Anda di halaman 1dari 19

WAKAF DAN WASIAT (FIQH)

DI
S
U
S
U
N
OLEH:

NAMA : MUHAMMAD AIDARUS


UNIT :1
SEM :2
PRODI : PAI
DOSEN : SITI HAWA, MA

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)


AL HILAL SIGLI
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan nikmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul: “wakaf dan wasiat (fiqh)”. Shalawat
dan salam kita panjatkan kehadirpat Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.

Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan


dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
sebanyak-banyaknya kepada Dosen Pembimbing, atas bimbingan kepada penulis
sehingga tersusunnya makalah ini semoga makalah ini dapat bermanfaat bagai
semua pihak. Penulis menyadari, dalam penulisan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritikan dan
saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan di
masa akan datang.

Sigli, Juni 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i


DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I........................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................... 2
C. Tujuan penulisan....................................................................................... 2
BAB II ...................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ....................................................................................................... 3
A. Wakaf ......................................................................................................... 3
B. Wasiat......................................................................................................... 8
BAB III ................................................................................................................... 15
PENUTUP .............................................................................................................. 15
A. Kesimpulan .............................................................................................. 15
B. Saran ........................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Secara sederhana wasiat diartikan dengan “Penyerahan harta kepada pihak
lain yang secara efektif berlaku setelah mati pemiliknya”. Dari kata “penyerahan
harta kepada pihak lain”, wasiat itu termasuk dalam lingkup hibah. Namun karena
harta yang diserahkan itu baru dimiliki oleh yang menerima setelah matinya
pemilik, dia merupakan pemberian dalam bentuk khusus. Perbedaannya dengan
warisan – meskipun sama-sama dimiliki setelah matinya pemilik – ialah bahwa
dalam wasiat peralihan harta atas kehendak si pemilik yang diucapkannya semasih
hidup, pada warisan tidak ada kehendak dari pemilik harta selama dia masih
hidup.
Adapun hikmah dan tujuan hukum dari wasiat ini adalah manfaat bagi
sesama hamba Allah dan tidak ada pihak yang dirugikan. Dengan cara ini umat
akan mendapatkan kemudahan dari tindakan ini. Di samping itu, wakaf dalam arti
kata ialah menahan dan menghentikan. Secara terminology diartikan dengan
“menghentikan pengalihan hak atas suatu harta dan menggunakan hasilnya bagi
kepentingan umum sebagai pendekatan diri kepada Allah”. Walaupun bentuk
nyatanya wakaf itu menyerahkan harta kepada orang lain dan oleh karenanya
dapat disebut pemberian, namun ia mempunyai bentuk tersendiri dengan nama
sendiri. Menghentikan pengalihan hak mengandung arti tidak dapat lagi dijual,
dihibahkan dan diwariskan oleh orang yang punya. Dengan demikian dia berarti
sudah lepas dari yang punya; namun dia tidak lagi dimiliki oleh siapa-siapa.
Karena itu barang yang diwakafkan itu telah menjadi milik Allah sebagai pemilik
mutlak dari harta. Karena hasilnya digunakan untuk kepentingan umum sebagai
pendekatan diri kepada Allah, dia menyerupai shadaqah. Dia berbeda dengan
shadaqah dalam beberapa hal, pertama yang dimiliki oleh yang menerima waqaf
hanyalah manfaatnya dan bukan bendanya. Kedua: pahala yang didapat dari yang
memberi shadaqah hanyalah sekali waktu memberikannya, sedangkan pahala
yang diterima oleh yang berwakaf adalah berkepanjangan selama barang tersebut

1
dimanfaatkan oleh orang lain. Oleh karena itu, wakaf itu disebut juga “shadaqah
yang mengalir terus”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu wakaf ? dan bagaimana dasar hukum dan rukun serta syarat-
syaratnya?
2. Apa itu wasiat ? dan bagaimana dasar hukum dan rukun serta syarat-
syaratnya?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui Apa itu wakaf, dan dasar hukum dan rukun serta
syarat-syaratnya.
2. Untuk mengetahui Apa itu wasiat, dan dasar hukum dan rukun serta
syarat-syaratnya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Wakaf
1. Pengertian Wakaf
Secara etimologi, wakaf berasal dari “Waqf” yang berarti “al-Habs”.
Merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya
berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan
harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk
faedah tertentu. Dalam pengertian hukum Islam wakaf adalah melepas
kepemilikan atas harta yang dapat bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya
untuk diserahkan kepada perorangan atau kelompok (organisasi) agar
dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan dengan syari’at.
Wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan
menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan
untuk tujuan kebajikan. Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan
harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan
artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala
perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset
hartanya.
Wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun
pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak
dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan
Wakif. Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang
atau tempat yang berhak saja.
Wakaf dengan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi
bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh
Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah. Golongan
ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya
(al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat
diambil manfaatnya secara berterusan.

