Anda di halaman 1dari 10

WAKAF DALAM PERSPEKTIF IMAM MADZHAB I : IMAM HANAFI,

IMAM MALIKI, IMAM SYAFI’I, DAN IMAM HAMBALI

Oleh:
Saydatin AinunFiya, Albi Nazwan, Afif Makarim Rosyiq
Program Studi Hukum Keluarga Islam
Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Jalan Gajayana No.50 Malang

Pendahuluan
Wakaf merupakan salah satu institusi Islam yang bertujuan meningkatkan
taraf hidup umat Islam. Allah SWT menciptakan manusia heterogen dalam
berbagai aspek, termasuk tingkat ekonominya, di antara mereka ada yang kaya
dan miskin, bahkan ada yang sangat kaya di satu sisi dan sangat miskin di sisi
lainnya. Oleh karena itu, perbedaan merupakan sunatullah yang dimaksudkan agar
kehidupan berjalan dengan baik dan seimbang. Dengan wakaf, di samping zakat,
infaq, dan shadaqah, maka distribusi kekayaan bisa berjalan sehingga kekayaan
atau harta tidak hanya berputar di kalangan tertentu saja.1
Wakaf merupakan ajaran agama Islam yang bertujuan membangun
kesejahteraan dan pembangunan peradaban yang maju, kemajuan peradaban Islam
pada masa lalu, tidak bisa dilepaskan dari peran wakaf. Bahkan wakaf berhasil
mendanai proyek peradaban Islam dari masa ke masa dan dalam pengembangan
sosial dan ekonomi, maka wakaf berperan baik dalam mencapai kesejahteraan
masyarakat yang adil dan makmur.2
Wakaf menurut ulama sumber hukum perwakafan selain Alquran dan
alHadist, maka Ijtihad merupakan sumber ketiga. Perannan ulama mujtahid akan
mampu memperjelas hukum sekiranya dua sumber utama kurang jelas akan
membutuhkan pemikiran. Dari hasil usaha pemikiran mereka, lalu dipakai sebagai
acuan dalam perwakafan. Wakaf menurut para ulama imam mazhab merupakan
suatu perbuatan sunnah untuk tujuan kebaikan, seperti membantu, pembangunan
sektor keagamaan, baik pembagunan segi material maupaun sepiritual.3

Pembahasan
A. Wakaf Menurut Imam Hanafi

1
Fakhruddin, Pengaruh Mazhab Dalam Regulasi Wakaf Di Indonesia, Jurnal Hukum dan Syariah
Vol. 10 No.2 Tahun 2019, h.254
2
Nur Azizah Latifah, Mulyono Jamal, Analisis Pelaksanaan Wakaf Di Kuwait, Ziswaf; Jurnal
Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1), h.1
3
Dr. Rosalinda, M.Ag. Manajemen Wakaf Produktf, jakarta: Rajagrafindo Persada, 2015, h. 13-
20.
1. Pengertian
Menurut Abu Hanifah waqaf ialah membekukan -tasaruf- suatu
benda untuk menyedekahkan manfaat guna kebaikan dengan
menguhukumi benda tersebut tetap menjadi hak milik waqif. Dengan
kata lain hak milik mauquf ada pada waqif, waqif boleh menariknya dan
menjualnya hal tersebut dikarenakan waqaf termasuk akad jaiz(tidak
lazim) sama halnya dengan pinjam.
2. Hukum Taklifi
Abu hanifah hukum waqaf sendiri mubah(boleh). Dalil yang
diajukan untuk pernyataan tersebut adalah hukum sahnya waqaf dari non
muslim. Sebab orang non muslim yang notabennya saat beramal tidak
mendapatkan pahala, jika ia sah secara syara‟ melakukan perbuatan maka
perbuatan tersebut tidak memiliki ruang pahala. Jika berhukum sunnah
berarti orang non muslim yang sah secara syara‟ menunaikan waqaf
harus mendapatkan pahala. Semsntara tidak ada ulama yang menyatakan
bahwa orang non muslim mendapatkan pahala dari amalnya.
3. Rukun
Pandangan serta konsep hanafiyyah ini berbeda dengan madzhab
lain, hanafiyyah hanya mengajukan satu rukun saja yaitu Ijab dari waqif.
Jika ijab tersebut sudah terealisasikan maka waqaf sudah menjadi sah.
4. Syarat
Dalam kitab ad-Darr al-mukhtar, al-Hashqai Syarat waqaf sebagai
berikut :
1) Wakif
Dengan kriteria merdeka, baligh serta tidak dalam fonis mahjur.
2) Mempunya kegunaan untuk ibadah
3) Mauquf bersifat ma‟lum
Jika mewakafkan harta yang majhul seperti mewakafkan sebagian
tanahnya tanpa menyebutkan kejelasannya saat ikrar waqaf maka
waqafnya tidak sah. Meskipun penjelasan diberikan setelah selesai
dari ikrar waqaf. Akan tetapi bila mewakafkan semua bagian miliknya
dari tanah tersebut tanpa menyebutkan luasnya berapa maka sah.
4) Tidak dita‟liq
Menggantungkan terhadap sesuatu yang akan datang seperti pada
ungkapan Jika datang hari besok atau jika tiba awal bulan atau jika
aku telah berbicara dengan si Zaid maka tanahku aku waqafkan.
Waqaf yang dimulai dengan ikrar yang semacam ini Batal. Akan
tetapi jika mengatakan “jika aku sembuh maka tanahku aku
waqafkan” maka wajib menyedekahkannya karena ini masuk dalam
ranah Nazar. Jika menggantungkan wakaf terhadap sesuatu yang telah
ada maka hukumnya sah karena dalam pandangan Hanafiyyah ta‟liq
terhadap sesuatu yang telah terwujud merupakan bagian dari bentuk
tanjiz. Contohnya jika tanah ini adalah milikku maka aku waqafkan
,jika ternyata tanah yang disebutkan adalah miliknya maka wakafnya
sah Akan tetapi jika tanah tersebut bukan milik Nya maka hukumnya
tidak sah.
5) Tidak menyandarkan waqaf terhadap masa setelah kematian waqif
Contohnya jika seseorang mengatakan: “Jika aku telah meninggal
maka aku waqafkan tanahku untuk keperluan orang ini”. Perkataan
tersebut tidak sah untuk menjadi waqaf akan tetapi perkataan tersebut
merupakan sebuah wasiat.
Beda halnya jika dia berkata “jika aku meninggal maka jadikanlah
tanahku itu sebagai tanah waqaf” Maka perkataan tersebut sah
menjadi waqaf.
6) Tidak dibatasi oleh waktu
Seperti contohnya mewaqafkan rumahnya dengan waktu 1 tahun.
7) Tidak ada syarat khiyar
Seperti jika waqif mengatakan aku waqafkan rumahku ini untuk
orang-orang miskin dengan syarat selama 3 hari maka wakafnya tidak
sah menurut Muhammad ibn al-hasan. Hal ini berdasarkan syarat yang
telah ditetapkan nya yakni syarat ta'lim atau sempurnanya penyerahan
agar hak waqif benar-benar lepas.
8) Tidak mensyaratkan penjualannya di kemudian hari lalu
mengalokasikan hasil penjualan untuk kebutuhan waqif.
5. Objek Wakaf
Objek wakaf dibagi menjadi dua yakni :
 Harta tidak bergerak
Bisa berupa tanah dan komoditi-komoditi yang tidak bisa
dipindahkan.
 Harta bergerak
Sebenarnya barang yang bergerak itu tidak sah untuk dijadikan waqaf
dikarenakan barang tersebut tidak bisa bertahan sampai datangnya hari
kiamat akan tetapi bisa diwaqafkan karena sebab-sebab sebagai
berikut:
1. Wakafnya bersamaan dengan harta tidak bergerak contohnya
mewakafkan
pekarangan dan hewan atau bangunan diatasnya.
2. Sering dijadikan objek wakaf oleh masyarakat seperti peralatan
memandikan jenazah.4

B. Wakaf Menurut Imam Malik


1. Pengertian
Menurut pendapat Imam Maliki, wakaf adalah pemilik harta
menjadikan hasil dari harta yang dia miliki (meskipun kepemilikan itu
dengan cara menyewa) kepada orang yang berhak menerimanya dengan
suatu sighat untuk suatu tempo yang dipertimbangkan oleh orang yang
mewakafkan. Sehingga si pemilik harta tidak bisa mengelola barang yang
dia miliki setelah barang tersebut diwakafkan. Menurut Imam Malik,
wakaf tidak disyariatkan untuk selamanya. Menurutnya juga, wakaf tidak-
lah memutus hak kepemilikan barang yang diwakafkan, namun hanya
memutus hak pengelolaanya saja.
2. Dalil
Imam Malik menjadikan dalil akan tetapnya kepemilikan harta yang
diwakfkan pada Hadits Umar. Dimana Rasulullah ‫ﷺ‬, bersabda kepadanya:
“jikau kau ingin, kau bisa menahan tanah itu dan menyedekahkan
hasilnya”. Dalam hadits diatas, menjelaskan mengenai sedekah dengan
hasil tanah tersebut. Namun, kepemilikan barang yang diwakafkan tetap
ada dalam tanggung jawab orang yang mewakafkan dan larangan segala
bentuk pengelolaan kepemilikan barang tesebut kepada orang lain.5
3. Rukun Dan Syarat
Rukun wakaf menurut Imam Malik dan juga ulama di kalangan
Malikiyah menyebutkan setidaknya ada empat rukun. Yaitu orang yang
mewakafkan, barang yang diwakafkan, pihak yang diberi wakaf dan
shigat. Hal ini dikarenakan bahwa rukun adalah sesuatu yang tidak akan
sempurna kecuali dengan sesuatu itu.6

C. Wakaf Menurut Imam Hambali


1. Pengertian
Menurut pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, wakaf adalah menahan
harta yang bisa dimanfaatkan sementara barang tersebut masih utuh,
dengan menghentikan sama sekali pengawasan terhadap barang tersebut
dari orang yang mewakafkan dan lainya, untuk pengelolaan yang
diperbolehkan untuk tujuan kebajikan dan kebaikan demi mendekatkan

4
KH. Abdulloh Kafabi, Fiqh waqaf dalam pandangan empat madzhab dan problematikanya,
Kediri: Santri Salaf Press 2017, hlm 76-96
5
Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu Jilid 10, (Damaskus: Darr Al-Fikr,
2007M/1428H), h. 272
6
Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, h. 275-276
diri kepada Allah. Sehingga dengan dasar ini, harta tersebut bisa terlepas
dari kepemilikan orang yang mewakafkan dan menjadi tertahan dengan
dihukumi milik Allah.7
2. Dalil
Yang menjadi dasar dari pendapat Imam Ahmad ini memiliki
kesamaan dengan pendapat dari mayoritas ulama lainya. Setidaknya ada
dua argumentasi pendapat Imam Hanbal.
1. Hadits Ibn Umar
‫ مل أصب ماال قط‬,‫ أصبت أرض خبيرب‬,‫ اي رسول هللا‬:‫أن عمر أصاب أرضا من أرض خيرب فقال‬
,‫ فتصدق هبا عمر‬,‫ إت شئت حبست أصلها وتصدقت هبا‬:‫أنفس عندي منه فما أتمرين؟’ فقال‬
‫ ال‬,‫ يف الفقراء وذوى القرىب والرقاب والضيف وابن السبيل‬,‫على أال تباع وال توهب وال تورث‬
‫جناح على من وليها أن أيكل منها ابملعروف ويطعم غري متمول‬
Diriwayatkan bahwa Umar mendapat tanah di Khaibar kemudian ia
bertanya “Rasulllah ‫ﷺ‬, aku mendapatkan tanah di Khaibar. Aku belum
pernah sama sekali mendapat harta sebaik ini, apa yang engkau
perintahkan kepadaku?” Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, “jika kau ingin, kau
bisa menahan (mewakafkan) tanah itu dan menyedekahkan hasil dari
tanah itu”. Maka, Umar menyedekahkan penghasilan dari tanah tersebut
dengan syarat ia tidak dijual, tidak dihibahkan, tidak pula diwariskan.
Sedekahitu diberikan kepada orang-orang fakir, sanak kerabat, budak,
tamu dan musafir. Orang yang mengawasi tanah tersebut tidak apa-apa
makan dari hasil tanah itu dengan pertimbangan yang bijak, memberi
makan dari hasil itu keada orang lain tanpa menyimpanya.8
Menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Barii, ia mengatakan bahwa Hadits
Umar ini adalah dasar dari legalitas dasar wakaf. Hal ini menunjukan
bahwa adanya laranga pengelolaan barang yang diwakafkan sebab ada
kata „menahan‟ dalam Hadits. Namun, yang perlu dicatat dalam hal ini
adalah bahwa hadits tersebut tidak menunjukan lepasnya barang yang
diwakafkan dari kepemilikan orang yang mewakafkan. Apa yang
dilakukan oleh umat Islam semenjak Islam berdiri sampai sekarang
menunjukan bahwa wakaf harta adalah untuk tujuan kebaikan dan
penghalangan untuk mengelolanya, baik terhadap orang yang
mewakafkan atau lainya. 9
3. Rukun Dan Syarat

7
Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, h. 271
8
Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, h. 271
9
Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, h. 272
Rukun daripada wakaf menurut Imam Ahmad bin Hanbal memiliki
perbedaan dimana tidak memasukan sighat sebagai rukun. Hal ini
sebagaimana yang dituturkan oleh al-Qadhi Abu Ya‟la yang mengatakan
bahwa sighat qabul bukan merupakan keabsahan wakaf atau syarat
memilikinya, baik pihak yang mendapatkan wakaf atau tidak.10

D. Wakaf Menurut Imam Syafi‟i


1. Pengertian

‫ ُيُح ِك ُن ِاالنحتِ َفاعُ بِِه َم َع بَ َق ِاء‬,‫س َم ٍال ُم َع نَّي قابل للنقل‬


ُ ‫س َو َش حر ًعا َححب‬
ُ ‫اْلَحب‬
‫الوقف ُه َو لُغَةً ح‬
11
‫ف فيه َعلَى أن يصرف يف جهة خري تقراب إىل هللا تعاىل‬ ِ ‫ وقطع التنصُّر‬,‫عينِ ِه‬
َ ‫َح‬
Artinya : Wakaf menurut bahasa menahan, menurut istilah
menahan harta yang ditentukan, yang bisa dipindah, bisa dimanfaatkan
dan tetap bentuk/wujud bendanya, serta putusnya pentasyarrufan pada
harta tersebut atas pentasyarrufan dalam kebaikan karena mendekatkan
diri kepada Allah
Wakaf menurut Mazhab Syafi‟i adalah menahan harta yang dapat
diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang tersebut
hilang kepemilikannya dari waqif, serta dimanfaatkannya pada sesuatu
yang dibolehkan12
Dari pengertian diatas, disimpulkan bahwa wakaf menurut Imam
Syafi‟i adalah melepas harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif
dan wakif tidak berhak untuk memanfaatkan atau melakukan apapun atas
harta yang telah diwakafkan. Dan jika wakif wafat, maka harta wakaf
tidak bisa diwariskan kepada ahli warisnya13
2. Rukun Dan Syarat
a. Wakif (Orang yang berwakaf)
 Merdeka
 Baligh, berakal, sadar
 Pemilik benda yang diwakafkan, tidak ada paksaan dari orang
lain
b. Mauquf (Objek yang diwakafkan)
 Dapat memberikan manfaat, serta tidak habis sekali pakai

10
Prof. Wahbah Az-Zuhaili, h. 276
11
86 ‫ ص‬,‫ شرح فتح القريب المجيب‬, ‫دمحم بن قاسم الغزى الشافي‬
12
Suhrawardi K.Lubis, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal 5
13
Juhaya S.Praja, Perawakafan Di Indonesia Sejara, Pemikiran, Hukum, Dan Perkembangannya
(Bandung, Yayasan PIARA, 1995) h.23
 Pemanfaatan harta itu bisa berlangsung terus-menerus tanpa
dibatasi waktu
 Milik sempuna waqif dan tidak terikat hak orang lain.
Apabila pemanfaatan harta itu tidak bersifat langgeng, seperti
makanan tidak sah wakafnya. Di samping itu, menurut mereka,
baik harta 38 bergerak, seperti mobil dan hewan ternak, maupun
harta tidak bergerak, seperti rumah dan tanaman, boleh
diwakafkan14
c. Mauquf Alaih (Penerima wakaf)
 Pihak yang menurut syariat dibolehkan melakukan transasksi
maupun orang dalam pengampuan
d. Shigot (Pernyataan dari pihak wakif yang menunjukan makna
mewakafkan)
Sighat (lafadz) atau pernyataan wakaf dapat dikemukakan
dengan tulisan, lisan atau suatu isyarat yang dapat dipahami
maksudnya. Lafadz Sighot ada 2 macam:
1. Lafadz yang jelas (sharih)
Dalam kitab Raudhah Al Thalibin15 Imam Nawawi berkata :
“Perkataan waqaftu (saya mewakafkan), habistu (saya menahan),
atau didermakan, semua itu merupakan lafal yang jelas, dan yang
demikian ini adalah yang paling benar sebagaimana ditegaskan
oleh mayoritas fuqaha
2. Lafadz kiasan (kinayah)
‫ وابدت‬,‫ وحرمت‬,‫تصدقت‬
Kalau lafal ini dipakai, harus dibarengi dengan niat wakaf. Sebab
lafadz “tashaddaqtu” bisa berarti shadaqah wajib seperti zakat dan
shadaqah sunnah. Lafadz “harramtu” bisa berarti dzihar, tapi bisa
juga berarti wakaf. Kemudian lafadz “abbadtu” juga bisa berarti
semua pengeluaran harta benda untuk selamanya. Sehingga
semua lafadz kiyasan yang dipakai untuk mewakafkan sesuatu
harus disertai dengan niat wakaf secara tegas 16
Dalam mazhab Syafi‟I harus adanya ijab qobul dari kedua belah
pihak jika wakaf ditujukkan kepada pihak/ orang tertentu17 Sighat

14
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Intermasa, 2003, cet 6, hlm.1906
15
Ibnu Qudama, Al Mughni, juz 6, dikutip oleh Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, op. cit,
hlm. 89
16
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Fiqih Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006,
hlm,65
17
Abdul Aziz Dahlan, hlm. 1907
(lafadz) atau pernyataan wakaf dapat dikemukakan dengan
tulisan, lisan atau suatu isyarat yang dapat dipahami maksudnya.

E. Penerapan Konsep Wakaf Imam Madzhab Dengan UU


Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf merupakan salah
satu dari regulasi wakaf di Indonesia, di samping regulasi wakaf lainnya,
termasuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Agama (PMA), dan
sebagainya. 18
Dalam Pasal 1 disebutkan tentang definisi wakaf bahwa; “wakaf adalah
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah”. Apabila diperhatikan definisi wakaf
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa: wakaf adalah suatu perbuatan
hukum dari pewakaf (wakif) untuk menyerahkan semua atau sebagian
hartanya untuk dimanfaatkan; pemanfaatan harta wakaf tersebut berlangsung
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu; peruntukan harta wakaf tersebut
digunakan untuk keperluan ibadah atau untuk kesejahteraan umum.
Dengan memperhatikan definisi wakaf dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf dan definisi wakaf yang disampaikan oleh empat
mazhab yang telah dicantumkan diatas, maka dapat dikatakan terdapat
pengaruh mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali terhadap pasal 1 ini.
Adapun wakifdalam kelanjutan Pasal 1 ini disebutkan bahwa “Wakif adalah
pihak yang mewakafkan harta benda miliknya”. Oleh karena definisi wakif
adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya, maka tentu ini sesuai
dengan pendapat Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali.19

Kesimpulan
Menurut Abu Hanifah waqaf ialah membekukan -tasaruf- suatu benda
untuk menyedekahkan manfaat guna kebaikan dengan menguhukumi benda
tersebut tetap menjadi hak milik waqif. Dengan kata lain hak milik mauquf ada
pada waqif, waqif boleh menariknya dan menjualnya hal tersebut dikarenakan
waqaf termasuk akad jaiz(tidak lazim) sama halnya dengan pinjam.
Menurut pendapat Imam Maliki, wakaf adalah pemilik harta menjadikan
hasil dari harta yang dia miliki (meskipun kepemilikan itu dengan cara menyewa)
kepada orang yang berhak menerimanya dengan suatu sighat untuk suatu tempo
yang dipertimbangkan oleh orang yang mewakafkan. Sehingga si pemilik harta
tidak bisa mengelola barang yang dia miliki setelah barang tersebut diwakafkan.

18
Fakhruddin, h.266
19
Fakhruddin, h.268
Menurut pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, wakaf adalah menahan harta
yang bisa dimanfaatkan sementara barang tersebut masih utuh, dengan
menghentikan sama sekali pengawasan terhadap barang tersebut dari orang yang
mewakafkan dan lainya, untuk pengelolaan yang diperbolehkan untuk tujuan
kebajikan dan kebaikan demi mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga dengan
dasar ini, harta tersebut bisa terlepas dari kepemilikan orang yang mewakafkan
dan menjadi tertahan dengan dihukumi milik Allah.
Wakaf menurut Mazhab Syafi‟i adalah menahan harta yang dapat diambil
manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang tersebut hilang
kepemilikannya dari waqif, serta dimanfaatkannya pada sesuatu yang dibolehkan.
Daftar Pustaka
Fakhruddin, Pengaruh Mazhab Dalam Regulasi Wakaf Di Indonesia, Jurnal
Hukum dan Syariah Vol. 10 No.2 Tahun 2019

Nur Azizah Latifah, Mulyono Jamal, Analisis Pelaksanaan Wakaf Di Kuwait,


Ziswaf; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)

Dr. Rosalinda, M.Ag. Manajemen Wakaf Produktf, jakarta: Rajagrafindo Persada,


2015

KH. Abdulloh Kafabi, Fiqh waqaf dalam pandangan empat madzhab dan
problematikanya, Kediri: Santri Salaf Press 2017

Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu Jilid 10, (Damaskus: Darr
Al-Fikr, 2007M/1428H)

‫ شرح فتخ القريب المجيب‬, ‫دمحم بن قاسم الغزى الشافي‬

Suhrawardi K.Lubis, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Sinar Grafika,


2010)

Juhaya S.Praja, Perawakafan Di Indonesia Sejara, Pemikiran, Hukum, Dan


Perkembangannya (Bandung, Yayasan PIARA, 1995)

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Intermasa, 2003, cet 6

Ibnu Qudama, Al Mughni, juz 6, dikutip oleh Muhammad Abid Abdullah Al-
Kabisi

Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Fiqih Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan


Wakaf, 2006

Anda mungkin juga menyukai