-orang yang mutad
dai Islam. Abu Bakar ash-Shidiq bekata kepadanya, “Sungguh aku telah mengakui pranmu di dalam perang
Islam, maka berangkatlah dengan nama Allah.” Maka, beliau berangkat bersama putranya yang bernama Hubaib
bin Zaid bin Ashim.
Di dalam perang ini, Ummu Imarah mendapatkan ujian yang berat. Pada perang tesebut putranya tertawan oleh
Musailamah al-Kadzab dan ia disiksa dengan bebagai macam siksaan agarr mau mengakui kenabian
Musailamah al-Kadzab. Akan tetapi, bagi putra Ummu imarah yang telah tebiasa dididik untuk besabar tatkala
beperang dan telah dididik agar cinta kepada kematian syahid, ia tidak kenal kompomi sekalipun diancam.
Tejadilah dialog antaraya dengan Musailamah:
Musailamah: Engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah?
Hubaib: Ya
Musailamah: Engkau besaksi bahwa aku adalah Rasulullah?
Hubaib: Aku tidak mendengar apa yang kamu katakan itu.
Kemudian Musailamah al-Kadzab memotong-motong tubuh Hubaib hingga tewas.
Suatu ketika Ummu Imarah ikut serta dalam perang Yamamah besama putranya yang lain, yaitu Abdullah.
Beliau bertekad untuk dapat membunuh Musailamah dengan tangannya sebagai balasan bagi Musailamah yang
telah membunuh Hubaib, akan tetapi takdir Allah menghendaki lain, yaitu bahwa yang mampu membunuh
adalah putra beliau yang satunya, yaitu Abdullah. Ia membalas Musailamah yang telah membunuh saudara
kandungnya.
Tatkala membunuh Musailamah, Abdullah bekeja sama dengan Wahsyi bin Harb, tatkala ummu imarah
mengetahui kematian si Thaghut al-Kadzab, maka beliau bersujud syukur kepada Allah.
Ummu Imarah pulang dari peperangan dengan membawa dua belas luka pada tubuhnya setelah kehilangan satu
tangannya dan kehilangan anaknya yang terakhir, yaitu Abdullah.
Sungguh, kaum muslimin pada masanya mengetahui kedudukan beliau. Abu Bakar ash-Shidiq penah
mendatangi beliau untuk menanyakan kondisinya dan menenangkan beliau. Khalid si pedang Islam membantu
atas penghomatannya, dan seharusnyalah kaum muslimin di zaman kita juga mengetahui haknya pula. Beliau
sungguh telah mengukir sejarahnya dengan tinta emas.
Sumber: Nisa’ Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

www.alislamu.com
<!——

Khaulah binti Tsa’labah


Posted on November 17, 2007 by silahkan kunjungi situs islam yang sangat bermanfaat: www.muslim.or.id ,
www.kajian.net , www.eramuslim.com , www.rumaysho.com , www.pengusahamuslim.com , www.asysyariah.com ,
www.ustadzaris.com
Beliu adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram bin Fahar bin Tsalabah Ghanam bin Auf. Beliau tumbuh
sebagai wanita yang fasih dan pandai. Beliaua dinikahi oleh Aus bin Shamit bin Qais saudara darri Ubadah bin
Shamit ra yang beliau menyertai Perang Badar dan Perang Uhud dan mengikuti seluruh peperangan yang
disertai Rasulullah saw. Dengan Aus inilah beliau melahirkan anak laki-laki yang benama Rabi’.
Khaulah binti Tsa’labah mendapati suaminya, Aus bin Shamit, dalam suatu masalah yang membuat Aus marah.
Dia berkata, “Bagiku engkau ini seperti punggung bibiku.” Kemudian Aus keluar setelah mengatakan kalimat
tesebut dan duduk-duduk bersama orang-orang beberapa lama, lalu dia masuk dan menginginkan Khaulah.
Akan tetapi, kesadaran hati dan kehalusan perasaan Khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah
tehadap kejadian yang bau petama kali terjadi dalam sejarah Islam. Khaulah berkata, “Tidak… jangan! Demi
yang jiwa Khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku kaena engkau telah mengatakan
sesuatu yang telah engkau ucapkan tehadapku sehingga Allah dan Rasul-Nya memutuskan hukum tentag
peristiwa yang menimpa kita.”
Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulullah saw, kemudian dia duduk di hadapan beliau dan menceitakan
peristiwa yang menimpa diiya dengan suaminya. Keperluannya adalah untukmeminta fatwa dan bedialog
dengan Nabi tentang urusan tesebut. Rasulullah saw besabda, “Kami belum penah mendapatkan perintah
bekenaan urusanmu tersebut… aku tidak melihat melainkan engkau sudah haram baginya.”
Wanita mukminah ini mengulangi perrkataannya dan menjelaskan kepada Rasululah saw apa yang menimpa
diinya dan anaknya jika dia harus cerai dengan istrrinya, namun Rasulullah tetapmenjawab, “Aku tidak melihat
melainkan engkau telah haram baginya.”
Sesudah itu wanita mukminah ini senantiasa mengangkat kedua tangannya ke langit sedangkan di hatinya
tersimpan kesedihan dan kesusahan. Pada kedua matanya nampak meneteskan air mata dan semacam ada
penyesalan, maka beliau menghadap kepada Yang tiada akan ugi siapa pun yang bedo’a kepada-Nya. Beliau
berdo’a, “Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang peristiwa yang menimpa diiku.”
Alangkah bagusnya seorang wanita muslimah semacam Khaulah, beliau berdiri di hadapan Rasulullah saw dan
berdialog untuk meminta fatwa, adapun istighatsah dan mengadu tidak ditujukan meainkan untuk Allah Ta’ala. Ini
adalah bukti kejenihan iman dan tauhidnya yang telah dipelajari oleh para sahabat kepada Rasulullah saw.
Tiada henti-hentinya wanita ini bedoa hingga suatu ketika Rasulullah saw pingsan sebagaimana biasanya beliau
pingsan tatkala meneima wahyu. Kemudian setelah Rasulullah saw sadar kembali, beliau bersabda, “Wahai
Khaulah, sungguh Allah telah menuunkan Alquran tentang dirimu dan suamimu,” kemudian beliau
membaca,“Sesungguhnya Allah telah mndengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu
tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu
berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat, sampai fiman Allah: “dan bagi orang-orang
kafir ada siksaan yang pedih.” (Al-Mujadalah: 1 — 4).
Kemudian Rasulullah saw menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarah dhihar:
Nabi: Peintahkan kepadanya (suami Khansa’) untuk memedekaka seorang budak.
Khaulah: Ya Rasulullah, dia tidak memiliki seorang budak yang bisa dia merdekakan.
Nabi: Jika demikian, perintahkan kepadanya untuk shaum dua bulan beturut-turut.
Khaulah: Demi Allah, dia adalah laki-laki yang tidak kuat melakukan shaum.
Nabi: Peintahkan kepadanya membei makan dai kurma sebanyak 60 orang miskin.
Khaulah: Demi Allah, ya Rasululah, dia tidak memilikinya.
Nabi: Aku bantu dengan sepauhnya.
Khaulah: Aku bantu sepauhnya yang lain, wahai Rasulullah.
Nabi: Engkau benar dan baik, maka pegilah dan sedekahkanlah kurma itu sebagi kafarat baginya, kemudian
begaullah dengan anak perempuan itu secara baik. “Maka Khaulah pun melaksanakannya.”
Inilah kisah seoang wanita yang mengajukan gugatan kepada pemimpin anak adam yang mengandung banyak
pelajaran di dalamnya dan banyak hal yang menjadikan seorang wanita mengangkat kepalanya tinggi-tinggi
dengan bangga dan perasaan mulia dan besar perhatian Islam terhadapnya.
Ummul mukminin Aisyah ra berkata tentang hal ini, “Segala puji bagi Allah yang Maha luas pendengaran-Nya
terhadap semua suara, telah datang seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada Rasulullah saw dia
bebincang-bincang dengan Rasulullah saw, sementara aku berada di samping rumah dan tidakmendenga apa
yang dia katakan, maka kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat yang artinya,“Sesungguhnya Allah
telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan
(halnya) kepada Allah….” (Al-Mujadalah: 1).
