Anda di halaman 1dari 24

A.

PENDAHULUAN
Makalah ini berkaitan dengan kegiatan pembiayaan Islam, yang
merupakan sub sektor dari perekonomian Islam. Hukum untuk
pembiayaan Islam berasal dari petunjuk yang diwahyukan oleh Allah
Swt melalui Nabi Besar Muhammad Saw, dan dituliskan ke dalam ayatayat Al Quran, serta dijelaskan oleh Sunnah Rasul. Dalam pembiayaan
Islam, petunjuk dan atau ketetapan Tuhan ini dikembangkan oleh para
ulama

atau

fuqaha

dalam

rangka

menyesuaikan

dengan

perkembangan sosiologis dan ekonomis masyarakat dari waktu ke


waktu. Jenis-jenis pembiayaan yang diizinkan dalam Islam adalah yang
telah dikaji dan dikembangkan oleh para ulama atau fuqaha. Hasil dari
pengkajian ini dimanifestasikan ke dalam akad-akad pembiayaan
Islami. Bai al inah dan tawarruq adalah dua jenis pembiayaan yang
terdapat dalam ranah ekonomi Islam. Namun, tawarruq tampaknya
masih

dalam

perdebatan

apakah

diperbolehkan

atau

dilarang,

sedangkan bai al inah dilarang karena adanya nash hadis yang


dengan jelas melarangnya.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memperjelas
pembahasan dari para ulama jumhur dalam menentukan apakah bai al
innah dan tawarruq tersebut diizinkan untuk diterapkan dalam
pembiayaan Islam, yang tentunya harus bersandar pada ketentuan
Hukum Islam. Untuk mencapai tujuan ini, berusaha memaknai ayat
utama yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi atau pembiayaan
yang ditetapkan dalam Al Quran dan disunahkan oleh Nabi Besar Saw.
Untuk tujuan perbandingan, juga berusaha untuk menyimpulkan
substansi dari akad-akad yang telah diizinkan dalam pembiayaan
Islam, dan menggunakan substansinya dalam mengkaji apakah bai al
innah dan tawarru memiliki dasar yang sama untuk diterapkan dalam
rangka mencapai kemaslahatan bagi umat, atau masyarakat, dalam
perekonomian Islam. Pengkajian ini berusaha untuk mengungkapkan
1

dengan lebih jelas pendapat para ulama dari berbagai mazhab yang
telah ada, ditambah dengan pendapat kontemporer yang terdapat
dalam berbagai literatur.

A. BAI AL INAH DAN HADIS YANG MELARANGNYA


1.

Pengertian Bai al Inah


Menurut Bahasa
Bai ialah jualan, jamaknya ialah buyu, bermakna membeli

barangan

yang

harganya

telah

ditentukan

oleh

Kebanyakannya diletakkan pada awal jenis jualan. 2

penjual. 1
Bai juga

bermaksud pertukaran harta dengan harta.3 Menurut John Penrice, bai


ialah pertukaran barang, perdagangan, penjualan, atau pun sistem
barter.4 Jualan antonim dari kata beli5

1 Muhammad Ibn Mukarram, Ibn Manzur (1996), Lisan al-Arab, j. 1. Beirut:


Dar al-Ihya al-Turath al Arabi, h. 556
2 Zaha Rina Zahari et al. (2008) Encyclopedia Islamic Finance. Kuala Lumpur:
Aslita Sdn Bhd., h. 116.
3 Ali bin Muhammad al-Jumah (2000), Mujam al-Mustalahat al-Iqtisadyyah
wa al-Islamyyah. Riyadh: Maktabah al-Abikan, h. 134.
4 John Penrice (1960), A Dictionary and Glossary of The Kor-an with Copius
Grammatical References and Explanations of the Text. Beirut: Librairie Du
Liban, h. 20.
5 Muhammad Ibn Mukram Ibn Manzur (1996), op.cit., h.556.
2

Perkataan al-bai juga boleh didefinisikan sebagai penukaran


sesuatu dengan sesuatu yang lain.6

Ia merupakan suatu kontrak

penukaran yang memerlukan prosedur tertentu sehingga mendapat


persetujuan dan mempunyai perjanjian dari kedua-dua belah pihak
yaitu penjual dan pembeli.7 Oleh karena itu, bai adalah suatu transaksi
yang melibatkan antara penjual dan pembeli dalam pertukaran milik
sesuatu barang dengan barang atau sesuatu yang bernilai.
Kata al-inah juga berasal daripada perkataan arab yaitu al-ain,
yang bermaksud tunai.8 Berdasarkan kamus lisan al-arab, Bai al-inah
merujuk kepada dua situasi yaitu:
a) Penjual menjual barang dengan harga yang ditangguhkan,
kemudian penjual membeli kembali barang tersebut dengan
harga yang lebih rendah daripada harga asal secara tunai.
b) Jual beli yang melibatkan antara tiga pihak yaitu :
i. Penjual menjual suatu barang kepada pembeli seperti
ii.

biasa dan berlaku penyerahan barang tersebut.


Pembeli menjual barang tersebut kepada orang lain
dengan nilai yang lebih tinggi dari harga asal secara

iii.

angsuran.
Pembeli baru menjual barang tersebut kepada penjual asal
secara tunai tetapi dengan harga yang lebih rendah
daripada harga yang dibelinya.9

6 Muhammad Ala al-Din Afnadi Ibn Abidin (1966), Hasyiyah Ibn Abidin, j. 4.
Beirut: Dar al-Marifah, h. 501
7 Azizi Abu Bakar (2009), Pelaksanaan Bay al-Inah dalam Pembiayaan
Peribadi (personal Loan) di Malaysia (Kertas Kerja Seminar International
Conference on Corporate Law (ICCL) 2009 di Surabaya Indonesia, 1-3 Jun
2009), h. 4; Jerwain Sabek (1971), Majma al-Lughat. Beirut: Jerwain Sabek, h.
1111.
8 Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzur (1996), op.cit., j. 13, h. 306.
9 Ibid.
3

Bai al-inah dapat difahami sebagai transaksi jual beli dan bukan
bermaksud pinjaman.10

Meskipun ada juga pendapat mendefinisikan

bai al-inah sebagai pinjaman dalam bentuk jualan.11


Bai al-inah juga dapat digambarkan seperti seorang penjual
membeli sesuatu barang secara angsuran, kemudian menjual kembali
barang tersebut secara tunai dengan harga yang lebih rendah. Oleh
yang demikian, barang tersebut kembali kepada penjual asal.
Menurut Istilah
Menurut empat mazhab
Terdapat berbagai maksud yang berbeda dari segi lafaz tentang
bay al-inah yang telah didefinisikan oleh empat mazhab.

Walau

bagaimanapun

sama.

maksud

tersebut

membawa

makna

yang

diantaranya ialah:

1. Mazhab Hanafi
Bay al-inah ialah seseorang membeli sesuatu barang dengan
harga tertentu secara tangguh tanpa mendapatkan barang tersebut.
Kemudian, pembeli menjual kembali barang itu kepada penjual asal
dengan harga yang lebih rendah secara tunai.12

10 Wan Ismail Wan Ibrahim (1997), Bai-ul-inah (bai) as A Useful Islamic


Instrument, (Kertas Kerja Seminar International Islamic Capital Market
Conference 97, 15-16 Julai 1997), h. 5.
11 Ali bin Muhammad al-Jumah (2000), op.cit., h. 146.
12 Abu Muhammad Abd Allah Ibn Yusuf Zaylai (2000), Nasb al-Rayah: Takhrij
Ahadith al-Hidayah, j. 4. Kaherah: Muassasah al-Rayyan, h. 279.
4

2. Mazhab Maliki
Bay al-inah

ialah penjual

membeli sesuatu barang yang

diinginkan oleh pelanggan pada pihak lain dengan harga tertentu.


Kemudian, menjual barang tersebut kepada pelanggan dengan harga
yang lebih tinggi.13

dalam mazhab Maliki bay al-inah juga dikenal

dengan buyu al-ajil, karena dalam transaksi ini terdapat penagguhan


waktu dalam pembayaran.14
3. Mazhab Syafii
Bay al-inah ialah penjual menjual barang kepada pembeli
secara tangguh dan menyerahkan barang tersebut kepada pembeli.
Kemudian penjual membeli kembali barang tersebut secara tunai
dengan harga yang lebih murah dari harga asal. 15

Dalam kitab al-

Umm yang ditulis oleh Imam SyafiI sendiri, bay al-inah ialah pembeli
membeli barang dengan berhutang, setelah barang tersebut diterima,
pembeli menjual balik barang itu kepada penjual asal dengan harga
yang lebih tinggi secara tunai.16
4. Mazhab Hambali
Bay al-inah ialah seseorang membeli barang secara tangguh
dan menjual kembali secara tunai dengan harga yang lebih tinggi dari
harga asal yang ketika dibeli. Menurut Imam Hanbali, siapa saja yang
13 Abu Barakah Ahmad bin Muhammad bin Ahmad al-Dardir (1973), al-Sharh
al-Saghir ala Aqrab alMasalik ila Madhhab al-Imam Malik, j. 3. Mesir: Dar alMarifah, h. 129.
14 Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rushd (1999), Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah
al-Muqtasid. Beirut: Dar Ibn Hazm, h. 509.
15 Abu Zakariyya Yahya bin Sharf al-Nawawi (t.t), Raudah al-Talibin, j. 3.
Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, h. 86
16 Muhammad bin Idris, al-Shafii (1993), al-Umm, j. 3. Beirut: Dar al-Fikr, h.
79.
5

menjual sesuatu barang dengan berhutang, maka tidak boleh membeli


kembali barang tersebut dengan harga yang lebih rendah dari harga
asal.17

Ulama Kontemporer

Terdapat tokoh ulama kontemporari yang menghuraikan tentang


pengertian bai
al-inah iaitu Wahbah al-Zuhayli, Yusuf Qardawi,:
Wahbah al-Zuhayli mendefinisikan bay al-inah sebagai hilah18
dalam jual beli untuk berhutang secara riba.

Seperti seseorang

menjual barang dengan harga yang ditangguhkan, kemudian membeli


kembali barang tersebut dengan harga yang lebih rendah daripada
harga ketika dijual secara tunai, sebelum menerima bayaran dari
pembeli.19
Wahbah Al-Zuhaiyli menjelaskan mekanisme dari bai al inah,
yaitu seseorang atau A menjual suatu barang kepada B dengan harga
tangguh, misalnya Rp 100, dan kemudian membelinya kembali dengan
harga tunai yang lebih rendah atau senilai Rp 80 dari B. A memperoleh
barangnya kembali dari B, dan B menerima uang tunai senilai Rp 80,
tetapi B masih memiliki utang yang harus dibayarkan di masa depan
sebesar Rp 100 (ilustrasi A dan B, serta nilai uang tambahan dari pen).
Menurut beliau, disebut sebagai inah adalah karena pembeli (kedua)
17 Abd Allah bin Ahmad al-Maqdisi (1999), al-Mughni, j. 6, c. 4. Riyad: Dar alKutub, h. 190
18 Istilah tipu di sisi undang-undang Islam dengan menggunakan
kebijaksanaan untuk melepaskan diri dari kesukaran dan kesusahan. Ia
diterima pakai oleh sarjana Islam untuk mengurangkan isu yang berlaku.
Rujuk: Mohamed Fairooz Abdul Khir (2011), The Application of Hilah in
Islamic Capital Market, ISRA Buletin, v. 7, Dec 10-Jan 11, h. 9.
19 Wahbah al-Zuhayli (1989), al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, j. 4, c. 3.
Dimashq: Dar al-Fikr, h. 467.
6

menerima suatu objek berbentuk ayn yang merupakan uang, dan


bukan barang. Perbedaan antara harga pertama dengan yang kedua
merupakan bunga terselubung atau bersifat riba bagi pemilik barang
yang diperjual belikan. Oleh karena itu, beliau menyimpulkan bahwa
transaksi ini merupakan rekayasa atau hilah untuk meminjam uang
yang mengandung riba20.
Menurut Sheikh Yusuf Al-Qardawi sebagai Ulama kontemporer
dunia yang kharismatik21 menyatakan bahwa bai al-inah ialah apabila
seseorang menjual barang dengan harga yang tertentu dan barang
tersebut diserahkan kepada pembeli.

Kemudian penjual membeli

kembali barang tersebut sebelum menerima bayaran dari pihak


pembeli, dengan nilai yang lebih murah dari harga asal secara tunai.22
Namun, pada berbagai perbankan di Malaysia, mengizinkan
muamalah dengan bai al-inah, pandangan dari mereka bahwa
persoalan hukum yang tidak membolehkan bai al-inah ialah boleh
antara nasabah dan bank meletakkan syarat untuk membeli atau
menjual balik (repo)23 barang dalam sesuatu kontrak jual beli. Oleh
karena itu, hal ini telah diputuskan oleh Majlis Penasihat Syariah pada
musyawarah

ke-13

pada

10

april

2000

muharram

1421,

20 Wahbah Al-Zuhayli. 2003. Financial Transactions in Islamic Jurisprudence,


Vol. 1. Dasmascus; Dar al Fikr, hlm. 115.
21 Ahmad Rajafi (2008), Ijtihad Yusuf al-Qaradawi dan Hukum Bisnis Islam,
Ijtimiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, v. 1, No. 2, Aug 2008, h.
157-170.
22 Yusuf al-Qaradawi (1998), Bai al-Murabahah li al-Amir bi al-Shira kama
Tujrih al-Masarif alIslamiyyah: Dirasah fi Daw al-Nusus wa al-Qawaid alShariah, c. 2. Qaherah: Maktabah al-Risalah, h. 45.
23 Perjanjian jual dan beli balik dalam kewangan Islam pada masa hadapan
dalam kontrak jual beli dengan harga yang disepakati. Rujuk: transaksi REPO
( Repurchase Agreement), http://www.wealthindonesia.com/commercialbank/transaksi-repo-repurchase-agreement.html, 20 Julai 2012
7

memutuskan aqad dalam perjanjian jual dan beli balik (repo) adalah
boleh.

Jika didalam aqad tidak dicantumkan syarat membeli dan

menjual kembali barang yang telah dibeli.

2. Syarat Sah Bay al- i nah


Syarat sah bay al-inah tergantung kepada syarat umum jual beli
biasa. Transaksi jual beli dianggap tidak sah jika terdapat enam
perkara dibawah ini24 yaitu:
i.

Kesamaran

pada

barang,

harga

barang,

juga

waktu

ii.
iii.

pembayaran barang.
Paksaan, baik paksaan sempurna atau tidak sempurna.
Penangguhan, yaitu menangguhkan suatu penjualan dalam

iv.

satu waktu.
Ada kerusakan atau kerugian pada harta yang hendak

v.
vi.

dijual.
Penipuan sifat barang,
Adanya syarat yang merusakkan atau menganiayai salah
seorang mutaaqidain

Oleh karena itu, untuk menjadikan kontrak jual beli al-inah sah,
ia perlu memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut25:
1) Perlu ada dua kontrak yang terpisah untuk memenuhi
syarat yang sah dari segi syariat.

Pertama: kontrak jual

antara bank dan pelanggan (pembeli) secara tangguh.


Kedua: kontrak pembelian kembali antara pihak bank dan
pihak pembeli.
2) Barang yang diperdagangkan bukan dari barang ribawi.
24 Wahbah al-Zuhayli (1996), Usul al-Fiqh al-Islami, j. 2. Dimashq: Dar al-Fikr,
h. 395-398.
25 Abdul Ghani Endut (2003), Islamic Financing (kertas kerja Basic Credit
BIMB, Kuala Lumpur, 17-21 Febuari 2003), h. 15.
8

Jenis dan bentuk Bai Al-Inah


Terdapat berbagai pendapat mengenai bentuk jual beli al-inah. Para
Imam

empat

mazhab

memiliki

ciri

khusus

tersendiri

dalam

menggambarkan bai al-inah. Yaitu:


1) Mazhab Hanafi
Bentuk bay al-inah mazhab Hanafi ialah penjual menjual barang
(asset) dengan harga tangguh kepada pembeli dan membeli kembali
barang tersebut secara tunai dengan harga yang lebih rendah.26
2) Mazhab Maliki
Berdasarkan Mazhab Maliki, al-inah berasal daripada perkataan
(al-aun)

yang

bermaksud

pertolongan.

Mazhab

Maliki

mengkategorikan bay al-inah kepada tiga jenis:


i.

Pertama, bentuk yang diharamkan, seperti A meminta B


membelikan satu cincin dengan harga RM1000 dan A
menyerahkan

ii.

uang

hanya

RM500

secara

tangguh.

Berdasarkan mazhab Maliki situasi ini adalah riba.


Bentuk yang kedua ialah makruh. Contohnya, A meminta B
membeli sebentuk cincin dan berjanji akan memberi
keuntungan

iii.

kepada

B.

dalam

situasi

ini

tidak

menyatakan tentang harga.


