Anda di halaman 1dari 22

Ummu Habibah

PERKARA KETERANGAN
1. Nama sebenar Ramlah binti Shakhar
bin Harb bin Uinayyah
bin Abdi Syams
2. Nama lain Ummu Habibah
3. Gelaran ???

4.Tarikh & tempat lahir 13 tahun sebelum


kerasulan Muhammad

5.Nama ibu Shafiyyah binti Abil Ashi


bin Umayyah bin Abdi
Syams
6. Tarikh & tempat ???
meninggal dunia

7.Keturunan ???

8.Sifat peribadi ???

9.Sumbangan dalam ???

keluarga
dalam keturunan Islam
Ummu Habibah binti Abu Sufyan (wafat
44 H/664 M)
Dalam perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak
mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah
memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke
Habasyah. Di sana, ternyata suaminya murtad dari
agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya
kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam
agama Islam. Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah
selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia
tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di
Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah
menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup di
negeri asing sampai wafat?

Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya


dalam kesedihan terus-menerus. Ketika
mendengar penderitaan Ummu Habibah,
hati Rasulullah sangat tergerak sehingga
beliau rnenikahinya dan Ummu Habibah
tidak lagi berada dalam kesedihan yang
berkepanjangan. Hal itu sesuai dengan
firman Allah bahwa: Nabi itu lebih utama
daripada orang lain yang beriman, dan
istri-istri beliau adalah ibu bagi orang
yang beriman.

Keistimewaan Ummu Habibah di antara


istri-istri Nabi lainnya adalah
kedudukannya sebagai putri seorang
pemimpin kaum musyrik Mekah yang
memelopori perientangan terhadap
dakwah Rasulullah dan kaum muslimin,
yaitu Abu Sufyan.

A. Masa Kecil dan Nasab


Pertumbuhannya

Ummu Habibah dilahirkan tiga belas


tahun sebelum kerasulan Muhammad
Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. dengan
nama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin
Uinayyah bin Abdi Syams. Ayahnya
dikenal dengan sebutan Abu Sufyan.
Ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi
bin Umayyah bin Abdi Syams, yang
merupakan bibi sahabat Rasulullah, yaitu
Utsman bin Affan r.a.. Sejak kecil Ummu
Habibah terkenal memiliki kepribadian
yang kuat, kefasihan dalam berbicara,
sangat cerdas, dan sangat cantik.

B. Pernikahan, Hijrah, dan


Penderitaannya

Ketika usia Ramlah sudah cukup untuk


menikah, Ubaidillah bin Jahsy
mempersunting- nya, dan Abu Sufyan
pun menikahkan mereka. Ubaidillah
terkenal sebagai pemuda yang teguh
memegang agama Ibrahirn a.s.. Dia
berusaha menjauhi minuman keras dan
judi, serta berjanji untuk memerangi
agama berhala. Ramlah sadar bahwa
dirinya telah menikah dengan seseorang
yang bukan penyembah berhala, tidak
seperti kaumnya yang membuat dan
menyembah patung-patung. Di dalarn
hatinya terbersit keinginan untuk
mengikuti suaminya memeluk agama
Ibrahim a.s.

Sementara itu, di Mekah mulai tersebar


berita bahwa Muhammad datang
membawa agama baru, yaitu agama
Samawi yang berbeda dengan agama
orang Quraisy pada umumnya.
Mendengar kabar itu, hati Ubaidillah
tergugah, kemudian menyatakan dirinya
memeluk agama baru itu. Dia pun
mengajak istrinya, Ramlah, untuk
memeluk Islam bersamanya.
Mendengar misi Muhammad berhasil dan
maju pesat, orang-orang Quraisy
menyatakan perang terhadap kaum
muslimin sehingga Rasulullah
memerintahkan kaum muslimin untuk
berhijrah ke Habasyah. Di antara mereka
terdapat Ramlah dan suaminya,
Ubaidillah bin Jahsy. Setelah beberapa
lama mereka menanggung penderitaan
berupa penganiayaan, pengasingan,
bahkan pengusiran dan keluarga yang
terus mendesak agar mereka kembali
kepada agama nenek moyang. Ketika itu
Ramlah tengah mengandung bayinya
yang pertama. Setibanya di Habasyah,
bayi Ramlah lahir yang kemudian diberi
nama Habibah. Dari nama bayi inilah
kemudian nama Ramlah berubah menjadi
Ummu Habibah.
Selama mereka di Habasyah terdengar
kabar bahwa kaum muslimin di Mekah
semakin kuat dan jumlahnya bertambah
sehingga mereka menetapkan untuk
kembali ke negeri asal mereka.
Sementara itu, Ummu Habibah dan
suaminya memilih untuk menetap di
Habasyah. Di tengah perjalanan,
rombongan kaum muslimin yang akan
kembali ke Mekah mendengar kabar
bahwa keadaan di Mekah masih gawat
dan orang-orang musyrik semakin
meningkatkan tekanan dan boikot
terhadap kaum muslimin. Akhirnya
mereka memutuskan untuk kembali ke
Habasyah.

Beberapa tahun tinggal di Habasyah,


kaum muslimin sangat mengharapkan
kesedihan akan cepat berlalu dan barisan
kaum muslimin menjadi kuat, namun
kesedihan belum habis. Kondisi itulah
yang menyebabkan Ubaidillah memiliki
keyakinan bahwa kaum muslimin tidak
akan pernah kuat. Tampaknya dia sudah
putus asa sehingga sedikit demi sedikit
hatinya mulai condong pada agama
Nasrani, agama orang Habasyah.

Ummu Habibah mengatakan bahwa dia


memimpikan sesuatu, “Aku melihat
suamiku berubah menjadi manusia paling
jelek bentuknya. Aku terkejut dan
berkata, ‘Demi Allah, keadaannya telah
berubah.’ Pagi harinya Ubaidillah berkata,
‘Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak
ada agama yang lebih baik daripada
agama Nasrani, dan aku telah
menyatakan diri untuk memeluknya.
Setelah aku memeluk agama
Muhammad, aku akan memeluk agama
Nasrani.’ Aku berkata, ‘Sungguhkah hal
itu baik bagimu?’ Kemudian aku ceritakan
kepadanya tentang mimpi yang aku lihat,
namun dia tidak mempedulikannya.
Akhirnya dia terus-menerus meminum
minuman keras sehingga merenggut
nyawanya.”

Demikianlah, Ubaidillah keluar dan


agama Islam yang telah dia pertaruhkan
dengan hijrah ke Habasyah, dengan
menanggung derita, meninggalkan
kampung halaman bersama istri dan
anaknya yang masih kecil. Ubaidillah pun
berusaha mengajak istrinya untuk keluar
dari Islam, namun usahanya sia-sia
karena Ummu Habibah tetap kokoh
dalam Islam dan memertahankannya
hingga suaminya meninggal. Ummu
Habibah merasa terasing di tengah kaum
muslimin karena merasa malu atas
kernurtadan suaminya. Baginya tidak ada
pilihan lain kecuali kembali ke Mekah,
padahal orang tuanya, Abu Sufyan,
sedang gencar menyerang Nabi dan
kaurn muslimin. Dalam keadaan seperti
itu, Ummu Habibah merasa rumahnya
tidak aman lagi baginya, sementara
keluarga suarninya telah meeninggalkan
rumah mereka karena telah bergabung
dengan Rasulullah. Akhirnya, dia kembali
ke Habasyah dengan tanggungan derita
yang berkepanjangan dan menanti takdir
dari Allah.

C. Menjadi Ummul-Mukminin

Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.


selalu memantau keadaan umat Islam,
tidak saja yang berada di Mekah dan
Madinah, tetapi juga yang di Habasyah.
Ketika memantau Habasyahlah beliau
mendengar kisah tentang Ummu Habibah
yang ditinggalkan Ubaidillah dengan
derita yang ditanggungnya selama ini.
Hati beliau terketuk dan berniat
menikahinya.

Ummu Habibah menceritakan mimpi dan


kehidupannya yang suram. Dia berkata,
“Dalam tidurku aku melihat seseorang
menjumpaiku dan memanggilku dengan
sebutan Ummul-Mukminin. Aku terkejut.
Kemudian aku mentakwilkan bahwa
Rasulullah akan menikahiku.” Dia
melanjutkan, “Hal itu aku lihat setelah
masa iddahku habis. Tanpa aku sadari
seorang utusan Najasyi mendatangiku
dan meminta izin, dia adalah Abrahah,
seorang budak wanita yang bertugas
mencuci dan memberi harum-haruman
pada pakaian raja. Dia berkata, ‘Raja
berkata kepadamu, ‘Rasulullah
mengirimku surat agar aku mengawinkan
kamu dengan beliau.” Aku menjawab,
‘Allah memberimu kabar gembira dengan
membawa kebaikan.’ Dia berkata lagi,
‘Raja menyuruhmu menunjuk seorang
wali yang hendak rnengawinkanmu’. Aku
menunjuk Khalid bin Said bin Ash sebagai
waliku, kemudian aku memberi Abrahah
dua gelang perak, gelang kaki yang ada
di kakiku, dan cincin perak yang ada di
jari kakiku atas kegembiraanku karena
kabar yang dibawanya.” Ummu Habibah
kembali dan Habasyah bersarna Syarahbil
bin Hasanah dengan membawa hadiah-
hadiah dari Najasyi, Raja Habasyah.
Berita pernikahan Ummu Habibah dengan
Rasulullah merupakan pukulan keras bagi
Abu Sufyan. Tentang hal itu, Ibnu Abbas
meriwayatkan firman Allah,“Mudah-
mudahan Allah menimbulkan kasih
sayang antaramu dengan orangorang
yang kamu musuhi di antara mereka. …“
(QS. Al-Mumtahanah: 7). Ayat ini turun
ketika Nabi Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.
menikahi Ummu Habibah binti Abi
Sufyan.

D. Hidup bersama Rasulullah


Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.

Rasululullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.


mengutus Amru bin Umayyah ke
Habasyah dengan membawa dua tugas,
yaitu mengabari kaum Muhajirin untuk
kembali ke negeri mereka (Madinah)
karena posisi kaum muslimin sudah kuat
serta untuk meminang Ummu Habibah
untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan
kembali ke Madinah mereka mendengar
berita kernenangan kaum muslimin atas
kaum Yahudi di Khaibar. Kegembiraan itu
pun mereka rasakan di Madinah karena
saudara mereka telah kembali dan
Habasyah. Rasulullah menyambut
mereka yang kembali dengan suka cita,
terlebih dengan kedatangan Ummu
Habibah. Beliau mengajak Ummu
Habibah ke dalarn rumah, yang ketika itu
bersarnaan juga dengan pernikahan
beliau dengan Shafiyyah binti Huyay bin
Akhtab, putri salah seorang pimpinan
Yahudi Khaibar yang ditawan tentara
Islam. Ketika itu Nabi mernbebaskan dan
menikahinya. Istri-istri Rasulullah lainnya
menyambut kedatangan Ummu Habibah
dengan hangat dan rasa hormat, berbeda
dengan penyambutan mereka terhadap
Shafiyyah.

Perjalanan hidup Ummu Habibah di


tengah keluarga Rasulullah tidak banyak
menimbulkan konflik antar istri atau
mengundang amarah beliau. Selain itu,
belum juga ada riwayat yang
mengisahkan tingkah laku Ummu
Habibah yang menunjukkan rasa
cemburu.

E. Posisi yang Sulit

Telah kita sebutkan di atas tentang posisi


Ummu Habibah yang istimewa di antara
istri-istri Rasulullah. Ayahnya adalah
seorang pemimpin kaum musyrik ketika
Ummu Habibah mendapat cahaya
keimanan, dan dia menghadapi kesulitan
ketika harus menjelaskan keyakinan itu
kepada orang tuanya.

Orang-orang Quraisy mengingkari


perjanjian yang telah mereka tanda-
tangani di Hudaibiyah bersama
Rasulullah. Mereka menyerang dan
membantai Bani Qazaah yang telah
terikat perjanjian perlindungan dengan
kaum muslimin. Untuk mengantisipasi hal
itu, Rasulullah berinisiatif menyerbu
Mekah yang di dalamnya tinggal Abu
Sufyan dan keluarga Ummu Habibah.
Orang-orang Quraisy Mekah sudah
mengira bahwa kaum muslimin akan
menyerang mereka sebagai balasan atas
pembantaian atas Bani Qazaah yang
mereka lakukan. Mereka sudah
mengetahui kekuatan pasukan kaum
muslimin sehingga mereka memilih jalan
damai. Diutuslah Abu Sufyan yang
dikenal dengan kemampuan dan
kepintarannya dalam berdiplomasi untuk
berdamai dengan Rasulullah.

Sesampainya di Madinah, Abu Sufyan


tidak langsung menemui Rasulullah,
tetapi terlebih dahulu rnenemui Ummu
Habibah dan berusaha rnemperalat
putrinya itu untuk kepentingannya.
Betapa terkejutnya Ummu Habibah ketika
melibat ayahnya berada di dekatnya
setelah sekian tahun tidak berjumpa
karena dia hijrah ke Habasyah. Di sinilah
tampak keteguhan iman dan cinta Ummu
Habibah kepada Rasulullah. Abu Sufyan
menyadari keheranan dan kebingungan
putrinya, sehingga dia tidak berbicara.
Akhirnya Abu Sufyan masuk ke kamar
dan duduk di atas tikar. Melihat itu,
Ummu Habibah segera melipat tikar
(kasur) sehingga tidak diduduki oleh Abu
Sufyan. Abu Sufyan sangat kecewa
melihat sikap putrinya, kemudian
berkata, “Apakah kau melipat tikar itu
agar aku tidak duduk di atasnya atau
rnenyingkirkannya dariku?” Ummu
Habibah menjawab, “Tikar ini adalah alas
duduk Rasulullah, sedangkan engkau
adalah orang musyrik yang najis. Aku
tidak suka engkau duduk di atasnya.”
Setelah itu Abu Sufyan pulang dengan
merasakan pukulan berat yang tidak
diduga dari putrinya. Dia merasa bahwa
usahanya untuk menggagalkan serangan
kaurn muslimin ke Mekah telah gagal.
Ummu Habibah telah menyadari apa yang
akan terjadi. Dia yakin akan tiba saatnya
pasukan muslim menyerbu Mekah yang
di dalarnnya terdapat keluarganya,
namun yang dia ingat hanya Rasulullah.
Dia mendoakan kaum muslimin agar
rnemperoleh kemenangan.

Allah mengizinkan kaum muslimin untuk


mernbebaskan Mekah. Rasulullah
bersama ribuan tentara Islam memasuki
Mekah. Abu Sufyan merasa dirinya sudah
terkepung puluhan ribu tentara. Dia
merasa bahwa telah tiba saatnya kaum
muslimin membalas sikapnya yang
selama ini menganiaya dan menindas
mereka. Rasulullah sangat kasihan dan
mengajaknya memeluk Islam. Abu
Sufyan menerrna ajakan tersebut dan
menyatakan keislamannya dengan
kerendahan diri. Abbas, paman
Rasulullah, meminta beliau menghormati
Abu Sufyan agar dirinya merasa
tersanjung atas kebesarannya. Abbas
berkata, “Sesungguhnya Abu Sufyan itu
seorang yang sangat suka disanjung.” Di
sini tampaklah kepandaian dan kebijakan
Rasulullah. Beliau menjawab, “Barang
siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan,
dia akan selamat. Barang siapa yang
menutup pintu rumahnya, dia pun akan
selamat. Dan barang siapa yang
memasuki Masjidil Haram, dia akan
selamat.” Begitulah Rasulullah
menghormati kebesaran seseorang, dan
Allah telah memberi jalan keluar yang
baik untuk menghilangkan kesedihan
Ummu Habibah dengan keislaman
ayahnya.

F. Akhir sebuah Perjalanan

Setelah Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi


Wassalam. wafat, Ummu Habibah hidup
menyendiri di rumahnya hanya untuk
beribadah dan mendekatkan diri kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam
kejadian fitnah besar atas kematian
Utsman bin Affan, dia tidak berpihak
kepada siapa pun. Bahkan ketika
saudaranya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan,
berkuasa, sedikit pun dia tidak berusaha
mengambil kesempatan untuk menduduki
posisi tertentu. Dia juga tidak pernah
menyindir Ali bin Abi Thalib lewat sepatah
kata pun ketika bermusuhan dengan
saudaranya itu. Dia pun banyak
meriwayatkan hadits Nabi yang kemudian
diriwayatkan kembali oleh para sahabat.
Di antara hadits yang diriwayatkannya
adalah: “Aku mendengar Rasulullah
bersabda,

“Barang siapa yang shalat sebanyak dua


belas rakaat sehari semalam, niscaya
Allah akan membangun baginya rumah di
surga.’ Ummu Habibah berkata,
“Sungguh aku tidakpernah
meninggalkannya setelab aku mendengar
dari Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi
Wassalam.” (HR. Muslim)

Ummu Habibah wafat pada tahun ke-44


hijrah dalarn usia tujuh puluh tahun.
Jenazahnya dikuburkan di Baqi’ bersama
istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga
Allah memberinya kehormatan di sisi-Nya
dan menempatkannya di tempat yang
layak penuh berkah. Amin.

Anda mungkin juga menyukai