3
Wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan
menyedekahkan manfaat yang dihasilkan. Itu menurut para ulama ahli fiqih.
Wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta
benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan
umum. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, bantuan kepada fakir miskin.

2. Dasar Hukum Wakaf


Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf
secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang
digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada
keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah.
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk
lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S al-Baqarah:267).

           

             

     

Artinya : "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),


sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan
apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah
mengetahuinya." (Q.S ali Imran:92).
Adapun Hadis yang menjadi dasar dari wakaf yaitu Hadis yang
menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika menerima tanah di
Khaibar.
Bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar,
kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah saw. untuk meminta petunjuk. Umar

4
berkata: "Hai Rasulullah saw., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya
belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan
kepadaku?" Rasulullah saw. bersabda: "Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya)
tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). "kemudian Umar mensedekahkan
(tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak di wariskan.
Ibnu Umar berkata: "Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada
orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu.
Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya
dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan
tidak bermaksud menumpuk harta" (HR. Muslim).
Dalil Ijma' :Imam Al-Qurthuby berkata: Sesungguhnya permasalahan wakaf
adalah ijma (sudah disepakati) diantara para sahabat Nabi; yang demikian
karena Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Aisyah, Fathimah, Amr ibn Al-Ash, Ibnu
Zubair, dan Jabir, seluruhnya mengamalkan syariat wakaf, dan wakaf-wakaf
mereka, baik di Makkah maupun Madinah, sudah dikenal masyhur oleh khalayak
ramai. (Lihat: Tafsir Al-Qurthuby: 6/339, Al-Mustadrah 4/200, Sunan Al-
Daraquthny 4/200, Sunan Al-Baihaqy 6/160, Al-Muhalla 9/180).1

3. Rukun dan Syarat-Syarat Wakaf


Rukun wakaf ada empat, yaitu: pertama, orang yang berwakaf (al - wakif).
Kedua, benda yang diwakafkan (al - mauquf). Ketiga, orang yang menerima
manfaat wakaf (al – mauquf ‘alaihi). Keempat, lafaz atau ikrar wakaf (sighah).

a. Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif)


Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini
mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk
mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah
orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang
sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang
yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh,

1
Abdul Gani Abdullah, Wakaf Produktif (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008) hal..2

5
orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan
hartanya.

b. Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)


Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila
ia memenuhi beberapa persyaratan; pertama barang yang diwakafkan itu
mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah
diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul),
maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang
diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat,
harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan)
atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).2

c. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih)


Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua
macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan).
Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf
itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu
dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat
berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang
sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang
yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah
orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang
muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki
harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah
menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan;
pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat
menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan
diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam
saja.

2 2
Didin hafidhuddin, hukum wakaf …, hal. 148

6
d. Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah)
perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi
kata-kata yang menunjukan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan
dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera
(tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga,
ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang
membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka
penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak
dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan
penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum
ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
4. Jenis-Jenis Wakaf
Wakaf berdasarkan peruntukkan merupakan salah satu macam wakaf yang
dilihat dari segi kemanfaatannya. Jenis wakaf ini dibagi lagi menjadi tiga, yaitu
wakaf khairi, wakaf ahli, dan wakaf musytarak.

1. Wakaf khairi adalah wakaf yang digunakan untuk kebaikan yang terus
menerus dan tahan lama. Pihak yang memberikan barang wakaf (wakif)
mensyaratkan bahwa wakaf harus digunakan untuk menyebar manfaat
jangka panjang, contohnya masjid, sekolah, rumah sakit, hutan, sumur,
dan bentuk lainnya untuk kesejahteraan masyarakat.
2. Wakaf ahli merupakan jenis wakaf yang kebermanfaatannya ditujukan
untuk keturunan wakif. Wakaf ini dilakukan oleh wakif kepada kerabat
atau keluarganya, contohnya kisah wakaf Abu Thalhah yang membagikan
harta wakaf untuk keluarga pamannya.
3. Wakaf musytarak merupakan wakaf yang manfaatnya ditujukan untuk
keturunan wakif dan masyarakat umum, contohnya yaitu yayasan yang
berdiri di atas tanah wakaf, pembebasan sumur pribadi untuk digunakan
oleh masyarakat luas.

7
B. Wasiat
1. Pengertian Wasiat
Dalam definisi wasiat secara lughawi, wasiat berasal dari bahasa arab yang
berarti "pesan, menyambung, menaruh belas kasihan, menjadikan,
memerintahkan, dan mewajibkan". Makna wasiat (‫صيَّة‬
ِ ‫)و‬
َ menurut istilah syar’i
ialah, pemberian kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain,
sehingga ia berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia. Secara umum
pemberian wasiat dikaitkan dengan kondisi seseorang (yang memberi wasiat)
dalam keadaan sakit menjelang kematian. Sementara wasiat meliputi atas sesuatu
pekerjaan, jasa, maupun harta peninggalan. Dengan demikian, lingkup wasiat
dalam pembahasan fiqih meliputi pesan atas sesuatu harta dari seseorang
menjelang kematian.
Secara sederhana wasiat diartikan dengan:penyerahan harta kepada pihak
lain yang secara efektif berlaku setelah mati pemiliknya. Wasiat adalah pemberian
hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya meninggal dunia.
Pemberianhak milik ini bisa berupa barang, piutang atau manfaat.3
Berdasarkan kepada definisi di atas, dapat dirumuskan bahwa wasiat ialah
pemberian harta, hak atau manfaat oleh seseorang kepada seseorang yang lain
semasa hayatnya tanpa adanya balasan dan berkuatkuasa selepas kematiannya.
Harta yang hendak diwasiatkan mestilah tidak melebihi 1/3 dari keseluruhan harta
si mati.

2. Dasar Hukum Wasiat


Setiap hukum Islam mestilah didasari oleh dalil naqli atau juga dalil akli.
Hukum berwasiat adalah dibolehkan. Di antara sumber-sumber hukum wasiat
adalah melalui dalil Al-Quran, Sunnah, amal para sahabat dan ijmak ulama.

1. Nas-nas al-Quran
Wasiat didasari dari firman Allah di dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah
ayat 180.

3
Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hal. 211.

8
          

      


Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnyasecara
ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
(Al-Baqarah 2:180)
Selain itu, sumber hukum wasiat juga terdapat didalam al-Quran surat
al-Maidah ayat 106 yang berbunyi :

          

            

          

                

 

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu


menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka
hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di
antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu,
jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa
bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah
sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah
dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami
tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk
kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak
(pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya
kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang
berdosa"

2. Sunnah atau Hadist nabi


Hukum berwasiat tidak hanya didasari oleh Al-Quran sahaja, malahan
banyak hadis yang berbicara tentang wasiat. Terdapat beberapa hadis yang

9
menjelaskan tentang pensyari’atan wasiat. Antaranya hadisRasulullah dari
Ibnu Umar :

Yang Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah Zuhair bin
Harb dan Muhammad bin al-Mutsanna al-‘Anazi dan ini adalahlafaz Ibnu
Mutsanna, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya yaitu
Ibnu Sa’id al -Qatthan dari Ubaidillah, telah menkhabarkan kepadaku Nafi’
dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhubahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam bersabda: "Seorangmuslim tidak berhak mewasiatkan sesuatu
yang ia miliki kurang dari dua malam (hari), kecuali jika wasiat itu tertulis
disisinya."

3. Ijma’
Dari sudut ijmak, telah berlaku ijmak para fuqaha semenjak
zamansahabat lagi telah bersepakat bahwa hukum wasiat adalah mubah dan
tiadaseorang pun daripada mereka yang meriwayatkan tentang larangannya.

4. Amalan Para Sahabat


Para sahabat pula sering mewasiatkan sebahagian harta
merekakarena ingin mendekatkan diri dengan Allah s.w.t. Antara para
sahabatyang melaksanakan wasiat ialah Saidina Abu Bakar dan Saidina Ali
telahberwasiat sebanyak 1/5 daripada harta mereka. Saidina Umar pula
telahberwasiat sebanyak ¼ daripada hartanya . Antara lainnya, Abdul
Razzakmeriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa Anas r.a berkata:
“Parasahabat menulis di awal wasiat mereka: Dengan nama Allah yang
mahapemurah lagi lagi maha pengasih”. Ini adalah wasiat fulan bin fulan
bahawa dia bersaksi tiada tuhan melainkan Allah dan tiada sekutu baginya.
Dia juga bersaksi bahawa hari akhirat pasti akan datang dan Allah akan
membangkitkan manusia dari kubur. Dia mewasiatkan ahli keluarganya yang
masih tinggal agar takutkan Allah dan saling memelihara hubungan mereka.
Hendaklah mereka mentaati Allah dan Rasul-Nya sekiranya mereka yang
orang-orang beriman. Dia mewasiatkan mereka sebagaimana wasiat Nabi

10
Yaakub kepada keturunan mereka.4

3. Rukun dan Syarat-Syarat Wasiat


Rukun wasiat itu ada empat, yaitu:
1. Pemberi Wasiat (mushiy)
Orang yang berwasiat itu haruslah orang yang waras (berakal), bukan
orang yang gila, baligh dan mumayyiz. Wasiat anak yang berumur sepuluh
tahun penuh diperbolehkan (ja’iz), sebab Khalifah Umar
memperbolehkannya. Tentu saja pemberi wasiat itu adalah pemilik barang
yang sah hak pemilikannya terhadap orang lain.Sayyid Sabiq
mengemukakan bahwa orang yang lemah akal (idiot), orang dungu dan
orang yang menderita akibat sakit ayan yang kadang-kadang sadar, wasiat
mereka diperbolehkan sekiranya merekamempunyai akal yang dapat
mengetahui apa yang mereka wasiatkan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 194 dinyatakanbahwa
orang yang berwasiat itu adalah orang yang telah berumur 21 tahun, berakal
sehat dan tanpa adanya paksaan, dapat mewasiatkan sebagian harta
bendanya kepada orang lain. Harta benda yang diwasiatkan itu harus
merupakan hak dari pewasiat. Pemilikan barang yang diwasiatkan itu baru
dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. Dikemukakan pula
batasan minimal orang yang boleh berwasiat adalah yang benar-benar telah
dewasa secara undang-undang, jadi berbeda dengan batasan baligh dalam
kitab-kitab fiqih tradisional.

2. Penerima Wasiat (mushan lahu)


Penerima wasiat bukanlah ahli waris, kecuali jika disetujui oleh para
ahli waris lainnya. Seorang dzimmi boleh berwasiat untuk sesama dzimmi,
juga untuk seorang Muslim. Wasiat bagi anak yang masih dalam kandungan
adalah sah dengan syarat bahwa ia lahir dalam keadaan hidup, sebab wasiat

4
Muhammad Bin Shalih al-Utsaimin, Panduan wakaf dan Wasiat menurut Al-Qur’an
dan As-Sunnah, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008), hal. 4

11
berlaku sepertimemperoleh warisan. Karena itu ia juga berhak menerima
wasiat.

3. Barang yang Diwasiatkan (mushan bihi)


Barang yang diwasiatkan haruslah yang bisa dimiliki, seperti hartaatau
rumah dan kegunaannya. Jadi, tidak sah mewasiatkan benda yang menurut
kebiasaan lazimnya tidak bisa dimiliki, seperti binatang serangga, atau tidak
bisa dimiliki secara syar’i, seperti minuman keras, jika pemberi wasiat
seorang Muslim, sebab wasiat identik dengan pemilikan, maka jika
pemilikan tidak bisa dilakukan, berarti tidak ada wasiat. Sah juga
mewasiatkan buah-buahan di kebun untuk tahun tertentu atau untuk
selamanya.5

4. Kalimat wasiat (lafadz)


Sebanyak-banyaknya wasiat adalah sepertiga dari harta dan tidakboleh
lebih dari itu kecuali apabila diizinkan oleh semua ahli warissesudah
orang yag berwasiat itu meninggal. Wasiat hanya ditujukan kepada orang
yang bukan ahli waris.Adapun kepada ahli waris, wasiat tidak sah kecuali
mendapat persetujuan dari semua ahli waris.
Adapun Syarat-syarat wasiat ada 4 juga, yaitu :
1. Pemberi wasiat
Pemberi wasiat adalah seorang yang memberi harta warisannya kepada
orang yang tidak mendapat bagian dari harta warisannya akibat dari
halangan tertentu. Ada beberapa krateria bagi pemberi wasiat. Antaranya
ialah :
a. Berakal, Wasiat tidak sah jika dilakukan oleh orang gila atau terencat
akal, orang yang pengsan dan orang yang mabuk. Kesemua mereka
dianggap orang-orang yang kehilangan akal yang meerupakan asas
kepada taklif, dengan ini orang-orang ini tidaka layak memberi wasiat

5
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di PA dan Kewarisan
menurut Undang-Undang HUkum Perdata di PN., (Jakarta: Pedoman ILmu Jaya, 1992), hal. 154

12
b. Baligh, Syarat ini juga asas kepada taklif. Dengan ini, adalah tidak sah
wasiat daripada seorang kanak-kanak walaupun telah mumaiyiz kerana
ia tidak layak berwasiat.
c. Merdeka, Tidak sah wasiat daripada seorang hamba sama ada qinna,
mudabbir atau mukatib kerana hamba bukan pemilik. Bahkan diri dan
hartanya adalah milik tuannya.
d. Kemauan sendiri, wasiat tidak sah jika dilakukan oleh orang yang
dipaksa. Ini kerana wasiat bermakna menyerahkan hak milik maka ia
perlu melalui keredaan dan pilihan pemiliknya.

2. Penerima wasiat
Penerima wasiat adalah orang atau badan yang mendapat harta
warisan dari pemberi wasiat. Penerima wasiat haruslah mempunyai kriteria
untuk menerima wasiat. Antaranya ialah :
a. Penerima wasiat bukan ahli waris pemberi wasiat. Perkara ini telah
ditetapkan berdasarkan hadis nabi saw yang artinya “tidak ada wasiat
bagi ahli waris” hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan
tirmidzi yang menurutnya hadis hasan.
b. Penerima wasiat hendaklah diketahuai dan wujud ketika wasiat dibuat.
Tidak sah mewasiatkan kepada bayi yang belum lahir atau kepada
badan yang belum ditubuhkan (masjid yang akan dibangunkan).
c. Penerima wasiat hendaklah bukan seorang pembunuh.
d. Penerima wasiat hendaklah bukan kafir harbi.

3. Barang yang diwasiatkan


Adapun syarat-syarat bagi barang atau benda yang diwasiatkan
adalah:
a. Barang itu dikira sebagai harta dan ia boleh diwarisi.
b. Barang tersebut dari harta yang boleh dinilai atau mempunyai manfaat
c. Barang tersebut boleh dipindahmilik sekalipun tiada pada waktu
berwasiat.

13
d. Barang itu dimiliki oleh pemberi wasiat ketika berwasiat jika zatnya
ditentukan.
e. Barang itu bukanlah sesuatu yang maksiat seperti mewasiatkan rumah
untuk dijadikan gereja, pusat judi dan sebagainya.
f. Harta atau barang tersebut hendaklah tidak melebihi kadar 1/3 harta
pewasiat

4. Lafaz wasiat (ijab dan qabul)


Adapun syarat-syarat bagi lafaz ijab dan qabul adalah :
a. Hendaklah wasiat tersebut dilafazkan dengan jelas ataupun kabur. Lafaz
yang jelas seperti : “Saya mewasiatkan untuknya seribu ringgit” atau
“serahkanlah seribu ringgit kepadanya setelah kematian saya” atau
berikan kepadanya setelah kematian saya” atau “harta itumenjadi
miliknya setelah kematian saya”. Lafaz wasiat yang jelas ini diterima
sebagai suatu wasiat yang sah dilaksanakan menurut lafaz tersebut. Jika
orang yang berkata tersebut menafikan ia berniat wasiat, katanya itu
tidak diterima. Sementara lafaz yang kabur pula perlu disertakan
dengan niat. Terdapat kemungkinan lafaz itu tidak berarti wasiat. Maka
ia perlu diikuti dengan niat. Contohnya : “buku saya ini untuk Zaid”.
b. Hendaklah wasiat ini diterima oleh penerima wasiat jika wasiat ini
ditujukan kepada orang yang tertentu.
c. Hendaklah persetujuan tersebut diambil setelah kematian pewasiat.
Tanpa harus memperhatikan apakah penerima wasiat setuju
ataumenolak wasiat sebelum pewasiat meninggal.6

6
Didin hafidhuddin, Hukum Wakaf (Jakarta: Duafa Republika, 2004), hal, 133.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Bisa di ambilkesimpulan dari pembahasan di atas bahwa wakaf dan wasiat,
adalah sama-sama memberikan sesuatu kepada orang lain, namun ada perbedaan
antara keduanya. Benda yang boleh diwakafkan adalah segala benda, baik benda
bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali
pakai dan bernilai menurut ajaran Islam. Sedangkan benda atau harta hibah dapat
berupa barang apa saja, baik yang hanya sekali pakai maupun tahan lama.

B. Saran
Dalam makalah ini tentunya ada banyak sekali koreksi dari para pembaca,
karena kami menyadari makalah ini jauh dari sempurna.Maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca yang dengan
itu semua kami harapkan makalah ini akan menjadi lebih baik lagi.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Gani Abdullah, Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama Media,


2008.
Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari. Jakarta: Gema Insani, 2006
Didin Hafidhuddin, Hukum Wakaf, Jakarta: Duafa Republika, 2004.
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di PA dan Kewarisan
menurut Undang-Undang HUkum Perdata di PN., Jakarta: Pedoman ILmu
Jaya, 1992.
Muhammad Bin Shalih al-Utsaimin, Panduan wakaf dan Wasiat menurut Al-
Qur’an dan As-Sunnah, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008.

16

Anda mungkin juga menyukai