Anda di halaman 1dari 13

RUANG LINGKUP TAFSIR SUFI

Makalah :
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Studi Tafsir Sufi

Oleh :
1. Azalia Wardha Aziz (E03217012)
2. Mutia Farida (E93217124)
3. Puga Sakti Wibowo (E93217130)

Dosen Pengampu :
MOH.YARDHO, M.Th.I
198506102015031006

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman
umatnya untuk menjalani kehidupan di dunia. Sehingga di dalam Al-Qur’an
mengandung tuntunan-tuntunan mengenai muamalah, kisah-kisah orang
terdahulu, larangan, perintah dan lain-lain. Selain itu, Al-Qur’an merupakan
salah satu mukjizat yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW
yang di dalam kalam Allah SWT tersebut menggunakan bahasa-bahasa yang
indah sekali, sehingga karena keagungannya tersebut untuk memahaminya harus
mengerti kaidah-kaidahnya agar tidak terjadi kesalahan dalam penfsirannya
tersebut.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak akan pernah terlepas dari unsur latar
belakang, corak dan metode yang dimiliki masing-masing oleh setiap mufassir.
Begitu pula dengan tafsir sufi, yang mana ketika Al-Qur’an bersinggungan
dengan tradisi tasawwuf atau sufisme. Walaupun tafsir sufi tidak begitu menjadi
sebuah rujukan utama sebagai pengetahuan umum masyarakat saat ini, namun
tafsir sufi tetap memiliki tempat dan keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh
tafsir lainnya. Adapun dalam makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai
ruang lingkup tafsir sufi, yang terdiri dari asumsi paradigma tafsir sufi, kaidah-
kaidah tafsir sufi, macam-macam tafsir sufi, landasan epistemologis dan
operasional tafsir sufi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asumsi paradigma tafsir sufi?
2. Bagaimana kaidah dan macam-macam tafsir sufi?
3. Bagaimana landasan epistemologis dan operasional tafsir sufi?
C. Tujuan
1. Mengetahui asumsi paradigma tafsir sufi.
2. Mengetahui kaidah dan macam-macam tafsir sufi.
3. Mengetahui landasan epistemologis dan operasional tafsir sufi.

1
BAB II
RUANG LINGKUP TAFSIR SUFI

A. Asumsi Paradigma Tafsir Sufi


Adapun yang dimaksud dengan asumsi paradigma tafsir sufi, yaitu
dasar yang menjadi pedoman dari tafsir sufi yang bercorak tasawuf beserta
signifikansi dari tafsir sufi. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai
paradigma tafsir sufi, ada baiknya memahami terlebih dahulu paradigma tafsir
secara umum. Paradigma tafsir yaitu bentuk upaya menafsirkan dengan suatu
sumber, yang mana sumber ini terdiri dari tiga hal yaitu informatif, nalar, dan
intuitif. Pertama, yaitu paradigma informatif yang mana dalam menafsirkan Al-
Qur’an perlu bersumber dari informasi yang didapatkan dari riwayat Nabi
Muhammad SAW, sahabat, dan tabi’in. Hal ini dilakukan sebagai upaya yang
pasti dalam menggunakan sumber rujukan yang tidak diragukan lagi akan
pengetahuannya terhadap seluk beluk Al-Qur’an.
Kedua, yaitu paradigman nalar yang mana dalam menafsirkan Al-
Qur’an menggunakan nalar. Dalam kegiatan menafsirkan Al-Qur’an, tidak akan
pernah terlepas dari akal walaupun juga merujuk kepada riwayat Nabi
Muhammad SAW, sahabat, dan tabi’in sebagai upaya memverifikasi kebenaran
informasi yang didapatkan. Sebab ada pula informasi yang tidak didapatkan dari
Rasulullah SAW, sahabat, dan tabi’in karena bisa saja informasinya tidak sampai
kepada kita atau sahabat dan tabi’in belum menafsirkannya.
Ketiga, yaitu paradigma intuitif dimana tafsir sufi masuk dalam
kategori paradigma ini. Hal ini bermula dari asumsi, bahwa Al-Qur’an dari segi
pemaknaanya terbagi menjadi dua yaitu makna dzahir dan makna bathin.
Adapun makna dzahir berada dalam lingkup tafsir, sedangkan makna bathin
dalam lingkup takwil. Takwil inilah yang digunakan kaum sufi dalam
menafsirkan Al-Qur’an. Sebetulnya tidak hanya dari kalangan kaum sufi saja
yang menggunakan takwil dalam menafsirkan Al-Qur’an, para mufasir yang
bercorak teologis, filsafat, dan sains pun juga menggunakan cara ini.

