Anda di halaman 1dari 18

LIVING HADIS

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Studi Hadis


Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris
Samarinda

Oleh:

Rahmat Surya
NIM: 2220600006

Dosen Pengampu:
Dr. Abdul Majid

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya serta kesehatan kepada penulis sehingga

mampu menyelesaikan tugas Mata Kuliah Studi Hadis yang berjudul Living

Hadis.

Makalah ini disusun dengan harapan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan kita serta mampu memberi tanggapan serta kritikan terhadap suatu

pembahasan dengan sumber yang berbeda. Penulis menyadari bahwa makalah

yang disusun masih jauh dari kata kesempurnaan. Masih ada terdapat kekurangan

dalam menyusun dan menyampaikan materi yang sesuai dengan judul topik. Oleh

karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang

sifatnya membangun guna menyempurnakan makalah ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca

di masa yang akan datang. Sekian dan terimakasih.

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nabi Muhammad SAW adalah seorang manusia yang memiliki posisi

tertinggi dalam agama Islam, ia menjadi salah satu manusa yang

berkedudukan sebagai Mubayyin (penjelas) Al-Qur’an. Dia juga menjadi

teladan dan contoh bagi umat manusia khususnya umat Islam, maka dari itu

apa yang diucapkan, dikerjakan atau diperbuatnya, dan Takrir 1 (ketetapannya)

adalah bagian dari hadis.

Hadis sendiri dalam agama Islam memiliki kedudukan sebagai

landasan atau sumber hukum ke dua setelah Al-Qur’an. Bagi umat Islam hadis

merupakan bagian yang sangat penting, didalamnya banyak ditemukan hal-hal

baik itu bersifat tradisi, perilaku, atau perbuatan yang dilakukan oleh para

sahabat Nabi Muhammad SAW.

Di dalam hadis juga dapat ditemukan berbagai penjelasan serta ajaran

Islam yang berkembang dengan perkembangan kebutuhan manusia. Adanya

keberlanjutan tersebutlah, sehingga umat manusia sekarang bisa memahami,

merekam dan melaksanakan tuntunan ajaran Islam sesuai dengan yang

dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Selain dalam hal perkembangan zaman, kebutuhan menemukan suatu

hukum dalam menjalankan kehidupan berdasarkan gaya Nabi Muhammad

SAW sekarang semankin gencar dilakukan. Banyak orang-orang mencari asal


1
Bentuk persetujuan Nabi SAW berupa pendiaman atau tanpa sanggahan.

3
hukum dalam suatu perkara melalui hadis, dan ini menurut Fazlur Rahman

disebut dengan Living Hadis.

Living hadis bisa juga dimaknai sebagai suatu peristiwa yang nampak

di masyarakat barupa faktor prilaku yang bersumber dari hadis Nabi

Muhammad SAW, bentuk prilaku di sini merupakan bagian dari respon umat

Islam dalam interaksi mereka dengan hadis tersebut.

Living Hadis atau Living Sunnah secara bebas ditafsirkan para ulama

dan penguasa sebagai sesuatu yang mereka hadapi. Ada tiga model Living

Hadis yaitu tradisi tulisan, tradisi lisan, dan praktik.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis telah menentukan

permasalahan sebagai tolak ukur agar pembahasan tidak melebar dan

menyimpang dari tema yang di tentukan yaitu sebagai berikut:

1. Apa saja jenis-jenis Living Hadis?

2. Bagaimana cara penggunaan metode Living Hadis?

C. Tujuan

Berdasarkan permasalahan diatas makalah ini dibuat dengan tujuan

sebagai berikut:

1. Mengetahui sistem Living Hadis?.

2. Mengetahui cara penerapan Living Hadis?

BAB II

4
PEMBAHASAN

A. Pengertian Living Hadis

Secara sederhana Living Hadis dimaknai sebagai pertanda yang ada di

masyarakat barupa pola-pola prilaku yang bersumber dari hadis. Pola-pola

prilaku di sini merupakan bagian dari respon umat Islam dalam interaksi

mereka dengan hadis-hadis Nabi. Nampak adanya pemekaran wilayah kajian,

dari kajian teks kepada kajian sosial-budaya dan manjadikan masyarakat

agama sebagai objeknya.2

Living Hadis didefinisikan sebagai gejala yang timbul atau sebagai

fenomena dari masyarakat Islam, maka kajian atau studi Living Hadis masuk

dalam kategori fenomena dari sosial keagamaan. Demikian halnya,

pendekatan atau paradigma yang dapat digunakan untuk mengamati dan

menjelaskan bagaimana Living Hadis dalam suatu masyarakat Islam dan ilmu

sosial. Pendekatan yang dinilai sesuai dengan hal ini adalah pendekatan

fenomenologi.

Pada dasarnya Nabi Muhammad SAW ketika menyampaikan sabdanya

tak pernah terlepas dari persoalan yang biasa terjadi di tengah umatnya.

Perselisihan atau perbedaan pandangan dan hal-hal lainnya membuat Nabi

harus memberikan satu putusan atau ketetapan. Jadi ini memiliki keterkaitan

dengan problem sosio-historis dan kultural pada waktu itu.

2
M. Khairul Anwar., “Living Hadits” dalam: Jurnal IAIN Gorontalo Vol 12 No 1, Juni
2015, hal 75

5
Dalam tatanan kehidupan, figur Nabi menjadi tokoh sentral dan diikuti

oleh umat Islam pada masanya dan sesudahnya sampai akhir zaman, sehingga

dari sinilah muncul istilah sebagai persoalan terkait dengan kebutuhan dan

perkembangan masyarakat, yang semakin kompleks dan diiringi dengan

adanya rasa keinginan yang kuat untuk mengaplikasikan ajaran islam dalam

kehidupan sehari-hari sesuai dengan yang diajrkan oleh Nabi Muhammad

SAW dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda sehingga dengan adanya

upaya aplikasi hadits dalam konteks sosial, budaya, politik, ekonomi dan

hukum yang berbeda inilah dapat dikatakan hadits yang hidup dalam

masyarakat, yang mana isilah lazimnya adalah living hadits, atau hadits yang

hidup dalam masyarakat. 3

B. Bentuk-Bentuk Living Hadis

Jika di bagi Living Hadis memiliki tiga bentuk, yaitu tradisi tulisan,

tradisi bacaan, dan tradisi praktik.

Tradisi tulis menulis sangat penting dalam perkembangan living hadits.

Tradisi tulis menulis hadits terbukti dalam bentuk ungkapan yang sering di

tempelkan pada tempat-tempat yang strategis seperti mesjid, sekolahan, dan

lain sebagainya. Sebagai contoh tulisan ‫النظ ا ف ة من االميان‬ : Kebersihan

sebagian dari Iman. Sebagian besar pandangan masyarakat Indonesia tulisan

3
Muhammad Hanafi, “Tradisi Shalat Hajat Bulan Suro pada Masyarakat Dukuh Teluk
Kragilan Gantiwarno” Skripsi pada Januari: Tafsir Hadits Fakultas: Ushuluddin, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2013. Hal 3

6
tersebut dianggap sebagai Hadis Nabi, akan tetapi setelah melakukan sebuah

penelitian pernyataa tersebut bukanlah hadits. 4

Tradisi Lisan dalam living hadits sebenarnya muncul seiring dengan

praktik yang dijalankan oleh umat Islam. Seperti bacaan dalam melaksanakan

sholat subuh di hari jumat. Khususnya di kalangan pesantren, bacaan setiap

rakaat pada sholat subuh di hari jum’at relatif panjang yaitu sebagaimana

dalam hadits Nabi sebagai berikut :

‫َح َّدثَنَا َأبُو بَ ْك ِر بْ ُن َأيِب َشْيبَةَ َح َّدثَنَا َعْب َدةُ بْ ُن ُسلَْي َما َن َع ْن ُس ْفيَا َن َع ْن خُمََّو ِل بْ ِن‬

‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه‬ ِ ِ‫ني عن سع‬ ِ ِ ٍِ


ٍ َّ‫يد بْ ِن ُجَبرْيٍ َع ْن ابْ ِن َعب‬
َّ ‫اس‬
َ َّ ‫َأن النَّيِب‬ َ ْ َ ِ ‫َراشد َع ْن ُم ْسل ٍم الْبَط‬
‫الس ْج َد ِة َو َه ْل َأتَى َعلَى‬
َّ ‫يل‬ ِ ِ ِ ِ َ ‫َو َسلَّم َكا َن َي ْقرُأ يِف‬
ُ ‫صاَل ة الْ َف ْجر َي ْو َم اجْلُ ُم َعة امل َتْنز‬ َ َ
‫صاَل ِة اجْلُ ُم َع ِة‬ ِ
َ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َكا َن َي ْقَرُأ يِف‬ َّ ‫َّه ِر َو‬
َ َّ ‫َأن النَّيِب‬
ِ ‫ان ِح‬
ٌ ِ ‫اِإْل نْ َس‬
ْ ‫ني م ْن الد‬
‫ني‬ ِِ ِ
َ ‫ور َة اجْلُ ُم َعة َوالْ ُمنَافق‬
َ ‫ُس‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah, telah
menceritakan kepada kami Abdah bin Sulaiman, dari Sufyan, dari
Mukhawwa bin Rasyid] dari Muslim Al Bathin, dari Sa'id bin Jubair, dari
Ibnu Abbas, bahwa biasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika
mengerjakan shalat Shubuh pada hari Jum'at, beliau membaca: "alif laam
miim tanziil" (surat As Sajadah) dan, "hal ataa 'alal insaani hiinum minad
dahrI" (surat Al Insan). Dan dalam shalat Jum'at beliau membaca surat Al
Jumu'ah dan surat Al Munafiqun.
Tradisi Praktik dalam Living Hadis ini cenderung banyak dilakukan

oleh umat Islam. Sebagai contoh adanya tradisi khitan perempuan, dalam
4
Dalam pencarian data hadits yang penulis cari dalam 9 kitab sunan tidak menemukan
lafadz tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh M. Al-fatih Suryadilaga dalam bukunya
Aplikasi Penelitian Hadits (dari teks ke konteks), (Yogyakarta, teras, 2009), hlm. 184.

7
kasus ini sebenarnya ditemukan jauh sebelum Islam datang. Berdasarkan

penelitian etnolog menunjukan bahwa tradisi khitan perempuan sudah pernah

dilakukan masyarakat pengembala di Afrika dan Asia Barat Daya, suku Semit

(Yahudi dan Arab). 5

Peryataan di atas didukung dengan adanya sabda Nabi Muhammad

yang menyatakan sudah adanya tradisi khitan perempuan di Kota Madinah.

(HR Abu Dawud, No 5271).6

C. Beberapa Model Living Hadis

1. Membaca Qunut pada shalat Subuh

Di kalangan umat Islam di Indonesia, dan terutama di

lingkungan warga Nahdliyin, Qunut terbagi menjadi 3 macam, yaitu :

Pertama, Qunut yang dibaca pada rakaat kedua setiap shalat Subuh.

Kedua, Qunut yang dibaca pada rakaat terakhir shalat Witir di

pertengahan kedua Ramadhan (mulai tanggal 16 sampai dengan akhir

Ramadhan). Dan Ketiga, Qunut Nazilah, yang dibaca apabila terjadi

musibah atau bencana besar menimpa umat Islam di mana saja, atau

menimpa kehidupan bangsa dan negara.

Empat paparan Imam mazhab, (Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan

Hanbali) terdapat perbedaan dalam menyikapi masalah Qunut in, dan

menurut mazhab Syafi’i, Qunut itu seharusnya dibaca pada rakaat

5
M. Al-Fatih Suryadilaga, metodologi penelitian living qur‟an dan hadits, (Yogyakarta :
TERAS, 2007), hal. 124.
6
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Adab, Pelaksanaan Khitan, no hadits 5271. CHM,
2008. Dalam pencarian hadits ini penulis menggunakan rujukan sembila kitab, namun penulis
tidak menemukan hadits yang memiliki makna yang sama seperti halnya hadits di atas.

8
kedua (akhir) setiap shalat subuh, dan dilakukan setelah ruku’. Di

samping itu Qunut juga dibaca pada shalat Witir rakaat terakhir pada

setiap pertengahan bulan Ramadhan. Dan juga dianjurkan qunut pada

setiap terjadi musibah yang menimpa umat Islam dimana saja.

Menurut mazhab Maliki, Qunut itu seharusnya dibaca pada rakaat

kedua shalat Subuh, dan yang utama dilakukan sebelum ruku’.

Menurut pendapat yang diunggulkan dalam mazhab Maliki,

bahwa membaca Qunut selain pada waktu shalat Subuh hukumnya

makruh. Sighot (bentuk kalimat qunut dalam mazhab Maliki tidak

sama dengan shighot qunut dalam mazhab Syafi’i.).

Mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat, bahwa qunut itu

hanya dianjurkan (sunat) dilakukan pada shalat Witir saja, dan tidak

ada qunut di luar shalat Witir. Menurut mazhab Hanafi qunut Witir itu

dilakukan sebelum ruku’ pada rakaat terakhir, sedangkan menurut

mazhab Hanbali, Qunut tersebut dilakukan setelah ruku’ pada raka’at

terakhir shalat Witir. Selain pada shalat witir tidak ada lagi bacaan

Qunut.

Menurut mazhab Syafi’i , bacaan qunut pada shalat Subuh itu ada

dua bagian, yang pertama berupa doa yaitu kalimat :

‫اللهم اهدىن فيمن هدييت‬

sampai kalimat :‫شرما‬ ‫قضيت وقين‬ dan yang kedua berupa pujian atau

atstsana’/ ‫ اءلثن اء‬, dimulai dari kalimat : ‫فاءنكتقض ى واليقض ى عليك‬

9
sampai akhir qunut. Dan selama membaca bagian doa tersebut, bagi

imam supaya membacanya dengan suara keras, sedang makmum

mengamininya (membaca amin). Dan sebelum sujud disunatkan

mengakhiri qunut itu dengan membaca shalawat kepada Nabi

Muhammad Saw. Selama membaca qunut tersebut dianjurkan

mengangkat kedua tangan karena mengikuti Sunnah Nabi Saw. Dan

tidak perlu mengusap mukanya. Alasan dan dalil yang dipakai oleh

mazhab Syafi’i antara lain sabda Nabi Muhammad Saw. yang

diriwayatkan oleh al-Hakim dari Abu Hurairah ra. Mengatakan

‫كان رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم اءذا رفع راءسه من الركوع من‬

‫صالة‬

‫ اللھم اھد ين‬: ‫الصبح يف الركعة الثانية رفع يد يه فيدعو بھذا الدعاء‬

‫احلد يث‬........................... ‫فيمن ھد يت‬.

”Bahwa Rasulullah Saw. itu apabila mengangkat kepala beliau dari

ruku’ pada shalat Subuh dalam rakaat kedua, beliau mengangkat

kedua tangan beliau dan berdoa dengan doa ini: Ya allah berilah saya

petunjuk diantara orang-orang yang Engkau beri petunjuk …dan

seterusnya. Al-Baihaqi menambahkan kalimat : ‫فل ك احلم د على م ا‬

10
‫ قض يت‬Maka untuk-Mu segala puji atas apa yang telah Engakau

tetapkan”.

2. Shalawat

Istilah shalawatan berasal dari bahasa Arab “Shalat” jama’nya

“shalawat”, yang arti dasarnya adalah berdoa atau mendoakan.

Membaca shalawat dalam pengertian keagamaan Islam adalah

mendoakan Nabi Muhammad Saw. untuk mendapatkan tambahan

rahmat dari Allah Swt Dan perintah bersholawat untuk Nabi

Muhammad ini merupakan perintah langsung dari Allah sendiri

kepada orang-orang yang beriman. Allah berfirman dalam surat al-

Ahzab ayat 56:

‫صلُّو ۟ا َعلَْي ِه‬ ‫ا‬۟ ‫ِإ َّن ٱللَّه وم ٰلَِٓئ َكتهۥ يصلُّو َن علَى ٱلنَّىِب ۚ ٰيََٓأيُّها ٱلَّ ِذين ءامنو‬
َ َُ َ َ َ ِّ َ َ ُ َُ َ َ َ

‫يما‬ِ‫وسلِّمو ۟ا تَسل‬
ً ْ ََُ

Terjemah: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya

bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman,

bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam

penghormatan kepadanya.”

Dalam mengamalkan perintah agama tersebut, banyak cara

dilakukan dengan berbagai macam tujuan dan maksud, baik yang

bersifat keagamaan atau kemasyarakatan (seperti memupuk tradisi

11
silaturahim, membina semangat kegotong-royongan sosial dalam

mengatasi berbagai masalah) dan tradisi-tradisi seperti itu memang

sudah tumbuh subur dalam budaya bangsa Indonesia, semenjak

Islam belum berkembang disini (Indonesia), sehingga adanya tradisi

shalawatan yang dilakukan dengan cara berkelompok (jamaah),

dengan menggunakan lagu-lagu yang menarik ditambah lagi dengan

suguhan makanan atau minuman sekedarnya, merupakan bentuk

“inkulturasi” (usaha suatu agama untuk menyesuaikan penampilan

diri dengan kebudayaan setempat) dalam rangka dakwahnya.

Di lingkungan warga Nahdliyin terdapat beberapa macam

shalawat ini, seperti: Diba’an , Barjanjian, Rotiban, dan Burdahan,

atau yang lain lagi. Isi shalawat tersebut umumnya terdiri dari :

a. Pujian dan doa penambahan rahmat untuk Nabi Muhammad Saw.

b. Peryataan rasa cinta dan kekaguman kepada beliau.

c. Harapan untuk memperoleh syafaat dan barokah dari beliau.

Semua ini merupakan hal-hal yang sah-sah saja, karena memang

agama Islam menganjurkannya, seperti yang diceritakan oleh Nabi

Saw. sendiri, bahwa beliau sangat gembira karena didatangi oleh

malaikat JIbril yang tiba-tiba memberi kabar gembira:

“Bergembiralah wahai Muhammad, sesungguhnya tidak ada

seseorang dari umatmu yang bershalawat kepadamu, kecuali saya

mendoakan sepuluh kali kepadanya. Dan tidak ada seorang pun

dari umatmu yang menyampaikan salam kepadamu, kecuali saya

12
mendoakan keselamatan sepuluh kali kepadanya”. (Hadis ini

diriwayatkan oleh Imam Al-Nasa’i dan Ibnu Hibban dari Abi

Thalhah dengan sanad yang bagus).

Tidak hanya shalawat saja tapi syiir Tanpo Waton biasanya

dibaca sebelum menjelang melaksanakan Shalat Maghrib atau Shalat

Isya. Syiir ini biasanya untuk memberikan tanda masuknya Shalat

Magrib atau Shalat Isya’. Di Jawa Timur misalnya, sebelum Shalat

Magrib atau Isya’ dilaksanakan, 10 menit sebelum masuk waktu

shalat tersebut mushollah dan masjid memutar syaiir Tanpo Waton

dengan pengeras suara agar bisa didengar oleh masyarakat umum.

3. Talqin Mayit

Pada waktu Nabi Muhammad Saw selesai mengubur putra

beliau, yakni Ibrahim yang masih belita, beliau berdiri di atas

kuburannya dan berkata: “Wahai anak-ku, hati ini menjadi sedih dan

mata pun berlinangan air mata, namun aku tidak mau mengatakan

apa-apa yang menjadikan Tuhan murka.7 Kita semua milik Allah dan

akan kembali kepada-Nya. Wahai anakku, katakanlah: Allah itu

Tuhanku, Islam Agamaku, dan ayahku adalah Rasul/utusan Allah.”

Pada saat itulah para sahabat yang mendengarnya menangis,

demikian pula Umar bin Khattab ra ikut menangis dengan suara

keras sehingga Nabi Saw. menoleh dan melihat para sahabat

termasuk Umar. Nabi Saw pun bertanya: “Wahai Umar, apa yang

7
Muhammad Tholhah Hasan, Ahlusunnah Wal-Jama’ah (dalam persepsi dan tradisi NU
(Jakarta:Lantabora Press, 2004), 227.

13
menyebabkan kalian menangis?” Maka Umar ra. menjawab: “Wahai

Rasulullah, dia (Ibrahim) ini anak paduka Rasulullah, masih balita

belum baligh, belum dicatat amal baik-buruknya, namun dia perlu

orang yang mengajar tauhid sepertimu pada saat seperti ini.

Bagaimana dengan orang seperti Umar ini, yang sudah dewasa,

amalnya sudah dicatat baik-buruknya, apabila tidak mendapatkan

pengajaran (mulaqqin) sepertimu, bagaimana keadaannya ia

menghadapi situasi seperti ini?.” Maka Nabi Saw. kembali menangis

yang diikuti oleh para sahabat yang menyertainya. Malaikat Jibril

turun menanyakan hal itu kepada Nabi Saw dan apa yang

menyebabkannya. Nabi menjelaskan apa yang dikatakan Umar ra.

dan bagaimana sikap para sahabat mendengar kata-kata beliau tadi.

Kemudian malaikat Jibril naik dan tidak lama turun lagi sambil

berkata: “Tuhanmnu menyampaikan salam untukkmu, beliau

berfirman: ‘Allah memantapkan hati orang-orang yang beriman

dengan kata yang mantap (tauhid) di dalam hidup di dunia dan di

akhirat’.” Yang dimaksud adalah waktu mati dan waktu menghadapi

pertanyaan kubur. Imam As-Syarbini dalam Mughni al-Muhtaj

mengatakan bahwa menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin

Hanbal talqin mayit itu hukumnya sunnah, bagi mayit yang sudah

mukallaf. Syekh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa al-Kubra (jillid I) ,

menjawab pertanyaan orang yang menanyakan hukum talqin mayit

setelah dikubur dengan jawaban sebagai berikut” “Talqin tersebut

14
diakui oleh sekelompok sahabat bahwa mereka menganjurkanya,

seperti Abu Umamah Al-Bahili dan lain-lainya, dan ada hadis yang

diriwayatkan dari Nabi Saw. tentang masalah tersebut, namun

hadisnya bukan hadis yang sahih. Dan sebagian besar sahabat juga

tidak melakukannya. Maka oleh karena itu Imam Ahmad bin Hanbal

dan lain-lainya berpendapat, bahwa talqin ini tidak ada salahnya dan

mereka juga memberikan kemurahan (membolehkan) orang yang

mau melakukanya, namun tidak juga memerintahkannya. Dan

sebagian pengikut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menganggap

talqin itu sebagai hal sunnah, namun sebagian pengikut Imam Malik

dan lain-lain menganggapnya makruh. Yang terdapat dalam kitab-

kitab hadis dari Nabi Muhammad Saw. bahwa beliau berdiri di atas

kuburan seorang sahabatnya setelah dikubur, dan beliau bersabda:

“Mohonkan untuk dia kemantapan (at-tasbit), hati,

sesugguhnya dia sekarang sedang ditanyai”.

Diriwayatkan dalam hadis Sahih bahwa Nabi Saw. bersabda :

“Ajarilah orang-orang yang (akan) mati dengan kalimat La

Ilaha Illallah”.

Maka menalqini orang yang akan mati itu sunnah dan jelas

diperintahkan. Namun juga ada riwayat yang menyatakan bahwa

orang yang sudah dikubur itu ditanyai dan diuji, maka diperintahkan

untuk mendoakannya. Atas dasar alasan-alasan tersebut, maka dapat

15
dikatakan bahwa talqin itu memberi manfaat kepada si mayit, dan

mayit itu dapat mendengar panggilan (suara yang memanggilnya).

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tradisi lisan dalam living hadis kebanyakan bersamaan dengan praktik

praktik amalan-amalan sunnah yang dilakukan oleh masyarakat Muslim

Indonesia umumnya dan khuusnya di kalangan warga Nadliyin (NU). Metode

living hadis sunnah yang secara lisan masih minimnya teori atau metodologi

yang berkaitan degan living hadis. Penulis disini sekedar menjelaskan living

hadis lisan tersebut dengan banyak contoh-contoh supaya mudah dipahami.

Secara sederhana living hadis lisan itu meneliti terhadap aplikasi pemaknaan

hadis di kalangan masyarakat yang terutama diucapkan dalam bentuk kegiatan

atau living hadis lisan bersamaan dengan praktik.

17
DAFTAR PUSTAKA

Anwar. M. Khairul, “Living Hadits” dalam: Jurnal IAIN Gorontalo Vol 12 No 1,

Juni 2015.

Muhammad Hanafi, “Tradisi Shalat Hajat Bulan Suro pada Masyarakat Dukuh

Teluk Kragilan Gantiwarno” Skripsi pada Januari: Tafsir Hadits

Fakultas: Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.

Suryadilaga. M. Al-Fatih, Metodologi penelitian living qur’an dan hadits,

Yogyakarta : TERAS, 2007

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, CHM, 2008.

Hasan, Muhammad Tholhah, Ahlusunnah Wal-Jama’ah, Jakarta: Lantabora Press,

2004.

18

Anda mungkin juga menyukai