Bentuk ketiga ialah bentuk yang dibolehkan. Contohnya, A
ingin membeli sebentuk cincin. B tanpa disuruh oleh A, B
membeli cincin tersebut dari C. Kemudian, B menawarkan
cincin yang dibelinya kepada A. Maka boleh bagi B untuk

26 Abu Muhammad Abd Allah Ibn Yusuf, al-Zaylai (2000), op.cit., h. 16.
9

menjual cincin tersebut dengan nilai yang tinggi atau


rendah, baik itu secara tunai atau tangguh.27
3) Mazhab Syafii
Contoh bentuk bay al-inah mazhab Syafii ialah jik A membeli
barang dengan cara tangguh kepada B dan barang diserahkan.
Kemudian A menjual kembali barang tersebut kepada B dengan harga
yang lebih tinggi atau rendah secara tunai atau tangguh.28
4) Mazhab Hambali
Terdapat dua bentuk mazhab Hambali yaitu pertama, penjual
membeli kembali barang yang dijual kepada pembeli sebelum pembeli
membuat pembayaran dengan harga yang lebih rendah.

Bentuk

kedua ialah penjual menjual sesuatu kepada pembeli secara tunai dan
penjual membeli kembali barang tersebut dengan harga yang lebih
tinggi secara tangguh.29

Oleh karena itu, semua barang yang dijual dalam bai al-inah
adalah milik pihak pembiaya (pemiutang)30. Selanjutnya, terdapat dua
bentuk jual beli bay al-inah yang dapat dirumuskan. Bentuk pertama
ialah penjual menjualkan suatu barang kepada pembeli dengan harga
yang telah ditetapkan secara ansuran, tetapi penjual mensyaratkan
kepada pembeli untuk menjual kembali barang tersebut dengan nilai

27 Muhammad bin Ahmad Ibn Rushd (1970), Muqaddimat Ibn Rushd, j. 2.


Beirut: Dar al-Sadir, h. 537.
28 Al-Shafii (1993), op.cit., h. 95.
29 Abd al-Rahman al-Rafi (1997), Fath al-Aziz Sharh al-Wajiz, j. 8. Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, h. 231.
30 Suruhanjaya Sekuriti (2002), op.cit., h. 21.
10

yang lebih rendah. Kemudian penjual akan membeli semula barang


tersebut dengan cara tunai31.
Bentuk yang kedua ialah penjual menjual barangannya kepada
pembeli secara angsuran.

Setelah mendapat barangan tersebut,

pembeli menjual kembali barang tersebut kepada penjual asal secara


tunai, tetapi penjual membelinya dengan harga yang lebih rendah dari
sebelumnya32.
Oleh yang demikian, bentuk pertama adalah haram menurut
mayoritas ulama, karena terikat dengan syarat.

Akan tetapi bentuk

yang kedua terdapat pembolehan hukum disisi ulama.

3. Perbedaan antara Bai at-Tawarruq, Bai al-inah dan Bai


Muhallil al-Riba .
Terdapat perbedaan antara ketiga jenis jual beli iaitu Bay alTawarruq,

Bai

al-inah

dan

Bai

Muhallil

al-Riba.

Berdasarkan

pandangan Ibn Qayyim al-Zawjiyyah33, bai al tawarruq ialah jual beli


yang melibatkan tiga pihak yaitu penjual, pembeli dan pihak ketiga
(pembeli kedua). Contohnya, penjual menjual sesuatu barang secara
angsuran.

Kemudian setelah mendapat barang tersebut, pembeli

menjual barang itu kepada pihak ketiga dengan harga yang lebih
rendah secara tunai.
Jual beli bai al-inah pula hanya melibatkan dua pihak karena
pembeli akan menjual barang yang dibeli kepada penjual asal. Adapun
31 Muhammad Rawwas Qalah Ji (2007), al-Muamalat al-Maliyyah alMuasarah fi Daw al-Fiqh wa alShariah. Beirut: Dar al-Nafais, h. 82-84.
32 Ibid.
33 Muhammad bin Abi Bakr, Ibn Qayyim al-Jawziyyah (1996), Ilam alMuwaqqiin an Rabb al-Alamin, j.3. Beirut: Dar al-kitab al-Ilmiyyah, h. 251
11

bai muhallil al-riba seperti bai al-tawarruq yang melibatkan tiga pihak.
Tetapi setelah barang yang telah dijual dimiliki oleh pembeli yang
kedua, pembeli menjual barang tersebut kepada penjual asal (pihak
pertama)34.

Rajah

di

bawah

menunjukkan

ringkasan

daripada

keterangan di atas.

4. Analisis Hukum Islam tentang Bai Al-Inah


Ulama Empat Mazhab dan Ulama Kontemporer berbeda pandangan
dalam menghukumi jual beli ini, diantaranya adalah:
A. Ulama Empat Mazhab
Mazhab Hanafi berbeda pendapat tentang hukum bai al-inah.
Berdasarkan pendapat Abu Yusuf, bai al-inah adalah boleh (sah) dan
tidak makruh, malah diberi pahala jika niat untuk mengelak agar tidak
terjerumus kepada riba35. Manakala Muhammad bin Abu Hasan pula
berpendapat bahawa bai al-inah adalah makruh 36. Sementara itu, Ibn
Abidin menyatakan bahawa bay al-inah bersifat makruh tahrimi
kerana jual beli barang tersebut kembali kepada pemilik asal.
Manakala jika barang tersebut tidak dijual kepada pemilik asal,
hukumnya adalah makruh tanzihi37.
34 Ibid.
35 Shamsiah Mohammad (2006), Isu-isu dalam Penggunaan Bay al-Inah
dan Tawarruq: Perspektif Hukum ( kertas Kerja Muzakarah Cendikiawan
Syariah Nusantara di Langkawi, 29-29 Jun 2006), h. 10.; Ibn Abidin,
Muhammad Amin bin Umar (1994), Radd al-Muhtar ala al-Durr al-Mukhtar,
Hashyyah Ibn Abidin ala Sharh Tanwir al-Absar, j. 14. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, h. 613.
36 Muhammad bin Abd al-Wahid, Ibn al-Hummam (2003), Sharh Fath alQadir, j. 4. Riyad: Dar al-Alam al-Kutb, h. 193
37 Ibn Abidin, Muhammad Amin bin Umar (1994), op.cit., h. 613.
12

Adapun menurut mazhab Maliki, hukum bai al-inah adalah tidak


boleh (haram)38. Begitu juga pendapat dari mazhab Hanbali yang
menolak kebolehan bai al-inah39. Mereka menganggap bahwa al-inah
adalah hilah kepada riba40.
Pendapat terakhir ialah dari mazhab Syafii. Menurut Imam alNawawi, hukum menjual secara tunai dan membeli dengan harga yang
lebih tinggi secara tangguhan adalah boleh 41.

Jumhur ulama Syafii

juga membolehkan jual beli ini walaupun berlaku atau tidak prinsip
muamalat bai al-inah di negaranya 42.

Walau bagaimanapun, jika

terdapat syarat untuk menjual kembali barang yang telah dibeli


kepada penjual asal, maka hukumnya tetap haram dan terbatal 43. Hal
ini menunjukkan kepada bukti adanya hilah untuk melakukan riba.
Oleh karena itu, mazhab Maliki dan Hanbali berpendapat bahawa
bai al inah tidak boleh dilaksanakan, karena termasuk kepada jalan
untuk menghalalkan riba. Namun mazhab Syafii berpendapat jual beli

38 Muhammad bin Ali al-Shawkani (1999), Nayl al-Awtar Sharh Muntaqi alAkhyar min Ahadith Sayyid alAkhyar, j. 5. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, h.
219.
39 Abd Allah bin Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (1999), al-Mughni, j. 15, c.
2. op.cit., h. 260.
40 Azizi Che Seman (2002), Peranan Bay al-inah dalam Sekuriti Hutang
Swasta Islam di Malaysia (Kertas Kerja Bengkel Ekonomi Islam di Jabatan
Syariah dan Ekonomi Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, 22 Jun
2002), h. 5.
41 Al-Nawawi (t.t), op.cit., h. 86.
42 Ibid., h. 85.
43 Mustafa Dib al-Bugha (1994), al-Wafi fi Sharh al-Arbain al-Nawawiyyah,
c. 4. Damshiq: Dar Ibn kathir, h. 231.
13

ini sah. Begitu juga menurut Abu Hanifah jual beli ini sah jika hanya
terdapat orang ketiga yang menyempurnakannya44.

5. Dalil dan Hujah Ulama yang Mengharamkan Bai al-I nah


Para ulama bersepakat untuk mengharamkan konsep bai
al-inah jika terdapat niat fasid (buruk) yang dinyatakan dengan jelas
dalam akad. meskipun sempurna syarat dan rukun jual belinya.
Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang hukum bai
al-inah yang tidak disertai dengan niat fasid (buruk) secara jelas.
Mayoritas ulama kalangan mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali
berpendapat bahawa bai al-inah adalah haram 45. Terdapat beberapa
dalil yang dipegang oleh golongan yang mengharamkan bai al-inah.

Hadis Nabi SAW.

Apabila manusia sangat bakhil dengan dinar dan dirham, dan


berjual beli secara al-inah serta mereka mengekori ekor-ekor lembu,
lalu meninggalkan jihad fi sabilillah, niscaya Allah akan menurunkan
44 Ala Eddin Kharofa (2004), Transaction in Islamic Law. Malaysia:
A.S.Noordeen, h. 66.
45 Wahbah al-Zuhayli (1989), op.cit., h. 469
14

bala ke atas mereka dan dia tidak akan menghilangkan (bala) dari
mereka, sehingga mereka kembali kepada agama mereka46.
Hadis

ini

menunjukkan

bahwa

apabila

manusia

mengejar

kemewahan sehingga terjebak dalam urusan muamalat mereka


al-inah, maka bala Allah akan turun bagi Allah ke atas mereka. Oleh
karena itu, mereka perlu bertaubat kepada Allah.
Atsar (khabar) dari Saidatina Aishah R.Ah:

.
:

""

Dari Ibn Ishaq al Subayi, dari isterinya bahwa dia telah menemui
Aisyah R.A dan masuk bersamanya Ummu Walad Zayd bin Arqam lalu
berkata: wahai Ummu al-Mukminin, sesungguhnya aku telah menjual
seorang hamba kepada Zayd bin Arqam dengan harga delapan ratus
dirham secara tangguh, dan aku kemudiannya membelinya kembali
dengan harga enam ratus dirham secara tunai. Maka berkata Aishah
kepadanya: itu adalah seburuk-buruk jual beli yang engkau lakukan.
Sampaikan kepada Zayd bahwa dia telah membatalkan (pahala)
jihadnya bersama Rasulullah jika dia tidak bertaubat.

Perkataan

Aishah itu membuatkan sahabat kami terdiam lalu ia tidak berkatakata agak lama. Kemudian setelah dia menerima penjelasan Aishah
46 Ahmad bin Muhammad, Ibn Hanbal (1991), Abd Allah Muhammad alDdarwish (ed.), al-Musnad li alImam Ahmad Ibn Hanbal, no. hadith: 4824 &
4825. j. 2. Beirut: Dar al- Fikr, h. 260-261.
15

itu lalu ia berkata, apakah pandangan kamu jika saya hanya


mengambil modalku saja? lalu Aishah membacakan firman Allah
yang bermaksud: Maka barangsiapa yang telah didatangi peringatan
daripada tuhannya lalu ia berhenti (meninggalkannya), maka baginya
adalah urusannya dan urusannya itu akan diserahkan kepada Allah [alBaqarah (2): 275]47
Berdasarkan khabar Saidatina Aishah (r.ah) di atas, dapat
disimpulkan bahwa bai al-inah adalah haram.

Ini karena Saidatina

Aishah (r.ah) mengecam perbuatan Zayd sehingga batal pahala jihad


bersama Rasulullah S.A.W.
Kaedah Sadd al-Dharai
Menurut Imam al-Syatibi, berdasarkan kaedah sadd al-dharai
bahwa bai al-inah adalah haram.

karena salah satu alasan

bemuamalah dengan bai al-inah dengan tujuan dan niat untuk


mendapatkan keuntungan dari segi uang dalam jual beli barang serta
menghalalkan riba. Oleh sebab itu, Bai alinah diharamkan48.

6. Dalil dan Hujjah Ulama yang Membolehkan Bai Al-Inah


Bay al-inah dikategorikan sebagai harus sekiranya sempurna rukun
dan syarat jual beli.

Antara golongan yang mengharuskan bay

al-inah ialah dari kalangan mazhab Shafie serta sebahagiannya dari


mazhab Hanafi.

Abu Yusuf daripada mazhab Hanafi berpendapat

bahawa bay al-inah adalah sah dan tidak makruh manakala

47 Ali bin Umar al-Dar Qutni (2001), Sunan al-Dar Qutni, Kitab al-Buyu,
no. hadith 2982. j. 3. Beirut: Dar al-Marifah, h. 52.
48 Abu Ishaq al-Shatibi (1991), al-Muawafaqat fi Usul al-Shariah, j. 2. Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, h.144
16

Muhammad

Hasan

al-Syaibani

daripada

mazhab

Hanafi

juga

berpendapat bahawa bay al-inah adalah sah tetapi makruh49.

Dalil Al-Quran







padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba.. (Al-Baqarah: 275)
Mereka bersandarkan kepada zahir ayat ini bahwa setiap
transaksi jual beli itu dianggap sah apabila sempurna syarat dan rukun
jual beli50.

Riba tidak wujud di sini kerana transaksi ini melibatkan

pertukaran barang dengan wang, bukannya pertukaran wang dengan


wang yang boleh membawa kepada riba51.
Hadits Nabi SAW.
Terdapat juga hadis Nabi S.A.W yang tidak mengharamkan bai
alinah. Sabda Rasulullah S.A.W:

:
: :

: "
49 Wahbah al-Zuhayli (1989), op.cit., h. 468.

"

50 Abi al-Fida Ismail Ibn Umar Ibn Kathir al-Qarshiy al-Damashqi (2004),
Tafsir al-Quran al-Azim alMaruf bi al-Tafsir Ibn Kathir, j. 1, c. 6. Riyad: Dar alSalam, h. 452.
51 Methussin Haji Baki (2006), Bay al-inah dan Tawarruq: Kaedah dan
Pendekatan Penyelesaian (kertas kerja Muzakarah Cendikiawan Syariah
Nusantara di Langkawi, 28-29), h. 5.
17

Dari Abu Sa id dan Abu Hurairah: bahwa Rasulullah SAW telah


melantik seorang lelaki sebagai wakilnya di Khaibar.
mendatangi baginda dengan membawa tamar janib.
bertanya

kepadanya,

Apakah

semua

tamar

di

Lalu dia
Nabi SAW

khaibar

begini

keadaanya? lelaki itu menjawab Tidak, demi Allah kami mengambil


atu sha tamar janib (jenis yang baik) dengan dua sha tamar al-jam
(jenis yang kurang baik) dan dua sha tamar janib dengan tiga gantang
tamar al-jam. Maka berkata Rasulullah SAW, jangan kamu lakukan
demikian, tetapi juallah tamar al-jam dengan dirham, kemudian kamu
belilah dengan dirham tersebut akan tamar janib52.
Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi SAW mencegah wakil dari Khaibar
yang menukar sukatan tamar al-jam untuk mendapatkan tamar janib
kerana ini adalah riba. Maka, Nabi SAW mengarahkan wakil tersebut
supaya menjual dahulu tamar al-jam,
dirham,

kemudian setelah mendapat

maka barulah tamar janib tersebut dibeli.

Jual beli yang

diarahkan oleh Nabi SAW ini merupakan jalan penyelesaian untuk


mendapatkan tamar janib.

Hadis ini juga tidak mengkhususkan

bolehnya jual beli tersebut dilaksanakan antara dua pihak yang sama
atau pihak yang lain.

Niat sebenarnya transaksi ini bukan jual beli

semata-mata tetapi untuk mendapatkan tamar janib.


Qiyas
Menurut Abd Allah bin Umar, sekiranya pembeli menjual
sesuatu barang kepada penjual asal yang sama, baik dengan harga
yang tinggi atau rendah daripada harga asal, hukumya adalah boleh.
Keputusan ini telah disepakati oleh ulama53. Sebenarnya masalah ini
52 Muhammad Ibn Ismail, al-Bukhari (1315h.) Sahih al-Bukhari, kitab alBuyu, Bab: Idha Arada Bay Tamr bi Tamr Khayr Minh, j. 3 c. 2. Turki: alMaktabah al-Islamiyyah, h. 35.
53 Taqi al-Din Ali Ibn Abd al-Kafi, al- Subki (t.t), Al-Majmu Sharh alMuhadhadhab, j. 23. Jeddah: Maktabah Irsyad, h. 146.
18

telah diqiyaskan kepada persepakatan ulama bahwa pembeli tidak


dilarang untuk menjual barang yang dibeli kepada orang lain dengan
harga yang sama atau lebih mahal dari harga asal54.
Al-Imam

al-SyafiI

menambahkan

mengenai

pernyataan

Saidatina Aishah (r.ah) mencela perbuatan Zayd bukan disebabkan


masalah beli kembali hamba itu secara tunai setelah menjualnya
secara tangguh, tetapi masalah waktu pembayaran yang tidak
ditentukan dan bertangguh.