2
Al-Qur’an yang bersinggungan dengan tasawuflah yang melahirkan
corak atau orientasi penafsiran Al-Qur’an oleh kaum sufi yang diketahui dengan
tafsir sufy atau tafsir sufistik. Penafsiran Al-Qur’an sufi juga tidak terlepas dari
dua aliran tasawauf, antara lain yaitu aliran tasawuf nazari (tasawuf teoritis)
aliran yang berusaha mengembangkan faham tasawufnya dengan berpijak pada
toeori dan doktrin filsafat sedangkan aliran tasawuf amaly (praksis) aliran yang
secara langsung menerapkan praktek zuhud dalam hidup mereka.1
Dalam tafsir sufi memiliki empat terma antara lain; pertama, yaitu
aspek dzahir (objektive) atau literal. Kedua, yaitu bathin (subjective) atau
esoterik yang susah dipahami dan hanya diketahui oleh orang tertentu. Ketiga,
yaitu had (intersujective) atau legal formal. Keempat, yaitu mathla’
(interobjective) atau testimonial.2 Perihal literal (dzahir) yaitu makna yang dapat
diketahui oleh siapapun baik itu orang awam, legal formal (had) makna yang
teraplikasikan dengan aspek hukum (fiqh), esoterik (bathin) makna alegori atau
kiasan, dan mathla’ makna yang terhubung dengan pemaknaan secara hakikat.
Adapun fokus tafsir isyari yaitu pemaknaan bathin dan mathla’. Bila
disandingkan dengan epistemalogi nalar Arab, tafsir sufi termasuk dalam
epistemalogi ‘irfani (intuitisme). Adapun pengetahuan intuisme ini didapatkan
tidak berdasar pada analisa teks, tetapi diperoleh dari ruhaniyah dan kesucian
jiwa yang melahirkan pengetahuan yang diperoleh dari Tuhan secara langsung
(isyariy) yang digambarkan secara konsep dan disampaikan kepada orang lain
dengan logis (nadzariy).3
B. Kaidah-Kaidah Tafsir Sufi4
Adapun berikut batasan-batasan atau persyaratan diterimanya tafsir
ishari, antara lain sebagai berikut;
1. Tidak boleh bertentangan dengan makna dzahir dari susunan kalimat Al-
Qur’an yang ada.

1
Badruzzaman M. Yunus, “Pendekatan Sufistik Dalam Menafsirkan Al-Qur’an” dalam Jurnal Syifa
Al-Qulub 2, Vol.1, (Juni, 2017), 6-8.
2
Anwar Syarifudin, “Menimbang Otoritas Sufi dalam Menafsirkan Al-Qur’an dalam Jurnal Studi
Agama dan Masyarakat, Vol. 1, No. 2, (Desember, 2004), 14.
3
Badruzzaman M.. , “Pendekatan Sufistik.., 8-9.
4
Ibid., 10-11.

3
2. Tidak diperbolehkan mengklaim bahwa itu satu-satunya penafsiran yang
paling benar.
3. Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.
4. Harus didukung oleh kesaksian syara’ yang menguatkannya.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an menggunakan pendekatan tasawuf dan
metode tematik. Adapun berikut cara yang dilakukan dalam menafsirkan Al-
Qur’an dengan pendekatan sufistik;
1. Menentukan judul atau tema.
2. Mengumpulkan ayat-ayat yang terkait dengan tema disertai dengan
derivasinya (tashrif).
3. Menyertakan munasabah dan asbabu nuzulnya.
4. Membuat konsep kategori yang sistematis terkait tema terkait.
5. Tidak lupa merujuk dan menyertakan pendapat para tokoh tasawuf terhadap
tema terkait.
6. Membuat kesimpulan.

C. Macam-macam Tafsir Sufi


Dalam perjalanan sejarah penafsiran Al-Qur’an yang ada, tentunya
banyak sekali perkembangan akan metode dan corak penafsiran yang
mengiringinya. Tak terkecuali dengan tafsir sufistik. Dalam perkembangannya
sendiri tafsir sufistik terbagi menjadi dua macam, yaitu :
a. Tafsir Sufi An-Nadzari
Tafsir Sufi An-Nadzari merupakan sebuah penafsiran sufistik yang
berdasarkan pada pandangan teori-teori filsafat yang dibangun atas dasar
premis-premis minor pendekatan ilmiah dalam upaya menelusuri makna-
makna Al-Qur’an yang dinilai masih memiliki nilai kebenaran yang
subyektif dan relatif. Penafsiran jenis ini sering dilakukan oleh para
mufassir guna mengungkap makna esoteris (bathin) dalam Al-Qur’an.5

5
Azwarfajri, “Metode Sufistik dalam Penafsiran Al-Qur’an”, Al-Mu’ashiroh, Vol. 9, No. 2, Juli
2012, 145

4
Namun, penafsiran jenis ini juga sering digunakan oleh para
mufassir yang bertujuan untuk menguatkan serta menetapkan teori-teori
mistik yang dianutnya. Ayat-ayat tertentu yang ditafsirkan oleh para
mufassir seringkali ditafsirkan dengan makna yang melenceng jauh dari
makna yang dikehendaki oleh ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri. Oleh Al-
Zahabi, tafsir sufi An-Nadzari ini merupakan sebuah penafsiran yang dalam
prakteknya tak memperhatikan segi bahasa dan makna yang dimaksudkan
oleh syara’.6
Dalam hal ini, ulama yang dianggap berkompeten dalam
menggunakan corak penafsiran An-Nadzari ini adalah Ibnu Al-‘Arabi. Ibnu
Al-‘Arabi merupakan seorang ulama mufassir yang terkenal dengan paham
tasawuf bernama Wahdahtul Wujud, yakni sebuah paham yang
menempatkan seluruh realitas eksistensi dan apa yang benar-benar eksis
adalah mutlak berada dalam satu kesamaan. Dan dalam menafsirkan ayat-
ayat Al-Qur’an, tentunya Ibnu Al-‘Arabi tidak terlepas dari pahamnya
tersebut, penafsiran-penafsiran dengan corak penafsiran An-Nadzari
tersebut ia lakukan guna menguatkan kembali paham yang telah ia anut.7
Terkait dengan penafsiran An-Nadzari tersebut, Al-Zahabi telah
memaparkan karakteristik dan ciri-ciri dari penafsiran An-Nadzari, yakni :8
1. Tafsir sufi An-Nadzari ini sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Al-
Zahabi memberikan contoh dari salah satu penafsiran ayat Al-Qur’an
yang dilakukan oleh Ibnu Al-‘Arabi dalam surat Maryam ayat ke-57 :

Artinya : “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi”.


(QS. Maryam: 57).

6
Muh. Said, “Metodologi Penafsiran Sufistik : Perspektif Al-Ghazali”, Jurnal Diskursus Islam, Vol.
2, No. 1, April 2014, 148-149
7
Asep Nahrul Musadad, “Tafsir Sufistik dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur’an (Sejarah
Perkembangan dan Kontruksi Hermeneutis)”, Jurnal Farabi, Vol. 12, No. 1, Juni 2015, 112-113
8
Azwarfajri, “Metode Sufistik dalam Penafsiran Al-Qur’an” ..., 145

5
Menurut Al-Zahabi, dalam menafsirkan ayat tersebut Ibnu Al-
‘Arabi tidak terlepas dari pengaruh pemikiran filsafat alam, terlihat

pemaknaan lafadz yang oleh Ibnu Al-‘Arabi artikan sebagai


antariksa (alam bintang).
2. Dalam tafsir sufi An-Nadzari ayat-ayat yang berkaitan dengan hal-hal
ghaib seringkali dibawa ke dalam sebuah pemaknaan yang nyata, atau
dalam arti lain dapat diartikan sebagai sebuah penafsiran mengqiyaskan
yang ghaib kepada yang nyata.
3. Dalam tafsir sufi An-Nadzari seringkali tidak memperhatikan dan
hanya menafsirkan ayat-ayat sesuai dengan ruh dan jiwa dari mufassir-
nya.
b. Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi Isyari merupakan sebuah penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an
dengan menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an kepada makna tidak nampak
secara transparan (langsung) karena adanya isyarat yang tersembunyi di
dalam ayat. Penafsiran jenis oleh para mufassir-nya didasarkan pada
anggapan mereka bahwa Al-Qur’an telah mencakup makna yang dzahir
juga makna yang bathin, dimana makna dzahir Al-Qur’an terlihat dari
teksnya, sedangkan makna bathin Al-Qur’an tersingkap lewat isyarat yang
ada di balik makna yang dzahir.9
Seorang ulama sufi bernama Nasirudin Khasr juga mengungkapkan
bahwa dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya melihat dzahir-
nya saja tidaklah cukup, maka perlu danya sebuah penafsiran yang juga
dapat menelusuri makna dibalik makna dzahir yang ada. Hal ini juga
tentunya berlaku bagi para mufassir dan ulama tasawuf, yang dalam
menafsirkan Al-Qur’an mereka tetap menerima makna dzahir ayat dan
menelusuri makna bathin untuk mengetahui hikmah-hikmah dari makna
dzahir ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka tafsirkan.10

9
Azwarfajri, “Metode Sufistik dalam Penafsiran Al-Qur’an” ..., 145
10
U. Abdurrahman, “Metodologi Tafsir Falsafi dan Tafsir Sufi”, ‘Adliya, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni
2015, 262

6
Salah satu contoh dari tafsir sufi Isyari ini dapat kita ketemukan
melalui penafsiran Al-Tastary dalam menafsirkan QS. Al-Baqarah ayat ke-
22 yang berbunyi :

Artinya : “..karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu


bagi Allah..” (QS. Al-Baqarah : 22)

Dalam menafsirkan kata dalam ayat tersebut, Al-Tastary

menafsirkannya dengan nafsu amarah yang jelek. Jadi, lafadz tersebut


tidak hanya mengandung makna seperti patung-patung, setan atau musuh-
musuh yang lainnya, melainkan juga memiliki makna nafsu amarah. Hal ini
disebabkan karena seringnya manusia menyekutukan Allah dengan menjadi
hamba dari nafsunya tersebut.11
Adapun contoh penafsiran tafsir sufi Isyari yang ada juga datang dari
kalangan para sahabat ketika pertama kali mendengar ayat pertama dari
surat An-Nashr, yang berbunyi :

Artinya : “Apabila telah datang pertolongan Allah dan


kemenangan”. (QS. al-Nashr: 1).
Dalam menafsirkan ayat tersebut, diantara para sahabat menafsirkan
ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ayat tersebut bermakna sebuah
perintah untuk bersyukur dan meminta ampun kepada Allah SWT. Berbeda
dengan Ibnu Abbas, yang menafsirkan ayat tersebut sebagai tanda
kewafatan Rasulullah Saw.12
D. Sumber Penafsiran Tafsir Sufi
Sumber penafsiran dari tafsir sufi sendiri berasal dari tradisi sufi
sufisme itu sendiri. Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang terkait dengan asal-
usul sufisme. Yang pertama mengatakan bahwa sufisme lahir dari tradisi yang
berada di luar agama Islam, seperti tradisi Persia, Hindu, Filsafat Neo-Platonis

11
U. Abdurrahman, “Metodologi Tafsir Falsafi dan Tafsir Sufi” ..., 263
12
Azwarfajri, “Metode Sufistik dalam Penafsiran Al-Qur’an” ..., 146

7
dan tradisi Gnosis Kristen. Sedangkan pendapat yang kedua membantah hal
tersebut, dengan berpendapat bahwa sufisme terlahir dari tradisi asli yang
dimiliki umat Islam itu sendiri. Pendapat tersebut juga diperkuat dengan adanya
bukti adanya silsilah spiritual yang tersambung langsung kepada Rasulullah
Saw, yang juga secara konsekuen beberapa doktrin sufisme juga berasal dari
Rasulullah Saw yang secara langsung juga turut menjeaskannya.13
Pengalaman intiuitif menjadi sangat penting dalam sufisme ketika
hendak mengungkap sebuah ayat, baik secara esoteris maupun eksoteris. Intuisi
seakan menjadi intrumen penting untuk berkontemplasi. Meskipun demikian,
pengalaman intuitif tidaklah menjadi suatu intrumen yang berdiri sendiri, ia juga
banyak bersentuhan dengan pengalaman kognitif yang lainnya, khususnya di sini
bersentuhan dengan tradisi falsafah. Oleh karena itu, sumber dari tafsir sufi yang
kita kenal saat ini ada 2, yakni intuisi sebagai intrumen utama yang bersifat
internal dan tradisi kontemplatif lainnya, serta falsafah sebagai instumen
eksternal. Keduanya berasimilasi sehingga melahirkan dua varian sufisme
seperti yang telah di singgung sebelumnya.
E. Landasan Epistemologis Tafsir Sufi
Sumber pengetahuan tafsir sufistik adalah intuisi. Intuisi diperoleh dari
kasyf (penyingkapan) dan mujahadah yang mencapai ahwal (pengalaman
spiritual karena kesungguhan dalam beribadah).14
Secara umum dapat dikatakan bahwa kitab-kitab tafsir dari yang kalsik
sampai kontemporer menggunakan dua pendekatan. Pertama, pendekatan
eksoterik (zahir) yakni tafsir yang lebih menitikberatkan pada sisi lahir teks-teks
al-Quran. Kedua, pendekatan esoterik (batin), yakni tafsir yang lebih
menitikberatkan pada sisi isyarat atau pesan batin yang secara implisit
terkandung di balik teks-teks lahiriah al-Quran.15

13
Asep Nahrul Musadad, “Tafsir Sufistik dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur’an (Sejarah
Perkembangan dan Kontruksi Hermeneutis)” ..., 117
14
Lenni Lestari, Epistemologi Corak Tafsir Sufistik, Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014, 22.
15
Habibi Al-Amin, Membangun Epistemologi Tafsir Sufi; Intervensi Psikologi Mufassir, An-Nuha,
Vol. 2, No. 2, Desember 2015, 142.

8
Al-Ghazali mengatakan bahwa selain yang zahir, al-Quran memiliki
makna batin. Abdullah al-Muhasibi dan Ibn al-‘Arabi memberikan penjelasan
bahwa yang dimaksud dengan zahir adalah bacaan-bacaan dan yang batin adalah
takwilnya. Sementara Abu Abdurrahman mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan zahir adalah bacaannya, sementara yang batin adalah pemahamannya.
Konsep tentang varian makna yang eksoteris dan esoteris merupakan
suatu konsep yang mendasar dalam tradisi tafsir sufistik. Tradisi tafsir sufi baik
yang nazari atau isyari, berawal dari beberapa fondasi utama; bahwa al-Quran
memuat beberapa level makna, manusia memiliki potensi untuk menyingkap
makna tersebut, dan tugas penafsiran adalah tidak terbatas.16
Terdapat hadis yang membahas bahwa dibalik makna lahirnya, al-
Quran juga memiliki makna batin.
‫أنزل القرآن على سبعة أحرف لكل آعية منها ظهر وبطن‬

Artinya: Al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf, setiap ayatnya


memiliki makna eksoteris dan esoteris (HR. Shahih Ibn Hibban)
Imam Asy-Syuyuti dalam al-Itqan mengutip pendapat dari Ibn An-
Naqib bahwa sesungguhnya makna zahir adalah makna-makna yang diketahui
oleh mereka yang memiliki ilmu-ilmu lahir dan aspek batinnya adalah
kandungan rahasia yang diajarkan oleh Allah kepada orang-orang yang ahli
hakikat.17
As-Suyuthi menambahkan bahwa pemahaman al-Quran berada pada
wilayah yang sangat luas dan riwayat itu termasuk pada bagian tafsir yang zahir.
Periwayatan itu harus dijadikan sebagai pedoman dalam tafsir zahir agar
terhindar dari kesalahan. Tidak boleh mengesampingkan periwayatan karena
tafsir harus bermula pada periwayatan itu untuk bisa memperoleh makna
zahirnya. Siapa yang menyatakan telah memahami rahasia-rahasia al-Quran,

16
M. Ulil Abshor, Epistemologi Irfani (Sebuah Tinjauan Kajian Tafsir Sufistik), Jurnal At-Tibyan,
Vol. 3, No. 2, Desember 2018, 259-260.
17
Jalaluddin As-Suyuthi, Samudera Ulumul Qur’an (Al-Itqan fi Ulumil Qur’an), terj. Farikh Marzuki
Ammar & Imam Fauzi Ja’iz, jilid 4, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Surabaya, 2006), 276.

9
sedangkan dia tidak menguasai tafsir zahir, maka dia bagaikan orang yang
menyatakan diri telah sampai ke dalam rumah sebelum dia melewati pintunya.18
F. Landasan Operasional Tafsir Sufi
Terdapat empat istilah untuk menjelaskan bagian ini, yakni tafsir,
takwil, ‘ibarah dan isyarah. Keempat istilah teknis tersebut merujuk pada
instrumen dalam mengungkap makna ayat-ayat al-Quran. Dalam mayoritas
literatur Ulum Quran, istilah yang merujuk kepada aktivitas interpretasi adalah
tafsir dan takwil. Dalam tradisi penafsiran, beberapa ulama cenderung
menyamakan maksud dari kedua term tersebut. Namun, juga ada yang
membedakannya. Tafsir secara praktis berkaitan misalnya dengan ilmu asbabun
nuzul, nasikh-mansukh, makki-madani, dan lain sebagainya. Sedangkan takwil
merujuk pada penjelasan secara langsung terhadap makna-makna yang
terkandung dalam al-Quran. Dalam hal ini relasi tafsir dan takwil adalah relasi
umum dan khusus.
Tafsir merupakan salah satu bagian operasional dari takwil. Takwil
berhubungan dengan penggalian makna-makna terdalam (istinbat) ayat. Dua
istilah lain yang tidak kalah penting adalah ibarah dan isyarah. Ibarah berarti
suatu model penjelasan atau ungkapan tersirat, atau pelajaran yang bisa diambil
dari ayat-ayat yang tersirat. Sedangkan isyarah berarti ungkapan
simbolik/allegoris. Kedua term ini memiliki keterkaitan dengan term
sebelumnya. ‘Ibarah berarti ungkapan yang menginformasikan makna eksoteris
(zahir) yang tersurat dan telah ditentukan. Sedangkan isyarah suatu model
ungkapan yang hanya berfungsi sebagai simbol akan adanya suatu makna yang
tidak ditentukan.
Dalam hal ini, tugas tafsir sufistik terpusat pada penelusuran isyarat
tersebut dalam menemukan makna-makna terdalam al-Quran. Dengan demikian,
berdasarkan keempat terminologi tersebut, tafsir sufistik secara operasional
berlandaskan pada kinerja takwil yang bertujuan menelurusi isyarat-isyarat
makna yang terkandung dalam makna al-Quran.19

18
Ibid., 277.
19
M. Ulil Abshor..., 261.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Paradigma tafsir yaitu bentuk upaya menafsirkan dengan suatu sumber,
yang mana sumber ini terdiri dari tiga hal yaitu informatif, nalar, dan intuitif.
Dan tafsir sufi masuk dalam kategori paradigma intuitif. Tafsir sufi terbagi
dalam dua macam, yakni nazari dan isyari.
Landasan epistemologis dari tafsir sufi adalah berasas pada riwayat
yang menyatakan bahwa al-Quran selain memiliki makna zahir, ia juga
memiliki makna batin. Dan landasan operasional tafsir sufi adalah
menggunakan takwil yang tujuannya untuk menelusuri isyarat-isyarat terkait
makna kandungan dibalik zahir teks ayat al-Quran
B. Saran
Pembahasan terkait ruang-lingkup tafsir sufi sangat kompleks dan
terkadang juga abstrak. Hal ini dikarenakan tafsir sufi merupakan produk
intuisi yang tidak bisa dijelaskan secara gamblang. Oleh karenanya di sini
penulis sangat merekomendasikan untuk menambah bacaan-bacaan lain yang
berkaitan dengan isi makalah yang sudah penulis paparkan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, U. “Metodologi Tafsir Falsafi dan Tafsir Sufi”. ‘Adliya, Vol. 9, No.
1, Januari-Juni 2015.
Al-Amin, Habibi. Membangun Epistemologi Tafsir Sufi; Intervensi Psikologi
Mufassir. An-Nuha. Vol. 2, No. 2. Desember 2015.
As-Suyuthi, Jalaluddin. 2006. Samudera Ulumul Qur’an (Al-Itqan fi Ulumil
Qur’an), terj. Farikh Marzuki Ammar & Imam Fauzi Ja’iz, jilid 4.
Surabaya: PT. Bina Ilmu Surabaya.
Azwarfajri. “Metode Sufistik dalam Penafsiran Al-Qur’an”. Al-Mu’ashiroh. Vol.
9, No. 2, Juli 2012
Lestari, Lenni. Epistemologi Corak Tafsir Sufistik. Jurnal Syahadah. Vol. 2, No. 1.
April 2014.
M. Yunus,Badruzzaman. “Pendekatan Sufistik Dalam Menafsirkan Al-Qur’an”
dalam Jurnal Syifa Al-Qulub 2, Vol.1, (Juni, 2017)
Musadad, Asep Nahrul. “Tafsir Sufistik dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur’an
(Sejarah Perkembangan dan Kontruksi Hermeneutis)”. Jurnal Farabi, Vol.
12, No. 1, Juni 2015
Said, Muh. “Metodologi Penafsiran Sufistik : Perspektif Al-Ghazali”. Jurnal
Diskursus Islam, Vol. 2, No. 1, April 2014
Syarifudin, Anwar. “Menimbang Otoritas Sufi dalam Menafsirkan Al-Qur’an
dalam Jurnal Studi Agama dan Masyarakat. Vol. 1, No. 2. (Desember,
2004)
Ulil Abshor, M. Epistemologi Irfani (Sebuah Tinjauan Kajian Tafsir Sufistik).
Jurnal At-Tibyan. Vol. 3, No. 2. Desember 2018

12

Anda mungkin juga menyukai