Al-Biqa’i lahir pada awal abad kesembilan di masa kekuasaan Dinasti Mamalik, nama lengkapnya adalah
Abu al-Hasan, Burhanuddin, Ibrahim bin Umar bin Hasan al-Rubath bin Ali bin Abu Bakar, al-
Kharbawi, al-Biqa‟i, nasabnya bersambung sampai Sa‟ad bin Abi Waqqash.
Al-Biqa’i lahir di Khirbah Ruha di daerah al-Biqa' Libanon tahun 809 H-1406 M pada masa
pemerintahan Dinasti Mamalik al-Jarkasiyyah yang berkuasa dari tahun 784 H sampai 923 H. Oleh
karena itu, al-Biqa‟i yang lahir pada tahun 809 H dan wafat pada tahun 885 H merasakan sebagian
besar masa pemerintahan Dinasti Mamalik al-Jarkasiyyah Selama 76 tahun hidupnya, Dalam bidang
akidah Al-Biqa’i mengikut al-Asy'ary dan dalam bidang fikih Al-Biqa’i bermazhab Syafi'i.
Rihlah Ilmiah Mufassir
Adapun secara garis besar rihlah ilmiah al-Biqā’ī dibagi menjadi 3 periode
Periode Pertama :
809 H – 835 H
Al-Biqā’ī hidup dimasa Dinasti Mamalik al-Jarkasiyyah yang banyak terjadi Al-Biqā’ī hidup ketika penyakit kolera mewabah di daerahnya. Wabah
kekacauan para sehingga terjadi serangan yang disebabkan seringnya tersebut menyebar dimulai sejak tahun 807 H dan semakin buruk pada
pergantian sultan. Setiap sultan kebanyakan hanya memerintah beberapa tahun 813, 819, 821, 833, pada saat itu banyak orang-orang yang terkena
tahun bahkan ada yang hanya beberapa bulan. wabah kolera berjatuhan di jalanan. Kemudian wabah kembali menyerang
Konflik ini sangatlah berpengaruh kepada Al-Biqā’ī yang dengan kejadian pada tahun 841, 849, 853 dan 863, korban yang berjatuhan sampai tidak
ini ayah,paman dan keluarga lainnya meninggal dunia. terhitung, Dengan demikian, penyakit menjadi faktor yang paling berbahaya
dalam kekacauan kondisi sosial.
Sosio-Historis akademis
Keadaan politik dan sosial yang kacau pada saat itu sama sekali tidak menyurutkan pergerakan
para Ulama di masa Dinasti Mamalik, justru sebaliknya kegiatan akademis berkembang
Mufassir sangat pesat. Banyak ulama-ulama yang muncul pada saat itu dan karya-karya mereka pun banyak
yang sampai saat ini masih ada. Berkembangnya kegiatan akademis disebabkan oleh beberapa
faktor, di antaranya:
Ketawadukan para sultan terhadap Ulama, hal ini tampak pada Para sultan mendorong para ulama untuk menulis
diri Sultan Barquq ketika mendirikan sebuah masjid dan dengan memberikan berbagai macam fasilitas. Banyak
membukanya untuk kegiatan belajar mengajar. Para Ulama sultan-sultan yang meminta ulama untuk menuliskan
banyak berdatangan ke masjid tersebut, baik untuk mengajar buku tentang ilmu-ilmu syariat, sejarah, syair-syair, ilmu
atau untuk saling berdiskusi. Di antara Ulama yang datang adalah tata negara, ilmu peperangan dan lain-lain. Para sultan
Syekh Alauddin al-Sairami, seorang sufi dan fakih mazhab Hanafi juga banyak mendirikan madrasah-madrasah dan
yang sangat dihormati oleh Sultan Barquq, diceritakan bahwa khanqah sebagai tempat belajar dan majelis zikir.
ketika Syekh Alauddin datang ke masjid untuk mengajar,
Melihat pergerakan dunia akademis yang sangat dinamis, maka tidak heran banyak ulama besar yang lahir pada saat
itu, contohnya: al-Hafizh al-Iraqi, Waliyuddin Ibnu Khaldun, al-Maqrizi, alHafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, Jalaluddin al-
Suyuthi dan Burhanuddin al-Biqa‟i.
Guru & Murid Mufassir
• Abu Hamid Tajuddin Muhammad bin Bahadur
al-Biqā’ī banyak belajar melalui ulama yang
pakar dibidangnya diantaranya : • Al-Badr al-Hindī (833 H)
• Ibnu Hajar al-‘Asqalānī (773 H-852 H) • Ibnu al-Jazari
• Syarafuddīn al-Masḥarātī (760 H-825 H) • Ibnu Qadi Syahbah
• Ibnu al-Syahīd (831 H) • Syekh Zainuddin Mahir bin Abdullah
• Al-Jamāl al-Barmāwī (760 H-833 H) • Syekh al-Imad bin Syaraf
• Al-Majd al-Barmāwī (749 H-834 H) • Al-Burhan al-Tharabilisi
• ‘Alāu al-Dīn al-Bukhārī (779 H-841 H) • Ibnu Syekh al-Suq al-Hanbali
• Taqiyy al-Dīn al-Maqrīzī (766 H-845 H) • Ibnu al-Adim
• Syams al-Qiyātī (785 H-850 H) • Al-Syihāb al-Ramlī (773 H-844 H)
• Ḥisām ibn Ḥarīz (804H – 873 H ) • Al-Masyaddali
Guru & Murid Mufassir
القاضي لتفكري ابن الفارد امصاعد النظر لإلشراف على مقاصد السور
نظم الدرر
في تناسب اآليات والسور
Nama lain kitab : Munasabat al-Biqā’ī, atau Tafsir al-Biqā’ī
Artinya : Susunan Permata dalam Hubungan Ayat dan Surat
Penerbit : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah 1415 H-1995
Kota penerbit : Beirut-Lebanon
Editor : Abdul Razzaq Ghalib al-Mahdi
Bahasa : Bahasa Arab
Tahun penulisan : 865 H - 875 H.
Jumlah Jilid : 8
Tafsir Naẓmu ad-Durār merupakan salah satu karya al-Biqā’ī yang terbesar, dapat dikatakan tafsir ini merupakan
satu-satunya tafsir yang menonjolkan sisi munasabah dari setiap bagian dalam al-Qur’an. Para mufasir sebelum al-Biqā’ī
juga ada yang menunjukkan sisi munasabah dalam al-Qur’an akan tetapi hanya sebagiannya saja, baik dari sisi munasabah
antara ayat maupun antara surat dan tidak menjadikannya sebagai pusat konsentrasi penafsiran mereka, oleh karena itu
belum ada yang sedetail al-Biqā’ī dalam menampilkan sisi munasabah.
Atas dasar itulah al-Biqā’ī menamakan tafsirnya dengan nama Naẓmu ad-Durār Fī Tanāsubi al-Āyāti wa as-Suwar, beliau juga
menyebutnya dengan nama Fathu al-Rahmān fî Tanāsub Ajzāi al-Qur’an, akan tetapi nama yang paling cocok menurut beliau
adalah:Turjumân al-Qurân wa Mubdî Munâsabât al-Furqân. Selain ketiga nama tersebut, di akhir tafsirnya al-Biqā’ī menjulukinya dengan
sebutan kitab ّملا karena banyaknya penggunaan kata tersebut untuk menunjukkan hubungan antara bagian-bagian al-Quran dalam
tafsirnya
Meskipun tafsir ini termasuk tafsir yang penting karena merupakan tafsir pertama yang menampakkan sisi munasabah dalam al-Quran
dari awal sampai akhir, namun tafsir ini sangat lama “bersembunyi‟ di gudang-gudang literatur dalam bentuk manuskrip. Sampai pada
akhirnya percetakan Dar al-Ma’arif al-Usmaniyah di Hyderabad, India, berupaya untuk mencetak tafsir ini. Adapun Ulama yang berjasa
dalam terwujudnya pencetakan tafsir ini adalah Syekh Muhammad bin Abdul Hamid yang menahkik jilid I, II, III dan bagian pertama dari jilid
IV sampai akhir surat al-Baqarah. Kemudian penahkikan dilengkapi oleh Syekh Muhammad bin Imran al-A‟zhami al-Anshari sampai akhir
kitab. Hasil dari cetakan semuanya berjumlah 22 jilid, jilid pertama diterbitkan pada tahun 1389 H/1969 M dan jilid ke-22 diterbitkan pada
tahun 1404 H/1983 M
Latar Belakang Penulisan Kitab Tafsir
Bermula dari kegiatan belajarnya kepada guru-guru beliau, ia sering menemukan redaksi penafsiran
yang hampir sama. Ia belum pernah menemukan kitab tafsir yang susunannya menjelaskan tentang hubungan antar
ayat dan surat. Kebanyakan kitab tafsir yang sering ia jumpai bercorak fiqih. Kemudian keinginannya tersebut dapat
terpenuhi melalui gurunya Abu al-Fadil al-Magrabi. Melalui Abu al-Fadil al-Magrabi ia banyak belajar tentang
keserasian ayat-ayat dan surah dalam al-Qur’an.
Adapun sebab al-Biqa‟i menulis tafsir ini adalah untuk menjelaskan sisi kemukjizatan al-Quran dari segi
urutan surat dan susunan ayatnya. Sedangkan sebab lain yang mendorong al-Biqa‟i dalam menulis tafsir adalah
keinginannya untuk menjadikan tafsirnya sebagai pelengkap dari tafsir Nashiruddin al-Baidhawi, karena
dalam tafsirnya al-Baidhawi banyak menampakkan sisi balaghi al-Quran dan keindahan gaya bahasanya. Sedangkan
al-Biqa‟i dalam tafsirnya menjelaskan sisi ikatan dan hubungan antara bagian-bagian dalam al-Quran
Metode & Corak Penafsiran
al-Biqa’i dalam tafsirnya ini tampaknya mempergunakan metode tahlily seperti terlihat ketika
dia menguraikan ayat-ayat yang ditafsirkannya dari awal Al-Qur'an sampai akhir. Disamping itu dia
menyebutkan suatu kalimat dalam khuthba tafsirnya:
أطلتّفيهّالتدبرّوأنعمتّفيهّالتفكرّآلايتّالكتابّامتثاالّلقولهّتعاىلّ(ليدبرّآايتهّوليتذكرّأولوّاأللباب
Dari pernyataan al-Biqa’i di atas terlihat jelas bahwa metode yang digunakannya untuk menafsirkan
ayat adalah metode tahlily. Namun demikian, al-Biqa’i beliau tidak mengabaikan riwayat untuk
menafsirkan ayat seperti terlihat dalam penafsirannya beliau menggunaka ayat dan hadits untuk
menafsirkan ayat dalam tafsirnya sesuai dengan keilmuannya sebagai seorang muhaddits
Adapun pendekatan tafsirnya, beliau condong kepada pendekatan al-ra'yi. Kecenderungan ini terlihat dalam judul
tafsirnya yang menyebutkan tanasub al-Ayati wa al-suar. Menafsirkan ayat dengan mempergunakan teori munasabah
itu adalah ra 'yi, karena tidak mungkin membahas munasabah kalau tidak mempegunakan ra 'yi. Dalam menafsirkan
ayat, al-Biqa'i kelihatannya lebih banyak menafsirkan ayat denga al-ra'yi, disamping itu dia juga menafsirkan ayat
dengan riwayat. terlihat al-Biqa’i berusaha menggabungkan antara al-ra'yi dan al-riwayah walaupun lebih banyak
ra'yinya. Dengan demikian dapat dikatakan corak tafsir ini adalah tafsir bi al-ra'yi karena ra’yi-nya lebih banyak dari
riwayah.
Tekhnik Analisa
الذيّخصّأهلّودادهّابألعمالّالصاحلةى الذيّعمّبنعمةّإجيادهّ
الذيّلهّالعلوّاملطلقّفالّخيرجّشيءّعنّمراده البينة
املتكلفةّإبجناءّالعاملّهباّوإسعاده وبيانهّمجيعّعباده
Sistematika Penulisan
• Setelah menafsirkan basmalah lalu dilanjutkannya dengan menyebutkan munasabah antara surat yang akan
ditafsirkan dengan surat sebelumnya dengan mempergunakan salah dari ke empat lafaz ini ( وثم,ّّ ومن ثم, ومن هذا,)ول ّما
ke empat kata-kata tersebut digunakan oleh al-Biqa’i untuk menghubungkaitkan antara satu kata dengan kata atau
antara satu ayat dengan ayat atau antara satu surat dengan surat yang disebut dengan munasabah. Namun
demikian, adakalanya beliau tidak menggunakan salah satu dari kata tersebut tetapi langsung menyebutkan
hubungan surat dengan surat seperti halnya dia menghubungkan surat al-Fatihah dengan surat al-Nas di akhir
tafsirnya.
• Setelah menafsirkan sejumlah ayat dan akan melanjutkan penafsiran ayat sesudahnya lalu dia mencantumkan
sejmlah ayat yang akan ditafsirkannya kemudian membicarakan munasabah ayat yang telah ditafsirkannya denga
ayat yang akan ditafsirkannya dengan mencantumkan kata yang lain sebagai ciri-ciri khasnya.
• Terakhir, kalau beliau menafsirkan ayat dengan ayat yang lainnya, maka ayat yang dijadikannya sebagai penafsir atau
penjelas ayat yang ditafsirkannya dia mencantumkan nomor ayat dan nama suratnya.
Sistematika Penulisan
• Jika surat memiliki namanya yang lain maka beliau juga menyebutkan nama-nama surat tersebut
• Langkah selanjutnya, al-Biqa'i menuliskan sejumlah ayat yang akan ditafsirkannya dengan tulisan
rasm Utsmany.
• Selanjutnya, beliau menyebutkan nama-nama surat lalu mencantumkan sejumlah ayat yang akan
ditafsirkannya
• Langkah selanjutnya, beliau menjelaskan maksud surat tersebut secara ijmaly (global) dalam satu
aliniah
• Berikutnya, beliau menafsirkan basmalah yang ada di awal setiap surat, dan ini merupakan
karakteristik tafsir al-Biqa'y yang tidak dilakukan oleh mufassir selainnya
Sumber Rujukan
Adapun buku-buku yang beliau jadikan rujukan antara lain:.
• Rujukan dari buku-buku hadis, seperti: Kutubusitah, al-Muwaththa’ Imam Malik, Musnad Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Bazzar,
Fath al-Bâri, Shahîh Ibnu Hibbân dan lain-lain. Selain itu al-Biqa’i juga menukil perkataan dari para Sahabat seperti Abdullah bin
Abbas, Abu Bakar, Umar bin Khatab dan Ali bin Abi Thalib, juga perkataan para Tabiin seperti Mujahid, al-Hasan al-Bashri, Sufyan al-
Tsauri dan lain-lain
• Rujukan dari kitab-kitab tafsir. Al-Biqa’i menyebutkan beberapa kitab tafsir sebagai rujukannya, antara lain: al-Thabari,
Zamakhsyari, al-Tsa‟alabi, al-Wahidi, al-Baidhawi, al-Harralli, al-Razi dan Abu Hayyan.
• Rujukan dari kitab ulumul quran seperti: al-Burhân karangan Badruddin al-Zarkasyi, Sirâj al-Murîdîn karangan Abu Bakr Ibnu al-
Arabi, al-Nasyr fî Qirâât al- „Asyr karangan Ibnu al-Jazari.
• Rujukan dari kitab fikih dan usul fikih, di antaranya: alRisâlah, al-Umm, Syarh Jam‟i al-Jawâmi’ karangan al-Mahalli,
Mukhtashar al-Muzani, Syarh al-Muhadzdzab dan lain-lain.
• Rujukan dari kitab-kitab linguistik dan sejarah, seperti: Kitâb Sibawaih, al-Qâmŭs al-Muhîth, Aswâq al-„Arab, Sîrah Ibnu Ishâq,
Sirâh Ibnu Hisyâm. Keenam, kitab-kitab rujukan dalam ilmu tauhid, seperti: Syarh al-Aqâid al-Nasafiyah dan Syarh al-Maqâshid
kedua-duanya karangan Sa’duddin alTaftazani.
Selain kitab-kitab yang telah disebutkan, masih banyak kitab-kitab yang menjadi referensi al-Biqa’i dari berbagai
macam disiplin ilmu, seperti kitab-kitab dalam ilmu tasawuf, filsafat dan ilmu mantik, bahkan beliau juga mengutip
isrâiliyât dari Taurat dan Injil
Contoh Penafsiran
Munāsabah Nama Surat dengan Isi atau Tujuan Surat.
{اي أيها الذين آمنوا }أي ادعوا ذلك أبلسنتهم {أوفوا }أي صدقوا ذلك أبن توفوا {ابلعقود }أي العهود املوثقة احملكمة وهي تعم مجيع أحكامه سبحانه فيما
وتعم سائر ما بني الناس، اليت من مجلتها الفرائض اليت افتتحها بلفظ اإليصاء الذي هو من أعظم العهود،أحل أو حرم أو ندب على سبيل الفرض أو غريه
تذكرياّ مبا أشار إليه قوله تعاىل يف حق أولئك، بل حل بيد الشرع القوية، وأما غري ذلك فليس بعقد، حىت ما كان يف اجلاهلية من عقد يدعو إىل بر،من ذلك
: 40]{اذكروا نعميت وأوفوا بعهدي أوف بعهدكم وإايي فارهبون[ }البقرة
mengajak untuk memenuhi tuntunan Ilahi yang termaktub dalam kitab suci dan didukung oleh perjanjian yang dikukuhkan oleh nalar,
yakni berkaitan dengan keesaan Allah Pencipta, serta yang berkaitan dengan limpahan rahmat terhadap makhluk, sebagai tanda syukur
atas nikmat-Nya, dan permohonan menolak murka-Nya.26 Tujuan tersebut terekam dalam kisah pengikut nabi Isa as yang meminta
hidangan (al-Ma’idah) dari Allah (ayat 112-115). Kandungan kisah itu memperingatkan bahwa siapa yang menyimpang sehingga tidak
merasakan ketenangan setelah datangnya penjelasan sempurna, dia akan dihadapkan kepada tuntutan pertanggungjawaban serta
terancam oleh siksa.
Al-Biqa’i menambahkan, surat al-Ma’idah juga dikenal dengan nama al-‘Uqud dan al-Akhyar. Menurutnya aspek munāsabah
untuk al-‘Uqud, karena ayat pertama surah tersebut memerintahkan kaum beriman agar memenuhi ketentuan aneka akad (al-
‘uqud) yang dilakukan.
Contoh Penafsiran
Munāsabah Nama Surat dengan Isi atau Tujuan Surat.
مقصودها الداللةّعلىّآخرّالليلّأبنّأتقىّاألتقياءّالذيّهوّاألتقىّعلىّاإلطالقّيفّعنيّالرضاّدائما
Menurut Al-Biqa’i, maksud dari surat ini adalah sebagai penjelasan dari akhir surat al-Lail, yakni agar orang-orang
yang bertakwa benar-benar mewujudakan dan membuktikan watak takwanya secara mutlak, di dunia dan akhirat.
Karena ketakwaan akan menghiasi orang-orang yang bertakwa yang merupakan perantara bagi manusia agar
sampai pada tujuan yang sebenarnya yakni "al-Nur al-Ma‘nawi", sebagaimana al-Duhaa yang menggambarkan
cahaya nyata yang merupakan cahaya yang paling mulia pada siang hari. Hubungan demikian menunjukkan bahwa
nama surat adalah hal yang paling dapat menunjukkan tujuan dari surat yang dinamainya
Contoh Penafsiran
Lafal Allah ditafsirkan dengan zat yang menguasai pengetahuan terhadap hal-hal yang zahir dan batin. Lafal al-Rahman ditafsirkan
dengan Sang Pengasih yang meratakan nikmat-nikmatNya kepada semua hamba-Nya, baik yang hadir (hadir untuk menta’atinya)
maupun tidak. Kata al-Rahim ditafsirkan dengan pengasihan Allah yang khusus diberikan kepada kekasih-Nya. Tafsiran yang paling
mengarah pada maksud surat adalah penafsiran pada kata Allah. Karena maksud dari surat al-Naas adalah permohonan terhadap Allah
yang mengetahui segala hal yang dhahir maupun batin dari kejelekan yang bersifat batin, yakni kejahatan bisikan (al-Waswasah)
Komentar Ulama
Imam Al-Biqa’I menyebutkan bahwa para ulama terbagi menjadi 2 bagian tentang tafsirnya: