Anda di halaman 1dari 11

SYARAT-SYARAT WAKIF

Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih Wakaf Dan
Manajemen Wakaf

Dosen Pengampuh :
Dra.Hj.Ratna Ningsih,M.Pd.I

Di susun oleh :
Desi
Fitri yuliani

PRODI/JURUSAN
AKHWAL SYAKHSIYYAH /SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MEMPAWAH
( STAIM )
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada
waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen Pengampu  yang telah


memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Kami menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Mempawah, 9 April 2023

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR I

DAFTAR ISI II

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Tinjauan fikih mengenai wakif 4


B. Syarat-syarat wakif 5

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan 8
B. Saran 8

DAFTAR PUSTAKA

II
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai sebuah akad, wakaf memerlukan syarat dan rukun. Dari


kitab-kitab fiqh, rukun-rukun wakaf menurut selain mazhab Hanafi terdiri
dari wakif (orang yang berwakaf), maukuf ‘alaih (orang yang
mendapatkan manfaat dari wakaf), mauquf (harta yang diwakafkan) dan
shighat wakaf.
Makalah ini tidak akan membahas semua rukun wakaf tersebut.
Pembahasan dalam makalah ini dibatasi pada satu subjek wakaf yang
sangat penting dalam fiqh wakaf, yaitu wakif. Wakif adalah orang yang
mengeluarkan harta wakaf dalam rangka taqorrub kepada Allah. Ia adalah
pihak yang menjadi sumber bagi proses wakaf dan pihak yang paling
mengetahui maksud atau makna di balik wakaf yang dikeluarkannya itu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tinjauan fikih mengenai wakif?
2. Apa saja syarat-syarat wakif?
C. Tujuan Penulisan
Dengan selesainya bacaan ini kami harap dapat sedikit membantu
pembaca untuk mengetahui apa-apa yang akan kami bahas dalam makalah
ini, baik dari segi bahasa maupun praktiknya.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Fikih Mengenai Wakif


Pembahasan mengenai wakif meliputi syarat-syarat sahnya
menjadi wakif yang dirangkai dengan beberapa permasalahan seputar
wakif yang mengalami kondisi kondisi tertentu serta sejauh mana
keharusan mengikuti syarat-syarat yang ditetapkan wakif pada saat akad
wakaf.
Sejauh penelusuran penulis dalam kitab-kitab wakaf, terdapat
kesepakatan ulama mengenai sifat wakaf sebagai akad tabarru, yaitu akad
di mana prestasi hanya dari salah satu pihak (Anwar, 2007: 83). Karena
termasuk dalam kategori akad tabarru’, maka syarat seorang wakif adalah
memiliki kecakapan melakukan tindakan tabarru, yaitu sehat akalnya,
dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa/dipaksa, dan telah
mencapai umur baligh. Selain itu, wakif harus benar-benar pemilik harta
yang telah diwakafkan. Berdasarkan syarat ini, maka orang gila, anak-
anak, dan orang yang terpaksa/dipaksa, tidak sah melakukan tindakan
wakaf. (Rofiq, 1995: 493-494). Mengutip dari Ahmad Rofiq (1995: 494),
pasal 215 (2) KHI dan pasal 1 (2) disebutkan “wakif adalah orang atau
orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya”
Pasal 217 menjelaskan syarat-syarat wakif tersebut, yaitu:
1. Badan-badan Hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah
dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk
melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan
benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. 2. Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak
untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum (ps.
3 PP No. 28/1977).
Dalam kaitan ini tidak ada ketentuan yang mengharuskan seorang
wakif haruslah seorang muslim. Oleh sebab itu, orang nonmuslim pun

4
dapat melakukan wakaf, sepanjang ia melakukannya sesuai dengan
ketentuan ajaran Islam, dan perundang-undangan yang berlaku. (Rofiq,
1995: 494)

Sebagai akad tabarru’, maka dalam pelaksanaan wakaf tidak


diperlukan adanya qobul dari pihak yang menerimanya (Rofiq, 1995: 494).
Meskipun tidak memerlukan qobul, Rofiq (1995: 494) menganjurkan agar
pelaksanaan wakaf diikuti dengan bukti tertulis agar tindakan hukum
wakaf tersebut mempunyai kekuatan hukum sekaligus menciptakan tertib
administrasi.

Al-Kabisi (2003: 217) menyebutkan dua syarat yang berhubungan


dengan wakif, yaitu pertama, syarat yang berhubungan dengan kecakapan
bagi wakif dan kedua, syarat yang berhubungan dengan pelaksanaan atau
penyerahan harta dari wakif.

B. Syarat-syarat wakif
1. Syarat wakif yang berhubungan dengan kecakapan
a. Wakif harus orang yang berakal atau sehat akal.
b. Dewasa (baligh)
c. Tidak dalam tanggungan, karena boros dan bodoh.
d. Bukan paksaan dari orang lain(kemauan sendiri)
e. Merdeka
2. Syarat wakif yang berhubungan dengan pelaksanaan wakaf
a. Wakif tidak terikat dengan hutang.
Wakaf orang berhutang adalah sah selama belum masa
pengampuan (pengawasan) dan dalam kondisi sehat, serta tidak
ada maksud ia akan menundanunda pelunasannya. Alasannya,
harta tersebut adalah miliknya sendiri. (al Kabisi, 2004: 231).
Sebagian mazhab Hanafi mengatakan wakaf tersebut
hukumnya tidak sah, jika wakaf itu akan mempersulit pelunasan
hutang-hutang tersebut, sehingga orang yang dihutangi dapat

5
mengajukan permohonan agar wakaf tersebut dibatalkan, sebelum
ia bebas dari hutang-hutang tersebut. (al-Kabisi, 2004: 232).
Berbeda dengan pendapat tersebut adalah pendapat dalam mazhab
Maliki yang mengatakan bahwa wakaf orang berhutang hukumnya
tidak sah. Namun sebagian ulama mazhab Maliki menjelaskan
bahwa maksud tidak sah atau batal dalam hal ini adalah tidak
sempurna, sehingga dapat dikatakan dengan bahasa lain bahwa
wakafnya tetap sah, tetapi tidak sepantasnya atau tidak perlu. (al-
Kabisi, 2004: 232).
Pendapat yang terakhir ini yang dipilih al-Kabisi (2004:
235), yaitu bahwa orang yang berhutang tidak selayaknya
mewakafkan hartanya, baik ia dalam keadaan sehat maupun sakit,
dan baik sebelum pengampuan ataupun sesudahnya.
b. Wakaf orang yang menderita sakit keras.
Makna dari sakit keras atau parah dalam hal ini adalah penyakit
yang
menyebabkan kematian atau penyakit yang sangat menakutkan. (al-
Kabisi, 2004: 235). Dalam masalah ini, kajian fiqh berkisar tentang
perbuatan orang yang sedang sakit tersebut jika perbuatannya itu
mengarah kepada kematian. Dan jika ternyata setelah itu, dia sehat
kembali maka semua perbuatannya berlaku, meskipun kemudian ia
meninggal karena penyakit lainnya lagi. Oleh karena itu
pembahasan ini mendiskusikan hukum orang yang mewakafkan
hartanya pada saat dia sakit keras atau parah, kemudian meninggal
dunia akibat sakitnya itu. (abd al-Baqy, 2006: 47)
Al-Kabisi (2004: 236) menyimpulkan dari kajiannya
terhadap kitab-kitab fiqh dalam masalah ini, ulama sepakat bahwa
perbuatan penderita sakit dalam kondisi seperti itu dipandang
sebagai wasiat sehingga diatur dengan syarat dan ketentuan yang
berlaku pada hukum wasiat. Namun, mazhab Zahiri
mengesampingkan perbedaan dalam menyikapi perbuatannya pada

6
saat sakit parah seperti itu dan pada saat sehat, sehingga perbuatan
orang itu tetap sah menurut hukum. Sedangkan mayoritas ulama
memahami bahwa penderita sakit itu sama dengan wasiat sehingga
hartanya terkait dengan hutang dan sedekahnya hanya dilaksanakan
sejumlah sepertiga dari hartanya.
Mengenai hukum wakaf baginya, mengikuti alur pikir al-
Kabisi (2004: 238), harus dilihat apakah orang itu memiliki hutang
atau tidak. Jika ia masih memiliki hutang dan ternyata seluruh
hartanya hanya cukup untuk melunasi hutang tersebut, maka
menurut logika jumhur ulama tersebut, wakafnya batal dan diganti
untuk membayar hutang. Sedangkan jika hutangnya tidak
mencakup seluruh hartanya, maka wakafnya dikurangi sejumlah
hutang yang ditanggungnya. Jika harta wakafnya sudah bersih dari
hutang, maka dibedakan apakah penerima wakaf itu ahli warisnya
atau bukan. Jika penerima wakaf tidak termasuk ahli waris, maka
harta yang boleh diwakafkan sejumlah harta yang boleh
dilaksanakan dalam wasiat, yaitu sepertiga. Jika wakafnya melebihi
sepertiga dari seluruh hartanya, maka wakafnya tetap sah namum
pelaksanaannya tergantung kepada ahli waris. Jika mereka
menyetujuinya maka wakafnya sah dan dilaksanakan. Tetapi, jika
tidak maka wakafnya hanya berlaku sepertiga. Jika penerima wakaf
adalah ahli waris, maka wakafnya sah, meskipun meliputi seluruh
hartanya. Namun pada saat jumlah wakafnya melebihi sepertiga,
maka pelaksanaan wakafnya bergantung kepada persetujuan ahli
waris yang lain. Jika mereka menolak, maka wakaf yang
dilaksanakan hanya sepertiga saja, dan dua pertiganya menjadi hak
ahli waris. Hak ahli waris ini tidak boleh dihalangi dengan
tindakan wakaf tersebut, sebab tindakan wakaf yang merugikan
bagi ahli waris maka wakafnya batal karena bertentangan dengan
maksud dari wakaf itu sendiri, yaitu taqorrub kepada Allah,

7
sedangkan wakaf yang merugikan hak ahli waris justru perbuatan
yang menjauhkan wakif dari niatnya. (Sabiq, 1412: 457)

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa akad wakaf
termasuk akad tabarru’, sehingga syarat seorang wakif adalah memiliki
kecakapan melakukan tindakan tabarru, yaitu sehat akalnya, dalam keadaan
sadar, tidak dalam keadaan terpaksa/dipaksa, dan telah mencapai umur
baligh. Selain itu, wakif harus benar-benar pemilik harta yang telah
diwakafkan. Berdasarkan syarat ini, maka orang gila, anak anak, dan orang
yang terpaksa/dipaksa, tidak sah melakukan tindakan wakaf.
B. Saran
Penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dari makalah ini.
Maka dari itu kami berharap saudara bisa menegur dan memberi masukan
terhadap kurang dan salahnya makalah kami, Adapun nantinya penulis akan
segera melakukan perbaikan susunan makalah ini dari beberapa sumber dan
kritik yang membangun dari para pembaca.

9
DAFTAR PUSTAKA

Djunaidi, Ahmad, dkk, (2008), Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta:


Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, (2007), Undang-Undang


Nomor 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006
Tentang Pelaksanannya, Jakarta: Departemen Agama RI

Rofiq, Ahmad, (1995), Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press.

Sabiq, Sayyid, 1412, Fiqh al-Sunnah, Cairo:Dar al-Fath Li al-I'lam al-Araby.

Sari, Elsi Kartika, 2006, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, Jakarta: Penerbit PT
Grafindo

10

Anda mungkin juga menyukai