Anda di halaman 1dari 13

KONSEP DASAR WAKAF

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah Hukum Zakat Dan Wakaf

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 5

1. Hiryani (2120104042)
2. Wasti Irayani (2120104065)
3. Aldi Putra Pratama (2120104056)

Dosen Pengampu : Syarif Ali Akbar, M.S.I

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2023

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wakaf adalah bentuk perbuatan ibadah yang sangat mulia di mata Allah Swt
karena memberikan harta bendanya secara cuma–cuma, yang tidak setiap orang bisa
melakukannya dan merupakan bentuk kepedulian, tanggung jawab terhadap sesama
dan kepentingan umum yang banyak memberikan manfaat. Wakaf dikenal sejak masa
Nabi Muhammad Saw. Wakaf disyariatkan saat beliau hijrah ke Madinah, pada tahun
kedua Hijriah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi
Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf.
Menurut sebagian pendapat Ulama mengatakan bahwa yang pertama kali
melaksanakan wakaf adalah Nabi Muhammad Saw ialah wakaf tanah milik Nabi
Muhammad Saw untuk dibangun masjid.1 Kemudian ada pendapat sebagian Ulama
yang mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf adalah Umar
bin Khathab. Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan Umar bin Khathab
disusul oleh Abu Thalhah yang selanjutnya disusul oleh Abu Bakar, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Mu’adz bin Jabal, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar,
Zubair bin Awwam dan Aisyah isteri Nabi Muhammad Saw.1Di Indonesia, wakaf telah
dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk Indonesia pada
pertengahan abad ke-13 M atau kurang lebih 900 tahun yang lalu hingga sekarang,
yang merupakan salah satu sarana keagamaan yang erat hubungannya dengan sosial
ekonomi. Wakaf telah banyak membantu pembangunan secara menyeluruh di
Indonesia, baik dalam pembangunan sumber daya manusia maupun dalam
pembangunan sumber daya sosial. Tak dapat dipungkiri, bahwa sebagian besar rumah
ibadah, perguruan Islam dan Lembaga lembaga Islam lainnya dibangun di atas tanah
wakaf
2

1
Direktori Pemberdayaan Wakaf. Fiqih Wakaf (Dirjend Bimbingan Masyarakat Islam
Departemen Agama RI, Jakarta) 2007, hlm. 4

2
2
Ibid, Hlm. 5
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja rukun dan syarat wakaf ?
2. Apa yang di maksud dengan nazhir wakaf ?
3. Apa saja jenis-jenis wakaf ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui rukun dan syarat wakaf
2. Untuk mengetahui yang di maksud dengan nazhir wakaf
3. Untuk mengetahui jenis-jenis wakaf

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. RUKUN DAN SYARAT WAKAF


1. Rukun Wakaf
Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun wakaf ada empat yaitu : 1
a) Wakif (orang yang mewakafkan harta)
b) Mauquf bih (harta yang diwakafkan)
c) Mauquf ‘Alaih (pihak yang di tuju untuk menerima wakaf/peruntukan wakaf)
d) Shighat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan
sebagian harta bendanya).

Para Ulama berbeda pendapat dalam menentukan rukun wakaf. Perbedaan tersebut merupakan
implikasi dari perbedaan mereka memandang substansi wakaf. Jika pengikut Malikiyah, Syafi'iyah,
Zaidiyah dan Hanabilah memandang bahwa rukun wakaf terdiri dari waqif, mauqufalaih, mauquf bih
dansighat, maka hal ini berbeda dengan pandangan pengikut Hanafi yang mengungkapkan bahwa
rukun wakaf hanya lah sebatas sighat (lafal) yang menunjukkan makna/ substansi wakaf. 2

2. Syarat Wakaf

a) Syarat orang yang mewakafkan harta(wakif)

Orang yang mewakafkan (wakif) disyaratkan memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal
competent) dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak di sini meliputi empat (4) kriteria,
yaitu:

• Merdeka3
Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya) tidak sah, karena wakaf adalah
pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang lain. Sedangkan
hamba sahaya tidak mempunyai hak milik, dirinya dan apa yang dimiliki adalah kepunyaan
tuannya. Namun demikian, Abu Zahrah mengatakan bahwa para fuqaha sepakat, budak itu
boleh mewakafkan hartanya bila ada ijin dari tuannya, karena ia sebagai wakil darinya.
Bahkan
Adz-Dzahiri (pengikut Daud Adz-Dzahiri) menetapkan bahwa budak dapat memiliki sesuatu
yang diperoleh dengan jalan waris atau tabarru’. Bila ia dapat memiliki sesuatu berarti ia
dapat pula membelanjakan miliknya itu. Oleh karena itu, ia boleh mewakafkan, walaupun
hanya sebagai tabarru’ saja.
• Berakal sehat6
Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak berakal,
tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya. Demikian juga
wakaf orang lemah mental (idiot), berubah akal karena faktor usia, sakit atau kecelakaan,
1 Nawawi, Ar-Raudhah, (Bairut: Dar al-Kurub al-Ilmiah) IV, hal. 377 dan Asy-Syarbini, Mughni al Muhtaj, (Kairo:
Mushthafa Halabi), II, hal. 376
2 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, Depok: IIMan Press, hlm.87
3 Al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, (Bairut: Dar al-Fikr), Juz II, hal. 44
6
Asy-Syarbini, op cit., hal. 377

4
hukumnya tidak sah karena akalnya tidak sempurna dan tidak cakap untuk menggugurkan
hak miliknya.
• Dewasa (baligh)4
Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh), hukumnya tidak sah
karena ia dipandang tidak cakap. Melakukan akad dan tidak cakap pula untuk
menggugurkan hak miliknya.
• Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai)
Orang yang berada di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat
kebaikan (tabarru’), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah. Tetapi berdasarkan
istihsan, wakaf orang yang berada di bawah pengampuan terhadap dirinya sendiri selama
hidupnya hukumnya sah. Karena tujuan dari pengampuan ialah untuk menjaga harta
wakaf supaya tidak habis dibelanjakan untuk sesuatu yang tidak benar, dan untuk
menjaga dirinya agar tidak menjadi beban orang lain

b) Syarat Mauquf Bih (Harta yang diwakafkan)

Harta di pandang sah apabila memenuhi Syarat-syarat berikut:

• Harta yang diwakafkan harus mmutaqawwam (bisa di manfaatkan)


Latar belakang syarat ini lebih karena ditinjau dari aspek tujuan wakaf itu sendiri,
yaitu agar wakif mendapat pahala dan mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf) memperoleh
manfaat. Tujuan ini dapat tercapai jika yang diwakafkan itu dapat dimanfaatkan.
• Harta yang diwakafkan harus di ketahui dan di tentukan bendanya
Harta yang akan diwakafkan harus diketahui dengan yakin (ainun ma’lumun),
sehingga tidak akan menimbulkan persengketaan. Karena itu tidak sah mewakafkan yang
tidak jelas seperti satu dari dua rumah. 5 Serta Penentuan benda tersebut bisa ditetapkan
dengan jumlah seperti seratus juta rupiah, atau juga bisa menyebutkan dengan nisab
terhadap benda tertentu, misalnya separuh tanah yang dimiliki dan lain sebagainya. Wakaf
yang tidak menyebutkan secara jelas terhadap harta yang akan diwakafkan tidak sah
hukumnya seperti mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki, sejumlah buku, dan
sebagainya.
• Harta yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik orang yang berwakaf ketika
terjadi akad wakaf. dengan demikian jika seseorang mewakafkan benda yang bukan atau
belum miliknya, walaupun nantinya akan menjadi miliknya maka hukumnya tidak sah,
seperti mewakafkan tanah yang masih dalam sengketa atau jaminan jual beli dan lain
sebagainya.
• Harta yang di Wakafkan tidak terikat dengan harta lain

.
b) Syarat pihak yang di tuju untuk menerima wakaf

Syarat ini terbagi menjadi dua bagian yaitu, penerima tertentu dan penerima tidak
tertentu.

4 Ibid
5 Asy-Syarbini, loc cit., hal 377

5
• Mauquf alaih tertentu
Mauquf alaih tertentu dimaksudkan kepada satu orang, dua orang atau lebih dalam
jumlah yang telah ditetapkan. Yang jelas, memiliki kemampuan untuk memiliki pada saat
terjadinya prosesi wakaf. Oleh karena itu, tidak dibenarkan memberi wakaf kepada orang
yang tidak jelas sosoknya. Misalnya, akan mewakafkan kepada calon anaknya, padahal
dia sendiri belum memiliki anak. Atau kepada anaknya yang miskin, tapi tak seorang pun
anaknya yang miskin. Tidak dibenarkan juga berwakaf kepada orang gila, binatang,
burung- burung kecuali burung merpati yang banyak dijumpai disekitar Masjid Haram
Mekah,9 atau wakaf buat diri sendiri pun.
• Mauquf alaih tidak tertentu
Mauquf ini ditujukan kepada masyarakat umum. Hal ini didasarkan kepada aspek
berbuat baik untuk menggapai pahala dan ridha Allah, sebagaimana wakaf yang secara
umum dapat kita saksikan. Contohnya ialah seperti wakaf kepada orang-orang fakir dan
miskin, para mujahid, masjid-masjid, sekolah-sekolah, pengurusan jenazah, tempat
penampungan anak yatim piatu dan sebagainya.

b) Syarat Sighat ( pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk
mewakafkan sebagian harta bendanya)
Sighat (lafadz) atau pernyataan wakaf dapat dikemukakan dengan tulisan, lisan atau suatu
isyarat yang dapat dipahami maksudnya. Pernyataan dengan tulisan atau lisan dapat digunakan untuk
menyatakan wakaf oleh siapa saja, sedangkan cara isyarat hanya bagi orang yang tidak dapat
menggunakan dengan cara tulisan atau lisan. Tentu pernyataan dengan isyarat tersebut harus sampai
benar-benar dimengerti pihak penerima wakaf agar dapat menghindari persengketaan di kemudian
hari.10 Adapun lafadz sighat wakaf ada dua macam, yaitu:

• Lafadz yang jelas (sharih) yaitu Lafal wakaf bisa dikatakan jelas apabila lafal itu populer
sering digunakan dalam
transaksi wakaf. Ada tiga jenis lafal yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: al-waqf
(wakaf), al-habs (menahan), dan al-tasbil (bederma).11Bila lafal ini dipakai dalam ijab

9
Abd. Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Mu’amalat, h. 215
10
Elsa Kartika Sari, loc. cit.
11
Ibnu Qudama, Al Mughni, juz 6, dikutip oleh Muhammad Abid Abdullah Al- Kabisi, hlm. 89

6
wakaf, maka sahlah wakaf itu, sebab lafal tersebut tidak mengandung suatu pengertian
lain kecuali kepada wakaf. Selain ketiga bentuk ini, para fuqoha masih berselisih
pendapat. Ibnu Qudamah⁸ berkata: "Lafal-lafal wakaf yang sharih (jelas) itu ada tiga
macam yaitu: waqaftu (saya mewakafkan), habistu (saya menahan harta) dan sabbitu
(saya mendermakan).
• Lafaz kiasan (kinayah)
Kalau lafal ini dipakai, harus dibarengi dengan niat wakaf. Sebab lafadz
“tashaddaqtu” bisa berarti shadaqah wajib seperti zakat dan shadaqah sunnah.
Lafadz “harramtu” bisa berarti dzihar, tapi bisa juga berarti wakaf Kemudian lafadz
“abbadtu” juga bisa berarti semua pengeluaran harta benda untuk selamanya. Sehingga
semua lafadz kiyasan yang dipakai untuk mewakafkan sesuatu harus disertai dengan niat
wakaf secara tegas

B. NAZHIR WAKAF
1. Pengertian Nazhir Wakaf
Nazhir adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap harta wakaf yang
dipercayakan padanya, baik menyangkut pemeliharaan harta wakaf, maupun terhadap
hasil dan upaya-upaya pengembangannya. Setiap kegiatan nazhir terhadap harta wakaf
harus dalam pertimbangan kesinambungan harta wakaf dengan mengalirkan manfaatnya
untuk kepentingan mauqûf ‘alaih. Karena itu, peran para nazhir bukan cuma
memobilisasi dana wakaf dan langsung membelanjakannya sebagai sedekah, tetapi
mewujudkannya terlebih dahulu menjadi aset, lalu mengelolanya secara produktif baru
memanfaatkan hasilnya sebagai sedekah. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 pasal
11 juga menyebutkan bahwa nazhir meliputi perseorangan, organisasi, atau badan
hukum, yang bertugas melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan
mengembangkan harta wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya. Selain
itu, nazhir juga bertugas mengawasi dan melindungi harta wakaf serta melaporkan
pelaksanaan tugasnya kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI).6

2. Peran Nadzir dalam Pengembangan Wakaf

6 Tuti. A. Najib, dan Ridwan al-Makassary, Wakaf, Tuhan, dan


Agenda Kemanusiaan, (Jakarta: CSRS UIN Jakarta,2006), h.
96-98.

7
Begitu besar keutamaan dan manfaat wakaf bagi kehidupan masyarakat dan
peningkatan taraf hidup serta kesejahteraan dalam berbangsa dan bernegara. Jika wakaf
didayagunakan dengan baik dan benar maka kesejahteraan umat bukanlah sesuatu yang
muhal. Di Indonesia aset wakaf terbilang besar. Berdasarkan data yang dihimpun
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Departemen Agama Republik Indonesia, sampai dengan
2009 aset tanah wakaf yang terdata di seluruh wilayah Indonesia terletak pada 367,438
lokasi dengan luas 2.719.854.759,72 meter persegi. Dari total jumlah tersebut, 75% di
antaranya sudah bersertifikat wakaf dan 10 % memiliki potensi ekonomi tinggi
(Direktorat Pemberdayaan Wakaf Depag RI, 2009). Sayangnya, potensi itu masih belum
dimanfaatkan secara optimal dalam menyejahterakan rakyat dan memperkuat
perekonomian bangsa Indonesia. Lembaga kenadziran memiliki peran sentral dalam
pengelolaan harta wakaf secara umum. Oleh karena itu eksistensi dan kualitas SDM
nadzir harus betul-betul diperhatikan. Nadzir (baik perorangan, organisasi maupun badan
hukum) haruslah terdiri dari orang-orang yang berakhlak mulia, amanah, berkelakuan
baik, berpengalaman, menguasai ilmu administrasi dan keuangan yang dianggap perlu
untuk melaksanakan tugastugasnya sesuai dengan jenis wakaf dan tujuannya. Secara
umum, pengelolaan wakaf dapat terarah dan terbina secara optimalapabila nadzirnya
amanah (dapat dipercaya) dan profesional. Karena dua hal ini akan menentukan apakah
lembaga tersebut pada akhirnya bisa dipercaya atau tidak. Nadzir dapat dikatakan
sebagai lembaga yang Amanah jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Pertama, tanggung jawab tanpa adanya rasa tanggung jawab pada badan
pengelola atau nadzir, maka harta yang dipercayakan kepadanya akan terbengkalai dan
tidak terurus. Oleh karena itu, setiap orang yang dipercaya menduduki lembaga
kenadziran harus dipastikan bahwa orang tersebut memiliki tanggung jawab moral,
sehingga di kemudian hari tidak akan terjadi kesewenangan, penyimpangan dan atau
ketidakmampuan manajemen dalam pengelolaan wakaf. Aspek tanggung jawab oleh
seorang nadzir menjadi kunci yang paling pokok dari seluruh rangkaian dunia
perwakafan. Jika rasa tanggung jawab ini tidak dimiliki oleh orang atau lembaga nadzir,
maka wakaf hanya akan menjadi institusi keagamaan yang tidak berfungsi apa-apa.

8
Kedua, efisien. Salah satu dari inti pengelolaan organisasi dan kelembagaan
nadzir adalah efisien. Tanpa adanya efisiensi, lembaga kenadziran tidak akan optimal
dalam pengelolaan dan pemberdayaan wakaf. Efisiensi di sini meliputi penggunaan biaya
administrasi dan kegiatan yang terkait dengan aspek pembiayaan dalam pengelolaan
harta wakaf.
Ketiga, rasional. Syarat ini merupakan prinsip pokok dalam ketatalaksanaan
organisasi, demikian juga dalam pengelolaan dan pemberdayaan harta wakaf. Oleh
karena itu, rasionalitas kebijakan dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan harta
wakaf menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan. Pola pengelolaan yang didasarkan pada
aspek irrasional, seperti kepercayaan yang bersifat klinis dan emosional, maka akan
menghambat laju perkembangan wakaf secara umum. Salah satu aspek rasional yang
tidak kalah pentingnya adalah menempatkan seseorang sesuai dengan kapasitas bidang
yang dimiliki, bukan karena hubungan emosional dan nepotisme7

C. JENIS - JENIS WAKAF


1. Berdasarkan Peruntuan
a. Wakaf ahli (wakaf Dzurri/wakaf ’alal aulad) yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi
kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga, dan lingkungan kerabat
sendiri.8 Wakaf ahli atau biasa disebut dengan wakaf keluarga adalah wakaf yang
dilakukan kepada keluarganya dan kerabatnya. Wakaf ahli dilakukan berdasarkan
hubungan darah atau nasab yang dimiliki antara wakif dan penerima wakaf. Di
beberapa negara, amalan wakaf ahli ini sudah dihapus seperti di Turki, Lebanon,
Syria, Mesir, Irak dan Libya. Wakaf ahli ini dihapus karena beberapa faktor seperti
tekanan dari penjajah, wakaf ahli dianggap melanggar hukum ahli waris, selain itu
wakaf ahli dianggap kurang memberi manfaat yang banyak untuk masyarakat umum.
Di Indonesia, wakaf ahli masih berlaku, begitu juga di Singapura, Malaysia dan
Kuwait. Hal ini dianggap karena bisa mendorong orang-orang untuk berwakaf. Di
Indonesia, wakaf ahli juga tertulis dalam Undang-Undang nomor 42 tahun 2006 Pasal
30. Di dalam Undang-Undang dituliskan bahwa,

7 (Departemen Agama, 2007


: 105-106)
Departemen Agama, 2008, Model Pengembangan Wakaf Produktif, Jakarta:
Direktorat Wakaf.
8 Syaputri Febrina Sari, “Jenis-Jenis Wakaf Yang Wajib Diketahui,” Jurnal Ziswaf, 2021, 1

9
‘Wakaf ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperuntukkan bagi kesejahteraan
umum sesama kerabat berdasarkan hubungan darah (nasab) dengan Wakif.’
‘Dalam hal sesama kerabat dari wakaf ahli telah punah, maka wakaf ahli karena
hukum beralih statusnya menjadi wakaf khairi yang peruntukannya ditetapkan oleh
Menteri berdasarkan pertimbangan BWI.

Misalnya: wakaf rumah yang hanya boleh ditempati oleh anak cucu; wakaf produktif
yang hasilnya hanya untuk anak cucu; dan lain-lain.
b. Wakaf Khairi (kebajikan) adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama
(keagamaan) atau
kemasyarakatan (kebajikan umum).
Misalnya: wakaf masjid; wakaf produktif yang hasilnya untuk beasiswa pelajar
miskin; dan lain-lain.
c. Wakaf musytarak adalah wakaf yang mana penggunaan harta wakaf tersebut
digunakan secara
bersama-sama dan dimiliki oleh kegerunan si pewakaf. Wakaf Musytarak merupakan
wakaf yang manfaatnya ditujukan untuk keturunan wakif dan masyarakat umum,
contohnya yaitu yayasan digunakan oleh masyarakat luas.9
Misalnya: wakaf Sayyidina Umar berupa kebun di Khaibar yang manfaatnya diterima
oleh kerabat beliau dan masyarakat.
2. Berdasarkan Jenis Harta
a. Benda tidak bergerak
Selain wakaf di atas, wakaf juga dibagi menjadi wakaf berdasarkan jenis harta.
Salah satunya adalah wakaf benda tidak bergerak. harta-harta yang dimaksud adalah
bangunan, hak tanah, tanaman dan benda-benda yang berhubungan dengan tanah.
b. Benda bergerak selain uang
Ada juga wakaf benda bergerak selain uang yaitu benda-benda yang bisa
berpindah seperti kendaraan.10
3. Benda bergerak berupa uang (wakaf tunai dan cash wakaf).
4. Berdasarkan Waktu
a. Muabbad, wakaf yang diberikan untuk selamanya

9 BWI, “Ada 3 Jenis Wakaf Berdasarkan Peruntukkan Yang Perlu Anda Ketahui!,” BADAN WAKAF
INDONESIA, 2021, 1
10 Ahmad, “Pengertian Wakaf: Jenis, Rukun, Saksi Dan Keutamaan Berwakaf,”

10
b. Mu’aqqot, wakaf yang diberikan dalam jangka waktu tertentu
5. Berdasarkan Penggunaan Harta yang Diwakafkan
a. Ubasyir/dzati; harta wakaf yang menghasilkan pelayanan masyarakat dan bisa
digunakan
secara langsung seperti madrasah dan rumah sakit.
b. Mistitsmary,

yaitu harta wakaf yang ditunjukan untuk penanaman modal dalam produksi
barang-barang dan pelayanan yang dibolehkan syara’ dalam bentuk apapun kemudian
hasilnya diwakafkan sesuai keinginan pewakaf.11

11 Sari, “Jenis-Jenis Wakaf Yang Wajib Diketahui.”

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari materi di atas dapat di simpulkan beberapa hal, yaitu;

1) Rukun wakaf dan Syarat wakaf


a. Wakif (orang yang mewakafkan harta)
b. Mauquf bih (harta yang diwakafkan)
c. Mauquf ‘Alaih (pihak yang di tuju untuk menerima wakaf/peruntukan wakaf)
d. Shighat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian
harta bendanya).
e. Orang yang mewakafkan harta syaratnya adalah merdeka,berakal sehat,dewasa, tidak di
bawah pengampuan
f. Syarat Mauquf Bih (Harta yang diwakafkan) harus mmutaqawwam (bisa di manfaatkan),
harus di ketahui dan di tentukan bendanya, Harta yang diwakafkan benar-benar telah
menjadi milik orang yang berwakaf ketika terjadi akad wakaf, tidak terikat dengan harta
lain,
g. Syarat pihak yang di tuju untuk menerima wakaf ialah Mauquf alaih tertentu
dimaksudkan kepada satu orang, dua orang atau lebih dalam jumlah yang telah
ditetapkan, Mauquf alaih tidak tertentu Mauquf ini ditujukan kepada masyarakat umum.
h. Syarat Sighat ialah Lafadz yang jelas (sharih) dan Lafaz kiasan (kinayah) Kalau lafal ini
dipakai, harus dibarengi dengan niat wakaf.

2) Pengertian Nazhir Wakaf


Nazhir adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap harta wakaf yang
dipercayakan padanya, baik menyangkut pemeliharaan harta wakaf, maupun terhadap hasil
dan upaya-upaya pengembangannya.
3) Jenis – jenis Wakaf
a. Berdasarkan Peruntuan ada Wakaf ahli (wakaf Dzurri/wakaf ’alal aulad), Wakaf Khairi
(kebajikan), Wakaf musytarak.
b. Berdasarkan Jenis Harta yakni ada benda tidak bergerak dan benda bergerak selain uang.
c. Benda bergerak berupa uang (wakaf tunai dan cash wakaf).

12
d. Berdasarkan Waktu yakni ada mu’abbad dan mu’aqqot
e. Berdasarkan Penggunaan Harta yang Diwakafkan yakni ada wakaf Ubasyir/dzati dan
Mistitsmary,

DAFTAR PUSTAKA

Maskur, Gunawan S, 2005. Unsur-unsur dan Syarat Wakaf dalam Kajian Para Ulama dan
UndangUndang di Indonesia.
Jurnal (2018) keislaman, kemasyarakatan dan kebudayaan 19 No. 2
Rahman Fudhail M.2009 Wakaf Dalam Islam. Al-iqtishad 01 No. 1 BWI.
(2019). Buku Pintar Wakaf. Jakarta: Badan Wakaf Indonesia.

Jumaria, Khaerunnisa, I., & Mega, W. T. (2021). Prinsip-prinsip dan Jenis-jenis Wakaf. Jurnal
Ekonomi Syariah, 6.

Syaputri Febrina 2021 “Jenis-Jenis Wakaf Yang Wajib Diketahui,” Jurnal Ziswaf,

Nuruddin, M. 2014. “Transformasi Hadis-hadis Zakat dalam Mewujudkan Ketangguhan

Ekonomi Pada Era Modern”, Jurnal Zakat dan Wakaf, Vol. 1 No.2

Juhaya S. Pradja dan Mukhlisin Muzarie, Pranata Ekonomi Islam Wakaf,

Yogyakarta: Dinamika, 2009

13

Anda mungkin juga menyukai