Inilah wanita mukminah yang dididik oleh Islam yang menghentikan Khalifah Umar bin Khaththab ra saat berjalan
untuk memberikan wejangan dan nasihat kepadanya. Beliau berkata, “Wahai umar, aku telah mengenalmu sejak
namamu dahulu masih Umair (Umar kecil) tetkala engkau berada di pasar Ukadz engkau mengembala kambing
dengan tongkatmu, kemudian berlalulah waktu hingga engkau bernama umar, kemudian berlalu hari demi hari
sehingga memiliki nama Amirul mukminin, maka betakwalah kepada Allah perihal rakyatmu, dan ketahuilah
barangsiapa yang takut akan siksa Allah maka yang jauh akan menjadi dekat dengannya, dan barangsiapa yang
takut mati maka dia aka takut kehilangan da barangsiapa yang yakin akan adanya hisab maka dia takut terhadap
adzab Allah.” Beliau katakan hal itu, sementara Umar Amirul Mukminin bediri sambil menundukkan kepalanya
dan mendenga perkataannya.
Akan tetapi, al-Jarud al-Abdi yang menyetai Umar bin Khaththab tidak tahan mengatakan kepada Khaulah,
‘Engkau telah berbicara banyak kepada Amirul Mukminin wahai wanita!” Umar kemudian menegunya, “Biarkan,
dia… tahukah kamu siapakah dia? Beliau adalah Khaulah yang Allah mendengarkan pekatannya dari langit yang
ke tujuh, maka Umar lebih behak untuk mendengarkan pekatannya.”
Dalam riwayat lain Umar berkata, “Demi Allah , seandainya beliau tidak menyudahi nasihatnya kepadaku hingga
malam hari, maka aku tidak akanmenyudahinya sehingga beliau selesaikan apa yang dia kehendaki, kecuali jika
telah datang waktu salat, maka saya akanmengerjakan salat, kemudian kembali untuk mendengarkannya hingga
selesai kepeluannya.”
Sumber: Nisa’ Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

www.alislamu.com

Rubai binti Ma’udz


Posted on November 17, 2007 by silahkan kunjungi situs islam yang sangat bermanfaat: www.muslim.or.id ,
www.kajian.net , www.eramuslim.com , www.rumaysho.com , www.pengusahamuslim.com , www.asysyariah.com ,
www.ustadzaris.com
Beliau adalah Ruba’i bi Ma’udz bin al-Haris bin Fifa’ah bin al-Haris bin Sawad bin Malik bin Ghanam bin Malik al-
Anshariyah an-Najariyah. Ibu beliau Ummu Yazid binti Qais bin Za’wa’ bin Haram bin Jundub bin Amir bin
Ghanam bin Adi bin an-Najar.
Ruba’i ra termasuk angkatan pertama yang masuk Islam, sungguh nampak ketulusan imannya dan kokohnya
keyakinannya tatkala beliau berbai’at kepada Rasulullah saw di bawah sebuah pohon, itulah bai’at yang diberi
nama denganbaitur ridhwan. Sehingga, beliau termasuk orang yang sukses mendapatkan keridhaan dari Allah
sebagaimana yang difirmankan Allah, “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika
mereka berjanji setia kepadamu di bahwah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu
menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat
(waktunya). Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (Al-Fath: 18 — 19).
Rubai binti Ma’udz termasuk sahabiyat agung yang dibina oleh Islam dan kemudian turut andil dalam kehidupan
Islamiyah dan mereka terjun dalam membina masyarakat Islam yang agung. Beliau turut berperang di jalan Allah
dengan menjaga batas-batas yang telah disyariatkan oleh Islam. Beliau berbaiat kepada Rasulullah saw dan
meriwayatkan hadis dari beliau dan adalah beliau seorang wanita yang pandai tentang urusan diennya.
Kaum muslimin mengakui kemampuan beliau, bahkan para sahabat senior bertanya kepada beliau dalam
perkara dien, dan beliau telah menggambarkan tentang sifat Rasulullah saw sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Abu Ubaidah bin Muhammad bin Ammar bin Yasir bertanaya kepada Rubai, “Gambarkanlah sifat Rasulullah
saw kepadaku!” Beliau menjawab, “Wahai anakku, seandainya engkau melihatnya maka seolah-olah engkau
melihat matahari terbit.” (Al-Ishabah VIII/267, ath-ThabaqatVIII/279, dan sh-Shaum II/248).
Beliau juga yang telah meriwayatkan tentang sifat wudhu Nabi saw sebagaiamana yang dikeluarkan oleh Abu
Dawud di dalam Sunannya dari Rubai berkata: “Adalah Rasulullah saw mendatangi kami dan berbincang-
bincang dengan kami dan beliau bersabda, “Tuangkanlah air agar aku berwudhu dengannya.” Kemudian Rubai
menyebutnya wudhu Rasulullah saw, beliau berkata, “Maka beliau mencuci kedua telapak tangannya tiga
akali….” (Al-Ishabah dalam Tamyizish Shahabah VIII/80).
Diriwayatkan pula oleh beliau yang berkata, ” Suatu ketika Rasulullah saw mendatangiku tatkala aku menjadi
pengantin, beliau masuk ke dalam rumahku dan duduk di tempat tidurku sedangkan beberapa wanita yang
masih kecil menabuh rebana dan menyanjung orang tua mereka yang telah syahid dalam perang Badar. Tatkala
di antara mereka ada yang bersenandung:
‘Di tengah-tengah kita ada Nabi yang mengetahui apa yang terjadi besok’.
Maka Rasulullah saw bersabda kepadanya, ‘Biarkanlah dia dan ucapkanlah apa yang telah diucapkannya tadi’.”
(Abu Dawud I/90 dan al-Ishabah VIII/79).
Rubai menikah dengan Iyas bin Bakir dari Bani Laits, dan darinyalah beliau melahirkan seorang anak yang
bernama Muhammad Iyas. Suatu ketika terjadi dialog antara beliau dengan suaminya karena beliau menyadari
bahwa sulit untuk hidup berdampingan dengan suaminya sehingga beliau berkata, “Engkau memiliki seluruh apa
yang aku miliki maka ceraikanlah aku.” Iyas menjawab, “Sudah aaku cerai kamu.”
Rubai melanjutkan, “Maka aku kembalikan seluruh barang yang menjadi miliknya selain baju besiku, namun ia
menggugatkan dalam hal itu di hadapan Utsman, beliau berkata, “Itu adalah termasuk syarat!” maka aku
kembalikan barang tersebut kepadanya.”
Adapun peran serta beliau dalam berjihad bersama kaum muslimin tidak perlu diragukan lagi. Rubai berperang
bersama kaum muslimin. Beliau bertugas menyiapkan minuman bagi pasukan dan membantu mereka serta
membawa orang yang terbunuh maupun terluka ke Madinah. Beliau melengkapi kepahlawanan para pasukan
Islam di medan tempur dengan seluruh apa-apa yang menyebabkan timbulnya kekuatan pada diri mereka, baik
berupa motivasi, bekal, dan lain-lain. Apabila beliau telah mencukupi urusan mereka, beliau naik kuda beliau lalu
menyerang musuh-musuh Allah dengan anak panah yang beliau arahkan ke leher mereka dan beliau berusaha
melawan tipu daya mereka. (Al-Ishabah VIII/80 dan ath-Thabaqat VIII/447).
Akhirnya beliau ra wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah tahun 45 Hijriah setelah mengukir sejarah hidupnya
sebagai teladan bagi wanita muslimah dalam hal berbuat baik, bertakwa, berilmu, dan berjihad di jalan Allah.
Sumber: Nisa’ Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

www.alislamu.com
<!——

Ummu Sulaim binti Malhan


Posted on November 17, 2007 by silahkan kunjungi situs islam yang sangat bermanfaat: www.muslim.or.id ,
www.kajian.net , www.eramuslim.com , www.rumaysho.com , www.pengusahamuslim.com , www.asysyariah.com ,
www.ustadzaris.com
Beliau bernama Rumaisha’ Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin
Ghanam bin Adi bin Naja al-Anshaiyah al-Khazrajiyah.
Beliau adalah seorang wanita yang memiliki sifat keibuan dan cantik, dihiasi pula dirinya dengan ketabahan,
kebijaksanaan, lurus pemikirannya, dan dihiasi pula dengan kecerdasan berpikir dan kefasihan serta berakhlak
mulia, sehingga nantinya cerita yang baik ditujukan kepada beliau dan setiap lisan memuji atasnya. Karena,
beliau memiliki sifat yang agung tersebut sehingga mendorong putra pamannya yang bernama malik bin Nadhar
untuk segera menikahinya yang akhirnya melahirkan Anas bin Malik.
Tatkala cahaya nubuwwah mulai terbit dan dakwah tauhid mulai muncul, orang-orang yang berakal sehat dan
memiliki fitrah yang lurus untuk bersegera masuk Islam. Ummu Sulaim termasuk golongan petama yang masuk
Islam awal-awal dari golongan Anshar. Beliau tidak mempedulikan segala kemungkinan yang akan menimpanya
di dalam masyarakat jahiliyah penyembah behala yang beliau buang tanpa ragu.
Adapun kalangan petama yang harus beliau hadapi adalah kemarahan Malik, suaminya, yang barru saja pulang
dari bepergian dan mendapati istrinya telah masuk Islam. Malik berkata dengan kemarahan yang memuncak,
“Apakah engkau murtad dari agamamu?” Maka dengan penuh yakin dan tegar beliau menjawab, “Tidak, bahkan
aku telah beriman.”
“Demi Allah, orang seperti anda tidak pantas untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir sedangkan aku
adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam, maka
itulah mahar bagiku dan kau tidak meminta yang selain dari itu.” (Lihat an-Nasa’i VI/144).
Sungguh ungkapan tesebut mampu menyentuh perasaan yang paling dalam dan mengisi hati Abu Thalhah,
sungguh Ummu Sulaim telah bercokol di hatinya secara sempurrna, dia bukanlah seorang wanita yang suka
bermain-main dan takluk dengan rayuan-rayuan kemewahan, sesungguhnya dia adalah wanita cedas, dan
apakah dia akan mendapatkan yang lebih baik darrinya untuk dipeisti, atau ibu bagi anak-anaknya?”
Tanpa terasa lisan Abu Thahah mengulang-ulang, “Aku berada di atas apa yang kamu yakini, aku bersaksi
bahwa tidak ada ilah yang hak kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Ummu Sulaim lalu menoleh kepada putranya Anas dan beliau berkata dengan suka cita karena hidayah Allah
yang diberikan kepada Abu Thalhah melalui tangannya, “Wahai Anas nikahkanlah aku dengan Abu Thalhah.”
Kemudian beliau pun dinikahkan Islam sebagai mahar. Oleh karena itu, Tsabit meiwayatkan hadis darri Anas:
“Aku belum penah mendengarr seorang wanita yang paling mulia dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah
Islam.” (Sunan Nasa’i VI/114).
Ummu Sulaim hidup bersama Abu Thahah dengan kehidupan suami istri yang diisi dengan nilai-nilai Islam yang
menaungi bagi kehidupan suami istri, dengan kehidupan yang tenang dan penuh kebahagiaan.
Ummu Sulaim adalah profil seorang istri yang menunaikan hak-hak suami istri dengan sebaik-baiknya,
sebagaimana juga contoh terbaik sebagai seorang ibu, seorang pendidik yang utama dan orang da’iyah.
Begitulah Abu Thalhah mulai memasuki madrasah imaniyah melalui istrinya yang utama, yakni Ummu Sulaim.
sehingga, pada gilirannya beliau minum dari mata air nubuwwah hingga menjadi setara dalam hal kemuliaan
dengan Ummu Sulaim.
Marilah kita dengarkan penuturan Anas bin malik yang menceitakan kepada kita bagaimana pelakuan Abu
Thalhah terhadap kitabullah dan komitmenya tehadap Alquran sebagai landasan dan kepribadian. Anas bin
Malik berkata:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempuna), sebelu kamu menafkahkan sebagian hata
yang kamu cintai.” (Ali Imran: 92).
Seketika Abu Thalhah bediri menghadap Rasulullah saw dan berkata, “Sesungguhnya Allah telah berfiman di
dalam kitabnya (yang artinya), “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” Dan sesungguhnya harta yang paling aku sukai adalah
kebunku, untuk itu aku sedekahkan ia untuk Allah degan harapan mendapatkan kebaikan dan simpanan di sisi
Allah, maka pergunakanlah sesukamu ya Rasulullah.”
“Bagus… bagus… itulah harta yang menguntungkan… itulah harta yang mnguntungkan…. Aku telah mendengar
apa yang kamu katakan dan aku memutuskan agar engkau sedekahkan kepada kerabat-kerabatmu.”