Oleh karena itu, khabar ini tidak boleh

dijadikan hujah dan sumber kepada hukum yang mengharamkan bai


al-inah55.

7. Ulama Kontemporer
Mayoritas ulama kontemporer telah mengharamkan kontrak bai
al-inah, diantaranya ialah Sheikh Yusuf Qardawi56, Wahbah Zuhayli57,
Sheikh al-Khalili58dan Sheikh Ibnu Uthaimin59, kerana transaksi ini
merupakan hilah kepada riba.
Ada juga pendapat menyatakan bahwa bai al-inah adalah suatu
pengalihan dalam mencari solusi untuk menghapuskan riba secara
angsuran dalam sistem perbankan konvensional. Ia juga merupakan
54 Ibn Qudamah (1992), op.cit., h. 261-263.
55 Al-Shafii (1996), op.cit., h. 249.
56 Yusuf Qardawi (1998), op.cit., h. 48-49.
57 Wahbah al-Zuhayli (1996), op.cit., h. 517.
58 Ahmad bin Hamad al-Khalili (2003), op.cit., h.71.
59 Saad bin Abd Allah al-Barik (1999), al-Fatawa al-Shariyyah fi al-Masail
al-Asryyah min Fatawa Ulama al-Balad al-Haram. j. 2, Riyad: al-Lajnah alDaimah lil Buhuth al-Ilmiyyah wa al-Ifta, h. 688.
19

suatu instrumen idealistik kerana perbankan islam bermula dari sifar.


Walau bagaimanapun, ia bukanlah suatu idea yang realistik60.

B. KESIMPULAN
Kesimpulannya, bay al-inah dapat dipahami sebagai transaksi
menjual dan kemudian membeli kembali suatu asset (barang) antara
dua pihak untuk mendapatkan uang secara tunai.

Jual beli ini

melibatkan dua akad yang berbeda atas barang tersebut.

Harga

dalam jual beli ini pula berbeda, yaitu harga penjualan pertama lebih
rendah daripada harga penjualan yang kedua. Hal ini karena jual beli
yang pertama dibayar secara tunai manakala harga jualan yang kedua
dibayar secara tangguh atau angsuran. Konsep ini sebenarnya bukan
berkeinginan kepada barangan tetapi bertujuan untuk mendapatkan
pinjaman uang.
60 Wan Rumaizi Wan Husin, Penasihat Shariah Bank Rakyat Malaysia.
Temubual pada 3 Oktober 2012.
20

Sehubungan itu, terdapat dua pendapat mengenai hukum


pengaplikasian bai alinah dalam kalangan ulama. Pendapat pertama
mengharamkan bai al-inah karena mayoritas dari golongan mereka
berpendapat bahwa bai al-inah adalah hilah kepada riba. Manakala
pendapat yang kedua pula mengharuskan bai al-inah karena mereka
berpendapat masalah al-inah tidak disebut di dalam al-Quran dan
Hadis nabi SAW secara khusus.

Mereka yang membolehkan bai

al-inah berpendapat, selagi jual beli tersebut tidak bersyarat untuk


menjual kembali barang tersebut kepada pemilik asal, maka ia adalah
boleh.
Jadi, konsep Bai al-inah yang dilaksanakan di Malaysia adalah
dibolehkan oleh ulama Syafii karena ia bukan suatu hilah untuk
menghalalkan riba tetapi salah satu cara untuk memudahkan para
pelanggan bagi mendapatkan mudah uang tunai dengan segera secara
Islam.

Daftar Pustaka
Abd al-Rahman al-Rafi (1997), Fath al-Aziz Sharh al-Wajiz, j. 8. Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah,
Ali bin Umar al-Dar Qutni (2001), Sunan al-Dar Qutni, Kitab al-Buyu, no.
hadith 2982. j. 3. Beirut: Dar al-Marifah,
21

Abd Allah bin Ahmad al-Maqdisi (1999), al-Mughni, j. 6, c. 4. Riyad: Dar alKutub,
Abdul Ghani Endut (2003), Islamic Financing (kertas kerja Basic Credit
BIMB, Kuala Lumpur, 17-21 Febuari 2003),
Abi al-Fida Ismail Ibn Umar Ibn Kathir al-Qarshiy al-Damashqi (2004), Tafsir
al-Quran al-Azim alMaruf bi al-Tafsir Ibn Kathir, j. 1, c. 6. Riyad: Dar alSalam,
Abu Barakah Ahmad bin Muhammad bin Ahmad al-Dardir (1973), al-Sharh alSaghir ala Aqrab alMasalik ila Madhhab al-Imam Malik, j. 3. Mesir: Dar alMarifah,
Abu Ishaq al-Shatibi (1991), al-Muawafaqat fi Usul al-Shariah, j. 2. Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah,
Abu Muhammad Abd Allah Ibn Yusuf Zaylai (2000), Nasb al-Rayah: Takhrij
Ahadith al-Hidayah, j. 4. Kaherah: Muassasah al-Rayyan,
Abu Zakariyya Yahya bin Sharf al-Nawawi (t.t), Raudah al-Talibin, j. 3. Beirut:
Dar al-Kutub alIlmiyyah,
Ahmad bin Muhammad, Ibn Hanbal (1991), Abd Allah Muhammad alDdarwish (ed.), al-Musnad li alImam Ahmad Ibn Hanbal, no. hadith: 4824 &
4825. j. 2. Beirut: Dar al- Fikr,
Ahmad Rajafi (2008), Ijtihad Yusuf al-Qaradawi dan Hukum Bisnis Islam,
Ijtimiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, v. 1, No. 2, Aug 2008,
Ala Eddin Kharofa (2004), Transaction in Islamic Law. Malaysia: A.S.Noordeen,
Ali bin Muhammad al-Jumah (2000), Mujam al-Mustalahat al-Iqtisadyyah wa
al-Islamyyah. Riyadh: Maktabah al-Abikan,
Azizi Abu Bakar (2009), Pelaksanaan Bay al-Inah dalam Pembiayaan Peribadi
(personal

Loan)

di

Malaysia

(Kertas

Kerja

Seminar

International

Conference on Corporate Law (ICCL) 2009 di Surabaya Indonesia, 1-3 Jun


2009); Jerwain Sabek (1971), Majma al-Lughat. Beirut: Jerwain Sabek,

22

http://www.wealthindonesia.com/commercial-bank/transaksi-repo-repurchaseagreement.html, 20 Julai 2012


John Penrice (1960), A Dictionary and Glossary of The Kor-an with Copius
Grammatical References and Explanations of the Text. Beirut: Librairie Du
Liban,
Methussin Haji Baki (2006), Bay al-inah dan Tawarruq: Kaedah dan
Pendekatan Penyelesaian (kertas kerja Muzakarah Cendikiawan Syariah
Nusantara di Langkawi, 28-29),
Muhammad Ala al-Din Afnadi Ibn Abidin (1966), Hasyiyah Ibn Abidin, j. 4.
Beirut: Dar al-Marifah,
Muhammad bin Abd al-Wahid, Ibn al-Hummam (2003), Sharh Fath al-Qadir, j.
4. Riyad: Dar al-Alam al-Kutb,
Muhammad bin Ali al-Shawkani (1999), Nayl al-Awtar Sharh Muntaqi alAkhyar min Ahadith Sayyid alAkhyar, j. 5. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
Muhammad bin Abi Bakr, Ibn Qayyim al-Jawziyyah (1996), Ilam alMuwaqqiin an Rabb al-Alamin, j.3. Beirut: Dar al-kitab al-Ilmiyyah,
Muhammad bin Ahmad Ibn Rushd (1970), Muqaddimat Ibn Rushd, j. 2. Beirut:
Dar al-Sadir,
Muhammad bin Idris, al-Shafii (1993), al-Umm, j. 3. Beirut: Dar al-Fikr,
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rushd (1999), Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah alMuqtasid. Beirut: Dar Ibn Hazm,
Muhammad Ibn Ismail, al-Bukhari (1315h.) Sahih al-Bukhari, kitab al-Buyu,
Bab: Idha Arada Bay Tamr bi Tamr Khayr Minh, j. 3 c. 2. Turki: al-Maktabah
al-Islamiyyah,
Muhammad Ibn Mukarram, Ibn Manzur (1996), Lisan al-Arab, j. 1. Beirut: Dar
al-Ihya al-Turath al Arabi.
Muhammad Rawwas Qalah Ji (2007), al-Muamalat al-Maliyyah al-Muasarah fi
Daw al-Fiqh wa alShariah. Beirut: Dar al-Nafais,

23

Mustafa Dib al-Bugha (1994), al-Wafi fi Sharh al-Arbain al-Nawawiyyah, c. 4.


Damshiq: Dar Ibn kathir,
Saad bin Abd Allah al-Barik (1999), al-Fatawa al-Shariyyah fi al-Masail
al-Asryyah min Fatawa Ulama al-Balad al-Haram. j. 2, Riyad: al-Lajnah alDaimah lil Buhuth al-Ilmiyyah wa al-Ifta,
Shamsiah Mohammad (2006), Isu-isu dalam Penggunaan Bay al-Inah dan
Tawarruq: Perspektif Hukum ( kertas Kerja Muzakarah Cendikiawan
Syariah Nusantara di Langkawi, 29-29 Jun 2006); Ibn Abidin, Muhammad
Amin bin Umar (1994), Radd al-Muhtar ala al-Durr al-Mukhtar, Hashyyah
Ibn Abidin ala

Sharh Tanwir al-Absar, j. 14. Beirut: Dar al-Kutub

al-Ilmiyyah,
Taqi al-Din Ali Ibn Abd al-Kafi, al- Subki (t.t), Al-Majmu Sharh alMuhadhadhab, j. 23. Jeddah: Maktabah Irsyad,
Wahbah al-Zuhayli (1989), al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, j. 4, c. 3. Dimashq:
Dar al-Fikr,
Wahbah al-Zuhayli (1996), Usul al-Fiqh al-Islami, j. 2. Dimashq: Dar al-Fikr,
Wahbah Al-Zuhayli. 2003. Financial Transactions in Islamic Jurisprudence, Vol.
1. Dasmascus; Dar al Fikr,
Wan Ismail Wan Ibrahim (1997), Bai-ul-inah (bai) as A Useful Islamic
Instrument, (Kertas Kerja Seminar International Islamic Capital Market
Conference 97, 15-16 Julai 1997),
Wan Rumaizi Wan Husin, Penasihat Shariah Bank Rakyat Malaysia. Temubual
pada 3 Oktober 2012.
Yusuf al-Qaradawi (1998), Bai al-Murabahah li al-Amir bi al-Shira kama Tujrih
al-Masarif alIslamiyyah: Dirasah fi Daw al-Nusus wa al-Qawaid al-Shariah,
c. 2. Qaherah: Maktabah al-Risalah,
Zaha Rina Zahari et al. (2008) Encyclopedia Islamic Finance. Kuala Lumpur:
Aslita Sdn Bhd.

24

Anda mungkin juga menyukai