Maka Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada anak kerabatnya dan Bani dari pamanya.”
Allah memuliakan kedua orang suami istri ini dengan seorang anak laki-laki sehingga keduanya sangat
bergembira dan anak tersebut menjadi penyejuk pandangan bagi keduanya dengan pergaulannya dan dengan
tingkah lakunya. Anak tersebut diberi nama Abu Umair. Suatu ketika anak tersebut bemain-main dengan seekor
burung lalu burung tersebut mati. Hal itu menjadikan anak tersebut bersedih dan menangis. Pada saat itu
Rasulullah saw melewati dirinya maka beliau berkata kepada anak tesebut untuk meghibur dan bermain
dengannya, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh anak burung pipit itu?” (Al-Bukhari VII/109).
Allah berkehendak untuk menguji keduanya denga seorang anak yang cakap dan dicintai. Suatu ketika Abu
umair sakit sehingga kedua orang tuanya disibukkan olehnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi ayahya apabila
kembali dari pasar, petama kali yang dia kerjakan setelah mengucapkan salam adalah bertanya tentang
kesehatan anaknya, dan beliau belum merasa tenag sebelum melihat anaknya.
Suatu ketika Abu Thalhah keluar ke masjid dan bersamaan dengan itu anaknya meninggal. Maka Ibu mukminah
yang sabar ini menghadapi musibah tersebut dengan jiwa yang ridha dan baik. Sang ibu membaringkannya di
temp[at tidur sambil senantiasa mengulangi, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Beliau berpesan kepada anggota
keluarganya, “Janganlah kalian menceritakan kepada Abu Thalhah hingga aku sendiri yang menceritakan
kepadanya.”
Ketika Abu Thalhah kembali, Ummu Sulaim mengusap air mata kasih sayangnya, kemudian dengan semangat
menyambut suaminya dan menjawab seperti biasanya, “Apa yang dilakukan oleh anakku?” Beliau menjawab,
“Dia dalam keadaan tenang.”
Anu Thalhah mengira bahwa anaknya sudah dalam keadaan sehat, sehingga Abu Thalhah bergembira dengan
ketenangan dan kesehatannya, dan dia tidak mau mendekat karena kahawatir mengganggu ketenangannya.
Kemudian Ummu Sulim mendekati beliau dan memperssiapkan makan malam baginya, lalu beliau makan dan
minum, sementara Ummu Sulaim bersolek dengan dandanan yang lebih cantik daripada hari-hari sebelumnya,
beliau mengenakan baju yang paling bagus, berdandan dan memakai wangi-wangian, kemudian keduanya pun
berbuat sebagaimana layaknya suami istri.
Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa suaminya sudah kenyang dan telah mencampurinya serta merasa tenang
terhadap keadaan anaknya, maka beliau memuji Allah karena abeliau tidak membuat risau suaminya dana
beliau bioarkan suaminya terlelap dalam tidurnya.
Tatkala di akhir malam beliau berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu
seandainya ada suatu kaum menitipkan barangnya kepada suatu keluarga kemudian suatu ketika mereka
mengambil titipan tersebut, maka bolehkah bagi keluarga tersebut menolaknya?” Abu Thalhah menjawab, “Tentu
saja tidak boleh.” Kemudian Ummu Sulim berkata lagi, “Bagaimana pendapatmu jika keluarga tersebut
berkeberatan tatkala titipannya diambil setelah dia sudah dapat memanfaatkannya?” Abu Thalhah berkata,
“Berarti mereka tidak adil.” Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya anakmu adalah titipan dari Allah dan Allah
telah mengambil, maka tabahkanlah hatimua dengan meninggalnya anakmu.”
Abu Thalhah tidak kuasa menahan amarahnya, maka beliau berkata dengan marah, “Kau biarkan aku dalam
keadaan seperti ini baru kamu kabari tentang anakku?”
Beliau mengulangi kata-kata tersebut hingga beliau mengucapkan kalimat istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un)
lalu bertahmid kepada Allah sehingga berangsur-angsur jiwanya menjadi tenang.
Keesokan harinya beliau pergi menghadap Rasullah saw dan mengabarkan kepadanya tentang apa yang telah
terjadi, kemudian Rasulullah saw bersabda, “Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua.”
Mulai hari itulah Ummu Sulaim mengandung seorang anak yang akhirnya diberi nama Abdullah. Tatkala Ummu
Sulaim melahirkan, beliau utus Anas bin Malik untuk membawanya kepada Rasulullah saw, selanjutnya Anas
berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ummu Sulaim telah melahirkan tadi malam.” Maka Rasulullah saw
mengunyah kurma dan mentahnik bayi tersebut (yakni menggosokkan kurma yang telah dikunyah ke langit-langit
mulut si bayi). Anas berkata, “Berikanlah nama bayi ya Rasulullah!” beliau bersabda, “Namanya Abdullah.”
Ubadah, salah seorang rijal sanad berkata, “Aku melihat dia memiliki tujuh orang anak yang kesemuanya hafal
Alquran.”
Di antara kejadian yang mengesankan pada diri wanita yang utama dan juga suaminya yang mukmin adalah
bahwa Allah menurunkan ayat tentang mereka aberdua yang manusia dapat beribadah dengan membacanya.
Abu Hurairah berkata, “Telah datang seorang laki-laki kepada Rasullah saw dan berkata, ‘Sesungguhnya aku
dalam keadaan lapar’. Maka Rasulullah saw menanyakan kepada salah satu istrinya tentang makanan yang ada
di rumahnya, namun beiau menjawab, ‘Demi yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa kecuali
hanya air, kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain, namun jawabannya sama. Seluruhnya menjawab
dengan jawaban yang sama. Kemudian Rasulullah saw bersabda, ‘Siapakah yang akan menjamu tamu ini,
semoga Allah merahmatinya’. Maka berdirilah seorang Anshar yang namanya Abu Thalhah seraya berkata,
‘Saya, ya Rasulullah’. Maka dia pergi bersama tamu tadi menuju rumahnya kemudian sahabat Anshar tersebut
bertanya kepada istrinya (Ummu Sulaim), “Apakah kamu memiliki makanan?” Istrinya menjawab, ‘Tidak punya
melainkan makanan untuk anak-anak’. Abu Thalhah berkata, ‘ Berikanlah minuman kepada mereka dan
tidurkanlah mereka. Nanti apabila tamu saya masuk, maka akan saya perlihatkan bahwa saya ikut makan,
apabila makanan sudah aberada di tangan, maka berdirilah dan matikanlah lampu’. Hal itu dilakukan oleh Ummu
Sulaim. Mereka duduk-duduk dan tamu makan hidangan tersebut, sementara kedua istri tersebut bermalam
dalam keadaan tidak makan. Keesokan harinya keduanya datang kepada Rasulullah saw lalu Rasulullah saw
bersabda, ‘Sungguh Allah takjub (atau tertawa) terhadap fulan dan fulanah’.”
Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, “Sungguh Allah takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan
terhadap tamu kalian.”
Di akhir hadis disebutkan, maka turunlah ayat:
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan
(apa yang mereka berikan itu).” (Al-Hasyr: 9).
Abu Thalhah tak kuasa menahan rasa gembiranya, maka beliau bersegera memberikan kabar gembira itu
kepada istrinya sehingga sejuklah pandangan matanya karena Allah menurunkan ayat tentang mereka dlam
Alquran yang senantiasa dibaca. Selain berdakwah di lingkungannya, Ummu Sulaim juga turut andil dalam
berjihad bersama pasukan kaum muslimin.
Anas ra berkata, “Rasulullah saw berperang bersama Ummu Sulaim dan para wanita dari kalangan Anshar,
apabila berperang, para wanita tersebut memberikan minum kepada mujahidin dan mengobati yang luka.”
Begitulah, Ummu Sulaim memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah saw, beliau tidak pernah masuk
rumah selain rumah Ummu Sulaim, bahkan Rasulullah telah memberi kabar gembira bahwa beliau trmasuk ahli
jannah. Beliau bersabda, “Aku masuk jannah, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara, maka aku bertanya, ‘Siapa
itu?’ Mereka berkata, ‘Dia adalah Rumaisha’ binti Malhan, ibu dari Anas bin Malik.”
Selamat untukmu, wahai Ummu Sulaim, karena Anda memang layak mendapat bintang.
Sumber: Nisa’ Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi
Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

www.alislamu.com
<!——

http://ainuamri.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai